Vous êtes sur la page 1sur 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Makanan merupakan kebutuhan mendasar bagi hidup manusia. Kasus keracunan makanan dan penyakit
infeksi karena makanan cenderung meningkat (Ningsih, 2014). Selama tahun 2016 BPOM telah mencatat
110 berita keracunan pangan yang diperoleh dari media online. Sementara di tahun yang sama, sebanyak 60
kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan dilaporkan oleh 31 BB/BPOM di seluruh Indonesia. Laporan
tersebut diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi maupun Kabupaten/Kota di 34 Propinsi (BPOM, 2017).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan makanan, antara lain adalah hygiene
perorangan yang buruk, cara penanganan makanan yang tidak sehat dan perlengkapan pengolahan makanan
yang tidak bersih. Salah satunya penyebabnya adalah karena kurangnya pengetahuan dalam memperhatikan
kesehatan diri dan lingkungannya dalam proses pengolahan makanan yang baik dan sehat (Ningsih, 2014).
Dalam persyaratan mikrobiologi, bakteri koliform dalam tinja, yaitu Escherichia coli dipilih sebagai
indikator tercemarnya air atau makanan, karena keberadaaan bakteri koliform tersebut dalam sumber air atau
makanan merupakan indikasi pasti terjadinya kontaminasi tinja manusia. Adanya bakteri koliform
menunjukkan suatu tanda praktek sanitasi yang tidak baik karena bakteri koliform bisa dipindahsebarkan
dengan kegiatan tangan ke mulut atau dengan pemindahan pasif lewat makanan, air yang tercemar. (Chandra,
2006).
Tempat yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah Wisata Kuliner Deles Surabaya di jalan
Arief Rachman Hakim, Klampis Ngasem, Sukolilo, Surabaya yang berukuran 11 x 140 meter, di mana di
dalamnya terdapat 36 kios makanan dan minuman yang berjajar. Sampel berupa es campur didapatkan pada
salah satu stand berukuran 4 x 3 meter yang telah dilengkapi dengan dapur dan tempat cuci kecil di bagian
belakang. Bahan-bahan es campur diletakkan di dalam toples-toples kaca tertutup, namun peralatan yang
digunakan seperti sendok sayur, setelah dipakai hanya dicelupkan saja ke dalam wadah plastik berisi air
untuk kemudian digunakan kembali, sedangkan es batu diletakkan di dalam termos besar, tetapi penjual
menggunakan tangan kosong ketika memasukkan es batu ke dalam es campur, sehingga dapat diasumsikan
bahwa air yang digunakan untuk merendam peralatan makan telah tercemar dengan bakteri dan menjadikan
peralatan tersebut tidak layak digunakan, selain itu penjual juga tidak memperhatikan kebersihan tangan
dalam proses melayani pembeli. Di Indonesia peraturan telah dibuat dalam bentuk Permenkes RI No.
715/Menkes/SK/V/2003, bahwa untuk persyaratan peralatan makan tidak boleh mengandung bakteri lebih
dari 100 koloni/permukaan alat dan tidak mengandung bakteri Escherichia coli (Depkes RI, 2003). Peranan
peralatan makan dalam rumah makan/kantin merupakan bagian yang tak terpisahkan dari prinsip-prinsip
penyehatan makanan. Setiap peralatan makan (piring, gelas, sendok) yang kelihatan bersih belum merupakan
jaminan telah memenuhi persyaratan kesehatan, karena didalam alat makan (piring, gelas, sendok) tersebut
telah tercemar bakteri koliform yang menyebabkan alat makan (piring, gelas, sendok) tersebut tidak
memenuhi kesehatan. Selain itu para penjual makanan yang menjajakan makanan umumnya tidak memiliki
latar belakang pendidikan yang cukup, khususnya dalam hal hygiene dan sanitasi pengolahan makanan.
Pengetahuan penjual makanan tentang hygiene dan sanitasi pengolahan makanan akan sangat mempengaruhi
kualitas makanan yang disajikan kepada masyarakat konsumen (Sujaya dkk, 2010). Untuk itu perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui gambaran hygiene sanitasi penyelenggaraan makanan dan minuman
pada tempat Wisata Kuliner Deles Surabaya dan keberadaan bakteri koliform pada sampel es campur yang
digunakan.

