Vous êtes sur la page 1sur 13

Puisi Dapur Ibu Karya Oyos Saroso H .

Kajian Semiotik Riffaterre

Nama : Putri Asmadi

NIM : 16016022

A. Pengantar
Pada puisi Dapur Ibu karya Oyos Saroso H. N ini bertemakan kekeluargaan.
Puisi tersebut ditulis di Bandarlampung pada bulan Oktober tahun 2016. Dari
pengenalan tahun tersebut, puisi ini terbilang tidak baru lagi. Namun, dari kepenulisan
dan makna larik masih layak untuk dikaji pada era sekarang ini. Sebab, tema yang
diangkat berupa kekeluargaan. Karena tema tersebut, puisi ini masih layak untuk di
telaah. Sesuai dengan judul, puisi ini mengangkat tentang kelaurga kecil dan
kerinduan seorang ibu.
Puisi ini dimuat di Media Indonesia Minggu. Puisi ini pun terpilih menjadi
salah satu dari 100 Puisi Terbaik Indonesia tahun 2008 versi Pena Kencana. Puisi
yang terpilih tersebut merupakan puisi-puisi yang dimuat di surat kabar terpilih. Puisi
ini pun dianggap mewakili pemuatan karya sastra dari seluruh Indonesia. Puisi
tersebut dikumpulkan pada periode 1 November 2006 hingga 31 Oktober 2007.
Bahkan ajang kepenulisan puisi ini di seleksi oleh Sapardi Djoko Damono, Ahmad
Tohari, dan penulis ternama lainnya.
Pada buku antologi tersebut juga terdapat puisi-puisi penulis terkenal. Salah
satunya Acep Zam Zam Noor dengan puisinya berjudul Rambut Ikal yang pernah
tampil di Tempo. Hingga A. An Mansyur pun ikut andil dan mengikuti seleksi
kepenulisan puisi tersebut. Salah satu puisinya yang terbit ialah Tiga Catatan
Terakhir. Puisi tersebut pernah terbit di Kompas pada bulan Oktober tahun 2007.
Mengenai pengarang, Beliau bernama Oyos Saroso H. N. Lahir di Banyurip,
Purworejo, Jawa Tengah pada 16 Maret 1969. Oyos merupakan seorang jurnalis
Indonesia. Pendidikan terakhir beliau di IKIP Jakarta atau UNJ saat ini. Kemudian ia
melanjutkan dengan program ekstrinsik filsafat di STF atau Sekolah Tinggi Filsafat di
Diryakarta. Selepas kuliah, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi Wartawan
Harian Lampung Post, Harian Trans Sumatera, dan Asiamad.com hingga dari tahun
2002 ia menjadi koresponden The Jakarta Post untuk wilayah Lampung dan
melakukan beberapa aktifitas lain. Selain itu, penulis ini juga aktif dalam sebuah
teater dahulunya. Di situ Oyos mulai mengasah minat terhadap sastra, khurusnya
teater. Mulai saat itu ia sering mementaskan teater dengan giat serta mengikuti
beberapa pertemuan sastra di Jakarta. Dengan banyak kesibukan tersbut, ia mulai
menyalurkannya lewat menulis sajak dan menekuninuya.
Puisi karya Oyos ini mengisahkan tentang keluarga kecil. Pada larik-larik
puisinya lebih mengisahkan tentang kenangan dengan perumpamaan rebusan ubi di
kuali. Karena hal tersebut sering mereka lakukan. Merebus ubi tersebut merupakan
sebuah kebiasaan dan menjadi kenangan hingga menjadikan hal yang dirindukan.
Pada tiap larik sangat dijelaskan tentang kerinduan dan kepiluan seorang ibu. Namun,
sang ibu tidak dapat melakukan apa-apa dan hanya merasakan pilu, serta hari-harinya
yang mulai terasa sepi. Hingga kerinduannya memuncak namun sang ibu hanya bisa
mendiam.
Pada pembahasan kali ini, kajian yang akan di telaah adalah kajian semiotik
