Vous êtes sur la page 1sur 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit alergi memiliki pola perjalanan penyakit tersendiri yang menggambarkan


dermatitis atopik pada periode bayi akan berlanjut menjadi rhinitis alergika, alergi
makanan dan atau asma. Perjalanan penyakit alergi dipengaruhi oleh faktor genetik,
dan faktor lingkungan mulai dari masa intrauterin sampai dewasa (Wahn, 2004).
Manifestasi penyakit alergi dapat dicegah dengan melakukan deteksi dan intervensi
dini, salah satunya adalah dengan identifikasi kelompok risiko tinggi atopi melalui
riwayat atopi keluarga (Harsono, 2005).

Penyakit alergi seperti dermatitis atopik, rhinitis alergika, asma dan urtikaria
adalah keadaan atopi yang cenderung terjadi pada kelompok keluarga dengan
kemampuan produksi IgE yang berlebihan terhadap rangsangan lingkungan (Harsono,
2005). Dermatitis atopik merupakan penyakit peradangan kulit yang bersifat kronis.
Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa atopi pada masa anak
kemungkinan dan orang tua dengan penyakit alergi memiliki anak-anak yang berisiko
tinggi mengalami asma disebabkan kelainan genetika.

Pencegahan primer alergi pada awal kehidupan bayi sangat penting, karena ketika
respons IgE sudah dimulai maka kaskade inflamasi alergi akan terus berlangsung
sepanjang masa bayi dan kemudian sensitisasi terhadap alergen lain akan terjadi.
Pencegahan primer sebaiknya dimulai sebelum terjadi sensitisasi terhadap alergen.
Beberapa intervensi awal yang dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi
populasi risiko tinggi dan manipulasi lingkungan antara lain penghindaran asap rokok
(Harsono, 2005). Salah satu cara identifikasi populasi risiko tinggi di Indonesia adalah
melalui penentuan nilai atopi keluarga terhadap janin/bayi baru lahir dengan kartu
deteksi dini risiko alergi Ikatan Dokter Anak Indonesia – Persatuan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia (IDAI-POGI).

IDAI bekerja sama dengan POGI telah melakukan sosialisasi kartu deteksi dini
sejak tahun 2005, yang kemudian diperbarui pada tahun 2009 (IDAI, 2009). Pengaruh
faktor lingkungan, higiene dan gaya hidup dalam peningkatan kejadian penyakit alergi
menyebabkan perlunya evaluasi peranan kartu deteksi dini alergi, yang hanya
mengklasifikasikan tingkat risiko alergi berdasarkan faktor atopi keluarga. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan kejadian dermatitis atopik
berdasarkan nilai atopi dalam kartu deteksi dini keluarga.

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui defenisi alergi

2. Untuk mengetahui Etiologi alergi

3. Untuk mengetahui Manifestasi Klinis alergi

4. Untuk mengetahui Anatomi dan Fisiologi alergi

5. Untuk mengetahui Patofisiologi alergi

6. Untuk mengetahui Penatalaksanaan alergi

7. Untuk mengetahui Klasifikasi alergi

8. Untuk mengetahui Komplikasi alergi

9. Untuk mengetahui Pemeriksaan Diagnostik alergi

10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan alergi


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Defenisi
Istilah alergi di gunakan pertama kali oleh Clemens von Pirquet tahun 1906
diartikan sebagai “ reaksi pejamu yang berubah” bila terpajan dengan bahan yang
sama untuk kedua kalinya atau lebih. Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs
dan Philip HH Gell tahun 1963 di bagi dalam 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dna
mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I,II,III, dan IV. Reaksi hipersensitivitas I
yang di sebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alerg, timbul segera
sesudah tubuh terpaja alergen.
Alergi adalah rangsangan yang berlebihan terhadap reaksi peradangan yang telah
terjadi sebagai respon terhadap antigen lingkungan yang spesifik. Suatu anigen yang
menyebabkan di sebut alergen. Reaksi alergi dapat di perantarai antibodi atau sel T.
Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah contoh alergi yang di perantarai antibodi,
sedangkan reaksi hipersensitivitas tipe IV adalah alergi yang di perantarai sel T.
Alergi merupakan suatu perubahan reaksi (menyimpang) dari tubuh seseorang
terhadap lingkungan berkaitan dengan peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)E,
suatu mekanisme sistem imun (Retno W.Soebaryo,2002)
Alergi merupakan respons sistem imun yang tidak teapat dan seringkali
membahayakan terhadapa substansi yang biasanya tidak berbahaya. Reaksi alergi
merupakan manifestasi cedera jaringan yang terjadi akibat interaksi antara antigen dan
antibodi ( Brunner & Suddarth, 2002)
Alergi adalah suatu perubahan reaksi, atau respon pertahanan tubuh yang
menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya (Robert
Davies, 2003)

