Vous êtes sur la page 1sur 10

NAMA : AMELIA NOFRITA

NIM : 15046082

RESUME JURNAL ,METODE SEJARAH

1. FAKTA DAN FIKSI: PERTALIAN SASTRA DAN SEJARAH


Maman S. Mahayana

Fakta dan fiksi sering kali dipahami secara serampangan. Akibatnya, pemaknaan atas
keduanya terjerumus pada kekeliruan yang fatal. Tidak jarang pula, fakta dianggap sebagai
saudara kembar fiksi, atau fiksi diperlakukan sebagai adik kandung fakta. Sebuah kenyataan,
segala sesuatu yang pernah ada atau peristiwa yang sungguh terjadi dan dapat dibuktikan
kebenarannya, itulah yang disebut fakta. Ia harus ada dan pernah terjadi. Jika kemudian
ternyata tak sesuai dengan kenyataan, tak pernah ada, dan peristiwa itu belum terjadi, maka
fakta itu harus kita tolak. Fakta itu tidak benar. Lalu apakah fakta yang tidak benar itu dapat
dikategorikan sebagai fiksi? Bergantung dari cara pengolahan fakta itu, bagaimana dan untuk
tujuan apa ia menyampaikannya. Jika tujuannya menipu, ngapusi, maka itulah kebohongan.
Ia bukan fiksi. Tetapi, jika fakta itu mengalami pengolahan imajinatif, memasukkan
intelektualitas, membangun sebuah dunia yang koheren, dan menciptakan sebuah kehidupan
imajiner, maka itulah yang disebut fiksi. Ia sangat mungkin sesuai dengan kenyataan yang
sebenarnya, tetapi boleh jadi pula sekadar rekaan yang memanfaatkan fakta sebagai bahan
dasarnya. Ini artinya, fakta telah mengalami proses rekayasa, sehingga tidak lagi bersifat
faktual, melainkan fiksional. Demikian dalam fiksi sedikitnya mesti terkandung kebenaran
faktual dan kecanggihan fiksional. Ia mestinya mewartakan fakta yang pernah atau yang
mungkin ada dan menjalinnya dengan kesadaran mengangkat problem kemanusiaan lewat
bingkai estetik. Tanpa itu, ia hanya akan jadi karya rekaan murahan yang lebih suka masuk
keranjang sampah daripada menjadi karya agung. Dengan kesadaran itu pula, paling sedikit,
ia akan menjadi karya yang memberikan kontribusi bagi pemerkayaan intelektualitas,
moralitas dan nilai kemanusiaan.
Dalam dunia sastra, perbedaan antara fakta dan fiksi sering kali berada dalam batas yang
begitu tipis. Sebab, tidak sedikit karya sastra yang secara sadar coba mengangkat fakta atau
peristiwa-peristiwa faktual, sehingga ia tampak lebih dekat pada karya sejarah. Oleh karena
itulah, dalam beberapa hal, hakikat sastra sering dianggap tidak jauh berbeda dengan hakikat
sejarah, betapapun dunia dalam karya sastra tak selalu mengangkat peristiwa masa lalu. Tetapi,
mengingat karya sastra dan sejarah, keduanya bersumber dari peristiwa atau pengalaman masa
lalu yang sudah terjadi, maka karya sastra dan sejarah menempatkan dirinya sebagai karya yang
merekam peristiwa. Ia lalu jadi sebuah dokumen atau catatan tentang seseorang, bangunan,
peristiwa, atau apa pun yang berkaitan dengan masa lalu.
Masalahnya begini: bahwa begitu karya itu selesai ditulis, seketika itu pula ia menjadi
catatan mengenai peristiwa masa lalu. Ia menjadi sebuah dokumen tentang berbagai hal yang
sudah terjadi. Karena catatan itu dilahirkan lewat proses panjang pengamatan, perenungan,
penghayatan, dan pengevaluasian pengarang atau sejarawan, maka ia kemudian menjadi sebuah
rekaman gagasan pengarangnya yang juga menjadi bagian dari masa lalu itu.
Dengan memperhatikan persamaan dan perbedaan antara fakta dan fiksi yang secara langsung
implikasinya memberi garis demarkasi pada posisi sejarawan dan sastrawan, maka peranan
keduanya sesungguhnya bersifat komplementer; saling melengkapi. Keduanya berada di kotak
yang berbeda, semata-mata karena cara, prosedur, proses, dan tujuan dalam pengolahan faktanya,
sejatinya memang berbeda. Tentu saja, karya yang dihasilkannya juga berbeda. Jadi, kelirulah
anggapan masyarakat selama ini bahwa sastrawan sebagai penghayal, pembual, dan pekerjaannya
sebagai profesi yang tak penting. Sebab, fakta yang direkayasa sastrawan menjadi fiksi bukanlah
untuk ngapusi dan melakukan manipulasi, tetapi justru untuk memberi penyadaran atas nilai-nilai
kemanusiaan dengan menyuguhkan keindahan estetik. Jadi, profesi apapun, sejauh itu bermaksud
mengangkat martabat manusia dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan, sejauh itu pula ia
mestiu ditempatkan secara proporsional dan dalam kedudukannya yang sederajat. Perhatikan
bagan berikut ini yang memperlihatkan kesamaan dan perbedaan antara karya sastra dan karya
sejarah

SASTRA SEJARAH
1. Merekam masa lalu, 1. Merekam masa lalu
mencatat masa kini, meramal masa depan
2. Merekonstruksi secara 2. Merekonstruksi secara
subjektif objektif
3. Menyusun struktur secara 3. Menyusun peristiwa secara
koheren kronologis
4. Peristiwa yang disampaikan 4. Peristiwa disajikan secara
disesuaikan sistematik dengan kebutuhan
cerita sesuai prosedur
5. Fakta dalam sastra bersifat 5. Fakta dalam sejarah
fiksional. bersifat faktual
6. Fakta tidak harus dapat 6. Fakta harus dapat
diverifikasi diverifikasi
7. Fakta berada dalam 7. Fakta berada dalam satu
keadaan serba kemungkin- mungkin an:
benar atau salah.
8. Memanfaatkan imajinasi 8. Memanfaatkan imajinasi
secara maksimal untuk me- untuk membangun
koherensi nyusun

2.JAGAT HEROIK PEREMPUAN


Ayub Wahyudin

Sekitar delapan belas tahun yang lalu, dunia pesantren menjadi tempat berteduh yang
menyenangkan,terasa lebih menyenangkan ketika santri putra dan putri mengaji bersama
dibatasi satir atau separuhtembok. Tembok itu hanyalah simbol yang luhur dan agung, ada
banyak tembok dan satir lain yangmembatasi setiap gerak dan perilaku seorang perempuan,
entah di dunia pesantren atau diluar pesantren.Perempuan harus menutupi auratnya, karena
banyak tanda yang merujuk pada diri perempuan denganpengendalian syahwat kaum Adam.
Fenomena tersebut memberi batasan bahwa “perempuan” mengacupada satu jenis kelamin
yang kemudian menjadi ciri pembeda tradisi. Mulai dari kebudayaan, kosmologi,sampai pada
mitologi. Dari fenomena tersebut, manusia terbagi menjadi dua golongan yakni laki-laki dan
perempuan (Muhtadin, 2008: 41).
Perempuan mencari keadilan dan berusaha berlindung dibalik agama, meskipun realitasnya,
agamaagamaIbrahimiah (Abrahamic religions) juga ikut andil mengkontribusikan faham
patriarki dalam relasigender, karena agama-agama itu memberikan justifikasi terhadap faham
patriarki. Bahkan agama dianggap mentolerir faham misogini, suatu faham yang menganggap
perempuan sebagai sumber malapetaka, yangbermula ketika Adam jatuh dari sorga karena
rayuan Hawa. Hawa menjadi simbol pelengkap penderitaanbagi Adam (laki-laki), sampai
lupa dan melanggar larangan Tuhan sehingga Adam dan Hawa diturunkanke bumi. Konon
yang mula-mula makan buah Khuldi ialah Hawa. Mitos berkembang bahwaperempuanlah
yang sering membuat pria (suami) menjadi suka berbuat nekad (tidak baik), yakni pelengkap
penderitaan bagi laki-laki. Pendapat lain mengatakan bahwa peralihan masyarakat
matriarkike masyarakat patriarki erat kaitannya dengan proses peralihan The Mother God ke
The Father God didalam mitologi Yunani.Mitos kejatuhan Adam ke bumi, mengilhami para
exegesist, mufassir, penyair, dan novelis yangmenerbitkan berbagai karya. Karya-karya
tersebut dapat mengalihkan pandangan bahwa seolah-olahperempuan sebagai pelengkap
