Vous êtes sur la page 1sur 15

(Angka Rupiah dalam Milyar)

Aktiva Lancar Aktiva Tetap

RI yang
laba yang Beban Beban Beban Beban diharapkan
diprojek- modal modal modal modal (1)-
sikan jumlah % Rp Jumlah % Rp {(4)+(7)}
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
Divisi A Rp 24,0 Rp 60 4% Rp 2,4 Rp 60 10% Rp 6,0 Rp 15,6
Divisi B Rp 14,4 Rp 70 4% Rp 2,8 Rp 50 10% Rp 5,0 Rp 6,6

Gambar 9.21 Perhituungan Residual Income dengan Membedakan Beban

Modal Menurut Kelompok Aktiva

Berdasarkan data tersebut diatas, jika misalkan divisi A menerima usulan investasi yang
diperkirakan memerlukan tambahan aktiva lancar sebesar Rp 5 milyar dan aktiva tetap
sebasar Rp 4 milyar per tahun, maka residual income divisi A setelah memperhitungkan
usulan investasi tersebut dihitung sebagai berikut:

Residu income = Rp 28 milyar - 4% (Rp 65 milyar) – 10% (Rp 65 milyar)

= Rp 18,9 milyar

Karena residual income yang dianggarkan sebelum menerima usulan investasi adalah sebesar
Rp15,6 milyar, dan setelah memperhitungkan usulan investasi, residual income diprediksa
menjadi sebesar Rp18,9 milyar, maka kenaikan residual income sebesar Rp3,3 milyar
(Rp18,9 milyar –Rp 15,6 milyar) menunjukkan usulan investasi tersebut dapat diterima oleh
manajer divisi A. Dengan demikian, jika tambahan aktiva tetap disuatu pusat laba
diperkirakan akan menghasilkan kembali (return) lebih dari 10% (tingkat kembalian yang
diinginkan oleh manajemen puncak), kenaikan aktiva tetap tersebut akan dapat menaikan
residual income. Begitu pula, jika tambahan aktiva lancar disuatu pusat laba diperkirakan
akan menghasilkan kembalian (return) lebih dari 4% (tingkat kembalian yang diinginkan
oleh manajemen puncak), kenaikan aktiva lancar tersebut akan dapat meneikan residual
income. (Mulyadi, 2001)
2.5.19 Kelemahan residul income

Sebagai tolak ukur kinerja pusat laba, residul income memiliki kelemahan sebagai sebagai
berikut:

1. Seperti halnya dengan kembalian investasi, residul income juga hanya mendorong
manajer pusat laba memustkan orientasinya ke tujuan-tujuan jangka pendek, karena
laba dan kompoten yang digunakan untuk menghituung laba hanya dibatasi dengan
periode akuntansin yang tidak lebih dari satu tahun kalender.
2. Seperti halnya dengan kembalian innvestasi, residul income sebagai pengukur kinerja
pusat laba sangat dipengaruhi oleh metode depresiasi aktiva tetap. Karena biasany
perhitungan residul income didasarkan atas laba bersih menurut akuntansi ( yang
biasanya depresiasi yang diperhitungkan sebagai biaya dihitung dengan menggunakan
metode garis lurus), maka kinerja manajer pusat laba tidak dapat dicerminkan dengan
residul income. Contoh 7 diatas menggambarkan suatu usulan investasi yang
dinyatakan layak secara ekonomis untuk dilaksanakan, namun setelah setahun setelah
investasi tersebut dilaksanakan, kinerja pusat laba yang diukur dengan residul income
menunjukkan angka minus. Padahal, aliran kas masuk yang direncanakan menurut
studi kelayakan dapat direalisasikan selama umur ekonomis proyek.
3. Tidak seperti halnya dengan kembalian investasi yang berupa ratio atau presentase,
residul income berupa angka absolut, yang tidak dapat digunakan untuk
membandingkan kemampuan berbagai pusat laba dalam menghasilkan laba.
Perbandinngan secara langsung kinerja dua pusat laba tidak dapat dilakukan dengan
menggunakan residul income jika dua pusat laba tidak dapat dilakukan dengan
mengunakan residul income jika dua pusat laba tersebut memiliki rata-rata aktiva
yang berbeda.

Contoh 11
Perhatikan perhitungan residul income dua pusat laba Gambar 9.22. secar sepintas,
divisi A memiliki kinerja lebiih baik dibandingkan dengan kineja divisi B, karena
residul income divisi A tiga kali lebih besar dibandingkan dengan residul income
divisi B. Namun jika diperhatikan lebih seksama, divisi A mengunakan aktiva enam
kali lebbih besar dibandingkan dengan aktiva yang digunakan oleh divisi B. Untuk
mengatasi kelemahan residul income ini, ada dua allternativ yang ditempuh:
a. Menghitung residul income on invesment sebesar 20% (Rp300.000 :
Rp15.000.000.000) dan divisi B sebesar 4% (Rp100.000 : Rp2.500.000). dapat
dilihat sekarang bahwa divisi B lebih efisien dalam menggunakan aktiva untuk
menghasilkan laba dibandingkan dengan divisi A.
b. Menghitung residual income dan kembalian investasi secara bersama-sama
sebagai ukuran kinerja pusat laba. Kemudian investasi dihitung unttuk
kepentingan perbandingan kinerja berbagai pusat laba dalam perusahaan.
Divisi A Divisi B
Jumlah rata-rata aktiva Rp15.000.000 Rp2.500.000
Laba bersih yang dianggarkan Rp 1.500.000 Rp300.000
Beban modal 8% Rp 1.200.000 Rp200.000
residul income Rp 300.000 Rp100.000
Gambar 9.22 perhitungan residul income Divisi A dan Divisi B
(Mulyadi, 2001)

2.6 PRODUKTIVITAS SEBAGAI PENGUKUR KINERJA

Pusat pertanggungjawaban dapat diukur kinerjanya dengan menggunkan produktivitas


sebagai ukurannya. Pusat pertanggungjawaban yang diukur kinerjnya dengan ukuran
produktivitas adalah pusat pertanggungjawaban yang keluarannya dapat diukur secara
kuantitatif, karena produktivitas merupakan ratio antara keluaran dengan masukan. Pusat
biaya kebijakan yang keluarannya yang tidak dapat diukur sacara kuantitatif, seperti
departemen hubunagan masyarakat, departemen sumber daya manusia, departemen
akuntansi, tidak dapt diukur kinerjanya dengan ukuran produktivitas. Pusat biaya teknik,
pusat biaya kebijakan sepeeti departemen pemasaran, pusat laba, dan pusat investasi dapat
diukur kinerjanya dengan mengguankan produktivitas. (Mulyadi, 2001)

2.6.1 Definisi Produktivitas

Produktivitas berhubungan dengan produksi keluaran secara efisien dan terutama ditujukan
kepada hubungan antara keluaran dan masukan yang digunakan untuk menghasilkan keluaran
tersebut. Biasanya suatu kombinasi atau campuran masukan dapat digunakan untuk
menghsilkan suatu tingkat keluaran tertentu. Sebagai contoh, untuk menghasilkan keluaran
berupa semen diperlukan kombinasi masukan berupa berbagai bahan baku, bahan penolong,
tenaga kerja, energi, dan aktiva tetap. (Mulyadi, 2001)
Pegukuran produktivitas dilakukan dengan megukur perubahan produktivitas
sehingga dapat dilakukan penilaian terhadap usaha untuk memperbaiki produktivitas.
Pengukuran produktivitas dapat bersifat prospektif dan fungsi sebagai masukan untuk
pengambilan keputusan strategik. (Mulyadi, 2001)