1.2. Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada praktikum uji higienitas minuman es campur di tempat Wisata Kuliner Deles
Surabaya adalah sebagai berikut:
1. Uji apa yang dapat dilakukan untuk menentukan higienitas suatu makanan atau minuman?
2. Bagaimana cara kerja uji higienitas pada sampel makanan atau minuman?
3. Apa saja faktor yang dapat mempengaruhi higienitas suatu makanan atau minuman?
4. Bioindikator apa yang dapat menunjukkan bahwa suatu makanan atau minuman tidak higienis?
1.3. Tujuan
Tujuan pada praktikum uji higienitas minuman es campur di tempat Wisata Kuliner Deles Surabaya
antara lain adalah:
1. Mengetahui uji apa saja yang dapat dilakukan untuk menentukan kehigienitasan suatu makanan atau
minuman
2. Mengetahui cara kerja dari uji higienitas pada sampel makanan atau minuman
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi suatu makanan atau minuman higienis atau tidak
4. Mengetahui bioindikator yang digunakan sebagai penunjuk apakah suatu makanan atau minuman
tidak higienis.
BAB II
METODOLOGI

2.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Praktikum uji higienitas minuman es campur di tempat Wisata Kuliner Deles Surabaya dilaksanakan
selama 2 hari, yaitu sejak hari Minggu tanggal 1 April 2018 hingga hari Senin tanggal 2 April 2018. Tempat
dilaksanakannya praktikum ini adalah di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Departemen Biologi
Fakultas Ilmu Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

2.2. Alat dan Bahan


Peralatan yang diperlukan dalam praktikum uji higienitas es campur di tempat Wisata Kuliner Deles
Surabaya, yakni tabung Erlenmeyer, tabung reaksi, neraca analitik, kaca arloji, hot plate, magnetic stirrer,
tabung Durham, gelas ukur, gelas beaker, pipet ukur, pipet Pasteur, corong kaca, LAF, mortar, pestle, cawan
Petri, sendok pengaduk, drygalski, autoklaf, rak tabung reaksi, plastik wrap, pump, sprayer, kertas Yellow
Page, bunsen, dan kasa. Sedangkan bahan-bahan yang diperlukan di antaranya adalah Lactose Broth,
Nutrient Agar, NaCl, akuades, alkohol 70%, sampel isi es campur, dan sampel es batu.