penderitaan, sementara laki-laki secara biologis adalah makhluksupernatural, terlepas sama
sekali dengan makhluk biologis lainnya, seperti binatang dan tumbuh.
MUWÂZÂH, Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2009
tumbuhan. Tidak heran kalau Darwin dengan teori evolusinya dianggap “murtad” di kalangan
kaumagamawan, karena mengembangkan faham yang bertentangan dengan teks Kitab Suci
(Umar, 1998:97).Terlepas dari rangkaian mitologi tersebut, yang pasti beberapa ayat dalam
kitab suci menjelaskanHawa tercipta dari tulang rusuknya Adam. Tapi pernahkah kita berfikir
bahwa posisi tulang rusuk ituyang berada disisi, bukan di belakang? Hal itu memberi tanda
bahwa perempuan harus digandeng oleh laki-laki, bukan ditinggalkan dan didominasi. Agama
mengisyaratkan bahwa konsep kesetaraan secara
khusus terdapat dalam surat An-Nisaa’ (perempuan).
“Wahai manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari satu jiwa
dan dari jiwa itudiciptakan istrinya dan dikembangkan dari keduanya laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalahkepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah)hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu’’
Mitos yang mendiskreditkan perempuan mengundang banyak keprihatinan di seluruh
belahan dunia,orang-orang ramai melontarkan usulan, saran, kritik, atau otokritik. Kondisi ini
membuat lembaranlembaranmengenai perempuan atau gender di media massa dijejali dengan
berbagai kasus, argumentasi,dan solusi bagi gender. Pada akhirnya, perempuanpun memiliki
otoritas untuk mengubah nasib dirinya,meski harus menghadapi seribu satu tantangan.
Kemampuan mengatasi berbagai problem serta menciptakan hidup yang bermakna tentu jadi
bukti bahwa jagat heroik perempuan sudah terbuka.Kartini membuka lembaran baru, bagi
perempuan yang merasa tertindas. Kartini melukiskan masakecilnya melalui Suratnya kepada
Ny HG de Booij-Boissevain dengan menunjukkan diskriminasi yangdia dapat ketika bayi.
Ibunya harus bersaing dengan istri utama ayahnya, yang memang masih keturunan Ratu
Madura. Sejak bayi dia sudah merasakan kehidupan yang beda antara gedung utama dan
rumah kecilnya. Kisah kartini serta sederet perempuan heroik yang hadir dalam misi
memperjuangkan kebenaran,menumpas kedzaliman telah mewarnai perjalanan jagat heroik
dalam genggaman perempuan. Ironisnya,serangan balik yang tak kalah gencarnya berada
sangat dekat dengan perempuan, perempuan dipersiapkan dan didisiplinkan menjadi tubuh-
tubuh yang dikuasai, sehingga harus tunduk dan patuh pada negosiasigender yakni swarga
nunut nraka katut, kebahagiaan atau penderitaan perempuan tergantung pada laki-laki.
3. KERAJAAN PAGARUYUNG DALAM PANDANGAN TUKANG KABA :
Oleh Drs. M. Yusuf, M.Hum.

