Vous êtes sur la page 1sur 34

Kumpulan jurnal metode sejarah

FAKTA DAN FIKSI: PERTALIAN SASTRA DAN SEJARAH


Maman S. Mahayana

fakta dan fiksi sering kali dipahami secara serampangan. Akibatnya, pemaknaan atas
keduanya terjerumus pada kekeliruan yang fatal. Tidak jarang pula, fakta dianggap sebagai
saudara kembar fiksi, atau fiksi diperlakukan sebagai adik kandung fakta. Sebuah kenyataan,
segala sesuatu yang pernah ada atau peristiwa yang sungguh terjadi dan dapat dibuktikan
kebenarannya, itulah yang disebut fakta. Ia harus ada dan pernah terjadi. Jika kemudian
ternyata tak sesuai dengan kenyataan, tak pernah ada, dan peristiwa itu belum terjadi, maka
fakta itu harus kita tolak. Fakta itu tidak benar.
Lalu apakah fakta yang tidak benar itu dapat dikategorikan sebagai fiksi? Bergantung dari
cara pengolahan fakta itu, bagaimana dan untuk tujuan apa ia menyampaikannya. Jika
tujuannya menipu, ngapusi, maka itulah kebohongan. Ia bukan fiksi. Tetapi, jika fakta itu
mengalami pengolahan imajinatif, memasukkan intelektualitas, membangun sebuah dunia
yang koheren, dan menciptakan sebuah kehidupan imajiner, maka itulah yang disebut fiksi.
Ia sangat mungkin sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, tetapi boleh jadi pula sekadar
rekaan yang memanfaatkan fakta sebagai bahan dasarnya. Ini artinya, fakta telah mengalami
proses rekayasa, sehingga tidak lagi bersifat faktual, melainkan fiksional.
Demikian dalam fiksi sedikitnya mesti terkandung kebenaran faktual dan kecanggihan
fiksional. Ia mestinya mewartakan fakta yang pernah atau yang mungkin ada dan
menjalinnya dengan kesadaran mengangkat problem kemanusiaan lewat bingkai estetik.
Tanpa itu, ia hanya akan jadi karya rekaan murahan yang lebih suka masuk keranjang
sampah daripada menjadi karya agung. Dengan kesadaran itu pula, paling sedikit, ia akan
menjadi karya yang memberikan kontribusi bagi pemerkayaan intelektualitas, moralitas dan
nilai kemanusiaan.
***

dalam dunia sastra, perbedaan antara fakta dan fiksi sering kali berada dalam batas yang
begitu tipis. Sebab, tidak sedikit karya sastra yang secara sadar coba mengangkat fakta atau
peristiwa-peristiwa faktual, sehingga ia tampak lebih dekat pada karya sejarah. Oleh karena
itulah, dalam beberapa hal, hakikat sastra sering dianggap tidak jauh berbeda dengan
hakikat sejarah, betapapun dunia dalam karya sastra tak selalu mengangkat peristiwa masa
lalu. Tetapi, mengingat karya sastra dan sejarah, keduanya bersumber dari peristiwa atau
pengalaman masa lalu yang sudah terjadi, maka karya sastra dan sejarah menempatkan
dirinya sebagai karya yang merekam peristiwa. Ia lalu jadi sebuah dokumen atau catatan
tentang seseorang, bangunan, peristiwa, atau apa pun yang berkaitan dengan masa lalu.
Masalahnya begini: bahwa begitu karya itu selesai ditulis, seketika itu pula ia menjadi
catatan mengenai peristiwa masa lalu. Ia menjadi sebuah dokumen tentang berbagai hal
yang sudah terjadi. Karena catatan itu dilahirkan lewat proses panjang pengamatan,
perenungan, penghayatan, dan pengevaluasian pengarang atau sejarawan, maka ia
kemudian menjadi sebuah rekaman gagasan pengarangnya yang juga menjadi bagian dari
masa lalu itu.
Mengingat dunia dalam karya sastra merupakan tiruan (mimesis) atas peristiwa yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari (imatitation of reality), maka karya sastra merupakan dokumen
yang mencatat realitas masa lalu menurut pengamatan, pencermatan dan pemikiran
subjektif pengarang. Dalam hal ini, sebagaimana dikatakan Umar Junus (1989: 72-75)
pengertian karya 2
sastra sebagai refleksi realitas, tidak sekadar melaporkan realitas itu sendiri, namun
melaporkan realitas yang telah menjadi pemikiran pengarangnya. Dengan demikian, realitas
hadir untuk kepentingan pemikiran itu sendiri. Di dalamnya termasuk juga realitas filsafat,
psikologi dan sosial (Ann Jefferson dan David Robey, 1982: 15-16) atau catatan mengenai
realitas yang oleh Jan van Luxemburg, dkk. (1989: 11-12) disebut teks referensial.
Sesuai dengan anggapan bahwa sebuah karya (sastra) adalah ciptaan pengarang yang tidak
terlepas dari kreasi imajinatif, maka pandangan bahwa karya sastra sebagai dokumen
realitas, mesti dimaknai sebagai realitas yang telah mengalami proses pengendapan di dalam
pemikiran pengarangnya. Dalam hal ini, pengalaman pengarang yang telah melalui proses
pengamatan, perenungan, penghayatan dan penilaian itu, kemudian dibaluri sedemikian
rupa oleh kekuatan imajinasi. Hasilnya adalah refleksi realitas imajinatif.
Demikianlah, pemikiran yang menguasai penciptaan itu, tidak lain adalah pemahaman
pengarang atas kehidupan di sekelilingnya yang lalu direfleksikan melalui karyanya. Dengan
begitu, pemikiran itu sekaligus merupakan pantulan pengalaman pengarang dalam
kehidupan masa lalunya. Ia berkaitan erat dengan situasi sosial zamannya saat karya itu
dilahirkan.
Sungguhpun demikian, mengingat karya sastra tidak terlepas dari kreasi imajinatif
pengarangnya, maka sebagai sumber sejarah karya sastra termasuk sumber yang sulit dapat
dipertanggungjawabkan secara faktual. “Tak ada kejadian atau peristiwa, sebagai bagian dari
mata rantai sejarah yang bisa direkonstruksikan dari novel (baca: sastra), demikian pendapat
yang dikemukakan Taufik Abdullah (1983: 503). Dikatakannya, ada dua hal penting yang
dapat disampaikan novel (sastra). Pertama, sastra dapat memberikan pantulan-pantulan
tertentu tentang perkembangan pemikiran, perasaan, dan orientasi pengarangnya. Kedua,
sastra dapat pula memperlihatkan bagaimana bekerjanya suatu bentuk struktural dari situasi
historis tertentu dari lingkungan penciptanya…. (Abdullah, 1983: 503-506).
Dalam konteks itu, pendekatan ekstrinsik atau usaha menggali makna ekstrinsikalitas karya
sastra (novel) memberi peluang untuk lebih memahami pemikiran pengarangnya dalam
hubungan dengan situasi sosial yang terjadi pada zamannya. Menyitir pendapat Grebstein
(1968: 160-165) yang dikutip Sapardi Djoko Damono (1979: 3) bahwa pemahaman
terhadap karya sastra hanya mungkin dapat dilakukan secara lebih lengkap apabila karya itu
sendiri tidak dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan, atau peradaban yang telah
menghasilkannya. Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor
sosial dan kultural. Dalam hal ini, pendekatan kesejarahan akan sangat penting artinya
sebagai salah satu usaha memahami (dan memaknai) pemikiran pengarangnya sesuai
dengan situasi zamannya.
***

Dibandingkan sejarawan, sastrawan sebenarnya mempunyai ruang yang lebih leluasa ketika
ia hendak menyampaikan refleksi evaluasinya tentang masa lalu. Secara subjektif, ia dapat
memaknai dan menafsirkan fakta atau peristiwa sejarah menurut kepentingannya. Ia juga
dapat menyampaikan alternatif lain di balik peristiwa-peristiwa sejarah. Jadi, sastrawan bisa
saja menjadikan fakta dan peristiwa sejarah sebagai latar belakang karya kreatifnya, tetapi ia
juga dapat memanfaatkan fakta dan peristiwa sejarah untuk menyampaikan catatan
kritisnya atau untuk mengungkapkan peristiwa yang mungkin terluput dari catatan sejarah.
Lantaran ia juga menyodorkan sesuatu, maka apa yang disampaikan pengarang tentang
peristiwa sejarah itu, sesungguhnya dalam kerangka melihat kemungkinan yang terjadi di
masa mendatang. Jadi, ia juga menempatkan peristiwa sejarah sebagai latar depannya.
Dilihat dari proses, cara dan tujuan mengangkat peristiwa masa lalu, sastrawan juga lebih
bebas karena ia tidak terikat tuntutan metodologis, sebagaimana yang harus dijalankan
seorang sejarawan. Berbagai peristiwa itu, bisa saja disampaikan secara kronologis, tetapi
bisa juga tidak. 3
Rekonstruksi peristiwa masa lalu yang oleh sejarawan mesti disusun secara objektif dan
sistematik, taat mengikuti prosedur, menjaga ketertiban dalam menempatkan ruang dan
waktu, konsisten terhadap persoalan yang menyangkut topografi dan kronologi peristiwa,
maka bagi sastrawan, hal tersebut sama sekali tak mengikat kebebasan kreatifnya.
Masalah tersebut tentu saja berkaitan erat dengan usaha penafsiran dan pemaknaan
sastrawan terhadap segala peristiwa itu. Oleh karena itu, hasilnya dapat menjadi sesuatu
yang sangat subjektif. Segala peristiwa yang semula dapat diperlakukan objektif dan dapat
diverifikasi (objective-verifiable) menjadi subjektif-emosional (subjective-emotional).
Demikian pula dalam soal mengangkat fakta sejarah, sastrawan sekadar berusaha membuat
sebuah struktur yang koheren, tanpa harus mempertanggungjawabkan kebenaran fakta dan
prosedur (ilmiah) yang digunakannya. Jadi, jika fakta yang disampaikan sejarawan harus
dapat diverifikasi kebenarannya, maka hal itu tidak berlaku bagi sastrawan. Di situlah fakta
dalam karya sastra bersifat fiktif, karena peristiwa yang semula faktual telah berubah
menjadi fiksional. Dengan begitu, ia sama sekali tidak menyodorkan kebohongan faktual,
melainkan justru menyajikan kebenaran fiksional.
***
Dengan memperhatikan persamaan dan perbedaan antara fakta dan fiksi yang secara
langsung implikasinya memberi garis demarkasi pada posisi sejarawan dan sastrawan, maka
peranan keduanya sesungguhnya bersifat komplementer; saling melengkapi. Keduanya
berada di kotak yang berbeda, semata-mata karena cara, prosedur, proses, dan tujuan dalam
pengolahan faktanya, sejatinya memang berbeda. Tentu saja, karya yang dihasilkannya juga
berbeda. Jadi, kelirulah anggapan masyarakat selama ini bahwa sastrawan sebagai
penghayal, pembual, dan pekerjaannya sebagai profesi yang tak penting. Sebab, fakta yang
direkayasa sastrawan menjadi fiksi bukanlah untuk ngapusi dan melakukan manipulasi,
tetapi justru untuk memberi penyadaran atas nilai-nilai kemanusiaan dengan menyuguhkan
keindahan estetik. Jadi, profesi apapun, sejauh itu bermaksud mengangkat martabat
manusia dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan, sejauh itu pula ia mestiu ditempatkan
secara proporsional dan dalam kedudukannya yang sederajat. Perhatikan bagan berikut ini
yang memperlihatkan kesamaan dan perbedaan antara karya sastra dan karya sejarah

