Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Oleh:Kelompok 4
Ach.Dovan (11.321.)
Annisa Dwi A (11.321.)
Ayu Mufidatul (11.321.)
Devita Putri (11.321.)
Luluk Nur F (11.321.)
Ninka Zelbi (11.321.)
Sugik Aprilianto (11.321.072)
Suliana (11.321.)
Zumrotul Mufida (11.321.)
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..............................................................................
B. Tujuan..........................................................................................................
BAB II KONSEP TEORI
A. Anatomi Fisiologi Tulang............................................................................
B. Definisi........................................................................................................
C. Etiologi........................................................................................................
D. Manifestasi Klinis........................................................................................
E. Klasifikasi....................................................................................................
F. Patofisiologi.................................................................................................
G. Komplikasi...................................................................................................
H. Proses Penyembuhan...................................................................................
I. Penatalaksanaan..........................................................................................
J. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................
BAB III ASKEP GAWAT DARURAT FRAKTUR
A. Pengkajian..................................................................................................
B. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi......................................................
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan......................................................................................................
B. Saran............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
B. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Brunner&Suddarth,
2002).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang (Doenges, 1999).
Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma
(Tambayong, 2000). Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik ( Price, 1995)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah terputusnya kontinuitas
tulang yang disebabkan trauma atau tenaga fisik dan menimbulkan nyeri serta
gangguan fungsi.
C. Etiologi
Etiologi dari fraktur menurut (Price dan Wilson, 1995) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi
lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan teradi pada orang-orang yang baru
saja menambah tingkat aktifitas mereka, seperti baru diterima dalam
angkatan bersenjata atau orang-orang yang baru mulai latihan lari.
D. Manifestasi Klinis
Adapun tanda dan gejala dari fraktur, sebagai berikut : (Mansjoer, 2000)
1. Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Hilangnya fungsi dan deformitas
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah. Cruris tak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot berrgantung pada integritas tulang tempat
melengketnya otot.
3. Pemendekan ekstremitas
Terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya karena konstraksi otot
yang melengket di atas dan bawah tempat fraktur.
4. Krepitus
Saat bagian tibia dan fibula diperiksa, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainya.
5. Pembengkakan lokal dan Perubahan warna
Terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.
E. Klasifikasi
1. Menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar di
bagi menjadi 2 antara lain:
a. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur terbuka (opened)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang
memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar
dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah
tulang terbuka :
Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
ii. Derajat II Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya,
dislokasi fragmen jelas.
Derajat III
Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
2. Menurut derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya,
atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan
fragmen tulang biasanya berubak tempat.
b. Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )
Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi
patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick.
(Menurut Price dan Wilson 2006) kekuatan dan sudut dari tenaga
fisik,keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan
apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap
terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap
tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.
3. Menurut bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5
yaitu:
a. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di
sebabkan oleh trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
e. Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
4. Menurut jumlah garis patahan ada 3 antara lain: (Mansjoer, 2000)
a. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
F. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan
fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
oleh karena perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi
di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan
lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul
hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk
tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan
darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak
terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan,
oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner
dan Suddarth, 2002).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot,
ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang harus
imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri,
iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri
dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan
kemampuan prawatan diri.
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di
pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada
jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin
akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan
Wilson, 1995).
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rongent: Menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau trauma
Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur: juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
Hitung Darah Lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal
setelah trauma.
Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
Profil Koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi
multipel, atau cedera hati.
(Dongoes, 1999)
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan di tempat kejadian:
a. Airway
Inspeksi jalan nafas klien apakah ada sumbatan atau tidak,biasanya klien
dengan trauma dan fraktur mengalami obstruksi jalan nafas,jadi mungkin
untuk menanganinya gunakan head till,chin lift,mungkin hindari teknik
jaw trust karena klien mengalami trauma.
b. Breathing
Inspeksi dan auskultasi pernafasan klien,klien dengan trauma atau fraktur
biasanya timbul pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas
terdengar ronchi /aspirasi
c. Circulation
Sirkulasi perifer atau TD klien juga harus di perhatikan,TD dapat normal
atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi
jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa
pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.