B. Etiologi
Penyebab elergi tidaklah jelas walaupun tampaknya terdapat predisposisi genetik.
Predisposisi tersebut dapat berupa pengikatan igE yang berlebihan, mudahnya sel
mast di picu untuk berdegranulasi, atau respon sel T helper yang berlebihan. Hasil
penelitian terkini menunjukkan bahwa defesiensi sel T rugulator dapat menyebabkan
responsivitas berlebihan dari sistem imun dan alergi. Pajanan berlebihan terhadap
elergen – elergen tertentu setiap saat, termasuk selama gestasi dapat menyebabkan
repon alergi. Ada beberapa faktor pencetus alergi :
1. Riwayat Keluarga
Perkembangan sistem imun dan kemampuan untuk mengembangkan
respon imun dalam bentuk reaksi alergi sudah terbentuk sejak dini pada masa
gestasi.Kromosom 5q31-36 yang mengandunggen sitokin Ilh--3, IL-4, IK-5,
dan IL-13 dan GM – CSFyang diekspresikan oleh sel T menunjukkan peran
penting faktor genetik pada penyakit alergi.
Atopy ( asma, ranitis alergik, dermatitis atopik ) adalah kecenderungan
genetik untuk memproduksi IgE antibodi terpapar alergen. Suatu studi
epidemilogi keluarga menyokong kejadian alergi, bahwa faktor genetik
berpengaruh pada keluarga atopi. Bila salah satu orang tua mempunyaki
penyakit alergi, maka 25 – 40 % anak akan menderita alergi. Bila kedua orang
tua mempunyai alergi maka resiko anak 50-70%.
Kromosom 5q telah di ketahui memiliki peranan pada pelepasan sitokin
yang memepengaruhi produksi IgE, sedangkan kromosom 11 yang berperan
sebagai reseptor IgE dengan afnitas kuat pada mastosit.

2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan adalah faktor yang cukup banyak berpengaruh terhadap
timbulnya gejala penyakit alergi. Adanya alergen di lingkungan hidup anak
meningkatkan risiko penyakit asma. Alergen yang sering mencetus penyakit
asma antara lain adalah serpihan kulit binatang perliharaan, debu rumah, dan
lain – lain. Debu rumah dapat meningkatkan permeabilitas mukosa bronchial
sehingga memfasilitasi alergen lain untuk memasuki epithelium dan
mensenstisasi sistem imun. Selain itu asap dapat mempengaruhi peningkatan
aktvitas Th2 serta produksi IgE.

3. Fakror Dietetik
Makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kekambuhan
dermatitia atopik pada bayi dan anak, terutama makanan yang banyak
mengandung protein seperti susu sapi, telur ayam, ikan laut dan kacang -
kacangan. Pemberian air susu ibu (ASI ) eksklusif mengurangi jumlah bayi
yang hipersensitifitas terhadap makan pada tahu pertama kehidupan.
Pemberian PASI pada bayi cenderung meningkatkan angka kejadian alergi.
Pemberian ASI eksklusif selama 4 bulan atau lebih dapat menurunkan IgE
total pada anak usia 6 tahu dan 11 tahun.

C. Manifestasi Klinis
1. Pembengkakan lokal, gatal, dan kemerahan kulit pada pajanan alergen ke kulit.
Reaksi tipe IV sering di tandai dengan oleh lepuhan dan pengerasan pada area
yang kena
2. Diare dan kram abdomen, pada pajanan alergen saluran cerna.
3. Ranitis alergi yang di tandai oleh mata gataldan pilek encer pada pajanan
alergen saluran napas. Terjadi pembengkakan dan kongesti. Dapat timbul
kesulitan bernapas akibat konstruksi otot polos bronkioulus pada jalan napas
yang diinduksi oleh histamin.
4. Gejala sesak napas, napas berbunyi dan batuk yang di sertai lendir, pasa
pajanan asma

D. Anatomi dan Fisiologi

Sistem imun adalah sistem pertahanan perlindungan terhadap infeksi dari


makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan
parasit.

a. Fungsi sistem imun


1. melindungi tubuh invasi penyebab penyakit menghancurkan dan
menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing
2. Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak utnuk perbaikan
jaringan
3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal
Leukosit merupakan sel imun utama ( di samping sel plasma, makrofaf
dan sel mast )

b. Letak – letak sistem imun


1. Sum – sum
Semua sel sistem kekebalan tubuh berasal dari sel-sel induk dalam
sumsum tulang. Sumsum tulang adalah tempat asal sel darah merah, sel
darah putih (termasel darah putih termasuk limfosit dan makrofag) dan
platelet. Sel-sel dari sistem kekebalan tubuh juga terdapat di tempat lain.
2. Timus
Dalam kelenjar timus sel-sel limfoid mengalami proses pematangan
sebelum lepas ke dalam sirkulasi. Proses ini memungkinkan sel T untuk
mengembangkan atribut penting yang dikenal sebagai toleransi diri.
3. Getah bening
Kelenjar getah bening berbentuk kacang kecil terbaring di sepanjang
perjalanan limfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher, axillae,
selangkangan dan para-aorta daerah. Pengetahuan tentang situs kelenjar
getah bening yang penting dalam pemeriksaan fisik pasien.

c. Sistem Pertahanan
1. Non Spesifik
Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik
disebut juga respons imun alamiah. Yang merupakan mekanisme
pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan kelenjarnya,
lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya
seperti kelenjar air mata.
Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit, polimorfonuklear)
dan komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non
spesifik.
Imunitas non spesifik merupakan respon awal terhadap mikroba untuk
mencegah,mengontrol dan mengeliminasi terjadinya infeksi pada host,
merangsang terjadinya imunitas spesifik untuk mengoptimalkan efektifitas
kerja dan Hanya bereaksi terhadap mikroba ,bahan bahan akibat
kerusakan sel (heat shock protein) dan memberikan respon yang sama
untuk infeksi yang berulang. a. pertahanan fisik : kulit, selaput lendir ,
silia saluran pernafasan b. pertahanan kimia : bahan yang disekresi
mukosa saluran nafas, kelenjar sebaseus kulit, kel kulit, telinga, asam
HCL dalam cairan lambung , lisosim yang dikeluarkan oleh makrofag
menghancurkan kuman gram
2. Mekanisme Pertahanan Spesifik
Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme
maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik
adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau
tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan
komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan
spesifik disebut juga respons imun didapat. Mekanisme Pertahanan Spesifik
(Imunitas Humoral dan Selular) Imunitas humoral adalah imunitas yang
diperankan oleh sel limfosit B dengan atau tanpa bantuan sel imunokompeten
lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yang disekresi
oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu
IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE. Imunitas selular didefinisikan sebagai suatu
respons imun terhadap antigen yang diperankan oleh limfosit T dengan atau
tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya.