SASTRA SEJARAH
1. Merekam masa lalu, mencatat masa 1. Merekam masa lalu meramal masa
kini, depan
2. Merekonstruksi secara subjektif 2. Merekonstruksi secara objektif
3. Menyusun struktur secara koheren 3. Menyusun peristiwa secara kronologis
4. Peristiwa yang disampaikan 4. Peristiwa disajikan secara sistematik
disesuaikan dengan kebutuhan cerita sesuai prosedur
5. Fakta dalam sastra bersifat fiksional. 5. Fakta dalam sejarah bersifat faktual
6. Fakta tidak harus dapat diverifikasi 6. Fakta harus dapat diverifikasi
7. Fakta berada dalam keadaan serba 7. Fakta berada dalam satu kemungkin-
mungkin an: benar atau salah.
8. Memanfaatkan imajinasi secara 8. Memanfaatkan imajinasi untuk me-
maksimal untuk membangun koherensi nyusun
Jagat Heroik Perempuan (Ayub Wahyudin) 119
JAGAT HEROIK PEREMPUAN
Ayub Wahyudin
FAI Universitas Wahid Hasyim Semarang, Jl. Manoreh Tengah X/22 Sampangan – Semarang
E-mail : aanagin@yahoo.com
PENDAHULUAN
Sekitar delapan belas tahun yang lalu, dunia pesantren menjadi tempat berteduh yang
menyenangkan,terasa lebih menyenangkan ketika santri putra dan putri mengaji
bersama dibatasi satir atau separuhtembok. Tembok itu hanyalah simbol yang luhur
dan agung, ada banyak tembok dan satir lain yangmembatasi setiap gerak dan perilaku
seorang perempuan, entah di dunia pesantren atau diluar pesantren.Perempuan harus
menutupi auratnya, karena banyak tanda yang merujuk pada diri perempuan
denganpengendalian syahwat kaum Adam. Fenomena tersebut memberi batasan bahwa
“perempuan” mengacupada satu jenis kelamin yang kemudian menjadi ciri pembeda
tradisi. Mulai dari kebudayaan, kosmologi,sampai pada mitologi. Dari fenomena
tersebut, manusia terbagi menjadi dua golongan yakni laki-laki dan perempuan
(Muhtadin, 2008: 41).
Perempuan mencari keadilan dan berusaha berlindung dibalik agama, meskipun
realitasnya, agamaagamaIbrahimiah (Abrahamic religions) juga ikut andil
mengkontribusikan faham patriarki dalam relasigender, karena agama-agama itu
memberikan justifikasi terhadap faham patriarki. Bahkan agama dianggap mentolerir
faham misogini, suatu faham yang menganggap perempuan sebagai sumber
malapetaka, yangbermula ketika Adam jatuh dari sorga karena rayuan Hawa. Hawa
menjadi simbol pelengkap penderitaanbagi Adam (laki-laki), sampai lupa dan melanggar
larangan Tuhan sehingga Adam dan Hawa diturunkanke bumi. Konon yang mula-mula
makan buah Khuldi ialah Hawa. Mitos berkembang bahwaperempuanlah yang sering
membuat pria (suami) menjadi suka berbuat nekad (tidak baik), yakni pelengkap
penderitaan bagi laki-laki. Pendapat lain mengatakan bahwa peralihan masyarakat
matriarkike masyarakat patriarki erat kaitannya dengan proses peralihan The Mother
God ke The Father God didalam mitologi Yunani.Mitos kejatuhan Adam ke bumi,
mengilhami para exegesist, mufassir, penyair, dan novelis yangmenerbitkan berbagai
karya. Karya-karya tersebut dapat mengalihkan pandangan bahwa seolah-
olahperempuan sebagai pelengkap penderitaan, sementara laki-laki secara biologis
adalah makhluksupernatural, terlepas sama sekali dengan makhluk biologis lainnya,
seperti binatang dan tumbuh.
MUWÂZÂH, Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2009
tumbuhan. Tidak heran kalau Darwin dengan teori evolusinya dianggap “murtad” di
kalangan kaumagamawan, karena mengembangkan faham yang bertentangan dengan
teks Kitab Suci (Umar, 1998:97).Terlepas dari rangkaian mitologi tersebut, yang pasti
beberapa ayat dalam kitab suci menjelaskanHawa tercipta dari tulang rusuknya Adam.
Tapi pernahkah kita berfikir bahwa posisi tulang rusuk ituyang berada disisi, bukan di
belakang? Hal itu memberi tanda bahwa perempuan harus digandeng oleh laki-laki,
bukan ditinggalkan dan didominasi. Agama mengisyaratkan bahwa konsep kesetaraan
secara
khusus terdapat dalam surat An-Nisaa’ (perempuan).
“Wahai manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari
satu jiwa dan dari jiwa itu
diciptakan istrinya dan dikembangkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu’’
Mitos yang mendiskreditkan perempuan mengundang banyak keprihatinan di seluruh
belahan dunia,
orang-orang ramai melontarkan usulan, saran, kritik, atau otokritik. Kondisi ini
membuat lembaranlembaran
mengenai perempuan atau gender di media massa dijejali dengan berbagai kasus,
argumentasi,
dan solusi bagi gender. Pada akhirnya, perempuanpun memiliki otoritas untuk
mengubah nasib dirinya,
meski harus menghadapi seribu satu tantangan. Kemampuan mengatasi berbagai
problem serta
menciptakan hidup yang bermakna tentu jadi bukti bahwa jagat heroik perempuan
sudah terbuka.
Kartini membuka lembaran baru, bagi perempuan yang merasa tertindas. Kartini
melukiskan masa
kecilnya melalui Suratnya kepada Ny HG de Booij-Boissevain dengan menunjukkan
diskriminasi yang
dia dapat ketika bayi. Ibunya harus bersaing dengan istri utama ayahnya, yang memang
masih keturunan
Ratu Madura. Sejak bayi dia sudah merasakan kehidupan yang beda antara gedung
utama dan rumah
kecilnya. Kisah kartini serta sederet perempuan heroik yang hadir dalam misi
memperjuangkan kebenaran,
menumpas kedzaliman telah mewarnai perjalanan jagat heroik dalam genggaman
perempuan. Ironisnya,
serangan balik yang tak kalah gencarnya berada sangat dekat dengan perempuan,
perempuan dipersiapkan
dan didisiplinkan menjadi tubuh-tubuh yang dikuasai, sehingga harus tunduk dan patuh
pada negosiasi
gender yakni swarga nunut nraka katut, kebahagiaan atau penderitaan perempuan
tergantung pada lakilaki.
Posisi perempuan dalam pandangan primordial harus membatasi geraknya, cara
berbusana serta
aksesnya. Sehingga regulasi hadir dalam diri perempuan.
Meski demikian, tidak banyak yang memahami bahwa laki-laki dan perempuan
mempunyai hak
dan kewajiban yang sama dalam menjalankan kekhalifahan. Bahkan dalam situasi
tertentu peran
perempuan dalam sejarah patriotismenya sangat luar biasa. Tetapi jagat heroik yang
sejati diibaratkan
seekor burung yang terbang kesana kemari serta tidak menunggu penonton dan
mencari perhatian dari
para pejabat negeri. Lalu kemana mereka pergi? Mereka pergi mengadu pada alam,
bahwa wajah negeri
sudah semakin rentan.
PEMBAHASAN
A. Perempuan Perkasa di Nusantara
“Tanah tidak melahirkan tanah, manusia akan menjadi banyak sementara tanah
semakin sempit”.
Ungkapan Aleta Ba’un ini adalah bentuk perlawanan yang harus dibayar mahal dengan
tetesan darah
Jagat Heroik Perempuan (Ayub Wahyudin) 121
dan keringat. Aleta Ba’un menghadang setiap buldoser dari para penambang yang
menggerus pegunungan
menjadi dataran, mendzalimi alam untuk mengusai masyarakat Molo Nusa Tenggara
Timur yang
menyimpan kekayaan marmer (Romli, 2008: th).
Aleta Ba’un yang telah dicalonkan sebagai Women’s Nobel Prize for Peace 2005 serta
seribu kandidat
perempuan lainnya, juga mendapat kehormatan bertemu dengan Hina Jilani, perwakilan
khusus Sekretaris
Genderal Perserikatan Bangsa-bangsa. Aleta Ba’un adalah kartini kontemporer yang
telah membebaskan
masyarakat Molo dari penindasan (Romli, 2008: 121-126), tetapi tidak terdengar dalam
deretan para
pejuang seperti Sukarno, Sudirman, Imam Bonjol, Hatta, Gus Dur, Nurcholis Madjid
bahkan Taufik
Hidayat Sekalipun. Apa karena dia perempuan?.
Nusantara telah banyak melahirkan perempuan perkasa seperti Aleta Ba’un, Kartini,
Kemala Hayati
(Panglima perang Aceh), Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Nyi Ageng Serang, Siti
Manggopoh, Hajjah
Rangkayo Rasuna Said, Rohanna Koeddoes (wartawati pertama), Nyai Ahmad Dahlan
(pendiri Aisyiyah
Muhammadiyah), dan Sholihah Wahid Hasjim (K.H.A Wahid Hasjim). Para
perempuan perkasa ini,
tidak hanya bangun lebih pagi daripada ayam, mempersiapkan makanan untuk anak dan
suami, bergelut
dengan kubangan asap yang mengepul dari tungku. Tetapi juga membebaskan rakyat
dari kejahiliyahan,
penindasan serta ketidakadilan. Dari deretan nama para perempuan perkasa tersebut,
tiga diantaranya
berasal dari Serambi Mekah (Aceh) yakni Cut Nyak Dien dan Cut Meutia yang
membela Aceh matimatian
sampai ia menjadi buta, serta Laksamana Malahayati sebagai seorang panglima armada
Sultan
Iskandar Muda II. Dalam pertempuran pertamanya menghadapi Portugis di Selat
Malaka, Malahayati
kalah. Dia bersumpah akan menebus kekalahannya atau dia akan mati tenggelam
dengan syahid.
Dalam cacatan sejarah, sebelum Islam masuk ke Nusantarapun, bangsa ini sudah
mengenal kerajaankerajaan
Hindu yang memiliki pemimpin perempuan (Queen). Tetapi, daftar pendek perempuan
dalam
buku besar sejarah Indonesia, memberi kesan bahwa jatah perempuan di jagat heroik
sangatlah kecil
karena pelbagai alasan.
B. Perempuan Perkasa dari Haramain
Perempuan perkasa dari Haramain, dalam sejarah Islam dan menjadi rujukan umat
muslim di seluruh
dunia adalah perempuan tangguh yang mendampingi nabi yakni Siti Aisyah, Khadijah,
Fatimah Azzahra,
Ummu Salamah, Zainab Binti Jahsy Bin Ri’ab, Zainab Al-Kubra serta masih banyak
perempuan
yang memberi inspirasi dalam periode setelahnya. Siti Aisyah pernah ikut terlibat dalam
perang Uhud
dan Badar. Keterlibatan Siti Aisyah dalam perang Badar terdapat dalam Hadist Muslim
(Kitab al-Jihad
wa as-siyar, bab Karahiyati al-Isti‘anah fi al-Ghazwi bikafir). Aisyah, menceritakan
peristiwa penting dalam
perjalanan selama perang Badar, beliau mengatakan: “ketika kita mencapai Shajarah”.
Dari pernyataan
ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar. Sebuah riwayat
mengenai
partisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitab al-Jihâd wa as-siyar,
Bab Ghazwi an-nisâ’ wa
qitâlihinna ma‘a ar-Rijâl): “Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, orang-orang tidak
dapat berdiri dekat
Rasulullah. Pada hari itu, saya melihat Aisyah dan Ummi Sulaim dari jauh, Mereka
menyingsingkan
sedikit pakaiannya untuk menghilangkan semua rintangan-rintangan dalam perjalanan”.
Perempuan yang juga merambah dalam jagat Heroik adalah Fatimah Az-zahra putri
Nabi yang
menjadi ibu dari imam-imam mazhab Syi’ah. Sejarah mencatat bahwa Fathimah Az-
Zahra hadir di medan
peperangan di masa hidupnya Rasulullah Saw. Dalam perang Khandak, kota Madinah
dikepung oleh
musuh. Saat itu, Az-Zahra membuat roti dan memenuhi sebagian kebutuhan para
mujahidin. Suatu
hari, Az-Zahra pergi ke garis depan untuk menemui ayahnya, lalu berkata, “Ayah, aku
telah membuat
roti untuk anak-anakku, namun aku teringat kepadamu dan mengkhawatirkanmu, oleh
karena itu, aku
antar roti ini kepadamu” (Zharif, 2008: th).
Sementara Khadijah, sebagai Ummul Mukminin, serta perempuan pertama yang masuk
dalam
rombongan umat muslim Haramain. Rasulullah bersabda :”Khadijah beriman kepadaku
ketika orang122
MUWÂZÂH, Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2009
orang mengingkari. Dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan. Dan dia
memberikan
hartanya kepadaku ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengaruniai
aku anak darinya
dan mengharamkan bagiku anak dari selain dia.” (HR. Imam Ahmad dalam “Musnad”-
nya, 6/118).
Citra Khadijah yang dermawan, cerdas serta memiliki nilai luhur di kalangan
perempuan Arab. Bahkan
jauh sebelum menikah dengan Nabi, telah dijuluki sayyidah nisa Quraish- tuan dari
perempuan bangsa
Quraish (Sudarto, 2008: th)
C. Proses Eksklusi Perempuan
Realitas perempuan perkasa di Nusantara tidak bisa dipandang sebelah mata,Ungkapan
swarga nunut
nraka katut (kebahagiaan atau penderitaan perempuan tergantung pada laki-laki), atau
kanca wingking
(teman belakang) untuk menyebut perempuan Nusantara, jelas menafikan sejarah
perempuan heroik
tersebut serta mempertegas kuatnya konstruksi perempuan yang berkaitan dengan
inferioritas perempuan,
sehingga perempuan digambarkan tidak memiliki peran sama sekali dalam mencapai
kebahagiaan hidup,
sekalipun bagi dirinya sendiri (Sri Suhandjati dan Sofwan Ridin. 2001: 07).
Padahal peran perempuan perkasa yang telah dipaparkan sebelumnya, tidak hanya
menciptakan
kedamaian bagi diri dan keluarganya, tetapi juga bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat
Nusantara.
Umar kayam, telah menjelaskan dalam karyanya tentang Sri Sumirah, betapa realitas
hidup perempuan
Indonesia dan Jagat Heroik itu diabaikan, serta dipelintir untuk kepentingan politis,
yakni tubuh yang
berjuang memerangi diri agar selalu beradaptasi dengan lingkungannya. Untuk menjadi
subjek yang
berbicara harus melalui bahasa tubuh-nya (Umar Kayam; 2003), Artinya jika
perempuan hanya dihargai
sebagai pendamping belakang (kanca wingking). Perempuan tidak mampu
menghasilkan karya apapun,
