Vous êtes sur la page 1sur 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hermeneutika diperkenalkan untuk pertama kali sejak munculnya buku dasar-dasar
logika, Peri Hermeneias karya Aristoteles, sejak saat itu konsep logika dan penggunaan
rasionalitas diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis. Hermeneutika merupakan
salah satu jenis filsafat yang mempelajari interpretasi makna. Kata hermeneutika berasal dari
bahasa Yunani, hermeneuien yang berarti menafsirkan, memberi pemahaman, atau
menterjemahkan. Jika dirunut, hermeneutika merupakan nama salah satu pantheon Yunani
kuno, yaitu Hermes- Yunani kuno menyebutnya sebagai dewa, sedangkan islam
menyebutnya sebagai Nabi Idris- yang bertugas untuk menyampaikan pesan kepada manusia.
Beranjak dari hal inilah hermeneutika kemudian digunakan untuk diistilahkan
sebagai ilmu tentang penafsiran teks. Hermeneutik adalah teori tentang pemahaman terhadap
menafsirkan teks yang berbeda jauh dengan pemahaman secara umum, mengarah kepada
kesadaran estetika terhadap nilai-nilai kritisme.
Pada dasarnya hermeneutika dipahami secara komprehensif yang meliputi seluruh
ruang seni dan persoalan-persoalan kompleksnya. Dalam hal ini hermeneutika secara
keseluruhan harus bersikap adil terhadap pengalaman seni agar mudah dipahami dari semua
pernyataan untuk dibentuk dan disempurnakan secara menyeluruh. Dalam cakupannya,
hermeneutika terfokus dalam dua kajian, yakni (1) peristiwa pemahaman terhadap teks, (2)
persoalan yang mengarah mengenai pemahaman dan interpretasi.
Maka dari itu penulis akan mengemukakan pandangan Emilio Betti dalam
hermeneutikanya yang berusaha menyatukan pemikiran hrmeneutika Schleimacher dan
Wilhlm Dilthey.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Emilio Betti ?
2. Bagaimana pemikiran hermeneutik Emilio Betti ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui biografi Emilio Betti.
2. Untuk mengetahui pemikiran hermeneutik Emilio Betti.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Emilio Betti
Emilio Betti adalah seorang filsuf, teolog modernis dan sejarawan ahli hukum
berkebangsaan Italia, lahir pada tahun 1890 dan meninggal pada tahun 1986. Sumbangsih
pemikiran Emilio Betti untuk memajukan hermeneutika dalam tradisi pemikiran Barat
sangatlah berarti, khususnya di wilayah akademis yang berbahasa Italia dan Jerman.
Perjalanan hidup Betti cenderung tertutup untuk diakses publik. Akan tetapi dari keterangan
yang diberikan oleh Josef Bleiher dan Rihard Palmer, diterangkan bahwa ada sejumlah
pemikir yang mempengaruhi pemikiran Emilio Betti. Seperti, dalam hal pemikiran
Hermeneutika, ada pengaruh pemikiran Dilthey dan Schleimeher, pemikiran Hegel dan
Husserl, serta pemikiran Nicolai Hartman (seorang pemikir neo-Kantian).
Dalam filsafat bahasa, Betti banyak dipengaruhi oleh pemikiran W. Von Humboldt.
Betti termasuk kategori pemikir hermeneutika yang berhaluan idealis-romantis. Pendekatan
ini mengarahkan Betti untuk berargumentasi tentang kemungkinan teori pemahaman
(Verstehen) sebagai sebuah bentuk pemahaman yang bisa ditelusuri dan dibenarkan secara
metodologis. Teori ini menekankan pada tingkah laku dan perbuatan si pelaku memiliki arti
subyektif, kehendak mencapai tujuan, serta didorong motivasi. Pendekatan ini yang
membuatnya bertolak belakang dengan pemikiran Gadamer dalam hal menegaskan status
epistemologis hermeneutika.1
Karya-karya Emilio Betti hampir keseluruhan ditulis dalam bahasa Italia. Terjemahan
karyanya ke dalam bahasa Inggris masih sangat terbatas sekali. Karya-karyanya antara lain :
Die Hermeneutik als allgeimeine Methodik der Geisteswissenshaften, Zur Grundlegug einer
allgeimeinen Auslegugslehre (sebuah manifeso hermeneutik), dan Teoria Generlle Della
Interpretazione.
Bergabungnya Betti kedalam dunia hermeneutik menimbulkan adanya debat terbuka
degan beberapa tokoh hermeneutik yang lain, seperti : Gadamer, Bultmann dan Ebeling. Betti
berupaya menempatkan sebuah pengalaman manusia secaa objektif dengan menyediakan
sebuah teori umum penafsiran yang didasarkan pada asumsi otonomi objek interpretasi dan
mungkinnya objekivitas historis dalam membuat suatu interpretasi yang valid, sedangkan
Gadamer membawa persoalan hermeneutika dengan mengaj ukan pertanyaan-pertanyan yang

1
Hendri Hermawan Adinugraha, Yaumuddin dalam Perspektif Hermeneutika Emilio Betti, dalam Jurnal Religia
Vol. 20 No. 2 tahun 2017, (Pekalongan: IAIN Pekalongan), 113.
lebih fiososfis tentang hakikat memahami hermeneutik. Gadamer berpendapat bahwa
membiarakan tentang “interpretasi objektif” yang valid adalah sesuatu yang naif.
Dalam merespon kritikan Gadamer, Betti kemudian menerbitkan sebuah boklet (buku
kecil) pada tahun 1955 yang berjudul Die Hermeneutik als allgemeine Methodik der
Geisteswissenschaften (Doktrin Umum Interpretasi sebagai Sebuah Metodologi Ilmu
Manusia) dalam sebuah buku Generale Teoria Della Interpretazione yang muncul pada tahun
1967 dan kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Jerman. Dalam boklet tersebut, Betti
mengajukan dua kritik terhadap Gadamer : pertama, Gadamer tidak menyajikan sebuah
metodologi atau rencana metodologi untuk Human Studies. Kedua, apa yang dilakukan oleh
Gadamer membahayakan kualitas hukum yang menunjuk pada status objektif dari objek-
objek interpretasi dan kemudian membuat pertanyaan-pertanyaan objektivitas interpretasi.2
B. Pemikiran Hermeneutik Emilio Betti
Pada dasarnya, Betti mengembangkan pemikiran kedua tokoh hermeneutka
sebelumnya yaitu Schleimermacher dan Dilthey. Betti mencoba untuk merumuskan tafsir atas
objektivasi ekspresi manusia atas dasar otonomi objek dan otonomi pemikiran penafsir. Betti
berpendapat bahwa hermeneutika merupakan teori umum penafsiran yang berfungsi sebagai
metodologi umum untuk ilmu humaniora (geisteswissenschaften). Pemikiran ini
menunjukkan bahwa hermeneutika Betti sangat terinspirasi oleh hermeneutika Dilthey. Betti
juga mengikuti pendapat Schleiermacher dengan menyatakan penafsiran memberlakukan
kembali fikiran pengarang yang menggiring kepada pengetahuan kembali apa yang pada
asalnya diteliti oleh pengarang. Sekalipun Betti terinspirasi oleh Schleiermacher, Betti tetap
memberikan serta memiliki kontribusi ide dalam pengembangan hermeneutika.3
Betti memulai hermeneutikanya dari pengamatan bahwa manusia memiliki kebutuhan
alami untuk saling mengerti. Kebutuhan ini berawal dari kemanusiaan umum yang semua
manusia ikut serta. Seseorang “mohon” kepada yang lain, mengeluarkan “panggilan” kepada
mereka untuk berusaha memahaminya. Ketika seseorang mengeluarkan permohonan untuk
dimengerti, secara alami orang lain terpanggil dengan permohonan itu dan secara alami pula
merasa berkewajiban untuk menjawabnya. Seperti yang dikatakan oleh Betti: “Nothing is as
close to the heart of a human being as mutual understanding with other human beings (tidak
ada yang dekat dengan hati seorang manusia kecuali dia saling pengertian dengan manusia
lain)”. Menurut Emilio Betti, permohonan seseorang untuk dimengerti tidak pernah dibuat

2
Edi Mulyono, Belajar Hermeneutika, (Jogjakarta : IRCiSoD, 2012), 41-42.
