Vous êtes sur la page 1sur 27

PERUBAHAN PERSEPSI, SENSORI, DAN KOGNITIF

SENSORY DEFICIT

Tugas Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Kebutuhan Aman dan Nyaman
Dosen Pembimbing : Ns. Henni Kusuma, M.Kep., Sp.Kep.MB

Kelompok 3 :

1. Kurniati Dwi Setyaningsih (22020116120025)


2. Tri Vita Amalia (22020116120026)
3. Nanda Alifia Desiana (22020116120028)
4. Ovi Imroatul Lathifah (22020116120032)
5. Savitri (22020116120038)
6. Nur Wahyuni (22020116120039)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

TAHUN 2016/2017
SENSORY DEFICIT

A. Definisi Sensory Deficit

Sistem saraf menerima informasi dari organ saraf sensori, menyalurkan informasi melalui
saluran yang sesuai dan mengintegrasikan informasi tersebut menjadi suatu respon. Sumber
stimulus berasal dari dalam dan luar tubuh, khususnya melaui indera penglihatan (visual),
pendengaran (auditori), perabaan (taktil), penciuman (olfaktori) dan rasa (gustatori). Tubuh juga
mempunyai rasa indera kinestetik yang memungkinkan seseorang menyadari posisi dan
pergerakan bagian tubuh tanpa melihatnya. Stimulus sensori mencapai organ sensori dan
menghasilkan reaksi yang segera atau disimpan ke otak. Sistem saraf harus utuh agar stimulus
sensori mencapai pusat otak yang sesuai.
Sensori adalah stimulus atau rangsang yang datang dari dalam maupun luar tubuh.
Stimulus tersebut masuk ke dalam tubuh melalui organ sensori ( panca indera). Sensory deficit
atau defisit sensori adalah suatu kerusakan dalam fungsi normal penerimaan dan presepsi
sensori. Klien tidak mampu menerima stimulus tertentu ( misal kebutaan atau tuli), atau stimulus
menjadi distorsi (misal penglihatan kabur karena katarak). (Perry&Potter, 2005) Adapun
menurut (Kozier, 2011) defisit sensori adalah gangguan penerimaan persepsi atau keduanya,
pada satu indera atau lebih. Jika hanya satu indera yang terkena, indera lain akan menjadi lebih
akut untuk mengompensasi kehilangan tersebut. Namun, kehilangan penglihatan yang tiba-tiba
dapat mengakibatkan disorientasi (tidak orientasi terhadap waktu, tempat, atau ruang).

Kehilangan sensori tiba-tiba dapat menyebabkan ketakutan, marah, dan perasaan tidak
berdaya. Apabila indera rusak maka perasaan terhadap diri juga rusak. Pada awalnya seseorang
dapat menarik diri dengan menghindari komunikasi atau sosialisasi dengan orang lain dalam
suatu usaha dalam mengatasi kehilangan sensori. Hal ini menjadi sulit bagi seseorang untuk
berinteraksi dengan aman pada lingkungan sampai mempelajari ketrampilan baru fungsi yang
ada. Jika defisit terjadi betahap atau waktu yang dapat dipertimbangkan telah terlewati sejak
permulaan dari suatu kehilangan sensori yang akut, seseorang belajar untuk bergantung pada
indera yang tidak terkena. Beberapa indera bahkan mungkin menjadi lebih akut untuk
mengkompensasi terhadap suatu perubahan. Sebagai contoh, seorang klien yang buta seringkali
mengembangkan indera akut pendengaran.
Klien yang mengalami defisit sensori secara bertahap, individu seringkali
mengembangkan perilaku dalam cara-cara yang adaptif atau maladaptif untuk mengompensasi
kehilangan tersebut, terkadang perilaku tersebut tidak disadari. Sebagai contoh, individu yang
mengalami kehilangan pendengaran yang bertahap pada telinga kanan dapat dengan tidak
disadari mendekatkan telinga kirinya ke arah orang yang berbicara untuk mendengar dengan
lebih baik, sementara klien lain mungkin menghindar dari orang lain untuk menghindari malu
karena tidak mampu memahami pembicaraan mereka. Akan tetapi, jika kehilangan secara tiba-
tiba, perilaku kompensasi sering kali baru terbentuk selama beberapa hari atau beberapa minggu.

Beberapa penyakit neurologis menyebabkan perubahan pada indera kinestetik dan presepsi
taktil. Penyakit pada telinga bagian dalam, misalnya, dapat menyebabkan kehilangan indra
kinestetik. Klien yang mengalami defisit sensori beresiko mengalami deprivasi sensori dan
kelebihan beban sensori. Individu yang mengalami masalah visual mungkin tidak mampu
membaca, menonton televisi, atau mengenali perawat dengan penglihatannya. Lingkungan yang
tidak familiar dapat membuatnya bertambah bingung. Individu yang buta sering kali memiliki
lingkungan rumah yang terstruktur rapi sehingga lingkungan rumah sakit yang tidak familiar dan
berbeda dari lingkungan rumahnya dapat menimbulkan kelebihan beban sensori. Pada saat yang
sama, gangguan penglihatan seringkali mengakibatkan ketidakmampuan bersosialisasi dengan
orang lain dan kesulitan bergerak.
Defisit Sensori yang Umum

