Vous êtes sur la page 1sur 53

NAMA : AMELIA NOFRITA

NIM : 15046082

ARTIKEL

HASIL PENELITIAN DAN PEMEBLAJARAN SEJARAH

Ica Sindy Putri Dwihapsari

Analisis Jurnal Pendidikan (Pendekatan, Strategi, dan Metode Pembelajaran)

ANALISIS JURNAL

Jurnal 1. PENGEMBANGAN MODEL BLENDED LEARNING PADA


PEMBELAJARAN SEJARAH SMA MENGGUNAKAN ASSURE

Pada junal ini membahas tentang pengembagan model pembelajaran sejarah melalui model
Blended Learning dengan menggunakan Assure. Perkembangan teknologi di Era sekarang ini
sangat pesat. Berbagai kemajuan teknologi dapat diperoleh dengan mudahnya di mana dan
kapan saja. Seiring dengan perkembangan zaman dan pesatnya perkembangan teknologi itu,
dapat dilakukan juga pengembangan model pembelajaran, khususnya untuk bidang studi
sejarah. Pengembangan model Blended Learning dengan menggunakan Assure dianggap
sangat efektif, dan praktis untuk dilakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan pada
bidang studi sejarah. Pengembangan model pembelajaran ini dimaksudkan agar peserta didik
memiliki keterampilan dalam mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh guru melalui
media online dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Seringnya penggunaan media online
itu sendiri dapat dibuktikan bahwa saat ini peserta didik telah terbiasa menggunakan media
tersebut. Model Blended Learning sendiri merupakan model pembelajaran yang dilakukan
oleh pendidik tidak hanya dilakukan melalui face to face, tetapi juga dapat dilakukan dengan
online. Beberapa alasan peneliti mengembangkan model pembelajaran ini adalah untuk
melatih peserta didik dalam menggunakan media online agar dapat sesuai dengan kebutuhan
peserta didik tersebut. Selain itu, pihak sekolah saat inipun dapat memberikan fasilitas
kemudahan bagi kebutuhan peserta didiknya, seperti pengadaan wifi dan fasilitas
laboratorium komputer.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan model pembelajaran sejarah yang
layak, praktis, dan efektif melalui model Blended Learning dengan menggunakan ASSURE.
Penelitian ini memerlukan alat pembelajaran yang sesuai dengan model Blended Learning
dengan menggunakan ASSURE, yaitu sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung,
dan dampak instruksional dan pengiring yang dikembangkan secara bersamaan dengan model
Blended Learning dengan menggunakan ASSURE melalui uji coba tim validasi, uji coba
perorangan, uji coba kelompok kecil, dan uji coba lapangan.

Hasil penelitian pengembangan ini dapat diketahui melalui tim validasi (terdiri dari ahli
materi pembelajaran, ahli desain pembelajaran, ahli media pembelajaran, dan ahli bahasa)
dan uji coba produk yang meliputi uji coba perorangan, uji coba kelompok kecil, dan uji coba
lapangan. Hasil validasi untuk ahli materi pembelajaran yang diperoleh sebesar 90,43%, hasil
validasi untuk ahli mediaa pembeajaran memiliki nilai 91,11%, dan hasil validasi untuk ahli
bahasa memiliki skor 90% Setelah dilakukan penelitian, hasil yang diperoleh untuk
pengembangan model pembelajaran Blended Learning dengan menggunakan ASSURE dapat
dikatakan sangat baik digunakan untuk peserta didik, sehingga model pembelajaran tersebut
tidak perlu dilakukan revisi.

Jadi, berdasarkan data yang telah dijelaskan di atas, dapat dianalisis bahwa model
pembelajaran Blended Learning menggunakan ASSURE sangat sesuai diterapkan untuk mata
pelajaran sejarah. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil yang menyebutkan bahwa model
pembelajaran Blended Learning menggunakan ASSURE tidak perlu dilakukan revisi lagi dan
dikatakan layak untuk diteraapkan pada peserta didik yang menempuh mata pelajaran sejarah.
Hal ini dapat dijadikan acuan bagi pengembangan dan penggunaan model dalam
pembelajaran selanjutnya. Dengan menggunakan model ini, peserta didik dapat menghindari
kebosanan peserta didik terhadap mata pembelajaran sejarah yang begitu kompleks dan
diakronik. Model pembelajaran ini, dapat digunakan secara layak pada pembelajaran sejarah
setelah dilakukan penelitian pengembangan mengenai model pembelajaran ini. Penilaian skor
persentase untuk model pembelajaran Blended Learning menggunakan ASSURE memiliki
keunggulan dibandingkan dengan penggunaan metode ceramah (konvensional), penggunaan
ilustrasi gambar yang menarik, dan penggunaan intonasi suara yang jelas .
Jurnal 2. PENERAPAN STRATEGI SQ3R DENGAN METODE BUZZ GROUP
UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR SEJARAH
PESERTA DIDIK KELAS X-IIS 2 SMAN KUNIR-LUMAJANG TAHUN AJARAN
2013/2014

Pembelajaran sejarah memliki sifat yang komplek mengenai peristiwa atau kejadian-kejadian
di masa lampau. Peristiwa tersebut saling berkaitan antara yang satu denganyang lain, maka
dari itu pembeajaran sejarah membutuhkan suatu metode pembelajaran yag dapat menunjang
keefektifan dari bidang studi sejarah tersebut. Permasalahan penggunaan strategi
pembelajaran sejarah oleh pendidik masih saja sering terjadi. Pada saat ini, pendidik masih
saja masih menggunakan metode pembelajaran yang berpusat pada guru (pembelajaran
langsung). Oleh karena itu, sekolah yang masih menerapkan pembelajaran langsung
mengakibatkan motivasi belajar peserta didik masih rendah sehingga hasil belajar yang
diperoleh masih belum mencapai kriteria ketuntasan.

Pada jurnal ini membahas tentang peningkatan motivasi dan hasil belajar sejarah dengan
menerapkan strategi SQ3R menggunakan metode Buzz Group. SQ3R merupakan strategi
yang terdiri atas lima kegiatan, yaitu survey, question, read, recite, dan review. Sedangkan
metode Buzz Group merupakan metode diskusi yang terdiri dari 3-6 kelompok aktif dengan
tujuan memecahkan permasalahan dan menyampaikan ide mengenai materi pembelajaran.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar sejarah
menggunakan strategi SQ3R dengan menggunakan metode Buzz Group pada peserta didik
kelas X-IIS 2 SMAN Kunir-Lumajang. Jenis penelitan yang digunakan adalah penelitian
tindakan kelas. Sedangka subjek penelitiannya yaitu peserta didik kelas X-IIS 2 SMAN
Kunir-Lumajang dengan jumlah 33 peserta didik.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif


digunakan untuk mengamati proses pelaksanaan strategi SQ3R dengan menggunakan metode
Buzz Group agar menigkatkan motivasi peserta didik. Sedangkan pendekatan kuatitatif
digunakan untuk menganalisis peningkatan hasil belajar pesertaa didik berdasarkan hasil tes.
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas. Subjek
penelitian ini adalah peserta didik kelas X-IIS 2 sebanyak 33 peserta didik. Metode yang
digunakan untuk pelaksanaan penelitian ini yaitu menggunakan metode observasi,
wawancara , tes, dan dokumentasi. Indikator yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini
adalah motivasi dan hasil belajar peserta didik.
Hasil penelitian yag diperoleh bahwa motivasi belajar peserta didik secara klasikal pada
siklus 1 memperoleh skor 2,8 berkrtiteria sedang, pada siklus ke-2 meningkat dari 0,64
menjadi 3,45 dengan kriteria tinggi, dan pada siklus 3 meningkat dari 0,43 menjadi 3,88
berkriteria tinggi. Hasil belajar peserta didik pada siklus 1 memperoleh 72,73%, pada siklus 2
meningkat 12,12% menjadi 84,85%, dan pada siklus 3 meningkat 10,09% menjadi 94,94%.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa penerapan strategi
SQ3R dengan metode Buzz Group dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar sejarah
peserta didik kelas X-IIS 2 SMA Kunir-Lumajang.

Berdasarkan data yang telah dijelaskan di atas, dapat dianalisis bahwa penerapan strategi
SQ3R dengan metode Buzz Group pada pembelajaran sejarah dijadikan sebagai langkah
upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran sejarah yang cenderung monoton. Jadi,
strategi penggunaan dengan menggunakan metode ini dapat meningkatkan motivasi dan hasil
belajar peserta didik. Peningkatan motivasi dan hasil belajar peserta didik menggunaka
strategi SQ3R dengan metode Buzz Group pada pembelajaran sejarah sama-sama meningkat.
Pserta didik dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajarnya dan termotivasi untuk aktif
dalam kegiatan pembelajaran. Untuk pembelajaran sejarah, perlunya penggunaan strategi
pembelajaran sangat diperlukan. Mengingat bahwa pembelajaran sejarah mengisahkan
mengenai peristiwa sejarah yang pada saat ini membutuhkan suatu inovasi penyajian
pembelajaran yang baik. Penggunaan media juga sangat mempengaruhi kejelasan terhadap
materi pembelajaran yang diberikan oleh pendidik. Oleh karena itu, penerapan strategi SQ3R
dengan metode Buzz Group dilakukan penelitian guna mengetahui apakah penggunaan
strategi dan metode ini bisa memperbaiki dan meningkatkan motivasi dan hasil belajar
sejarah peserta didik atau tidak.

Jurnal 3. EFEKTIVITAS PEMBELAJARN KOOPERATIF MODEL JIGSAW


DALAM MATA KULIAH SEJARAH ASIA BARAT DAYA

Sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kisah atau peristiwa yang terjadi di
masa lampau. Namun, dalam proses pembelajarannya mata kuliah sejarah, khususnya mata
kuliah Sejarah Asia Barat Daya cenderung membosankan dan kurang menarik. Ditambah lagi
dengan sistem pengajaran yang dilakukan dosen masih bersifat konvensional. Dari masalah
yang muncul tersebut, dicari solusi pemecahan masalahnya, salah satunya dengan
menggunakan metode pembelajaran kooperatif model jigsaw dalam proses pembelajaran
sejarah. Model pembelajaran jigsaw merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif
dimana siswa diperintahkan untuk membentuk beberapa kelompok yang terdiri atas 4-5 orang
anggota dengan memiliki kriteria peserta didik yang berbeda. Model pembelajaran ini
bertujuan untuk lebih menekankan pada kemampuan proses, berpikir dan latihan, bertindak
demokratis, pembelajaran aktif, saling memberi dan menerima, bekerjasama dalam
memecahkan masalah, dan menghargai perbedaan dalam suatu kelompok.

Penelitian ini membahas mengenai efektivitas pembelajaran kooperatif model Jigsaw


terhadap mata kuliah Asia Barat Daya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk megetahui
efektivitas pembelajaran kooperatif model jigsaw dalam pembelajaran mata kuliah Asia Barat
Daya. Desain penelitian yang digunakan adalah classroom action pada 3 siklus. Pada setiap
siklus dilaksanakan dengan sesuai dengan perubahan yang dicapai. Metode penelitian yang
digunakan pada penelitian ini adalah dilakukan dengan observasi dan wawancara. Analalisis
data yang dilakukan oleh peneliti adalah kualitatif dan kuntitatif. Hasil data analisis selama
proses pembelajaran tersebut, dibentuk deskriptif dan kuantitatif. Hasilnya dapat ditemukan
hasilnya setelah merekapitulasi data kuantitatif jawaban responden terhadap pertanyaan-
pertanyaan yang telah dibuat ke dalam angket.

Hasil capaian rata-rata mahasiswa dapat dilihat dari penilaian proses, penilaian hasil, dan
distrubusi capaian hasil belajar. Pada setiap masing-masing hasil capian mahasiswa berbeda-
beda.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif model
jigsaw memiliki pengaruh yang positif dalam meningkatan efektivitas pembelajaran mata
kuliah Sejarah Asia Barat Daya, baik dilihat dari penilaian proses maupun pada penilaian
hasil. Hal ini dapat dibuktikan dengan nilai efektivitas 0,85% pada siklus pertama, untuk
siklus ke dua sebesar 10,71% dan pada siklus ketiga sebesar 15,25%. Jadi, kesimpulan yang
didapat dari penggunaan pembelajaran model jigsaw adalah terjadi peningkatan yang
signifikan pembelajaran sejarah menggunakan pembelajaran kooperatif model jigsaw yang
ditinjau dari proses dan hasil belajar.

Jadi, seorang guru tidak hanya berperan dalam penyampaian materi pembelajaran
saja. Seorang pendidik juga harus ikut andil dalam mengembangkan pembelajaran yang akan
disampaikan kepada peserta didiknya. Tidak seharusnya seorang guru menggunakan metode
ceramah saja pada pembelajaran sejarah. Guru bisa menggunakan metode yang dianggap
memiliki peran dalam peningkatan kualitas materi pembelajaran yang akan disampaikan
kepada peserta didik. Penggunaan metode Jigsaw menjadi salah satu contoh dalam jurnal
penelitian ini. Tidak semua guru dapat memainka perannya dengan baik dan banyak
ditemukan guru yang masih saja menggunakan metode pembelajaran yang salah. Oleh karena
itu, peran peserta didik juga diperlukan dalam prose pembelajaran. Jika peserta didiknya
kurang atau tidak aktif, mana mungkin pembelajaran dapat dijalankan sesuai dengan rencana
pembelajaran yang telah disiapkan.

Penggunaan metode pembelajaran menjadi salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan
keefektifan dari peserta didik. Sedangkan guru bisa menggunakan dan mengembagkan
metode pembelajaran yang nantinya dapat dievaluasi titik mana yang bermasalah dan dapat
ditemukan pemecahan masalahnya. Oleh karena itu, metode yang akan digunakan harus
disesuaikan dengan strategi pembelajarannya.

Jurnal 4. PENGARUH PENDEKATAN WHOLE-TASK VS PART-TASK,


PENGETAHUAN AWAL DAN GAYA BELAJAR TERHADAP KUALITAS DESAIN
PEMBELAJARAN SEJARAH YANG DICIPTAKAN MAHASISWA.

