Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Akses Publik
Terhadap Putusan
Pengadilan
1
POSITION PAPER
Indonesia Corruption Watch
A. PENDAHULUAN
Banyak kalangan menilai dunia peradilan sampai saat ini belum tersentuh arus
reformasi yang salah satu agendanya adalah pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN). Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Jika kita melihat institusi
peradilan, dalam hal ini pengadilan, masih lamban dalam merespon persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan pemberantasan KKN,terutama dalam tubuh
lembaga peradilan itu sendiri.
Tidak heran apabila kita melihat laporan-laporan yang dikeluarkan oleh beberapa
lembaga baik dalam negeri maupun luar negeri tentang masih tingginya tingkat
korupsi di lembaga peradilan. Hal tersebut juga dapat dilihat dari catatan Daniel
Kaufman dalam laporan Bureaucratic and Judiciary Bribery tahun 1998. Dalam
laporan itu, dikatakan bahwa tingkat korupsi di peradilan Indonesia adalah yang
paling tinggi diantara negara-negara Ukraina, Venezuela, Rusia, Kolombia, Mesir,
Yordania, Turki, Malaysia, Brunei, Afrika Selatan, Singapura, dan lain-lain1. Hasil
survei nasional tentang korupsi yang dilakukan oleh Partnership for Governance
Reform pada tahun 2002 juga menempatkan lembaga peradilan di peringkat
lembaga terkorup menurut persepsi masyarakat.
Setali Tiga Uang, dengan laporan tersebut di atas, laporan tahunan yang dikeluarkan
oleh Komisi Ombudsman Nasional (KON) tahun 2003, sebanyak lebih kurang 1121
laporan masyarakat, memperlihatkan bahwa prosentase terbesar pengaduan
masyarakat ada pada lembaga peradilan, sebesar 347 (31 %), dilanjutkan dengan
Kepolisian 212 (19 %), Pemerintah Daerah 168 (15 %), dan Kejaksaan 100 (9 %).2
Dari rincian tersebut nampak jelas bahwa lembaga peradilan berpredikat sebagai
penyandang gelar “juara pertama” lembaga yang terkorup. Oleh karena itu,
diperlukan adanya sebuah mekanisme kontrol terhadap perilaku KKN di lembaga
peradilan. Salah satu mekanisme tersebut adalah mengikutsertakan masyarakat
dalam menilai dan menguji sebuah produk peradilan, yang salah satu produknya
berupa putusan pengadilan. Sehingga masyarakat bisa menilai sebuah putusan
pengadilan apakah pertimbangan hukumnya sudah sesuai atau tidak dengan kaedah
hukum substanstif dan obyektif serta prinsip-prinsip legal justice, moral justice dan
social justice.
1
LeIP, KRHN, dll, Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, 1999, hal.4
2
Laporan Tahunan Komisi Ombudsman Nasional Tahun 2003
2
putusan pengadilan merupakan bagian dari prinsip transparansi untuk menciptakan
hukum yang responsif.
Namun masih didapati fakta yang memperlihatkan adanya kesulitan publik untuk
mengakses putusan pengadilan. Kesulitan tersebut disebabkan oleh kendala-kendala
birokratis, baik yang bersifat teknis maupun yang terkait dengan kebijakan
pengadilan. Maka sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan negara yang
demokratis, perlu dirumuskan dan dilakukan penguatan akses publik terhadap
informasi hukum atau putusan pengadilan.
Oleh karena itu, Position paper ini akan mengelaborasi hal-hal penting tentang
urgennya akses publik terhadap putusan pengadilan dikaitkan dengan (1). Mengapa
Publik Berhak atas Akses Putusan Pengadilan, (2) Kesepakatan Law Summit (3).
Prinsip-prinsip Umum Peradilan yang Baik, (4). Manfaat dan Urgensi Akses Publik
terhadap Putusan Pengadilan, dan (5). Faktor-faktor Penghambat Akses Putusan
Pengadilan, (6). Eksaminasi Publik.
Hak publik atas putusan pengadilan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hak
masyarakat untuk mendapatkan informasi. Dimana hak tersebut sudah dijamin
dalam peraturan perundang-undangan mulai dari Undang-Undang Dasar, Ketetapan
MPR, Konvensi-konvensi Internasional, dan peraturan-peraturan lainnya3.
Pasal 28F
“setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang yang tersedia“.
3
Akses Publik atas Informasi Hukum, Hasil Penelitian KHN bersama PP OTADA Fak. Hukum Unibraw,
Februari 2003, hlm. 14
3
Dua pasal tersebut dapat diinterpretasikan4 : (1). Hak berkomunikasi dan
memperoleh infiormasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya;
(2). Hak untuk mencari, memperoleh, kemudian memiliki, menyimpan, mengolah
dan menyampaikan kembali informasi; (3). Dalam penyampaian kembali boleh
menggunakan saluran yang tersedia.
UU No. 14 tahun 1970 pada dasarnya mengatur tentang ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman yang mengatur tentang badan-badan peradilan dan asas-asasnya, hakim
dan kewajibannya, kedudukan pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan
dan bantuan hukum. Ada dua pasal yang berkaitan dengan informasi hukum, yakni
pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) dan 18.5
Dari dua pasal tersebut dikemukakan bahwa sidang pemeriksaan pada asasnya
terbuka untuk umum, kecuali kasus-kasus tertentu, kasus yang pelakunya usianya
dibawah umur misalnya. Namun demikian kalaupun ada pemeriksaan kasus
yangdinyatakan tertutup, putusannya wajib diucapkan pada sidang terbuka untuk
umum.Hal ini berarti akses informasi tentang putusan suatu kasus harus dapat
diakses oleh siapa saja.
Jadi begitu putusan tersebut dibacakan maka sebenarnya putusan tersebut sudah
menjadi dokumen publik dan tidak ada lagi yang perlu dirahasiakan. Cara penafsiran
ini semakin diperkuat dengan diundangkannya UU No. 35 tahun 1999. dalam
penjelasan umum UU ini menyebutkan bahwa “Untuk menciptakan checks and
balances terhadap lembaga peradilan antara lain perlu diusahakan agar putusan-
putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan transparan oleh
masyarakat”.
4
ibid hlm. 15
5
ibid hlm. 25
4
RUU Kebebasan Memperoleh Informasi telah disampaikan kepada DPR untuk dibahas
sebagai RUU inisiatif DPR. Namun perjuangan untuk mensukseskan lahirnya RUU
Kebebasan Memperoleh Informasi masih harus tetap dilakukan karena hingga saat
ini DPR belum melakukan pembahasan terhadap RUU tersebut. Bahkan pemerintah
melalui Lembaga Sandi Negara (LSN) juga telah mengajukan RUU Rahasia Negara
yang dikhawatirkan pembahasannya akan mendahului RUU Kebebasan Memperoleh
Informasi.
Pada tanggal 16 April 2004 telah diselenggarakan Law Summit III yaitu Pertemuan
puncak pejabat tinggi negara di bidang hukum dan peradilan serta pimpinan profesi
hukum di gedung Mahkamah Agung RI. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Ketua
Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Kapolri, Ketua Profesi Hukum Advokat (KKAI), Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN),
dan Komisi Ombudsman Nasional (KON).
6
ibid hlm. 40
7
Newsletter KHN, Edisi Mei-Juni 2004, hlm. 14
5
4. Pengembangan sistem manajemen sumberdaya manusia (SDM) yang
transparan yang mendukung penegak hukum yang professional dan
berintegritas.
Dari plan of action tersebut ada tiga pilar yang harus diperhatikan oleh setiap
lembaga penegak hukum di negeri ini, yaitu: transparansi, partisipasi, dan
akuntabilitas. Ketiga hal tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam prinsip-prinsip
umum peradilan yang baik.