Defisit Perubahan Sensori Pengaruh pada Klien


Visual
Presbiopia - Kehilangan akomodasi - Orang tidak mampu melihat objek
lensa untuk dekat secara jelas.
memfokuskan cahaya - Membutuhkan lensa bifokal
dari objek. - Orang mengkompensasi dengan
memegang objek untuk dilihat lebih
jauh.
- Penglihatan jauh tidak berpengaruh.
Katarak - Suatu opasitas lensa. - Lambat, tidak nyeri, dan kehilangan
- Kehilangan penglihatan progresif pada satu atau
transparansi ini kedua mata.
menghambat sinar - Kebanyakan orang mengalami
mencapai retina. cahaya yang menyilaukan dari sinar
yang terang.
- Lensa pada pemeriksaan terlihat
berkabut.
Glaukoma - Suatu peningkatan - Kondisi pada aawalnya bebas
tekanan intra okular, gejala.
yang jika tidak hilang - Perubahan pada penglihatan perifer
merusak struktur mata adalah tanda pertama. Hal ini
internal, termasuk berkembang dan dapat
saraf optik. menyebabkan hilangnya
penglihatan sentral.
- Nyeri terjadi terlambat.
Pendengaran
Presbikusis - Kehilangan ketajaman - Kondisi mengubah kemampuan
pendengaran yang untuk mendengar suara frekuensi
progresif yang terjadi tinggi, pada awalnya.
dengan bertambahnya - Defisit berkembang untuk
usia. mempengaruhi nada yang lebih
rendah.
Otitis eksternal - Kehilangan - Tanda umum adalah sulit
pendengaran membedakan pembicaraan.
sensorineural. - Saluran menjadi tersumbat dari
- Infeksi kulit pada pembengkakan dan timbulnya
saluran pendengaran drainase. Sehingga menyebabkan
eksternal. tuli konduksi sementara.
Neurologis
Kecelakaan - Pembekuan, - Kehilangan sensasi dan fungsi
serebrovaskuler perdarahan, atau motorik terjadi tergantung pada
(Stroke) obstruksi embolus lokasi stroke.
pada aliran darah arteri - Klien dapat menjadi kehilangan
otak yang propriosepsi, dengan tidak ada
menyebabkan iskemia koordinasi dan keseimbangan yang
jaringan yang disuplai buruk.
oleh pembuluh darah.
Neuropati - Kerusakan saraf - Kerusakan mengarah pada
perifer perifer yang berada di perubahan dalam nyeri, sentuhan,
luar medula suhu, dan fungsi motorik.
spinalismdan otak. - Padav umumnya neropati
- Kerusakan saraf dapat mempengaruhi kemampuan
mempengaruhi fungsi fungsional seseorang untuk
sensori dan motorik. menggunakan ektremitas.
B. Etiologi

 Gangguan Sensorik Negatif


Secara singkat gangguan sensorik negatif itu disebut defisit sensorik. Tergantung
pada kedudukan lesi, apakah di saraf perifer, di radiks posterior atau di lintasan
sentralnya, daerah permukaan tubuh yang anastesik atau baal dan sebagiannya
memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan penataan anatomi susunan somestesia.
Untuk mempermudah pembahasan defisit sensorik, maka istilah anastesia dan hipesyesia
digunakan secara bebas sebagai sinonim dari defisit sensorik.
a) Hemihipestesia
Hemihipestesia merupakan hipestesia yang dirasakan seisi tubuh saja.
Ditinjau dari sudut patofisiologinya, maka keadaan itu terjadi karena kortekas
sensorik primer tidak menerima impuls sensorik dari belahan tubuh kontralateral.
Di dalam klinik hemihipestesia merupakan gejala utama atau gejala pengiring
penyakit perdarahan serebral. Infark yang menduduki seluruh krus posterior
kapsula interna sesisi, mengakibatkan hemiplegia kontralateral yang disertai
hemihipestesis kontralateral juga. Pada penyumbatan arteri serebri anterior tidak
dijumpai hemihipestesia kontralateral, melainkan hipestesia yang terbatas pada
kulit tungkai kontralateral yang lumpuh.
b) Hipestesia alternans
Hipestesia alternans merupakan hipestesia pada belahan wajah ipsilateral
terhadap lesi yang bergandengan dengan hipestesia pada belahan badan
kontralateral terhadap lesi. Lesi yang mendasari pola defisit sensorik itu
menduduki kawasan jaras spinotalamik dan traktus spinalis nervi trigemini di
medulla oblongata.
c) Hipestesia tetraplegik
Hipestesia tetraplegik ialah hipestesia pada seluruh tubuh kecuali kepala
dan wajah. Defisit sensorik itu timbul akibat lesi transversal yang memotong
medulla spinalis di tingkat servikalis. Jika lesi menduduki segmen medulla
spinalis di bawah tingkat T1, maka defisit sensorik yang terjadi dinamakan
hipestesia paraplegi.
d) Hipestesia selangkangan (saddle hipestesia)
Hipestesia selangkangan ialah hipestesi pada daerah kulit selangkangan.
Lesi yang mengakibatkannya merusak kauda ekuina.
e) Hemihipestesia sindrom brown sequard
Hemihipestesia sindrom brown sequard ialah hemihipestesia pada belahan
tubuh kontralateral terhadap hemilesi di medulla spinalis.
f) Hipestesia radikular atau hipestesia dermatomal
Hipestesia radikular ialah hipestesia yang terjadi akibat lesi di radiks
posterior. Dalam hal itu daerah yang hipestetik ialah dermatome yang disarafi
oleh serabut-serabut radiks posterior yang terkena lesi.
g) Hipestesia perifer
Hipestesia perifer ialah hipestesia pada kawasan saraf perifer yang
biasanya mencakup bagian-bagian beberapa dermatom.

 Gangguan Sensorik Positif


Gangguan sensorik positif ialah nyeri. Perangsangan yang menghasilkan nyeri
yang bersifat destruktif terhadap jaringan yang dilengkapi dengan serabut saraf pengantar
impuls nyeri. Jaringan itu dinamakan secara singkat jaringan peka-nyeri. Jaringan atau
bangunan yang tidak dilengkapi dengan serabut nyeri tidak menghasilkan nyeri bilamana
dirangsang, misalnya diskus intervertebral. Jaringan itu tak peka nyeri.
Walaupun nyeri pada hakikatnya tidak dapat ditaksirkan dan tidak dapat diukur,
namun yang tidak dapat disangkal ialah, bahwa nyeri merupakan perasaan yang tidak
nyaman dan menyakitkan. Nyeri akibat ditusuk berbeda dengan nyeri akibat ditekan.
Bagaimana seseorang menghayati nyeri tergantung pada jenis jaringan yang dirangsang,
lalu pada jenis serta sifat perangsangan, dan tergantung pula pada kondisi mental dan
fisiknya. Nyeri dapat langsung dirasakan sebagai hasil perangsangan terhadap kulit,
mukosa rongga mulut dan kornea.
C. Patofisiologi