1) Penatalaksanaan kedaruratan di tempat kejadian
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk
melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan
(breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau
tidak.fiksasi daerah fraktur sampai ambulan datang dan di bawa ke RS.
Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting
ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat
golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin
besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan
lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan
untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang
lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan
foto.
Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak
menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang
patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi
bagain tubuh segara sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang
mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat
dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas dan dibawah
tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan
fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan
lunak dan perdarahan lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi
dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur.
Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan
jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai
sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan
kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga
dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas
yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada
cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan
bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus
dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali
melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar
melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan diatas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap.
Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan
kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada
sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut.
Penatalaksanaan di RS:
a. Airway
Inspeksi jalan nafas klien apakah ada sumbatan atau tidak,biasanya klien
dengan trauma dan fraktur mengalami obstruksi jalan nafas,jadi mungkin
untuk menanganinya gunakan head till,chin lift,mungkin hindari teknik
jaw trust karena klien mengalami trauma.
b. Breathing
Inspeksi dan auskultasi pernafasan klien,klien dengan trauma atau fraktur
biasanya timbul pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas
terdengar ronchi /aspirasi
c. Circulation
Sirkulasi perifer atau TD klien juga harus di perhatikan,TD dapat normal
atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi
jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa
pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.
I. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut (Smeltzer dan Bare ,2001) antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan
darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang biasa menyebabkan
penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang
rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh
darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau
karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan
memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak pada
aliran darah.
c. Sindroma Kompartement
Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi saraf dan
pembuluh darah yang disebabkan oleh pembengkakan dan edema di
daerah fraktur. Dengan pembengkakan interstisial yang intens, tekanan
pada pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat menyebabkan
pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini menimbulkan hipoksia jaringan
dan dapat menyebabkan kematian syaraf yang mempersyarafi daerah
tersebut. Biasanya timbul nyeri hebat. Individu mungkin tidak dapat
menggerakkan jari tangan atau kakinya. Sindrom kompartemen biasanya
terjadi pada ekstremitas yang memiliki restriksi volume yang ketat, seperti
lengan.resiko terjadinya sinrome kompartemen paling besar apabila terjadi
trauma otot dengan patah tulang karena pembengkakan yang terjadi akan
hebat. Pemasangan gips pada ekstremitas yang fraktur yang terlalu dini
atau terlalu ketat dapat menyebabkan peningkatan di kompartemen
ekstremitas, dan hilangnya fungsi secara permanen atau hilangnya
ekstremitas dapat terjadi. (Corwin,2009)
d. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma biasanya ditandai dengan tidak ada nadi,
CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
e. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
f. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan
adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001).
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union,
delayed union, dan non union.
a. Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh
dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau miring.
Conyoh yang khas adalah patah tulang paha yang dirawat dengan traksi,
dan kemudian diberi gips untuk imobilisasi dimana kemungkinan gerakan
rotasi dari fragmen-fragmen tulang yang patah kurang diperhatikan.
Akibatnya sesudah gibs dibung ternyata anggota tubuh bagian distal
memutar ke dalam atau ke luar, dan penderita tidak dapat mempertahankan
tubuhnya untuk berada dalam posisi netral. Komplikasi seperti ini dapat
dicegah dengan melakukan analisis yang cermat sewaktu melakukan
reduksi, dan mempertahankan reduksi itu sebaik mungkin terutama pada
masa awal periode penyembuhan.
Gibs yang menjadi longgar harus diganti seperlunya. Fragmen-fragmen
tulang yang patah dn bergeser sesudah direduksi harus diketahui sedini
mungkin dengan melakukan pemeriksaan radiografi serial. Keadaan ini
harus dipulihkan kembali dengan reduksi berulang dan imobilisasi, atau
mungkin juga dengan tindakan operasi.
b. Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union
merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan
suplai darah ke tulang.
c. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di
tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Banyak keadaan yang
merupakan faktor predisposisi dari nonunion, diantaranya adalah reduksi
yang tidak benar akan menyebabkan bagian-bagian tulang yang patah
tetap tidak menyatu, imobilisasi yang kurang tepat baik dengan cara
terbuka maupun tertutup, adanya interposisi jaringan lunak (biasanya otot)
diantara kedua fragmen tulang yang patah, cedera jaringan lunak yang
sangat berat, infeksi, pola spesifik peredaran darah dimana tulang yang
patah tersebut dapat merusak suplai darah ke satu atau lebih fragmen
tulang.