Salah satu indikator yang penting dalam pendidikan adalah kompetensi. Kompetensi yang
harus dimiliki antara peserta didik atau mahasiswa dan pendidik atau dosen juga harus
memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dalam tingkat satuan pendidikan. Kompetensi
untuk menciptakan suatu desain pembelajaran menjadi salah satu ketentuan yang harus
dimiliki oleh mahasiswa calon guru. Banyak sekali dijumpai mahasiswa yang memiliki
kompetensi dalam menciptakan desain pembelajaran.

Tujuan dari jurnal penelitian ini adalah untuk menginvestigasi pengaruh dari interaksi dua
pendekatan (whole task vs part-task), dua pengetahuan awal (rendah dan tinggi), dua gaya
belajar (sekuensial dan global) terhada kualitas desain pembelajaran yang diciptakan
mahasiswa. Penelitian ini eksperimen ini menggunakan rancangan the factorialized (2x2x2)
version of nonequivalent control group design. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa S1
Program studi Pendidikan Sejarah. Jumlah mahasiswa yang diteliti sebanyak 85 siswa yang
dibagi menjadi 2 kelas, yaitu kelas A dan kelas B. subjek penelitian yang akan digunakan
yaitu mahasiswa yang sedang menempuh mata kuliah Perencanaan Pembelajaran Sejarah

Hasil penelitian ini dapat diketahui 1) pendekatan whole-task lebih unggul daripada
pendekatan part –task (p=0,031) terhadap kualitas desain pembelajaran yang diciptakan
mahasiswa; 2) kelompok mahasiswa yang memiliki pengetahuan awal tinggi memiliki
kemampuan lebih tinggi daripada mahasiswa yang memiliki pengetahuan awal rendah
(p=0,000) dalam kualitas desain pembelajaran yang diciptakan mahasiswa; 3) kualitas desain
pembelajaran yang diciptakan kelompok mahasiswa yang memiliki gaya belajar sekuensial
dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang memiliki gaya belajar global tidak
menunjukkan perbedaan (p=0,893); 4) interaksi antara penerapan pendekatan whole-task vs
parta task dan pengetahuan awal tentang komponen desain pembelajaran berpengaruh secara
signifikan (p=0,31) terhadap kualitas desain pembelajaran yang diciptakan mahasiswa; 5)
tidak ada interaksi antara penerapan pendekatan whole`-task vs part task dan gaya belajar
(p=0,317) terhadap kualitas desain pembelajaran yang diciptakan mahasiswa; 6) tidak ada
interaksi antara pengetahuan awal dan gaya belajar (p=0,289) terhadap kualitas desain
pembelajaran yang diciptakan mahasiswa; 7) tidak ada interaksi antara peneraan pendekatan
wholw-task vs part-task pengetahuan awal dan gaya belajar (p=0,216) terhadap kualitas
desain pembelajaran yang diciptakan mahasiswa.

Analisis yang dapat disimpulkan di sini adalah mengenai suatu pendekatan yang digunakan
oleh pendidik dalam pembelajaran sejarah. Banyak sekali pendekatan pembelajaran sejarah
yang dapat digunakan, namun juga harus mengamati terlebih dahulu pendekatan mana yang
dianggap sesuai dengan mata kuliah atau bidang studi yang ditempuh. Jika tidak, maka
pembelajaran tidak akan mendapatkan pengaruh yang positif, sama halnya dengan gaya
belajar. Apabila pendidik mengajar tanpa mengetahui gaya belajar dari masing-masing anak,
maka tujuan pembelajaran yang direncanakan kemungkinan banyak mendapatkan hambatan.
Hal ini dikarenakan guru tidak mengetahui gaya belajar masing-masing peserta didiknya,
sehingga sulit untuk bisa menciptakan proses pembelajaran yang berkompetensi,
profesionalitas, dll.

Pendidik juga dapat menggunakan dua pendekatan sekaligus guna membandingkan manakah
pendekatan yang sesuai dengan peserta didik, seperti yang ada pada jurnal penelitian ini.
Terkadang, setiap kelas itu menggunakan pendekatan yang tidak sama. Hal ini dapat dilihat
dari bagaimana cara guru menilai bahwa kelas yang satu lebih aktif daripada kelas yang
lainnya. Apabila pendekatan yang digunakan guru itu salah, maka akan berpengaruh terhadap
desain pembelajaran yang akan dibuat selama pembelajaran berlangsung. Untuk mata
pembelajaran sejarah, diperlukan suatu cara dalam mendesain pembelajaran agar tidak
membosankan peserta didik. Karena kita ketahui sebelumnya bahwa bosan tidaknya suatu
mata pelajaran tergantung guru yang menyampaikannya. Oleh karena itu, pendidik secara
tegas harus bisa mendesain keseluruhan proses pembelajaran agar berjalan dengan baik.

Jurnal 5. PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK UNTUK


MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR
SEJARAH PESERTA DIDIK KELAS X SOS 2 DI SMAN 4 JEMBER TAHUN
AJARAN 2014/2015

Penelitian pada jurnal ini membahas tentang meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan
hasil belajar peserta didik dengan menggunakan model pembelajaran berbasis proyek untuk
kelas X sosial 2 di SMAN 4 Jember. tujuan dilakukan guna meningkatkan kemampuan
berpikir kritis dan hasil belajar menggunakan Project Based Learning pada peserta didik
kelas X SOS 2 SMAN 4 Jember. penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas.
Subjek penelitian ini adalah peserta didik kelas X SOS 2 SMAN 4Jember dengan jumlah 36
peserta didik. Indikator yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir
kritis dan hasil belajar s ejarah peserta didik.

Hasil penelitian kemampuan berpikir kritis peserta didik secara klasikal pada siklus 1
memperoleh sebesar 69,58% dengan kategori kurang baik, pada siklus 2 meningkat 4,73%
menjadi 74,31% dengan kategori cukup baik dan pada siklus 3 meningkat 8,47% menjadi
82,78% dengan kategori baik. Pada siklus 1 hasil belajar kognitif memperoleh persentase
75%, pada siklus 2 meningkat 5,56% menjadi 80,56%, pada siklus meningkat 5,55%
menjadi 86,11%. Hasil belajar psikomotor pada siklus 1 sebesar 69,05%, pada siklus 2
meningkat 4,81% menjadi 73,86%, dan pada siklus 3 meningkat 12,01% menjadi
85,87%. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan model
pembelajaran berbasis proyek dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil
belajar sejarah pada peserta didik kelas X SOS 2 SMAN 4 Jember.
Perubahan paradigma dalam pembelajaran sejarah dari Teacher Centered (berpusat pada
pendidik) ke Student Centered (berpusat pada peserta didik) memberikan manfaat yang
positif bagi peserta didik. Paradigma pembelajaran yang berpusat pada peserta didik,
membuat peserta didik menjadi terbiasa secara aktif dan konstruktif mengeksplorasi konsep-
konsep, prinsip-prinsip, prosedur-prosedur dan soalsoal sejarah. Proses pembelajaran yang
melibatkan peserta didik dalam investigasi kegiatan-kegiatan pembelajaran sejarah
memberi kesempatan kepada peserta didik secara otonom mengkonstruk pengetahuannya.
Di antara pendekatan, strategi dan metode sangat berkaitan dalam pembelajaran. Diamana
antara yang satu harus diimbangi dengan adanya metode-metode.

Pembelajaran sejarah sangat tidak cocok jika terus menerus menggunakan metode yang
bersifat teaching learning. Oleh karena itu, di dalam kurikulum 2013 ini, diharapkan mampu
mengatasi permasalah pendidikan yang ada di Indonesia. peserta didik sudah tidak lagi
kesulitan memperoleh buku-buku sekolah, peserta didik bisa mengakses mata pelajaran
bidang studi di internet, dan sebagainya. Peran pemerintah sangat andil di dalam dunia
pendidikan. Tidak hanya itu, di dalam kurikulum 2013 juga diharapkan mampu mencetak
generasi yang beriman, bertaqwa serta dapat berperilaku jujur. Hal ini mengingat bahwa
karakter bangsa Indonesia yang masih tergolong jelek. Oleh sebabnya, pemerintah
merevolusi sistemnya melalui pendidikan
JURNAL
ENCEP SUPRIATNA
Transformasi Pembelajaran Sejarah Berbasis religi dan budaya menumbuhkan
karakter siswa