 Penglihatan
Penglihatan merupakan salah satu saluran informasi yang sangat penting bagi manusia
selain pendengaran, pengecap, pembau, dan perabaan. Pengalaman manusia kira-kira 80 persen
dibentuk berdasarkan informasi dari penglihatan. Di bandingkan dengan indera yang lain indera
penglihatan mempunyai jangkauan yang lebih luas. Pada saat seseorang melihat sebuah mobil
maka ada banyak informasi yang sekaligus diperoleh seperti misalnya warna mobil, ukuran
mobil, bentuk mobel, dan lain-lain termasuk detail bagian-bagiannya. Informasi semacam itu
tidak mudah diperoleh dengan indera selain penglihatan.
Kehilangan indera penglihatan berarti kehilangan saluran informasi visual. Sebagai
akibatnya penyandang kelainan penglihatan akan kekuarangan atau kehilangan informasi yang
bersifat visual. Seseorang yang kehilangan atau mengalami kelainan penglihatan, sebagai
kompensasi, harus berupaya untuk meningkatkan indera lain yang masih berfungsi.
Seberapa jauh dampak kehilangan atau kelainan penglihatan terhadap kemampuan
seseorang tergantung pada banyak faktor misalnya kapan (sebelum atau sesudah lahir, masa
balita atau sesudah lima tahun) terjadinya kelainan, berat ringannya kelainan, jenis kelainan dan
lain-lain. Seseorang yang kehilangan penglihatan sebelum lahir sering sampai usia lima tahun
pengalaman visualnya sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan yang
kehilangan penglihatan setelah usia lima tahun atau lebih dewasa biasanya masih memiliki
pengalaman visual yang lebih baik tetapi memiliki dampak yang lebih buruk terhadap
penerimaan diri.
 Pendengaran
Gangguan pendengaran terjadi apabila terdapat masalah pada satu atau beberapa bagian
telinga. Dalam konduksi udara, gelombang suara merambat melalui kanal telinga bagian luar
untuk menggetarkan gendang telinga. Getaran gendang telinga ditransmisikan ke organ
pendengaran (koklea/rumah siput) melalui tiga tulang pendengaran (ossicle) dalam telinga
bagian tengah. Hal ini menstimulasi sel sensor dalam koklea/rumah siput yang kemudian
mengirimkan sinyal ke saraf pendengaran (saraf auditori) dan diteruskan ke otak.
Pendengaran melalui konduksi tulang terjadi apabila gelombang suara menyebabkan
tulang tengkorak bergetar, yang secara langsung menstimulasi organ pendengaran (koklea/rumah
siput) dan menghasilkan pendengaran. Ada 2 jenis gangguan pendengaran:
a. Gangguan pendengaran konduktif terjadi apabila gelombang suara tidak dapat
ditransmisikan dengan benar dari lingkungan luar ke koklea/ rumah siput. Masalahnya
mungkin pada kanal telinga bagian luar, gendang telinga, tulang telinga bagian tengah,
ruang telinga bagian tengah. Penyebab Umum Gangguan Pendengaran Konduktif
meliputi:
 Penyumbatan di kanal telinga bagian luar yang disebabkan oleh kotoran, benda
asaing atau infeksi (otitis eksterna).
 Perforasi pada gendang telinga – biasanya akibat trauma atau infeksi kronis.
 Tulang pendengaran bergeser, rusak atau kaku (malleus, incus, atau stapes) –
akibat trauma atau penyakit kronis yang mengikis tulang pendengaran setelah
sekian lama, atau otosklerosis yang menyebabkan tulang rawan harus diperbaiki.
 Otitis media – infeksi telinga bagian tengah, biasanya disertai cairan di dalam
ruang telinga bagian tengah.
b. Gangguan pendengaran sensorineural terjadi apabila terdapat kerusakan pada organ
pendengaran (koklea/rumah siput) atau saraf pendengaran (saraf auditori). Penyebab
umum mencakup:
 Penuaan (presbycusis)
 Pemaparan yang akut dan kronis terhadap suara keras dapat menyebabkan
kerusakan pada sel sensor dalam koklea/rumah siput.
 Infeksi telinga bagian dalam oleh virus dan bakteri, seperti campak, cacar dan infl
uenza.
 Penyakit Meniere – adalah penyakit yang menyebabkan tinitus, gangguan
pendengaran dan pusing.
 Acoustic neuroma – tumor saraf vestibular, yang terletak dekat saraf auditori dan
mempengaruhi fungsinya.
 Obat Ototoxic – Sebagian obat dapat merusak saraf yang berperan untuk
pendengaran atau sel sensor dalam koklea/rumah siput. Contohnya mencakup:
 Antibiotik, termasuk aminoglikosida (gentamicin, vancomycin)
 Diuretik, termasuk frusemide
 Antineoplastik (obat kanker)
Gangguan pendengaran dapat terjadi secara bertahap, atau tiba-tiba dan bisa
mempengaruhi satu atau kedua telinga. Orang yang mengalami hal ini biasanya mengeluhkan
kesulitan dalam melangsungkan percakapan normal, khususnya di lingkungan yang bising.
Mungkin ada keluhan dari orang lain yang berada dekat orang tersebut, karena yang
bersangkutan tidak menjawab ketika dipanggil, atau berbicara lebih keras daripada biasanya.
Mungkin terdapat gejala terkait, seperti tinitus (deringan dalam telinga) atau vertigo (perasaan
berputar-putar). Rasa nyeri dan pengeluaran cairan dari telinga sering berkaitan dengan infeksi
telinga.
 Peraba
Rasa sakit neuropatik adalah rasa sakit kronis berat tanpa adanya stimulus penyebab
kesakitan tersebut. Biasanya berkembang pasca kecelakaan, luka-luka sudah sembuh dan
tampaknya sudah tidak ada lagi alasan untuk merasa sakit, tetapi pasien mengalami rasa sakit
yang sangat menyiksa.
Rasa sakit Neuropatik belum diketahui penyebabnya, tetapi tampaknya disebabkan oleh
perubahan patologis dalam sistem syaraf yang entah bagaimana terinduksi oleh cidera aslinya.
Sumbernya biasanya adalah akitifitas dalam sistem syafaf pusat.
 Perasa
Tiap kuncup pengecap tersusun dari sel-sel yang memiliki rambut berukuran mikro yang
sensitif, disebut mikrovilli. Rambut-rambut super mini ini pada saat berkontak dengan makanan
akan mengirimkan pesan ke otak, lalu otak akan menerjemahkan sinyal yang diberikan tersebut
dan menentukan rasa dari makanan yang kita makan.
Ada beberapa hal yang dapat membuat reseptor kuncup pengecap menjadi kurang
sensitif. Bila kita mengemut es batu sebelum makan, dinginnya es dapat membuat kuncup
pengecap menjadi kurang sensitif. Begitu juga kalau lidah kita terkena makanan yang terlalu
panas, dapat menyebabkan ‘tongue burning’ dan biasanya baru akan pulih dalam 1-2 hari. Lidah
yang kebersihannya tidak terjaga juga dapat menyebabkan kesensitifan lidah berkurang, karena
banyaknya plak yang terkumpul di permukaan lidah. Selain itu, produksi air liur yang berkurang
dan menyebabkan keadaan mulut kering (xerostomia) juga membuat lidah tidak bekerja
maksimal.
 Penciuman
Secara anatomi, hidung adalah penonjolan pada vertebrata yang mengandung nostril,
yang menyaring udara untuk pernapasan. Hidung sebagai suatu istilah, dapat juga digunakan
untuk menunjukkan ujung sesuatu, seperti hidung pada pesawat terbang. Hidung adalah bagian
yang paling menonjol di wajah, yang berfungsi menghirup udara pernapasan, menyaring udara,
menghangatkan udara pernapasan, juga berperan dalam resonansi suara.
Hidung merupakan alat indera manusia yang menanggapi rangsang berupa bau atau zat
kimia yang berupa gas.di dalam rongga hidung terdapat serabut saraf pembau yang dilengkapi
dengan sel-sel pembau. Setiap sel pembau mempunyai rambut-rambut halus (silia olfaktori) di
ujungnya dan diliputi oleh selaput lendir yang berfungsi sebagai pelembab rongga hidung.

