Vous êtes sur la page 1sur 24

PRESENTASI KASUS KECIL

DISPEPSIA

Pembimbing :
dr. Ma’mun, Sp.PD

Muhammad Nur Irdal Iqbal 1620221149


Antania Isyatira 1710221005
Gina Puspa Endah 1710221022
Luthfi Octafyan 1710221048

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS KECIL


DISPEPSIA

Disusun oleh :

Muhammad Iqbal 1620221149


Antania Isyatira 1710221005
Gina Puspa Endah 1710221022
Luthfi Octafyan 1710221048

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik


Di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah Disetujui Dan Dipresentasikan


Pada Tanggal: Mei 2018

Purwokerto, Mei 2018


Pembimbing,

dr.Ma’mun, Sp.PD
I. PENDAHULUAN

Keluhan dyspepsia merupakan keadaan klinis yang sering di jumpai dalam praktek
sehari-hari, diperhikan hampis 30% kasus praktek umum dan 60% praktek
gastroenterologis merupaka kasus dyspepsia.istilah dyspepsia mulai gencar
dikemukan sejak akhir tahun 80an yang menggambarkan keluhan atau kumpulan
gejala (syndrome) yang terdiri dara nyeri atau rasa tidak nyama di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh di perut, sendawa, regurgitasi dan rasa
pana yang menjalardi dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari
oleh berbagai penyakit tentunya termasuk pula penyakit lambung, yang diasumsikan
oleh oran awam seperti penyakit maag/lambung. Penyakit hepatitis, pancreatitis
kronik, kolesititis kronik, merupakan penyakit tersering setelah penyakit yang
melibatkan gangguan patologis pada tukak peptic dan gastritis. Beberapa penyakit di
luar system gastrointestinal dapat pula bermannifestasi dalam syndraom dyspepsia,
sepertia gangguan insfrak miokard, penyakit tiroid, obat-obatan dan sebagainya.
Dyspepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat
dialami oleh seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi umtum didapatkan
bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Dari -
data di Negara barat di dapatkan prevalensinya berkisar 7-41% tapi hanya 10-21%
yang mencari pertolongan medis. Belum ada data epidemiologi di Indonesia.
Gejala yang esensial adalah selalu adanya komponen dari nyeri atau
gangguan abdomen bagian atas. Untuk membedakannya dari ICS ( Irretible Colon
Syndrome) dikatakan bahwa dyspepsia meliputi gejala-gejala yang berpredominasi
pada abdomen bagian atas. Sejak pemakaian istilah dyspepsia hingga sejkrang banyak
timbul bermacam-macam batasan mengenaik dyspepsia.
II. STATUS PASIEN

A. IDENTITAS
 Nama : Tn. S
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Usia : 39 tahun
 Alamat : Jl Nyi Meleng, Argawinangun
 No. CM : 00073916
 Status : Menikah
 Pekerjaan : Buruh harian
 Agama : Islam
 Ruang Rawat : Asoka
 Tgl Masuk RS : 23 April 2018
 Tgl Periksa : 24 April 2018

B. ANAMNESIS
 Keluhan Utama : Muntah Berulang
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD dengan keluhan utama muntah berulang,
muntah didahului dengan mual, muntah berupa makanan dan tidak
pernah terdapat darah, terjadi lebih dari 10 kali. pasien juga mengaku
demam tinggi > 2 hari pada saat dirumah, namun pasien tidak pernah
mengukur suhu tubuh. Keluhan nyeri perut di bagian ulu hati
dirasakan hilang timbul dan nyeri pada saat ditekan. Pasien juga
mengeluh lemas. Keluhan diare disangkal oleh pasien, keluhan sesak
napas dan batuk tidak ada. BAK lancar tidak terasa sakit atau
terganggu, BAB lancar 1 hari sekali tidak pernah terdapat darah.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
 Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya
 Darah tinggi : disangkal
 Kencing manis : disangkal
 Asma : disangkal
 Alergi obat : disangkal
 Alergi makanan : disangkal
 Penyakit kuning : disangkal
 Penyakit jantung : disangkal
 Penyakit ginjal : disangkal
 Riwayat transfusi darah : disangkal
 Riwayat operasi : disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga


Saat ini tidak ada yang mengalami keluhan yang serupa dengan
pasien di keluarga, riwayat alergi terhadap makanan maupun obat
obatan disangkal, riwayat penyakit kuning pada keluarga disangkal
disangkal.
 Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien Merupakan buruh didaerah banyumas. pasien merokok
namun sudah berhenti sejak 5 tahun terakhir, tidak mengonsumsi
alkohol atau obat obatan tertentu. Pasien sudah menikah dan
dikaruniai 2 orang anak, pasien tinggal bersama istri dan 2 anaknya di
rumah yang mempunyai ventilasi cukup baik, pencahayaan matahari
yang cukup dan jarak antara rumah yang lain berjauhan. hubungan
antara pasien dengan keluarga, tetangga, dan rekan kerja baik.
B. PEMERIKSAAN FISIK
Selasa, 24 April 2018
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign
a. Tekanan darah : 110/80 mmHg
b. Nadi : 100 ×/menit reguler, isi cukup
c. Pernapasan : 20×/menit
d. Suhu : 36.5 °C
4. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
 Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
 Rambut
Warna rambut hitam, tidak rontok dan terdistribusi merata.
 Mata
Simetris, edema kelenjar lacrimalis (-/-) konjungtiva anemis
(-/-), sklera ikterik (-/-), mata kering (-), refleks cahaya (+/+)
normal, pupil isokor diameter 3 mm/3mm.
 Telinga
Discharge (-/-)
 Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
 Mulut
Bibir kering (+), bibir pucat (-), bibir sianosis (-), lidah
sianosis (-), lidah kotor (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+2cm
c. Pemeriksaan thorax
1. Paru
 Inspeksi : dinding dada tampak simetris dan tidak
tampak ketertinggalan gerak antara hemithorax dekstra
dan sinistra. Kelainan bentuk dada (-), retraksi
intercostalis (-).
 Palpasi : Apex vokal fremitus sinistra = dextra Basal
vokal fremitus sinistra = dextra
 Perkusi : Perkusi orientasi seluruh lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
 Auskultasi : Apex suara dasar vesikuler +/+, RBH-
/-, RBK-/-, Basal suara dasar vesikuler +/+ dan
Wheezing-/-
2. Jantung
 Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari
lateral LMCS, kuat angkat (-)
 Perkusi :
Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri :SIC VI 2 jari lateral
LMCS
 Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen
- Inspeksi : cembung, Darm contour (-), Darm steifung (-)
- Auskultasi : bising usus (+) terdengar setiap 2-5 detik
(normal)
- Perkusi : redup, pekak sisi (-), pekak alih (-)
- Palpasi : supel, nyeri tekan (+ ) di epigastrium dan
hipokondrium kiri, tes undulasi (-)
- Hepar : tidak teraba pembesaran
- Lien : tidak teraba pembesaran

e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Kuku kuning - - - -
(ikterik)
Akral dingin - - - -

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium 23/04/2018

No Jenis Pemeriksaan Nilai


1 Hb 13.4
2 Leukosit 13.130 H
3 Ht 40
4 Eritrosit 5.4
5 Trombosit 269.000
6 MCV 73.7 L
7 MCH 24.7 L
8 MCHC 33.5
9 RDW 14.0
10 MPV 19.8
11 Basofil 0.0
12 Eosinofil 0.1 L
13 Batang 1.1 L
17 Segmen 81.9 H
18 Limfosit 12.3 L
19 Monosit 4.1
20 Natrium 140
21 Kalium 3.3 L
22 Klorida 105
23 GDS 93

Pemeriksaan Urine Lengkap 23/04/18


Warna : kuning
Kejernihan : agak keruh
Bau : khas
pH : 6.0
Sedimen
Eritrosit : 0 – 1
Leukosit : 0 – 1
Epitel :1–3
Bakteri 11 – 20

Seroimunologi (WIDAL) 23/04/18


S. Typhi O : positip titer 1/80
S. Thyphi H : positip titer 1/80

Dilakukan USG Abdomen 25 april 2018


Kesan : tak tampak kelainan pada organ organ intraabdomen secara
sonografi
PEMERIKSAAN EKG

D. DIAGNOSIS KERJA
Abdomial Pain
Dispepsia
ISK

E. TATALAKSANA
1. Farmakologi
- IVFD Ringer Laktat 2000cc/24 jam
- Inj. Omeprazole 1 amp/24 jam
- Inj Paracetamol 3 x 1
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1
- Inj. Mecobalamin 1 Amp/24 jam
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1
2. Non Farmakologis
o Diet tinggi kalori tinggi protein
o Banyak minum

F. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsional : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
III. TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Definisi
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen
bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala
berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah
makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan
sendawa.5 Untuk dispepsia fungsional, keluhan tersebut di atas harus berlangsung
setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum
diagnosis ditegakkan (Simadibrata dkk, 2014).