2.4. Cara Kerja


Cara kerja pada praktikum uji higienitas minuman es campur di tempat Wisata Kuliner Deles Surabaya
diawali dari pembuatan sumbat kapas untuk tabung reaksi dan tabung Erlenmeyer, yaitu mengisi kasa
dengan kapas pembalut hingga dirasa sudah pas dengan mulut tabung reaksi atau tabung Erlenmeyer, lalu
kapas dapat dibungkus dengan kasa dan diselotip. Setelah itu, cawan Petri, pipet ukur, pipet Pasteur, dan
drygalski dapat dibungkus dengan kertas Yellow Page untuk nanti disterilisasi menggunakan autoklaf
bersama larutan fisiologis dan medium Lactose Broth selama 15 menit.
Cara pembuatan larutan fisiologis dimulai dari menimbang NaCl sebanyak 8,5 gr untuk 1000 ml
akuades dan 4,25 gr untuk 500 ml akuades. NaCl yang telah ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam
masing-masing tabung Erlenmeyer untuk dilakukan pemanasan dan pengadukkan menggunakan hot plate
dan magnetic stirrer. Setelah NaCl larut, maka larutan dapat dimasukkan sebanyak 100 ml ke dalam tabung
Erlenmeyer 1 sebagai larutan stock, lalu memasukkan lagi masing-masing sebanyak 90 ml larutan ke dalam
6 tabung Erlenmeyer lain. Tabung Erlenmeyer disumbat dan diwrap untuk kemudian disterilisasi
menggunakan autoklaf selama 15 menit.
Medium Lactose Broth (LB) dibuat dengan cara menimbang bubuk LB sebanyak 2,6 gr, lalu
dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer yang telah berisi 200 ml akuades. Lactose broth diaduk dan
dipanaskan menggunakan hot plate beserta magnetic stirrer hingga larut, setelah itu LB dituang sebanyak 5
ml ke dalam tiap 18 tabung reaksi menggunakan gelas ukur. Tabung Durham dimasukkan ke dalam masing-
masing tabung reaksi dengan posisi terbalik dan diusahakan agar tidak terdapat gelembung udara di dalam
tabung Durham. Tabung reaksi berisi medium LB disumbat dan diwrap untuk kemudian disterilisasi
menggunakan autoklaf selama 15 menit.
Selama proses sterilisasi larutan fisiologis, medium LB, cawan Petri, pipet ukur, pipet Pasteur, dan
drygalski, maka dapat dilakukan pembuatan medium Nutrient Agar dengan cara menimbang bubuk NA
sebanyak 2,8 gr dan dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer yang telah berisi 100 ml akuades. NA diaduk
dan dipanaskan hingga mendidih menggunakan hot plate serta magnetic stirrer. Tabung Erlenmeyer berisi
medium NA disumbat dan diwrap untuk kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf selama 15 menit
setelah larutan fisiologis, medium LB, cawan Petri, dan lain-lain selesai disterilisasi. Medium NA yang telah
disterilisasi dapat dituang ke dalam cawan Petri secukupnya secara aseptis (harus berada di LAF dan
didekatkan pada pijaran api bunsen), lalu medium NA diratakan dengan menggoyang-goyangkan cawan
Petri, kemudian cawan Petri diwrap dan disimpan pada tempat yang datar. Sambil menunggu NA memadat,
maka dapat dilaksanakan pengenceran dan inokulasi.
Untuk melakukan pengenceran, maka es campur yang memiliki 2 sampel, yaitu sampel padat dan
sampel cair harus melewati beberapa tahapan. Sampel padat didapatkan dengan menghaluskan bahan-bahan
yang merupakan isi dari es campur, seperti agar-agar, mutiara, nata de coco, dawet, cincau, kolang-kaling,
dan roti menggunakan mortar dan pestle. Setelah halus, maka dapat dimasukkan 10 gr sampel padat ke
dalam larutan stock, lalu dikocok hingga homogen. Dari larutan stock yang telah bercampur dengan sampel