Proses mencium sesuatu.


Pada saat kita bernapas, zat kimia yang berupa gas ikut masuk ke dalam hidung kita. zat
kimia yang merupakan sumber bau akan dilarutkan pada selaput lendir, kemudian akan
merangsang rambut-rambut halus pada sel pembau. sel pembau akan meneruskan rangsang ini ke
otak dan akan diolah sehingga kita bisa mengetahui jenis bau dari zat kimia tersebut.
Gangguan pada hidung biasanya disebabkan oleh radang atau sakit pilek yang
menghasilkan lendir atau ingus sehingga menghalangi bau mencapai ujung saraf pembau.
Gangguan lain juga bisa disebabkan oleh adanya kotoran pada hidung dan bulu hidung yang
terlalu banyak. Kita harus selalu membersihkan hidung dari kotoran dan merapikan bulu-bulunya
supaya penciuman kita tidak terganggu.
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Sensori

1. Usia
 Bayi tidak mampu membedakan stimulus sensori. Jalur sarafnya masih belum matang.
 Pengelihatan berubah selama usia dewasa mencakup presbiopia (ketidak mampuan
memfokuskan pada objek dekat) dan kebutuhan kaca mata baca (biasanya terjadi dari
usia 40-50)
 Pendengaran berubah, yang dimulai pada usia 30, yang termasuk penurunan ketajaman
pendengaran, kejelasan bicara, perbedaan pola tinggi suara, dan ambang pendengaran.
Tinitus sering kali menyertai hilangnya pendengaran sebagai efek samping obat. Lansia
mendengar suara pola rendah dengan baik tetapi mempunyai kesulitan mendengar
percakapan dengan latar belakang yg berisik.
 Lansia memiliki kesulitan membedakan konsonal (F,S,TH, CH). Suara bicara bergetar,
dan terdapat perpanjangan persepsi dan reaksi bicra.
 Perubahan gustatori dan olfaktori mencakup penurunan dalam jumlah ujung saraf
pengecap dalam tahun terakhir dan penurunan serabut saraf olfaktori pd usia 50.
Penurunan diskriminasi rasa dan sensifitas terhadapbau adalah umum.
 Proprioseptif berubah setelah usia 60 termasuk kesulitan dengan keseimbangan, orientasi
mengenal tempat, dan koordinasi
 Lansia mengalami perubahan laktil, termasuk perubahan sensitivitas terhadapnyeri,
tekanan, dan suhu
2. Medikasi
Beberapa anti biotika (misalnya : streptomosin dan gentamisin) adalah ototoksik
dan secara permanen dapat merusak saraf pendengaran ; kloramfenikol dapat mengiritasi
saraf optik. Obat-obat analgesic narkotik, sedative, dan anti depresan dapat mengubah
persepsi stimulus.
3. Lingkungan
Stimulus lingkungan yang berlebihan (misalnya : peralatan yang bisik dan
percakapan staf didalam unit perawatan intensif ) dapat menghasilkan beban sensori
yanga berlebihan, ditandai dengan kebingungan, disorientasi, dan ketidak mampuan
membuat keputusan. Stimulus lingkungan yang terbatas (misalnya : dengan isolasi) dapat
mengarah kepada deprivasi sensori. Kualitas lingkungan yang buruk (misalnya
penerangan yang buruk, lorong yang sempit, latar belakang yang bising ) dapat
memperburuk kerusakan sensori.
4. Tingkat kenyamanan
Nyeri dan kelelahan mengubah cara seseorang berpersepsi dan bereaksi terhadap
stimulus.
5. Penyakit yang ada sebelumnya
Penyakit vascular perifer dapat menyebabkan penurunan sensasi pada ektremitas
dan kerusakan kognisi. Diabetes kronik dapat mengarah pada penurunan pengelihatan,
kebutaan atau neuropati perifer. Stroke sering menimbulkan kehilangan kemampuan
bicara. Beberapa kerusakn neurologi dapat merusak fungsi motorik dan penerimaan
sensori.
6. Merokok
Pengunaan tembakau yang kronik dapat menyebabkan atropi ujung-ujung saraf
pengecap, mengurang persepsi rasa.
7. Tingkat kebisingan
Pemaparan yang konstan pada tingkat kebisinagn yang tinggi (misalnya pada
lokasi pekerjaan konstruksi) dapat menyebabkan kehilangan pendengaran.
8. Intubasi endotrakea
Kehilangan kemampuan bicara sementara akibat pemasukan selang endotrakea
melalui mulut atau hidung kedalam trakea. (Perry&Potter, 2005)
E. Cara Berkomunikasi dengan Klien Gangguan Sensoris