Riffaterre. Teori ini berasal dari sesorang yang bernama Michael Riffaterre dalam
bukunya Semiotics of Poetry. Menurutnya untuk memaknai dan memahami sebuah
puisi, ada empat hal yang harus di kaji. Diantaranya yaitu Ketidaklangsungan ekspresi
yang disebabkan tiga faktor, yaitu penggantian arti, penyimpangan arti, dan
penciptaan arti.Hal yang mesti dikaji kedua ialah pembacaan heristik dan
hermeneotiknya. Hal ketiga yaitu matriks, model ,dan varian. Keempat, hubungan
intertekstual yang terdiri dari hipogram dan transformasi.
B. Teori Semiotik Riffaterre
Teori Semiotik Riffaterre berasal dari seorang yang bernama Michael
Riffaterre dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry, ia mengemukakan
bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai
sebuah puisi. Keempat hal tersebut adalah: (1) puisi adalah ekspresi tidak langsung,
menyatakan suatu hal dengan arti yang lain, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik
(retroaktif), (3) matriks, model, dan varian, dan (4) hipogram.
1. Ketidaklangsungan Ekspresi / Ekspresi tidak langsung
Ciri penting puisi menurut Michael Riffaterre adalah puisi mengekspresikan
konsep-konsep dan benda-benda secara tidak langsung. Sederhananya, puisi
mengatakan satu hal dengan maksud hal lain. Hal inilah yang membedakan puisi dari
bahasa pada umumnya. Puisi mempunyai cara khusus dalam membawakan
maknanya. Bahasa puisi bersifat semiotik sedangkan bahasa sehari-hari bersifat
mimetik.Ketidaklangsungan ekspresi puisi terjadi karena adanya pergeseran makna /
penggantian arti (displacing of meaning), perusakan makna / penyimpangan arti
(distorsing of meaning), dan penciptaan makna / penciptaan arti (creating of
meaning).
a. Pengantian Arti (displacing of meaning)
Pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih
lebih lebih metafora dan metonimi. Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan)
berarti yang lain (tidak menurut arti sesungguhnya). Penggantian arti terjadi
karena terdapat banyak majas dan gaya bahasa figuratif ( figurative language).
Dalam konsep ini sebauh kata bermakna kiasan yang bisa berarti lebih dari satu.
b. Penyimpangan Arti (distorsing of meaning)
Perusakan atau penyimpangan makna terjadi karena ambiguitas, kontradiksi,
dan non-sense (tidak ada arti). Ambiguitas dapat terjadi pada kata, frasa, kalimat,
maupun wacana yang disebabkan oleh munculnya penafsiran yang berbeda-beda
menurut konteksnya atau disebut juga bermakna banyak (ambigu). Kontradiksi
muncul karena adanya penggunaan ironi, paradoks, dan antitesis atau disebut
penyampaian secara berlawanan. Non-sense adalah kata-kata yang tidak
mempunyai arti (sesuai kamus) tetapi mempunyai makna “gaib” sesuai dengan
konteks (punya makna dalam semiotik).
c. Penciptaan Arti (creating of meaning)
Penciptaan makna berupa pemaknaan terhadap segala sesuatu yang dalam
bahasa umum dianggap tidak bermakna, misalnya “simetri, rima, atau ekuivalensi
semantik antara homolog-homolog dalam suatu stanza”. Penciptaan arti terjadi
karena pengorganisasian ruang teks, di antaranya: enjambemen, tipografi, dan
homolog.