Di dalam makalahnya Periodisasi Sejarah Minangkabau yang disampaikan pada


Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau pada bulan Agustus 1970, Amrin Imran
mengemukakan bahwa keadaan sesungguhnya mengenai Kerajaan Minangkabau atau
Pagaruyung masih tetap merupakan tabir yang tak dapat ditembus. Hal ini, menurut Imran,
disebabkan bahan-bahan mengenai sejarah Minangkabau masih jauh dari lengkap. Pada tahun
2002, makalah Amrin tersebut, bersama sebelas kertas kerja lainnya untuk seminar yang
sama, dengan diberi kata pengantar oleh H. Kamardi Rais Dt. P. Simulie dan catatan
pengantar oleh Dr. Mestika Zed, M.A., kemudian diterbitkan dalam bentuk bunga rampai
dengan judul Menelusuri Sejarah Minangkabau oleh Yayasan Citra Budaya Indonesia dan
LKAAM Sumatra Barat. Berhubungan erat dengan bahan (sumber) tentang sejarah
Minangkabau sebagai yang dimaksudkan oleh Amrin Imran, agaknya catatan pengantar
Mestika Zed untuk buku itu patut disimak. Dalam catatan tersebut, Mestika Zed bahkan
mengemukakan sejak kapan orang Minangkabau menulis sejarah mereka, tidak tersedia
jawaban. Salah satu alasan, seperti yang juga sering dikemukakan oleh banyak orang, tulis
Mestika, orang Minangkabau tidak mempunyai aksara tersendiri. Baru setelah Islam masuk
ke Minangkabau pada abad ke-16 lah orang Minangkabau menuliskan kabar dalam aksara
Jawi, atau aksara Arab Melayu, yaitu aksara asal Persia yang digunakan untuk menuliskan
bahasa Melayu dan atau bahasa Minangkabau. Tentang masa mulainya aksara Jawi
digunakan orang di Minangkabau ini pun tampaknya masih dapat diperdebatkan. Sebab,
sejauh yang dapat diketahui, naskah-naskah kuno (manuskrip) Minangkabau tertua, belum
ada yang lebih awal dari awal abad ke-19 (Yusuf, 1994), yaitu setelah kertas Eropa, Belanda
khususnya, digunakan orang di Minangkabau. Tidak adanya sumber tertulis yang dibuat oleh
orang Minangkabau, bukan berarti bahwa orang Minangkabau tidak merekam sejarah
mereka. Sebab, seperti yang juga ditulis oleh Yusuf (1994), dan Mestika Zed (2002), teks-teks
kuno yang hingga saat ini masih dapat ditemukan di dalam masyarakat Minangkabau,
terutamanya adalah teks lisan, yaitu teks yang aslinya misalnya masih ada pada Tukang Kaba,
Tukang Selawat, Tukang Hikayat, Tukang Dendang, dan para pemangku adat dalam bentuk
ingatan.
Kalaupun kemudian aksara Jawi sudah digunakan, keremangan sejarah Minangkabau,
termasuk sejarah Kerajaan Pagaruyung, tidaklah langsung berubah menjadi terang, bahkan
mungkin bertambah suram. Ini terjadi karena manuskrip-manuskrip yang (dianggap dan
diharapkan) berisi teks ―sejarah‖, seperti tambo dan Hikayat Tuanku nan Muda Pagaruyung
ternyata penuh dengan cerita atau mitos (Cf. Mestika Zed 2002). Akan tetapi, walaupun dari
sudut pandang filologi dan kesusastraan tambo dan kaba yang penuh dengan mitos dipandang
sebagai salah satu genre susastra tradisional, dalam sudut kajian historiografi kedua genre
susastra tersebut tetap dapat dipandang sebagai penulisan sejarah yang awal. Hal ini tidak
saja berlaku di dalam tradisi Nusantara, tetapi juga, seperti yang juga dikemukakan oleh
Mestika Zed, di mana pun di penjuru dunia ini, termasuk di dunia Barat, semua penulisan
sejarah yang paling awal disampaikan dalam bentuk literer (sastra Jika studi sejarah (yang
ilmiah dan kritis) dengan disertai bantuan arkeologi, epigrafi dan paleografi dapat
memberikan penjelasan yang memuaskan banyak orang tentang sejarah kerajaan Pagaruyung,