meskipun jagat heroik itu terbuka untuk setiap individu. Kartini dan kawan-kawan
dianggap hidup
tetapi dalam sejarah, Foucault menyebutnya dengan istilah discontinous, yakni sejarah
yang hilang dalam
ruang dan waktu, sehingga tidak ada yang peduli dengan jagat heroik yang disematkan
pada perempuan.
Bahwa Manusia tidak lagi memiliki sejarahnya: atau, ketika dia berbicara, bekerja dan
hidup, manusia
menemukan wujudnya terjalin dalam wujudnya sendiri dengan sejarah yang tidak
mensubordinasikan
kepadanya atau homogen dalam dirinya (Foucault, 1979: 423).
Perempuan di jagat heroik hanya dianggap sebagai “physical persons” semata. Artinya
perempuan
secara fisik berpartisipasi dalam Jagat Heroik, tetapi hanya sebagai raga yang
mengambang yang tidak
menjalankan peran sentral dalam pembuatan sejarah. Bahkan Banua,
mengidentifiksikan bagaimana
proses eksklusi (penyingkiran) perempuan dari jagat heroik. Bahwa selalu ada kekuatan
untuk mempertahan
kekuasaan laki-laki dengan sistem yang terorganisir. Ia menampilkan tiga sosok
perempuan sebagai
inspirasinya, terkait resiko keterlibatan di jagat heroik akan dtinggalkan oleh suami
mereka yakni kematian
yang menjemputnya (Banua, 2005: 5-12)5.
Perempuan yang dikuasai oleh cengkraman “lelaki dan kelaki-lakian”, sekaligus
memunculkan
beragam konsep dalam tradisi lokal bahwa peran perempuan dikonsepsikan untuk
melaksanakan tugas
di dalam rumah tangga, maka sejak masih gadis anak perempuan telah diajari dengan
tugas sektor
domestik yang berkisar di wilayah sumur, dapur, dan kasur. Sambil menunggu jodoh,
mereka diajari cara
berhias, memasak, dan melayani suami.
Kehadiran perempuan heroik, seolah menjadi ancaman bagi kaum Adam bahwa yang
heroik itu
harus laki-laki, sehingga terpaksa harus menyeret perempuan dalam tradisi lokal sebagai
konco wingking
dan sebagainya. Proses eksklusi tidak hanya berlaku di Nusantara, pada masa Romawi
ketika kongres
digelar, menghasilkan pandangan bahwa “perempuan itu adalah hewan yang najis,
kotor, tidak berjiwa
dan tidak kekal di akhirat. Mereka dilarang makan daging tidak boleh tertawa serta
berpendapat bahwa
seluruh hidup perempuan harus digunakan untuk beribadah kepada Tuhan, berhidmat
kepada lakilaki”.
Sementara di Perancis pernah berkembang kepercayaan bahwa kecelakaan dan
kejahatan serta
kesengsaraan di dunia ini berawal dari perempuan. Semboyan mereka “carilah
kebinasaan itu, kamu akan
mendapatkannya pada perempuan” (Thahar 1982: 25).
Jagat Heroik Perempuan (Ayub Wahyudin) 123
Dengan demikian, perempuan ibarat manusia yang dipaksa menjadi zombie, yakni
mayat hidup
yang bergentayangan, tetapi mencari kepuasan majikan, menghisap 5 darah untuk
majikan, sementara
dengan terpaksa ia harus melewati hari-harinya dalam pengabdian, dan siap
menanggung kesalahan
majikan, bahwa perempuan terlahir dalam dosa dan kesalahan. Kehadiran perempuan
dalam jagat heroik
tidak lebih dimaknai sebagai para abd (kaula), meskipun orasi serta gagasan tentang
perempuan bertebaran
di seluruh pelosok negeri, seorang abd (kaula) tetaplah memiliki trah yang rendah, serta
tidak mampu
bersaing dengan diskursus centralization of power (pemusatan kekuasaan) dalam diri
laki-laki.
D. Meluruskan Jalan Sesat
Konferensi Dunia tentang perempuan yang pertama di Mexico City oleh PBB tahun
1975, diperoleh
gambaran bahwa di negara manapun status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki
dan terbelakang
dalam berbagai aspek kehidupan baik sebagai pelaku, penikmat hasil pembangunan
maupun memperoleh
gelar-gelar heroik.
Tidak mustahil dibalik wacana perempuan tersebut, terdapat konstruksi pemikiran
teologis yang
justru memapankan posisi perempuan sebagai tersangkanya, misalnya ketika membahas
asal-usul kejadian
laki-laki dan perempuan, fungsi keberadaan laki-laki dan perempuan, maupun persoalan
perempuan
dan dosa warisan. Pembahasan secara panjang lebar dalam Kitab Suci beberapa agama
tentang mitosmitos
serta asal-usul kejadian perempuan, selalu berkembang dalam sejarah umat manusia
sejalan dengan
apa yang tertera di dalam kitab suci tersebut. Mungkin itulah sebabnya kaum
perempuan kebanyakan
menerima kenyataan dirinya sebagai given dari Tuhan. Bahkan tidak sedikit dari mereka
merasa happy
jika mengabdi sepenuhnya tanpa reserve kepada suami (Umar, 1998: 97)
Jagat Heroik perempuan telah membuka banyak jalan, akan tetapi jalan itu tidak selalu
lurus, banyak
bertebaran ranjau-ranjau yang menyesatkan. Pertama, mengacu pada asal usul
kelahiran Adam dan Hawa
yang segera menjadi simbol dari ketertindasan dan ketidakadilan yang menempatkan
perempuan sebagai
pelengkap penderitaan, bahwa perempuan yang memiliki sifat dasar lemah serta
memiliki nafsu duniawiyah
yang tak sebanding dengan laki-laki, pada akhirnya kaum Adam terdorong untuk
menempuh jalan sesat
dan keliru. Kedua, berasal dari fungsi dan peranan perempuan yang harus menempati
wilayah domestik,
berada di belakang yakni, kasur, sumur dan dapur, serta benturan tradisi lokal konco
wingking telah memberi
sumbangsih yang besar terhadap pengabaian jagat heroik perempuan. Ketiga, ketika
orang tidak mampu
merefleksikan sejarah kenabian yang memunculkan fenomena jahiliyah terulang
kembali di zaman yang
serba modern. Akibatnya, sejarah perempuan terbaik seperti yang telah diuraikan
sebelumnya selalu
memunculkan sentimen di kalangan masyarakat Muslim, Misalnya kegagalan Aisyah
memimpin perang
Jamal (onta) memunculkan spekulasi bahwa perempuan tidak boleh terlibat dalam
aktivitas politik,
karena akan mengalami kekalahan seperti layaknya Siti Aisyah.
Sudarto (2008: 14) mengatakan bahwa stigma negatif terhadap perempuan terjadi pada
dua
kekhalifahan, yakni Daulah Umayyah dan Abbasiyah. Saat itu perempuan dijadikan
harem-harem dan
tidak punya andil dalam keterlibatan publik. Nyaris tak terdengar lagi jagat heroik
perempuan sampai
akhir kekhalifahan Abbasiyah (pertengahan abad 13 M). Artinya masyarakat muslim,
saat itu mengalami
kemunduran seperti zaman jahiliyah. Oleh karenanya, diperlukan sejumlah alasan untuk
meluruskan
jalan sesat terhadap perempuan, agar tidak terjerembab kembali ke masa-masa jahiliyah,
seperti
keterlibatan perempuan untuk berperan dalam politik disebutkan oleh Allah Swt dalam
Al-Quran.
Misalnya, dalam surat Al-Mumtahanah ayat 12 disebutkan
􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦
􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦
􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦
􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦
􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦
􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦
􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦
􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦
􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦
􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦
􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦 􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦􀂦
124 MUWÂZÂH, Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2009
“Hai nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk
mengadakan janji setia (bai’at),
bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan
berzina, tidak akan membunuh
anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan
dan kaki mereka dan tidak
akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia (bai’at)
mereka dan mohonkanlah
ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.
Baiat merupakan simbol kesetiaan politik, perempuan diberi hak untuk berperan dalam
proses
pembebasan negara dari kedzaliman dan kekufuran, sehingga jagat heroik bukanlah hal
yang tabu bagi
perempuan. Dalam surat Al-Ahzab tentang sejarah hijrahnya kaum muslimin dari
Mekah ke Madinah,
merupakan simbol dari jagat heroik yang melibatkan perempuan–perempuan tangguh.
Isu tentang perempuan dan jagat heroik bukanlah rekayasa sosial dan politis. Bukankah
kelahiran
Islam merupakan negasi yang nyata, bagaimana mengangkat martabat perempuan dari
ketidakadilan.
Yakni dari mengangkat posisi perempuan yang dahulu dikenal dengan zaman jahiliyah
dengan mengubur
bayi perempuan hidup-hidup (wad’ul banat) oleh beberapa kelompok kabilah yaitu
Bani Tamim, Kandah,
Rabi’ah dan Mudar di Mekkah, tiba-tiba diperintahkan untuk merayakan syukuran
kelahiran perempuan
dengan aqiqah meskipun dengan seekor kambing (Thahar, 1982: 23).
Islam telah merengkuh jalan pembebasan serta mengangkat martabat perempuan. Salah
satu upaya
Alqur’an menghilangkan ketimpangan ini ialah dengan merombak struktur masyarakat
qabilah yang
berciri patriarki paternalistik menjadi masyarakat ummah yang berciri bilateral
demokratis. Promosi karir
kelompok masyarakat qabilah hanya bergulir di kalangan laki-laki, sedangkan
kelompok masyarakat
ummah ukurannya adalah prestasi dan kualitas, tanpa membedakan jenis kelamin dan
suku bangsa
(Mudzafir, 2003: 45).
Selain itu, terdapat sejumlah catatan penting dalam bahasa perempuan, yakni ungkapan
nabi tentang
indahnya ungkapan bahwa “surga berada di bawah telapak kaki ibu”, atau dalam
bahasa sunda disebutkan,
“indung nu ngandung bapa nungayuga” (ibu yang mengandung, bapak yang
membesarkan). Dalam tataran
Simbolik, kedua ungkapan ini terkait dengan proses perempuan yang sangat berperan
dalam ranah
kehidupan, tidak banyak yang menempatkan kata “Indung” (Ibu) berada diawal
kalimat, yang artinya
sebagai pionir kehidupan.
PENUTUP
Jagat Heroik perempuan tidak hanya dalam realitas kehidupan nyata. Bahwa rahim
perempuan
merupakan tempat kokoh yang tidak hanya melindungi serta menjaga janin, tetapi juga
sebagai madrasah
atau sekolah pertama bagi manusia. Di madrasah ini, transfer pengetahuan dilakukan
dari ibu ke janin
dengan merefleksikan setiap sesuatu yang mempengaruhi ibu ketika hamil, baik berupa
rangsanganrangsangan
kejiwaan maupun efek gerak atau diamnya anggota badan. Pada usia 6 bulan setelah
dilahirkan,
seorang anak belum bisa membedakan antara dirinya dengan ibunya.
Perbedaannya, bahwa sebelum terlahir ia berada di dalam perut ibu, dan setelah terlahir
ia berada
di dada ibu. Seorang anak yang terlahir akan mewarisi bentuk fisik, kondisi psikologis
serta kepribadian
yang khas dari bapak dan ibunya, seperti gerak dan diamnya tubuh dan juga cara
berjalan. Ini sebagaimana
juga bentuk pendidikan ibu pada usia 5 tahun pertama usia anaknya, akan berpengaruh
menanamkan
kebiasaan-kebiasaan, karakter-karakter serta elemen-elemen utama dalam jiwa anak.
Dari sini kita mulai memahami jagat heroik seorang perempuan, melebihi kekuatan
peperangan,
mengangkat senjata, yang terbatas dalam dunia fisik, sementara tidak banyak yang
menyadari bahwa
yang paling hebat dalam jagat heroik, bukanlah kematian dalam peperangan, tetapi
merasakan kegetiran
mempertahankan kehidupan, membina serta membimbing generasi penerus yang akan
melahirkan sosok
heroik baru, dan itu terdapat dalam diri perempuan, dalam jagat yang tak kasat mata,
dalam dunia yang
tidak teraba.
Jagat Heroik Perempuan (Ayub Wahyudin) 125
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 2002. “Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara”. Terjemahan
Iding Rosyidin Hasan
dari buku Historical Islam: Indonesian Islam in Global and Local Perspective,
Bandung: Mizan.
Banua, Raudal T. 2005. Perempuan di Bawah Bayang-Bayang Kekuasaan, Volume 5
Yogyakarta: Jurnal
kebudayaan Selarong.
Foucault, Michel. 1979. “Disipline and Punish, The Birt of the Prison”, translate by
alan Sheridan from
book, Surveiller at Punir: Naissance de la Prison, Harmond Sworth, Peguin Books.
Kayam, Umar. 2003. Seribu Kunang-kunang di Manhattan, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Mudzafir. 2003. “Agenda Keadilan Gender, Upaya Umat Islam Indonesia Mewujudkan
Keadilan”. Jurnal
DINIKA Vol 3, No. 1, Januari.
Mursyid, Ali. 2003. Pengaruh Jilbab Bagi Masyarakat, Cirebon: Harian Mitra Dialog.
Romli, M Guntur. 2008. Aleta Ba’un Perempuan Yang Menyusui Batu dan
Mengasuh Tanah, edisi Januari
Jakarta: Jurnal Perempuan 57.
Sudarto. 2008. Perempuan Daerah dan Kearifan Terhadap Perempuan. Edisi
Januari. Jakarta: Jurnal Perempuan
57.
Sukri, dkk. 2001. Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa. Yogyakarta: Gama
Media.
Thahar, Kamarisah. 1982. Hak Asasi Wanita dalam Islam. Medan: Ofset Maju.
Umar, Nasaruddin. 1998. Perspektif Gender dalam Islam, Vol. I, No. 1, Juli –
Desember. Jakarta: Jurnal
Pemikiran Islam Paramadina.
Zharif, Kamal. 2008. “Fatimah Az-zahra Manusia Sempurna”, diakses dari halaqah
online.com/v3/?fatimahazzahra-
as.pdf, diakses pada tanggal 05 Januari 2010.