J. Penyembuhan Fraktur
Jika satu tulang sudah patah, maka jaringan lunak di sekitarnya juga rusak,
periosteum terpisah dari tulang, dan terjadi perdarahan yang cukup berat. Bekuan
darah terbentuk pada daerah tersebut, bekuan akan membentuk jaringan granulasi,
dimana sel-sel pembentuk tulang primitif (osteogenik) berdiferensiasi menjadi
kondroblas dan osteoblas. Kondroblas dan osteoblas. Kondroblas akan mensekresi
fosfat yang merangsang deposisi kalsium. Terbentuk lapisan tebal (kalus) di
sekitar lokasi fraktur. Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan
lapisan kalus dari fragmen satunya dan menyatu. Fusi dari kedua fragmen
(penyembuhan fraktur) terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula oleh
osteoblas, yang melekat pada tulang dan meluas menyebrangi lokasi fraktur.
Persatuan (union) tulang provisional ini akan menjalani transformasi metaplastik
untuk menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi. Kalus tulang akan mengalami re-
medolling di mana osteoblas akan membentuk tulang baru sementara osteoklas
akan menyingkirkan bagian yang rusak sehingga akhirnya akan terbentuk tulang
yang menyerupai keadaan tulang aslinya. (Price, 1995)
BAB III
ASKEP GAWAT DARURAT FRAKTUR
A. Pengkajian
1. Pengkajian primer
a. Airway
Inspeksi jalan nafas klien apakah ada sumbatan atau tidak,biasanya klien
dengan trauma dan fraktur mengalami obstruksi jalan nafas,jadi mungkin
untuk menanganinya gunakan head till,chin lift,mungkin hindari teknik
jaw trust karena klien mengalami trauma.
b. Breathing
Inspeksi dan auskultasi pernafasan klien,klien dengan trauma atau fraktur
biasanya timbul pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas
terdengar ronchi /aspirasi
c. Circulation
Sirkulasi perifer atau TD klien juga harus di perhatikan,TD dapat normal
atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi
jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa
pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.
2. Pengkajian sekunder
a. Aktivitas/istirahat
kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
1) Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
2) Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
3) Tachikardi
4) Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
5) Cailary refil melambat
6) Pucat pada bagian yang terkena
7) Masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori
1) Kesemutan
2) Deformitas, krepitasi, pemendekan
3) Kelemahan
d. Kenyamanan
1) nyeri tiba-tiba saat cidera
2) spasme/ kram otot
e. Keamanan
1) laserasi kulit
2) perdarahan
3) perubahan warna
4) pembengkakan local
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut
2. Gangguan mobilitas fisik
3. Resiko defisit volume cairan
4. Defisit perawatan diri
5. Kerusakan intregitas jaringan
6. Resiko tinggi infeksi
C. Intervensi
1. Nyeri akut.
(KH dan NOC)
Melaporkan gejala nyeri terkontrol
Melaporkan kenyamanan fisik dan psikologis
Mengenali factor yang menyebabkan nyeri
Melaporkan nyeri terkontrol (skala nyeri)
Tidak menunjukkan respon non verbal adanya nyeri
Tanda vital dalam rentang yang diharapkan
(NIC )
1. Manajemen nyeri
2. Kaji tingkat nyeri yang komprehensif : lokasi, durasi, karakteristik,
frekuensi, intensitas, factor pencetus, sesuai dengan usia dan tingkat
perkembangan.
3. Monitor skala nyeri dan observasi tanda non verbal dari ketidaknyamanan
4. Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum menjadi berat
5. Kelola nyeri pasca operasi dengan pemberian analgesik tiap 4 jam, dan
monitor keefektifan tindakan mengontrol nyeri
6. Kontrol faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon klien
terhadap ketidaknyamanan : suhu ruangan, cahaya, kegaduhan.
7. Ajarkan tehnik non farmakologis kepada klien dan keluarga : relaksasi,
distraksi, terapi musik, terapi bermain,terapi aktivitas, akupresur, kompres
panas/ dingin, masase. imajinasi terbimbing (guided imagery),hipnosis (
hipnoterapy ) dan pengaturan posisi.
