Vous êtes sur la page 1sur 6

Abstrak

Sejarah ditulis untuk mengingat dan mengetahui peristiwa masa lalu, untuk mengambil
ibrah (pengajaran) yang dapat disingkap melalui pembacaan yang komprehensif. Dalam
lintasan sejarah waktu, Islam sebagai suatu entitas religius dalam komunitas insani telah
meninggalkan warisan panjang berupa historiografi. Sejarah merupakan sebuah disiplin
ilmu pengetahuan yang berdasarkan kepada fakta dan peristiwa.
Tanpa adanya fakta maka suatu peristiwa tidak dapat diketahui kebenarannya
dan tidak dapat dibuktikan. Sejak dikenal sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan,
sejarah dimulai dengan berdasarkan teori, pengertian, falsafah dan kaedahnya,maka
sejarah menjadi suatu kajian yang ilmiah berdasarkan kepada fakta dan peristiwa
sehingga memiliki objek kajian penelitian untuk meneliti suatu kejadian yang telah
terjadi.

Kata Kunci: historiografi, sejarawan, ilmiah.

Latar Belakang

Historiografi mulai ada dan dikenal oleh manusia pada dasarnya sejak manusia
mengenal tulisan atau ketika manusia memasuki zaman sejarah. Ketika manusia
mengenal tulisan, pada dasarnya mereka sudah tumbuh kesadaran untuk menulis tentang
jati dirinya sebagai manusia dalam keluarga dan hidup berbangsa bernegara.
Fakta-fakta sejarah adalah bagaikan kepingan-kepingan suatu botol yang pecah.
Pecahan-pecahan itu berserakan dimana-mana. Oleh sejarawan kepingan-kepingan (fakta)
itu dikumpulkan satu persatu lantas kemudian disusun kembali menjadi bentuk aslinya.
Dalam penyusunan kepingan (fakta) tersebut, sejarawan tuangkan dalam bentuk tulisan
atau cerita yang sering disebut dengan historiografi (penulisan sejarah).

Pengertian Historiografi

Historigrafi terbentuk dari dua akar kata yaitu history dan grafi. Histori artinya
sejarah dan grafi artinya tulisan. Jadi historiografi artinya adalah tulisan sejarah, baik itu
yang bersifat ilmiah (problem oriented)maupun yang tidak bersifat ilmiah (no problem
oriented). Problem oriented artinya karya sejarah ditulis bersifat ilmiah dan berorientasi
kepada pemecahan masalah (problem solving), yang tentu saja penulisannya
menggunakan seperangkat metode penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan no
problem orientedadalah karya tulis sejarah yang ditulis tidak berorientasi kepada
pemecahan masalah dan ditulis secara naratif, juga tidak menggunakan metode penelitian.
Historiografi merupakan tahap terakhir dalam penyusunan sejarah. Disini
diperlukan kemahiran mengarang oleh seorang sejarawan. Ada cara-cara tertentu yang
perlu sekali diperhatikan oleh sejarawan dalam menyusun ceritera. Dengan kata lain,
penulisan atau penyusunan ceritera sejarah memerlukan kemampuan-kemampuan tertentu
untuk menjaga standart mutu dari ceritera tersebut. Seperti misalnya prinsip
serialisasi(cara-cara membuat urutan-urutan peristiwa), yang mana memerlukan prinsip-
prinsip seperti kronologi (urutan-urutan wakutnya), prinsip kausasi (hubungan dengan
sebab akibat) dan bahkan juga kemampuan imajinasi: kemampuan untuk menghubungkan
peristiwa-peristiwa yang terpisah-pisah menjadi suatu rangkaian yang masuk akal dengan
bantuan pemgalaman, jadi membuat semacam analogi antara peristiwa diwaktu yang
lampau dengan yang telah kita saksikan dengan mata kepala sendiri diwaktu sekarang,
terutama bagi peristiwa-peristiwa yang sulit dicarikan dasar kronologi dan kausasih
dalam perhubungannya .1