Sedangkan menurut Riffaterre, penciptaan arti bila ruang teks (spasi teks)
berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari
hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya,
misalnya simitri,rima, enjabement, atau ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik)
di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait (homologues). Dalam puisi
sering terdapat keseimbangan (simitri) berupa persejajaran arti antara bait-bait
atau antara baris-baris dalam bait.
Enjambemen adalah peloncatan baris dalam sajak yang menyebabkan
terjadinya peralihan perhatian pada kata akhir atau kata yang “diloncatkan” ke
baris berikutnya. Pelocatan itu menimbulkan intensitas arti atau makna liris.
Tipografi adalah tata huruf. Tata huruf dalam teks biasa tidak mengandung arti
tetapi dalam sajak akan menimbulkan arti. Sedangkan homolog adalah
persejajaran bentuk atau baris. Bentuk yang sejajar itu akan menimbulkan makna
yang sama.
Homologues (persamaan posisi)
Di antara ketiga ketidaklangsungan tersebut, ada satu faktor yang senantiasa
ada, yaitu semuanya tidak dapat begitu saja dianggap sebagai representasi realitas.
Representasi realitas hanya dapat diubah secara jelas dan tegas dalam suatu cara
yang bertentangan dengan kemungkinan atau konteks yang diharapkan pembaca
atau bisa dibelokkan tata bahasa atau leksikon yang menyimpang, yang disebut
ketidakgramatikalan (ungrammaticality).
Dalam ruang lingkup sempit, ketidakgramatikalan berkaitan dengan bahasa
yang dipakai di dalam karya sastra, misalnya pemakaian majas. Sebaliknya, dalam
ruang lingkup luas, ketidakgramatikalan berkaitan dengan segala sesuatu yang
“aneh” yang terdapat di dalam karya sastra, misalnya struktur naratif yang tidak
kronologis.
2. Pembacaan Heuristik dan Hermeneotik
a. Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik adalah pembacaan sajak sesuai dengan tata bahasa
normatif, morfologi, sintaksis, dan semantik. Pembacaan heuristik ini
menghasilkan arti secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif dengan sistem
semiotik tingkat pertama (membaca mengartikan apa adanya).
b. Pembacaan Hermeneotik (Retroaktif)
Pembacaan Hermeneotik adalah proses interpretasi tahap kedua, interpretasi
yang sesungguhnya. Pembaca berusaha melihat kembali dan melakukan
perbandingan berkaitan dengan yang telah dibaca pada proses pembacaan tahap
pertama. Pembaca berada di dalam sebuah efek dekoding. Artinya pembaca mulai
dapat memahami bahwa segala sesuatu yang pada awalnya, pada pembacaan
tahap pertama, terlihat sebagai ketidakgramatikalan, ternyata merupakan fakta-
fakta yang berhubungan.
Riffaterre dalam Faruk (2012:141) membedakan konsep makna dan arti.
Makna yang terbangun dari hubungan kesamaan dengan realitas, yang
membuatnya menjadi heterogen, yakni makna linguistik yang bersifat referensial
dari karya disebut meaning, yang dapat diterjemahkan sebagai “makna”,
sedangkan makna yang terbangun atas dasar prinsip kesatuan formal dan semantik
dari puisi, makna yang meliputi segala bentuk ketidaklangsungan, disebut sebagai
significance yang dapat diterjemahkan sebagai “arti” (Faruk, 2012:142).

Dapat dipahami bahwa “makna” (meaning) adalah semua informasi dalam


tataran mimetik yang disajikan teks kepada pembaca, sedangkan “arti”
(significance) adalah kesatuan antara aspek bentuk dan semantik. Secara
sederhana, dapat dinyatakan bahwa makna sepenuhnya bersifat referensial sesuai
dengan bahasa dan bersifat tekstual, sedangkan arti bisa saja “keluar” dari
referensi kebahasaan dan mengacu kepada hal-hal di luar teks.

Pada tataran pembacaan heuristik pembaca hanya mendapatkan “makna”


sebuah teks, sedangkan “arti” diperoleh ketika pembaca telah melampaui
pembacaan retroaktif atau hermeneutik.

3. Matriks, Model, dan Varian


Dalam menganalisis karya sastra (puisi) matriks diabstraksikan berupa satu
kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat sederhana. Matriks, model, dan
varian-varian dikenali pada pembacaan tahap kedua.
Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai
aktualisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak
pernah muncul di dalam teks. Matriks selalu diaktualisasikan dalam varian-varian.
Bentuk varian-varian tersebut diatur aktualisasi primer atau pertama, yang disebut
sebagai model. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang
sama.
4. Hubungan Intertekstual (Hipogram)

Sebuah karya tidak lahir dari kekosongan, tetapi sebuah karya sastra memiliki
hubungan dengan karya-karya atau teks sebelumnya. Untuk memberikan apresiasi
atau pemaknaan yang penuh pada karya sastra, maka sebaiknya karya sastra tersebut
disejajarkan dengan karya sastra lain yang menjadi hipogram atau latar belakang
penciptaannya.

Pada dasarnya, sebuah karya sastra merupakan respon terhadap karya sastra
yang lain. Respon itu dapat berupa perlawanan atau penerusan tradisi dari karya sastra
sebelumnya. Hipogram merupakan latar penciptaan karya sastra yang dapat berupa
keadaan masyarakat, peristiwa dalam sejarah, atau alam dan kehidupan yang dialami
sastrawan. Menurut Riffaterre, “arti” itu dapat ditemukan melalui berbagai bentuk
objektivitasnya yang berupa teks. Namun, teks yang menjadi matriks atau hipogram
itu sendiri baru bisa ditemukan setelah menemukan “makna” kebahasaan dari puisi
yang bersangkutan.

C. Analisis Puisi Dapur Ibu Karya Oyos Saroso H. N dengan Reori Semiotik Riffaterre
1. Ketidaklangsungan Ekspresi
Ketidaklangsungan ekspresi disebabkan oleh tiga faktor yaitu:
a. Penggantian Arti (displacing of meaning)
Pada Puisi Dapur Ibu karya Oyos Saroso H. N. terdapat beberapa majasa dan
gaya bahasa yang berarti pada konsepnya sebuah kata bermakna kiasan dan tidak
menurut arti sesungguhnya, yaitu
1) Pada bait kedua terdapat larik yaitu, “ibu merebus kenangan seperti nenek
merebus ubi dengan kuali” dari kalimat tersebut terdapat majas asosiasi
yang berarti membandingkan satu dengan yang lain karena sifatnya atau
membandingkan dua hal yang berbeda tapi dianggap sama.
2) Pada bait ke-empat terdapat larik “seperti biji randu tertiup angin” dari situ
terdapat majas perbandingan sebab menggunakan kata seperti. Oleh karena
itu, majas bisa disebut majas asosiasi
3) Di bait ke-tujuh terdapat larik yang bertuliskan “rebuslah aku,” kata
kenangan. Pada larik tersebut terdapat majas personifikasi yang berarti
membandingkan benda-benda mati seolah-olah memiliki sifat manusia.
Majas ini membuat benda mati solah-olah seperti dilakukan makhluk
hidup
4) Bait ke-delapan terdapat larik yang bertuliskan “ibu menggeleng di muka
tungku. kenangan pun” kata pun disini dapat merujuk pada kata
sebelumnya yaitu menggeleng. Maka dapat diartikan bahwa tungku ikut
menggeleng. Dari larik tersebut terdapat majas personifikasi yang berarti
membandingkan benda-benda mati seolah-olah memiliki sifat manusia.
Majas tersebut membuat benda mati solah-olah hidup.
5) Bait empat larik tiga dan empat menuliskan “sepiring untuk si sulung,
sepiring untuk tengah, sepiring lagi buat si bungsu” Dari larik tersebut
terdapat pengulangan kata sepiring yang berarti terdapat majas repetisi.
Majas repetisi sendiri berarti pengulangan kata dalam beberapa frasa
dengan tujuan menegaskan suatu maksud.