agaknya mempersoalkan apalagi mencari jawaban untuk persoalan di atas merupakan
pekerjaan yang sia-sia. Akan tetapi, nyata sekali banyak tulisan tentang kerajaan di
Minangkabau pada masa lalu itu, termasuk yang mengutamakan pendekatan arkeologis
sekalipun, justru menyertakan tinjauan mitologis sebagai alat bantu. Barangkali cara ini
ditempuh karena selain teks, tidak ada lagi sumber sejarah dan kebudayaan yang paling
handal dalam mentransmisikan peristiwa dari masa lalu sampai pada saat yang akan datang.
Seperti sebuah lingkaran syetan, jebakan tautologis langsung menghadang ketika prasasti
yang berisi epigraf sebagai situs ternyata mengandung banyak hal yang mitologis, atau
sekurang-kurangnya fiktif dalam pengertian literer.
Salah satu contoh yang menarik dan langsung berkenaan dengan Kerajaan Pagaruyung adalah
―Perpindahan Pusat Kerajaan Melayu ke Pedalaman Sumatra Barat”, kertas kerja yang
ditulis oleh Bambang Budi Utomo dari Pusat Penelitian Arkeologi. Dalam kertas kerja yang
disampaikan pada ceramah Arkeologi di Museum Adityawarman pada bulan Maret yang lalu.
Selain menggunakan sumber-sumber yang ―dapat dipercaya‖ seperti situs, arsip dan
dokumen-dokumen lain, tulisan ini juga menggunakan penulisan sejarah yang literer, yaitu
Kitab Nagarakretagama, dan Kitab Pararaton atau yang semi literer seperti Catatan I-tsing
dari tahun 672 Masehi, serta Kitab Sejarah Dinasti Tang (abad 7-10 Masehi) (Budi Utomo,
2002). Dalam Kitab Sejarah Dinasti Tang dan Catatan I-tsing itu misalnya, kutip Budi
Utomo, orang Cina menyebut Melayu dengan Mo-Lo-Yeu. Dari segi linguistik, hal ini sangat
mungkin. Namun, mungkinkah Sriwijaya disebut dengan Shih-li-fo-shih dan San-fo-tsi?
Pakar linguistik barangkali dapat memberi jawaban. Bukan hanya Kitab Nagarakretagama
dan Pararaton, karya-karya literer di Nusantara yang sering dijadikan bahan rujukan atau
setidaknya pembanding untuk studi sejarah. Karya-karya lain yang dapat disebut sebagai
contoh di sini adalah Babad Tanah Jawi, Hikayat Banjar, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah
Melayu, dan Tuhfat Al-Nafis, dan tentu saja Kaba Cindua Mato (Lihat Timothy P. Barnard,
1994: 7-41).
Berdasarkan studinya terhadap prasasti, situs di daerah sepanjang aliran Batanghari,
dokumen-dokumen serta tulisan lain, termasuk kedua kitab sastra yang telah disebut di atas,
dan dengan didukung oleh ulasan mengenai keadaan geografi sebagai pendukung sumber
ekonomi sebuah kerajaan, Bambang Budi Utamo berkesimpulan bahwa Pagaruyung
merupakan kelanjutan kerajaan Melayu Jambi. Menurutnya, kerajaan Melayu sekurang-
kurangnya telah tiga kali memindahkan pusat kerajaan. Yang pertama berpusat di sekitar kota
Jambi sekarang, kemudian ke Padangroco, Sawah Lunto, dan terakhir di daerah Pagaruyung
di Batusangkar, Sumatra Barat.
Kesimpulan itu agaknya menyebabkan tabir Pagaruyung semakin gelap. Sebab, pertama, kata
Pagaruyung di Batusangkar mengacu ke sebuah istana yang dibangun oleh Pemda Sumatra
Barat pada pertengah tahun tujuh puluhan. Kedua, di dalam Kitab Nagarakretagama yang
juga dirujuk oleh Budi Utomo, terungkap bahwa Kerajaan Minangkabau, yang selalu
disamakan dengan kerajaan Pagaruyung, sebenarnya merupakan kerajaan yang berbeda
dengan kerajaan Melayu.
4. MENULIS SEJARAH SEBAGAIMANA PEREMPUAN: PENDEKATAN
FILSAFAT SEJARAH PEREMPUAN1
Universitas Negeri Ma-lang (Ruth Indiah Rahayu)
Institut Kajian Krisis dan Studi Pembangunan Alternatif