d. Antibodi (Immunoglobulin)
sAntibodi (bahasa Inggris:antibody, gamma globulin)adalah glikoprotein
dengan struktur tertentu yang disekresi dari pencerap limfosit-B yang telah
teraktivasi menjadi sel plasma, sebagai respon dari antigen tertentu dan reaktif
terhadap antigen tersebut. Pembagian Immunglobuli.
Antibodi A (bahasa Inggris: Immunoglobulin A, IgA) adalah antibodi yang
memainkan peran penting dalam imunitas mukosis (en:mucosal immune). IgA
banyak ditemukan pada bagian sekresi tubuh (liur, mukus, air mata, kolostrum
dan susu) sebagai sIgA (en:secretoryIgA) dalam perlindungan permukaan organ
tubuh yang terpapar dengan mencegah penempelan bakteri dan virus ke membran
mukosa. Kontribusi fragmen konstan sIgA dengan ikatan komponen mukus
memungkinkan pengikatan mikroba
Antibodi D (bahasa Inggris: Immunoglobulin D, IgD) adalah sebuah
monomer dengan fragmen yang dapat mengikat 2 epitop. IgD ditemukan pada
permukaan pencerap sel B bersama dengan IgM atau sIga, tempat IgD dapat
mengendalikan aktivasi dan supresi sel B. IgD berperan dalam mengendalikan
produksi autoantibodi sel B. Rasio serum IgD hanya sekitar 0,2%
Antibodi E (bahasa Inggris: antibody E, immunoglobulin E, IgE) adalah jenis
antibodi yang hanya dapat ditemukan pada mamalia. IgE memiliki peran yang
besar pada alergi terutama pada hipersensitivitas tipe 1. IgE juga tersirat dalam
sistem kekebalan yang merespon cacing parasit (helminth) seperti Schistosoma
mansoni, Trichinella spiralis, dan Fasciola hepatica, serta terhadap parasit
protozoa tertentu sepertiPlasmodium falciparum, dan artropoda.
Antibodi G (bahasa Inggris: Immunoglobulin G, IgG) adalah antibodi
monomeris yang terbentuk dari dua rantai berat dan rantai ringan , yang saling
mengikat dengan ikatan disulfida, dan mempunyai dua fragmen antigen-binding.
Populasi IgG paling tinggi dalam tubuh dan terdistribusi cukup merata di dalam
darah dan cairan tubuh dengan rasio serum sekitar 75% pada manusia dan waktu
paruh 7 hingga 23 hari bergantung pada sub-tipe.
Antibodi M (bahasa Inggris: Immunoglobulin M, IgM, macroglobulin) adalah
antibodi dasar yang berada pada plasma B. Dengan rasio serum 13%, IgM
merupakan antibodi dengan ukuran paling besar, berbentuk pentameris 10 area
epitop pengikat, dan teredar segera setelah tubuh terpapar antigen sebagai respon
imunitas awal (en:primary immune response) pada rentang waktu paruh sekitar 5
hari. Bentuk monomeris dari IgM dapat ditemukan pada permukaan limfosit- B
dan reseptor sel-B. IgM adalah antibodi pertama yang tercetus pada 20 minggu
pertama masa janin kehidupan seorang manusia dan berkembang secara
fitogenetik (en:phylogenetic). Fragmen konstan IgM adalah bagian yang
menggerakkan lintasan komplemen klasik.

E. Patofisiologi
Mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun seluler tergantung pada
aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme
ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang di sebut reaksi
hipersensitivitas I. Mekanisme imun yang mendasari terjadinya alergi adalah
mekanisme tipe I klasifikasi Gell dan Comb yang di perankan oleh IgE.
Paparan awal, alergen akan di kendalikan oleh sel penyaji antige (APC ) untuk
selanjutnya mengekspresikan pada sel limfosit T secara langsung atau melalui sitokin.
Pada fase akut sel T heper ( Th2) memproduksi macam – macam sitokin seperti IL 4
dan IL 13. Sitokin ini menginduksi antibodi switching pembentukan IgE dan ekspresi
molekul adhesi endotel sehingga terjadi reaksi hipersensitifitas tipe cepat. Sel limfosit
T tersensitisasi akan merangsang sel limfosit B menghasilkan antibodi dari berbagai
kelas. Alergen yang utuh diserap oleh usus dan mencapai pembentuk antibodi di
dalam mukosa usus dan organ lifoid usus dan akan membentuk imunoglobulin tipe
IgG, IgM, IgA, da IgE. Pada anak atopi, IgE di bentuk secara berlebihan dan akan
menempel pada reseptor di sel mast, basofil, dan eosinofil yang terdapat sepanjang
saluran cerna, kulit, dan saluran nafas.
Kombinasi alergen dengan paparan alergen berikutnya adalah dua molekul IgE
yang terikat pada reseptornya akan mengalami degranulas dan mengeluarkan
mediator yang sudah ada di dalam sel yaitu histamin,eosinophil chematoctic factor of
anaphyactic (ECF- A) dan neutrophil chemotactic factor (NCF) dan mendiator yang
terbentuk kemudian, Yang terdiri dari hasil metabolisme asam arakibonat, faktor
aktivitas trombosit, serotonin, dan lain – lain. Metabolisme asam arakibonat terdiri
dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing – masing akan
mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi.