b. Penyimpangan Arti (distorsing of meaning)


Penyimpangan arti pada puisi Dapur Ibu pun disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu ambiguitas yang berarti bermakna banyak atau banyak penafsiran.
Kontradiksi yang berarti menyampaikan secara berlawanan. Pada kontradiksi
terdapat pula paradoks yang berarti hal yang tidak mungkin dimungkinkan, ironi
berupa sindiran dan antitesis pilihan dua kata yang bertentangan. Hal terakhir
dalam penyimpangan arti yaitu nonsence yang memiliki maksud kata-kata yang
tidak memiliki makna secara leksikal tapi punya makna dalam semiotik seperti
berupa hal hal gaib. Pada puisi Dapur Ibu tersebut terdapat beberapa diantaranya,
yaitu :
1) Pada larik pertama baik pertama merupakan kontradiksi sebab pada
teksnya berupa “adakah yang kau tahu tentang rembulan?” yang berarti
menyampaikan secara berlawanan karena tak mungkin semua orang tak
tahu tentang rembulan.
2) Pada larik kedua baris kedua terdapat larik yang bertuliskan “ seperti
nenek merebus ubi dengan kuali” Dari kalimat tersebut dapat diketahui
bahwa biasanya ubi di rebus dengan panci bukan kuali. Karena itu, larik
ini termasuk kontradiksi sebabpenyampaian dilakukan secara berlawanan.
3) Pada larik kedua bait kedua terdapat larik bertuliskan “ibu merebus
kenangan” yang kurang dijelaskan maknanya, oleh sebab itu dapat
dikatakan bahwa larik tersebut terdapat unsur ambiguitas.
4) Pada bait tiga larik dua hingga empat, hanya menjelaskan tentang porsi
piring makan yang tak jelas maksudnya. Dapat dikatakan larik tersebut
hanyalah memperjelas sebelumnya. Maka dapat dikatakan bahwa larik
tersebut memiliki unsur ambiguitas.
5) Pada larik empat terdapat tulisan “dengan pasangan,beranak pinak
sebanyak yang mereka ingin” dari penulisan tersebut terdapat kata kata
yang masih belum jelas maknanya. Oleh sebab itu dapat dikatakan larik
tersebut berisi ambiguitas.
6) Pada bait lima larik pertama berisi “tapi ibu, si bungsu itu, tetap berada di
dapur” Dari penulisannya dapat dikatakan hal itu bertentangan dengan
keinginan mereka sehingga dapat dikatakan bahwa larik tersebut memiliki
unsur kontradiksi
7) Pada bait lima bait dua terdapat kata ritus. Bila ditelaah artinya, berarti tata
cara dalam upacara keagamaan yang masuk dalam katagori nonsene.
8) Pada bait enam baris dua terdapat teks “tiap pagi. juga menjelang bulan
terang” dari penulisan satu larik tersebut dapat kita ketahui adanya
ambiguitas dalam larik tersebut. Sebab kurang diketahui maksud dan
tujuannya bila tak mengikuti teks pada bahagian sebelumnya.
9) Pada bait ketujuh terdapat satu larik saja yang kurang difahami
maksudnya, sehingga dapat termasuk ambiguitas
c. Penciptaan Arti (creating of meaning)
Penciptaan arti muncul karena adanya tipografi, dan tipografi menciptakan
makna puisi serta enjabemen atau pemutusan larik dan homolog. Pada puisi
Dapur ibu ini seluruh awal lariknya menggunakan huruf kecil dari awal hingga
akhir. Pada beberapa larik terdapat beberapa titik sebagai pemisah tulisan. Ada
pula beberapa penggunaan titik dua sebagai penjelas dari bahagian sebelumnya.
Contohnya pada bait lima larik dua yang dituliskan “dengan ritus sama: dapur,
sumur, kasur”
Pada puisi ini pemenggalan larik juga banyak dilakukan, padahal belum
sampai pada maksud penulisan itu sendiri. Sehingga bila di baca per larik akan
terasa pematahan atau meputusan larik tersebut. Pada jenis kepenulisannya dapat
dikatakan sedikit longgar sebab tidak terpenuhi kata-kata dan masih berjarak.
Tipografi pada puisi ini lurus, sehingga menjelaskan bahwa puisi ini memiliki
perwujudan yang lurus saja.