Dalam suatu kesempatan Ketua MA Bagir Manan dalam pemaparan cetak biru (blue
print) agenda pembaruan peradilan Indonesia di Gedung MA, Jakarta, menyatakan
bahwa putusan itu sekali diucapkan, maka ia menjadi milik publik. Karena diucapkan
dalam sidang yang terbuka maka itu menjadi milik publik, tidak lagi milik dari
mereka yang berperkara saja. Karena itu setiap mereka yang berkepentingan berhak
untuk mengetahui putusan itu8. Dalam beberapa kesempatan Ketua Mahkamah
Agung juga memerintahkan kepada seluruh jajaran peradilan, mulai dari MA hingga
pengadilan tingkat pertama dan tingkat lanjut, untuk bersikap transparan, terutama
mengenai hasil-hasil putusan. 9
Justifikasi di atas tidak hanya cukup dengan pernyataan Ketua MA ataupun “belas
kasih” Ketua Pengadilan semata, tetapi juga diperlukan justifikasi hukum dalam
bentuk peraturan / Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) untuk keterbukaan akses
publik terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan mengikat ke dalam
lembaga pengadilan.
Dalam kerangka prinsip-prinsip umum peradilan yang baik tersebut, yang menjadi
acuan dalam hal akses publik terhadap putusan pengadilan adalah pertama, prinsip
akuntabilitas, yang menghendaki setiap pelaksana kekuasaan, apakah itu penentuan
kebijakan, pengambilan keputusan dan sebagainya, harus dapat
8
Hukum Online, 17 Agustus 2003.
9
Kompas Cyber Media, 10 Oktober 2003
10
Leip, Pengadilan Khusus Korupsi, cetakan pertama 2002
6
dipertanggungjawabkan. Hal ini penting untuk menghindari adanya penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power).
Kedua, prinsip partisipasi masyarakat merupakan hal yang essensial dalam negara
demokratis. Partisipasi ini paling tidak dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu
partisipasi dalam membentuk keputusan (agar keputusannya lebih berkualitas dan
partisipatif) dan dalam melakukan kontrol (untuk meminimalisasi penyalahgunaan
kekuasaan).
Dan keempat, akses terhadap putusan pengadilan harus dapat diperoleh setiap
orang dengan cepat, murah dan sederhana. Untuk putusan yang persidangan
perkaranya tertutup, maka identitas para pihak bisa ditutup.
Dalam dunia hukum berkembang suatu asas yang menyatakan bahwa semua
putusan hakim wajib dianggap benar, kendati secara formal dan materil putusan
tersebut adalah bertentangan dengan undang-undang (res judicata pro veritate
habetur). Atau, buruknya sebuah keputusan pengadilan harus diterima sebagai
sebuah kenyataan hukum.11 Dalam bahasa lain yang mungkin lebih ekstrim adalah
hakim tidak dapat dipersalahkan atas putusan yang dihasilkan. Pada
perkembangannya asas tersebut menimbulkan perdebatan. Di satu sisi dimaksudkan
untuk melindungi independensi atau kemandirian hakim dalam memutus suatu
perkara. Namun pada sisi yang lain asas ini seringkali dijadikan pelindung bagi
hakim ketika “salah” dalam memberikan putusan sehingga pada akhirnya
dipertanyakan, apakah hal tersebut tidak bertentangan dengan rasa keadilan
masyarakat dan bagaimana pertanggungjawaban seorang hakim baik secara
keilmuan maupun moralitasnya.
Pertama, untuk menilai kualitas seorang hakim maka bisa dilihat dari kualitas
putusan yang dibuat. Sejauhmana putusan tersebut mencerminkan keadilan
masyarakat, sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara keilmuan maupun
moral.
Kedua, sebagai salah satu mekanisme checks and balances. Mekanisme tersebut
juga diatur dalam penjelasan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 14
11
Ali Aspandi, Menggugat Sistem Hukum Peradilan Indonesia Yang Penuh Ketidakpastian, (Surabaya:
Lutfansah Mediatama, 2002), hlm.95
7
Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan bahwa untuk
menciptakan checks and balances terhadap lembaga peradilan perlu diusahakan agar
putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan transparan oleh
masyarakat.