IKHTISAR: Studi ini berkenaan dengan perkembangan tarik-ulur antara identitas


nasional dan budaya global, khususnya diantara generasi muda Indonesia. Sekolah,
sebagai lembaga formal yang didirikan oleh pemerintah, memainkan peranan
penting dalam mentransformasikan nilai-nilai budaya lokal kepada para siswa sebagai
generasi muda. Studi ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan etnografi. Hal ini bermaksud untuk menggali dan mengumpulkan data
tentang nilai-nilai budaya dan agama dari para siswa SMA (Sekolah Menengah Atas)
di Banten. Data dikumpulkan melalui dua instrumen utama: (1) Wawancara dengan
para siswa, guru, dan kepala sekolah dari tiga SMA yang berbeda di Banten; serta
(2) Observasi terhadap pembelajaran sejarah di kelas dan kegiatan ekstrakulikuler.
Hasil studi menunjukkan bahwa dalam kenyataannya sekolah telah memasukan
materi tentang nilai-nilai religi dan budaya lokal dalam proses pembelajaran sejarah.
Para siswa juga masih memegang erat tradisi mereka tentang nilai-nilai budaya dan
agama Islam di Banten. Hal ini penting dalam pembentukan karakter para siswa
dalam kehidupan mereka sehari-hari.
KATA KUNCI: Transformasi pembelajaran sejarah, basis nilai-nilai religi dan budaya,
serta siswa SMA di Banten.
PENDAHULUAN
R.G. Collingwood (1959) menyatakan bahwa riset sejarah adalah mengenai
tindakan-tindakan manusia pada masa lalu. Sementara itu James Harvey
Robinson menyatakan bahwa sejarah, dalam arti kata yang luas, adalah
semua yang kita ketahui tentang setiap hal yang pernah manusia lakukan,
atau pikirkan, atau rasakan (dalam Meyerhoff ed., 1959). Bagi J. Topolski
(1990), ada tiga pengertian dasar tentang sejarah, yaitu: (1) sejarah sebagai
peristiwa-peristiwa masa lalu atau past events, res gestae; (2) sejarah
sebagai pelaksanaan riset yang dilakukan oleh seorang sejarawan; dan
(3) sejarah sebagai suatu hasil dari pelaksanaan riset berupa seperangkat
pernyataan-pernyataan tentang peristiwa-peristiwa di masa lalu atau
sering juga disebut historiografi. Akan tetapi, masih menurut J. Topolski
(1990), istilah “historiografi” itu sendiri dapat mempunyai arti lain, yaitu
sejarah tentang penulisan sejarah (history of historical writing). Dalam
pengertian terakhir ini merujuk sejarah sebagai suatu disiplin ilmiah.
Tafsiran sejarah ini, seperti telah disebutkan di atas, berevolusi lambatlaun
mengikuti perkembangan refleksi terhadap peristiwa-peristiwa di
masa lalu dan perkembangan disiplin sejarah sebagai hasil rekontruksi
peristiwa-peristiwa (Topolski, 1990:53-55).
Begitu juga dengan keterampilan berpikir kesejarahan, yaitu suatu
kemampuan yang harus dikembangkan agar siswa dapat membedakan
waktu lampau, masa kini, dan masa yang akan datang; melihat dan
mengevaluasi evidensi; membandingkan dan menganalisis antara cerita
sejarah, ilustrasi, dan catatan dari masa lalu; menginterpretasikan catatan
sejarah; dan membangun suatu cerita sejarah berdasarkan pemahaman
yang sesuai dengan tingkat perkembangan berpikirnya (Widja, 2002).
Pembelajaran sejarah dapat membuka kesempatan bagi siswa untuk
melakukan analisis terhadap aktivitas manusia dan hubungannya dengan
sesama. Agar dapat tercipta atmosfir yang demikian, maka siswa harus
dikondisikan untuk aktif bertanya dan belajar (active learning), tidak hanya
secara pasif menyerap informasi berupa fakta, nama, dan angka tahun
sebagai suatu kebenaran, sesuai dengan pandangan konstruktivisme
(Supriatna, 2012).
Menghadapi fenomena era global ini, terdapat beberapa pendapat
mengenai posisi pendidikan sejarah, yang tentunya sangat berpengaruh
terhadap perkembangan materi dan kurikulum sejarah saat ini. Sesuai
dengan perkembangan zaman yang cenderung mengglobal, maka
ada pendapat yang menyatakan bahwa pelajaran sejarah seharusnya
lebih bersifat sejarah global dan futuristik agar siswa dapat menyadari
kedudukannya dan dapat berperan dalam kehidupan global.
ATIKAN, 2(1) 2012
23
Untuk itu, A. Toffler (1970), seorang futurolog dalam bidang pendidikan,
menyarankan untuk membangun “super-industrial education system”.
Salah satu ciri utama dari sistem pendidikan macam ini adalah kurikulumnya
harus benar-benar mengacu ke masa depan. Sebagai konsekuensinya, mata
pelajaran dengan tujuan, materi, dan kemampuan yang dikembangkan itu
tidak sesuai dengan ciri di atas maka perlu dipertimbangkan untuk dicopot
dari kurikulum. Lalu apakah mata pelajaran sejarah termasuk yang harus
disingkirkan dari kurikulum?
Pelajaran sejarah sendiri, menurut A. Toffler (1970:28), masih dapat
diajarkan karena sejarah pada intinya adalah penanaman rasa waktu
(time sense) yang justru penting dalam kehidupan manusia. Tanpa rasa
waktu, orang akan kehilangan orientasi temporal. Sejalan dengan itu,
Laue menganjurkan tentang inti pendidikan sejarah masa depan yang
menurutnya sesuai dengan abad penyatuan global. Pendidikan sejarah
masa depan adalah: (1) menekankan sejarah global atau universal, bukan
pada sejarah nasional, apalagi sejarah lokal; (2) mengembangkan kepekaan
moral untuk meningkatkan kesetiakawanan umat manusia; dan (3) mampu
mempersiapkan generasi baru bagi kehidupan masa depan (dalam Widja,
2002:23).
Pendapat di atas tentunya menimbulkan pertanyaan besar: jika hanya
sejarah global yang diajarkan di sekolah, lalu bagaimana dengan jati diri siswa
itu sendiri di tengah kehidupan global? Hal inilah yang menjadi dilema bagi
pendidikan sejarah. Pada satu sisi, sejarah dituntut untuk membawa siswa
ke masa depan dalam kehidupan global sehingga sejarah harus mengacu
pada sejarah global; namun di sisi lain, sejarah juga harus menumbuhkan
kepribadian nasional siswa melalui pelajaran sejarah nasional agar dalam
kehidupan global, generasi muda kita memiliki jati diri yang pasti.
Bagaimanapun, kita masih membutuhkan sejarah nasional sebagai
basis serta sumber kekuatan diri bangsa tersebut. Bisa saja sejarah global
dikembangkan sesuai dengan tuntutan gelombang megatrend yang tidak
bisa dihindari, tetapi kelihatannya sejarah global harus dilihat sebagai
perluasan wawasan sejarah nasional, bukan untuk menggantikannya. Ini
berarti pula bahwa bagi bangsa Indonesia, sejarah nasional adalah tempat
menggali simbol integritas serta kekuatan ideal sebagai suatu bangsa,
yang akan tetap memegang peranan penting di masa depan. Hal itu juga
berarti tanpa mengabaikan pentingnya sejarah yang lebih makro (sejarah
global) atau sejarah yang lebih mikro (sejarah lokal).
KAJIAN TEORITIS TENTANG PEMBELAJARAN
SEJARAH
Pertama, Pembelajaran Sejarah Berbasis Religi. Menurut Dadang Kahmad
(2006:13) bahwa pengertian agama itu, mengikuti inti maknanya yang
ENCEP SUPRIATNA
24
khusus, dapat disamakan dengan kata religion dalam Bahasa Inggris; religie
dalam Bahasa Belanda; dan keduanya berasal dari Bahasa Latin, religio,
dari akar kata religare, yang berarti ”mengikat”. Sedangkan pengertian
ad-dien yang berati ”agama” adalah nama yang bersifat umum. Artinya,
tidak ditujukan kepada salah satu agama; ia adalah nama untuk setiap
kepercayaan yang ada di dunia ini. Memperhatikan pendapat di atas, di
dalamnya terdapat tiga istilah, yaitu: (1) Agama, (2) Religi, dan (3) Ad-
Dien dalam Bahasa Arab. Menurut Nurholish Madjid (1995:124), dalam arti
teknis dan terminologis, ketiga istilah tersebut mempunyai arti yang sama,
walaupun masing-masing mempunyai etimologis dan sejarahnya sendiri.
Sementara itu, ahli filsafat Inggris, H. Spencer (1820-1903) dalam bukunya
yang berjudul Principles of Sociology, berpendapat bahwa faktor utama
dalam agama adalah iman akan adanya kekuasaan yang tak terbatas, atau
kekuasaan yang tidak bisa digambarkan batas waktu dan tempatnya; serta
mengemukakan teorinya tentang asal-usul religi. Pangkal pendiriannya
mengenai asal-usul religi adalah bahwa semua bangsa di dunia itu bermula
ketika manusia sadar dan takut akan maut (dalam Koentjaraningrat,
1987).
Dalam hal ini pendapat H. Spencer sama dengan pendirian ahli sejarah
kebudayaan E.B. Tylor (1865) dalam bukunya The Primitive Culture. E.B.
Tylor menulis bahwa ”religion is beliefe in spiritual being” atau agama
adalah keyakinan tentang adanya makhluk spiritual, seperti roh-roh.
Keyakinan ini merupakan inti dari kebudayaan animis. Ia juga berpendirian
bahwa bentuk religi yang tertua adalah penyembahan kepada roh-roh
yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang yang telah meninggal,
terutama nenek-moyangnya (dalam Koentjaraningrat, 1987).
Sedangkan Max Nuller beranggapan bahwa agama itu pada intinya
untuk menyatakan apa yang mungkin digambarkan. Menurutnya,
mengenal Tuhan merupakan kesempurnaan mutlak yang tiada terbatas,
atau cinta kepada Tuhan yang sebenanrnya. Bentuk religi yang tertua
ini pada semua bangsa di dunia akan berevolusi ke bentuk religi yang
menurut H. Spencer merupakan tingkat evolusi yang lebih kompleks dan
berdiferensiasi, yaitu penyembahan kepada dewa-dewa, seperti dewa
kebijaksanaan, dewa perang, dewi kecantikan, dewa maut, dan sebagainya
(dalam Koentjaraningrat, 1987).
Berdasarkan paparan di atas, maka teori tentang agama dan kekuatan
gaib itu dapat digolongkan kepada tiga, yaitu: (1) teori-teori yang
pendekatannya berorientasi kepada keyakinan religi; (2) teori-teori yang
pendekatannya berorientasi kepada sikap manusia terhadap alam gaib atau
hal yang gaib; dan (3) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi
kepada upacara religi (Tylor, 1942:58).
ATIKAN, 2(1) 2012
25
Kedua, Pembelajaran Sejarah Berbasis Budaya. Pengertian kebudayaan,
menurut Koentjaraningrat (2000:9), adalah keseluruhan gagasan dan karya
manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan
dari hasil budi dan karyanya itu. Istilah ”kebudayaan” memang suatu
istilah yang amat cocok, yang dalam Bahasa Inggris, culture, berasal dari
kata Latin, colere, yang berarti ”mengolah atau mengerjakan”, terutama
mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang pengertian sebagai
segala daya dan usaha manusia untuk mengubah alam.
Untuk menganalisis aspek budaya ini, penulis memakai teori dari B.
Malinowski (1935) yang berhasil mengembangkan suatu teori baru yang
menganalisis fungsi kebudayaan. Inti dari teori ini adalah bahwa segala
aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud untuk memuaskan
suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang
berhubungan dengan seluruh kehidupannya.
Ahli lain yang menjelaskan tentang perkembangan kebudayaan dalam
proses akulturasi budaya adalah R. Linton, dimana ia menjelaskan bahwa
akulturasi merupakan proses pertukaran ataupun saling mempengaruhi
dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur
kebudayaan asing tersebut lambat-laun diakomodasikan dan diintegrasikan
dalam kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadiannya (Linton,
1984:357-360). Proses akulturasi ini sangat penting dalam pembelajaran,
baik dalam ilmu-ilmu sosial maupun studi sosial, mengingat – sebagaimana
dijelaskan oleh R. Linton (1984:357) dan Koentjaraningrat (1990:91) – bahwa
percepatan budaya inti atau covert culture dengan budaya lahiriyah atau
overt culture adalah berbeda.
Perubahan budaya inti (covert culture) biasanya lebih lambat dibanding
dengan budaya lahiriyah (overt culture). Karena itu, budaya lahiriyah yang
berupa benda-benda fisik, pakaian, rumah, gaya hidup, dan sebagainya
lebih cepat berubah dibanding dengan budaya inti yang berupa sistem
keyakinan, sistem nilai budaya, adat-istiadat yang dipelajari sejak usia
dini, dan sebagainya. Adanya kesenjangan antara kebudayaan materil dan
immateril inilah yang kemudian menjadi sorotan para ahli Sosiologi dari
Amerika Serikat yang menghabiskan sebagaian besar hidup akademisnya
di Universitas Chicago, yaitu William F. Ogburn (1964), dimana ia
mempermasalahkan hakikat perubahan sosial dan kebudayaan.
Kebanyakan hasil karya William F. Ogburn (1964) adalah mengemukakan
suatu kritik terhadap teori-teori mengenai sebab tunggal terjadinya
perubahan, khususnya yang terjadi pada abad ke-20, yang dianggapnya
terlalu menyederhanakan persoalan dan masih bersifat umum.
Sumbangan yang paling terkenal terhadap bidang ini adalah konsepnya
tentang ketinggalan budaya (cultural lag). Konsep ini mengacu kepada
kecenderungan dari kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola-pola organisasi
sosial yang tertinggal di belakang (lag behind) perubahan-perubahan