F. WOC

Terdiri dari faktor Membentuk


keluarga, faktor imunologbulin tipe
Sitokin
Th2 menginduksi
mengekspresikan
memproduksi sitokin
sel Dikendalikan
IgE di bentuk
oleh dietetik
lingkungan,faktor sel menghasilkan
IgG, IgM, IgA,dan
Merangsang sel
pembentukan
ILlimfosit IgE
– 4 danTIL – 13 penyaji
secara Alergi
antigen
berlebihan
(APC) antibodi
IgE
limfosit B
MK : hipertemi

menempel pada sel


mast, basofil dan
iosinofil

terdapat pada terdapat pada kulit saluran nafas


saluran cerna

diare, kram pembengkakan pilek encer,


abdomen lokal, gatal an sesak nafas
kemerahan
MK : MK :
MK : kerusakan
kekurangan ketidakefektifan
integritas kulit,
voluem cairan bersihan jalan
nyeri
nafas

G. Penatalaksanaan
1. Antihistamin dan obat – obatan yang menghambat degranulasi sel mast dapat
mengurangi gejala- gejala alergi
2. Kortikosteroid yang di hirup atau sistemik bekerja sebagai obat anti peradangan
dan dapat mengurangi gejala suatu alergi. Orang yang mengidap alergi perlu
menggunakan oabt – obat ini dalam rangka waktu yang cukup lama. Kortikostorid
inhalan hanya berefek di saluran napas dan tidak menimbulkan efek sistemik
3. Stabillizer sel mast inhalan mengurangi degranulasi sel mast dapat menurunkan
gejala alergi tipe I
4. Terapi desensitasi, berupa penyuntikan berulang alergen dalam jumlah yang kecil
dapat mendorong pasien tersebut memebentuk antibodi IgE terhadap alergen.
Antibodi ini dapat bekerja sebagai antibodi penghambat. Sewaktu pasien tersebut
kembali terpajan ke alergen, antibodi menghambat dapat berikatan dengan alergen
berhubungan dengan kemampuan alergen untuk berikatan dengan molekul IgE
ganda secara kovalen bersama – sama. Karena pengikatan IgE tidak menyebabkan
degranulasi sel mast yang berlebihan, maka gejala alergi dapat berkurang.
Antobodi IgE dihasilkan setiap kali berikatan dengan alergen da terkadang dapat
menghentikan respon alergi

H. Klasifikasi
Alergi dibagi menjadi 4 macam, macam I s/d IV berhubungan dengan antibodi
humoral, sedangkan macam ke IVmencakup reaksi alergi lambat oleh antibodi seluler.
1. Macam/Type I (reaksi anafilaktis dini)
Setelah kontak pertama dengan antigen/alergen, di tubuh akan dibentuk
antibodi jenis IgE (proses sensibilisasi). Pada kontak selanjutnya, akan terbentuk
kompleks antigen-antibodi. Dalam proses ini zat-zat mediator (histamin,
serotonin, brdikinin, SRS (Slow Reacting Substances of anaphylaxis) akan
dilepaskan (released) ke sirkulasi tubuh. Jaringan yang terutama bereaksi terhadap
zat-zat tersebut ialah otot-otot polos (smooth muscles) yang akan mengerut
(berkontraksi). Juga terjadi peningkatan permeabilitas (ketembusan) dari kapiler
endotelial, sehingga cairan plasma darah akan meresap keluar dari pembuluh ke
jaringan. Hal ini mengakibatkan pengentalan darah dengan efek klinisnya
hipovolemia berat. Gejala-gejala atau tanda-tanda dari reaksi dini anafilaktis ialah:
- shok anafilaktis - urtikaria, edema Quincke - kambuhnya/eksaserbasi asthma
bronchiale - rinitis vasomotorica

2. Macam/type II (reaksi imun sitotoksis)


Reaksi ini terjadi antara antibodi dari kelas IgG dan IgM dengan bagian-bagian
membran sel yang bersifat antigen, sehingga mengakibatkan terbentuknya
senyawa komplementer. Contoh: reaksi setelah transfusi darah, morbus
hemolitikus neonatorum, anemia hemolitis, leukopeni, trombopeni dan penyakit-
penyakit autoimun.