Pemalsuan putusan MA juga terjadi dalam perkara pidana dengan terdakwa Kolonel
(Pol/Purn) dr Rudi Hendrawidjaja MPH pada putusan perkara no. 1082 K/PID/1998
yang diputuskan 17 Maret 1999 membuat amar putusan "menyatakan tidak dapat
diterima permohonan kasasi dari pemohon kasasi: penuntut umum/jaksa pada
Kejaksaan Negeri Ujungpandang." Namun, pada bulan November 1999, bunyi amar
putusan telah berubah dari amar putusan awal "tidak dapat menerima permohonan
kasasi" menjadi "permohonan kasasi jaksa dikabulkan". 12
Keempat, akses publik atas putusan pengadilan merupakan salah satu ciri
penerapan prinsip-prinsip good governance. Hal tersebut penting untuk
mengoptimalkan pengawasan publik terhadap kekuasaan kehakiman sehingga
mendorong kekuasan kehakiman yang akuntabel yang mampu meningkatkan
kompetensi dan integritas hakim.
Hal tersebut merupakan langkah strategis bagi upaya menjalankan agenda reformasi
hukum. Dan akan bermanfaat bagi akuntabilitas publik. Dalam konteks peradilan
akuntabilitas/ pertanggungjawaban dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu
akuntabilitas institusional dan akuntabilitas personal.13
a. Akuntabilitas Institusional
Dengan adanya keterbukaan akses putusan pengadilan, maka secara
kelembagaan dapat meminimalisasi tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau
setidaknya memudahkan pihak yang kompeten untuk melihat/menilai ada
12
Kompas Cyber Media, 22 Maret 2000,
13
Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, hlm. 126-127
8
tidaknya penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, masyarakat dapat memantau
kemampuan dan kualitas putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan.
b. Akuntabilitas Personal
Salah satu mekanisme akuntabilitas publik yang dapat dilakukan oleh masing-
masing hakim secara personal adalah transparansi dari pendapat hukum
masing-masing hakim dalam memutus suatu perkara yang ditanganinya.
Sehingga masyarakat dapat melihat integritas dari masing-masing hakim.
Akses masyarakat atas putusan pengadilan sangat tertutup. Selama ini masyarakat
sulit untuk dapat mengakses putusan pengadilan. Sulitnya masyarakat untuk dapat
mengakses putusan pengadilan disebabkan beberapa hal.
Pertama adanya kebiasaan bahwa sejak dulu putusan pengadilan memang tidak
bisa diakses publik. Hal tersebut di atas tidak terlepas dari Mahkamah Agung (MA)
sebagai kekuasan tertinggi lembaga peradilan-- yang ada di bawahnya -- yang
tertutup pada masa lalu. 14 Kedua, pengadilan tidak dapat mengeluarkan putusan
yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, terkecuali bagi para pihak, yang ada
hubungannya dengan perkara tersebut.
Ketiga, pengadilan berpegang teguh pada ketentuan hukum bahwa putusan adalah
hak dari mereka yang berperkara. Sehingga yang berhak mengetahui putusan
pengadilan adalah para pihak yang berperkara. lemahnya jaminan akses publik
terhadap putusan pengadilan tersebut terdapat dalam peraturan perundang-
undangan. Misalnya, dalam KUHP dan Hukum Acara Perdata HIR dan RIB.
a. KUHAP
Pasal 226 KUHAP menyebutkan bahwa :
1. Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat
hukumnya setelah putusan diucapkan.
2. Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan
penyidik, sedangkan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya diberikan
atas permintaan.
3. Salinan surat keputusan hanya boleh diberikan kepada orang lain dengan seizin
Ketua Pengadilan setelah mempertimbangkan kepentingan dari permintaan
tersebut.