8. Informasikan kepada klien tentang prosedur yang dapat meningkatkan
nyeri : misal klien cemas, kurang tidur, posisi tidak rileks.
9. Kolaborasi medis untuk pemberian analgetik, fisioterapis/ akupungturis.
Pengetahuan :
1. pengendalian infeksi
2. Ajarkan pada klien & keluarga cara menjaga personal hygiene untuk
melindungi tubuh dari infeksi : cara mencuci tangan yang benar.
3. Anjurkan kepada keluarga/ pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu
masuk dan meninggalkan ruang klien
4. Jelaskan kepada klien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
5. Ajarkan metode aman cara penyediaan, pengelolaan dan
penyimpanan makanan / susu kpd klien & keluarga.
6. Pengendalian resiko infeksi
7. Pantau tanda dan gejala infeksi : peningkatan suhu tubuh, nadi, perubahan
kondisi luka, sekresi, penampilan urine, penurunan BB, keletihan dan
malaise.
8. Pertahankan tehnik aseptik pada klien yang beresiko
9. Bersihkan alat / lingkungan dengan benar setelah dipergunakan klien
10. Anjurkan kepada klien minum obat antibiotika sesuai
11. Berikan penkes kepada klien dan keluarga tentang cara program
12. Dorong klien untuk mengkonsumsi nutrisi dan cairan yg
adekuat.penularan penyakit infeksi: transmisi secara seksual, oral, fekal,
sekresi tubuh, kontak langsung, dan trankutaneus
13. Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi sesuai indikasi,
dan pemeriksaan laboratorium yang sesuai
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan trauma atau
tenaga fisik dan menimbulkan nyeri serta gangguan fungsi. Fraktur disebabkan
oleh cidera, fraktur patologi, dan fraktur beban. Secara umum fraktur dibedakan
menjadi 2 yaitu terbuka dan tertutup. Manifestasi klinis dari fraktur itu sendiri
yaitu nyeri, hilangnya fungsi dan deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,
Pembengkakan lokal dan Perubahan warna.
Penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu rekognisi, reduksi, retensi,
dan rehabilitasi. Sementara diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada
pasien fraktur adalah:
1. Nyeri berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap
fraktur.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuskuler.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder
terhadap fraktur.
4. Resiko tinggi kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan fraktur.
5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, trauma jaringan.
B. Saran
Walaupun dalam kasus fraktur jarang terjadi kematian, namun bila tidak
ditangani secara tepat atau cepat dapat menimbulkan komplikasi yang akan
memperburuk keadaan penderita. Sehingga perawat perlu memperhatikan
langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam menangani pasien dengan kasus
kegawat daruratan fraktur. Pasien harus mendapatkan pertolongan sesegera
mungkin. Untuk itu dibutuhkan perawat yang tanggap dalam menangani pasien
gawat darurat, terutama dalam hal ini adalah pasien dengan kegawat daruratan
sistem muskuloskeletal, fraktur.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan medikal Bedah. Edisi 8 Vol
3. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed, 3. Jakarta: EGC
Editor, Aru W Sudoyo dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi V.
Jakarta: Interna Publishing
Dongoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC
Editor, R. Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed.2. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Perry, Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses dan
Praktik Edisi 4 Vol.1. Jakarta: EGC
Price, Silvia Anderson dan Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi. Konsep Klinis
Proses-Proses penyakit Edisi Vol. 2. Jakarta: EGC
Price A S, Wilson. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses penyakit
Edisi Vol. 2. Jakarta: EGC
Ramadhan. 2008. Konsep Fraktur (Patah Tulang.
http://forbetterhealth.wordpress.com/2008/12/22/konsep-fraktur-patah-tulang/
diakses tanggal 30 maret 2013
Rasjad, Chairudin. 1998. Ilmu Bedah Orthopedi. Ujung Pandang : Bintang
Lamupate.
Smeltzer Suzanne, C . 2001. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart.
Jakarta: EGC
Tambayong, Jan. 2000 . Patofisiologi. Jakarta: EGC
Wilkinson M J. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC
dan Ktriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC