Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
NIM : 15046082
Fakta dan fiksi sering kali dipahami secara serampangan. Akibatnya, pemaknaan atas
keduanya terjerumus pada kekeliruan yang fatal. Tidak jarang pula, fakta dianggap sebagai
saudara kembar fiksi, atau fiksi diperlakukan sebagai adik kandung fakta. Sebuah kenyataan,
segala sesuatu yang pernah ada atau peristiwa yang sungguh terjadi dan dapat dibuktikan
kebenarannya, itulah yang disebut fakta. Ia harus ada dan pernah terjadi. Jika kemudian
ternyata tak sesuai dengan kenyataan, tak pernah ada, dan peristiwa itu belum terjadi, maka
fakta itu harus kita tolak. Fakta itu tidak benar. Lalu apakah fakta yang tidak benar itu dapat
dikategorikan sebagai fiksi? Bergantung dari cara pengolahan fakta itu, bagaimana dan untuk
tujuan apa ia menyampaikannya. Jika tujuannya menipu, ngapusi, maka itulah kebohongan.
Ia bukan fiksi. Tetapi, jika fakta itu mengalami pengolahan imajinatif, memasukkan
intelektualitas, membangun sebuah dunia yang koheren, dan menciptakan sebuah kehidupan
imajiner, maka itulah yang disebut fiksi. Ia sangat mungkin sesuai dengan kenyataan yang
sebenarnya, tetapi boleh jadi pula sekadar rekaan yang memanfaatkan fakta sebagai bahan
dasarnya. Ini artinya, fakta telah mengalami proses rekayasa, sehingga tidak lagi bersifat
faktual, melainkan fiksional. Demikian dalam fiksi sedikitnya mesti terkandung kebenaran
faktual dan kecanggihan fiksional. Ia mestinya mewartakan fakta yang pernah atau yang
mungkin ada dan menjalinnya dengan kesadaran mengangkat problem kemanusiaan lewat
bingkai estetik. Tanpa itu, ia hanya akan jadi karya rekaan murahan yang lebih suka masuk
keranjang sampah daripada menjadi karya agung. Dengan kesadaran itu pula, paling sedikit,
ia akan menjadi karya yang memberikan kontribusi bagi pemerkayaan intelektualitas,
moralitas dan nilai kemanusiaan.
Dalam dunia sastra, perbedaan antara fakta dan fiksi sering kali berada dalam batas yang
begitu tipis. Sebab, tidak sedikit karya sastra yang secara sadar coba mengangkat fakta atau
peristiwa-peristiwa faktual, sehingga ia tampak lebih dekat pada karya sejarah. Oleh karena
itulah, dalam beberapa hal, hakikat sastra sering dianggap tidak jauh berbeda dengan hakikat
sejarah, betapapun dunia dalam karya sastra tak selalu mengangkat peristiwa masa lalu. Tetapi,
mengingat karya sastra dan sejarah, keduanya bersumber dari peristiwa atau pengalaman masa
lalu yang sudah terjadi, maka karya sastra dan sejarah menempatkan dirinya sebagai karya yang
merekam peristiwa. Ia lalu jadi sebuah dokumen atau catatan tentang seseorang, bangunan,
peristiwa, atau apa pun yang berkaitan dengan masa lalu.
Masalahnya begini: bahwa begitu karya itu selesai ditulis, seketika itu pula ia menjadi
catatan mengenai peristiwa masa lalu. Ia menjadi sebuah dokumen tentang berbagai hal yang
sudah terjadi. Karena catatan itu dilahirkan lewat proses panjang pengamatan, perenungan,
penghayatan, dan pengevaluasian pengarang atau sejarawan, maka ia kemudian menjadi sebuah
rekaman gagasan pengarangnya yang juga menjadi bagian dari masa lalu itu.
Dengan memperhatikan persamaan dan perbedaan antara fakta dan fiksi yang secara langsung
implikasinya memberi garis demarkasi pada posisi sejarawan dan sastrawan, maka peranan
keduanya sesungguhnya bersifat komplementer; saling melengkapi. Keduanya berada di kotak
yang berbeda, semata-mata karena cara, prosedur, proses, dan tujuan dalam pengolahan faktanya,
sejatinya memang berbeda. Tentu saja, karya yang dihasilkannya juga berbeda. Jadi, kelirulah
anggapan masyarakat selama ini bahwa sastrawan sebagai penghayal, pembual, dan pekerjaannya
sebagai profesi yang tak penting. Sebab, fakta yang direkayasa sastrawan menjadi fiksi bukanlah
untuk ngapusi dan melakukan manipulasi, tetapi justru untuk memberi penyadaran atas nilai-nilai
kemanusiaan dengan menyuguhkan keindahan estetik. Jadi, profesi apapun, sejauh itu bermaksud
mengangkat martabat manusia dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan, sejauh itu pula ia
mestiu ditempatkan secara proporsional dan dalam kedudukannya yang sederajat. Perhatikan
bagan berikut ini yang memperlihatkan kesamaan dan perbedaan antara karya sastra dan karya
sejarah
SASTRA SEJARAH
1. Merekam masa lalu, 1. Merekam masa lalu
mencatat masa kini, meramal masa depan
2. Merekonstruksi secara 2. Merekonstruksi secara
subjektif objektif
3. Menyusun struktur secara 3. Menyusun peristiwa secara
koheren kronologis
4. Peristiwa yang disampaikan 4. Peristiwa disajikan secara
disesuaikan sistematik dengan kebutuhan
cerita sesuai prosedur
5. Fakta dalam sastra bersifat 5. Fakta dalam sejarah
fiksional. bersifat faktual
6. Fakta tidak harus dapat 6. Fakta harus dapat
diverifikasi diverifikasi
7. Fakta berada dalam 7. Fakta berada dalam satu
keadaan serba kemungkin- mungkin an:
benar atau salah.