ENCEP SUPRIATNA
26
dalam kebudayaan materil. Akibatnya, perubahan sosial selalu ditandai
oleh ketegangan antara kebudayaan materil dan non-materil (Ogburn,
1964:119-280).
Berdasarkan paparan mengenai pengertian budaya, maka perubahan
kebudayaan dan percepatannya menyebabkan kebudayaan tersebut
dibentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, sebagaimana dikemukakan
oleh B. Malinowski (1935). Kebudayaan tersebut juga ditujukan dalam
bentuk sistem nilai yang secara universal ada dalam tiap kebudayaan di
dunia yang dikembangkan oleh C. Kluckhohn dan B. Strodtbeck (1961).
Menurut kedua peneliti dan pengkaji kebudayaan di dunia ini, soal-soal
yang paling tinggi nilainya dalam hidup manusia dan yang ada dalam tiap
kebudayaan manusia di dunia paling sedikit menyangkut lima hal, yaitu:
(1) soal human nature atau makna hidup manusia; (2) soal man-nature
atau makna dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya; (3) soal time
atau persepsi manusia mengenai waktu; (4) soal activity atau makna dari
pekerjaan, karya, dan amal perbuatan manusia; dan (5) soal relational
atau hubungan manusia dengan sesama manusia. Secara teknis, kelima
masalah tersebut sering disebut value orientation atau orientasi nilai
budaya (Kluckhohn & Strodtbeck, 1961).
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat kualitatif.
Dengan dipilihnya pendekatan kualitatif ini maka permasalahan yang
diangkat akan lebih cocok dan relevan dalam mengungkapkan jawabanjawabannya.
Penelitian kualitatif ini dijelaskan lebih jauh oleh J.W. Creswell
sebagai berikut:
Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct
methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The
researcher builds a complex, holistic picture, analyzes words, reports detailed views
of informants, and conducts the study in a natural setting (Creswell, 1998:15).
Dari kutipan di atas jelas bahwa metode penelitian kualitatif adalah
metode yang menggunakan inquiry dalam proses pemahaman yang
berbeda dengan metode tradisional; dengan menggunakan inquiry
dimaksudkan untuk mengeksplorasi masalah-masalah sosial dan
kemanusiaan. Para peneliti menentukan masalah yang rumit, memberikan
gambaran yang utuh, kata-kata yang lengkap, dan melaporkan secara
detail pandangan informan, serta prosedur penelitiannya dilakukan dalam
latar yang lebih alami.
Metode penelitian kualitatif sering disebut juga dengan metode
penelitian naturalistic, karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang
alamiah (natural setting). Selain itu, pengumpulan data dalam penelitian
ATIKAN, 2(1) 2012
27
ini dilakukan dengan menggunakan observasi berperanserta (participant
observation), wawancara mendalam (in-depth interview), dan studi
dokumentasi. Pendekatan kondisi yang alamiah ini disebut juga sebagai
metode “etnografi” karena pada awalnya lebih banyak digunakan untuk
penelitian bidang antropologi budaya; disebut juga “metode kualitatif”
karena data yang terkumpul dan dianalisis dengan penjelasan yang lebih
bersifat kualitatif (Lincoln & Guba, 1985:23-24).
Penelitian kualitatif mempunyai dua tujuan utama, yaitu: (1) untuk
menggambarkan dan mengungkap atau to describe and explore; dan (2)
untuk menggambarkan dan menjelaskan atau to describe and explain.
Kebanyakan penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan eksplanatoris.
Beberapa penelitian memberikan deskripsi tentang situasi yang kompleks
dan arah bagi penelitian selanjutnya. Penelitian lain memberikan ekplanasi
atau kejelasan tentang hubungan antara peristiwa dengan makna, terutama
menurut persepsi partisipan (McMillan & Schumacher, 2001:80).
Penelitian kualitatif ini memungkinkan dan bahkan dianjurkan untuk
menggunakan berbagai teknik pengumpulan data (Susan & William, 1988;
dan Creswell, 1998). Dalam hal ini, S. Susan dan S. William menganjurkan
tiga prinsip berkenaan dengan pengumpulan dan penggunaan data dalam
kualitatif, yakni: (1) penggunaan multi sumber; (2) penciptaan data dasar
bagi studi kualitatif; dan (3) pemeliharaan rangkaian terbukti (Susan &
William, 1988). Sehubungan dengan itu, penggunaan data yang dianjurkan
adalah berdasarkan enam sumber data, yakni: (1) dokumentasi, (2) rekaman
arsip, (3) wawancara, (4) observasi langsung, (5) observasi partisipan, dan
(6) perangkat fisik (Susan & William, 1988; dan Creswell, 1998).
Sehubungan dengan itu, penelitian ini menggunakan tiga teknik utama,
yakni: (1) teknik wawancara, (2) teknik observasi, dan (3) pencatatan dan
penggunaan dokumen. Ketiga teknik pengumpulan data ini akan digunakan
untuk memperkaya temuan, sekaligus sebagai proses triangulasi.
Tentang Subjek dan Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan dua lokasi, yakni: (1) Masyarakat, dalam hal ini komunitas di
kawasan Banten pada umumnya, dan penduduk di sekitar kawasan Banten
Lama pada khususnya; serta (2) Sekolah, dalam hal ini SMAN (Sekolah
Menengah Atas Negeri) 1, SMAN 2, dan SMAN 3 di Kota Serang, Provinsi
Banten.
Tentang Instrumen Penelitian. Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi
instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu,
peneliti sebagai instrumen juga harus ”divalidasi” seberapa jauh ianya siap
melakukan penelitian dan selanjutnya terjun ke lapangan. Peneliti kualitatif,
sebagai human instrument, berfungsi untuk menetapkan fokus penelitian,
memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data,
ENCEP SUPRIATNA
28
menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data, dan membuat
kesimpulan atas temuannya (Susan & William, 1988; dan Creswell, 1998).
Data yang telah terkumpul itu akan dianalisis dengan menggunakan teknik
analisis data yang bersifat deskriptif-kualitatif. Teknik analisis ini dilakukan
dengan mengikuti langkah-langkah seperti: (1) reduksi data, (2) penyajian
data, (3) penafsiran data, dan (4) menarik kesimpulan (Sugiyono, 2007).
Tentang Validitas dan Reliabilitas. Dalam pengujian keabsahan data,
hasil data yang telah dikumpulkan dari lapangan dan kemudian diolah
itu memerlukan uji validasi yang dilakukan dengan cara: (1) credibility
atau validitas internal, (2) transferability atau validitas eksternal, (3)
dependability atau reliabilitas, dan (4) confirmability atau objektivitas.
Mengenai “triangulasi”, dalam pengujian kredibilitas ini, diartikan sebagai
pengecekan data dari sumber-sumber yang ada dengan berbagai cara
dan berbagai waktu. Member check adalah juga proses pengecekan data
yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuan member check adalah
untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh itu sesuai dengan
apa yang diberikan oleh pemberi data (Susan & William, 1988; Creswell,
1998; dan Sugiyono, 2007).
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil wawancara dengan dua orang Guru pendidikan sejarah
di SMAN (Sekolah Menengah Atas Negeri) 2 di Kota Serang, Banten, yaitu
ibu Siti Hodijah, S.Pd. dan Ibu Nengsih Husaeni, S.Pd., mengenai kondisi
kekinian pembelajaran sejarah, diperoleh keterangan sebagai berikut:
Sebelum melaksanakan pembelajaran di kelas, saya selalu mempersiapkan bahan
materi pelajaran di rumah; sedangkan mengenai respon siswa terhadap materi
pembelajaran sejarah di sekolah, selama ini respon siswa amat positif; namun
dalam evaluasi, masing-masing siswa sering nilainya di bawah Kriteria Ketuntasan
Minimum atau KKM (wawancara dengan Siti Hodijah, 9/10/2011).
Metode yang sering saya gunakan adalah metode diskusi dan metode Contextual
Teaching and Learning atau CTL; sedangkan sistem evaluasi yang diguankan yaitu
dengan memberikan pertanyaan essay dan pilihan ganda (wawancara dengan
Nengsih Husaeni, 9/10/2011).
Saya selalu melakukan modifikasi dan perluasan materi sesuai dengan kebutuhan
di lapangan, yaitu para siswa dibawa dengan cara observasi langsung ke situs cagar
budaya di sekitar Banten (wawancara dengan Siti Hodijah, 9/10/2011).
Sementara itu seorang responden lainnya, yakni bapak Yudi Yuriansyah,
S.Pd., guru sejarah dari SMAN 1 Kota Serang, Banten, juga menyatakan
sebagai berikut:
ATIKAN, 2(1) 2012
29
Dalam proses belajar dan mengajar di kelas, saya selalu memperhatikan halhal
penting, seperti: (1) Mempersiapkan perangkat pembelajaran; (2) Siswa
menganggap sejarah sebagai pelajaran menarik, apabila disampaikan secara
interaktif dan menghubungkan dengan peristiwa-peristiwa aktual; (3) Metode yang
digunakan ceramah, diskusi, dan penggunaan multimedia; (4) Agar pembelajaran
sejarah menarik, maka porsi pengajaran dengan multimdeia dan pengajaran
interaktif ditingkatkan; dan (5) Evaluasi terhadap tingkat ketercapaian pada akhir
pembelajaran (wawancara dengan Yudi Yuriansyah, 9/10/2011).
Responden dari SMAN 3 di Kota Serang, Banten, yaitu bapak Sutrisno
Harmedi, S.Pd., menjelaskan mengenai kondisi kekinian pembelajaran
sejarah di sekolahnya sebagai berikut:
Menurut saya, gambaran proses pembelajaran sejarah yang dilakukan oleh guru itu
adalah: (1) Membuat RPP atau Rencana Program Pembelajaran, membuat resume
materi, dan mempersiapkan media; (2) Respon siswa terhadap pembelajaran
sejarah di sekolah pada umumnya cukup kondusif, walaupun cenderung pasif;
(3) Metode yang digunakan berupa tanya-jawab, diskusi, dan pemberian tugas;
(4) Agar materi sejarah itu menarik dan menantang maka usaha yang dilakukan
adalah dengan melengkapi media pembelajaran dan mengkaitkan materi sejarah
dengan konteks sekarang; serta (5) Sistem evaluasi yang dilakukan adalah dengan
cara meminta siswa untuk menyimpulkan materi yang telah dipelajari (wawancara
dengan Sutrisno Harmedi, 24/10/2011).
Sementara itu, hasil wawancara dengan siswi SMAN 1 di Kota Serang,
Banten, yang bernama Qisthiya Sukma Nazira (16/10/2011), adalah sebagai
berikut: ”Proses pembelajaran sejarah selama ini di kelas cukup baik,
gurunya humoris, bikin ketawa terus, dan enggak ngebosenin”. Responden
yang kedua, bernama Rinaldi (16/10/2011) dari Kelas XI IPS 3 dan masih
dari sekolah yang sama, menjawab sebagai berikut: ”Proses pembelajaran
sejarah sangat baik, karena penyampaian bahan ajar dikemas dengan baik
pula, sehingga siswa dapat mengerti”.
Responden selanjutnya dari SMAN 3 Kota Serang yang bernama Devy
Sulihati (10/11/2011), siswi Kelas XI IPS, menjelaskan sebagai berikut: ”Proses
pembelajaran sejarah yang dilakukan oleh guru selama ini lumayan jelas
dalam penyampaian materinya”. Sementara itu, Yuniar (10/11/2011), siswi
Kelas XII IPS dari sekolah yang sama, mengatakan sebagai berikut: ”Proses
pembelajaran sejarah yang dilakukan oleh guru selama ini di kelas sangat
mengasyikan, dan dapat mengetahui semua sejarah yang ada”. Responden
lain, dari sekolah yang sama bernama Maya Kholida Fauziyah (10/11/2011),
siswi Kelas XII IPS, mengatakan sebagai berikut: ”Pembelajaran sejarah
yang dilakukan oleh guru selama ini di kelas sangat mengasyikan”.
ENCEP SUPRIATNA
30
Walaupun begitu, dari hasil wawancara dengan siswi SMAN 2 di Kota
Serang, Banten, yang bernama Sifatul Ismaniah (17/11/2011), siswi Kelas
XII IPS 4, ada juga yang mengatakan bahwa proses pembelajaran sejarah
yang dilakukan oleh guru selama ini di kelasnya kurang lengkap dan kurang
menarik. Siswi lain yang bernama Tatu Cholisoh (17/11/2011) dari Kelas XII IPS
juga mengatakan bahwa proses pembelajaran sejarah yang dilakukan oleh
guru selama ini di kelas lebih banyak menggunakan metode ceramah dan
diskusi, mungkin maksudnya agar siswa lebih aktif dan mandiri. Pendapat
ini juga diperkuat oleh Dian Nur Azizah (17/11/2011), siswi Kelas XII IPS dari
sekolah yang sama.
Sementara itu, hasil wawancara dengan bapak Deni Arif Hidayat,
M.Pd., selaku Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Kota Serang, menyatakan
bahwa terus diupayakan agar suasana sekolahnya berbasis spiritual, di
antaranya dengan membiasakan pembacaan asma’ul husna, shalat dzuhur
berjama’ah, adanya program kelas jujur, dan kantin jujur. Selanjutnya,
suasana religius di sekolah tersebut digambarkan oleh Kepala Sekolah
sebagai berikut:
Sekolah kami berusaha menciptakan suasana yang religius dan ini dapat didukung
dengan menampilkan: (1) Pembiasaan membaca asma’ul husna sebelum masuk
kelas pada jam setengah tujuh pagi; (2) Sholat dzuhur berjam’ah; (3) Mengadakan
program kelas jujur, dimana kalau ada ulangan atau test tanpa diawasi oleh guru;
(4) Mengadakan kantin jujur, dimana kantin sekolah tanpa dijaga oleh petugas;
(5) Pembiasaan sholat duha di Mushola Sekolah; (6) Memperingati hari besar
keagamaan dengan mengundang penceramah atau da’i dari luar; (7) Berdo’a
sebelum belajar; (8) Adanya tempat ibadah, seperti Mushola, yang cukup besar
dan memadai, serta di depan Mushola tersebut terpampang kalimat ”Ingat, Kita
Semua Akan Mati”; dan (9) Setiap guru diarahkan untuk menjadi guru ”agama”,
dalam artian bahwa setiap guru hendaknya menyisipkan pesan-pesan agama dalam
materi pelajarannya (wawancara dengan Deni Arif Hidayat, 24/11/2011).
Apabila dilihat dari karakteristik etnik siswa yang dijadikan sampel
dalam penelitian di SMAN 2 Kota Serang, yaitu Kelas X 5 dengan persentase
siswa dan siswi yang berasal dari daerah Serang/Banten (50%), Sunda
(27%), Sumatera (10%), dan Jawa (13%), maka sekolah di daerah Banten
telah menunjukkan pluralitas etnik dan budaya. Sekolah-sekolah yang ada
di Banten menampung juga para siswa dan siswi yang berasal dari luar
Banten, kendatipun prosentasenya masih sedikit.
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai kondisi pembelajaran sejarah
di SMA (Sekolah Menengah Atas), peneliti juga melakukan wawancara
dengan guru SMA Negeri 2 di Kota Serang, Banten, yaitu Nengsih Husaeni,
S.Pd. Guru yang mengajar mata pelajaran sejarah di Kelas XI Program
ATIKAN, 2(1) 2012
31
IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) ini
menyatakan sebagai berikut:
Untuk mengetahui pembelajaran sejarah di sekolah kami, dapat dijelaskan bahwa:
(1) Pada dasarnya siswa itu menunjukan minat yang besar terhadap pembelajaran
sejarah, apabila guru dapat mengolah dan menyampaikan materi dengan menarik.
”Menarik” di sini dalam arti bahwa guru dalam kegiatan belajar-mengajar senantiasa
mencari media atau alat bantu belajar yang sesuai dan cocok dengan materi yang
akan disampaikan; (2) Guru dalam proses belajarnya juga harus menggunakan
metode yang bervariasi, antara lain tanya-jawab dan diskusi yang akan lebih
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi materi dan siswa
menjadi aktif; dan (3) Guru juga mengadakan studi dan observasi langsung untuk
mendekatkan siswa dengan tempat-tempat bersejarah, misalnya membawa siswa
ke situs sejarah Banten Lama di Kecamatan Kasemen. Dengan dibawa ke lokasi situs
itu, siswa diajak melakukan observasi langsung sambil berwisata, sehingga mereka
dapat memahami secara komprehensif bukti-bukti Kerajaan Banten dan bukti-bukti
kebesarannya yang masih dapat kita saksikan hingga sekarang. Bukti-bukti itu
antara lain Mesjid Agung Banten Lama, Menara, Reruntuhan Keraton Surosowan,
Reruntuhan Keraton Kaibon, Benteng Speelwijk, Bangunan Tiyamah yang dijadikan
Museum, serta benda-benda sejarah dan cagar budaya yang tersimpan di Museum
Banten Lama (wawancara dengan Nengsih Husaeni, 24/11/2011).
Menurut Guru Sejarah di SMAN 2 Kota Serang, dengan membawa
para siswa ke tempat-tempat bersejarah maka diharapkan siswa akan
lebih menghargai dan merasa bangga dengan segala yang dimiliki oleh
daerahnya. Selain itu, siswa juga dapat memaknai nilai-nilai religius dan
kepahlawanan dari situs yang dia lihat; disamping untuk menunjukan
bahwa Banten, sebagai suatu entitas budaya yang memiliki kebudayaan
tersendiri, juga berbeda dengan kebudayaan daerah lain.
Untuk menggali nuansa religi di masyarakat Banten, hasil wawancara
dengan bapak Astari (14/11/2010), selaku Kuncen Banten Lama,
menyebutkan bahwa nilai-nilai religi dan budaya itu sampai sekarang
masih terpelihara dengan baik, antara lain hal tersebut dapat terlihat dari
adanya pemeliharaan nilai-nilai religi tersebut pada masyarakat Banten
Lama, misalnya dengan adanya kegiatan ”panjang mulud’, pengajian rutin
di mesjid agung Banten Lama, dan peringatan hari besar Islam. Sementara
untuk aspek budaya, antara lain, diadakannya latihan qasidahan, seni dzikir
Saman, sholawatan, dan lain-lain.
Sementara itu, berdasarkan hasil wawancara mengenai nilai-nilai religi
dan budaya yang dapat digali dan ditransformasikan dari sejarah kawasan
Banten Lama, menurut bapak Yudi Yuriansyah, S.Pd. (9/10/2011), selaku
Guru Sejarah di SMAN 1 Kota Serang, mengatakan bahwa unsur nilai
yang dapat digali adalah: (1) Kearifan lokal, (2) Nilai kejuangan, dan (3)
Dominannya peran ulama dalam kehidupan yang Islami di Banten.
ENCEP SUPRIATNA
32
Wawancara dengan bapak Sutrisno Harmedi, S.Pd. (24/10/2011), Guru
Sejarah di SMAN 3 Kota Serang, Banten, juga mengatakan bahwa nilai-nilai
religi yang dapat diangkat dan ditransformasikan dalam pembelajaran