3
Hendri, Yaumuddin dalam Perspektif Hermeneutika Emilio…, 114.
secara langsung, tetapi hanya melalui perantara. Betti menyebutnya perantara tersebut
sebagai “bentuk-bentuk yang penuh makna (meaning-full forms)”.4
Bagi Emilio Betti, makna itu adalah apa yang dimaksudkan oleh pengarang dan agen-
agen historis. Makna dirujuk kepada bentuk-bentuk yang penuh makna yang merupakan
objektifikasi pemikiran manusia. Hermeneutika adalah metode yang diaplikasikan kepada
penafsiran dalam menjamin objektivitas hasilnya. Dengan menggunakan metode yang benar
serta norma penafsiran yang benar, seorang penafsir mampu untuk meraih di luar kondisi
historisnya untuk memahami makna sebuah teks seperti yang dimaksudkan oleh pengarang.
Aturan-aturan dan norma-norma yang mengarahkan penafsiran dapat diaplikasikan secara
universal kepada teks apapun. Jadi, Emilio Betti merumuskan metode serta norma dalam
penafsiran yang akan mengantarkan seseorang untuk meraih objektivitas. Untuk mencapai
tujuan tersebut, Emilio Betti melakukan 2 hal. Pertama, ia mengklarifikasi persoalan
pemahaman dengan memeriksa, secara detil proses penafsiran; kedua, memformulasi sebuah
metodologi yang menghalang gangguan-gangguan subjektifis masuk ke dalam penafsiran
objektif dari objektivitas akal.5
Betti tidak bermaksud menghilangkan momen subyektif dari interpretasi, atau bahkan
menolak bahwa hal itu dibutuhkan dalam peristiwa interpretasi manusia. Namun Betti
bermaksud mengafirmasi apa pun kemungkinan peran subyektif dalam interpretasi, bahwa
obyek tetap menjadi obyek dan sebuah interpretasi yang valid yang obyektif dapat layak
diusahakan dan diselesaikan. Sebuah obyek berbicara dan ia bisa didengar secara benar atau
salah sebab disana terdapat makna yang memiliki variabel obyektif dalam obyektif. Namun
Betti menyatakan bahwa Hermeneutik Jerman sekarang mengisi dirinya sendiri dengan
fenomena singgebung (fungsi tafsir memberi makna pada obyek) yang disamakan dengan
interpretasi. Betti menyatakan bahwa tujuan umumnya adalah untuk mengklasifikasi distingsi
esensial antara auslegung (interpretasi) dan singgebung.6
Dalam hermeneutika Betti ini, tidak ada objektivitas tanpa obyek. Ketika tujuannya
adalah untuk memahami makna yang lain, ini berarti bahwa penafsir harus memahami
objektivitas pikiran dari yang lain. Jadi menurut Betti, suatu interpretasi hendaknya bersifat
gerakan penafsiran yang melibatkan aspek kebahasaan (linguistic), latar belakang historis
(historical) dan pengenalan terhadap si pengarang (author) secara bersama-sama. Melalui

4
Mahmudi, Hermeneutika Emilio Betti dan Aplikasinya dalam Kajian Studi Keislaman, dalam Jurnal El-
Wasathiya Vol. 5 No. 1 Juni 2017, (Sumenep: Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Sumenep), 61-62.
5
Ibid., 62.