8. Memanfaatkan imajinasi 8. Memanfaatkan imajinasi
secara maksimal untuk me- untuk membangun
koherensi nyusun
Sekitar delapan belas tahun yang lalu, dunia pesantren menjadi tempat berteduh yang
menyenangkan,terasa lebih menyenangkan ketika santri putra dan putri mengaji bersama
dibatasi satir atau separuhtembok. Tembok itu hanyalah simbol yang luhur dan agung, ada
banyak tembok dan satir lain yangmembatasi setiap gerak dan perilaku seorang perempuan,
entah di dunia pesantren atau diluar pesantren.Perempuan harus menutupi auratnya, karena
banyak tanda yang merujuk pada diri perempuan denganpengendalian syahwat kaum Adam.
Fenomena tersebut memberi batasan bahwa “perempuan” mengacupada satu jenis kelamin
yang kemudian menjadi ciri pembeda tradisi. Mulai dari kebudayaan, kosmologi,sampai pada
mitologi. Dari fenomena tersebut, manusia terbagi menjadi dua golongan yakni laki-laki dan
perempuan (Muhtadin, 2008: 41).
Perempuan mencari keadilan dan berusaha berlindung dibalik agama, meskipun realitasnya,
agamaagamaIbrahimiah (Abrahamic religions) juga ikut andil mengkontribusikan faham
patriarki dalam relasigender, karena agama-agama itu memberikan justifikasi terhadap faham
patriarki. Bahkan agama dianggap mentolerir faham misogini, suatu faham yang menganggap
perempuan sebagai sumber malapetaka, yangbermula ketika Adam jatuh dari sorga karena
rayuan Hawa. Hawa menjadi simbol pelengkap penderitaanbagi Adam (laki-laki), sampai
lupa dan melanggar larangan Tuhan sehingga Adam dan Hawa diturunkanke bumi. Konon
yang mula-mula makan buah Khuldi ialah Hawa. Mitos berkembang bahwaperempuanlah
yang sering membuat pria (suami) menjadi suka berbuat nekad (tidak baik), yakni pelengkap
penderitaan bagi laki-laki. Pendapat lain mengatakan bahwa peralihan masyarakat
matriarkike masyarakat patriarki erat kaitannya dengan proses peralihan The Mother God ke
The Father God didalam mitologi Yunani.Mitos kejatuhan Adam ke bumi, mengilhami para
exegesist, mufassir, penyair, dan novelis yangmenerbitkan berbagai karya. Karya-karya
tersebut dapat mengalihkan pandangan bahwa seolah-olahperempuan sebagai pelengkap
penderitaan, sementara laki-laki secara biologis adalah makhluksupernatural, terlepas sama
sekali dengan makhluk biologis lainnya, seperti binatang dan tumbuh.
MUWÂZÂH, Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2009
tumbuhan. Tidak heran kalau Darwin dengan teori evolusinya dianggap “murtad” di kalangan
kaumagamawan, karena mengembangkan faham yang bertentangan dengan teks Kitab Suci
(Umar, 1998:97).Terlepas dari rangkaian mitologi tersebut, yang pasti beberapa ayat dalam
kitab suci menjelaskanHawa tercipta dari tulang rusuknya Adam. Tapi pernahkah kita berfikir
bahwa posisi tulang rusuk ituyang berada disisi, bukan di belakang? Hal itu memberi tanda
bahwa perempuan harus digandeng oleh laki-laki, bukan ditinggalkan dan didominasi. Agama
mengisyaratkan bahwa konsep kesetaraan secara
khusus terdapat dalam surat An-Nisaa’ (perempuan).
“Wahai manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari satu jiwa
dan dari jiwa itudiciptakan istrinya dan dikembangkan dari keduanya laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalahkepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah)hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu’’
Mitos yang mendiskreditkan perempuan mengundang banyak keprihatinan di seluruh
belahan dunia,orang-orang ramai melontarkan usulan, saran, kritik, atau otokritik. Kondisi ini
membuat lembaranlembaranmengenai perempuan atau gender di media massa dijejali dengan
berbagai kasus, argumentasi,dan solusi bagi gender. Pada akhirnya, perempuanpun memiliki
otoritas untuk mengubah nasib dirinya,meski harus menghadapi seribu satu tantangan.
Kemampuan mengatasi berbagai problem serta menciptakan hidup yang bermakna tentu jadi
bukti bahwa jagat heroik perempuan sudah terbuka.Kartini membuka lembaran baru, bagi
perempuan yang merasa tertindas. Kartini melukiskan masakecilnya melalui Suratnya kepada
Ny HG de Booij-Boissevain dengan menunjukkan diskriminasi yangdia dapat ketika bayi.
Ibunya harus bersaing dengan istri utama ayahnya, yang memang masih keturunan Ratu
Madura. Sejak bayi dia sudah merasakan kehidupan yang beda antara gedung utama dan
rumah kecilnya. Kisah kartini serta sederet perempuan heroik yang hadir dalam misi
memperjuangkan kebenaran,menumpas kedzaliman telah mewarnai perjalanan jagat heroik
dalam genggaman perempuan. Ironisnya,serangan balik yang tak kalah gencarnya berada
sangat dekat dengan perempuan, perempuan dipersiapkan dan didisiplinkan menjadi tubuh-
tubuh yang dikuasai, sehingga harus tunduk dan patuh pada negosiasigender yakni swarga
nunut nraka katut, kebahagiaan atau penderitaan perempuan tergantung pada laki-laki.
3. KERAJAAN PAGARUYUNG DALAM PANDANGAN TUKANG KABA :
Oleh Drs. M. Yusuf, M.Hum.