III.2 Epidemiologi
Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari
pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi.
Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa
tanda bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di
negara-negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura,
Taiwan, Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia
adalah dispepsia fungsional.
Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam
beberapa senter di Indonesia pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7
% kasus kelainan minimal pada gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus
gaster; dan normal pada 8,2% kasus.
Di Indonesia, data prevalensi infeksi Hp pada pasien ulkus peptikum (tanpa
riwayat pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/OAINS) bervariasi dari 90-
100% dan untuk pasien dispepsia fungsional sebanyak 20- 40% dengan berbagai
metode diagnostik (pemeriksaan serologi, kultur, dan histopatologi).
Prevalensi infeksi Hp pada pasien dispepsia yang menjalani pemeriksaan
endoskopik di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di Indonesia (2003-2004)
ditemukan sebesar 10.2%. Prevalensi yang cukup tinggi ditemui di Makasar tahun
2011 (55%), Solo tahun 2008 (51,8%), Yogyakarta (30.6%) dan Surabaya tahun 2013
(23,5%), serta prevalensi terendah di Jakarta (8%) (Simadibrata dkk, 2014).

III.3 Etiologi .
Beberapa penyakit diluar sistem gastrointestinal dapatpula bermanifest dalam
bentuk sindrom dispepsia, seperti yang cukup kita haru waspadai adalah gangguan
kardiak ( inferior iskemiaJinfark miokard), penyakit tiroid, obat-obatan dan

sebagainya (Djojoningrat, 2010)


Gambar 1. Etiologi Dispepsia

III.4 Klasifikasi
Dispepsia terbagi atas dua subklasifi kasi, yakni dispepsia organik dan
dispepsia fungsional, jika kemungkinan penyakit organik telah berhasil dieksklusi.
Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni postprandial distress
syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distress syndrome mewakili
kelompok dengan perasaan “begah” setelah makan dan perasaan cepat kenyang,
sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan
dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial distress
syndrome. Dalam praktik klinis, sering dijumpai kesulitan untuk membedakan antara
gastroesophageal reflux disease (GERD), irritable bowel syndrome (IBS), dan
dispepsia itu sendiri. Hal ini sedikit banyak disebabkan oleh ketidakseragaman
berbagai institusi dalam mendefinisikan masing-masing entitas klinis tersebut
(Abdullah dan Gunawan, 2012).