KERAJAAN PAGARUYUNG DALAM PANDANGAN TUKANG


KABA
Oleh
Drs. M. Yusuf, M.Hum.
PENDAHULUAN
D
i dalam makalahnya Periodisasi Sejarah Minangkabau yang disampaikan pada Seminar Sejarah
dan Kebudayaan Minangkabau pada bulan Agustus 1970, Amrin Imran mengemukakan
bahwa keadaan sesungguhnya mengenai Kerajaan Minangkabau atau Pagaruyung masih
tetap merupakan tabir yang tak dapat ditembus. Hal ini, menurut Imran, disebabkan bahan-
bahan mengenai sejarah Minangkabau masih jauh dari lengkap.
Pada tahun 2002, makalah Amrin tersebut, bersama sebelas kertas kerja lainnya untuk
seminar yang sama, dengan diberi kata pengantar oleh H. Kamardi Rais Dt. P. Simulie dan
catatan pengantar oleh Dr. Mestika Zed, M.A., kemudian diterbitkan dalam bentuk bunga
rampai dengan judul Menelusuri Sejarah Minangkabau oleh Yayasan Citra Budaya Indonesia
dan LKAAM Sumatra Barat.
Berhubungan erat dengan bahan (sumber) tentang sejarah Minangkabau sebagai yang
dimaksudkan oleh Amrin Imran, agaknya catatan pengantar Mestika Zed untuk buku itu
patut disimak. Dalam catatan tersebut, Mestika Zed bahkan mengemukakan sejak kapan
orang Minangkabau menulis sejarah mereka, tidak tersedia jawaban. Salah satu alasan,
seperti yang juga sering dikemukakan oleh banyak orang, tulis Mestika, orang Minangkabau
tidak mempunyai aksara tersendiri. Baru setelah Islam masuk ke Minangkabau pada abad
ke-16 lah orang Minangkabau menuliskan kabar dalam aksara Jawi, atau aksara Arab
Melayu, yaitu aksara asal Persia yang digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu dan atau
bahasa Minangkabau.
Tentang masa mulainya aksara Jawi digunakan orang di Minangkabau ini pun tampaknya
masih dapat diperdebatkan. Sebab, sejauh yang dapat diketahui, naskah-naskah kuno
(manuskrip) Minangkabau tertua, belum ada yang lebih awal dari awal abad ke-19 (Yusuf,
1994), yaitu setelah kertas Eropa, Belanda khususnya, digunakan orang di Minangkabau.
Tidak adanya sumber tertulis yang dibuat oleh orang Minangkabau, bukan berarti bahwa
orang Minangkabau tidak merekam sejarah mereka. Sebab, seperti yang juga ditulis oleh
Yusuf (1994), dan Mestika Zed (2002), teks-teks kuno yang hingga saat ini masih dapat
ditemukan di dalam masyarakat Minangkabau, terutamanya adalah teks lisan, yaitu teks
yang aslinya misalnya masih ada pada Tukang Kaba, Tukang Selawat, Tukang Hikayat,
Tukang Dendang, dan para pemangku adat dalam bentuk ingatan.
Kalaupun kemudian aksara Jawi sudah digunakan, keremangan sejarah Minangkabau,
termasuk sejarah Kerajaan Pagaruyung, tidaklah langsung berubah menjadi terang, bahkan
mungkin bertambah suram. Ini terjadi karena manuskrip-manuskrip yang (dianggap dan
diharapkan) berisi teks ―sejarah‖, seperti tambo dan Hikayat Tuanku nan Muda Pagaruyung
ternyata penuh dengan cerita atau mitos (Cf. Mestika Zed 2002). Akan tetapi, walaupun
dari sudut pandang filologi dan kesusastraan tambo dan kaba yang penuh dengan mitos
dipandang sebagai salah satu genre susastra tradisional, dalam sudut kajian historiografi
kedua genre susastra tersebut tetap dapat dipandang sebagai penulisan sejarah yang awal.
Hal ini tidak saja berlaku di dalam tradisi Nusantara, tetapi juga, seperti yang juga
dikemukakan oleh Mestika Zed, di mana pun di penjuru dunia ini, termasuk di dunia Barat,
semua penulisan sejarah yang paling awal disampaikan dalam bentuk literer (sastra). 2
Persoalan yang muncul adalah mungkinkah mitos atau cerita mengandung peristiwa-
peristiwa yang faktual? Karena mitos adalah produk budaya masyarakat tertentu, dan kalau
pun diciptakan oleh seseorang yang anonim, dan pencipta tersebut adalah anggota suatu
masyarakat, maka menurut teori susastra, pastilah cerita berangkat dari fakta-fakta sosial.
Ringkasnya, sebuah cerita sangat mungkin berisi sejarah sosial masyarakat pendukungnya.
Akan tetapi, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana fakta historis itu dapat ditemukan
kembali.
Jika studi sejarah (yang ilmiah dan kritis) dengan disertai bantuan arkeologi, epigrafi dan
paleografi dapat memberikan penjelasan yang memuaskan banyak orang tentang sejarah
kerajaan Pagaruyung, agaknya mempersoalkan apalagi mencari jawaban untuk persoalan di
atas merupakan pekerjaan yang sia-sia. Akan tetapi, nyata sekali banyak tulisan tentang
kerajaan di Minangkabau pada masa lalu itu, termasuk yang mengutamakan pendekatan
arkeologis sekalipun, justru menyertakan tinjauan mitologis sebagai alat bantu. Barangkali
cara ini ditempuh karena selain teks, tidak ada lagi sumber sejarah dan kebudayaan yang
paling handal dalam mentransmisikan peristiwa dari masa lalu sampai pada saat yang akan
datang. Seperti sebuah lingkaran syetan, jebakan tautologis langsung menghadang ketika
prasasti yang berisi epigraf sebagai situs ternyata mengandung banyak hal yang mitologis,
atau sekurang-kurangnya fiktif dalam pengertian literer.
Salah satu contoh yang menarik dan langsung berkenaan dengan Kerajaan Pagaruyung
adalah ―Perpindahan Pusat Kerajaan Melayu ke Pedalaman Sumatra Barat”, kertas kerja yang
ditulis oleh Bambang Budi Utomo dari Pusat Penelitian Arkeologi. Dalam kertas kerja yang
disampaikan pada ceramah Arkeologi di Museum Adityawarman pada bulan Maret yang
lalu. Selain menggunakan sumber-sumber yang ―dapat dipercaya‖ seperti situs, arsip dan
dokumen-dokumen lain, tulisan ini juga menggunakan penulisan sejarah yang literer, yaitu
Kitab Nagarakretagama, dan Kitab Pararaton atau yang semi literer seperti Catatan I-tsing dari
tahun 672 Masehi, serta Kitab Sejarah Dinasti Tang (abad 7-10 Masehi) (Budi Utomo, 2002).
Dalam Kitab Sejarah Dinasti Tang dan Catatan I-tsing itu misalnya, kutip Budi Utomo, orang
Cina menyebut Melayu dengan Mo-Lo-Yeu. Dari segi linguistik, hal ini sangat mungkin.
Namun, mungkinkah Sriwijaya disebut dengan Shih-li-fo-shih dan San-fo-tsi? Pakar
linguistik barangkali dapat memberi jawaban.
Bukan hanya Kitab Nagarakretagama dan Pararaton, karya-karya literer di Nusantara yang
sering dijadikan bahan rujukan atau setidaknya pembanding untuk studi sejarah. Karya-
karya lain yang dapat disebut sebagai contoh di sini adalah Babad Tanah Jawi, Hikayat Banjar,
Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, dan Tuhfat Al-Nafis, dan tentu saja Kaba Cindua Mato
(Lihat Timothy P. Barnard, 1994: 7-41).
Berdasarkan studinya terhadap prasasti, situs di daerah sepanjang aliran Batanghari,
dokumen-dokumen serta tulisan lain, termasuk kedua kitab sastra yang telah disebut di
atas, dan dengan didukung oleh ulasan mengenai keadaan geografi sebagai pendukung
sumber ekonomi sebuah kerajaan, Bambang Budi Utamo berkesimpulan bahwa
Pagaruyung merupakan kelanjutan kerajaan Melayu Jambi. Menurutnya, kerajaan Melayu
sekurang-kurangnya telah tiga kali memindahkan pusat kerajaan. Yang pertama berpusat di
sekitar kota Jambi sekarang, kemudian ke Padangroco, Sawah Lunto, dan terakhir di daerah
Pagaruyung di Batusangkar, Sumatra Barat.
Kesimpulan itu agaknya menyebabkan tabir Pagaruyung semakin gelap. Sebab, pertama,
kata Pagaruyung di Batusangkar mengacu ke sebuah istana yang dibangun oleh Pemda
Sumatra Barat pada pertengah tahun tujuh puluhan. Kedua, di dalam Kitab
Nagarakretagama yang juga dirujuk oleh Budi Utomo, terungkap bahwa Kerajaan
Minangkabau, yang selalu disamakan dengan kerajaan Pagaruyung, sebenarnya merupakan
kerajaan yang berbeda dengan kerajaan Melayu. 3
Sebagai yang dikutip oleh Budi Utomo (2002), di dalam Nagarakretagama, pupuh XII:1 dan
2 tertulis:
1. Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Malayu: Jambi dan Palembang, Karitan,
Teba, dan Dharmasraya pun juga ikut disebut, Kandis, Kahwas, Manangkabwa, Siyak, Rkan,
Kampar dan Pane, Kampe, Harw, dan Mandahiling juga Tumihang, Parlak dan Barat.
2. Lwas dengan Samudra dan Lamuri, Batan, Lampung dan Barus. Itulah terutama negara-
negara Melayu yang telah tunduk.

Dengan demikian, perbincangan mengenai sejarah kerajaan Pagaruyung, hingga saat ini
tampaknya masih sangat menarik.
Dengan judul seperti tertera, dan karena telah banyaknya tulisan sejarah—dengan berbagai
kualitasnya–tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengimbangi kajian historiografi, apa lagi
penulisan sejarah yang kritis. Dengan menggunakan pendekatan filologi—studi kebudayaan
berdasarkan teks yang terdapat di dalam manuskrip—tulisan ini akan membentangkan
lokasi kerajaan Pagaruyung. Selayaknya dalam pendekatan filologis, pendekatan yang
digunakan dalam tulisan ini juga didukung oleh antropologi, sejarah, bahasa, dan
kesusastraan, serta secara lebih khusus, agama.
Dengan memandang manuskrip Or. 8539 naskah koleksi Perpustakaan Universitas Leiden
merupakan karya sastra, maka tulisan ini lebih dimaksudkan sebagai bahan curah gagas
(brainstorming).
Kaba Cindua Mato (Hikayat Tuanku nan Muda Pagaruyung)

D
i kalangan masyarakat Miangkabau, cerita yang sampai sekarang masih sering dikaitkan
dengan sejarah kerajaan Pagaruyung adalah Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung atau
Sejarah Tuanku Rang Mudo. Dalam versi lisan, cerita ini juga sangat populer dengan Kaba
Cindua Mato. Kaba ini, seperti yang pernah dikemukakan oleh Mansoer (1970)71) juga
dikenal dengan dengan Mitos Bundo Kanduang dan Cindua Mato, atau Kaba Curito Bundo
Kanduang jo Cindua Mato.
Kaba—termasuk yang klasik seperti Cindua Mato—merupakan salah satu genre (ragam)
seni susastra tradisional yang hingga pada saat ini masih populer di kalangan masyarakat
Minangkabau. Ragam seni lainnya yang dimiliki oleh masyarakat ini antara lain adalah
tambo dan hikayat (karya berbentuk prosa), pantun, pepatah-petitih, mamangan, bidal,
mantra, dan zikir (mengambil bentuk puisi), selawat dulang atau selawat talam (dalam
bahasa Minangkabau dikenal dengan salawaik dulang, salawaik talam, atau batalam).
Secara etimologis, kaba diduga berasal dari kata khabar, akhbar, dan khabarun. Namun,
perbedaan itu tidak menggeser pendapat umum yang mempercayai bahwa kaba merupakan
kata pinjaman yang berasal daari bahasa Arab. Agaknya perbedaan itu muncul disebabkan
kabar, pesan, berita, atau warta sebagaimana yang dimaksudkan di dalam bahasa Indonesia,
di dalam bahasa Arab diungkapkan dengan kata al-khabar, bentuk tunggal, dan akhbarun,
dalam bentuk ajamak (Munawir, 1973; Nuh, 1974:142).
Sebagai suatu istilah, kaba menunjuk suatu ragam susastra tradisional lisan Minangkabau
yang biasa disampaikan oleh tukang kaba, sijobang (Phillips, 1980, 1981). Agak berbeda
dari pendapat Phillips, Junus (1984:17) berpendapat bahwa istilah kaba menunjuk suatu
ragam susastra tradisional Minangkabau yang dapat disampaikan oleh tukang kaba. Dengan
demikian, secara umum dan ringkas dapat dikatakan bahwa kaba adalah cerita, sebuah fiksi.
4
Sehubungan dengan posisi yang dimiliki tukang kaba, setidaknya terdapat dua prinsip
utama yang dipegangnya. Prinsip tersebut, sebagai mana halnya yang berlaku didalam
tradisi lisan, diwarisi oleh tukang kaba dari para pendahulu mereka. Biasanya prinsip itu
dipegang oleh para tukang kaba dalam bentuk pantun seperti dibawah ini:
Banda urang kami bandakan
Padi barapak di halaman
Kaba urang kami kabakan
Duto urang kami ‗ndak sanan
(Parit orang kami gunakan
Padi terlihat di halaman
Kabar orang kami kabarkan
Dusta orang kami tidak ikut (dusta))
Variannya:
Banda urang kami bandakan
Padi barapak di pamatang
Disaok daun jerami
Kaba urang kami kabakan
Antah talabiah jo takurang
Hanyo parintang-rintang hati
(Parit orang kami gunakan
Padi disusun di pematang
Ditutupi (daun) jerami
Kabar orang kami kabarkan
Entah lebih, entah kurang
Hanya (untuk) perintang hati)
Varian Lain Lagi:
Banda urang kami bandakan
Padi barapak di pamatang
Disaok daun jerami
Kaba urang kami kabakan
Elok talabiah asa jan tajurang
Taro parintang-rintang hati
(Parit orang kami gunakan
Padi disusun di pematang
Ditutupi (daun) jerami
Kabar orang kami kabarkan
Elok lebih asal jangan kurang
Sementara perintang-rintang hati) 5
Di dalam tugasnya sebagai penyampai cerita, tukang kaba tidak bertanggung jawab atas
kebenaran maupun ketidakbenaran yang terdapat dalam cerita yang disampaikannya.
Disamping hal tersebut, seandainya cerita tersebut mengandung dusta, dalam hal ini dusta
itu bukan miliknya; tukang kaba tidak ikut bertanggungjawab atas dusta yang (mungkin)
tersampaikan lewat kaba itu.
Prinsip yang kedua tukang kaba, seperti diwakili oleh pantun kedua, adalah sebagai
penghibur. Pada posisi ini, tukang kaba tidak lagi sekedar menyampaikan cerita orang lain
apa adanya, tetapi sekaligus telah menambah dan (atau) menguranginya. Dapat
dikemukakan disini bahwa seorang penyampai cerita dalam hal ini sekaligus bertindak
sebagai seorang pengarang. Mengacu pendapat Amin Sweeney (1980: 41-62, 1987: 106-
137), maka seorang tukang kaba berlaku sebagai pengarang (penulis) dan juru cerita
didalam tradisi susastra lisan Melayu. Di dalam kaba, kedua unsur yang disebut diatas selalu
hadir bersamaan. Dengan demikian, kaba merupakan ketegangan antara ―milik
masyarakat‖ dan ―milik pribadi tukang kaba‖.
Pada teks kaba tertulis yang berupa naskah prinsip utama yang dipegang tukang kaba tetap
dapat ditemukan. Ini misalnya dapat dilihat di dalam naskah Kaba Cindua Mato (Or. 1920,
Leiden) yang memuat pernyataan yang (penyalin) bahwa cerita yang disampaikannya
berasal dari orang lain: khabar orang kami khabarkan, bohong orang baik wilayah alam
Minangkabau dan sekitarnya, serta dapat dikatakan sebagai seorang penganut sufi.
Dari bahasa yang digunakan, manuskrip Or. 8539 cenderung menggunakan bahasa
Minangkabau dialek (Mudik) Payakumbuh. Kemungkinan besar, naskah ini ditulis atau
disalin oleh seorang guru tasauf di Surau Gadang di Kota Gadang, dekat Suliki. Uraian
yang luas mengenai persoalan pengalih-bahasaan serta edisi tentang kaba ini dapat dilihat
dalam tesis Yusuf (1994).
Pagaruyung: Antara Sejarah dan Fiksi