sejarah adalah: (1) Semangat keagamaan, (2) Loyalitas pada agama Islam,
(3) Peringatan hari-hari besar agama Islam, dan (4) Upacara selamatan
anak. Pendapat yang senada juga disuarakan oleh Siti Khodijah, S.Pd.
(9/10/2011), Guru Sejarah di SMAN 2 Kota Serang, yang mengatakan bahwa
nilai-nilai religi yang dapat diangkat dalam pembelajaran sejarah adalah:
(1) Nilai religius dan kepahlawanan, dan (2) Adanya peringatan upacara
keagamaan seperti Panjang Mauludan.
Nilai-nilai budaya dalam arti yang spesifik, yaitu kesenian yang masih
ada di Banten, dapat diidentifikasi antara lain: Rampak Bedug, Terebang
Gede, Qasidah, Saman, Yalil, Patingtung, Rudat, Pencak Silat, Dzikir Saman,
Angklung Buhun, Dogdog Lojor, Bendrong Lesung, Beluk, Kuda Lumping,
Gambang Kromong, Tari Cokek, dan lain-lain. Menurut Tilhami (2004 dan
2007), bentuk-bentuk seni dan budaya di Banten itu dapat dilihat dalam
tabel berikut ini:
No Bentuk Seni dan Budaya Contoh
1. Seni tradisional yang sangat kental dan diwarnai
oleh berkembangnya agama Islam di Banten.
Rampak Bedug, Terebang Gede,
Qasidah, Saman, dan Yalil.
2. Seni tradisional yang merupakan perkawinan
dari jiwa patriotik dan keberanian masyarakat
Banten dengan budaya Islam.
Patingtung, Rudat, Pencak Silat,
dan Dzikir Saman.
3. Seni tradisional yang merupakan budaya Banten
Tua, yang menurut sejarahnya lahir bersama
Islam atau sebelum datangnya agama Islam ke
Banten.
Angklung Buhun, Dogdog Lojor,
Bendrong Lesung, dan Beluk.
4. Seni tradisional yang datang dari luar Banten dan
mengalami proses akulturasi budaya di Banten.
Kuda Lumping, Gambang
Kromong, dan Cokek.
Untuk menganalisis dan memberikan validasi terhadap data-data hasil
implementasi pembelajaran sejarah yang berbasis religi dan budaya tersebut
di atas, peneliti melakukan wawancara dengan bapak Dr. Mohamad Ali
Fadilah, Kepala Balai LITBANGDA (Penelitian dan Pengembangan Daerah)
Provinsi Banten. Wawancara dilakukan di ruang kerjanya pada hari Selasa,
12 Oktober 2010, pukul 15.30 sampai dengan 17.00 sore. Menurutnya,
kondisi kehidupan masyarakat Banten, khususnya generasi muda, bila
ditinjau dari aspek kehidupan religi dan budaya adalah sebagai berikut:
[...] generasi muda merasa bangga sebagai orang Banten; dan, selain itu, mereka juga
bangga dengan identitas diri sebagai orang Banten yang memiliki sejarah yang begitu
gemilang. Sebagaimana kita ketahui bahwa identitas itu senantiasa berinteraksi dan
berkembang setiap saat (wawancara dengan Mohamad Ali Fadilah, 12/10/2010).
ATIKAN, 2(1) 2012
33
Ketika disinggung tentang upaya masyarakat Banten dalam
mempertahankan nilai-nilai religiusitas masyarakat yang sudah terkenal
sejak lama, Dr. Mohamad Ali Fadilah menjelaskan sebagai berikut:
[...] yaitu melalui lembaga keagamaan, seperti pesantren yang dibangun pada masa
kolonial awal di Banten. Pesantren ini tidak hanya terdapat di desa-desa dengan
para kyai yang kharismatis, bahkan sekarang pesantren yang modern banyak
didirikan di kota-kota dengan sistem pendidikan modern. Di Banten ini dikenal
sebagai ”daerahnya para ulama”, sedangkan beberapa kabupaten di Banten
juga mendapat sebutan sebagai ”kota santri”, seperti di Kabupaten Pandeglang
(wawancara dengan Mohamad Ali Fadilah, 12/10/2010).
Sedangkan nilai-nilai religi dan budaya yang dapat digali dari khazanah
kebudayaan Banten masa lalu, serta upaya untuk menyaring budaya asing,
beliau menjelaskan sebagai berikut:
[...] melalui berbagai kegiatan keagamaan, di antaranya dengan membaca ritual
Yasinan setiap malam Jum’at dan pada hari-hari tertentu, seperti tanggal 12 Rabiul
Awal dengan adanya upacara Panjang Mulud. Dengan adanya ritual Panjang
Mulud, misalnya, maka silaturahmi antar desa dan antar kecamatan dapat terjalin.
Peringatan 1 Muharram dan Nuzulul Qur’an juga merupakan identitas Islam yang ada
pada masyarakat Banten (wawancara dengan Mohamad Ali Fadilah, 12/10/2010).
Memang, nilai-nilai religi yang masih ada dan terus dilestarikan oleh
masyarakat Banten, paling tidak ada dua hal, yaitu:
Pertama, Nuansa Religius dengan menampilkan: (1) Ritual Yasinan setiap
malam Jum’at; (2) Upacara Panjang Mulud pada setiap tanggal 12 Rabiul
Awal; (3) Peringatan tahun baru Islam setiap 1 Muharram; (4) Peringatan
Nujulul Qur’an di mesjid-mesjid, musola, dan kantor pemerintahan; (5)
Membaca Al-Qur’an; (6) Ziarah kubur untuk mengingat akan mati; dan (7)
Kebiasaan berdo’a.
Kedua, Nuansa Humanis dengan menampilkan: (1) Rasa hormat
terhadap guru-guru; (2) Rasa hormat terhadap kyai dan ustad; (3) Rasa
hormat terhadap yang lebih tua; (4) Rasa hormat terhadap orang tua; (5)
Hubungan yang erat antara ulama dan umaro; (6) Solidaritas sosial yang
tinggi; dan (7) Rasa keberagamaan yang tinggi (Tim DISDIK, 2007).
Mengenai nilai-nilai budaya yang harus dijaga untuk kemudian
diwariskan kepada generasi muda Banten, Dr. Mohamad Ali Fadilah
menyatakan sebagai berikut:
[...] yang pertama yaitu aspek ke dwi-bahasaan, dalam hal ini Bahasa Sunda dan
Bahasa Jawa khas Banten. Ke dwi-bahasaan in merupakan pengaruh dari dua
Kesultanan Islam, yaitu Demak Bintoro yang mempengaruhi Bahasa Jawa khas
ENCEP SUPRIATNA
34
Cirebon; sedangkan Bahasa Sunda merupakan pengaruh dari Kerajaan Hindu
Padjadjaran di Pakuan. [...] yang kedua yaitu aspek kesenian, baik yang merupakan
asli Banten maupun yang dapat pengaruh dari agama Islam, seperti: Calung Renteng
di Cibaliung, Angklung Buhun di daerah Banten Selatan atau Baduy, serta Dogdog
Lojor dari Cisungsang, Banten Selatan. Begitu juga dengan seni Debus, Dzikir Saman,
dan Beluk (wawancara dengan Mohamad Ali Fadilah, 12/10/2010).
Masih menurut Dr. Mohamad Ali Fadilah, nilai-nilai budaya yang
hendaknya dijaga untuk kemudian diwariskan kepada generasi muda
di Banten bisa juga melalui lembaga pendidikan formal, selain melalui
keluarga dalam pendidikan informal. Nilai-nilai religi dan budaya yang
diwariskan dalam pendidikan formal bisa dalam bentuk penyusunan
Silabus Muatan Lokal, yaitu mata kuliah ”ke-Banten-an”, yang didalamnya
dibahas masalah ritual keagamaan, kepemimpinan, adat-istiadat, kesenian,
dan lain-lain. Selanjutnya, beliau menyatakan sebagai berikut:
[...] sesungguhnya, di STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan)
Setiabudhi di Banten telah ada Jurusan Pendidikan Sejarah dimana saya mengajar di
sana dan sudah mulai ada muatan lokal ”ke-Banten-an” ini. Sementara di Kabupaten
Serang, yang saya tahu, muatan lokalnya juga ada Bahasa Jawa Serang, akan tetapi
belum terorganisir dan terstruktur dengan baik. Di Banten Selatan bahkan masih
menggunakan Bahasa Sunda dengan menggunakan buku-buku ragam budaya.
Semua muatan lokal itu dapat disisipkan pada mata pelajaran lain yang ada irisannya
dengan muatan lokal ”ke-Banten-an” seperti pelajaran sejarah, bahasa, agama,
atau bahkan bisa menjadi mata pelajaran tersendiri (wawancara dengan Mohamad
Ali Fadilah, 12/10/2010).
Nilai-nilai budaya dan religi di Banten pada akhirnya harus diaktualisasikan
dalam kehidupan sehari-hari oleh siswa atau sekolah dan oleh masyarakat
melalui cara-cara sebagai berikut: (1) Program pemerintah harus peduli
kepada siswa atau sekolah dengan orientasi belajar di luar sekolah untuk
memperkenalkan nilai-nilai budaya; (2) Memperkenalkan out door class
system, seperti kegiatan karyawisata sejak mulai Sekolah Dasar hingga
Perguruan Tinggi dengan mengunjungi situs Banten Girang, Banten Lama,
tempat ziarah ke makam Syekh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Asnawi
di Caringin, Labuan, Banten; (3) Memperkenalkan bangunan-bangunan
peninggalan kolonial di Kota Serang dan Pandeglang, bisa juga dengan
mengunjungi desa adat, dan daerah ulayat seperti daerah Baduy sebagai
wujud apresiasi terhadap keragaman khazanah budaya Banten; serta (4)
Membiasakan proses pembelajaran di kelas melalui tugas-tugas tertentu,
seperti membuat makalah, bahan ajar, media pembelajaran, gambar
foto pahlawan atau pejuang dari Banten, film-film dokumenter tentang
ATIKAN, 2(1) 2012
35
Kesultanan Banten, film perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang
yang diperankan oleh para siswa itu sendiri (TSK, 2003; Taufik & Ahmad,
2010; dan wawancara dengan Mohamad Ali Fadilah, 12/10/2010).
PEMBAHASAN
Banten merupakan provinsi yang masyarakatnya terkenal religius. Namun,
tidak jarang kita menemukan berbagai faham sinkretis yang mewarnai
tingkah-laku masyarakat Banten. Salah satu penyebabnya adalah karena
masyarakat Banten tidak mudah meninggalkan kebiasaan-kebiasaan
nenek-moyang mereka (baca: Hindu-Budha). Tingkah-laku sinkretis
yang diwarisi dari generasi dahulu ke generasi berikutnya ini bahkan
telah menginternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya pada
masyarakat Banten tradisional yang memadukan unsur-unsur kepercayaan
lama dengan unsur-unsur kepercayaan baru. Masyarakat kota yang
mengenyam pendidikan Barat rasional sekalipun masih ada yang percaya
pada hal-hal gaib. Hal ini sejalan dengan pendapat Frazer (1854-1941)
bahwa manusia, dalam memecahkan beberapa persoalan hidup, selalu
menggunakan akal dan sistem pengetahuan yang dimilikinya. Akan tetapi,
karena kemampuan akal dan sistem pengetahuan itu terbatas maka
manusia pun menggunakan magis atau ilmu gaib (dalam Koentjaraningrat,
1987:84).
Karena penggunaan magis juga acapkali tidak berhasil, maka mulailah
manusia yakin bahwa alam semesta ini dihuni oleh makhluk-makhluk
halus yang lebih berkuasa daripada manusia. Dari anggapan ini kemudian
manusia berusaha menjalin hubungan dengan makhluk-makhluk halus
itu. Pandangan ini juga selaras dengan pendapat E.B. Taylor (1942), yang
menyatakan bahwa agama adalah keyakinan tentang makhluk spiritual
(roh-roh) dan keyakinan ini berasal dari kebudayaan animis. Ia juga
berpendirian bahwa religi yang tertua adalah penyembahan kepada rohroh
yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa yang sudah meninggal,
terutama roh nenek-moyang (Tylor, 1942:58).
Mengenai asal-usul religi, Herbert Spencer (1965) mengemukakan
teorinya bahwa semua itu bermula karena manusia sadar dan takut
akan maut. Bentuk religi yang tertua ini, pada semua bangsa di dunia,
akan berevolusi ke bentuk religi yang, menurut Herbert Spencer (1965),
merupakan tingkat evolusi yang lebih kompleks dan berdiferensiasi, yaitu
penyembahan kepada dewa-dewa, seperti dewa kebijaksanaan, dewa
perang, dewi kecantikan, dewa maut, dan sebagainya. Oleh karena itu,
pada masyarakat Banten juga masih mempercayai akan roh-roh nenekmoyang
atau orang suci yang dapat membawa berkah dan menyelamatkan
mereka, dengan cara melakukan tradisi ziarah ke makam-makan para wali
atau yang dianggap memiliki karomah.
ENCEP SUPRIATNA
36
Sementara itu, proses Islamisasi suku bangsa Jawa, termasuk Banten,
bukanlah merupakan peralihan agama tetapi lebih pada pergulatan dalam
bidang budaya. Hal ini sejalan dengan teori dari R. Linton (1984) bahwa
budaya materil akan lebih cepat berubah bila dibandingkan dengan
budaya non-materil, termasuk agama. Di Banten, kepercayaan terhadap
mitos, adat-istiadat, dan budaya lama nampaknya masih dipegang erat
oleh sebagian besar masyarakat.
Agama Hindu dan Budha di Jawa, dalam kajian sejarah, menyebar
secara struktural, yakni melalui pengaruh kerajaan sehingga kurang
mengakar di masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Simuh (2003)
yang mengatakan bahwa agama Hindu dan Budha memang kurang
mengakar dalam kalangan petani atau masyarakat akar rumput; dan ini
menjadi faktor yang memudahkan penyebaran agama Islam. Agama Islam
yang datang ke Indonesia, menurut Simuh (2003) pula, bercorak sufistik.
Mengingat alam pikiran dalam sufisme itu selaras dengan alam pikiran dalam
animisme-dinamisme, maka agama Islam yang bercorak sufistik disambut
sebagai penyempurna warisan budaya masyarakat. Apalagi ditambah
dengan adanya mitos para wali atau orang suci, maka kepercayaan ini
memperoleh sambutan yang hangat di kalangan masyarakat Jawa, baik
di pedesaan maupun di kota pesisiran (Simuh, 2003:74-75). Perlu dicatat
juga bahwa penyebaran agama Islam melalui dakwah dan pendidikan
itu bergerak perlahan dari daerah-daerah pedesaan dan kota pesisiran di
Jawa, termasuk di daerah pesisir Banten.
Sinkretisme antara tradisi lama dengan ajaran Islam dalam masyarakat
semacam ini tidak hanya khas di Jawa. Di luar Jawa, seperti pada masyarakat
Sumatera Barat dan budaya Melayu pada umumnya, juga terjadi pelestarian
adat-istiadat pra-Islam. Jadi, adat-istiadat lama tetap terjalin dengan ajaran
Islam. Dalam ungkapan Bahasa Minang, misalnya, dikatakan bahwa “adat
bersendi syara’, dan syara’ bersendi kitabullah”. Ungkapan ini menunjukkan
adanya ketahanan warisan adat-istiadat pra-Islam yang singkretis dengan
ajaran Islam. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ternyata, adat-istiadat lama
itu tidak dihilangkan ketika seseorang memeluk agama Islam; bahkan
kemudian adat-istiadat lama itu di-Islam-kan atau diselaraskan dengan
tradisi Islam (Madjid, 1995).
Kepercayaan dan adat-adat lama di atas dipercayai oleh masyarakat
petani, atau tingkat akar rumput, sebagai tradisi ahli Sunnah wal Jama’ah
oleh generasi-generasi berikutnya di Banten hingga sekarang. Hal ini
sejalan dengan pendapat Clifford Geertz (1996) bahwa agama abangan
adalah agama golongan petani di pedesaan dan lapisan bawah di kotakota,
yang mengandung banyak unsur kepercayaan lokal, penghormatan
terhadap beragam roh dan makhluk halus yang baik maupun yang jahat;
sedangkan unsur-unsur Islam yang puritan di dalamnya hanya dipahami
agar selaras dengan tradisi dan budaya lokal oleh para penganutnya.
ATIKAN, 2(1) 2012
37
William F. Ogburn (1964) berpendapat bahwa ketegangan budaya
disebabkan oleh derasnya budaya materil yang datang pada sebuah
masyarakat. Budaya materil tersebut kemudian diadopsi dan digunakan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam konteks masyarakat
di Banten, hal ini secara kasat mata dapat dilihat dengan menjamurnya
supermarket, rumah-rumah makan, tempat-tempat hiburan, dan
kebudayaan fisik dan materil lainnya; tetapi di sisi lain, adat dan kepercayaan
masyarakat Banten tetap bertahan di tengah-tengah derasnya arus budaya
materil itu. Hal ini bisa mengakibatkan adanya kegamangan dalam berpikir
dan bertindak, karena secara mental belum siap. Hal ini pulalah yang
disebut oleh William F. Ogburn (1964) sebagai cultural lag.
Sementara itu Anthony Giddens (2001) menyatakan bahwa kekuasaan
yang bersifat impersonal itu dikendalikan oleh segelintir elit, atau para
profesional lintas-budaya, dibawah kendali pemilik modal (corporate) yang
menjalankan budaya global. Dalam hal ini, suatu bangsa atau masyarakat,
termasuk masyarakat Banten, akan menjadi terintegrasi ke dalam strukturstruktur
kekuasaan yang dikendalikan oleh para elit tersebut. Namun,
di sisi lain, masyarakat Banten juga akan tetap eksis dalam tataran ide,
gagasan, atau pemikiran, suatu masyarakat yang hanya ada dalam bayangbayang
atau pikiran seseorang karena satu sama lain sesungguhnya tidak
saling mengenal. Itulah masyarakat yang ada hanya dalam ”bayangan”
sebagaimana disinyalir oleh Benedict R.O’G. Anderson (2001).
Dalam konteks teorinya Benedict R.O’G. Anderson (2001), masyarakat
Banten diperkenalkan oleh derasnya informasi melalui media cetak dan
elektronik; yang menjadikan mereka seakan-akan dekat seperti saudara,
padahal jauh dan tidak pernah ketemu satu sama lain serta rapuh dari ikatan
solidaritas sosial yang sesungghnya. Solidaritas sosial ini merupakan satu
jiwa (soul) dan sebagai cikal-bakal daripada nasionalisme awal, sebelum
suatu masyarakat memasuki zaman industri dan era teknologi informasi.
Budaya Banten, seperti kebudayaan daerah lain di Indonesia,
nampaknya bernasib sama, yakni disatukan dalam kesatuan budaya global
dalam homogenisasi gaya hidup yang populer atau budaya pop, baik dalam
identitas diri maupun pandangan hidup. Bahkan homogenisasi budaya ini
dibuat menjadi suatu keharusan sejarah, dan semua orang merasa betah
hidup di dalamnya dengan ciri-ciri: makanan cepat saji dengan minuman
coca-cola, menonton film, pakaian yang serba minim, lagu-lagu pop,
belanja di supermarket atau mall, pembayaran dengan kartu kredit, dan
sebagainya.
Budaya global ini berjalan secara perlahan, namun pasti, untuk
memaksa budaya lokal menyerah atau menjadi pecundang (the losser)
dalam pandangan Paul Kennedy (1995). Situasi ini akan mengakibatkan
budaya lokal mengalami kekosongan identitas dan nilai-moral sehingga
budaya dan kearifan lokal akan ditinggalkan; dan hal ini dapat terlihat dari
ENCEP SUPRIATNA
38
semakin tingginya nilai-nilai individualisme, liberalisme, dan hedonisme –
yang sebenarnya juga merupakan pengaruh dari modernisme. Salah satu
bentuk nyata dari budaya globalisasi di Banten adalah berkembangnya
apa yang disebut sebagai ”budaya populer”, yang tidak lain merupakan