Cara berkomunikasi dengan klien gangguan sensoris adalah dengan dasar – dasar
komunikasi terapeutik secara umum.

1. Pada klien dengan gangguan sensoris pendengaran


Pada klien dengan gangguan pendengaran, media komunikasi yang paling sering
digunakan ialah media visual. Klien menangkap pesan bukan dari suara yang dikeluarkan
orang lain, tetapi dengan mempelajari gerak bibir lawan bicaranya. Kondisi visual menjadi
sangat penting bagi klien ini sehingga dalam melakukan komunikasi, upayakan supaya sikap
dan gerakan anda dapat ditangkap oleh indra visualnya. Berikut adalah tehnik-tehnik
komunikasi yang dapat digunakan klien dengan gangguan pendengaran :
a. Orientasikan kehadiran anda dengan cara menyentuh klien atau memposisikan diri di
depan klien
b. Gunakan bahasa yang sederhana dan bicaralah dengan perlahan untuk memudahkan klien
membaca gerak bibir Anda.
c. Usahakan berbicara dengan posisi tepat didepan klien dan pertahankan sikap tubuh dan
mimik wajah yang lazim.
d. Jangan melakukan pembicaraan ketika anda sedang mengunyah sesuatu (permen karet).
e. Bila mungkin gunakan bahasa pantomim dengan gerakan sederhana dan wajar.
f. Gunakan bahasa isyarat atau bahasa jari bila anda bisa dan diperlukan.
g. Apabila ada sesuatu yang sulit untuk dikomunikasikan, cobalah sampaikan pesan dalam
bentuk tulisan atau gambar (simbol).

2. Klien dengan gangguan penglihatan


Gangguan penglihatan dapat terjadi baik karena kerusakan organ, misal., kornea, lensa
mata, kekeruhan humor viterius, maupun kerusakan kornea, serta kerusakan saraf penghantar
impuls menuju otak. Kerusakan di tingkat persepsi antara lain dialami klien dengan kerusakan
otak. Semua ini mengakibatkan penurunan visusu hingga dapat menyebabkan kebutaan, baik
parsial maupun total. Akibat kerusakan visual, kemampuan menagkap rangsang ketika
berkomunikasi sangat bergantung pada pendengaran dan sentuhan. Oleh karena itu,
komunikasi yang dilakukan harus mengoptimalkan fungsi pendengaran dan sentuhan karena
fungsi penglihatan sedapat mungkin harus digantikan oleh informasi yang dapat ditransfer
melalui indra yang lain. Berikut adalah tehnik-tehnik yang diperhatikan selama
berkomunikasi dengan klien yang mengalami gangguan penglihatan :
a. Sedapat mungkin ambil posisi yang dapat dilihat klien bila ia mengalami kebutaan parsial
atau sampaikan secara verbal keberadaan / kehadiran perawat ketika anda berada
didekatnya.
b. Identifikasi diri anda dengan menyebutkan nama (dan peran) Anda.
c. Berbicara menggunakan nada suara normal karena kondisi klien tidak memungkinkanya
menerima pesan verbal secara visual. Nada suara anda memegang peranan besar dan
bermakna bagi klien.
d. Terangkan alasan anda menyentuh atau mengucapkan kata – kata sebelum melakukan
sentuhan pada klien.
e. Informasikan kepada klien ketika anda akan meninggalkanya / memutus komunikasi.
f. Orientasikan klien dengan suara – suara yang terdengar disekitarnya.
g. Orientasikan klien pada lingkunganya bila klien dipindah ke lingkungan / ruangan yang
baru.

3. Klien dengan gangguan wicara


Berkomunikasi dengan klien dengan gangguan wicara memerlukan kesabaran supaya
pesan dapat dikirim dan ditangkap dengan benar. Klien yang mengalami gangguan wicara
umumnya telah belajar berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat atau
menggunakan tulisan dan gambar. Pada saat berkomunikasi dengan klien dengan gangguan
wicara, hal-hal berikut perlu diperhatikan :
a. Perhatikan mimik dan gerak bibir klien
b. Memperjelas kata – kata yang diucapkan kien dengan mengulang kembali.
c. Batasi topik pembicaraan.
d. Suasana rilek dan pelan.
e. Bila perlu gunakan bahasa tulisan / Simbol.
4. Klien gangguan kematangan kognitif
Berbagai kondisi dapat mengakibatkan gangguan kematangan kognitif, antara lain akibat
penyakit : retardasi mental, sindrom down ataupun situasi sosial, misal., pendidikan yang
rendah, kebudayaan primitif, dan sebagainya. Dalam berkomunikasi dengan klien yang
mengalami gangguan kematangan, sebaiknya anda memperhatikan prinsip komunikasi bahwa
komunikasi dilakukan dengan pendekatan komunikasi efektif, yaitu mengikuti kaidah sesuai
kemampuan audiens ( capability of audience ) sehingga komunikasi dapat berlangsung lebih
efektif. Teknik-teknik komunikasi dengan klien yang mengalami gangguan kognitif :
a. Bicara dengan tema yang jelas dan terbatas
b. Hindari penggunaan istilah, Gunakan kata pengganti yang mudah dimengerti, seperti
gambar, simbol.
c. Nada bicara yang relatif datar dan pelan
d. Bia perlu lakukan pengulangan, tanyakan kembali pesan untuk memastikan maksud pesan
sudah diterima.
e. Hati – hati dalam komunikasi non verbal, dapat menimbulkan interpretasi yang beda pada
klien.