P
embicaraan dan tulisan tentang Kaba Cindua Mato dari sudut pandang sejarah, telah banyak
dilakukan. Salah satu tulisan yang sangat menarik adalah “Some Notes on the Kaba Tjindua
Mato: An Example of Minangkabau Traditional Literature” karya Taufik Abdullah (1970) yang
dimuat di dalam majalah Indonesia, nomor 9. tulisan ini diterjemahakan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Mien Joebhaar menjadi “Beberapa Catatan mengenai Kaba Cindua Mato, Sebuah
Contoh dari Sastra Tradisional Minangkabau”, dan dimuat di dalam Majalah Kebudayaan
Minangkabau, nomor 3-4, tahun 1974. Di dalam tulisan yang selalu dirujuk oleh penulis
lain yang berbicara tentang cerita Cindua Mato ini diungkapkan penafsiran penulisnya
mengenai beberapa segi pandangan duniawi masyarakat Minangkabau yaitu suatu persoalan
yang berkenaan dengan falsafah adat Minangkabau.
Juga diungkapkan di dalam tulisan itu adalah bahwa cerita Kaba Cindua Mato memiliki watak
mistik. Watak ini memberi tekanan kepada kelembagaan syarak (hukum agama) dalam
susunan politik Minangkabau. Sebagai mitos utama negara Minangkabau, Kaba Cindua Mato
mungkin merupakan transformasi dari suatu karya fiksi menjadi mitos atau merupakan
penjelmaan dari tokoh-tokoh sejarah (Abdullah, 1970: 22). Pembicaraan Abdullah ini
didasarkan kepada Kaba Cindua Mato atau Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung edisi Van
der Toorn (1891A), edisi Dt. Garang (1904), dan edisi Dt. Sangguno Diradjo (1923).
P. E. De Josselin de Jong dalam bukunya Minangkabau and Negri Sembilan Socio-Political
Structure (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1980) juga menggunakan Kaba Cindua Mato edisi
Van der Toorn (1891A) sebagai landasan kajiannya yang berkenaan dengan masalah
organisasi politik serta posisi matrilineal dan patrilineal. Di dalam konteks masyarakat
Minangkabau, menurutnya, di dalam hal itu sering terjadi inter-relasi satu sama lain (De
Jong, 1980: 97-115). 6
Di dalam bukunya Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984)
Navis juga menyinggung mitos Cindur Mata dalam pembicaraannya mengenai kaba. Di
dalam hal ini, Navis (1984: 243-252) antara lain mengungkapkan bahwa satu-satuny kaba
yang mungkin merupakan epos suatu sejarah ialah Kaba Cindua Mato. Navis (1984: 250)
juga menambahkan:
―Jikalau kisah Cindur Mato dapat dikatakan sebagai satu-satunya episode sejarah Minangkabau
yang dikisahkan kaba, maka hal itu harus dilihat pada latar belakang Cindur Mato sebagai anak
inang pengasuh yang ditonjolkan sebagai pembela Kerajaan Minangkabau.‖
Umar Junus, dalam bukunya Sosiologi Sastera, Persoalan Teori dan Metode (1986) antara lain
mengungkapkan bahwa Kaba Cindua Mato, Sejarah Melayu, dan Hikayat Raja-Raja Pasai
berlawanan dengan karya-karya susastra Melayu Klasik lainnya yang memiliki patronage
karena penulis istana dikatakan dibiayai oleh raja. Pada Cindua Mato, Sejarah Melayu, dan
Hikayat Raja-Raja Pasai diperlihatkan kemungkinan adanya keadaan sebaliknya. Ketiga
karya ini mencela raja dan bukan mengenai raja yang memerintah, tetapi raja yang telah
lampau. Kaba Cindua Mato tidak lagi sebagai karya susastra lama yang dianggap sebagai
mitos pengukuhan. Paling kurang, cerita ini pada hakikatnya tidak lagi mengagungkan raja
begitu saja (Junus, 1984: 8-11).
Karya lain yang menyinggung Kaba Cindua Mato adalah hasil penelitian terhadap kaba di
Minangkabau yang dilakukan oleh Syamsudin Udin dkk. (1986). Di dalam studi deskriptif
itu, dengan menggunakan Tjindua Mato karya St. Rajdo Endah (1961) sebagai obyek
penelitian, disimpulkan bahwa tema cerita Cindua Mato adalah masalah upaya dan
prosedur pelaksanaan hukum dan mendapatkan keadilan di dalam mekanisme
pemerintahan Minangkabau (Udin, dkk. 1986: 217-229).
Penelitian yang dibukukan dengan judul Identifikasi Tema dan Amanat Kaba Minangkabau itu
kemudian diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, pada
tahun 1987 dengan judul Struktur Kaba Minangkabau. Kecuali bagian yang memuat
pembicaraan tentang gaya bahasa, pada dasarnya di dalam kedua buku itu dimuat persoalan
yang sama.
Di dalam bukunya Sastra Nusantara, Bakar Hatta (1982: 37-44) memasukkan Kaba Cindua
Mato sebagai karya susastra Melayu yang berbentuk hikayat. Di dalam buku itu juga
disebutkan bahwa Hikayat Cindur Mata merupakan karya sastra sejarah yang mengandung
dongeng. Tulisan yang langsung mengaitkan Cindua Mato dengan kerajaan Pagaruyung
adalah tulisan Asmaniar Idris (2002).
Dari uraian di atas, barangkali dapat disimpulkan bahwa sebagai fiksi, cerita Cindua Mato
sering pula dinilai sebagai karya sejarah, dan dalam ini adalah sejarah kerajaan Pagaruyung.
Sayang sekali, penelitian-penelitian ini tidak mengupas unsur-unsur kesejarahan tersebut
dengan pendekatan filologi dengan bantuan ilmu susastra secara baik. Padahal, ulasan
terhadap struktur cerita ini paling tidak dapat menjelaskan informasi sebagai berikut,
Pertama, dari segi latar. Di dalam banyak manuskrip, cerita Cindua Mato sering dibuka
dengan:
Pada suatu masa, adalah seorang raja perempuan di dalam ulak Tanjuang Bungo, di dalam alam
Minangkabau, di dalam koto Pagaruyuang, bernama Parik Koto Dalam.
Ketika Dang Tuanku (putra makota Pagaruyung) akan mengadu ayam Kinantan, pegawai istana
kemudian menjemput Juaro Medan Labiah yang bertempat tinggal di Solok, Kampuang Dalam.
Meskipun nama Tanjuang Bungo mengacu ke beberapa tempat, berdasarkan arah
perjalanan Cindua Mato ke Sungai Ngiang dan Ranah Sikalawi yang menuju Timur, melalui
7
Tapuang Kiri dan Tapuang Kanan, (ke arah Timur) ada dua tempat yang ditunjuk tek situ,
yaitu daerah di sekitar Suliki, dan satu lagi di sekitar Kapur Sembilan, kedua-duanya berada
di Kabupaten Limapuluh Kota sekarang.
Jika Tanjung Bungo diarahkan ke Kapur Sembilan, kelemahannya adalah bahwa wilayah
karajaan ini terlalu sempit. Sebab batas alam Minangkabau mencakupi Sialang Balantak Basi
(di Kapur Sembilan). Lagi pula, di sekitar tempat ini, dusun Solok tidak ada. Yang ada
adalah Solok Sibio-Bio.
Kedua, dari Sudut Bahasa. Kosa kata seperti bantiang (sapi), damar, kemenyan, ambalau
(getah untuk mengganjal hulu pisau), permainan sepak raga, manau (jenis rotan), parik
rantang (parit yang digunakan sebagai bunker), balairung Tanjuang Jati, binuang, padang
nunang, emas, tembakau, alam-alam (untuk panji-panji), adat Limapuluh, adalah kosa kata
yang sangat akrab dengan dialek Payakumbuh. Oleh karenanya, lokasi kerajaan, meskipun
berbeda, tetap tidak bergeser dari daerah sekitar Payakumbuh.
Jika hanya satu manuskrip yang memuat kosa kata itu, barangkali hal ini disebabkan oleh
penulis atau penyalinnya memang berasal dari Payakumbuh. Akan tetapi, dari lebih dua
puluh lima naskah (Lih. Yusuf, 1994) memuat kosa kata itu.
Dari sudut watak mistik. Sejalan dengan penilaian Taufik Abdullah, cerita Cindua Mato
seharusnya memang dipahami lewat watak mistik Islamnya. Tanpa memahami watak mistik
itu, agaknya pemahaman terhadap Cindua Mato yang melihat dengan jahir, dan Dang
Tuanku yang selalu melihat dengan bathin—dua tokoh yang mempunyai dua tubuh dan
satu nyawa ini—bisa tersesat. Apalagi di dalam teks juga sering disebut bahwa Dang
Tuanku adalah wakil Tuhan di atas dunia (khalifatullah). Soal-soal lain yang pelik juga
dimuat di dalamnya, misalnya tentang sorga yang delapan pangkat, kemudian melihat sorga
di atas dunia (untuk melihat Dang Tuanku dan Cindua mato yang berpakaian kebesaran
mereka).
Sejalan dengan cerita asal usul orang Minangkabau yang dimuat di dalam tambo alam
Minangkabau, raja Minangkabau dilukiskan dengan:
Raja berdiri sendirinya. Sama terjadi dengan alam imi. Timbalan Raja Benua Rum, timbalan
Raja benua Cina, timbalan raja di lautan.
Mengapa mesti benua Rum dan Cina?
Dengan sangat menarik, dalam dalam tulisannya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, Azyumardi Azra (1994) menjelaskan bahwa hal itu
berkaitan dengan konsepsi penciptaan yang jelas dipengaruhi oleh teori emanasi dalam
filsafat Islam dan Tasawuf. Rum dalam teks itu tidak mengacu ke Roma tetapi ke Benua
Roma (Turki Utsmani) yang sejak abad ke-13 telah menciptakan momentum hubungan
Nusantara dengan Timur Tengah. Sebagai catatan, jalur internasional yang digunakan pawa
waktu itu adalah Selat Malaka. Suatu jalur yang dengan sangat mudah dapat sampai ke
Payakumbuh dan Suliki melalui beberapa sungai, seperti Siak, Kampar, Tepung, dan Sungai
Rokan.
Menelusuri jalur penyebaran agama, kemudian mengaitkannya dengan pencerita yang juga
guru agama, serta artepak tarikat Samaniah—dengan ratik Saman-nya—yang masih ada di
sekitar Rao (di sebelah Utara, Suliki). Hingga sekarang, jalur ini secara tradisional, yaitu
dengan kuda beban dan perahu, masih tetap hidup. Orang misalnya setiap Sabtu turun dari
Tombang dan Sopan di Bukit Barisan dalam wilayah Rao, menuju Kuamang daan Pasar
Tapus untuk berbelanja. Dari Tombang, juga dari Padang Nunang di Rao, jalur tradisional
juga masih terbuka menuju Ujung Batu dan Rokan di Riau sekarang. Turuk dari Tombang,
kemudian menelusuri 8
Muara Sungai Lolo, orang juga bisa sampai ke Mahat, Suliki, Kapur Sembilan, di kabupaten
Limau Puluh Kota, sebuah sketsa perjalanan biasa yang terdapat di zaman Cindua Mato.
Kembali dari Segi Bahasa. Mengapa Rao yang lebih dekat dengan Mandahiling
menggunakan bahasa Minangkabau, bahkan mendekati dialek Payakumbuh? Barangkali
jalur tradisional dan kedekatan hubungan mereka—seperti cerita Cindua Mato yang masih
hidup di sana—itulah yang menjadi kunci jawaban. Jika kemudian putri Dang Tuanku (Raja
Pagaruyung) kemudian menjadi raja Rao—menurut cerita tentu saja—barangkali hal ini
digunakan sebagai kedekatan hubungan raja-raja di wilayah Rao dengan kerajaan
Pagaruyung yang tidak jauh dari jalur itu.
Di dalam dialek Rao pulalah kata ulak yang berarti di sebelah hilir masih hidup. Dengan
begitu, bisa dipahami bahwa—menurut Tukang Kaba—lokasi kerajaan Pagaruyung adalah
di hilir Tanjuang Bungo, yaitu ke Kampuang Dalam di Limbanang, atau ke Andiang, dekat
dengan Mahat.
Melalui Surat-Surat.
Seperti juga yang tertulis di dalam Kitab Nagara Kretagama, di dalam Kaba Cindua Mato, jelas
kerajaan Pagaruyung di dalam alam Minangkabau berbeda dengan kerajaan Jambi atau, dan
kerajaan Jambi. Hal ini dapat dilihat, ketika Dang Tuanku dan Cindua Mato
melangsungkan perkawinan masing-masing dengan Puti Bungdu anak Tuanku Rajo Mudo
di Ranah Sikalawi, dan Puti Lenggo Gini, anak Datuak Bandaro di Sungai Tarab, Dang
Tuanku mengirim surat yang dialamatkan ke:
1. Negeri Rao
2. Pariaman
3. Kualo
4. Kualo, Batanghari
5. Siak, Indogiri
6. Jambi
7. Sungai Pagu
8. Selat Indopuro
9. Aceh

Hal itu dapat diartikan bahwa kerajaan Pagaruyung di Minangkabau bukanlah kelanjutan
kerajaan Adityawarman. Bahkan bisa jadi, kerajaan di Gudam, Balai Janggo—lokasi istana
Pagaruyung sekarang—sebagaimana diseceritakan tukang kaba adalah wilayah yang diklaim
sebagai wilayah kerajaan Alam Minangkabau.
Pendukung Kerajaan
Jika harus ada sebuah kerajaan, bagaimana mereka mencukupi kebutuhan ekonominya? Di
dalam cerita Cindua Mato, basis ekonomi sebuah kerajaan juga tidak berbeda dengan
pandangan para ahli sejarah. Tanpa mengabaikan pendapat Bambang Budi Utomo (2002)
bahwa Saruaso sangat layak, wilayah Suliki dan bukit-bukit yang berbatasan langsung
dengan Rao dan Rokan, juga merupakan daerah, yang hingga saat ini, bahkan dari dahulu,
kaya dengan manau, kemenyan, damar, kayu gaharu, kayu madang, serta lada, nilam dan
emas.
Dari segi pertahanan, barangkali Kampuang Dalam di Limbonang, Payakumbuh, sangat
mungkin dijadikan lokasi kerajaan Pagaruyung. Hingga sekarang, selain banyak negeri
bernama Kubu, juga ada parit rentang, yang di dalam cerita Cindua Mato digunakan
sebagai bunker pertahanan setelah dipagari dengan kayu, dan bambu yang diikat dengan
manau.
Artefak bahasa yang lain yang mengacu kepada informasi mengenai wilayah Suliki sangat
mungkin menjadi lokasi kerajaan Pagaruyung pada sekitar abad ke-14-18 adalah Talago
(Telaga, 9
tempat pemandian putri), Pandam Gadang (kuburan masal), tari elang, serta tempat-tempat
terbuka, daan gua yang dijadikan tempat peribatan (Islam).
Akhirul Kalam