Penulisan sejarah perempuan mengharuskan adanya pemaknaan baru mengenai


konsep spatio-temporal yang khas perempuan. Waktu perempuan mengikuti siklus
biologisnya (kosmis) yang terintegrasi dengan siklus kosmos. Tetapi waktu perempuan itu
kontradiktif dengan waktu sejarah pada umumnya, sehingga menulis sejarah perempuan
dengan mendasarkan pada waktu perempuan menghadapi kendala yang berasal dari
pengujian kebenaran (truth). Pengujian kebenaran dalam tradisi ilmu-ilmu sosial beorientasi
pada obyektivitas, maka penulisan sejarah perempuan yang subyektif dipandang seperti fiksi
dari masa lalu ketimbang historiografi. Maka dari itu diperlukan strategi feminis untuk dapat
mengguncang arus besar historigorafi Indonesia
Mengapa kita menulis sejarah sebagaimana perempuan? Pertanyaan ini memberi
isyarat adanya persoalan dalam penulisan sejarah mainstream, yaitu berorientasi pada
peristiwa politik yang dipandang besar dan penting. Dapat dipastikan jika yang disebut
politik itu bukan ruang perempuan, sudah barang tentu perempuan tidak hadir di dalam
penulisan sejarah. Kenyataan ini diakui pula oleh Bambang Purwanto (2006:41-42) ketika
membaca ke dalam tradisi penulisan sejarah Indonesia. Dominasi perspektif kolonial dalam
penulisan sejarah Indonesia kendati telah didobrak Ruth Indiah Rahayu.
Sejarah menurut waktu subyektif perempuan dapat dicontohkan pada pengalaman Xu
Ning dalam perang gerilya Semenanjung Malaya:
Kami mengantar dan menerima telegram dengan sandi rahasia. Masa kerja kami tidak sama
dengan kawan-kawan lain. Kami bekerja pada waktu malam…Pada malam sunyi isyarat yang
diterima lebih jelas dan kuat, juga lebih mudah dan aman (Agnes Khoo, 2007)
Selama perang kemerdekaan di Indonesia, terutama menghadapi gempuran dari pasukan
Belanda selama 1947-1949, perempuan muda membentuk laskar putri (LPI), dan para ibu
membentuk laskar wanita (Laswi). Mereka bertugas membantu penduduk mengungsi,
mendirikan dapur umum untuk sektor perjuangan, mencari bahan makanan dan
mengirimkannya ke garis depan serta menjadi petugas palang merah. Pendeknya, aktivitas
perempuan dalam perang kemerdekaan sebagaimana contoh di Semenanjung Malaya dan
Indonesia berada di garis belakang. Ada alasan yang dikemukakan oleh Umi Sardjono (2008)
mengapa perempuan berada di garis belakang. Menurutnya, bahwa ibu-ibu yang ikut dalam
perang itu sekaligus mengurus anak-anak, ada pula yang sedang dalam keadaan hamil,
sehingga mereka mengambil peran sesuai dengan kondisi “kodrat”nya. Umi sendiri selama
gerilya melawan Jepang bertugas sebagai kurir, yang menurutnya lebih luwes dikerjakan oleh
perempuan– karena perempuan pandai menyamar sebagai ibu rumah tangga yang tidak
menimbulkan kecurigaan tentara Jepang. Aktivitas perempuan seturut dengan waktu
naturalnya seperti dicontohkan di atas, dipandang bukan aktivitas politik yang penting dan
luput dari penulisan sejarah. Apa yang dianggap penting menurut sejarah adalah aktivitas
yang berada di garis depan, sebagai pemimpin, sebagai tokoh, dan mereka ini yang diakui
sebagai hero. Maka menjadi jelas bahwa konsep masa lalu menurut waktu obyektif dapat
berbeda dengan waktu subyektif menurut perempuan. Menurut waktu subyektif perempuan,
masa lalu dan masa sekarang tidak terhubung secara linear seperti air mengalir dari mata air
menuju muara sungai, melainkan terhubung secara sirkuler sebagaimana siklus hidup: ada
kelahiran, kedewasaan, kematian dan kemudian kelahiran kembali. Maka sejarah menurut
waktu subyektif perempuan tidak mengenal gerak maju (kemajuan), melainkan gerak
pengulangan (selalu lahir kembali).
Sejarah Perempuan dan His-torigrafi Indonesia
Memang bukan tanpa persoalan untuk menulis sejarah sebagaimana perempuan menulis.
Pertanyaan pertama adalah: apakah tulisan yang subyektif semacam itu dapat dinilai sebagai
historiografi (yang obyektif)? Namun menurut Vicky Bertram, bahwa metode menulis seperti
otobiografis itu merupakan suatu jalan untuk mempertahankan kombinasi antara klaim
pengetahuan subyektif dan obyektif secara berhati-hati. Zimmerman (dalam Bertram, 2009)
mempertahankan pendapatnya bahwa menulis sejarahnya perempuan semacam itu
merupakan kebutuhan untuk menggoreskan yang personal ke dalam tubuh politik. Ia
menggunakan tubuh politik sebagai metafora ruang politik yang publik, sebuah institusi –
pemerintahan, parlemen, militer, hukum, dll, sekaligus mempersonalkannya. Hal ini
mengandaikan adanya transformasi dari yang personal ke dalam ruang publik –ruang di mana
perempuan ditepiskan, tanpa menghilangkan yang personal itu sendiri. Apa yang terjadi
adalah bagaimana yang publik juga dipersonalkan sehingga tak ada jarak antara yang privat
dan publik atau antara agensi dan struktur atau antara pusat dan pinggiran.
Kini bagaimana mencari strategi untuk mempersonalkan peristiwa-peristiwa besar di dalam
sejarah Indonesia melalui seorang perempuan yang menulis sejarah dirinya? Tulisan Mia
Bustam merupakan contoh yang menarik bagaimana ia mempersonalkan peristiwa holokaus
pasca 30 September 1965 melalui narasi dirinya.