2.6.2 Produktivitas Parsial

Pengukuran produktivitas dapat dilakukan untuk setiap masukan secara terpisah atau secara
total untuk keseluruhan masukan yang digunakan untuk menghasilan keluaran. Pengukuran
produktivitas untuk satu masukan pada suatu saat disebut dengan pengukuran produktivitas
parsial (partial productivity measurement). Pengukuran produktivitas untuk seluruh masukan
pada suatu saat disebut dengan Pengukuran produktivitas total (total productivity
measurement). (Mulyadi, 2001)
Produktivitas diukur dalam bentuk ratio antar keluaran dengan masukan. Formula
untuk mengitung produktivitas adalah:
Keluaran
Ratio Produktivitas =
Masukan

Jika keluaran dan masukan yang digunakan formula tersebut dinyatakan dalam
kuantitas fisik, maka ratio produktivitas yang dihasilkan berupa ukuran produktivitaas berupa
ukuran produktivitas operasional (operational productivity measurement). Jika digunakan
keluaran dan masukan dalam rupiah, ratio produktivitas yang dihasilkan berupa ukuran
produktivitas keuangan (financial productivity measurement). (Mulyadi, 2001)

Contoh 12

Dalam tahun 20X1, divisi X memproduksi 11.000 unit produk dengan


mengkonsumsikan 1.100 jam tenaga kerja adalah Rp10 per jam.

Produktivitas parsial dapat dihitung dengan ukuran produktivitas operasional dengan


membagi kuantitas produk yang dihasilkan dengan jumlah tenaga kerja yang
dikonsumsi untuk menghasilkan produk tersebut. Produktivitas operasional adalah
sebesar 10 unit per jam (11.000 + 1.100). Produktivitas keuangan adalah sebesar Rp
25 setiap rupiah biaya tenaga kerja (Rp275.000 + Rp11.000).
2.6.3 Pengukuran Perubahan Produktivitas dengan Ukuran Produktivitas Parsial

Ukuran produktivitas yang dihitung dalam contoh 12 tersebut tidak menyampaikan informasi
apapun jika hanya berdiri sendiri. Agar dapat bermakna, ukuran produktivitas suatu periode
harus dibandingkan dengan ukuran produktivitas periode sebelumnya, untuk mengukur
perubahahan produktivitas. Periode sebelumnya merupakan periode dasar (base period), yang
ukuran produktivitasnya dipakai sebagai standar untuk mengukur kenaikan atau penurunan
produktivitas yang terjadi dalam jangka wakktu tertentu. (Mulyadi, 2001)

Contoh 13

Misalkan divisi X dalam contoh 12 tersebut diatas mencoba prosedur baru didalam
proses pengolahan produknya yang lebiih efisien dibandingkan dengan prosedur yang
dipakai sebelumnya. Dalam tahhun 20X2, dapat diproduksi 110.000 unit produk
dengan menggunakan 10.000 jam tenaga kerja. Produktivitas operasional tahun 20X2
adalah 11 unit produk per jam tenaga kerja (110.000 + 10.000). perubahan
produktivitas dengan digunakannya prosedur baru dalm proses pengolahan produk
dalam tahun 20X2 naik sebanyak 1 unit produk per jam tenaga kerja (naik dari 10 unit
produk per jam tenaga kerja dalam tahun 20X1 menjadi 11 unit produk per jam tenaga
kerja dalam tahun 20X2).

2.6.4 Kelebihan Produktivitas Parsial

Produktivitas parsial sebagai pengukur kinerja manajer memiliki kelebihan berikut ini:

1. Memungkinkan manajer memusatkan usahanya terhadap penggunaan masukan tertentu


saja.
2. Memudahkan karyawan operasional menentukan kinerja produksinya. Karyawan
operasional hanya dapat mengendalikan masukan tertentu, sehingga ukuran produktivitas
parsial yang memberiksn umpan balik mengenai hubungan antara keluaran dengan
masukan tertentu mudah mereka fahami.
3. Untuk kepentingan pengandalian operasional, seringkali standar kinerja bersifat jangka
pendek, yang diukur dengan membandingkan produktivitas parsial batch sekarang
dengna batch sebelumya.
2.6.5 Kelemahan Produktivitas Parsial