M
asih banyak hal yang dapat didiskusikan. Misalnya, mengapa nama daerah atau desa
Pagaruyung tidak ada? Seperti Puak Data (di Suliki) yang bertukar dengan Koto Tinggi, dan
Fort de Kock menjadi Bukittinggi, Fort van der Capellen menjadi Batusangkar, atau Emma
Haven menjadi Teluk Bayur, barangkali waktu juga telah merubah Pagaruyuang menjadi
sesuatu yang lain. Mudah-mudahan negeri itu tidak lenyap karena banjir atau karena buatan
tangan manusia. Sekali lagi, tulisan ini merupakan kajian filologis, bukan kajian sejarah. Jadi
menurut Tukang Kaba, Tukang Cerita, agaknya lokasi Pagaruyuang berada di sekitar Suliki.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. 1970 ―Some Notes on the Kaba Tjindua Mato: An Example of
Minangkabau Traditional Literature‖, dalam Indonesia No. 9. (April). Cornel: Modern
Indonesia Project.
______________1974 ―Beberapa Catatan mengenai Kaba Cindua Mato‖ (Terjemahan
dari ―Some Notes on the Kaba Tjindua Mato: An Example of Minangkabau Traditional
Literature‖, Indonesia No. 9. April 1970) oleh Mien Joebhaar dalam Majalah Kebudayaan
Minangkabau No.3-4. Thn. I. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Minangkabau.
Barnard, Tomothty. 1994. Raja Kecil dan Mitos Pengabsahannya (Terjemahan Aladin dan
Al Azhar). Pekanbaru: Pusat Pengajian Melayu Universitas Islam Riau.
Budi Utomo, Bambang. 2002. ―Perpindahan Pusat Kerajaan Malayu ke Pedalaman
Sumatra Barat‖ (Makalah yang disampaikan pada Ceramah Arkeologi di Museum
Adityawarman, Padang).
De Jong, P. E. De Josselin. 1980. Minangkabau and Negri Sembilan, Socio-Political
Stucture in Indonesia. ‗s-Gravenhage: Martinus Nijhoff (Third Impression).
Dt. Garang. 1904. Tjindur Mata. Malaya: t. p.
Dt. Sangguno Diradjo, Ibrahim Gelar. 1923. Hikajat Tjindur Mata. Jilid I. Fort de Kock
(Bukittinggi): H. Chalidi Ahmad Thaib.
Hatta, Bakar. 1982. Sastra Nusantara, Suatu Pengantar Studi Sastra Melayu. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Imran, Amrin. 2002. ―Periodisasi Sejarah Minanghkabau‖. dalam Kamardi Rais Dt. P.
Simulie. 2002. Menelusuri Sejarah Minangkabau. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia
dan LKAAM Sumbar.
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastera, Persoalan, Persoalan Teori dan Metode. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.
Mansoer, D. Dkk. 1970. Sedjarah Minangkabau. Djakarta: Bhratara.
Mestika Zed. 2002. ―Orang Minang Menulis Sejarah Mereka: Sebuah Catatan Pengantar:
dalam Kamardi Rais Dt. P. Simulie. 2002. Menelusuri Sejarah Minangkabau. Padang:
yayasan Citra Budaya Indonesia Dan LKAAM Sumbar.
Munawir, Ahmad Warson. 1973. Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: YAPPI-
SINTA Pondok Pesantren Krapyak. 10
Navis, A. A. 1984. Alam Takambang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minagkabau.
Jakarta: Grafiti Press.
Nuh, Abd. Bin, dan Oemar Bakry. 1974. Kamus Indonesia-Arab-Inggris. Jakarta: Mutiara.
Cet. Ke-4.
Phillips, Nigel. 1980 . ―The Performance of Sijobang‖, Archipel 20
____________1981. Sijobang, Sung Narrative Poetry of West Sumatra. Cambridge:
Cambridge University Press.
St. Radjo Endah, Sjamsuddin. 1961. Kaba Tjindua Mato. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Sweeney, Amin. 1980. ―Authors and Audience in Traditional Malay Litterature‖, dalam
Monograph Series. No. 20. Berkeley: University of California Press.
_______________1987. A Full Hearing, Orality and Literacy in the Malay World. London:
University of California Press, Ltd.
Toorn, J.L. van der. 1886. ―Tjindoer Mato, Minangkabausch-Maleisch Legende‖, dalam
Verhandelingen van Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Deel
XLV. Batavia: Albrecht & Rose.
Udin, Syamsuddin, dkk. 1986. Identifikasi Tema dan Amanat Kaba Minangkabau. Padang:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penelitian Sastra Indonesia dan Daerah
Sumatra Barat.
Yusuf, M. 1994. ―Persoalan Transliterasi dan Edisi Hikayat Tuanku Nan Muda
Pagaruyung (Kaba Cindua Mato)‖ (Tesis untuk mencapai gelas Master pada Program
Studi Ilmu Susastra, PROGRAM Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

100

MENULIS SEJARAH SEBAGAIMANA PEREMPUAN:


PENDEKATAN FILSAFAT SEJARAH PEREMPUAN1
1 Artikel
ini merupakan pengembangan dari makalah yang pernah disajikan dalam Seminar Nasional
Perempuan dalam Arus Sejarah tanggal 21 April 2016 di Universitas Negeri Ma-lang
Ruth Indiah Rahayu
Institut Kajian Krisis dan Studi Pembangunan Alternatif
Abstrak. Penulisan sejarah perempuan mengharuskan adanya pemaknaan baru mengenai konsep
spatio-temporal yang khas perempuan. Waktu perempuan mengikuti siklus biologisnya (kosmis)
yang terintegrasi dengan siklus kosmos. Tetapi waktu perempuan itu kontradiktif dengan waktu
sejarah pada umumnya, sehingga menulis sejarah perempuan dengan mendasarkan pada waktu
perempuan menghadapi kendala yang berasal dari pengujian kebenaran (truth). Pengujian kebenaran
dalam tradisi ilmu-ilmu sosial beorientasi pada obyektivitas, maka penulisan sejarah perempuan yang
subyektif dipandang seperti fiksi dari masa lalu ketimbang historiografi. Maka dari itu diperlukan
strategi feminis untuk dapat mengguncang arus besar historigorafi Indonesia
Kata-kata kunci: feminisme, sejarah, filsafat
Abstrak. the writing of women history should have the new paradigm on the concept of women in
space and time. The time of women follow the integrated cycle between cosmic and cosmos. However
the time of women face the distinctive position with the time of history. Therefore, the writing of
women history based on the time of women faces the restriction coming from the truth verification.
The truth verification in the tradtion of social sciences is based on the objectivity. Therefore, the
writing of women history which is subjective needs feminist strategy to deconstruct the wave of
Indonesian historiography.
Keywords: feminism, history, philosophy
…..kita perlu mengenali dan memahami sejarah kita.
Sejarah ini bukan semata-mata sejarah besar yang disebut sejarah negara,
tetapi termasuk juga kehidupan dan pengalaman perempuan rakyat biasa
yang terabaikan dari sejarah negara…..” (Agnes Khoo, 2007)
Mengapa kita menulis sejarah sebagaimana perempuan? Pertanyaan ini
memberi isyarat adanya persoalan dalam penulisan sejarah mainstream, yaitu berorientasi
pada peristiwa politik yang dipandang besar dan penting. Dapat dipastikan jika yang disebut
politik itu bukan ruang perempuan, sudah barang tentu perempuan tidak hadir di dalam
penulisan sejarah. Kenyataan ini diakui pula oleh Bambang Purwanto (2006:41-42) ketika
membaca ke dalam tradisi penulisan sejarah Indonesia. Dominasi perspektif kolonial dalam
penulisan sejarah Indonesia kendati telah didobrak Ruth Indiah Rahayu, Menulis Sejarah
Sebagaimana Perempuan…. 101
oleh Sartono Kartodirdjo, nyatanya abad 19. Sejarah kelahiran bangsa-
masih kurang memadai (tidak bangsa merupakan capaian kemajuan –
produktif) dalam mengungkap peranan proyek manusia yang dibesarkan pada
perempuan dalam berbagai peristiwa abad Pencerahan. Capaian kemajuan
sejarah di Indonesia. Malahan peneliti mengandaikan waktu bergerak linier,
dari luar Indonesia lebih produktif dari belakang menuju ke masa depan
mengungkap kegiatan-kegiatan yang lebih baik bagi kehidupan ras
perempuan dalam menciptakan sejarah manusia. Demikianlah waktu sejarah
nasional. dipahami sebagai waktu yang bergerak
Kendati kita telah mengasumsikan atas linier. Lahirnya gerakan perempuan
ketidakhadiran perempuan dalam (feminis) pada gelombang pertama
penulisan sejarah Indonesia, tetapi tumbuh mengikuti waktu linier sejalan
asumsi itu belum dapat menyingkap dengan kelahiran bangsa-bangsa
problem yang mendasar di balik tersebut. Apa yang disebut bangsa
ketidakhadiran perempuan di sana. diikat oleh denominator simbolis, yaitu
Untuk itu, studi sejarah membutuhkan ingatan kebudayaan dan kepercayaan
pendekatan feminisme dan filsafat yang ditempa oleh jalinan sejarah dan
guna menelusuri wilayah epistemologi geografi (spatio-temporal).
yang menjadi pendasaran ilmu sejarah. Namun dalam perkembangannya, kata
Feminisme dan filsafat, setidaknya Kristeva (1996), waktu sejarah yang
sejak dekade 1980an, telah linier ini berbenturan dengan waktu
membangun hubungan yang intim naturalnya perempuan. Waktu
dalam menggali pemikiran dan naturalnya perempuan mengikuti
peristiwa masa lalu. Masa lalu bukan siklus yang berhubungan dengan ritme
hanya dideskripsikan sebagai sejarah biologisnya, seperti mentruasi,
yang diperankan oleh agensi, kehamilan, yang ritme itu terintegrasi
melainkan, menurut Genevieve Lloyd dengan waktu kosmos (perputaran
(1984), sebagai sumber kekayaan bulan, matahari, dan sebagainya). Pada
untuk menemukan kesadaran diri kita saat yang berbarengan dengan waktu
demi bertanggungjawab ke masa naturalnya, menurut Kristeva,
depan. perempuan mempunyai waktu
Tulisan ini akan menyajikan monumental. Pembentukan waktu
bagaimana kita (we feminist) monumental seturut dengan kisah
berhubungan dengan masa lalu melalui tentang dewa Kronos, yang menurut
tiga strategi: membaca ulang imaginasi yang ditulis Hesiodos,
(rereading) teks, menulis sejarah merupakan dewa anak dari Uranus
feminis dan menulis sejarahnya (dewa langit) dan Gaia (dewa bumi).
perempuan. Sebagai panduan 102 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun
penulisan, penulis melontarkan tiga Kesepuluh, Nomor 1, Juni 2016
pertanyaannya (1) apakah konsep masa
lalu menurut feminisme sebangun
dengan konsep masa lalu menurut
sejarah mainstream? (2) apakah yang
khas feminis dalam hubungannya
dengan masa lalu? Bagaimana
mengintegrasikan pendekatan
feminisme sejarah ke dalam
historiografi Indonesia?
BERPIKIR TENTANG WAKTU
PEREMPUAN
“Waktu (milik) ayah, keturunan (milik)
ibu”, pernyataan ini mengawali
perbincangan Julia Kristeva (1996)
dalam Women’s Time. Kristeva
mempelajari sejarah kelahiran bangsa-
bangsa sebagai mimpi di Eropa pada
Kronos di kemudian waktu –atas Kronos sepeti mengalami ‘kutukan’
bujukan ibunya—membunuh ayahnya terbunuh oleh anaknya laki-lakinya
dengan senjata yang diberikan oleh atas kuasa (perintah) isterinya.
ibunya. Tetapi peristiwa itu mengalami Kristeva menyebut kejadian itu
pengulangan (repetitif), ketika Gaia sebagai waktu monumentalnya
berbisik kepada Rhea (isteri Kronos) perempuan, yaitu yang berhubungan
agar membujuk anaknya yang bernama dengan kultus keibuan yang menguasai
Zeus untuk membunuh Kronos. kematian dan kelahiran.
Semirip dengan Kristeva, Dorothea Olkowski (2011) juga menggali dari mitologi
Yunani untuk merekonstruksi pemahaman mengenai waktu perempuan. Alkisah dewa
Demeter (dewa kesuburan/tanah) mempunyai anak bernama Kore yang hidup di
taman bunga dan kegiatan sehari-harinya “memandang ke dalam dirinya”. Menurut
kepercayaan Yunani, Kore adalah jiwa dari bunga teratai, lili, mawar, sedangkan arti
harfiahnya adalah pupil mata (symbol dari mata jiwa). Kore kemudian diculik Hades
yang bangkit dari dunia bawah nan gelap. Peristiwa penculikan itu dimaknai orang-
orang Yunani sebagai tindakan menciptakan waktu: pertemuan antara gelap dan
terang, yakni mengenai keadaan dunia di mana fenomena waktu kemudian dikenali
dengan adanya gerak dari terang ke gelap, dan dari gelap menuju terang. Dengan
adanya terang dan gelap, menurut Olkowski, dimungkinkan selalu ada kelahiran baru
(natalitas). Jadi waktu perempuan bergerak terarah pada natalitas.
Baik Kristeva mau pun Olkowski sependapat dalam merekonstruksi waktu perempuan
yang secara natural bergerak terarah pada natalitas dan membentuk siklus
(perputaran). Dua konsep waktu perempuan, yaitu natural dan monumental, menandai
ciri waktu keperempuanan. Namun, menurut Kristeva, terjadi tegangan antara waktu
natural dan monumental, ketika waktu monumental berhubungan dengan dimensi
ruang yang menyebabkan waktu berjalan secara kronologis (linier), sebaliknya waktu
natural bergerak menurut siklus (perputaran). Kedua waktu perempuan itu ketika
berhubungan dengan peristiwa, terbaca di satu pihak, waktu monumental menjadi
dasar gerak sejarah yang linier, dan di lain pihak, waktu natural membentuk sejarah
yang bergerak secara berputar.
Sejarah dalam arti gerak maju secara linier –sebagaimana historiografi pada umumnya-
- mendasarkan pada obyektivitas, yaitu hukum kebenaran dalam menilai realitas yang
bebas dari bias perasaan dan imaginasi. Dengan mengikuti waktu obyektif, aktivitas
perempuan menjadi hilang dalam penulisan sejarah. Kristeva menyontohkan hilangnya
eksistensi gerakan perempuan dalam penulisan sejarah kebangsaan ketika mengikuti
waktu yang linier berdasarkan proyek sejarah. Tuntutan perempuan mengenai
kesetaraan politik, upah, dan memperoleh pengakuan sosial tersembunyi di balik
gagasan tentang nasionalisme –persatuan sebagai bangsa yang tidak terpilah-pilah
identitasnya. Contoh semacan itu juga terjadi di dalam penulisan sejarah Indonesia.
Pada masa revolusi kemerdekaan, kategori pemuda dalam gerakan kemerdekaan
sepertinya hanya laki-laki yang gagah berani melawan colonial.
Hilangnya perempuan ketika masuk ke dalam waktu obyektif (sejarah) karena perempuan
mempunyai Ruth Indiah Rahayu, Menulis Sejarah Sebagaimana Perempuan…. 103
waktu natural yang geraknya berputar (siklus). Waktu naturalnya perempuan berbeda dengan
waktu sejarah. Maka dari itu waktu natural menjadi khas perempuan dan membentuk sejarah
yang subyektif. Kristeva menyontohkan waktu natural berhubungan dengan aktivitas atau
tuntutan perempuan mengenai hak aborsi, hak cuti haid, pengasuhan anak, perkawinan, atau
dalam perang kita menyaksikan aktivitas perempuan dalam penyiapan logistik, medis, kurir
rahasia atau petugas sandi rahasia.
Sejarah menurut waktu subyektif perempuan dapat dicontohkan pada pengalaman Xu Ning
dalam perang gerilya Semenanjung Malaya:
Kami mengantar dan menerima telegram dengan sandi rahasia. Masa kerja kami tidak sama dengan
kawan-kawan lain. Kami bekerja pada waktu malam…Pada malam sunyi isyarat yang diterima lebih
jelas dan kuat, juga lebih mudah dan aman (Agnes Khoo, 2007)
Selama perang kemerdekaan di Indonesia, terutama menghadapi gempuran dari pasukan
Belanda selama 1947-1949, perempuan muda membentuk laskar putri (LPI), dan para ibu
membentuk laskar wanita (Laswi). Mereka bertugas membantu penduduk mengungsi,
mendirikan dapur umum untuk sektor perjuangan, mencari bahan makanan dan
mengirimkannya ke garis depan serta menjadi petugas palang merah. Pendeknya, aktivitas
perempuan dalam perang kemerdekaan sebagaimana contoh di Semenanjung Malaya dan
Indonesia berada di garis belakang. Ada alasan yang dikemukakan oleh Umi Sardjono
(2008) mengapa perempuan berada di garis belakang. Menurutnya, bahwa ibu-ibu yang ikut
dalam perang itu sekaligus mengurus anak-anak, ada pula yang sedang dalam keadaan
hamil, sehingga mereka mengambil peran sesuai dengan kondisi “kodrat”nya. Umi sendiri
selama gerilya melawan Jepang bertugas sebagai kurir, yang menurutnya lebih luwes
dikerjakan oleh perempuan– karena perempuan pandai menyamar sebagai ibu rumah tangga
yang tidak menimbulkan kecurigaan tentara Jepang.
Aktivitas perempuan seturut dengan waktu naturalnya seperti dicontohkan di atas, dipandang
bukan aktivitas politik yang penting dan luput dari penulisan sejarah. Apa yang dianggap
penting menurut sejarah adalah aktivitas yang berada di garis depan, sebagai pemimpin,
sebagai tokoh, dan mereka ini yang diakui sebagai hero. Maka menjadi jelas bahwa konsep
masa lalu menurut waktu obyektif dapat berbeda dengan waktu subyektif menurut
perempuan. Menurut waktu subyektif perempuan, masa lalu dan masa sekarang tidak
terhubung secara linear seperti air mengalir dari mata air menuju muara sungai, melainkan
terhubung secara sirkuler sebagaimana siklus hidup: ada kelahiran, kedewasaan, kematian
dan kemudian kelahiran kembali. Maka sejarah menurut waktu subyektif perempuan tidak
mengenal gerak maju (kemajuan), melainkan gerak pengulangan (selalu lahir kembali).
BERPIJAK PADA SPASIALITAS PEREMPUAN
Di muka telah diutarakan bahwa spasialitas perempuan dalam perang kemerdekaan
Indonesia berada di garis belakang. Pernyataan garis belakang 104 SEJARAH DAN BUDAYA,
Tahun Kesepuluh, Nomor 1, Juni 2016
mengandung makna peruntukan ruang. Kendati, menutrut Kristeva, waktu subyektif
perempuan telah dikucilkan dari ruang peruntukan publik, ketika ruang publik dikonstitusi
ke dalam simbol phallus (phallocentrism).
Apabila kita pelajari sejarah spasialitas, konsep ruang secara tradisional merujuk pada siklus
natural dan yang feminin, seperti contoh rumah-rumah di desa Eropa pada mulanya
mengelilingi ladang pertanian. Ladang pertanian (ruang produksi) merupakan pusat
konsentris di mana rumah-rumah tangga yang dipeuntukkan bagi proses reproduksi sosial itu
bergantung. Waktu, ruang dan kegiatan produktif dalam masyarakat tradisionil merupakan
satu kesatuan yang mengintegrasikan perempuan di dalamnya. Namun dalam perkembangan
masyarakat modern (kapitalis), ketika muncul konsep kota, tatanan ruang tradisional itu
berubah, yaitu bertumbuh ruang konsumsi, leisure plessure, perdagangan dan jalur
transportasi yang menghubungkan antara desa, kota, wilayah. Perempuan mulai terasing dari
perubahan ruang ini, dan terkucil dalam ruang reproduksi sosial di rumah tangganya masing-
masing.
Munculnya konsep ruang secara STRATEGI MENULIS
politik yang diangkat oleh Rousseau SEBAGAIMANA PEREMPUAN
menegaskan batas demarkasi antara Di atas telah diuraikan bahwa konsep
ruang publik yang bermakna politik waktu dan ruang perempuan telah
dan ruang domestik yang bermakna tersingkir ketika terminologi modern
privat. Pembedaan ruang publik dan hadir. Terminologi modern dalam
domestik meneguhkan segregasi konteks ini adalah proses saintifik
gender yang berhirarki, di mana yang mengagungkan obyektivitas.
ruang publik mendominasi ruang Dengan kata lain munculnya sains –
domestik. baik dalam kategori ilmu alam maupun
Perubahan konsep ruang modern itu sosial—telah mengucilkan perempuan
juga merasuk ke dalam sebagai bagian dari proses
weltanschauung msyarakat Indonesia. menciptakan sejarah.
Munculnya istilah garis belakang, Perkembangan penulisan sejarah
koncowingking, tak lain diciptakan mutakhir melibatkan teori sosial, yang
oleh masyarakat yang teradabkan menurut Burke (1992) menggunakan
(civilized), seperti contohnya di Jawa. konsep-konsep dasar, seperti mobilitas
Ironisnya, masyarakat yang teradabkan sosial, status, seks dan gender,
mengagungkan simbol phallus sebagai keluarga dan kekerabatan, komunitas
pusat konsentris. Dalam sebuah ruang. dan identitas, power, kelas, gerakan
Aktivitas politik dan pemerintahan di social, dan sebagainya. Penggunaan
Jawa selalu berada di pusat konsentris konsep-konsep dasar teori sosial
sebuah kota, di mana yang bertindak menunjukkan Ruth Indiah Rahayu, Menulis
sebagai agensi adalah laki-laki. Sejarah Sebagaimana Perempuan…. 105
Aktivitas di pusat konsentris ini yang
kemudian menjadi pusat penelitian
sejarah –jika berhubungan dengan
masa lalu. Waktu yang berlangsung di
pusat konsentris adalah waktu
obyektif, sedangkan waktu subyektif
perempuan terkucil di pinggiran
konsentris (periphery). Maka jelaslah,
dalam logika spasialitas modern,
perempuan kehilangan waktu
naturalnya yang terintegrasi dengan
pusat konsentris. Perempuan lantas
berada di garis belakang sebagai
koncowingking yang melengkapi
keagungan pusat konsentris.
adanya pertunangan antara studi (dewa bumi). Gaia adalah protogenoi,
sejarah dengan ilmu-ilmu sosial. yaitu dewa kedua yang muncul setelah
Sebaliknya, ilmu-ilmu sosial juga telah Khaos, di mana Gaia menciptakan
banyak menggunakan sejarah sebagai kehidupan dan tatanan di Olympus.
bahan analisa tentang perubahan- Eksistensi Gaia adalah waktu repetitif
perubahan masyarakat setelah yang membentuk siklus sejarah
industrialisasi begitu dahsyat dalam kekuasaan ibu yang berkuasa atas
mengubah tatanan masyarakat – Orakel Delphi (ramalan di kuil Delphi
terutama dalam sejarah Eropa. atau semacam tanda-tanda alam). Gaia
Di Indonesia, studi sejarah dengan selalu marah kepada dewa di Olympus
menggunakan konsep-konsep dasar yang membunuh anaknya yang buruk
yang terdapat dalam ilmu-ilmu soial rupa dan hidup di dunia bawah
telah dirintis oleh Sartono Kartodirdjo (kegelapan). Kronos yang sebelumnya
ketika studi mengenai pemberontakan diminta membunuh ayahnya (Uranus),
(gerakan sosial) petani di Banten, dan di kemudian waktu Kronos dibunuh
kemudian diikuti oleh Kuntowijoyo, oleh Zeus (anak Kronos dengan Rhea).
Onghokham, dan sebagainya. Apa Atas petunjuk Gaia melalui orakel
yang menarik, bahwa pertunangan kepada Rhea, sang ibu membujuk
sejarah dan ilmu-ilmu sosial telah Zeus agar membunuh Kronos. Ketika
memproduksi perangkat metodologis Apollo lahir (anak Hera dan Zeus), ia
guna mengungkap kejadian-kejadian lantas membunuh Python (anak Gaia
yang tersembunyi dalam lipatan dari dunia bawah), dan lagi-lagi
sejarah, yang pelakunya adalah person menimbulkan amarah Gaia. Setelah
atau komunitas yang dipinggirkan. mendapat orakel dari Gaia, Hera
Menurut Sartono Kartodirdjo mengutuk dunia akan diliputi
penggunaan metodologi dan kegelapan, tetapi Zeus yang
pendekatan ilmu-ilmu sosial mengetahui hal ini berupaya untuk
menyingkap banyak unsur dan dimensi menghentikan mantra kekuasaan Gaia,
dan juga jaringan yang kompleks dengan memasang logos ke dalam
dalam realitas sosial masa lalu. Delphi. Inilah momentum yang
Namun, pertunangan sejarah dan ilmu- menurut Lloyd terjadi pembalikan
ilmu sosial memperparah dilema yang kekuasaan orakel (dewi bumi) kepada
dihadapi studi feminisme dan sejarah. logos. Setelah itu kultus Gaia
Berkuasanya logos setelah menghilang digantikan oleh kultus
mengalahkan orakel mengakhiri tradisi Zeus dan anak-anak laki-lakinya (anak
penulisan sejarah mitos menjadi Zeus dengan manusia di bumi) yang
filsafat, dan filsafat kemudian perkasa dan selalu memenangkan 106
melahirkan beragam sains. Eksistensi SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kesepuluh,
sains yang bertumpu pada logos lantas Nomor 1, Juni 2016