2. Pembacaan Heuristik dan Hermeneotik


a. Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik merupakan pembacaan berdasarkan bahasa secara
linguistik. Pada puisi Dapur Ibu pembacaan heuristik berupa :
apakah yang engkau tahu tentang rembulan ? di malam yang terang,
terkadang, ibu merebus kenangan seperti soerang nenek yang merebus ubi dengan
menggunakan kuali. Diuapkan dengan menggunakan kukusan, saat mengepul akan
dihidangkan.
“saat itu, anak-anak duduk melingkar di atas sebuah tikar pandan : sepiring
buat si ayah, sepiring lagi untuk si sulung, sepiring lagi untuk si tengah, dan sepiring
lagi buat si bungsu.
teperti biji randu yang tertiup oleh angin, mereka saling merindu dengan
pasangannya; beranak pinak sebanyak yang mereka inginkan.
tapi ibu, dan si bungsu itu, tetap berada di area dapur dengan ritus yang sama:
yaitu dari dapur, kembali lagi ke sumur, dan kemudian kasur.
setiap paceklik akan tiba, ibu selalu kembali merebus ubi setiap pagi. juga saat
menjelang bulan mulai terang
“rebuslah aku,” kata kenangan itu
ibu hanya menggeleng di muka tungku. kenangan pun begitu terus berbiak di
dapur bersama sang ibu yang terus menerus membisu.”

b. Pembacaan Hermeneotik
Pembacaan ini dilakukan dengan menafsirkan, memaknai puisi berdasarkan
konvensi sastra yang berarti makna. Dalam puisi Dapur Ibu pembacaan hermeneotik
berupa :
1) Pada bait dua larik perama dituliskan “di malam terang, terkadang, ibu
merebus kenangan” yang berarti pada malam yang semestinya gelap
seorang ibu teringat akan kenangannya yang indah diumpamakan terang
dalam kegelapan malam.
2) Pada bait lima larik perama dituliskan “tapi ibu, si bungsu itu, tetap
berada di dapur” dari penulisan tersebut bermakna bahwa yang tinggal
hanyalah si ibu dan si bungsu yang merindu.
3) Pada bait delapan larik pertama bertuliskan “ibu menggeleng di muka
tungku. kenangan pun” dari penulisan tersebut bermakna bahwa ibu pasrah
dengan keadaan tersebut.
3. Matriks, Model, dan Varian
Pada Puisi Dapur Ibu terdapat :
a. Matriks : Kepiluan, penderitaan.
b. Model : Dapur Ibu
c. Varian : Ibu merebus kenangan, di atas tikar pandan, mereka saling merindu,
setiap paceklik tiba ibu merebus ubi, “rebuslah aku” kata kenangan,
ibu menggeleng di muka tungku. kenangan pun.
4. Hubungan Intertekstual
Sebuah karya sastra lahir dari adanya hubungan dengan karya-karya, dan teks-
teks sebelumnya. Pada Puisi Dapur Ibu menggunkan Hipogram dari banyak sumber.
Sebab masalah yang di angkat ialah hal umum, yaitu tentang keluargaan apalagi ibu.
Kali ini ada beberapa hipogram dari Puisi Dapur Ibu yaitu :
a. Lagu :Ibu (tahun 1988)