Produktivitas sebagai pengukur kinerja manajer memilki kelemahan. penggunaan


produktivitas parsial secara terpisah sebagai ukuran kinerja dapat menyesatkan. Suatu
penurunan produktivitas salah satu masukan kemungkinan diperlukan untuk menaikan
produktivitas masukan yang lain. Kompensasi semacam ini seringkali disengaja assalkan
biaya secara keseluruhan dapat berkurang. Namun, seringkali dilakukan pertukaran (trade-
off) kenaikan produktivitas suatu masukan dengan diimbangi oleh penurunan produktivitas
masukan yang lain, dengan akibat yang merugikan perusahaan. (Mulyadi, 2001)

Contoh 14

Perubahan proses produksi dapat mengurangi jam tenaga kerja untuk merakit produk,
namun jumlah pemboroson pemakaian bahan baku meningkat, dan kuantitas produk
yang dihasilkan tidak berubah. Dalam kondisi ini , produktivitas tenaga kerja
mengalami kenaikan, namun produktivitas bahan baku mengalami penurunan. Jika
kerugian karena pemporosan pemakaian bahan baku melebihi penghematan yang
diperoleh dari kenaikan produktivitas tenaga kerja, produktivitas secara keseluruhan
mengalami penurunan.

Dari Contoh 14 dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Adanya kemungkinan pertukaran (trade-offs) produktivitas masukan yang satu dengan


produktivitas masukan yang lain, memerlukan pengukuran produktivitas totaluntuk
menentukan ketepatan pengambilan keputusan mengenai produktivitas. Hanya dengan
melihat ukuran produktivitas total, manajer dapat secara tepat menarik kesimpulan
mengenai kinerja produktivitas.
2. Karean adanya kemungkinan pertukaran produktivitas antar masukan, pengukuran
produktivitas total harus memperhitungkan konsekuensi keuangan, dan dan oleh karena
itu, dipeerlukan ukuran produktivitas keuangan (financial productivity measure).

2.6.7 Productuvitas Total

Pengukuran produktivitas total dapat dilakukan dalam dua kondisi: tanpa adanya pertukaran
produktivitas antarmasukan dan dengan memperhitungkan adanya pertukaran produktivitas
antarmasukan. (Mulyadi, 2001)
Perubahan Produktivitas Tanpa Pertukaran (Trade-Off) Produktivitas

Dalam memproduksi suatu produk, digunakan berbagai masukan seperti bahan baku, tenaga
kerja, modal, dan energi. Ukuran produktivitas total memperhitungkan semua jenis masukan
yang digunakan untuk menghasilkan keluaran. (Mulyadi, 2001)

Contoh 15

Manajer divisi X melakuakan analisi perubahan produktivitas yang terjadi pada tahun
20X2 dibandingkan dengan 20X1, untuk mengetahui keberhasilan program
peenyempurnaan proses produksi yang dilakukan sejak tahun 20X1. Data keluaran,
masukakan, dan harga per unitnya masing-masing untuk dua tahun berturut-turut
disajikan pada gambar 9.23.

Dari perbandingan ratio produktivitas setiap masukan, manajemen dapat melakukan


evaluasi terhadap perkembangan usaha peningkatan produktivitas yang dilakukannya.
Namun, ratio produktivitas setiap yang disajikan dalam gambar 9.24 tersebuut,
manajemen tidak dapat melakukan evaluasi terhadap nilai perbaikan yang
dilaksanakannya. Informasi mengenai nilai perubahhn produktivitas adalah penting
untuk menghitung dampak ekonomi usaha penyempurnaan produktivitas yang
dilaksanakan, sehingga manajemen memperoleh ukuran menyeluruh
produktivitasnya.

