Vous êtes sur la page 1sur 15

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


PTEREGIUM DENGAN EKSISI

disusun untuk memenuhi tugas program pendidikan profesi ners


Stase Keperawatan Medikal Bedah

Oleh:
Eko Setyawan, S.Kep
NIM. 092311101017

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
1. Tinjauan Kasus :
Pteregium dengan eksisi

Proses terjadinya masalah (pengertian, penyebab, patofisiologi,


tanda&gejala, kemungkinan komplikasi yang muncul, pemeriksaan khusus
dan penunjang, terapi yang dilakukan)

a. Pengertian
Pterigium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir
atau konjungtiva yang bentuknya seperti segitiga dengan puncak
berada di arah kornea. Pterigium (pterygium) adalah kelainan pada
konjungtiva bulbi, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terdapat
pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang
meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak
di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang
dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna merah.
Pterigium sering mengenai kedua mata. Timbunan atau benjolan ini
membuat penderitanya agak kurang nyaman karena biasanya akan
berkembang dan semakin membesar dan mengarah ke daerah kornea,
sehingga bisa menjadi menutup kornea dari arah nasal dan sampai ke
pupil, jika sampai menutup pupil maka penglihatan akan terganggu.
Suatu pterigium merupakan massa ocular eksternal superficial yang
mengalami elevasi yang sering kali terbentuk diatas konjungtiva
perilimbal dan akan meluas ke permukaan kornea. Pterygia ini bisa
sangat bervariasi, mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak begitu
jelas sampai yang besar sekali, dan juga jejas fibrofaskular yang
tumbuhnya sangat cepat yang bisa merusakkan topografi kornea dan
dalam kasus yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala bisa menutupi
pusat optik dari kornea.
Kondisi pterigium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih
mata, menjadi merah dan meradang. Dalam beberapa kasus,
pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau yang disebut
dry eye syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut
atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya
penglihatan si penderita.

b. Penyebab
1) Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam
perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan
mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada
pada daerah dekat equator dan pada orang–orang yang
menghabiskan banyak waktu di lapangan. UV B merupakan
mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal.
Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi
dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler,
dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi
adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi
membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.
2) Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
3) Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium
adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan
(angin, debu, polutan).
4) Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
a) Usia
Prevalensi pterigium meningkat dengan pertambahan usia
banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui
pada usia anak-anak.Usia 20-40 tahun mempunyai insiden
terjadinya pterigium lebih tinggi.
b) Pekerjaan
Pertumbuhan pterigium berhubungan dengan paparan yang
sering dengan sinar UV.
c) Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterigium adalah
distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh
dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad
terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa
memiliki angka kejadian pterigium yang lebih tinggi.
d) Jenis kelamin
Laki-laki beresiko dua kali lipat daripada perempuan.
e) Herediter
Pterigium dipengaruhi faktor herediter yang diturunkan
secara autosomal dominan.
f) Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor
penyebab pterygium.
c. Patofisiologi
Terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar
matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering,
inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain.
UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53
yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan
sitokin seperti TGF-β dan VEGF (vascular endothelial growth factor)
menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami
degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan
granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang
akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan
membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan
membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan
untuk pertumbuhan pterigium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan
kadang terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan
kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva
ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran
basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan
pada pterygium dan oleh karena itu banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi
atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium
ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi
fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi
daerah kolagen abnormal yang mengalami degenerasi elastolik
tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan
hematoxylin dan eosin. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan
fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi
mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering
menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

d. Tanda dan Gejala


1) Mata irritatif, merah gatal dan mungkin menimbulkan astigmatisme
2) Kemunduran tajam penglihatan akibat pteregium yang meluas ke
kornea (Zone Optic)
3) Dapat diserati keratitis pungtata, delen (Penipisan kornea akibat
kering) dan garis besi yang terletak di ujung pteregium.
4) Gangguan penglihatan
Klasifikasi dan Grade
Klasifikasi Pterigium:
1) Pterygium Simpleks: jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja.
2) Pterygium Dupleks: jika terjadi di nasal dan temporal.