14
ibid hlm.134
9
Apabila kita melihat ketentuan Pasal 226 KUHAP di atas jelas hak masyarakat untuk
dapat mengakses putusan tergantung dari kebijakan Ketua Pengadilan. biasanya
pasal di atas ditafsirkan oleh Ketua Pengadilan bahwa salinan putusan hanya
diberikan demi kepentingan akademis dan penelitian.15
Namun, pada akhirnya terbitan Varia Peradilan beredar cukup luas. Uniknya,
menurut pengakuan mantan seorang hakim senior, pada masa tugasnya, sebagian
putusan yang dikumpulkan dalam Varia Peradilan justru adalah keputusan yang
keliru dan diterbitkan untuk memancing perdebatan antara hakim. Hakim tersebut
menyayangkan bahwa putusan yang keliru itu justru banyak dijadikan rujukan oleh
penasehat hukum dan akhirnya oleh hakim dalam memutus perkara.17
15
op.cit, hlm. 135
16
Akses Publik atas Informasi Hukum, Hasil Penelitian KHN bersama PP OTADA Fak. Hukum Unibraw,
Februari 2003, hlm. 27
17
Makalah PSHK, Akses Publik terhadap Informasi Yudisial Sebuah Pengantar Diskusi, Hotel Mandarin,
Jakarta, 21 Maret 2002. hlm. 2
18
Ibid, hlm. 4
10
dilakukan upaya-upaya pengarsipan yang baik dalam rangka penerbitan putusan
secara berkala.19
Meskipun dalam kapasitas yang terbatas, Pengadilan Niaga telah melakukan hal
tersebut. Saat ini publik dapat dengan cukup mudah melihat dan meminta salinan
putusan-putusan kepailitan yang telah diputus dengan menghubungi bagian
kepaniteraan, dengan hanya mengganti biaya fotokopi.20 Selain itu, pernah dibuat
situs resmi Pengadilan Niaga yang memuat informasi dan putusan-putusan
pengadilan niaga (www.pengadilan-niaga.go.id). Namun, saat ini, situs tersebut
tidak dapat diakses lagi karena pendanaan untuk mengelola situs tersebut sudah
dihentikan oleh lembaga Funding.21
Selain Pengadilan Niaga, kemudahan bagi masyarakat terhadap akses putusan juga
dapat kita temukan di Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang No.24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, telah menegaskan perlunya Mahkamah Konstitusi
menyelenggarakan kelembagaan secara baik, bersih dan bertanggung jawab.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik, undang-undang mengharuskan
Mahkamah Konstitusi untuk mengumumkan laporan berkala secara terbuka
mengenai permohonan yang didaftar, diperiksa dan diputus, serta laporan
pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya. Laporan tersebut dimuat
dalam sebuah berita berkala yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi.22
Sudah saatnya bagi Mahkamah Agung keluar dari isolasi kevakuman berpikir dan
mulai belajar dari kedua institusi di atas dalam hal keterbukaan akses putusan
pengadilan. tidak ada alasan lagi bagi pengadilan untuk selalu berkelit dan menutup
akses publik atas putusan pengadilan. Apalagi hal tesebut berkaitan dengan kegiatan
ilmiah atau eksaminasi publik yang merupakan bagian dari pengawasan eksternal
yang dilakukan oleh masyarakat.
Oleh karena itu perlu dibuat peraturan ataupun surat edaran Mahkamah Agung yang
mengikat bagi lembaga peradilan yang berada di bawah MA yang menjamin
masyarakat dapat mengakses putusan pengadilan secara cepat, murah dan
sederhana.
F. EKSAMINASI PUBLIK
Salah satu upaya yang dapat dilakukan masyarakat dalam melakukan pengawasan
jalannya peradilan adalah dengan pengujian dan penilaian terhadap produk atau
19
ibid
20
ibid
21
hal tersebut disampaikan oleh Bivitri Susanti (PSHK) ketika diskusi dalam Kursus Reformasi Hukum dan
Pengadilan Niaga yang diadakan oleh Yayasan PANTAU, 9-20 Agustus 2004
22
Mahkamah Konstitusi, KRHN,dan TiFA, Draft Blue Print Mahkamah Konstitusi, hlm. 45
11
putusan yang dihasilkan oleh lembaga peradilan atau yang lebih dikenal dengan
istilah eksaminasi publik.