20X1 20X2
Jumlah produk yang dihasilakan 220.000 220.000
Jam tenaga kerja yang dipakai 22.000 20.000
Bahan baku yang dipakai (kg) 220.000 176.000
Harga jual per unit Rp25 Rp25
Upah tenaga kerja per jam Rp10 Rp10
Kos per kg bahan baku Rp 5 Rp 5
Gambar 9.23 Data Keluaran, Masuka, dan Harga per Satuan

Ratio produktivitas operasional dihitung dengan membagi kuantitas produk yang


dihasilakan dengan kuantitas masukan masing-masing, seperti disajikan pada gambar
9.24
20X1 20X2
Ratio produktivitas tenaga kerja 10,00 11,00
Produktivitas bahan baku 1,00 1,25
Gambar 9,24 perbandingan ratio produktivitas

2.6.8 Ukuran Produktivitas yang Dihubungkan dengan Laba

Salah satu cara untuk menilai perubahan produktivitas adalah dengan menghitung
dampak perubahan produktivitas terhadap laba tahun ini. Ukuran ini disebut profit-
linked productivity yang memberikan informasi yang akan membantu manajemen
untuk memahami pentingnya perubahan produktivitas secara ekonomi.

Untuk menghubungkan perubahan productivitas dengan laba tahun kini


diperlukan langkah berikut ini:

1. Menghitung kuantitas masukan tahun ini jika tidak ada perubahan produktiivitas
yang terjadi, atau disebut kuantitas-bebas-perubahan produktivitas (produktivity-
neutral quantity of input).
2. Menghitung kuantitas masukan yang dihitung pada langkah pertama dikalikan
dengan harga per satuan masukan.
3. Membandingkan hasil perhitungan pada langkah kedua dibandingkan dengan hasil
kali kuantitas masukan tahun sesungguhnya tahun kini dengan harga per satuan
masukan sesungguhnya untuk menghitung produktivitas yang dihuungkan dengan
laba.
Contoh 16
Perhitungan kuantitas bebas perubahan produktivitas (productivity-neutral
quantity of input) berdasarkan data pada gambar 9.23 dan gambar 9.24 disajikan
pada gambar 9.25.

Perhitungan Kuantitas Masukan Tahun Ini Jika tidak ada Perubahan


Produktivitas
Kuantitas bebas
Ratio perubahan
Kuantitas Produktivitas produktivitas
produk tahun ini tahun lalu (1) x (2)
(1) (2) (3)
Tenaga kerja 220.000 10 22.000
Bahan baku 220.000 1 220.000
Gambar 9.25 perhitungan kuantitas-bebas-perubahan produktivitas

Perhitungan profit-linked productivity berdasarkan data pada gambar 9.23, gambar


9.24 dan gambar 9.25 disajikan pada gambar 9.26.

Perhitungan Profit-Linked Productivity

KBPP* KBPP x H KS KS x H PLP

(1) (2) (3) (4) (2) – (4)

Tenaga kerja 22.000 Rp 220.000 20.000 Rp200.000 Rp 20.000

Bahan baku 220.000 1.100.000 176.000 875.000 225.000

Rp1.320.000 Rp1.075.000 Rp 245.000

Gamabr 9.26 Perhitungan profit-linked productivity

KBPP adalah kuantitas-bebas-perubahan produktivitas. Lihat data gambar 9.24.


H adalah harga masukan per satuan.
KS adalah kuantitas sesungguhnya yang digunakan untuk menghasilkan keluaran
dalam tahun kini
PLP adalah profit-linked productivity

Dari gambar 9.26 terlihat dampak perbaikan produktivitas tenaga kerja dan bahan
baku terhadap laba divisi X dalam dua tahun tersebut menyebabkan kenaikan laba
sebesar Rp245.000. dengan demikian profit-linked productivity mengukur dampak
perubahanproduktivitas masukan.

2.6.9 Ukuran Produktivitas Total dengan Mempertimbangkan Pertukaran

(Trade-Off)

Jika produktivitas suatu masukan dinaikan dengan akibat penurunan produktivitas ma


sukan yang lain, manajemen memerlukan ukuran nilai produktivitas total yang berupa
profit-linked productivity seperti yang telah diuraikan diatas. (Mulyadi, 2001)