Grade pada Pterigium :


1) Derajat I : hanya terbatas pada limbus
2) Derajat II : Sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2
mm melewati kornea
3) Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi
pinggir pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan
normal sekitar 3-4 mm)
4) Derajat IV : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan

e. Komplikasi
Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
1) Penyimpangan atau pengurangan pusat penglihatan
2) Kemerahan
3) Iritasi
4) Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea

Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan


dan memberi kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada
ditengah otot rektus umumnya menyebabkan diplopia pada pasien
dengan pterigium yang belum dilakukan pembedahan. Pada pasien
dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi pengeringan focal kornea
mata akan tetapi sangat jarang terjadi.

Komplikasi post operasi pterigium meliputi:


1) Infeksi
2) Reaksi material jahitan
3) Diplopia
4) Conjungtival graft dehiscence
5) Corneal scarring
6) Komplikasi yang jarang terjadi meliputi perforasi bola mata
perdarahan vitreous, atau retinal detachment.

Komplikasi akibat terlambat dilakukan operasi dengan radiasi beta


pada pterigium adalah terjadinya pengenceran sklera dan kornea.
Sebagian dari kasus ini dapat memiliki tingkat kesulitan untuk
mengatur.

f. Pemeriksaan Penunjang
1) Kartu mata snellen /mesin telebinokuler : mungkin terganggu
dengan kerusakan kornea
2) Lapang Penglihatan
3) Pengukuran Tonografi
4) Oftalmoskopi
5) Keratometri
6) Pemeriksaan lampu slit
7) Pemeriksaan histopatologi
8) A-scan ultrasound (echography).
9) USG mata

g. Terapi yang dilakukan


Pengobatan pterigium tergantung dari keadaan pterigiumnya sendiri,
dimana pada keadaan dini tidak perlu dilakukan pengobatan, namun
bila terjadi proses inflamasi dapat diberikan steroid topikal untuk
menekan proses peradangan, dan pada keadaan lanjut misalnya terjadi
gangguan penglihatan (refraktif), pterigium telah menutupi media
penglihatan (menutupi sekitar 4mm permukaan kornea) maupun untuk
alasan kosmetik maka diperlukan tindakan pembedahan berupa
ekstirpasi pterigium.

Obat-obatan yang sering digunakan pada pterigium adalah :