Selain pengawasan oleh MA tersebut, masyarakat dalam kurun waktu tiga tahun
terakhir dimulai pada tahun 2001 sampai sekarang ini aktif berpartisipasi dalam
melakukan pengawasan terhadap putusan pengadilan melalui eksaminasi publik.
Sebagaimana terdapat dalam bagan dibawah ini :
No Putusan Pelaksana
1. Perkara Pecemaran Nama Baik dengan terdakwa Arifin ICW-Indonesia Court
Wardiyanto Monitoring (ICM)-FH
UMY
2. Peninjauan Kembali dalam perkara ruislag Bulog Goro dengan Koalisi Pemantau
terdakwa Tomi Soeharto Peradilan (KPP)
3. Judicial Review PP 110 Tahun 2000 tentang keuangan DPRD LBH Padang
4. Perkara Yayasan Pendididkan Kerja Sama Yogyakarta ICM-ICW
5. Perkara Penghilangan Darah Udin ICM
6. Perkara Korupsi Skandal Bank Bali dengan terdakwa Djoko S ICW
Tjandra
7. Perkara Korupsi Dana KUT oleh LPPM Malang FH Unibraw-ICW
8. Perkara Korupsi Dana YBD dengan terdakwa Ida Bagus Oka Bali Corruption Watch
(BWC)- ICW
9. Perkara korupsi Dana BLBI Bank Modern dengan terdakwa Masyarakat Pemantau
Samadikun Hartono Peradilan Indonesia
(MAPPI) FH UI
10. Perkara pelanggaran HAM Berat denga terdakwa Timbul Silaen MAPPI
FH UI
11. Perkara Perdata Sengketa Semen Padang MAPPI
FH UI
12. Perkara Korupsi Dana Non Budgeter Bulog dengan Terdakwa KPP
Akbar Tanjung, Dadang Ruskandar, Winfried Simatupang
13. Perkara Korupsi APBD Surabaya dengan terdakwa mantan Masyarakat Anti Korupsi
Ketua DPRD Basuki Surabaya (Maraks)–ICW
14. Perkara Penyerangan Kantor Majalah Tempo dengan MAPPI FH UI
Terdakwa David A Miau
15. Perkara Korupsi Sjahril Sabiriin ICM
16. Perkara Perdata Pembatalan APU antara David Nusa Wijaya ICW
melawan BPPN (dalam Proses)
12
17. Kasus Bambang Harymurti (Majalah Tempo) ICW-Mappi UI (dalam
proses)
Dokumentasi ICW
Hal ini dialami ketika FH Unibraw akan melakukan eksaminasi terhadap Soegeng
Ismoe. Pihak Kejaksaan maupun Pengadilan menolak memberikan salinan putusan
ini, meskipun melalui jalur resmi maupun kedekatan personal/jaringan alumni,
dengan alasan bahwa kasus ini belum Inkracht (mempunyai kekuatan hukum tetap)
dan adanya kertentuan hukum bahwa salinan putusan hanya dapat diperoleh para
pihak maupun pengacaranya.
Satu hal yang menarik adalah ketika pihak pelaksana (FH Unibraw) pernah diancam
akan digugat jika mendapatkan salinan putusan ini karena dianggap membongkar
rahasia negara. Kegiatan eksaminasi pada akhirnya terhambat dan nyaris batal
akibat tidak adanya berkas ini. Namun secara kebetulan justru berkas putusan
didapat dari mahasiswa yang akan melakukan skripsi.
23
Seringkali berkas putusan didapat justru dari luar insitusi peradilan, seperti pangacara para pihak atau
wartawan.
13
Hal yang sama juga terjadi ketika ICW akan melaksanakan eksaminasi terhadap
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap Marimutu Sinivasan dalam
perkara Korupsi PT. Texmaco. Meskipun telah meminta secara rsmi sebanyak 2
(dua) kali namun salinan SP3 yang disertai pertimbangannya tidak dapat diperoleh.