3. Macam/Type III (reaksi berlebihan oleh kompleks imun = immune complex =


precipitate)
Reaksi ini merupakan reaksi inflamasi atau peradangan lokal/setempat (Type
Arthus) setelah penyuntikan intrakutan atau subkutan ke dua dari sebuah alergen.
Proses ini berlangsung di dinding pembuluh darah. Dalam reaksi ini terbentuk
komplemen-komplemen intravasal yang mengakibatkan terjadinya kematian atau
nekrosis jaringan. Contoh: fenomena Arthus, serum sickness, lupus eritematodes,
periarteriitis nodosa, artritis rematoida.

4. Macam/Type IV (Reaksi lambat type tuberkulin)


Reaksi ini baru mulai beberapa jam atau sampai beberapa hari setelah
terjadinya kontak, dan merupakan reaksi dari t-limfosit yang telah tersensibilisasi.
Prosesnya merupakan proses inflamatoris atau peradangan seluler dengan
nekrosis jaringan dan pengubahan fibrinoid pembuluh-pembuluh yang
bersangkutan. Contoh: reaksi tuberkulin (pada tes kulit tuberkulosa), contact
eczema, contact dermatitis, penyakit autoimun (poliarthritis, colitis ulcerosa) dll.)

I. Komplikasi
1. Reaksi alergi yang hebat dapat menyebabkan anafilaksis. Hal ini di tandai oleh
penurunan tekanan darah dan penutupan jalan napas. Gatl, kram, dan diare dapat
terjadi. Tanpa intervensi reaksi yang sangat hebat dapat menyebabkan syok
kardiovaskuler, hipoksia, dan kematian
2. Dermatiti kontak alergi dapat menyebabkan infeksi sekunder akibat garukan
berlebihan

J. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan kadar IgE total di lakukan untuk menunjang diagnosis penyakit
alergi. Penelitian Farhoudi menyebutkan kadar serum IgE total lebih dari 100
IU/ml merupakan faktor resiko terjadiya penyakit alergi
2. Pemeriksaan IgE spesifik, di gunakan sejak tahun 1990an. Pemeriksaan IgE
spesifik untuk mengevaluasi anak dengan gejala alergi dapat di lakukan dengan
jenis alergen yaitu pada dermatitis atopik yang tersering adalah putih telur, susu,
tepung dan debu rumah. Kadar IgE spesifik > 10 Ku/L usia 3 tahun dapat
memprediksi kejadian asma pada usia 5 tahun terutama inhalan elergen.
Keuntungan dari pemeriksaan IgE spesifik adalah mudah di lakukan, tidak di
dapatakn risiko anafilaktik.
3. Pemeriksaan IgE RAST ( radioallergeosorbent test ) diperkenalkan oleh Wide dkk
(1967) untuk mendeteksi IgE spesifik antibodi dalam serum.Kelebihan
pemeriksaan IgE RAST walaupun mahal namun pada keadaan tertentu sangat di
perlukan misalnya pada kedaan dermatographisme pasien yang sangat senstif
terhadap bahan alergen dan pada pasien anak yang tdak kooperatif. Keuntungan
dari pemerikasaan ini adalh kuantitatif dan dapat di manfaatkan untuk memantau
imunoterapi
4. CAST
Ini adalah teknologi terbaru yang di perkenalkan oleh Immulite 2000 Allergy.
Kadar IgE di ukur dengan metode Chemiluminescence yaitu mengukur nilai dari
srikulasi alergen spesifik.