padat, diambil 10 ml menggunakan pipet ukur untuk dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer yang berisi 90
ml larutan fisiologis dan dilakukan pengocokkan hingga homogen, kemudian Erlenmeyer ditandai sebagai
pengenceran 10-1. Erlenmeyer berisi pengenceran 10-1 diambil 10 ml lagi untuk dimasukkan ke dalam tabung
Erlenmeyer berisi 90 ml larutan fisiologis berikutnya dan ditandai sebagai pengenceran 10 -2, begitu juga
untuk Erlenmeyer berisi pengenceran 10 -3, di mana dimasukkan 10 ml dari pengenceran 10 -2 ke dalam 90 ml
larutan Fisiologis pada Erlenmeyer yang ditandai sebagai pengenceran 10 -3. Pada sampel cair yang
menggunakan es batu, diambil air dari es batu yang telah mencair sebanyak 10 ml menggunakan pipet ukur,
lalu dicampurkan ke dalam 90 ml larutan fisiologis yang ditandai sebagai pengenceran 10 -1. Larutan dari
pengenceran 10-1 diambil 10 ml untuk dimasukkan ke dalam 90 ml larutan fisiologis selanjutnya, dan
ditandai sebagai pengenceran 10-2. Pengenceran 10-3 diperoleh dari pengambilan 10 ml larutan hasil
pengenceran 10-2 dan dicampur dengan 90 ml larutan fisiologis dalam tabung Erlenmeyer yang ditandai
sebagai pengenceran 10-3. Proses pengenceran ini harus aseptis, di mana dilaksanakan di dalam LAF dan
didekatkan dengan pijaran api.
Setelah melakukan pengenceran, maka masing-masing sampel padat dan cair yang sudah diencerkan
dapat diinokulasikan ke dalam tabung reaksi berisi medium LB. Disiapkan 3 tabung reaksi berisi medium LB
steril yang ditandai sebagai inokulasi dari pengenceran 10 -1, kemudian diambil berturut-turut 10 ml, 1 ml,
dan 0,1 ml dari tabung Erlenmeyer pengenceran 10 -1 dan dimasukkan ke dalam tiap tabung reaksi tersebut.
Tiga tabung reaksi berisi medium LB steril lain ditandai sebagai inokulasi dari pengenceran 10 -2, juga
diberlakukan hal yang sama, yaitu memasukkan 10 ml, 1 ml, dan 0,1 ml dari pengenceran 10 -2 secara
berturut-turut ke dalam tiap tabung. Begitu pula pada 3 tabung reaksi lain, dapat dimasukkan 10 ml, 1 ml,
dan 0,1 ml dari pengenceran 10 -3, lalu tabung reaksi ditandai sebagai inokulasi dari pengenceran 10 -3. Cara
ini disebut juga dengan MPN (Most Probable Number) dan berlaku pada sampel padat ataupun cair. Setelah
itu semua tabung reaksi disumbat dan diwrap, kemudian diinkubasi dalam suhu ruang selama 12 jam.
Pelaksanaan metode MPN ini juga harus aseptis di mana pelaksanaannya di dalam LAF dan didekatkan
dengan pijaran api.
Metode TPC (Total Plate Count) diawali dengan mengambil pengenceran 10 -3 dari tiap sampel padat
dan cair menggunakan pipet Pasteur untuk diteteskan sebanyak 2 tetes ke atas masing-masing cawan Petri
yang berisi medium NA padat, lalu diratakan dengan drygalski yang telah disterilkan dan direndam di dalam
alkohol 70%, kemudian cawan Petri ditutup kembali dan diwrap untuk diinkubasi pada suhu ruang selama 12
jam. Semua proses dalam metode MPN harus aseptis dengan menggunakan LAF dan didekatkan pijaran api.
Setelah 12 jam, maka MPN dan TPC dapat diamati, dihitung, serta dicatat akan hadirnya bakteri di
dalam tabung reaksi ataupun cawan Petri. Dalam metode MPN, hasil positif ditandai dengan perubahan
warna LB dan adanya gelembung dalam tabung Durham, sedangkan untuk metode TPC, hasil positif
ditandai dengan munculnya koloni bakteri pada medium NA.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil Pengamatan