mengucilkan perempuan yang
diasosiakan dengan orakel (Lloyd,
1984), sementara feminisme adalah
sains. Maka feminisme menghadapi
dilema ketika dituntut untuk menyusun
sejarahnya perempuan. Di satu pihak,
feminisme harus memenuhi
obyektivitas menurut sains, dan di lain
pihak harus menyingkap cerita
perempuan yang tersembunyi di garis
belakang berdasarkan waktu
subyektifnya yang dipandang non-
sains.
Cerita sains mengalahkan non-sains,
dapat kita simak pada mitologi Yunani
yang ditulis oleh Hesiodos (1914).
Cerita itu mengenai Gaia yang
dikultuskan sebagai ibu yang kekal
pertempuran melawan monster- the working kelas sebagai konsep
monster dunia bawah. Dengan kata singular yang diasiasikan dengan laki-
lain, kemenangan logos (filsafat) laki. Salah satu teks yang ia baca ulang
terhadap orakel menentukan titik tolak adalah karya E.P. Thompson, The
kemenangan rasio terhadap alam Making of the English Working Class
(waktu natural). Lahirnya pengetahuan (1980). Narasi kelas pekerja dalam
berseiring dengan pengenyahan alam, karya Thompson adalah cerita
di mana Francis Bacon (1620) dengan mengenai laki-laki aktivis buruh
terang-terangan mendeklarasikan dengan segudang kesibukan: kerja
penaklukan alam oleh rasio. produksi, rapat, ngobrol, menulis,
Studi feminisme kemudian berupaya berhadapan dengan polisi, negoisasi
menyusun strategi untuk menyiasati dengan perdana menteri, dan
dilema tersebut. Strategi yang pertama sebagainya. Dalam kemasan cerita
adalah membaca ulang (rereading) laki-laki, seakan-akan pencipta sejarah
teks-teks di masa lalu. Kelompok kelas pekerja di Inggris hanya laki-
feminis dekonstruksionis cukup laki. Scott meragukan bahwa pada
produktif dalam melakukan masa itu tak ada buruh perempuan
pembacaan ulang teks masa lalu dari yang bekerja sebagai buruh pabrik di
posisi masa sekarang. Metode yang Inggris. Kendati Thompson
popular mereka gunakan disebut self- menceritakan adanya perempuan,
reflective, yaitu bercakap-cakap namun tanpa nama, sebagai isteri Mr.
dengan teks masa lalu berdasarkan Thomas Hardy. Scott mengutip narasi
refleksi dari dalam dirinya sebagai dari Thompson:
pembaca feminis di masa sekarang. Rumah Tuan Thomas Hardy, telah
Metode self-reflective pada akhirnya digeledah pada 1794 oleh pegawai
bertujuan untuk membangun kerajaan. Ia memandangi koran dan
kesadaran diri sebagai we feminist. pakaiannya yang berserakan. Sementara
Nyonya Hardy sedang dalam keadaan
Produksi tulisan mengenai pembacaan
hamil dan tergeletak di kasur. Pegawai
ulang teks masa lalu cukup semarak di kerajaan kemudian menangkap dan
kalangan feminis sejarah filsafat. Para mengirim Tuan Hardy ke penjara
feminis itu menggunakan basis studi Newgate. Ketika Tuan Hardy dalam
sastra, bahasa, politik, psikoanalisa penjara, Nyonya Hardy meninggal saat
dan ekonomi guna menginterograsi melahirkan bayinya, sebagai dampak
pemikiran dari masa lalu. Kiranya shock …. (Scott, 1988:72)
strategi pembacaan ulang teks masa Narasi Thompson itu dapat menjadi
lalu, termasuk yang bersifat contoh bagaimana upaya mengangkat
historiografis, merupakan langkah kategori pinggiran itu tidak serta merta
yang signifikan untuk menyingkap mengangkat perempuan sebagai
kecenderungan misoginis yang bagian yang terpinggirkan pula. Ada
tersembunyi di balik teks sejarah. banyak penulis sejarah politik mau pun
Joan Scott (1988), contohnya, sejarah sosial yang bekerja
melakukan pembacaan ulang teks berdasarkan weltanschauung laki-laki.
sejarah yang berhubungan dengan Kiranya hal itu tak hanya dilakukan
kelas pekerja di Eropa abad 18-19 dan oleh Ruth Indiah Rahayu, Menulis Sejarah
menemukan bahwa penulis sejarah Sebagaimana Perempuan…. 107
(laki-laki) memaknai apa yang disebut
Thompson, namun pada umumnya penulis sejarah mamandang agensi sejarah adalah laki-
laki. Bahkan penulis sejarah perempuan pun sangat mungkin menulis sejarah berdasarkan
weltanschauung laki-laki. Menurut Purwanto (2006:35), sejarawan Darsiti Soeratman yang
menulis Kehidupan Dunia Keraton Surakarta (2000) dan Djuliati Soeroyo, Kapitalisme
Bumiputera: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran (2008) luput dalam menyoroti
ketimpangan gender di dalam struktur keraton dan kapitalisme bumiputera.
Strategi yang feminis yang kedua gerakan untuk menghilangkan
ialah menulis sejarahnya sendiri, dikhotomi laki-laki dan perempuan.
yaitu sejarah gerakan feminis. Artinya tumbuh genre penulisan yang
Menurut Kristeva, sejarah gerakan membiarkan adanya perbedaan
feminis pada generasi pertama perempuan dan laki-laki sebagai seks
berhubungan dengan sejarah berbeda, tanpa menuntut kesetaraan
pembentukan negara-bangsa, atau (Kristeva, 1996).
gerakan-gerakan pembebasan Dalam konteks penulisan sejarah, tesis
nasional. Pada perkembangannya, Kresiteva maupun Grosz itu dapat
diskursus perempuan ditafsirkan dengan: menulis sesuai
tersubordinasi ke dalam diskursus dengan konsep waktu naturalnya per-
negara-bangsa. Gerakan feminis empuan, yaitu tanpa harus menguji
generasi kedua kemudian kebenaran (truth) waktu subyektif per-
melakukan kritik terhadap empuan berdasarkan obyektivitas
diskursus kekuasaan patriarki yang sains. Dengan demikian, penulisan
mengucilkan dan mengecilkan suara sejarah per-empuan dapat terbebas dari
perempuan dalam penulisan sejarah tegangan an-tara waktu obyektif
nasional. Contoh di Indonesia, studi menurut sejarah dan waktu subyektif
Susan Blackburn (2009) Women and menurut perempuan. Menurut hemat
the State in Modern Indonesia, penulis, teori Kristeva ini membuka
berupaya untuk menyingkap jalan ke arah penulisan se-jarah
tersubordinasinya perempuan ke dalam perempuan sebagaimana per-empuan
diskursus Indonesia, sehingga seoalah- itu bercerita dan menulis. Inilah
olah gerakan perempuan telah strategi ketiga dalam kita berhubungan
paripurna melakukan perjuangannya. dengan masa lalu, yaitu menulis se-
Studi semacam ini cukup produktif, jarahnya perempuan. 108 SEJARAH DAN
BUDAYA, Tahun Kesepuluh, Nomor 1, Juni
termasuk yang dilakukan Julia 2016
Surjakusuma (1994) untuk
mengungkap ibuisme-negara dalam
praktik kekuasaan negara Orde Baru.
Namun demikian, penulisan sejarah
sebagaimana feminis gelombang
kedua itu belum memecahkan problem
utama yang tetap mengancam
subordinasi perempuan dalam sejarah.
Problem ini berhubungan dengan
dikhotomi laki-laki dan perempuan
sebagai subyek pengetahuan, yaitu
problem epistemologi yang berakar
pada metafisika dualisme yang khas
sejarah pemikiran Barat. Maka dari itu
Kristeva merintis jalan keluar untuk
membebaskan tegangan dalam
metafisika dualisme yang berimplikasi
pada tegangan antara yang obyektif
dan subyektif. Setelah Kristeva, kata
Elizabeth Grosz: penulisan tentang
gerakan perempuan kemudian beralih
pada pembebasan subyek, atau dalam
bahasa Kristeva: kita menulis sebagai
MENULIS SEJARAHNYA psikologi, analisis budaya, sejarah,
PEREMPUAN memang ditujukan untuk
Menulis sejarah perempuan bukan menimbulkan guncangan radikal
tanpa kritik dari dalam (gerakan) terhadap epistemologi konvensional.
feminis itu sendiri. Kritik yang cukup Menurut Bertram, terdapat dua alur
deras berasal dari genre feminis penulisan dalam konteks ini, yang
kesetaraan (equality) yang pertama alur akademis sebagai studi
berpandangan bahwa menulis sejarah kritik feminis dalam pembacaan ulang
perempuan sebagaimana perempuan teks masa lalu. Kedua, alur
itu melanggengkan kenaturalan otobiografis sebagaimana Kartini
perempuan. Tetapi dari sudut pandang menulis habis Gelap Terbitlah Terang,
genre feminis perbedaan (difference), Soewarsih Dojopuspito menulis
kenaturalan perempuan justru harus Manusia Bebas, bahkan Vita Brevis –
ditampilan (diangkat ke permukaan) sebuah surat Floria Emilia mantan
tanpa perlu dipertentangkan dengan kekasih filsuf Santo Augustinus—yang
asumsi gender berdasarkan konstruksi diterjemahkan oleh Jostein Gaarder.
budaya. Bahkan kategori budaya itu Model otobiografis yang ditulis para
berbeda berdasarkan spasial, dank perempuan di masa lalu ini penuh daya
arena itu kategori perempuan sebagai emosi, intelektual, refleksi, kesadaran
seks dan gender juga berbeda-beda. diri, yang seluruhnya campur aduk
Di kalangan genre feminis perbedaan, membangun plot identitas naratif yang
menulis sejarahnya perempuan adalah benilai sejarah.
menulis tentang diri perempuan Mengenai identitas naratif yang
sebagai spatio-temporal. Konsep dieksplorasi oleh Paul Ricoeur
tentang diri adalah dunia itu sendiri acapkali menjadi rujukan para feminis
yang memiliki dimensi waktu, ruang untuk menulis sejarahnya perempuan
dan kesadaran. Para penulis dari (Dowling, 2011). Manusia sebagai
berbagai disiplin –bukan hanya person memiliki identitas naratif yang
sejarah—berpartisipasi untuk IDEM (sama) dengan manusia lain
melakukan teorisasi tentang yang sepanjang waktu sejarah. Waktu
personal (Bertram, 2009). Mereka naturalnya perempuan sama dialami
berupaya untuk menulis dengan cara oleh perempuan kulit putih atau hitam,
melibatkan pembaca dalam dialog, oleh perempuan buruh atau isteri
sekaligus memiliki misi untuk pejabat, oleh perempuan yang tinggal
membangun kesadaran bersama. di Malang atau di Manokwari. Tetapi
Kiranya apa yang khas dalam sebagai person itu pula memiliki Ruth
penulisan sejarah perempuan adalah Indiah Rahayu, Menulis Sejarah Sebagaimana
mengungkapkan pengalaman personal Perempuan…. 109
yang paling berperan sebagai
kesaksian: membicarakan apa yang
telah terjadi pada diri kita atau
menyaksikan apa yang kita saksikan.
Tentu saja bahwa penulisan semacam
ini mengandung misi untuk
penyingkapan yang tersembunyi,
membangun sikap reflektif guna
mencapai penemuan diri. Maka
menjadi tak terlalu penting
menyibukkan diri untuk menilai
apakah sumber pengetahuan itu fakta,
anekdot, fantasi, dongeng, mitos, atau
semata pengalaman personal. Sikap
yang tampak gegabah dengan
mengadopsi eklektisisme secara
sengaja dan mencampuradukkan
antara fakta maupun anekdot yang
berasal dari sastra, linguistik, politik
identitas naratif IPSE, yaitu identitas Stanley (dalam Bertram, 2011) bahwa
kedirian seseorang atau kedirianku menulis sejarahnya perempuan adalah
dalam kurun kehidupan seseorang. untuk menghilangkan efek otoritas dan
Memandang kehidupan kita sebagai jarak antara penulis dan pembaca.
narasi berarti membiarkan keterkaitan Inilah hubungan demokratis yang
hidup dalam kesamaan naratif sebagai digemakan oleh genre feminis
perempuan. perbedaan atau feminis kultural
Ketika Kartini menulis surat-surat mengenai pembebasan subyek
kepada sahabatnya dalam bilik (umumnya yang disebut subyek adalah
bangsawan Jepara, ia menulis identitas penulis, sedangkan pembaca adalah
naratif personalnya (IPSE). Ia obyek).
membiarkan narasi dirinya terbuka Sebagai contoh penulisan sejarahnya
untuk dibaca orang lain, oleh Stella perempuan yang bergaya otobiografis
Zehandelaar dan lainnya, bahkan oleh ditulis oleh Mia Bustam (2008) Dari
kita pada serratus tahun kemudian. kamp ke Kamp, benar-benar
Kartini membiarkan narasinya terkait merupakan narasi yang mendasarkan
hidup dengan IPSE yang lain dalam pada spatio-temporal dirinya yang
kesamaan sebagai perempuan. Saya perempuan. Mia Bustam menuliskan
membaca Kartini seabad kemudian, narasi hidupnya dari kejadian sehari-
identitas naratif saya bertemu hari sebagai ibu, aktivis, pelukis, dan
dengannya, dan kemudian kemudian ditangkap dan dipenjarakan
menciptakan kesinambungan hidup tanpa diadili bersalah atau tidak oleh
secara etis. Hidup secara etis merujuk tentara Orde Baru. Di dalam kamp
pada hidup yang baik dengan dan tahanan ia bercerita begini:
untuk orang lain dalam institusi yang .… tapi ada yang aneh, sebulan sekali ada
adil. Agar kita tahu narasi hidup kita saja temannya yang kehilangan kaos
itu baik, maka tindakan refleksi-diri singlet. Lama kelamaan ketahuanlah
atau memeriksa ke dalam narasi diri bahwa sebenarnya dia seorang wanita.
Singlet-singlet yang hilang itu digunakan
perlu ditulis. Tujuan etisnya tak lain
untuk keperluan ke’wanita’annya
untuk mengabarkan penyingkapan atas (menstruasi). Namun ia tetap berada dalam
penindasan yang dialami perempuan pasukan sebagai Pak P (Bustam,
dan membebaskan dari penindasan 2008:221)
tersebut. Dengan demikian apa yang Cerita itu khas perempuan, mengenai
disebut tulisan bernarasi adalah tulisan hal-hal yang berhubungan dengan
yang hidup, yang berkisah, dan siklus biologisnya. Tentang seorang
pembaca memiliki keterhubungan perempuan yang menyamar sebagai
dengan narasi tersebut. prajurit laki-laki. Dengan membaca
Kiranya sejarahnya perempuan ditulis teks dari Mia Bustam itu, menstruasi
dengan maksud untuk menciptakan adalah identitas IDEM yang
keterhubungan antar identitas naratif mempertautkan kita sebagai
perempuan yang berujung pada perempuan. Lalu yang menarik
penemuan atau kesadaran diri. Sejarah bagaimana Mia Bustam tahu bahwa
perempuan ditulis bukan sekedar setiap bulan ada 110 SEJARAH DAN
dideskripsikan, melainkan dinarasikan BUDAYA, Tahun Kesepuluh, Nomor 1, Juni
dan dipreskripsikan. Apa yang 2016
menarik, seperti yang dikatakan Liz
yang kecurian singlet. Tidakkah berarti Politik Etis Belanda ke dalam kisah
cerita itu menjadi cerita bersama? dirinya. Namun tulisan sejarahnya
Ceritanya perempuan yang kemudian perempuan ini belum memperoleh
ditulis oleh Mia Bustam –seorang pengakuan dalam arus besar
perempuan. Kita sebagai pembaca pun historiografi Indonesia atas dalih
merasa sebagai bagian dari cerita itu, bukan karya akademik yang ditulis
tanpa ada otoritas dari Mia Bustam oleh sejarawan. Maka dari itu, penulis
sebagai penulis cerita. kembali pada strategi feminis yang
Sejarah Perempuan dan His- telah diuraikan di atas untuk membuka
torigrafi Indonesia ruang dialog dengan arus besar
Memang bukan tanpa persoalan untuk historiografi Indonesia.
menulis sejarah sebagaimana Apa yang harus dilakukan? Pertama,
perempuan menulis. Pertanyaan tingkatkan produktivitas dalam
pertama adalah: apakah tulisan yang membaca ulang teks sejarah atau pun
subyektif semacam itu dapat dinilai pemikiran di masa lalu dan kemudian
sebagai historiografi (yang obyektif)? menulis kritik feminis. Kedua,
Namun menurut Vicky Bertram, khasanah sejarah feminis di Indonesia
bahwa metode menulis seperti baik lokal maupun nasional menunggu
otobiografis itu merupakan suatu jalan tangan-tangan perempuan (we
untuk mempertahankan kombinasi feminist) untuk menuliskannya.
antara klaim pengetahuan subyektif Ketiga, mendorong penulisan
dan obyektif secara berhati-hati. sejarahnya perempuan yang tak hanya
Zimmerman (dalam Bertram, 2009) berhubungan dengan peristiwa politik,
mempertahankan pendapatnya bahwa melainkan juga dengan mobilitas
menulis sejarahnya perempuan sosial, kerja, pengasuhan anak, seni,
semacam itu merupakan kebutuhan dan sebagainya.
untuk menggoreskan yang personal ke Pada akhirnya diperlukan suatu diskusi
dalam tubuh politik. Ia menggunakan di ruang epistemologi untuk
tubuh politik sebagai metafora ruang berhubungan dengan arus besar
politik yang publik, sebuah institusi – historiografi Indonesia –yang menurut
pemerintahan, parlemen, militer, hemat saya harus dibaca ulang. Hal itu
hukum, dll, sekaligus berarti, otoritas penulisan sejarahnya
mempersonalkannya. Hal ini perempuan bukan lagi milik jurusan
mengandaikan adanya transformasi Ruth Indiah Rahayu, Menulis Sejarah
dari yang personal ke dalam ruang Sebagaimana Perempuan…. 111
publik –ruang di mana perempuan
ditepiskan, tanpa menghilangkan yang
personal itu sendiri. Apa yang terjadi
adalah bagaimana yang publik juga
dipersonalkan sehingga tak ada jarak
antara yang privat dan publik atau
antara agensi dan struktur atau antara
pusat dan pinggiran.
Kini bagaimana mencari strategi untuk
mempersonalkan peristiwa-peristiwa
besar di dalam sejarah Indonesia
melalui seorang perempuan yang
menulis sejarah dirinya? Tulisan Mia
Bustam merupakan contoh yang
menarik bagaimana ia
mempersonalkan peristiwa holokaus
pasca 30 September 1965 melalui
narasi dirinya. Namun sekaligus
memberi isian apa yang terjadi pada
persitiwa tersebut. Tulisan Kartini pun
merupakan contoh mempersonalkan
sejarah, melainkan membutuhkan peranan muti-disiplin ilmu dan filsafat.
DAFTAR PUSTAKA
Bacon, F. 1620. The New Organon. Dodo Press.
Bertram, V. 2009. “Menteorikan Yang Personal: Penggunaan Autobiografi dalam Tulisan Akademis”,
dalamTeori-Teori Feminis Kontemporer, (ed) Stevi Jackson dan Jackie Jones, edisi terjemahan. Yog-
yakarta & Bandung: Jalasutra.
Blackburn, S. 2009. Perempuan dan Negara Dalam Era Indonesia Modern, edisi terjemahan oleh
Kalyanamitra. Jakarta: Kalyanamitra.
Burke, P. 1992. History and Social Theory. Ithaca & NY: Cornell University Press.
Bustam, M. 2008. Dari Kamp ke Kamp: Cerita Seorang Per-empuan.Jakarta: Spasi dan VHR Book.
Dowling, C. W. 2011. Ricoeur on Time and Narrative. Indiana: University of Notre Dame.
Hesiodos. 1914. The Theogony, ter-jemahan oleh Hugh G. Eve-lyn-White, Cambridge, London:
Harvard University Press dan William Heinemann Ltd.
Khoo, A. 2007. Hidup Bagaikan Men-galirnya Sungai: Perempuan Dalam Perjuangan Antikolo-nial
Malaya, terjemahan oleh Oey Hay Djoen. Jakarta: Hasta Mitrea
Kristeva, J. 1996. “Women’s Time”, dalam Women, Knowledge and Reality, (ed) Ann Garry dan
Marilyn Pearsall. London & NY: Routledge.
Lloyd, G. 1984. The Man of Reason: Male and Female in Western Philosophy, London: Routledge.
Olkowski, E. D. 2011. “The Origin of The Time, The Origin of Philosophy”, dalam Time in Feminist
Phenomenology, ed. Christina Schuess, Dorothea E. Olkowski, Helen Fielding. Bloomington: Indiana
University Press.
Purwanto, B. 2006. Gagalnya Histori-ografi Indonesiasentris?!, Yogyakarta: Ombak, 2006.
Scott, W. J. 1988. Gender and the Politics of History. New York: Columbia University Press.
Surjakusuma, J. 1994. Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Orde Baru. Ringkasan Tesis M.A.

Vous aimerez peut-être aussi