1) Pemakaian air mata artifisial (obat tetes topikal untuk
membasahi mata) : untuk membasahi permukaan okular dan
untuk mengisi kerusakan pada lapisan air. Obat ini merupakan
obat tetes mata topikal atau air mata artifisial (air mata
penyegar akan memberikan pelumasan pada permukaan mata
pada pasien dengan permukaan kornea yang tak teratur dan
lapisan permukaan air mata yang tak teratur.
2) Salep untuk pelumas topikal : suatu pelumas yang lebih kental
pada permukaan okular. Sediaan yang lebih kental ini akan
cenderung menyebabkan kaburnya penglihatan sementara.
Oleh karena itu bahan ini sering dipergunakan pada malam hari
terkecuali bila pasien merasakan sakit dalam pemakaiannya.
3) Obat tetes mata anti inflamasi : untuk mengurangi inflamasi
pada permukaan mata dan jaringan okular lainnya. Bahan
kortikosteroid akan sangat membantu dalam penatalaksanaan
pterygia yang inflamasi dengan mengurangi pembengkakan
jaringan yang inflamasi pada permukaan okular di dekat
jejasnya.
4) Tindakan pembedahan untuk ekstirpasi pterygia biasanya bisa
dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan
anastesi topikal ataupun lokal, bila diperlukan dengan memakai
sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien biasanya merekat
pada malam hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau
salep mata antibiotika atau antiinflamasi.
2. Tinjauan Tindakan :
Jenis Operasi pada Pterigium antara lain :
a) Teknik Bare sclera
1) Anastesi : proparacain atau pantokain atau dapat juga
menggunakan kokain 4% yang diteteskan maupun dioles
dengan kapas pledget, kemudian diberikan suntikan
subkonjungtiva dengan lidokain 1-2 % .
2) Persiapkan duk steril untuk menutupi derah operasi.
3) Siapkan lid spekulum
4) Lakukan pengujian untuk menunjukkan otot yang terkait
dengan pterigium.
5) Lakukan fiksasi dengan benang ganda 6.0 pada episklera
searah jam 6 dan jam 12.
6) Posisi mata pada jahitan korset.
7) Buatlah garis demarkasi pterigium dengan cautery.
8) Gunakanlah ujung spons atau kapas untuk membersihkan
darah ketika sedang dilakukan pengikisan pterigium dari
apek dengan menggunakan forcep jaringan.
9) Laksanakan pembedahan dari kepala pterigium yang ada di
dekat kornea mata dengan menggunakan scarifier. Traksi
dengan forcep ukuran 0.12 mm akan memudahkan
pengangkatan pterigium.
10) Bebaskan sklera dari pterigium.
11) Menggunakan westcott gunting untuk memotong sepanjang
tanda cautery.
12) Kikislah pterigium dengan gunting.
13) Pindahkan semua jaringan pterigium dari limbus dengan
menggunakan sharp sehingga tampak jaringan sklera yang
telanjang.
14) Jika perlu, mengisolasi rektus otot horizontal dengan suatu
sangkutan otot untuk menghindari kerusakan jaringan yang
akan membentuk sikatrik.
15) Pindahkan pterigium dilimbus dengan menggunakan gunting.
16) Gunakan cautery untuk menjaga keseimbangan.
17) Menghaluskan sekeliling tepi limbus.
18) Dengan menggunakan burr intan
19) Dengan tepi punggung mata pisau scarifier.
20) Berikan antibiotik dan steroid topikal.
21) Kemudian tutup mata dengan kasa steril dan fiksasi.
b) Teknik Mc. Reynolds

Mencangkok dan menguburkan pterigium di dalam konjungtiva


dilakukan dengan cara :
1) Setelah pterigium dipindahkan dari kornea, buatlah goresan
di bawah konjungtiva dengan gunting, antara kornea dan
sklera, yang lebarnya disesuaikan dengan lebar dri
pertumbuhan pterigium yang semula, sehingga diharapkan
bila terjadi pterigium ulang tidak akan menyeberang ke
kornea.
2) Jahitlah apek dari lapisan konjungtiva tersebut dan masukkan
ke dalam celah di bawah konjungtiva yang terletak di antara
kornea dan sklera.
3) Setelah lapisan konjungtiva tadi dimasukkan ke lapisan
bawah antara kornea dan sklera, kemudian lakukan fiksasi.

Ada berbagai variasi pada teknik Mc. Reynolds, yaitu:


1) Neher : pterigium dikuburkan di bagian konjungtiva superior,
kemudian di fiksasi pada episklera.
2) Desmarres: Buatlah incisi pada bagian bawah konjungtiva
kemudian apek dari pterigium di transplantasikan ke jaringan
di bawah konjungtiva tersebut, kemudian di fiksasi pada
konjungtiva dan tepi kornea sehingga bentuknya seperti
sayap.
3) Berens: Pertumbuhan dicangkok di bagian atas konjungtiva
tanpa penguburan jaringan pterigium. Dua goresan kecil
parakorneal dibuat untuk menutup konjungtiva yang cacat
dan untuk menutupi area kornea yang terbuka. Kemudian di
fiksasi untuk mengamankan pterigium di tempat yang baru.
4) Knapp: Teknik ini digunakan untuk pterigium yang sangat
luas. Pertumbuhannya di pisah dengan goresan horizontal,
masing-masig dipindahkan ke busur konjungtiva atas dan
bawah.
5) Callahan: Buatlah suatu goresan miring dari limbus sampai
konjungtiva kurang lebih 5-10 mm sepanjang garis tepi yang
menyangkut pada pterigium. Goresan juga dibuat sepanjang
garis tepi bagian atas konjungtiva sebagai penutup.
Pencangkokan dibuat pada daerah limbus yang ditelanjangi
atau membiarkan area limbus tersebut terbuka (teknik Bare
Sclera).
6) Blaskovics: Teknik ini dilakukan apabila dikhawatirkan akan
kambuh, dengan cara konjungtiva dilipat ke bawah kemudian
dijahit.
3. Tinjauan Keperawatan :
a. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji
1) Data pasien
2) Keluhan utama
3) Riwayat kesehatan sekarang
4) Riwayat kesehatan masa lalu
5) Riwayat kesehatan keluarga
6) Pengkajian psikososial kultural dan spiritual
a) Status psikologi dan perkembangan
b) Sosial ekonomi
c) Budaya
d) Spiritual
7) Pemeriksaan fisik
8) Pemeriksaan penunjang
Pathway Paparan sinar
matahari
Udara, angin,
debu