Contoh 17
Divisi A memproduksi berbagai macam produk. Data berikut ini mencerminkan
hasil perbaikann produktivitas proses produksi untuk menghasilkan salah satu
produknya. Pertukaran (trade-off) yang terjadi dalam dua tahun menunjukan
kenaikan produktivitas tenaga kerja dan energi, sementara itu terjadi penurunan
produktivitas bahan baku.
20X1 20X2
Jumlah produk yang dihasilkan (unit) 110.000 120.000
Tenaga kerja yang dipakai (jaam) 11.000 10.000
Bahan baku yang dipakai (kg) 110.000 125.000
Energi (kwh) 200.000 200.000
Produktivitas tenaga kerja 10 12
Produktiviatas bahan baku 1 0,96
Produktivitas energi 0,55 0,60
Harga jual produk per unit Rp25 Rp25
Upah tenaga kerja per jam Rp10 Rp10
Biaya bahan baku per kg Rp 5 Rp 5
Biaya energi dan lain-lain per jam Rp 6 Rp 6
Gambar 9.27 Data Keluaran, Masukan, dan Harga per Satuan

Untuk menghitung dampak perubahan produktivitas terhadap laba, diperlukan


pehitungan kuantitas-bebas-perubahan produktivitas (productivity-neutral quantity
of input) berdasarkan data pada gambar 9.27. Perhitungan kuantitas-bebas-
perubahan produktivitas tersebut disajikan pada gambar 9.28.

Perhitungan Kuantitas Masukan Tahun Kini Jika tidak ada Perubahan


Produktivitas
Kuantitas Bebas
Ratio Perubahan
Kuantitas Produktivitas Produktivitas
Produk Tahun Ini Tahun Lalu (1) X (2)
(1) (2) (3)
Tenaga kerja 120.000 10,00* 12.000
Bahan baku 120.000 1,00** 120.000
Energi 120.000 0,55*** 218.182
Gambar 9.28 Perhitungan Kuantitas-Bebas-Perubahan Produktivitas

*110.000 ÷ 11.000 = 10
** 110.000 ÷ 110.000 = 1
*** 110.000 ÷ 200.000 = 0,55

Perhitungan profit-linked productivity berdasarkan pada gambar 9.27, dan gambar


9.28 disajikan pada gambar 9.29.
KBPP KBPP x H KS KS x H PLP

(1) (2) (3) (4) (1) – (4)

Tenaga kerja 12.000 Rp 120.000 10.000 Rp100.000 Rp 20.000

Bahan baku 120.000 600.000 125.000 625.000 (25.000)

Energi 218.182 1.309.092 200.000 1.200.000 109.092

Dan lain-lain

Rp2.029.092 Rp1.925.000 Rp 104.092

Gambar 9.29 Perhitungan Profit-Linked Productivity

KBPP adalah kuantitas-bebas-perubahan produktivitas (productivity-neutral


quantity of input)
H adalah harga masukan per satuan.
KS adalah kuantitas sesungguhnya.
PLP adalah profit-linked productivity.

2.6.10 Price-Recovery Componen

Ukuran profit-linked productivity mencerminkan jumlah perubahan laba yang terjadi


dalam tahun ini dibandingkan dengan tahun dasar yang disebabkan oleh perubahan
produktivitas. Perubahan laba ini umumnya tidak sama dengan total perubahan laba
diantara dua periode yang diperbandingkan tersebut. Perbedaan antara total
perubahan laba dengan profit-linked productivity disebut price-recovery component.
Komponen perubahan ini merupakan perubahan pendapat (revenues) dikurangi deng
an perubahan biaya maasukan, jika tidak terdapat perubahan produktivitas. (Mulyadi
, 2001)
Contoh 18

Jika dari data dalam contoh 17 dihitung price-recovery component,


perhitungan total laba tahun 20X1 dan 20X2 disajikan pada gambar 9.30.