1
G.J. renier,dalam karya IG widya. Ibid: 24-25
Kelemahan Dari Historiografi

Adapun dalam penyusunan historiografi mengalami hambatan-hambatan yang


disebabkan oleh kelemahan dalam penulisan sejarah (historiografi) yaitu:
1) Sikap pemihakan sejarawan kepada mazhab-mazhab tertentu.
2) Sejarawan terlalu percaya kepada penukil berita sejarah.
3) Sejarawan gagal menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta
menurunkan laporan atas dasar persangkaan keliru.
4) Sejarawan memberikan asumsi yang tak beralasan terhadap sumber berita.
5) Ketidaktahuan sejarawan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang
sebenarnya.
6) Kecenderungan sejarawan untuk mendekatkan diri kepada penguasa atau orang
berpengaruh.
7) Sejarawan tidak mngetahui watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban.

Kesubyektifitas Historiografi

Walaupun historiografi adalah langkah terakhir dalam sebuah penelitian yang


menggunakan metode sejarah, namun menurut historiografi adalah langkah terberat
karena dalam langkah terakhir ini lah pembuktian metode sejarah sebagai suatu bentuk
disiplin ilmiah.2 Adapun menurut, hingga historiografi, langkah-langkah metodologis
yang dikerjakan oleh sejarawan pada umumnya diterima sebagai langkah yang memiliki
validitas objektivitas ilmu. Tapi, langkah selanjutnya disebut art atau seni sehingga
sejarah sesungguhnya tidak mungkin objektif. Padahal sejarah sebagai sebuah ilmu
dituntut memiliki objektivitas.3
Mengapa sejarah tak mungkin objektif? Karena sejarah sudah memakai
interpretasi dan seleksi. Interpretasi dapat berarti sejarah menurut pendapat seseorang dan
seleksi dilakukan dalam memilih fakta-fakta sejarah yang akan dikaji dalam sebuah
penelitian dengan metode sejarah. Interpretasi dan seleksi mau tak mau harus melibatkan
pendirian pribadi peneliti. Fakta sejarah yang dibutuhkan dalam historiografi harus diolah
terlebih dahulu oleh peneliti sejarah dari data-data sejarah. Dalam hal, mengungkapkan
fakta sejarah tidak mungkin dapat objektif karena kumpulan data sejarah hanya dapat
disebut sebagai fakta sejarah apabila diberi arti oleh peneliti. Maka, dalam sebuah
penelitian yang memakai metode sejarah, subjektivitas tidak dapat dielakkan.4
Poespoprodjo (1987) mengungkapkan subjektivitas dalam sebuah penulisan
sejarah adalah ‘halal’ karena tanpa subjektivitas maka tidak akan pernah ada objektivitas.
Lebih lanjut, Poespoprodjo menyatakan yang tidak diperbolehkan mempengaruhi sebuah
penulisan sejarah adalah adanya unsur subjektivisme. Ia mengingatkan perlunya
memisahkan arti dari subjektivitas yang akan mengarah pada objektivitas dengan
subjektivisme. Menurutnya, dalam subjektivisme, objek tidak dinilai sebagaimana
harusnya, namun dipandang sebagai ‘kreasi’, ‘konstruksi’ akal budi. Berpikir disamakan
dengan menciptakan, bukan membantu kebenaran keluar dari ketersembunyiannya
(Pospoprodjo, 1987:23). Agar lebih mudah dimengerti, subjektivisme adalah
kesewenangan subjek dalam mengadakan seleksi, interpretasi, dalam menyusun
periodisasi, namun kesewenangan tersebut tidak bertumpu pada dasar yang dapat
dipertanggungjawabkan, sedangkan subjektivitas sangat erat hubungannya dengan
kejujuran hati dan kejujuran intelektual. Hal inilah yang akan membuat seorang peneliti