Meskipun pada perkembangannya ICW batal melakukan eksaminasi, namun tetap
melakukan upaya hukum pra peradilan terhadap kasus SP3 Texmaco. 24
Cerita lain terjadi pada akhir tahun 2003 ini, ketika ICW bersama dengan MAPPI FH
UI, AJI, dan LBH berniat malakukan eksaminasi terhadap putusan bebas David A
Miau (terdakwa penyerangan majalah Tempo). Jadwal kegiatan dan eksaminator
sudah ditentukan, namun ada berkas penting (menurut eksaminator) yang harus
dilengkapi yaitu Berita Acara Pemeriksaan (BAP) agar dapat dilaksanakan
eksaminasi. Adanya BAP ini penting untuk menilai pertimbangan yang digunakan JPU
sehingga memuntut bebas David A Miau. Masing-masing lembaga berupaya
mendapatkan BAP secara resmi namun hingga saat ini tidak berhasil
mendapatkkannya dan menyebabkan eksaminasi kasus ini menjadi mandeg (tidak
berjalan). 25
Paling tidak ada 2 (dua) penyebab sulitnya mendapatkan salinan putusan selama ini.
Pertama, adanya ketentuan yang menyatakan bahwa yang berhak mendapatkan
salinan putusan adalah terdakwa lataupun penasehat hukumnya (Pasal 226 KUHAP).
Atas dasar ini pihak pengadilan selalu menyatakan menolak memberikan salinan
putusan, sehingga jika memberikan salinan putusan ini dianggap melanggar hukum
(meskipun aturan ini tidak ada).
Kedua, Pihak pengadilan maupun kejaksaan dinilai masih juga tidak bersikap
kooperatif karena adanya kekahawatiran institusi penegak hukum bahwa eksaminasi
yang dilakukan hanya akan menjelek-jelekan atau mencari kesalahan aparat
penegak hukum yang menangani kasus tersebut.
Janji Ketua MA yang akan segera mengeluarkan SEMA yang membuka akses bagi
masyarakat untuk mendapatkan salinan putusan sampai saat ini belum juga
terealisasi. Yang bisa dilakukan oleh Ketua MA adalah mengimbau ketua Pengadilan
di seluruh Indonesia agar membuka akses bagi masyarakat untuk mendapatkan
putusan meskipun tindakan ini juga ditentang beberapa Hakim Agung di MA.
24
Pada perkembangannya permohonan praperadilan ini ditolak oleh PN Jakarta Selatan alasannya karena
ICW bukanlah saksi korban, sehingga tidak berhak mengajukan gugatan praperadilan
25
Pada perkembangannnya eksaminasi perkara ini dilaksanakan oleh MAPPI FH UI.
26
Berdasarkan informasi dari sumber di MA, tidak ada follow up dari Ketua MA terhadap eksaminasi yang
dilakukan oleh masyarakat.
14
Harapan bahwa eksaminasi akan menjadi bagian pengawasan internal di pengadilan
dapat dipastikan akan sia-sia tanpa ada tindak lanjut dari MA. “sejuta kali
eksaminasi tidak ada artinya jika MA tidak menindalanjuti hasil eksaminasi tersebut”.
G. REKOMENDASI
H. PENUTUP
Kesempatan emas di masa transisi ini harus digunakan sebaik mungkin oleh MA dan
lembaga peradilan yang ada di bawahnya untuk menata diri dan lebih terbuka
dalam memberikan akses publik terhadap putusan pengadilan. Karena secara tidak
langsung, sulitnya mengakses putusan jelas mempengaruhi kualitas putusan karena
hal tersebut berarti mengurangi peluang kontrol publik atas integritas, kejujuran dan
profesionalitas hakim yang tecermin dalam putusannya.
27
Cetak biru Maghkamah Agung RI 2003, hlm. 64
15