Total perubahan laba tahun 20X2 adalah Rp185.000 (Rp1.075.000-


Rp890.000). price-recovery component dihitung sebagai berikut:

Total perubahan laba Rp185.000


profit-linked productivity 104.092 -

price-recovery component Rp 80.908

20X1 20X2
Pendapatan penjualan:
110.000 unit x Rp25 Rp 2.750.000
120.000 unit x Rp25 Rp 3.000.000
Biaya masukan:
Tenaga kerja:
11.000 jam x Rp10 110.000
10.000 jam x Rp10 100.000
Bahan baku:
110.000 kg x Rp5 550.000
115.000 kg x Rp5 625.000
Energi dan lain-lain:
200.000 jam x Rp6 1.200.000
200.000 jam x Rp6 1.200.000
Jumlah biaya masukan Rp 1.860.000 Rp 1.925.000
Total perubahan laba Rp 890.000 Rp 1.075.000
Gambar 9.30 Perhitungan Total Laba Tahun 20X1 dan 20X2

Price-recovery component menunjukan bahwa laba tahun 20X2 hanya akan naik
sebesar Rp80.908, jika tidak terjadi perbaikan produktivitas tahun tersebut. Jika seandai
nya tidak ada perbaikan produktivitas, biaya masukan akan mengalami kenaikan
sebesar Rp169.092 (Rp2.029.092 – Rp1.860.000), sehungga kenaikan pendapatan
sebesar Rp250.000 akan digunakan untuk menutup kenaikan biaya masukan tersebut
dan akan mengakibatkan kenaikan laba hanya sebesar Rp80.908 (Rp250.000 –
Rp169.092). Namun, karena dalam tahun 20X2 terdapat perbaikan produktivitas tenaga
kerja dan energi, yang menyebabkan kenaikan laba sebesar Rp104.092 (dampak peruba
han produktivitas terhadap perubahan laba atau profit-linked productivity), maka total
perubahan laba dalam tahun 20X2 adalah sebesar Rp185.000 (Rp104.092 + Rp80.908).
(Mulyadi, 2001)

2.7 ASPEK PERILAKU DALAM PENILAIAN KINERJA DENGAN

MENGGUNAKAN INFORMASI AKUNTANSI

Perusahaan kemungkinan menggunakan informasi akuntansi saja untuk menilai kinerja para
menejernya. Kemungkinan yang lain adalah informasi akuntansi digunakan bersama dengan
informasi nonakuntansi untuk menilai kinerja para manajer. Kemungkinan yang buruk adalah
informasi akuntansi sama sekali tidak digunakan sebagai dasar untuk kinerja manajemen.
Mengapa informasi akuntansii digunakan sabagai dasar atau salah satu dasar untuk menilai
kinerja manajer? Jawabannya adalah informasi akkuntansi mencerminkan nilai sumber daya
yang diperoleh perusahaan dari bisnisnya dan yang dikorbankan oleh para manajer untuk
menjalankan aktivitas bisnis perusahaan. Kinerja para manajer diwujudkan dalam berbagai
kegiatan untuk mencapai tujuan perusahaan. Dan karena setiap kegiatan tersebut memerlukan
sumber daya, maka kinerja manajemen akan dicerminkan dari penggunaan untuk mencapai
tujuan perusahaan. Di samping itu, informasi akuntansi merupakan dasar yang obyektif,
bukan subyektif, sebagai dasar penilaian kinerja manajer. (Mulyadi, 2001)

Kemungkinan orang memberikan reaksi yanng merugikan dengan disajikannya data


kinerja mereka dalam ukuran akuntansi. Alasan yang dikemukakan adalah (1) hubungan
antara struktur organisasi dengan struktur pelaporan keuangan, (2) tingkat partisipasi dalam
penetapan standar, (3) tingkat pemahaman manajemen terhadap informasi akuntansi dan
sisitem akntansi. (Mulyadi, 2001)

2.7.1 Hubungan antara Struktur Organisasi dengan Struktur Pelaporan Keuangan

Jika struktur organisasi dan struktur pelaporan keuangan sejalan, terdapat keserasian antara
tanggung jawab manajer dengan pengendaliannya terhadap pendapatan dan biaya. Dalam
situasi ini , penilaian kinerja akan dirasakan adil dan bearti serta akan memberikan pedoman
pagi inspirasi dan perilaku dimasa yang akan datang. Jika manajer dimintai
pertanggungjawaban atas pendapatan atau biaya yang ia tidak memiliki wewenang untuk itu,
ia akan mengabaikan laporan kinerja dan bakan ia akan melakukan sabotase dalam
pembuatan laporan kinerja tersebut dengan cara memanipulasi dan/atau memalsukan
informasi yang disajikan dalam laporan tersebut. Respon tersebut juga dapat terjadi jika
informasi akuntansi tidak mampu mencerminkan dengan tepat kompleksitas kinerja yang
diukur. (Mulyadi, 2001)