5. Klien tidak sadar


Ketidaksadaran mengakibatkan fungsi sensorik dan motorik klien mengalami penurunan
sehingga sering kali stimulus dari luar tidak dapat diterima klien dan klien tidak dapat
merespons kembali stimulus tersebut.
Keadaan tidak sadar dapat terjadi akibat gangguan organik pada otak, trauma otak yang
berat, syok, pingsan, kondisi tidur dan narkose, ataupun gangguan berat yang terkait dengan
penyakit tertentu. Sering kali timbul pernyataan tentang perlu tidaknya perawat
berkomunikasi dengan klien yang mengalami gangguan kesadaran diri ini. Bagaimanapun,
secara etika penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan mengharuskan penerapan
komunikasi pada klien dengan gangguan kesadaran. Pada saat berkomunikasi dengan klien
dengan gangguan kesadaran, hal-hal berikut perlu diperhatikan :
a. Berhati –hati ketika menggunakan pembicaraan verbal dekat kien,ada pendapat bahwa
organ pendengaran adalah organ terakhir yang mengalami penurunan penerimaan rangsang
individu yang tidak sadar. Klien dapat mendengar suara dari lingkunganya walaupun ia
tidak bisa meresponya.
b. Ucapkan kalimat dengan nada normal dan memperhatikan materi ucapan yang kita
sampaikan didekat klien.
c. Ucapkan kata- kata sebelum menyentuh klien, Sentuhan merupakan komunikasi yang
efektif pada klien gangguan kesadaran.

6. Klien Halusinasi
Klien yang mengalami halusinasi sukar untuk mengontrol diri dan sukar untuk
berhubungan dengan orang lain. Untuk itu perawat harus mempunyai kesadran yang tinggi
agar dapat mengenal, menerima, dan mengevaluasi perasaan sendiri sehingga dapat
menggunakan dirinya secara teraupetik. Dalam berkomunikasi dengan klien yang mengalami
halusinasi perawat harus bersikap jujur, empati, terbuka dan selalu memberi penghargaan
namun tidak boleh tenggelam juga menyangkal halusinasi yang klien alami.
Berikut tehnik komunikasi dengan klien yang mengalami gangguan halusinasi :
a. Salam, Sapa klien dengan ramah, panggil nama klien, jujur / tepat janji, empati dan
menghargai. ( BHSP).
b. Diskusikan hasil observasi klien, tanpa menyangkal, menyokong hallusinasinya (Validasi
persepsi sensoris klien)
c. Hadirkan realita, kontak yang singkat dan sering, topik yang singkat (Menghadirkan
realitas)
d. Terima hallusinasi kien dengan “Saya percaya anda mendengar suara itu, saya sendiri tidak
mendengar“, Dorong untuk mengungkapkan perasaan dengan tenang, perawat hangat,
empati dan kalem.(Menurunkan anxietas klien)
e. Hati – hati, Space (melindungi klien dan orang lain dari bahaya)
Kasus Perubahan Persepsi, Sensori, dan Kognitif

 Sensory Deficit 1

Ny. C (65 tahun) dirawat di ruang perawatan khusus lansia dengan diagnosis
medis hipertensi. Ny. C telah mengalami penurunan pendengaran sehingga keluarga
maupun petugas kesehatan agak kesulitan berkomunikasi. Klien masih mampu membaca
tulisan yang cukup besar.

Analisis Kasus

Keterkaitan kasus yang dialami klien dengan kebutuhan aman nyaman :

Ny. C mengalami hipertensi dengan gangguan pendengaran. Hal tersebut dapat


mengganggu keamanan serta kenyamanan Ny. C dalam aktivitasnya.

1. Ny. C mengalami hipertensi yang dapat menyebabkan sakit kepala sewaktu –


waktu. Hal tersebut mengganggu keamanan dan kenyamanan Ny.C, karena saat
sakit kepala Ny. C beresiko jatuh.
2. Ny. C mengalami gangguan pendengaran. Hal tersebut menyebabkan Ny. C sulit
untuk menerima pesan dari orang lain.

Gangguan- gangguan lain yang dialami :

a. Gangguan Persepsi
Ny. C mengalami penurunan kemampuan mendengar akan mempengaruhi informasi
yang diterima sehingga kemampuan untuk mengartikan informasi yang didapat tersebut
mungkin saja terjadi kesalahan. Akibatnya reaksi atau respon yang diberikan nanti tidak
sesuai dengan yang diinginkan.
b. Gangguan Sensori
Ny. C mengalami penurunan pendengaran sehingga kemampuan untuk menerima
informasi terganggu. Kemampuan menerima informasi yang terganggu tersebut dapat
mempengaruhi respon ataupun reaksi yang akan diberikan. Selain itu penurunan
kemampuan mendengar juga dapat berpengaruh terhadap interaksi dengan orang lain.
c. Gangguan Kognitif
Ny. C mengalami penurunan pendengarannya, sehingga komunikasinya terganggu. Hal
tersebut menimbulkan interaksi dengan orang lain akan terganggu dan akan
menyebabkan ketidakyakinan apa yangditerima akan mempengaruhi reaksi atau respon.