2
Soedjatmoko dalam bukunya An Introduction to Indonesia Historiography (1968)
3
Arthur Marwick dalam The Nature of History (1971) dalam Poespoprodjo (1987:1)
4
E.H. Carr dalam bukunya What is History (1970)
sejarah membuat simpulan-simpulan dan hipotesis berdasarkan argumentasi yang kuat.
Salah satu contoh subjektivitas yaitu ketika peneliti sejarah melakukan kritik ekstern dan
intern terhadap sumber atau pengarang/pembuat dokumen. Dalam kegiatan heuristik dan
kritik, serta melakukan perbandingan dengan sumber lainnya, seorang peneliti sejarah
akan memakai teori-teori. Hal ini lah yang dimaksud dengan subjektivitas.
Poespoprodjo (1987:39) mengungkapkan ada tiga hal yang dapat mempengaruhi
subjektivitas peneliti sejarah yang akan membantu menuju objektivitas yakni :
1. Peranan Human Richness
Keberhasilan sebuah karya sejarah sangat bergantung pada seluruh disposisi
intelektual sejarawan atau peneliti sejarah tersebut. Oleh karena itu merupakan sebuah
syarat bahwa seorang peneliti sejarah atau sejarawan mempunyai suatu filsafat manusia
yang sehat, terbuka terhadap nilai kemanusiaan, dan terbuka terhadap segala koreksi.5
Seorang sejarawan atau peneliti sejarah dalam penelitiannya tidak hanya bertemu
dengan beribu fakta, a matter of indicative, tetapi juga beribu nilai, imperatif. Untuk dapat
menangkapnya dengan tepat, seorang peneliti sejarah harus mampu mendalami
permasalahan, masalah nilai, sehingga dapat diperoleh skala yang tepat mengenai nilai-
nilai moral, budaya, politik, religius, teknik, artistik, dan sebagainya .6
Jika seorang peneliti sejarah tidak peka terhadap beragam hal yang berasal dari
beragam bidang dan sektor kehidupan, maka bukan tidak mungkin ia tidak akan bisa
menangkap peristiwa sejarah tersebut sebagaimana mestinya, maka objektivitas pun akan
sulit dicapai. Maka, benarlah apa yang dikatakan oleh Jaques Maritain bahwa semuanya
berpulang pada kekayaan intelektual yang dimiliki oleh indicidu peneliti sejarah atau
sejarawan.
2. Titik Berdiri
Cara seseorang untuk memandang sebuah objek akan berbeda satu sama lain
akibat titik berdiri yang berbeda. Masing-masing akan melihat dan memberikan persepsi
terhadap objek sesuai dengan apa yang ia lihat dari titik di mana ia berdiri. Dalam hal ini,
masing-masing persepsi tentunya akan berbeda dan tidak akan ada yang salah dan yang
benar. Dengan mengidentifikasi titik di mana kita beridri, kita juga akan bisa
mengidentifikasi sikap dalam keadaan titik berdiri tertentu itu. Adalah diri kita sendiri
yang tahu tentang argumentasi kita mengapa akhirnya kita bersikap seperti itu dalam titik
bediri tertentu.
Hubungan ilustrasi di atas dengan kegiatan penelitian sejarah bahwa kegiata
interpretasi bukan kegiatan yang dilakukan atas kesewenangan subjek. Ketajaman dan
kecermatan subjek dalam melakukan interpretasi harus terpenuhi agar dapat mencapai
objektivitas.interpretasi yang dapat diterima dan memenuhi obejktivitas harus memenuhi
tiga syarat.7
3. Mengenal Sumber Distorsi
Seorang peneliti sejarah atau sejarawan seharusnya mengenali sumber-sumber
distorsi yang dapat mengganggu subjektivitas dirinya. Sumber distorsi yang berasal dari
dalam diri sendiri dapat diketahui dengan mempertanyakan kedalaman subjektivitas diri.
Dengan mengenal diri sendiri, maka niscaya tersadarilah bahwasanya
subjektivitas merupakan simpang jalan dunia subjek dan dunia objek. Ini merupakan
kesadaran utama. Jika kita tatap lebih lanjut, maka kita kana memasuki kedalaman
subjektivitas, yakni kedalaman kemerdekaan (untuk mengakui atau menolak, apakah saya
merdeka betul tidak diikat oleh sesuatu sehingga bisa mengatakan sesuatu sebagaimana
mestinya dan sebagainya), kedalaman kritik diri (apakah saya tidak membohong,
memutarbalikkan kenyataan yang ada, apakah tahu betul apa yang dihadapi, apakah