III.5 Patofisiologi
Patofisiologi ulkus peptikum yang disebabkan oleh Hp dan obat-obatan anti-
inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui.1 Dispepsia fungsional
disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara lain gangguan motilitas
gastroduodenal, infeksi Hp, asam lambung, hipersensitivitas viseral, dan faktor
psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik, gaya hidup,
lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya (Simadibrata dkk,
2014).
a. Sekresi Asam Lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyaitingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupundengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata
normal.Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambungterhadap asam
yang menimbulkan rasa tidak enak diperut.
b. Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dyspepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima.Dari berbagai laporan kekerapan Hp pada
dispepsiafungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermaknadengan angka
kekerapan Hp pada kelompok orang sehat.Memang mulai ada kecenderungan
untuk melakukaneradikasi Hp pada dispepsia hngsional dengan Hp positif yang
gaga1 dengan pengobatan konservatif baku.
c. Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan
pengosongan lambung,adanya hipomotilitas antrum (sampai 50%
kasus),gangguan akomodasi lambung waktu makan, disritmiagaster dan
hipersensitivitas viseral. Salah satu dari keadaanini dapat ditemukan pada
setengah sampai duapertigakasus dispepsia fungsional. Perlambatan
pengosonganlambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia fungsional ,tetapi
tidak ada korelasi antara beratnya keluhan denganderajat perlambatan
pengosongan lambung. Pemeriksaanmanometri antro-duodenal memperlihatkan
adanyaabnormalitas dalam bentuk post antral hipomotilitasprandial, disamping
juga ditemukannya disfungsi motorikusus halus. Perbedaan patofisiologi ini
diduga yangmendasari perbedaan pola keluhan dan akanmempengaruhi pola
pikir pengobatan yang akan diambil.Pada kasus dispepsia fungsional yang
mengalamiperlambatan pengosongan lambung berkorelasi dengan keluhan mual,
muntah dan rasa penuh di ulu hati.
Sedangkan kasus dengan hipersensitivitas terhadap distensi lambung biasanya
kan mengeluh nyeri, sendawa dan adanya penurunan berat badan. Rasa cepat
kenyangditemukan pada kasus yang mengalami gangguan akomodasi lambung
waktu makan 1 1. Pada keadaannormal, waktu makanan masuk lambung terjadi
relaksasifundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanandalam lambung.
Dilaporkan bahwa pada penderitadispepsia fungsional terjadi penurunan
kemampuanrelaksasi fundus postprandial pada 40% kasus 14. Konsepini yang
mendasari adanya pembagian sub grup dispepsiafungsional menjadi tipe
dismotilitas, tipe seperti ulkus dantipe campuran
d. Ambang Rangsang Persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor , termasuk reseptor kimiawi, reseptor
mekanik dan nociceptor. Dalamstudi tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai
hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gasteratau duodenum.
Bagaimana mekanismenya, masih belum dipahami. Penelitian dengan
menggunakan balon intragastrik didapatkan hasil bahwa 50% populasi dispepsia
fungsional sudah timbul rasa nyeri atau tidak nyaman diperut pada inflasi balon
dengan volume yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa
nyeri pada populasi control
e. Disfungsi Autonom
Disfungi pesyarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga
diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung waktu
menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan
rasa cepat kenyang
f. Aktivitas Mioelektrik Lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi
berupa tachygastria, bradygastria pada lebih kurang 40% kasus dispepsia
fungsional, tapi ha1 ini bersifat inkonsisten.
g. Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam pathogenesis dispepsia fungsional.
Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan
gangguan motilitasantroduodenal. Dalam beberapa percobaan ,
progesteron,estradiol dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan
memperlambat waktu transit gastrointestinal.
h. Diet dan Faktor Lingkungan
Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia
fungsional dibandingkan kasus kontrol.
i. Psikologis
Adanya stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan
keluhan pada orang sehat.Dilaporkan adanya adanya penurunan kontraktilitas
lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Tapi
korelasi antara faktor psikologik streskehidupan, fungsi otonom dan motilitas
tetap masihkontroversial. Tidak didapatkan personaliti yang karakteristik untuk
kelompok dispepsia fungsional ini dibandingkan kelompok kontrol. Walaupun
dilaporkan dalamstudi terbatas adanya kecenderungan pada pada kasus dispepsia
fungsional terdapat masa kecil yang tidak bahagia, adanya sexual abuse, atau
adanya gangguan psikiatrik (Djojoningrat, 2009).

III.6 Manifestasi Klinis


Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas/ kualitasnya pada setiap
pasien, maka banyak disarankanuntuk mengklasifikasi dispepsia fungsional
menjadibeberapa subgrup didasarkan pada keluhan yang paling mencolok atau
dominan.
 Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari
dikategorikan sebagai dispepsia fungsionaltipe seperti ulkus ( ulcer like
dyspepsia )
 Bila kembung, mual , cepat kenyang merupakan keluhanyang paling sering
dikemukakan, dikategorikan sebagaidispepsia fungsional tipe seperti
dismotilitas(dismotility like dyspepsia )
 Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan,dikategorikan sebagai dispepsia
non-spesifik.Perlu ditekankan bahwa pengelompokan tersebuthanya untuk
mempermudah diperoleh gambaran klinispasien yang kita hadapi serta pemilihan
alternatifpengobatan awalnya (Djojoningrat, 2009).

III.7 Diagnosis
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan
fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis
erosi, gastritis, duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu
kepada kriteria Roma III.Kriteria Roma III belum divalidasi di Indonesia. Konsensus
Asia-Pasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis
Roma III dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen bagian atas
yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional.
Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih
gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
• Nyeri epigastrium
• Rasa terbakar di epigastrium
• Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
• Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir
dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Kriteria Roma III membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni epigastric
pain syndrome dan postprandial distress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini
menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien
dyspepsia(consensus).