3.1.1. Metode TPC (Total Plate Count)

A B

Gambar 3.1. A. Sampel padat setelah 12 jam inkubasi; B. Sampel cair setelah 12 jam inkubasi.

Hasil metode TPC untuk sampel padat setelah inkubasi 12 jam (Gambar 3.1.) didapatkan 51 jumlah
koloni. Perhitungan TPC menggunakan rumus sebagai berikut:
TPC (CFU/ml) = Jumlah koloni per cawan x (1/faktor pengenceran) (Salosa, 2013)
TPC (CFU/ml) = 51 x (1/10-3)
TPC (CFU/ml) = 5,1 x 104 CFU/ml.
Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa bahan-bahan (agar-agar, mutiara, nata de coco, dawet,
cincau, kolang-kaling, dan roti) yang digunakan dalam sampel padat tidak layak untuk dikonsumsi karena
produk makanan dapat dikategorikan aman jika sesuai standar BPOM RI No. 16 tahun 2016, yaitu total
koloni bakteri (Total Plate Count/TPC) tidak melebihi 1x104 coloni forming unit / per ml (CFU/ml) (BPOM
RI, 2016).
Sampel cair setelah inkubasi 12 jam (Gambar 3.1.), diperoleh 1 koloni bakteri dengan hasil perhitungan
rumus TPC sebagai berikut:
TPC (CFU/ml) = Jumlah koloni per cawan x (1/faktor pengenceran) (Salosa, 2013)
TPC (CFU/ml) = 1 x (1/10-3)
TPC (CFU/ml) = 1 x 103 CFU/ml.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa es batu yang digunakan sebagai sampel cair memenuhi syarat mutu
BPOM RI No. 16 tahun 2016, di mana dikatakan aman suatu air minum jika total koloni bakteri (Total Plate
Count/TPC) tidak melebihi 1x103 CFU/ml (BPOM RI, 2016).

3.1.2. Metode MPN (Most Probable Number)


Tabel 3.1. Hasil pengamatan metode MPN (Most Probable Number)
Jenis Seri
Has Tabel
Sam 10 ml 1 ml 0,1 ml
il MPN
pel 10-1
10-2 10-3
10-1
10-2 10-3
10-1
10-2 10-3