Data Masalah Etiologi

Do : Hambatan Komunikasi Gangguan fisiologi (penurunan


Verbal [00051] sirkulasi ke otak)
1. Penurunan penglihatan
(defisit penglihatan
parsial)

2. Penurunan pendengaran
(kesulitan memahami
komunikasi)

Diagnosa keperawatan Noc Nic

Hambatan komunikasi Komunikasi Peningkatan Komunikasi :


verbal berkaitan dengan Penerimaan[0904] Kurang Pendengaran [ 4974] :
gangguan fisiologi yaitu
Hambatan komunikasi 1. Sederhanakan bahasa,
penurunan sirkulasi ke
verbal menurun dengan dengan cara yang tepat.
otak.
kriteria hasil : 2. Gunakan suara yang
rendah dan lebih dalam
Setelah dilakukan
ketika berbicara.
tindakan keperawatan
3. Fasilitas penggunaan
selama 3x 24 jam,
perangkat dan alat bantu
diharapkan :
pendengaran.

1. Klien dapat 4. Lepaskan dan masukkan

menginterpretasi alat bantu dengar dengan

bahasa tertulis dari benar.


level 1 ke level 2. 5. Periksa baterai alat bantu
2. Klien dapat dengar secara rutin,
menginterpretasi diganti ketika
bahasa isyaratdari diperlukan.
level 1 ke level 3. 6. Dapatkan perhatian
3. Klien dapat pasien sebelum
menginterpretasi berbicara (yaitu
bahasa non verbal mendapatkan perhatian
dari level 1 ke melalui sentuhan).
level 3. 7. Hindari lingkungan yang
4. Klien dapat berisik saat komunikasi.
mengenali pesan 8. Hindari berkomunikasi
yang diterima dari lebih dari 2-3 kaki
level 1 ke level 3. jauhnya dari pasien.
9. Tahan diri untuk
berteriak pada pasien.
10. Fasilitas pembacaan
bibir dengan menghadap
pasien langsung dengan
pencahayaan yang baik.
11. Hadapi pasien secara
langsung, bangun kontak
mata dan hindari di
tengah kalimat.
Pathway Kasus Sensory Deficit 1

Umur Jenis Kelamin Gaya Hidup Obesitas

Elastisitas turun, arterosklerosis

Hipertensi

Kerusakan Vaskuler Pembuluh Darah

Perubahan Struktur

Penyumbatan Pembuluh Darah

Vasokontriksi

Gangguan Sirkulasi

Otak Ginjal Pembuluh Darah Retina

Resistensi Suplai O2
Pembuluh otak Vasokontr Sistemik Koroner
Darah Otak iksi Spasme
turun
Naik Pembuluh Arteriole
Darah Vasokontriksi Iskemi miocard
Sinkop Ginjal
Nyeri Kepala Nyeri Dada Diplopia
Gangguan Afterload
dan
Perfus Blood meningkat
gangguan
Jantung Flow
susah tidur
Menurun Resti
Penurunan Fatique
Injuri
curah
Respon RAA jantung

Rangsang
Aldostero Intoleransi
n Aktivitas

Retensi Na

Edema
 Sensory Deficit 2
Tn. S (57 Tahun) mempunyai riwayat Disbetes Mellitus tipe II sejak 20 tahun
yang lalu dan sering dirawat di RS Karena penyakitnya. Pasien mengalami penurunan
fungsi penglihatan dan pendengaran sejak 3 tahun yang lalu. Tn. S mengaku telapak dan
jari-jari kaki terasa baal dan kesemutan sehingga kakinya sering terluka dan sulit sembuh.

Analisis Kasus
Diabetes mellitus merupakan penyakit kelainan metabolik glukosa (molekul gula
paling sederhana yang merupakan hasil pemecahan karbohidrat) , akibat defisiensi atau
penurunan efektivitas insulin. Insulin merupakan hormone yang berperan dalam
metabolisme glukosa dan disekresikan oleh sel p pada pancreas. Kurangnya sekresi
insulinmenyebabkan kadar glukosa darah meningkat dan melebihi batas normal jumlah
glukosa yang seharusnya ada dalam darah. Kelebihan glukosa tersebut akan dibuang
melalui urine gejala penyakit diabetes mellitus
Tingginya kadar glukosa dapat merusak saraf, pembuluh darah, dan arteri yang
menuju ke jantung, pembuluh darah, dan arteri yang menuju ke jantung. Kondisi tersebut
menyebabkan diabetes mellitus dapat meningkatkan resiko serangan jantung, stroke,
gagal ginjal, penyakit pembuluh darah perifer, serta penyakit komplikasi lain. Dalam
kasus yang parah, diabetes mellitus dapat meyebabkan kebutaan bahkan kematian.
Gangguan metabolic glukosa pada kasus diabetes mellitus akan mempengaruhi
metabolisme tubuh yang lain seperti metabolisme karbo, lemak, protein, dan air.
Gangguan metabolisme tersebut pada akhirnya menimbulkan kerusakan seluler pada
beberapa jaringan tubuh.

Proses pencernaan karbohidrat pada kondisi normal.


Keterangan :

Karbohidrat dicerna menjadi glukosa sehingga kadar glukosa darah meningkat. Insulin
berperan dalam menjaga kadar glukosa darah tetap normal dengan cara berikut.

1. Mentransfer glukosa darah ke dalam sel – sele yang membutuhkan. Glukosa darah tidak
dapat digunakan secara langsung menjadi energi, tetapi harus di transfer terlebih dahulu
ke dalam sel. Di dalam sel, glukosa dapat diubah menjadi energi melalui preses oksidasi
(respirasi)
2. Jika tidak segera diubah menjadi energi, glukosa darah akan diubah menjadi glikogen dan
lemak untuk disimpan sebagai energi cadangan.

Proses pencernaan karbohidrat pada kondisi terkena diabetes melitus

Keterangan :

Asupan karbohidrat dalam tubuh dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Defisiensi
insulin menyebabkan hal – hal berikut :

1. Gangguan saat glukosa darah ditransfer ke dalam sel sehingga walaupun kadarnya
berlimpah dalam darah, glukosa darah tidak dapat diubah menjadi energi.
2. Gangguan saat glukosa diubah menjadi glikogen dan lemak.
Glukosa yang tidak dapat diubah menjadi energi dan glikogen beserta lemak,
menyebabkan kadar glukosa darah tetap tinggi. Kondisi ini menyebabkan glukosa akan
dibuang melalui ginjal kedalam urin sehingga urin mengandungglukosa (glikosuria). Hal
ini merupakan salah satu gejala diabetes melitus.