Gambar 2. Alur Diagnosis dispepsia belum diinvestigasi

Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasien-pasien
yang datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia yaitu:
• Penurunan berat badan (unintended)
• Disfagia progresif
• Muntah rekuren atau persisten
• Perdarahan saluran cerna
• Anemia
• Demam
• Massa daerah abdomen bagian atas
• Riwayat keluarga kanker lambung
• Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun

Pasien-pasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan investigasi terlebih


dahulu dengan endoskopi (Simadibrata dkk, 2014).
II.7 Tatalaksana
Pedoman terbaru pengelolaan uninvestigated dyspepsia merekomendasikan
pemeriksaan Helicobacter pylori dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan
pengobatan terhadap infeksi tersebut.6 American College of Gastroenterology
Guidelines for the Management of Dyspepsia (2005), mengemukakan pentingnya
mendeteksi tanda-tanda bahaya (alarming features) pada pasien dengan keluhan
dyspepsia. Apabila didapatkan tanda-tanda bahaya (seperti gejala dispepsia yang baru
muncul pada usia lebih dari 55 tahun, penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya, anoreksia, rasa cepat kenyang, muntah disfagia progresif,
odinofagia, perdarahan (Abdullah dan Gunawan, 2012).

a. Pendekatan umum
Luasnya lingkup menejemen pada kasus dyspepsia fungsional
menggambarkan bahwa adanya ketidakpastian dalam patogenesisnya. Adanya respon
plasebo yang tinggi (sekitar 45%) mempersulit untuk mencari regimen pengobatan
yang lebih pasti. Penjelasan dan reassurance kepada pasien mengenai latar belakang
keluhan yang dialaminya, merupakan langkah awal yang penting. Buat diagnosis
klinik dan evaluasi bahwa tidak ada penyakit serius atau fatal yang mengancamnya.
Coba jelaskan sejauh mungkin tentang patogenesis penyakit yang dideritanya.
Evaluasi latar belakang faktor psikologis. Nasehat untuk menghindari makanan yang
dapat mencetuskan serangan keluhan.Sistem rujukan yang baik akan berdampak
positif bagi perjalanan penyakit pada kasus dispepsia fungsional.

b. Dietetik
Tidak ada dietetik baku yang menghasilkan penyembuhan keluhan secara
bermakna. Prinsip dasar menghindari makanan pencetus serangan merupakan
pegangan yang lebih bermanfaat. Makanan yang merangsang, seperti pedas, asam,
tinggi lemak, kopi sebaiknya dipakai sebagai pegangan umum secara proporsional
dan jangan sampai menurunkanlmempengaruhi kualitas hidup penderita. Bila keluhan
cepat kenyang, dapat dianjurkan untuk makan porsi kecil tapi sering dan rendah
lemak.
c. Medikamentosa
1.) Antasid
Merupakan obat yang paling umum di konsumsi oleh penderita dispepsia, tapi
dalam studi metaanalisis, obat ini tidak lebih unggul dibandingkan plasebo.
2.) Penyekat H2 Reseptor
Obat ini juga umum diberikan pada penderita dispepsia. Dari data studi acak ganda
tersamar, didapatkan hasil yang kontrovesi. Sebagian gaga1 memperlihatkan
manfaatnya pada dispepsia fungsional, dan sebagian lagi berhasil. Secara meta-
analisis diperkirakan manfaat terapinya 20% diatas plasebo. Masalah pokok adalah
kriteria inklusi pada berbagai penelitian, dan juga kemunglunan masuknya kasus
penyakit refluks gastroesofageal. Umumnya manfaatnya ditujukan untuk
menghilangkan rasa nyeri ulu hati.
3.) Penghambat Pompa Proton
Obat ini tampaknya cukup superior dibandingkan placebo pada dispepsia
fungsional, walaupun pada banyak studi secara tidak sengaja juga terlibat kasus
penyakit refluks terlihat pada kelompok dispepsia fungsional tipe seperti ulkus.
4.) Sitoproteksi
Obat ini, misalnya misorpolol, sukralfat, tidak banyak studinya untuk memperoleh
kemanfaatan yang dapat dinilai.
5.) Prokinetik
Termasuk golongan ini adalah metoklopramid (antagonis reseptor reseptor
dopamin D2), domperidon (antagonis reseptor D2 yang tidak melewati sawar
otak ) dan cisapride (agonis reseptor 5-HT4). Dalam berbagai studi metaanalisis,
baik domperidon dan cisapride mempunyai efektivitas yang baik dibandingkan
plasebo dalam mengurangi nyeri epigastrik, cepat kenyang, distensi abdomen dan
mual . Metoklopramid yang tampaknya cukup bermanfaat pada dispepsia
fungsional, tapi terbatas studinya dan hambatan efek samping ekstrapiramidal-nya.
Cisapride tergolong agonist reseptor 5-HT4 dan antagonis 5-HT3, yang secara
metaanalisis memperlihat kan angka keberhasilan dua kali lipat dibandingkan
plasebo. Beraksi pada pengosongan lambung dan disritmia lambung. Masalah saat
ini adalah setelah diketahuinya efek sampingnya pada aritmia jantung, terutama
perpanjangan masa Q-T, sehingga pemakaiannya beradadalam pengawasan
6.) Obat Lain-lain
Adanya konsep peran hipersensitivitas visceral dalam patogenesis dispesia
fungsional, membuka peran obatobatan yang bermanfaat dalam menghilangkan
persepsi rasa nyeri. Dalam beberapa penelitian, dosis rendah antidepresan
golongan trisiklik dilaporkan dapat menurunkan keluhan dispepsia terutama nyeri
abdomen. Kappa agonist fedotoxine dapat menurunkan hipersensitivitas lambung
dalam studi pada volunteer serta pada beberapa studi dapat menurunkan keluhan
pada kasus dispepsia fungsional , walaupun manfaat kliniknya masih
dipertanyakan. Obat golongan agonis 5-HT1 (sumatriptan dan buspiron ) dapat
memperbaiki akomodasi lambung dan memperbaiki keluhan rasa cepat kenyang
setelah makan.
7.) Psikoterapi
Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavioral therapy memperlihatkan
manfaatnya pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan terapi baku
(Djojoningrat, 2009).