5
(Poespoprodjo, 1987:40).
6
(Pospoprodjo, 1987:41).
7
Gordon Leff dalam History and Social Theory (1969:126)
reserve tidak perlu dibuat dan sebagainya), penyesuaian pada tuntutan-tuntutan objek
(objek tertentu hhanya dapat dijumpai dengan semestinya bila menggunakan metode
tertentu, objek yang eenmalig contingent, lain dengan objek yang dapat direproduksi
sewaktu-waktu, dan sebagainya).8

Jenis-jenis Historiografi

1. Historiografi Tradisional
Historiografi tradisional adalah karya tulis sejarah yang dibuat oleh para
pujangga dari suatu kerajaan, baik itu kerajaan yang bernafaskan Hindu/Budha maupun
kerajaan/kesultanan yang bernafaskan Islam tempo dulu yang pernah berdiri di Nusantara
Indonesia. Seperti kita ketahui di Nusantara Indonesia, bahwa sejak awal bangsa
Indonesia memasuki zaman sejarah, diiringi pula dengan berdirinya kerajaan-kerajaan
terutama yang dominan dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha.
Ø Ciri-Ciri Historiografi Tradisional
1. Regio sentris, artinya segala sesuatu dipusatkan pada raja atau keluarga raja
(keluarga istana).
2. Bersifat feodalistis-aristokratis, artinya yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum
bangsawan feodal, tidak ada sifat kerakyatannya dan tidak memuat riwayat kehidupan
rakyat, tidak membicarakan segi-segisosial dan ekonomi dari kehidupan rakyat.
3. Regio magis, artinya dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal yang gaib.
4. Tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan hal-hal yang nyata.
5. Bersifat regio-sentris/etnosentrisme (kedaerahan), maka historiografi tradisional
banyak dipengaruhi daerah, misalnya oleh cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di
daerah tersebut.
6. Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma.
7. Sebagai ekspedisi budaya maksudnya sebagaisarana legitimasi tentang jati dirinya
dan asal-usulnya yang dapat menerangkan keberadaannya dan memperkokoh nilai-nilai
budaya yang dianut.
8. Oral tradition Historiografi jenis ini di sampaikan secara lisan, maka tidak dijamin
keutuhan redaksionalnya.
9. Anakronistik Dalam menempatkan waktu sering terjadi kesalahan-kesalahan,
pernyataan waktu dengan fakta sejarah termasuk di dalamnyapenggunaan kosa kata
penggunaan kata nama dll. Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha penulisan
sejarahnyacontohnya seperti Kitab Mahabrata dan Ramayana. Sedangkan pada
masakerajaan-kerajaan Islam sudah dihasilkan karya sendiri, bahkan sudahmenerapkan
sistem kronologi dalam penjelasan peristiwa sejarahnya.
Ø Tujuan dari Historiografi Tradisional adalah:
1. Untuk menunjukkan kesinambungan yang kronologis
2. Untuk meningkatkan solidaritas dan integrasi di bawah kekuasaan pusat
3. Untuk membuat simbol identitas baruUntuk menghormati dan meninggikan
kedudukan raja, dan nama raja, serta wibawa raja.
2. Historiografi Kolonial
Historiografi Kolonial sering di sebut sebagai Eropa Sentris, yang berasal darikarya-karya
yang ditulis orang-orang Belanda.
Ø Ciri-ciri Historiografi Kolonial
1. Penulisan sejarahnya biasanya berisi tentang kisah perjalanan atau petualangan
untuk menemukan daerah-daerah baru untuk dijadikan kolonialnya (jajahannya).
2. Tulisan mereka lebih merupakan sarana propaganda untuk kepentingan mereka
(Belanda) dan sekaligus untuk mengendurkasemangat perlawanan bangsa Indonesia.