6
Hendri, Yaumuddin dalam Perspektif Hermeneutika Emilio…, 116.
pendekatan ini, hasil interpretasi yang relatif objektif sangat dimungkinkan untuk dicapai
bentuk pikiran yang sehat. Sebuah interpretasi membutuhkan pengakuan dan rekonstruksi.7
1. Hermeneutika sebagai Auslegung
Bagi Betti, hermeneutika sebagai Auslegung (penafsiran objektif) yaitu bagaimana
mendapatkan sebuah bentuk penafsiran yang valid dan objektif bukan Deutung dan
Spekulative Deutung (penafsira spekultif) yaitu suatu penetapan yang digantungkan pada
intuisi dan koherensi internal dari a priori system yang dibangun Josef Bleicher. Emilio
Betti membangun Hermeneutik ini seperti keyakinannya bahwa “an intellectual discipine
and eduational training which is fundamental for life (disiplin intelektual dan pelatihan
pendidikan yang fundamental bagi kehidupan)”. Keyakinan itu seringkali terjadi ketika
kita mencoba menafsirkan sebuah teks yang ada distansi baik historis maupun kultural.
Kemudian kita ingin mengetahui apa dan seberapa dalam makna yang dikandung oleh
kedalaman teks itu, apa yang pengarang katakan, dan apa yang melatar belakangi lahirnya
ide itu. Tentu, persoalan-persoalan ini membutuhkan sebuah rekonstruksi imajinatif yang
dengan simpati dan wawasan, akan dibutuhkan bagi pemahaman.8
Dalam mencapai sebuah interpretasi yang objektif, Betti menegaskan bahwa tujuan
utamanya adalah mengklarifikasi perbedaan esensial antara auslegung (penafsiran) dan
sinngebung (peran penafsir dalam penyerahan makna terhadap objek). Karenanya,
penafsiran terhadap objek merupakan sebuah objektivasi dari semangat manusia yang
diekspresikan dalam bentuk pikiran yang sehat. Interpretasi kemudian membutuhkan
pengakuan dan rekonstruksi makna yang pengarang itu sendiri telah memasukkannya.
Dengan kata lain, seorang penafsir harus melakukan ziarah ke dalam subjektivitas asing
dan dengan melalui suatu inversi proses kreatif, kembali lagi pada ide atau interpretasi
yang telah dimasukkan ke dalam objek. Kemudian Betti melanjutkan bahwa berbicara
tentang objektivitas yang tidak melibatkan subjektivitas dari penafsir merupakan suatu
yang absurd, namun subjektivitas sang penafsir harus menembus dari keasingan dan
ketidakjelasan objek 9 . Menurut Betti, kegiatan interpretasi ekspresi seorang penafsir
merupakan kegiatan “menafsirkan keinginan seseorang” (to interpret one’s desires). Oleh
karena itu, objek penafsiran tidak pernah bisa menjadi murni, dan akan selalu melibatkan
psikologis interpretator dan kondisi realitas yang terjadi saat itu.10

7
Ibid., 116.
8
Edi Mulyono, dkk, Belajar Hermeneutika, Yogyakarta: IRCiSoD, 2013), 43-44.
9
Ibid., 44.
10
Hendri, Yaumuddin dalam Perspektif Hermeneutika Emilio…, 116.
Betti menganggap hanya Auslegung (penafsiran objektif) sebagai bentuk sah dari
penafsiran. Ini berbeda dengan Deutung dan ‘spekulative Deutung’ (penafsiran spekulatif).
Bagaimanapun, objektivitas yang sempurna bagi Emilio Betti tidak akan pernah diraih.
Emilio Betti menegaskan yang ada hanya objektivitas yang relatif (relative objectivity).