regulasi kolagenase,
migrasi sel, dan
angiogenesis

Perubahan degenerasi Defisiensi limbal


kolagen stem cell
Terlihat jaringan
subepitelial
fibrovaskular
Konjungtivalisasi pada
permukaan kornea
Pertumbuhan jaringan fibrovaskular

pertumbuhan konjungtiva ke kornea,


Menembus kornea vaskularisasi, inflamasi kronis,
kerusakan membran basement dan
pertumbuhan jaringan fibrotik

Terjadi kerusakan
pada lapisan
Pterigium
bowman di Gangguan
kornea
citra tubuh
Rencana
pembedahan
Mengeluarkan substrat untuk
pertumbuhan pterigium

Defisiensi pengetahuan
Ansietas
Timbul timbunan dan benjolan

Gangguan fungsi sensori :


penglihatan

Resiko
cedera
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Pre Op :
a. Gangguan persepsi sensori : penglihatan berhubungan dengan
pertumbuhan fibrovaskular pada konjungtiva yang meluas mengenai
kornea dan pupil
b. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit pterigium yang
mengenai mata
c. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan penglihatan
Diagnosa Intra Op :
d. Nyeri akut berhubungan dengan tindakan eksisi pada mata saat operasi
e. Resiko jatuh berhubungan dengan posisi saat operasi
Diagnosa Post Op :
f. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

c. Rencana Tindakan Keperawatan


No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi dan Rasional
keperawatan Hasil
1. Gangguan NOC : improve visual NIC : optimal visual
persepsi acuity
sensori : 1.1 Tentukan ketajaman
penglihatan Kriteria Hasil : penglihatan, kemudian catat
berhubungan - Mengenal gangguan apakah satu atau dua mata
dengan sensori dan terlibat. Observasi tanda-
pertumbuhan berkompensasi tanda disorientasi.
fibrovaskular terhadap perubahan. Rasional : Penemuan dan
pada - Mengidentifikasi/me penanganan awal komplikasi
konjungtiva mperbaiki potensial dapat mengurangi resiko
yang meluas bahaya dalam kerusakan lebih lanjut.
mengenai lingkungan. 1.2 Orientasikan klien
kornea dan tehadap lingkungan.
pupil Rasional : Meningkatkan
keamanan mobilitas dalam
lingkungan.
1.3 Perhatikan tentang suram
atau penglihatan kabur dan
iritasi mata, dimana dapat
terjadi bila menggunakan
tetes mata.
Rasional : Cahaya yang kuat
menyebabkan rasa tak
nyaman setelah penggunaan
tetes mata dilator
1.4 Letakkan barang yang
dibutuhkan/posisi bel
pemanggil dalam
jangkauan/posisi yang tidak
dioperasi.
Rasional : Komunikasi yang
disampaikan dapat lebih
mudah diterima dengan jelas.
1.5.berikan lingkungan yang
aman bagi pasien
Rasional : mencegah cedera
pada pasien