wujud dari proses pem-Barat-an atau Westernisasi itu sendiri (Said, 2001;
dan TPSK, 2003).
Budaya global nampaknya tidaklah netral dan ianya mendorong
masyarakat dunia ke arah konsumerisme melalui iming-iming kepemilikan
dan gaya hidup yang mewah. Itulah ciri utama dari konsumerisme
yang sesungguhnya. Melalui cara-cara itu, secara perlahan, terbentuk
suatu masyarakat yang memburu kebutuhan hidup demi status dan
gaya penampilan yang serba profan. Budaya global disemai dalam
era globalisasi, saling kait-mengkait degan gaya hidup konsumerisme
yang mampu melumpuhkan kekuatan kultural dan sosial suatu bangsa,
dalam hal ini tidak terkecuali dengan masyarakat di Banten. Budaya
global juga membawa sebuah ambivalensi yang tidak sederhana, yakni
mempertentangkan dua kekuatan: lokal dan modal. Kekuatan modal
merupakan gerakan homogenisasi, menciptakan budaya dan masyarakat
dunia yang lebih homogen dalam rangka menciptakan pasar bagi produkproduk
kapitalisme dunia (Giddens, 2001; dan Taufik & Ahmad, 2010).
Adapun kekuatan lokal adalah kelompok yang bertujuan untuk
menghidupkan atau menumbuhkan kembali budaya, nilai-nilai, dan kearifan
lokal. Munculnya gerakan pecinta local wisdom ini merupakan wujud
resistensi dan mekanisme mempertahakan diri terhadap homogenitas
masyarakat dunia, sebagaimana yang disinyalir oleh Edwar W. Said (2001).
Setelah bangsa-bangsa di Asia dan Afrika merdeka dari penjajahan bangsabangsa
Barat, mereka ternyata belum merdeka dari segi keilmuan karena
bangsa-bangsa yang baru merdeka ini masih harus belajar dari negeranegara
Barat yang telah menjajahnya (Said, 2001). Hal ini sungguh ironis,
dari segi nilai-nilai dan budaya spiritual, mengingat di dunia Timur sendiri
terdapat ajaran-ajaran besar dari para filosofis kenamaan pada zamannya,
baik dari Islam maupun Persia dan dari India dengan Hindu-Budhanya
maupun dari Cina dengan Konfusianismenya.
Dalam konteks ini, kebudayaan Banten merupakan integrasi dari banyak
komunitas yang majemuk dan membentuk suatu kebudayaan kosmopolit.
Hal ini sejalan dengan teori akulturasi budaya dari R. Linton (1984) yang
mengatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi perubahan sosial
dan budaya. Berkembangnya kebudayaan Banten juga karena dipengaruhi
oleh ”kontribusi” banyak budaya, baik dari dalam maupun dari luar.
Sepanjang sejarah, hampir tidak ada budaya yang lepas dari pengaruh
budaya luar, tidak terkecuali dengan Indonesia, termasuk budaya
Banten. Memang banyak pihak yang meratapi kepunahan budaya lokal
ATIKAN, 2(1) 2012
39
akibat tergerus oleh budaya luar yang lebih besar dan kuat. Maka, untuk
mengantisipasi dan mencegah kepunahan unsur budaya lokal tersebut,
perlu dipegang prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Kebudayaan Banten
mesti diwariskan kepada generasi penerus dan tidak boleh dibiarkan hidup
secara pasif; serta (2) Nilai-nilai lama suatu kebudayaan yang diwariskan
itu harus dikaji, dianalisis, serta diberi ruang dan spirit baru yang sesuai
dengan jiwa zaman atau zeidgeist, sehingga tetap dapat bertunas serta
hidup subur di tengah-tengah masyarakat pendukungnya (Gottschlak,
1979; dan Tihami, 2007).
Akhirnya, bagi masyarakat Banten diperlukan kegiatan mencipta
dan mengkreasi budaya baru yang telah disesuaikan dengan keadaan
masyarakat yang telah berubah dengan nilai-nilai dan standar hidup yang
baru pula. Untuk itu diperlukan kelompok kecil yang kreatif dan inovatif
(creative minority) sebagai agen perubahan (agent of social change)
bagi masyarakat Banten dan kebudayaannya, yang tengah mengalami
perkembangan di tengah-tengah arus budaya global.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap implementasi pembelajaran sejarah
yang berbasis religi dan budaya di kawasan Banten Lama, yang merupakan
suatu kajian transformatif nilai-nilai religi dan budaya dalam pendidikan
sejarah di SMA (Sekolah Menengah Atas) di Kota Serang, Banten, maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, pembelajaran sejarah di sekolah yang selama ini digunakan
oleh guru-guru di SMA di Kota Serang, Banten, sudah cukup baik. Hal ini
dibuktikan dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap
para siswa yang menurut mereka suasana pembelajaran sejarah di kelas
sangat menyenangkan, tetapi ada juga siswa yang menjawab bahwa
keterangan yang disampaikan guru masih belum detail. Namun demikian
masih diperlukan adanya inovasi-inovasi yang harus dilakukan oleh guru
agar “kemasan” pembelajaran sejarah lebih menarik lagi. Respons siswa
terhadap materi pembelajaran sejarah oleh guru mereka juga cukup
menyenangkan. Hal ini dikarenakan guru senantiasa, sebelum melakukan
proses pembelajaran, melakukan persiapan yang baik menyangkut
pembuatan RPP (Rencana Program Pembelajaran), ringkasan materi, dan
mempersiapkan media pembelajaran. Dalam hal ini respons siswa pun
cenderung positif dan baik, serta antusiasme siswa juga baik.
Dalam menerangkan materi pembelajaran, guru sejarah menerapkan
metode yang beragam atau bervariasi seperti metode diskusi, tanya-jawab,
ENCEP SUPRIATNA
40
dan pembelajaran yang kontekstual. Guru juga dipandang perlu untuk
melakukan pemilihan materi sejarah dengan menyisipkan muatan lokal agar
menjadi menarik. Selain itu, guru sejarah juga diharapkan dapat memilih
metode yang lebih banyak melibatkan siswa dalam setiap pembelajaran
serta dapat melengkapi media pembelajaran. Pada akhir pembelajaran,
guru sejarah senantiasa melakukan evaluasi, baik itu berbentuk lisan atau
tulisan tergantung dengan ketersediaan waktu.
Berkaitan dengan pembelajaran yang berbasis religi dan budaya, guru
sejarah sebelum memulai pembelajaran senantiasa meminta kepada siswa
untuk berdo’a terlebih dahulu dan ada KULTUM (Kuliah Tujuh Menit)
tentang masalah moral, budaya, dan agama. Di setiap meja guru juga
terdapat Al-Qur’an. Hal ini, menurut Kepala Sekolah, agar guru apabila
menerangkan pembelajaran selalu dikaitkan dengan ayat-ayat dalam Al-
Qur’an, sehingga keyakinan siswa terhadap agama yang dianutnya makin
rasional dan menambah keimanan siswa tersebut. Perilaku jujur, seperti
tidak mencontek di kelas, juga selalu guru peringatkan kepada setiap
siswanya.
Kedua, hasil observasi dan wawancara dalam penelitian ini mengenai
nilai-nilai religi dan budaya yang dapat digali dan ditransformasikan
dari sejarah kawasan Banten Lama, antara lain: (1) nilai religius dan
kepahlawanan; serta (2) semangat keagamaan dalam keragaman budaya
seperti upacara-upacara tradisonal Panjang Mulud, peringatan hari besar
Islam, upacara selamatan, dan tradisi ziarah kubur ke makam yang dianggap
memiliki “karomah”. Dilihat dari sistem religi, masyarakat Banten Lama
memiliki elemen-elemen dalam upacara agama. Agama Islam, sebagai
agama resmi keraton dan keseluruhan wilayah Kesultanan Banten, dalam
upacara-upacara mempunyai sistem sendiri yang meliputi peralatan
upacara, pelaku upacara, dan jalannya upacara. Misalnya dalam ibadah
sholat, ada peralatannya dari sejak mesjid, bedug, tongtong, menara,
mihrab, padasan, pekulen, dan lain-lain. Demikian pula ada pelakunya,
yakni sejak mulai dari imam, makmum, tukang adzan, busana Muslim, dan
lain-lain sampai kepada tata-cara upacaranya.
Dilihat dari aspek budaya, masyarakat Banten masih kental dengan:
(1) Seni tradisional yang diwarnai oleh agama Islam, seperti Rampak
Bedug, Terebang Gede, Qasidah, Saman, dan Yalail; (2) Seni tradisional
yang merupakan perkawinan antara jiwa patriotik dengan budaya Islam,
seperti Debus, Patingtung, dan Rudat; (3) Seni tradisional yang merupakan
budaya Banten lama pra-Islam, seperti Angklung Buhun, Dogdog Lojor,
Bendrong Lesung, dan Beluk; serta (4) Seni tradisional yang datang dari luar
Banten melalui proses akulturasi budaya, seperti Kuda Lumping, Gambang
Kromong, dan Tari Cokek.
ATIKAN, 2(1) 2012
41
Ketiga, implementasi pembelajaran sejarah yang berbasis nilai-nilai
religi dan budaya merupakan suatu kajian transformatif dalam pendidikan
sejarah di SMA (Sekolah Menengah Atas). Hal ini dilakukan dengan cara
para siswa belajar tentang materi sejarah yang berkaitan dengan sejarah
lokal; melalukan studi dan observasi langsung ke situs-situs cagar budaya
Banten; mengkaitkan materi pelajaran yang tertera di buku atau kurikulum
dengan konteks sekarang; serta dengan pemberian tugas seperti menyusun
makalah, berdiskusi, bermain peran, dan wawancara dengan tokoh-tokoh
sejarah dan budaya Banten.
Keempat, aktualisasi pembelajaran sejarah dengan memanfaatkan
nilai-nilai religi dan budaya Banten, baik bagi siswa maupun bagi guru,
adalah beragam. Bagi siswa, aktualisasi nilai-nilai religi dan budaya dalam
kehidupan sehari-hari nampak dengan diadakannya pembiasaan beribadah
sesuai dengan ajaran agama; disisipkannya materi IMTAK (Iman dan Takwa)
dalam semua pelajaran di sekolah; serta mengunjungi dan memaknai situssitus
sejarah dan cagar budaya di Banten. Sedangkan bagi guru, aktualisasi
nilai-nilai religi dan budaya tersebut merupakan tantangan bagaimana bisa
melahirkan peserta didiknya yang berkarakter, yaitu siswa yang mandiri,
berbudi pekerti luhur, sholat tepat waktu, menjaga kebersihan, hormat
pada guru, memiliki sifat yang jujur, dan bertanggung jawab.
Bibliografi
Anderson, Benedict R.O’G. (2001). Komunitas-komunitas yang Terbayang. Yogyakarta:
Penerbit Insist bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Terjemahan.
Collingwood, R.G. (1959). “The Historical Imagination” dalam Hans Meyerhoff [ed]. The
Philosophy of History in our Time: An Anthology. Garden City, New York: Doubleday &
Company.
Creswell, J.W. (1994). Qualitative & Quantitative Approachs. London and New Delhi:
SAGE
Publications.
Creswell, J.W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among Five
Tradistions. London and New Delhi: SAGE Publications.
DEPDIKNAS [Departemen Pendidikan Nasional]. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia:
Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Geertz, Clifford. (1996). Agama Jawa. Yogyakarta: Bentang, Terjemahan.
Giddens, Anthony. (2001). Runaway World, Dunia yang Lepas Kendali: Bagaimana
Globalisasi
Merombak Kehidupan Kita? Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gottschlak, L. (1979). Mengerti Sejarah. Jakarta: Yayasan Penerbit UI [Universitas
Indonesia].
Kahmad, Dadang. (2006). Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Kennedy, Paul. (1995). Menyiapkan Diri Menghadapi Abad ke-21. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, Terjemahan.
ENCEP SUPRIATNA
42
Kluckhohn, C. & B. Strodtbeck. (1961). Variation in Values Orientation. Englewood Cliffs,
N.J.: Prentice-Hall.
Koentjaraningrat. (1987). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Penerbit UI [Universitas
Indonesia].
Koentjaraningrat. (1990). Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Penerbit UI [Universitas
Indonesia].
Koentjaraningrat. (2000). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Linton, R. (1984). Antropologi: Suatu Penyelidikan Manusia. Bandung: Penerbit Jemars,
Terjemahan.
Lincoln, Y.S. & E.G. Guba. (1985). Naturalistic Inquiry. California, Beverly Hills: Sage
Publications.
Madjid, Nurholish. (1995). Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Penerbit Yayasan Wakaf
Paramadina.
Malinowski, B. (1935). Coral Gardens and Their Magic. London: Kegan Paul.
McMillan, J.H. & S. Schumacher. (2001). Research in Education. New York: Longman.
Meyerhoff, Hans [ed]. (1959). The Philosophy of History in Our Time: An Anthology. Garden
City, New York: Doubleday & Company.
Ogburn, William F. (1964). Social Change with Respect to Culture and Original Nature.
Gloucester, Mass: Peter Smith.
Said, Edwar W. (2001). Orientalism: Western Representations of the Orients. London:
Routledge & Kegan Paul.
Simuh. (2003). Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Penerbit Teraju.
Spencer, Herbert. (1965). The Man Versus the State. Caldwell, Idaho: Caxton.
Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R
&
D. Bandung: Alfabeta.
Supriatna, Encep. (2012). ”The Implementation of History Education Based on Religion
and Culture in Old Banten Area”. Paper presented in an International Conference of
Character Education (ICCE) in Yogyakarta, Indonesia.
Susan, S. & S. William. (1988). Understanding & Conducting Qualitative Research.
Dubuque,
Iowa: Kendall/Hunt Publishing Company.
Taufik, E.R. & I. Ahmad. (2010). Denyut Budaya Banten. Serang: Leppemas STIE Banten.
Tihami. (2004). ”Khazanah Budaya Banten”. Makalah disajikan dalam Seminar Sejarah dan
Kebudayaan Banten, Pusat Kajian Sejarah dan Budaya STAIN (Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri) Sultan Maulana Hasanuddin Banten di Serang: 1 Juli.
Tihami. (2007). Profil Seni dan Budaya Banten. Serang, Banten: Penerbit STAIN (Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri) Sultan Maulana Hasanuddin.
Tim DISDIK [Dinas Pendidikan]. (2007). Ragam Pusaka Budaya Banten. Serang, Banten:
Dinas Pendidikan Provinsi Banten dan BP-3 Serang.
Toffler, A. (1970). Future Shock. London: Hazel Watson & Viney Ltd. Aylesburry Buck.
Topolski, J. (1990). Narration and Explanantion: Contribution to the Methodology of the
Historical Research. Amesterdam-Atlanta, G.A.: Rodopi.
TPSK [Tim Penyusuan Subdin Kebudayaan]. (2003). Profil Seni Budaya Banten. Serang:
Dinas
Pendidikan Provinsi Banten.
TSK [Tim Subdin Kebudayaan]. (2003). Benda Cagar Budaya dan Situs Kepurbakalaan
Provinsi
Banten. Serang: Dinas Pendidikan Provinsi Banten.
Tylor, E.B. (1942). Primitive Culture. New York: Happer Torchbooks.
Wawancara dengan Mohamad Ali Fadilah, Kepala Balai LITBANGDA (Penelitian dan
Pengembangan Daerah) Provinsi Banten, di Kota Serang, Banten, pada tanggal 12
Oktober 2010.
Wawancara dengan Astari, Kuncen Banten Lama, di Kota Serang, Banten, pada tanggal 14
November 2010.
ATIKAN, 2(1) 2012
43
Wawancara dengan Nengsih Husaeni, Guru Sejarah di Kelas XI Program IPA (Ilmu
Pengetahuan Alam) dan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) SMAN (Sekolah Menengah Atas
Negeri) 2 Kota Serang, Banten, pada tanggal 9 Oktober 2011 dan 24 November 2011.
Wawancara dengan Siti Hodijah, Guru Sejarah di SMAN (Sekolah Menengah Atas Negeri) 1
Kota Serang, Banten, pada tanggal 9 Oktober 2011.
Wawancara dengan Yudi Yuriansyah, Guru Sejarah di SMAN (Sekolah Menengah Atas
Negeri) 1 Kota Serang, Banten, pada tanggal 9 Oktober 2011.
Wawancara dengan Qisthiya Sukma Nazira, Siswi di SMAN (Sekolah Menengah Atas
Negeri)
1 Kota Serang, Banten, pada tanggal 16 Oktober 2011.
Wawancara dengan Rinaldi, Siswa Kelas XI IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) 3 di SMAN
(Sekolah Menengah Atas Negeri) 1 Kota Serang, Banten, pada tanggal 16 Oktober
2011.
Wawancara dengan Sutrisno Harmedi, Guru Sejarah di SMAN (Sekolah Menengah Atas
Negeri) 3 Kota Serang, Banten, pada tanggal 24 Oktober 2011.
Wawancara dengan Devy Sulihati, siswi Kelas XI IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) di SMAN
(Sekolah Menengah Atas Negeri) 3 Kota Serang, Banten, pada tanggal 10 November
2011.
Wawancara dengan Maya Kholida Fauziyah, siswi Kelas XII IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial)
di SMAN (Sekolah Menengah Atas Negeri) 3 Kota Serang, Banten, pada tanggal 10
November 2011.
Wawancara dengan Yuniar, siswi Kelas XII IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) di SMAN
(Sekolah
Menengah Atas Negeri) 3 Kota Serang, Banten, pada tanggal 10 November 2011.
Wawancara dengan Dian Nur Azizah, siswi Kelas XII IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) 4
di SMAN (Sekolah Menengah Atas Negeri) 2 Kota Serang, Banten, pada tanggal 17
November 2011.
Wawancara dengan Sifatul Ismaniah, siswi Kelas XII IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) 4
di SMAN (Sekolah Menengah Atas Negeri) 2 Kota Serang, Banten, pada tanggal 17
November 2011.
Wawancara dengan Tatu Cholisoh, siswi Kelas XII IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) 4 di
SMAN
(Sekolah Menengah Atas Negeri) 2 Kota Serang, Banten, pada tanggal 17 November
2011.
Wawancara dengan Deni Arif Hidayat, Kepala Sekolah SMAN (Sekolah Menengah Atas
Negeri) 2 di Kota Serang, Banten, pada tanggal 24 November 2011.
Widja, I Gde. (2002). Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Lappera Pustaka
Utama.
ENCEP SUPRIATNA
44
Gambar Keluarga Masyarakat Banten
(Sumber: www.google.com, 20/5/2012)
Bagi masyarakat Banten diperlukan kegiatan mencipta dan mengkreasi budaya baru
yang telah disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang telah berubah dengan nilainilai
dan standar hidup yang baru pula. Untuk itu diperlukan kelompok kecil yang kreatif
dan inovatif (creatif minority) sebagai agen perubahan (agent of social change) bagi
masyarakat Banten, dan kebudayaannya, yang tengah mengalami perkembangan di
tengah-tengah arus budaya global