8
(Poespoprodjo, 1987:56)
3. Bersifat Belanda Sentris, kepentingan kolonial sangat mewarnaiinpretasi mereka
terhadap suatu peristiwa sejarah yang terjadi. Tujuan Historiografi kolonial adalah
semata-mata untuk memperkokoh kekuasaan Belanda di Indonesia.
3. Historiografi Nasional
Historiografi Nasional penulisan setelah Indonesia merdeka,bangsa Indonesia berusaha
untuk menulis sejarah nasionalnya sendiri.
Ø Ciri-ciri Historiografi Nasional
1. Memanfaatkan semua sumber sejarah baik yang bersal dari penulisan sejarah
tradisional (karya bangsa Indonesia) maupun sumber-sumber yang berasal dari
pemerintah kolonial untuk melakukan rekontruksi ulang menjadi sejarah nasional yang
berorientasi kepada kepentingan nasional.
2. Objek penelitian sejarah nasional meliputi berbagai aspek dengan menggunakan
pendekatan multidemensional, baik aspek ekonomi,politik, ideologi, sosial budaya, sistem
kepercayaan.
3. L e b i h m e n g u t a m a k a n k e p e n t i n g a n n a s i o n a l I n d o n e s i a a t a u
b e r s i f a t Indonesia-sentris.
Ø Tujuan Historiografi Nasional
1. Untuk memberikan legitimasi pada keberadaan bangsa Indonesiasebagai bangsa
yang merdeka.
2. Untuk menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa yang sederajat dengan bangsa-
bangsa lain di dunia.
3. Untuk memberikan pendidikan nasionalisme kepada generasi muda sebagai warga
negara dan sebagai penerus bangsa.

Fungsi Historiografi

1. Fungsi Genetis
fungsi Genetis untuk mengungkapkan bagaimana asal usul dari sebuah peristiwa. Fungsi
ini terlihat pada sejumlah penulisan sejarah seperti Babad Tanah Jawi, Sejarah Melayu,
dan Prasasti Kutai.
2. Fungsi Didaktis
Fungsi Didaktis merupakan fungsi yang mendidik artinya dalam karya -karya
sejarah banyak memuatpelajaran, hikmah dan suri teladan yang penting bagi para
pembacanya.
3. Fungsi Pragmatis
fungsi yang berkaitan dengan upaya untuk melegitimasi suatu kekuasaan agar terlihat
kuat dan berwibawa.

Tujuan Historiografi

1. Sekedar kenangan pribadi untuk keluarga.


2. Koreksi atau pembelaan peranan sendiri atau golongan.
3. Kisah kepahlawanan.
4. Sebagai apologi atau kepentingan pendidikan.

Prinsip-Prinsip Historiografi

1. Kejadian diceritakan secara kronologis, dari awal sampai akhir.


2. Ada penentuan fakta kausal (penyebab dan akibat)
3. Perlu adanya periodisasi berdasarkan kriteria tertentu.
4. Perlu adanya seleksi terhadap peristiwa sejarah.
5. Memerlukan episode-episode tertentu.
6. Bila bersifat deskriptif maka perlu proses mengurutkan peristiwa.
7. Bersifat deskriptif analitis.

Vous aimerez peut-être aussi