Padat 3-3- >1100


3 MPN/1
02 ml

Keterang Keterang Keterang Keterang Keterang Keterang Keterang Keterang Keterang


an: an: an: an: an: an: an: an: an:
Hasil uji: Hasil uji: Hasil uji: Hasil uji: Hasil uji: Hasil uji: Hasil uji: Hasil uji: Hasil uji:
positif positif positif positif positif positif positif positif positif
(+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+)
Warna: Warna: Warna: Warna: Warna: Warna: Warna: Warna: Warna:
sangat sangat sangat cukup cukup cukup cukup cukup sedikit
keruh keruh keruh keruh keruh keruh keruh keruh keruh
Gas Gas Gas Gas Gas Gas Gas Gas Gas
dalam dalam dalam dalam dalam dalam dalam dalam dalam
Durham: Durham: Durham: Durham: Durham: Durham: Durham: Durham: Durham:
cukup cukup cukup sedikit sedikit cukup cukup sedikit sedikit
banyak banyak banyak banyak banyak
Cair 2-2- 21
0 MPN/1
02 ml

Keterang Keterang Keterang Keterang Keterang Keterang Keterang Keterang Keterang


an: an: an: an: an: an: an: an: an:
Hasil uji: Hasil uji: Hasil uji: Hasil uji: Hasil uji: Hasil uji: Hasil uji: Hasil uji: Hasil uji:
positif positif negatif positif positif negatif negatif negatif negatif
(+) (+) (-) (+) (+) (-) (-) (-) (-)
Warna: Warna: Warna: Warna: Warna: Warrna: Warna: Warna: Warna:
sangat sangat bening cukup cukup bening bening bening bening
keruh keruh Gas keruh keruh Gas Gas Gas Gas
Gas Gas dalam Gas Gas dalam dalam dalam dalam
dalam dalam Durham: dalam dalam Durham: Durham: Durham: Durham:
Durham: Durham: tidak ada Durham: Durham: tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
sangat sedikit sedikit sedikit
banyak
Tabel hasil pengamatan di atas menunjukkan bahwa untuk sampel padat dengan volume sampel 10 ml
pada pengenceran 10-1, 10-2, dan 10-3 diperoleh hasil positif, di mana ditandai dari perubahan warna pada
medium LB dan adanya gas dalam tabung Durham. Sampel padat dengan volume sampel 1 ml pada ketiga
tabung pengenceran, yakni 10-1, 10-2, dan 10-3 juga diperoleh hasil positif , ditandai dengan perubahan warna
LB dan adanya gas dalam Durham. Hal yang sama juga terjadi dalam volum sampel 0,1 ml, di mana untuk
ketiga tabung pengenceran 10-1, 10-2, dan 10-3 didapatkan hasil uji positif yang ditunjukkan karena adanya
perubahan warna LB dan munculnya gas dalam tabung Durham, sehingga diperoleh total kombinasi dari uji
positif, yaitu 3-3-3 yang menunjukkan nilai >1100 MPN/100 ml dilihat dari tabel 3 seri tabung MPN
(Oblinger and Koburger, 1975). Tentunya sampel padat ini tidak layak konsumsi, karena menurut BPOM RI
No. 16 tahun 2016 tentang Kriteria Mikrobiologi dalam Pangan Olahan menyatakan bahwa batas maksimum
nilai MPN untuk produk olahan pangan seperti cincau, mutiara, agar-agar, jeli, nata de coco, dan lain-lain
adalah < 3 MPN/gr (ml) (BPOM RI, 2016).
Pada sampel cair dengan volume sampel 10 ml untuk tabung pengenceran, yaitu 10 -1 dan 10-2,
menunjukkan hasil positif, namun pada tabung pengenceran 10-3 menunjukkan hasil negatif karena warna LB
tetap bening dan tidak terdapat gas dalam tabung Durham. Begitu pula dengan tabung pengenceran 10 -1 dan
10-2 dengan volum sampel 1 ml, diperoleh hasil positif, namun untuk tabung pengenceran 10 -3 didapatkan
hasil uji negatif karena tidak menunjukkan perubahan warna LB serta tidak adanya gas dalam Durham.
Berbeda jauh dari tabung berisi volum sampel 10 ml dan 1 ml, pada tabung yang berisi volum sampel 0,1 ml
tidak ditemukan adanya gas dalam Durham ataupun perubahan warna LB di tiga tabung pengenceran (10 -1,
10-2, dan 10-3) sehingga ketiga tabung tersebut menunjukkan hasil negatif. Hasil perhitungan MPN untuk
sampel cair diperoleh kombinasi 2-2-0 yang menunjukkan nilai 21 MPN/100 ml pada tabel 3 seri tabung
MPN (Oblinger and Koburger, 1975). Wandrivel dkk. (2012) menyatakan bahwa air minum yang dikonsumsi
tidak boleh mengandung bakteri koliform atau indeks MPN dari mikroorganisme koliform harus <1,0
MPN/ml, sehingga uji MPN pada sampel cair tersebut menyatakan bahwa es batu yang digunakan dalam es
campur aman untuk dikonsumsi dan tidak berbahaya bagi kesehatan.