Pengaruh Penerapan Mind Mapping Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Mata
Pelajaran Sejarah Kompetensi Dasar Menganalisis Kehidupan awal Masyarakat
Indonesia Kelas X MAN Sumenep
MARNI KURNIATIN,

Abstract

MAN Sumenep memiliki permasalahan dalam proses belajar mengajar. Proses belajar
mengajar masih menerapkan pengajaran dengan metode ceramah yang memusatkan kegiatan
belajar pada guru sehingga siswa mengalami kesulitan dalam menerima materi. Sedangkan
pada mata pelajaran Sejarah kompetensi dasar menganalisi kehidupan awal masyarakat
Indonesia siswa dituntut menguasai dan memahami materi. Maka Mind Mapping merupakan
solusi atas permasalahan pembelajaran yang terjadi. Mind Mapping lebih menekankan pada
keaktifan dan kegiatan kreatif siswa, meningkatkan daya hafal dan pemahaman konsep siswa
yang kuat, serta siswa lebih kreatif. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hasil belajar
setelah menerapkan metode Ming Mapping pada mata pelajaran Sejarah kompetensi dasar
“menganalisis kehidupan awal masyarakat Indonesia” pada siswa kelas X MAN Sumenep.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimen. Terdapat perlakuan dan kelompok
kontrol. Dalam pemilihan sampel penelitian ini digunakan teknik “simple random sampling
atau sampel acak sederhana”, yaitu kelas X5 dan kelas X8. Dimana kelas X5 sebagai kelas
Eksperimen dan kelas X8 sebagai kelas kontrol. Menggunakan Desain Korelasi Point
biserial. Objek penelitian ini adalah siswa kelas X MAN Sumenep. Mata pelajaran Sejarah
kompetensi dasar menganalis kehidupan awal masyarakat Indonesia. Teknik analisa data
menggunakan uji t terhadap perbedaan hasil belajar, baik sebelum maupun setelah diberikan
perlakuan. Dan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi dan
tes.

Berdasarkan hasil analisis dan penyajian data menunjukkan bahwa hasil belajar kelas
Eksperimen (X5) setelah diberi perlakuan dengan memanfaatkan metode Mind mapping
secara signifikan terhadap hasil belajar. Hasil uji t setelah kelas Eksperimen (X5) dengan
control (X8) dengan taraf signifikan 5% didapat thitung sebesar 0,374 ≥ 0,294, sehingga
penerapan metode Mind Mapping kelas eksperimen (X5) berpengaruh terhadap hasil belajar
setelah perlakuan. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa pembelajaran dengan
menggunakan metode Ming Mapping sangat baik untuk mendukung kegiatan pembelajaran
Sejarah dengan kompetensi dasar menganalisis kehidupan awal masyarakat Indonesia.

Kunci : Penerapan, Mind Mapping, Hasil Belajar, Sejarah

PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS PENDEKATAN


MULTIKULTURAL DAN PERSPEKTIF SEJARAH LOKAL,
NASIONAL, GLOBAL, DALAM INTEGRASI BANGSA
(Studi Kuasi Eksperimental Terhadap Siswa
Sekolah Menengah Atas
di Kota Bandung
)
Oleh:
Dr. Dadang Supardan
(Universitas
Pendidikan Indonesia)
ABSTRACT
Supardan, Dadang, 200
9
:
History Learning on the Approach of Multicultural and Local, National,
Global History Perspective for National Integration
(
A Quasi
-
Experimental Study on Senior
High School Student in Bandung City
).
T
his study was motivated by the writer’s concern on the accumulating phenomena of
national disintegration in many parts of Indonesian territory, an this situation influenced the
restlessness and instability among the young generation, in this case the senio
r highschool
student, regarding to their identity and nationality. The result of the orientation phase in this
research showed, that history teaching and learning in the highschools were not able to
imprint
strong historical awareness and sense of belongin
g to the country to support the national
integration among the students. The assumptions were the weakness among the majority of
history teachers in their professional skills, especially in their selecting the subject, choosing
the
teaching and learning st
rategies, and in taking up the approaches.
Several problems examined in this study revealed that in classes, history was still
presented in the conventional way, where the students were lectured on factual feature of
history
(time concept, actors, and sequ
ence of events). The political aspect of history was the main
portion taught during the lessons, without touching the pluralistic social and cultural
characteristic of the Indonesian society. On the other hand, the new learning in history, which
was
called
the
New History
, opened multidisciplinary approach where sociology and anthropology
contributed to the student’s efforts of searching for their ethnic and cultural roots inside the
Indonesian nationality. By knowing and comprehending other ethnic groups a
nd other cultures,
the students learned the danger of stereotyping, social prejudice, and exclusion which
threatened
the principle of living together harmoniously towards national integration. Based on the
introductory statement above, the research proble
m of this study would be stated as followed:

Are there any significant differences in students’ awareness in history before and after the
teaching and learning of history according to the multiculturalism in local, national, global
perspectives?
”.
The met
hodology used in this study was both quantitative and qualitative paradigms, with
quasi
-
experimental design and data compiled by interview technique among 258 senior
highschool students in Bandung municipality. The research findings are
firstly
, that the i
nfluence
of multicultural approach in teaching and learning history towards the acquiring of inter
-
ethnic
relations and national solidarity are significant.
Secon,
that the influence of local history teaching
and learning to aquire good interethnic relatio
ns is significant, while the contribution to national
solidarity is positively significant.
Third
, that the influence of national history teaching and
learning towards interethnic relations is significant, but insignificant to building national
solidarity.
Forth
, that influence of global history teaching and learning towards interethnic
relations and national solidarity are quite significant; and
lastly
, that the influence of teaching and
learning interethnic relations towards building national solidarity i
s significant.
2
A. Pendahuluan
Suatu realita historis di era reformasi Indonesia
ini,
selain tersimpan sejumlah
harapan masa depan yang lebih cerah, bangsa Indonesia memasuki krisis multi dimensi
yang disertai oleh munculnya gerakan
-
gerakan separatis dan k
eprihatinan masalah
-
masalah sosial
-
budaya lainnya menyangkut disintegrasi bangsa. Dakhidae (2002: xvii)
dengan metafora yang mencemaskan menyebutnya bangsa Indonesia ibarat a country in
despair

suatu negeri bukan saja diterpa oleh suatu bencana, akan tetap
i hampir
tenggelam dalam ketiadaan harapan yang mendalam.
Salah satu dampak krisis secara keilmuan, hampir semua disiplin ilmu
dipertanyakan ”kontribusi keampuhannya” untuk recovery krisis multidimensional
tersebut, termasuk peranan pembelajaran sejarah da
lam mempertahankan integrasi
bangsa. Beberapa sejarawan dan pengamat sosial berpendapat bahwa nasionalisme yang
menyangkut integrasi bangsa perlu ”direvitalisasi” dalam arti luas menyangkut
beralihnya pandangan ahistoris ke historis, berkembangnya ke arah
egalitarisn, justice,
clean governance dan clean government yang mempercepat terwujudnya civil society
agar tidak kehilangan aktualitasnya (Hobsbawm, 1990:210
-
211; Abdullah, 2001:73;
Guibernau, 1996: 150; Kleden, 2001:73; Simatupang, 2002: 45).
Pentingnya
perubahan paradigma pembelajaran sejarah tersebut bukan semata
-
mata karena adanya gerakan reformasi yang terjadi belakangan ini, gerakan reformasi itu
sendiri hanyalah sebagai faktor pemicu terjadinya gerakan ke arah itu. Robinson (1965)
telah merintis per
ubahan dari Sejarah Lama (
The Old History
) ke Sejarah Baru (
The New
History
), merupakan reaksi terhadap Sejarah Lama yang terlalu kaku membatasi diri pada
sejarah politik. Perluasan pengkajian pada
The New History
mencakup aspek
-
aspek
ekonomi, sosial buday
a, pertanian, pendidikan, psikologi, teknologi, dan sebagainya
secara inter/multidisipliner.
The New History
ini dengan demikian lebih luas, dan
menurut Burke (1993:3
-
4) merupakan
sejarah sosial
. Nampaknya telah terjadi
shift
begitu kuat perubahan ini dala
m filsafat pendidikan sejarah dari
perenialism
yang
menekankan “
transmission of the glorious past
” kearah suatu posisi di mana berbagai
aliran filsafat seperti
essensialism
bahkan
social reconstructionism
bergabung terlebur di
dalamnya secara eklektik (Has
an, 1999: 9). Pembelajaran sejarah yang bersifat eklektik
tersebut tidak saja menjadi wahana pengembangan kemampuan intelektual dan
3
kebanggaan masa lampau, tetapi juga merupakan wahana upaya memperbaiki kehidupan
masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, s
osial, budaya. Pembelajaran sejarah juga
memiliki nilai praktis
-
pragmatis bagi siswa, tidak sekedar nilai
-
nilai teoritik
-
idealisme
konseptual. Sebagai konsekwensi logis dari pergeseran filsafat pembelajaran sejarah
tersebut, menurut Hasan (1999: 9), terdap
at tiga hal baru; (1)
Keterkaitan pelajaran sejarah
dengan kehidupan sehari
-
hari siswa; (2) Pemahaman dan kesadaran akan karakteristik cerita
sejarah yang tidak bersifat final; (3) Perluasan tema sejarah politik dengan tema
-
tema sejarah
sosial, budaya, ek
onomi, dan teknologi
..
Pembahasan integrasi bangsa, tidak lagi menjadi determinant kajian politik yang
selama ini sering ”diambil alih oleh negara”, kurang mementingkan kesadaran yang
dibangun oleh nasionalisme dan integrasi bangsa dari bawah atau
popular
nationalism
and nations integration
(Hirschman, 1970: 115; Abdullah, 2001: 72). Kesadaran
semacam ini mengabaikan faktor keragaman dan penghargaan akar sosial budaya bersifat
multicultural
yang menuntut kewajaran dan kesamaan dalam keluarga bangsa yang
se
lama ini tidak terakomodasi.
Pembahasan integrasi bangsa dapat dihampiri melalui
perspektif peran sejarah lokal, nasional, maupun global. Pembelajaran sejarah lokal
dengan keunggulannya itu tidak hanya mempunyai arti sebagai identitas kelokalannya
saja, me
lainkan juga mempunyai makna yang lebih luas, serta berfungsi untuk menguji
validitas generalisasi
-
generalisasi sejarah nasional yang mereka ketahui (Lapian, 1980:7).
Sejarah lokal yang memiliki keterkaitan dan memiliki makna yang lebih luas tersebut
dapat
kita lihat dalam keterhubungannya dengan peristiwa
-
peristiwa makro yang intens.
Douch (1967: 7
-
8) dan Mahoney, (1981: 44
-
45) mengemukakan lebih menarik dan lebih
mudah dihayati bagi siswa, karena dapat menerobos ke situasi riil yang dialami di
lingkungan
siswa.
Begitu juga dengan pembelajaran sejarah nasional (Indonesia), jelas sangat
berkontribusi positif terhadap integrasi bangsa
.
Kartodirdjo (1999: 29) menguraikan
pentingya pembelajaran sejarah nasional, bahwa:
Adapun fungsinya terutama menerangkan e
ksistensi ataupun sosio
-
genesis
negara
-
nasion kita. Ini berarti bahwa identitas nasional kita terikat pada Sejarah
Nasional itu, maka dapat pula Sejarah Nasional itu dipandang sebagai lambang
identitas bangsa Indonesia. Dipandang kepentingannya dalam pemba
ngunan
bangsa, Sejarah Nasional berperan sangat strategis dan fundamental, terutama
dalam membangun kesadaran nasional khususnya dan pendidikan naional
umumnya. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dalam Sejarah Nasional tersebut
4
berperan sebagai sumber
inspirasi dan aspirasi pada generasi muda yang
mencakup heroisme, yaitu cerita
-
cerita kepahlawanan tanpa memperluas kultus
individu.
Pembelajaran sejarah nasional sebagai unsur pegembangan nasionalisme kultural
sangat berfungsi untuk menjadi mediasi dalam
memantapkan hubungan antara unsur
-
unsur masyarakat plural. Anderson (1983: 12
-
16) menyebutkan peran sejarah nasional
sebagai identitas nasional dan perkembangan kesadaran nasional. Selanjutnya ia juga
melihat arti penting identitas nasional sebagai pengar
uh yang paling kuat dan bertahan
lama dalam identitas kultural kolektif. Kemudian menurut Vanderburg (1985:272)
menambahkan bahwa selain itu melalui pembelajaran sejarah nasional, juga berupaya
membentuk model
-
model perilaku yang memupuk nasionalisme kultu
ral untuk
menciptakan pola hubungan yang mengatasi lingkungan temporal dan spasial serta
dimensi
-
dimensi lainnya.
Begitu juga dengan pentingnya pembelajaran sejarah global, pada umumnya
orang menyadari bahwa sekarang ini proses dan perngaruh globalisasi ma
kin dirasakan
sebagai bagian dari kehidupan kita. Giddens (1990: 64) secara ringkas
menyebutnya
bahwa globalisasi adalah intensifikasi hubungan sosial sejagat yang menghubungkan
tempat
-
tempat yang berjauhan sedemikian rupa, sehingga peristiwa lokal bisa t
erjadi
disebabkan oleh kejadian ditempat lain yang sekian mil jauhnya dan sebaliknya. Sejalan
dengan itu, Ohmae, Direktur Pengelola dari
Mc
-
Kinsey & Company
dan Direktur
Manajer Lembaga Penelitian Heisei Jepang yang sering dijuluki sebagai “Mr Strategy”
,
mengemukakan bahwa secara politis batas
-
batas antar negara semakin sirna (Ohmae,
1993:183
-
185; 2002: 171
-
175). Karena itulah menurut Mazlish dan Buultjes (
1993: 2)
dalam tulisannya yang berjudul
An Introduction to Global History
, menyatakan bahwa
sejarah g
lobal sebagai bentuk penggambaran kolektif terhadap masalah
-
masalah
dunia/global yang aktual untuk
membantu pemahaman dimensi proses globalisasi yang

multi
-
faceted
”. Mazlish dan Buultjes (1993: 3) lebih jauh menjelaskan bahwa
starting
point for global h
isto
ry adalah menguatnya fenomena globalisasi itu sendiri yang
berdimensi luas membawa harapan dan kecemasan.
Globalisasi yang makin kuat resonansinya khususnya bagi negara
-
negara
berkembang seperti Indonesia dalam proses memelihara dan meningkatkan integr
asi
bangsa, perlu mendapat perhatian tersendiri.
Laue (1981:23) yang penuh semangat dan
5
optimisme dalam memasuki abad ke
-
21, mengajukan bentuk pembelajaran sejarah masa
depan yang berintikan: (1) sejarah global yang merupakan unit sejarah yang relevan
un
tuk mewujudkan
a new civic history
yang mendukung bagi
the age of global
confluence
, (2) sejarah yang mengarah pada
refinement of the internal structures of
human will
, yaitu sejarah yang menyajikan hubungan setara sesama umat manusia
berdasarkan saling m
enyayangi, mengasihi, dan memperkokoh kesetiakawanan sesama
manusia, (3) sejarah yang memiliki perpektif ke depan dengan memahami masa
lampaunya. Upaya kesadaran itu pada hakkatnya ditujukan agar kita mampu menjadi
pemenang (
winner
) dari sekelompok lain ya
ng tertinggal sebagai yang kalah (
loser
),
ketika proses perubahan yang fundamental dan revolusioner itu terjadi (Kennedy, 1995
290
-
292).
Pertimbangan faktor
-
faktor tersebut, yang diperkuat dengan hasil
-
hasil
penelitian terdahulu (Sudjatmiko, 1999: 3; Adam,
2001: 3; Simbolon, 2002: 2
-
6)
Triardianto dan Suwardiman, 2002: 321; Siswomihardjo, 1998: 14; Litbang Kompas:
2002: 12) yang menunjukkan integrasi bangsa Indonesia belakangan ini sedang
mengalami titik terendah yang memprihatinkan, telah mendorong kami u
ntuk memilih
judul penelitian: ”
Pembelajaran Sejarah Berbasis Multikultural dan Perspektif Sejarah
Lokal, Nasional, Global dalam Integrasi Bangsa
(Studi Kuasi Eksperimental terhadap
Siswa SMA di Kota Bandung)
”.
B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitia
n
Rumusan masalah yang dapat kami ajukan sebagai berikut:
”Apakah terdapat
perbedaan yang signifikan antara kelompok treatment dengan kelompok kontrol setelah
diberikannya perlakuan pembelajaran sejarah yang berbasis multikultural dan perspektif
sejarah l
okal, nasional, global, dalam integrasi bangsa?
” Karena rumusan masalah
tersebut sangat luas, selanjutnya kami uraikan dalam beberapa pertanayaan penelitian
yang lebih rinci, sebagai berikut:
1.
Seberapa besar pengaruh pembelajaran multikultural (X1) terhadap
interaksi
antar etnik (Y1) ?
2.
Seberapa besar pengaruh pembelajaran multikultural (X1) terhadap rasa
solidaritas bangsa (Y2) ?
3.
Seberapa besar pengaruh pembelajaran sejarah lokal (X2) terhadap interaksi
antar etnik (Y1) ?
6
4.
Seberapa besar pengaruh pembelajara
n sejarah lokal (X2) terhadap rasa
solidaritas bangsa (Y2) ?
5.
Seberapa besar pengaruh pembelajaran sejarah nasional (X3) interaksi antar
etnik (Y1)?
6.
Seberapa besar pengaruh pembelajaran sejarah nasional (X3) terhadap rasa
solidaritas bangsa (Y2)?
7.
Seberapa
besar pengaruh pembelajaran sejarah global (X4) terhadap rasa
interaksi antaretnik (Y1) ?
8.
Seberapa besar pengaruh pembelajaran sejarah global (X4) terhadap rasa
solidaritas bangsa (Y2) ?
9.
Seberapa besar pengaruh interaksi antar etnik (Y1) terhadap rasa soli
daritas
bangsa (Y2) ?
C. Kedudukan Varibel Bebas dan Terikat
Gambar I
-
1
KEDUDUKAN VARIABEL BEBAS DAN TERIKAT
Keterangan:
X1 = Variabel Bebas Pembelajaran Multikultural
X2 = Variabel Bebas Pembelajaran Sejarah Lokal
X3 =
Variabel Bebas Pembelajaran Sejarah Nasional
X4 = Variabel Bebas Pembelajaran Sejarah Global
Y1 = Variabel Terikat Interaksi Antar Etnik
Y2 = Variabel Terikat Rasa Solidaritas Bangsa
D. Defininisi Operasional Variabel
Sebelum peneliti mengemukakan defi
nisi operasional, ada baiknya dikemukakan
terlebih dahulu pengertian definisi konsep dan dilanjutkan dengan definisi operasional
variabel, yang meliputi:
Pertama
; definisi operasional untuk variabel bebas mencakup:
(1) pembelajaran
multikultural, (2) pemb
elajaran sejarah lokal, (3) pembelajaran sejarah nasional, (4)
X
1
X2
X
3
Y2
Y
1
1
X4

Vous aimerez peut-être aussi