Perilaku yang tidak semestinya tersebut dapat diatasi dengan merancang secara
seksama sistem akuntansi pertanggungjawaban. Sistem akuntansi ini hanya menyajikan unsur
yang dapat dikendalikan oleh manajer didalam laporan kinerja. Tentu saja sistem akuntansi
pertanggungjawaban ini hanya efektif jika didalam organisasi telah ditetapkan tanggung
jawab setiap manajer dengan jelas, tidak ada tanggung jawab yang tumpang tindih
(overlapping).(Mulyadi, 2001)

2.7.2 Tingkat Partisipasi dalam Penetapan Standar

Sebetulnya jarang sekali orang menolak penilaian kinerja yang diterapkan kepadanya. Reaksi
yang negatif terhadap penilaian kinerja biasanya terjadi jika kriteria yang digunakan untuk
mengukur kinerja tidak mencerminkan kinerjanya atau format penetapan sasaran dan laporan
kinerja dianggap lemah. (Mulyadi, 2001)

Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya reaksi negatif terhadap penilaian kinerja


tersebut dan untuk mendorong penerimaan sasaran yang ditetapkan dalam anggaran serta
biaya standar diterima sebagai suatu yang ralistis dan adil, manajer yang dinilai kinerjanya
harus berperan serta didalam penetapan ukuran yang dijadikan dasar penilaian kinerja
mereka. Jika mereka memiliki suara yang memadai dalam penetapan sasaran anggaran dan
biaya standar, mereka akan menganggap sasaran dan biaya standar tersebut sebagai suatu
ukuran yang masuk akal, dan akan menerimanya sebagai suatu yang sah dan akan berusaha
untuk mencapainya. (Mulyadi, 2001)

2.7.3 Tingkat Pemahaman Manajemen terhadap Informasi Akuntansi Dan Sisitem

Akuntansi

Karena data kinerja yang dikomunikasikan oleh sistem akuntansi mencakup setiap kegiatan
organisasi. Orang yang dikendalikan oleh ukuran kinerja harus memiliki pemahaman yang
memadai terhadap informasi akuntansi dan metode yang digunakan untuk pengumpulan data
dan pengolahan informasi akuntansi. Misalnya, manajer pusat biaya yang diukur kinerjanya
berdasarkan informasi biaya, harus memiliki pemahaman yang jelas teerhadap konsep biaya
terkendali, variabilitas biaya, committed and discretionary fixed costs, dan engineered and
discretionary variable costs pusat pertanggungjawabannya. Manajer pusat laba yang diukur
kinerjanya berdasarkan laba perlu memahami konsep laba terkendalikan, konsep investment
base. Disamping itu para manajer perlu memahami sistem pengumpulan data dan pengolahan
informasi akuntansi seperti: penyusunan anggaran, penetapan biaya standar, dan proses untuk
menetapkan sasaran kinerja. (Mulyadi, 2001)

Semakin banyak manajer yang memahami sistem akuntansi, semakin besar


kemungkinan sistem penilaian kinerja berfungsi secara efektif. Ketidakacuan terhadap
komposisi dan tujuan pengendalian akuntansi dan sistem penilaian kinerja akan berakibat
timbulnya ketidakpercayaan, kecemasaan, dan rasa tertekan yang berlebihan. Orang akan
merasa terancam dengan sesuatu yang tidak mereka fahami dan sebagai akibatnya timbul
adanya kemungkinan mereka melakukan perlawanan kembali dengan cara yang tidak masuk
akal dan bersifat merusak. (Mulyadi, 2001)

Vous aimerez peut-être aussi