3.2. Pembahasan
Wisata Kuliner Deles Surabaya dengan luas 11 x 140 m yang terletak di Jalan Arief Rachman Hakim,
Klampis Ngasem, Sukolilo, Surabaya memiliki 36 kios yang berjajar, di mana salah satu kios yang dijadikan
tempat pengambilan sampel es campur memiliki luas 4 x 3 m dan memiliki dapur serta tempat cuci kecil di
bagian belakang. Pedagang mengunakan etalase untuk meletakkan produk jualan mereka. Semua bahan
untuk membuat es campur disimpan dalam toples-toples kaca tertutup, sedangkan peralatan yang digunakan,
seperti sendok sayur (ladle) hanya direndam dalam wadah berisi air untuk kemudian digunakan kembali,
untuk es batu disimpan dalam termos tertutup, namun penjual mengambil dan memasukkan es batu ke dalam
es campur menggunakan tangan kosong, sehingga higienitas minuman yang disajikan oleh penjual belum
tentu terjaga dikarenakan kurangnya pengetahuan para pedagang akan penerapan sanitasi yang baik
(Ningsih, 2014). Selain itu es campur dipilih sebagai sampel uji higienitas, karena menurut Ningsih (2014)
dalam pertumbuhannya bakteri memerlukan air, oleh karena itu bahan makanan yang mengandung cairan
lebih cepat busuk dibandingkan dengan bahan makanan atau minuman kering.
Uji MPN (Most Probable Number) merupakan metode untuk mengukur konsentrasi dari
mikroorganisme hidup pada sampel dengan cara mereplikasi pertumbuhan broth dalam pengenceran 10 kali
lipat. Asumsi dasar dari metode MPN adalah bahwa satu sel hidup menghasilkan kekeruhan media uji di
bawah kondisi yang digunakan (Sutton, 2010). Terbentuknya gas dalam tabung Durham disebabkan adanya
fermentasi laktosa menjadi gas dan asam oleh bakteri koliform dan Escherichia coli (Jasmadi dkk., 2014).
Kehadiran bakteri koliform merupakan indikator biologi adanya kontaminasi feses terhadap makanan. Salah
satu anggota kelompok koliform adalah Escherichia Coli. Karena Escherichia coli adalah bakteri koliform
yang ada pada kotoran manusia, maka Escherichia coli sering disebut sebagai Coliform fecal (Aditia dan
Muthiadin, 2015). Hasil dari uji MPN untuk sampel padat adalah >1100 MPN/100 ml, sedangkan pada
sampel cair 21 MPN/100 ml. Jika dikaitkan dengan literatur, standar nilai MPN menurut BPOM RI No. 16
tahun 2016 untuk makanan olahan, seperti agar-agar, cincau, nata de coco, dan sebagainya adalah < 3
MPN/ml sehingga dapat dinyatakan bahwa es campur tidak layak konsumsi, meskipun hasil uji MPN pada es
batu sebagai sampel cair menunjukkan hal sebaliknya, yakni 21 MPN/100 ml, di mana nilai tersebut sudah
sesuai standar MPN untuk air minum, yang diharuskan memiliki angka <1,0 MPN/ml.
Pada metode TPC (Total Plate Count) diperoleh hasil yang tidak jauh berbeda dari metode MPN, yaitu
untuk sampel padat didapatkan 5,1 x 104 CFU/ml yang mana tidak sesuai dengan standar BPOM RI No. 16
tahun 2016, yakni total koloni bakteri (Total Plate Count/TPC) tidak melebihi 1x104 coloni forming unit / ml
(CFU/ml) (BPOM RI, 2016). Sedangkan pada sampel cair diperoleh nilai 1 x 103 CFU/ml di mana masih
memenuhi syarat mutu BPOM RI No. 16 tahun 2016, yang menyatakan aman suatu air minum jika total
koloni bakteri (Total Plate Count/TPC) tidak melebihi 1x103 CFU/ml (BPOM RI, 2016). Prinsip dari metode
TPC adalah jika sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan dalam media, maka mikroba tersebut akan
berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dan kemudian dihitung tanpa
menggunakan mikroskop (Irfan, 2014). Rumus yang digunakan dalam perhitungan TPC adalah sebagai
berikut:
TPC (CFU/ml) = Jumlah koloni per cawan x (1/faktor pengenceran) (Salosa, 2013).
Es batu dinyatakan layak konsumsi karena es batu yang digunakan merupakan es batu pabrikan, di
mana mulai dari proses pembuatan, pengemasan, pendistribusian, sampai penyajian telah terjaga
higienitasnya (Rifta dkk., 2016). Bahan-bahan dalam pembuatan es campur memiliki nilai kontaminan yang
paling tinggi jika dibandingkan dengan es batu, hal ini dapat disebabkan karena adanya kontaminasi pada
peralatan, pengetahuan akan higienis pedagang, dan sanitasi tempat pengolahan minuman masih kurang
(Pratiwi, 2007). Faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada kebiasaan penjual yang hanya mencelupkan
peralatan (untuk mengambil bahan es campur) ke dalam air di suatu wadah dan nantinya dipakai kembali.
Selain itu, biasanya alat-alat yang digunakan juga disimpan dan dibiarkan begitu saja setelah dipakai,
sehingga menambah resiko terjadinya kontaminasi bakteri patogen (Kurniadi, 2013) . Ketika proses melayani
pembeli, terjadi ketidaksengajaan di mana agar-agar yang sudah dimasukkan ke dalam plastik terjatuh di atas
nampan berisi peralatan dan bahan lain, lalu oleh penjual dimasukkan kembali agar-agar tersebut ke dalam
plastik menggunakan tangan kosong. Kejadian ini dikuatkan dengan pernyataan Ningsih (2014) bahwa faktor
kemungkinan masuknya bakteri kedalam makanan antara lain pada waktu makanan disiapkan, pada waktu
makanan diolah, pada waktu makanan disimpan, dan pada waktu disajikan. Penggunaan tangan yang tidak
bersih dapat menjadi sumber kontaminasi bakteri patogen. Dimulai saat membuat hingga menyajikan perlu
diperhatikan kebersihan tangan, tangan yang tidak dicuci dengan sabun dan menyentuh minuman dapat
meningkatkan resiko pencemaran bakteri patogen. Sehingga saat melakukan penjamahan makanan perlu
digunakan sarung tangan (Naria, 2005).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum uji higienitas es campur di tempat Wisata Kuliner Deles Surabaya adalah
pada uji TPC dan MPN menunjukkan sampel padat yang berupa bahan-bahan membuat es campur, seperti
agar-agar, jeli, cincau, dawet, dan lain-lain lebih banyak mengandung kontaminan serta tidak layak
dikonsumsi daripada sampel cair yang berupa es batu, di mana sampel padat pada uji TPC dihasilkan nilai
5,1 x 104 CFU/ml, sedangkan untuk sampel cair diperoleh nilai 1 x 10 3 CFU/ml. Uji MPN pada sampel padat
memberikan nilai >1100 MPN/100 ml, sedangkan sampel cair menunjukkan nilai 21 MPN/100 ml. Bakteri
koliform dan koliform fekal dalam suatu makanan/minuman menunjukkan adanya kontaminasi feses
terhadap makanan/minuman tersebut. Perubahan warna dalam medium LB dan terbentuknya gas dalam
tabung Durham membutikkan hadirnya bakteri koliform dan koliform fekal yang akan memfermentasi
laktosa menjadi gas dan asam. Faktor-faktor yang mempengaruhi higienitas suatu makanan/minuman antara
lain adalah kurangnya pengetahuan para pedagang akan penerapan sanitasi yang baik pada lingkungan,
peralatan makan, dan diri sendiri, kualitas bahan baku, seperti sumber air yang digunakan dalam mencuci
peralatan ataupun yang digunakan untuk memasak, serta perlakuan pemanasan.