Komplikasi akibat Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus kronis dapat merusak sejumlah jaringan tubuh yang berdampak pada
timbulnya penyakit komplikasi. Beberapa penyakit komplikasi tersebut adalah

1. Gangguan pada mata


 Lensa kabur
Bentuk lensa terkadang berubah seperti yang biasa terjadi pada usia lanjut.
Konsentrasi glukosa tinggi menyebabkan / dapat mengubah bentuk lensa
 Katarak
Kekaburan pada lensa mata, sering dialami oleh penderita diabetes. Untuk
memulihkannya, idperlukan operasi kecil
 Diabetic retinophaty
Diabetes menyebabkan kelainan pada retina. Pada kasus ini terbentuk gelembung-
gelembung pada pembuluh darah (mikroaneurisma) yang disebabkan oleh
terjadinya pendarahan kecil pada pembuluh darah (hemoragi). Dalam keadaan
parah dapat menyebabkan kebutaan.
 Glaukoma
Pengeluaran cairan dari mata terganggu dan timbul tekanan dalam bola mata yang
dapat menyebabkan pembuluh darah kecil yang mensuplai makanan ke saraf optic
rusak dan menyebabkan terganggunya penglihatan.
2. Gangguan pendengaran

Penderita sering mengeluh telinganya berdenging. Jika tidak segera diatasi,


penderita dapat tuli sebelah atau keduanya.
3. Gangguan pada kaki

Penderita beresiko tinggi infeksi dan luka pada kaki. Luka kecil yang terjadi dapat
menjadi luka besar bahkan gangrene (pembusukan akibat luka) jika tidak segera diobati.
Kemampuan penderita diabetes untuk merasakan rasa sakit, panas atau dingin menjadi
berkurang.

Keterkaitan kasus yang dialami klien dengan kebutuhan aman nyaman :

Tn. S menderita diabetes melitus tipe 2, dan mengalami penurunan pendengaran serta
penglihatan. Kakinya juga terasa baal dan kesemutan, serta sering terluka dan sulit untuk
sembuh. Hal tersebut pastinya mengganggu keamanan dan kenyamanan Tn. S dalam
aktivitasnya.

1. Tn. S mengalami diabetes melitus sudah sejak 20 tahun yang lalu , hal tersebut
dapat mengakibatkan Tn. S merasa terisolasi dengan lingkungan luar diakibatkan
beliau lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit.
2. Sudah 20 tahun mengalami diabetes melitus , Tn. S berkemungkinan merasa
putusasa karena penyakitnya tidak segera sembuh , malah semakin memburuk 3
tahun ini.
3. Tn. S mengalami penurunan pendengaran dan penglihatan, hal tersebut dapat
membahayakan dan menyulit Tn. S, karena dengan penurunan penglihatan
tersebut Tn. S dapat jatuh sewaktu – waktu. Selain itu karena pendengarannya
juga menurun dapan menyebabkan Tn. S kesulitan untuk berkomunikasi.

Data Fokus Masalah Etiologi


Ds : Ketidakefektifan perfusi Diabetes Melitus.
1. Pasien mengatakan jaringan perifer. (00204)
bahwa kakinya sering
terluka dan sulit
sembuh (kelambatan
penyembuhan luka
perifer).
2. Pasien mengatakan
bahwa kaki dan jari
kaki terasa baal dan
kesemutan.

Diagnosa keperawatan Noc Nic

Ketidakefektifan perfusi Manajemen Diri : Diabetes Pengecekan Kulit [3590] :


jaringan perifer [1691]
1. Monitor kulit untuk
berhubungan dengan
Ketidakefektifan perfusi adanya ruam dan
diabetes melitus.
jaringan perifer menurun lecet.
dengan kriteria hasil : 2. Periksa kulit dan
selaput lendir terkait
Setelah dilakukan tindakan
dengan adanya
keperawatan selama 3x 24 jam,
kemerahan,
diharapkan :
kehangantan ekstrim,

1. Melakukan tindakan edema , atau drainase.

pencegahan dengan 3. Monitor kulit untuk

perawatan kaki level 1 adanya kekeringan

(tidak pernah yang berlebihan dan

menunujukkan) ke level kelembapan.

3 (kadang – kadang 4. Monitor infeksi,

menunjukkan ) teruama daerah

2. Melaporkan luka yang edema.

tidak sembuh kepada


pemberi pelayanan
primer dari level 2 ke
level 3.
DAFTAR PUSTAKA

1. Potter, Perry. Fundamental Keperawatan Volume 2. Jakarta : EGC, 2006.

2. dkk, Kozier. Fundamental Keperawatan Volume 2 Edisi 7. Jakarta : EGC, 2011.

3. J.Jayaratnam. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Jakarta : EGC, 2009.

4. Ferry Efendi, Makhfudli. Keperawatan Kesehatan Komunitas : Teori dan Praktik dalam Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika, 2009.

5. Mary Baradero, Mary Wilfid Dajrit, Yakobus Suswadi. Klien Gangguan Kardiovaskuler. Jakarta : EGC,
2008.

6. Wijayakusuma, Hembing. Bebas Diabetes Melitus Ala Hembing. Jakarta : Puspa Swara, 2004. ISBN
979-3567-92-9.

6. Maryam RS, ekasari MF, dkk .2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta:
Salemba

7. Rusmarjono, Kartosoediro S. Odinofagi. 2001. Dalam : Soepardi E, Iskandar N (eds). Buku


Ajar Ilmu Kesehatan Telinga - Hidung – Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : FK UI

8. Syaifudin.2006. Anatomi Fiiologi untuk Mahasiswa Keperawatan .Jakarta : EGC

Vous aimerez peut-être aussi