Tuisan kartini pun merupakan contoh yang mempersonlakan, Namun tulisan


sejarahnya perempuan ini belum memperoleh pengakuan dalam arus besar historiografi
Indonesia atas dalih bukan karya akademik yang ditulis oleh sejarawan. Maka dari itu,
penulis kembali pada strategi feminis yang telah diuraikan di atas untuk membuka ruang
dialog dengan arus besar historiografi Indonesia.
Apa yang harus dilakukan? Pertama, tingkatkan produktivitas dalam membaca ulang teks
sejarah atau pun pemikiran di masa lalu dan kemudian menulis kritik feminis. Kedua,
khasanah sejarah feminis di Indonesia baik lokal maupun nasional menunggu tangan-tangan
perempuan (we feminist) untuk menuliskannya. Ketiga, mendorong penulisan sejarahnya
perempuan yang tak hanya berhubungan dengan peristiwa politik, melainkan juga dengan
mobilitas sosial, kerja, pengasuhan anak, seni, dan sebagainya.
Pada akhirnya diperlukan suatu diskusi di ruang epistemologi untuk berhubungan dengan
arus besar historiografi Indonesia –yang menurut hemat saya harus dibaca ulang. Hal itu
berarti, otoritas penulisan sejarahnya perempuan bukan lagi milik jurusan Ruth Indiah
Rahayu, Menulis Sejarah Sebagaimana Perempuan.

Vous aimerez peut-être aussi