4.2. Saran
1. Diharapkan penjual lebih memperhatikan sanitasi pada peralatan yang digunakan dalam berdagang,
yaitu dengan mencuci peralatan yang telah dipakai menggunakan air yang mengalir
2. Diharapkan pedagang menjaga sanitasi lingkungan tempat berdagang dengan selalu membersihkan meja
atau etalase yang terkena cipratan makanan/minuman menggunakan kain lap bersih
3. Diharapkan penjual lebih memperhatikan sanitasi diri dengan menggunakan sarung tangan ketika akan
menjamah makanan/minuman dalam melayani pembeli
4. Diharapkan penjual lebih teliti lagi dalam memperhatikan kualitas bahan baku yang akan diolah.
DAFTAR PUSTAKA

Aditia, L., dan Muthiadin, C. 2015. Uji Kualitas Mikrobiologis Pada Makanan Jajanan di Kampus II
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Jurnal Ilmiah Biologi Biogenesis, Vol. 3, No. 2. (119-
123).

BPOM. 2016. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2016 Tentang Kriteria Mikrobiologi Dalam Pangan Olahan. Jakarta: BPOM RI.

BPOM. 2017. Laporan Tahunan 2016. Jakarta: BPOM RI.

Chandra, Budiman. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Depkes RI. 2003. Kepmenkes RI No. 715/Menkes/SK/V/2003 Tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi
Jasaboga. Jakarta: Depkes RI.

Irfan, Mokhamad. 2014. Isolasi Dan Enumerasi Bakteri Tanah Gambut di Perkebunan Kelapa Sawit PT.
Tambang Hijau Kecamatan Tambang Kabupaten Kampar. Jurnal Agroteknologi, Vol. 5, No. 1. (1-8).

Jasmadi, Haryani, Y., dan Jose, C. 2014. Prevalensi Bakteri Coliform dan Escherichia coli Pada Daging Sapi
yang Dijual di Pasar Tradisional dan Pasar Modern di Kota Pekanbaru. JOM FMIPA, Vol. 1, No. 2. (31-39).

Kurniadi, Y., Saam, Z., dan Afandi, D. 2013. Faktor Kontaminasi Bakteri Escherichia coli Pada Makanan
Jajanan di Lingkungan Kantin Sekolah Dasar Wilayah Kecamatan Bangkiang. Jurnal Ilmu Lingkungan,
Vol. 7, No. 1. (28-37).

Naria, E. 2005. Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman Jajanan di Kompleks USU Medan. J. USU, Vol. 25,
No. 2. (118-126).

Ningsih, Riyan. 2014. Penyuluhan Hygiene Sanitasi Makanan dan Minuman, serta Kualitas Makanan yang
Dijajakan Pedagang di Lingkungan SDN Kota Samarinda. Jurnal Kesehtan Masyarakat, Vol. 10, No. 1.
(64-72).

Oblinger, J. L., and Koburger, J. A. 1975. Understanding and Teaching The Most Probable Number
Technique. Journal Milk Food Technology, Vol. 38, No. 9. (540-545).

Pratiwi, A. W. 2007. Kesehatan Lingkungan : Kualitas Bakteriologis Air Minum Isi Ulang di Wilayah Kota
Bogor. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 2, No. 2. (62-63).

Rifta, R., Budiyono, dan Darundiati, Y. H. 2016. Studi Identifikasi Keberadaan Escherichia coli Pada Es
Batu yang Digunakan Oleh Pedagang Warung Makan di Tembalang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 4,
No. 2. (176-185).

Salosa, Y. Y. 2013. Uji Kadar Formalin, Kadar Garam, dan Total Bakteri Ikan Asin Tenggiri Asal Kabupaten
Sarmi Provinsi Papua. Depik, Vol. 2, No. 1. (10-15).

Sujaya, I. N., Dwipayanti, N. M. U., Sutiari, N. K., Wulandari, L. P. L., dan Adhi, N. K. T. 2010. Pembinaan
Pedagang Makanan Kaki Lima untuk Meningkatkan Higiene dan Sanitasi Pengolahan dan Penyediaan
Makanan di Desa Penatih, Denpasar Timur. Jurnal Udayana Mengabdi, Vol. 9, No. 1. (1-8).
Sutton, Scott. 2010. The Most Probable Number Method and Its Use in QC Microbiology. Journal of GXP
Compliance, Vol. 14, No. 4. (28-33).
Wandrivel, R., Suharti, N., dan Lestari, Y. 2012. Kualitas Air Minum yang Diproduksi Depot Air Minum Isi
Ulang di Kecamatan Bungus Padang Berdasarkan Persyaratan Mikrobiologi. Jurnal Kesehatan Andalas,
Vol. 1, No. 3. (129-133).

Vous aimerez peut-être aussi