II.8 Prognosis
Mahadeva et al. (2011) menemukan bahwa pasien dispepsia fungsional
memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan
dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering dialami
oleh individu dyspepsia fungsional.25 Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa pasien
dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap pengobatan, memiliki
kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatris (Abdullah
dan Gunawan, 2012)

IV. KESIMPULAN

dyspepsia merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari nyeri dan rasa sakit tidak
nyaman pada bagian epigastrium. Pada syndrome dyspepsia juga ditemukan keluhan
seperti mual, muntah, rasa kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang dan sering
bersendaw. etiologi dari dyspepsia karena adanya kelainan organic, yaitu gangguan
atau penyakit dalam lumen saluran cerna, obat-obatan, penyakit pada hati, pancreas,
maupun pada system bilier seperti hepatitis, pankreatitis, kolestitis kronik, serta
penyakit sistemik lainnya.
Manifestasi klinis dari syndrom dyspepsia adalah :
 Nyeri perut ( abdominal discomfort )
 Rasa perih di ulu hati
 Mual, kadang-kadang sampai muntah
 Nafsu makan berkurang
 Perut terasa kenyang
 Perut kembung
 Rasa pada di dada dan perut
 Regurgitasi ( keluat cairan dari lambung secara tiba-tiba )
Patofiologis dari dyspepsia adalah adanya perubahan pola makan yang tidak teratur,
karna obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat eperti nikotin dan alkohol serta adanya
kondisi kejiwaan yaitu stress, asupan berkurang makan menjadi berkurang sehingga
lambung akan kosong dan mengakibatkan erosi pada dinding lambung akibat dari
gesekan antara dinding-dinding lambung tersebut. Dan akan terjadi penigkatan
produksi HCL akan merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung dan
merangsang medulla oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak
adekuat baik makanan maupun cairan. Komplikasi dari dyspepsia adalah luka pada
dinding lambung yang dalam atau melebar tergantung berapa lamanya lambung
terpapar oleh asam lambung dan syndrome dyspepsia dapat mengakibatkan terjadinya
kanker pada lambung.
V. DAFTAR PUSTAKA
1. Marcellus Simadibrata dkk 2014, Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi
Helicobacter pylori, Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI)Kelompok
Studi Helicobacter pylori Indonesia (KSHPI), Jakarta.
2. Abdullah, M, Gunawan, J 2012, Dispepsia, Continuing Medical Education,
Divisi Gastroenterologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia
3. Djojoningrat, D 2009, Dispepsia Fungsional, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, Diponegoro 71 Jakarta pusat

Vous aimerez peut-être aussi