Bagi Emilio Betti, hal ini disebabkan adanya hubungan yang dialektis antara aktualitas
pemahaman (actuality of understanding) dan objektivitas-objektivitas akal (objectivations
of mind). Maksudnya, subjek dan objek, dalam proses penafsiran terkunci bersama dalam
hubungan yang bertentangan. Akal telah mengental ke dalam bentuk yang permanent dan
berkonfrontasi dengan subjek sebagai yang lain (other). Namun, antara keduanya (subjek
dan objektivitas akal) memiliki saling keterkaitan. Oleh karena itu, akal yang subjektif
memerlukan objektivitas sebagai penguat untuk membebaskan dirinya dengan meraih
kesadaran. Sama halnya, objektivitas-objektivitas yang terkandung dalam apa yang
diwariskan tergantung sepenuhnya kepada akal untuk dibawa kepada pemahaman, yaitu
diperkenalkan kembali kepada ranah pemahaman melalui proses penafsiran.11
2. Penafsiran aplikasi normatif
Penafsiran aplikasi normatif berkenaan dengan pengaplikasian norma. Contohnya,
norma yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah; norma untuk pemilihan wakil
rakyat, norma yang diberlakukan untuk semua pegawai dan karyawan. Normanorma itu
bersifat aplikatif. Penafsiran aplikatif adalah tipe penafsiran terhadap norma yang telah
menjadi kesepakatan. Dalam kehidupan birokrasi, makna dari sebuah aturan, juklak,
juknis atau tupoksi; tugas pokok dan fungsi sering disosialisasikan melalui komunikasi.
Dari sifat yang terbatas ini kemudian dialirkan melalui berbagai staf ke bawah sampai
kepada karyawan biasa (Bleicher, 1980; 4046). Sementara untuk momen penafsiran, Betti
memilah menjadi empat momen yaitu: a) momen filologi, b) momen kritik, c) momen
psikologi, dan d) momen teknik morfologi.
a) Momen filologi Secara umum, momen ini digunakan untuk memahami simbol-simbol
yang baku yang permanen; memahami koherensi logik dan konsistensi logik dari suatu
teks atau wacana lisan. Momen filologi berkepentingan rekonstruksi makna dan upaya
menjelaskan makna yang berada di balik fakta. Misal, ada fakta lampu merah di
\\\persimpangan jalan. Fakta ini menyembunyikan makna tertentu, khususnya, bagi
pengguna jalan.

11
Mahmudi, Hermeneutika Emilio Betti dan Aplikasinya dalam Kajian Studi Keislaman, dalam Jurnal El-
Wasathiya Vol. 5 No. 1 Juni 2017, (Sumenep: Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Sumenep), 62-63.
b) Momen kritik Momen kritik dipergunakan pada kasus yang di dalam dirinya
mengundang tanda Tanya seperti munculnya ungkapan suatu sikap yang tidak rasional dan
tidak konsisten.
c) Momen psikologi Momen ini berlaku ketika penafsir berhadapan dengan kondisi yang
mengharuskan dia menyelami jiwa seseorang yang melakukan suatu tindak tertentu.
Contohnya, ketika penafsir menyelami jiwa orang-orang yang terkena “musibah lumpur”
yang nasibnya terkatung-katung meskipun mereka sudah sekian lama mengalami musibah
tersebut. Lalu mereka melakukan demo besarbesaran dan menimbulkan gangguan lalu lintas.
Penafsir, dalam hal menghadapi kondisi semacam ini, dia seolah-olah menjadi mereka, dia
memasuki jiwa mereka sehingga tidak terlalu mempersalahkan demo mereka yang
menimbulkan gangguan jalan.
d) Momen teknik morfologi Momen ini bertujuan memahami makna yang terkandung
dalam sikap mental tertentu kaitannya dengan prinsip-prinsip yang berlaku. Betti,
memberikan misal kehidupan sebuah komunitas tertentu yang berada di bawah seorang tokoh.
Ajaran-ajaran yang mengikat mereka disampaikan secara lisan. Jika seorang tokoh
menyampaikan instruksi agar mereka berpuasa pada hari ini atau hari itu, mereka mengikuti
perintah tersebut (Bleicher, 1980; Supena, 2012: 57-58).12

12
Ibid., 119.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

B. SARAN

Vous aimerez peut-être aussi