Karya : Iwan Fals

ribuan kilo jalan yang kau tempuh

lewati rintang untuk aku anakmu

ibuku sayang masih terus berjalan

walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah

seperti udara kasih yang engkau berikan

tak mampu ku membalas, ibu… ibu…

ingin ku dekat dan menangis di pangkuanmu

sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu


lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku

dengan apa membalas, ibu… ibu…

ribuan kilo jalan yang kau tempuh

lewati rintang untuk aku anakmu

ibuku sayang masih terus berjalan

walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah

seperti udara kasih yang engkau berikan

tak mampu ku membalas, ibu… ibu…

b. Puisi :Cinta Ibu (tahun 2000)


Karya :K.H Mustofa Bisri

Seorang ibu mendekap anaknya yang


durhaka saat sekarat
airmatanya menetes-netes di wajah yang
gelap dan pucat
anaknya yang sejak di rahim diharap-
harapkan menjadi cahaya
setidaknya dalam dirinya
dan berkata anakku jangan risaukan dosa-
dosamu kepadaku
sebutlah nama-Nya, sebutlah nama-Nya

Dari mulut si anak yang gelepotan lumpur


dan darah
terdengar desis mirip upaya sia-sia s
ebelum semuanya terpukau
kaku.
Sesungguhnya banyak yang bisa menjadi hipogram untuk puisi ini, karena
kalangan umum begitu banyak menyinggung soal seorang ibu. Seperti lagu Bunda
oleh Potret, Puisi Ibu dari Chairil Anwar, dan lain-lain. Untuk Hipogram pertama
diambil lagu Ibu karya Iwan Fals, sebab pada puisi ini tentang kepiluan seorang ibu
dan susah payahnya ia menjalani hidup demi anak-anaknya. Pada Puisi pun dijelaskan
seorang ibu selalu memasak untuk anak anaknya. Pada hipogram kedua, puisi tersebut
di ambil sebagai hipogram sebab dijelaskan bagaimana seorang ibu tanpa pamrih
memikirkan kesalahan anaknya pada ia, namun fikirkan jalan dia. Disitu dapat terasa
pengorbanan seorang ibu tersebut.
Namun pengarang memilih dari sudut pandang yang berbeda, sehingga
tampak lebih baru dan unik. Biasanya lagu ditujuan dari anak kepada ibu, begitupun
puisi lainnya sedangkan puisi Dapur Ibu lebih menitik beratkan kepada keadaan dan
kerinduan si ibu saat mengenang masa lalunya.

D. Penutup
Setelah menelaah puisi Dapur Ibu karya Saroso H. N ini, penulis dapat
memberikan beberapa kesimpulan. Puisi Dapur Ibu ini dapat pula di dianalisis
menggunakan teori Semiotik Riffaterre. Yaitu pada ketidaklangsungan ekspresi yang
berupa penggantian arti seperti majas, personifikasi, asosiasi, repetisi dan lainnya.
Penyimpangan arti pada puisi ini juga terpadat pada ambiguitas, kontradiksi, dan
nonsence. Serta pada penciptaan arti berupa jenis tipografi beserta enjabemennya pun
dapat diketahui.
Pada puisi Dapur Ibu pun terdapat pembacaan baik secara langsung (heuristik)
dan dari segi kebermaknaan (hermeneotik). Puisi Dapur Ibu pun dapat pula
menemukan bahagian matriks,model dan varian yang berkaitan dalam puisi tersebut.
Terakhir, hubungan interteks pada puisi ini banyak di dapat. Sebab kalangan umum
begitu banyak menyinggung soal seorang ibu. Namun pengarang memilih dari sudut
pandang yang berbeda, sehingga tampak lebih baru dan unik.
DAFTAR PUSTAKA

Pradopo, Rachmat Djoko.2010. Pengkajian Puisi.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

Santoso, Bambang.2012. Mengenal Semiotika Michael Riffaterre.


https://bambangsantoso.wordpress.com/. Diakses tanggal 8 Desember 2017.

Vous aimerez peut-être aussi