2. Gangguan citra NOC : body image, selfNIC : body image


tubuh esteem enhancement
berhubungan Kriteria Hasil : 2.1 kaji secara verbal dan
dengan - Body image positif nonverbal respon pasien
penyakit - Mempertahankan terhadap tubuhnya
pterigium yang interaksi sosial Rasional : mengetahui
mengenai mata harapan pasien
2.2 jelaskan tentang
pengobatan penyakit
Rasional : pasien mengerti
dan menerima kondisi
2.3 dorong pasien
mengungkapkan perasaannya
Rasional : menggali perasaan
pasien
2.4 fasilitasi kontak dengan
individu lain dalam
kelompok kecil
Rasional : mencegah harga
diri rendah dan
mempertahankan interaksi
sosial
2.5 beri dukungan pada
pasien
Rasional : meningkatkan
koping pasien
3. Resiko cedera NOC : risk control NIC : environment
berhubungan Kriteria Hasil : management
dengan - Klien terbebas dari 3.1 sediakan lingkungan yang
penurunan cedera aman bagi pasien
penglihatan - Klien mampu Rasional : mencegah
mencegah cedera terjadinya cedera
3.2 berikan penjelasan pada
pasien tentang status
kesehatannya
Rasional : agar pasien
mengerti dan bisa berhati-hati
3.3 hindarkan lingkungan
yang berbahaya (memindah
perabotan)
Rasional : memberikan ruang
gerak yang luas bagi pasien
3.4 anjurkan keluarga untuk
menemani pasien
Rasional : meningkatkan
koping pasien
3.5 mengontrol lingkungan
dari kebisingan
Rasional : memberikan
kenyamanan bagi pasien
4. Nyeri akut NOC: pain level dan NIC:Pain Managament
berhubungan pain control 4.1 lakukan pengkajian nyeri
dengan Kriteria Hasil: secara komprehensif
tindakan eksisi - Pasien mampu (lokasi, karakteristik,
pada mata saat mengontrol nyeri (tahu durasi, frekuensi,
operasi kualitas)
penyebab nyeri dan
Rasional : mengetahui
mampu menggunakan
skala nyeri yang dirasakan
tehknik nonfarmakologi
pasien
untuk mengurangi nyeri) 4.2 kontrol lingkungan pasien
- Mampu mengenali nyeri yang dapat
(skala, intensitas, mempengaruhi nyeri
frekuensi) seperti suhu ruangan,
- Menyatakan rasa nyaman pencahayaan, dan
setelah nyeri berkurang kebisingan
Rasional : memberikan
kenyamanan bagi pasien
4.3 ajarkan tentang tekhnik
non farmakologi seperti
teknik relaksasi nafas
dalam
Rasional : mengalihkan
rasa nyeri yang dirasakan
pasien
4.4 tingkatkan istirahat
Rasional : manajemen
energi pasien
4.5 evaluasi keefektifan
control nyeri
Rasional : mengevaluasi
hasil tindakan dan
menentukan intervensi
lanjutan

5. Ansietas NOC: Anxiety self NIC: anxiety reduction


berhubungan control, coping 5.1 gunakan pendekatan yang
dengan Kriteria Hasil: menenangkan
perubahan - Pasien mampu Rasional : memberikan
status mengidentifikasi dan rasa nyaman pada pasien
kesehatan mengungkapkan gejala 5.2 jelaskan semua prosedur
cemas dan apa yang yang
- Mengidentifikasi, dirasakan selama prosedur
mengungkapkan dan Rasional : menurunkan
menunjukkan tekhnik rasa cemas pasien
untuk mengontrol cemas 5.3 dengarkan dengan penuh
- Vital sign dalam batas perhatian
normal Rasional : memberikan
penghargaan pada pasien
5.4 identifikasi tingkat
kecemasan
Rasional : mengetahui
tingkat cemas yang
dirasakan pasien
5.5 instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi
Rasional : mengurangi rasa
cemas pasien

Daftar Pustaka
1) Nanda International. 2011. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Jakarta: EGC
2) Joanne McCloskey Dochterman&Gloria M. Bulechek. 2004. Nursing
Interventions Classification (NIC) Fourth Edition. Mosby: United States
America
3) Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI
4) Marilyn, E. Doenges, et-al. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.
Monica Ester, Penerjemah Jakarta:EGC
5) Smeltzer , Suzanna C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC
6) Kusuma, Hardi&Amin Huda Nurarif. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatab
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA. Yogyakarta: Media Action
Publishing

Vous aimerez peut-être aussi