BABII
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ALERGI

A. Pengkajian

1. Identitas
Biasanya berisi nama, Jenis kelamin, tanggal masuk, no rekam medic, penanggung
jawab, dan lain – lain

2. TTV
Tekanan Darah : Biasanya Meningkat
Nadi : Biasanya takikardi
Pernapasan : Biasanya meningkat
Suhu : Biasanya Meningkat

3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya klien pernah mengalami penyakit ini sebelumya
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya klien mengatakan pembengkakan lokal, gatal, dan kemerahan kulit pada
pajanan alergen ke kulit. Diare dan kram abdomen, pada pajanan alergen saluran
cerna. Ranitis alergi yang di tandai oleh mata gataldan pilek encer pada pajanan
alergen saluran napas. Gejala sesak napas, napas berbunyi dan batuk yang di
sertai lendir, pasa pajanan asma

c. Riwayat Kesehatan Keluarga


Biasanya penyakit ini tampaknya terdapat predisposisi genetik

4. Pemeriksaan Fisik

a. Rambut dan hygiene kepala


Biasanya kulit kepala bersih, rambut tidak rontok

b. Wajah

Biasanya pada wajah klien tidak edema.

c. Mata

Biasanya mata simetris kiri dan kanan, sklera tidak ikterik dan terasa gatal pada mata

d. Hidung

Biasanya hidung terdapat sekret dan lendir.

e. Telinga

Biasanya tidak ada peradangan pada telinga.

f. Bibir

Biasanya mukosa bibir kering

g. Leher

Biasanya tidak ada pembesaran kelenjer paratiroid dan pembesaran kelenjer getah
bening.

h. Thorak

I : biasanya dada simetris kiri dan kanan


P : Biasanya vokal premitus teraba

P : Biasanya terdapat bunyi hipersonor

A : Biasanya wheezing

i. Jantung

I : Biasanya ictus cordis tidak terlihat

P : Biasanya ictus cordis teraba

P : Biasanya bunyi jantung pekak

A : Biasanya BJ I dan II teratur

j. Abdomen

I : Biasanya abdomen klien simetris kiri dan kanan, kram pada abdomen

A : Biasanya ada bising usus meningkat

P : Biasanya tidak ada pembesaran hepar

P : Biasanya tympani

k. Genita urinaria
Biasanya terdapat gangguan eliminasi dan klien biasanya tidak terpasang kateter.

l. Kulit
Biasanya klien Pembengkakan lokal, gatal, dan kemerahan kulit

m. Pola kebiasaan sehari


a. Eliminasi :
Sehat : Biasanya pola eliminasi klien lancar tidak ada kelainan
Sakit : BAB lebih 3 x dengan konsistensi encer

b. Makanan :
Sehat : Biasanya klien makan 3 kali sehari dengan porsi di habiskan
Sakit : Biasanya klien makan 3 kali sehari dengan porsi tidak di habiskan, mual
dan muntah

c. Aktifitas:
Sehat : Biasanya aktifias klien mandiri tidak di bantu oleh keluarga
Sakit : Biasanya aktifitas klien di bantu keluarga

B. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan)

3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih

4. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal


sekunder

Intervensi

NO DIAGNOSA NOC NIC


1. Ketidakefektifan Respiratory status :Ventilation Airway management
Respiratoy status : Airway
pola nafas 1. Buka jalan nafas pasien
patency
berhubungan 2. Posisikan pasien untuk
Vital sign status
dengan terpajan Kriteria hasil : memaksilamlkan ventilasi
1. mendemonstrasikan
allergen 3. identifikasi pasien
batuk efektif dan suara
perlunya pemasangan alat
nafas yang bersih,
jalan nafas buatan
tidak ada sianosis, dan
4. lakukan fisioterapi dada
dispnea
bila perlu
2. Menunjukkan jalan
5. auskultasi suara nafas,
nafas yang paten
3. Tanda – tanda vital catat adanya suara
dalam rentang normal tambahan
6. Monitor respirasi dan
status O2
Oxygen therapy
7. Bersihakan mulut, hidung
dan secret trakea
8. pertahankan jalannafas
yang paten
9. pertahankan posisi klien
10. Monitor TD, nadi, suhu
dan RR
11. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
2 Nyeri akut 1. Pain Level Pain Management
2. pain control 1. Lakukan pengkajian nyeri
berhubungan
3. Comfort level
secara komprehensif
dengan agen cedera
Kriteria Hasil : termasuk lokasi,
biologi
1. Mampu mengontol
karakteristik, durasi,
( allergen,ex:
nyeri( tahu penyebab
frekuensi, kualitas dan faktor
makanan)
nyeri, mampu
predisposisi
menggunakan teknik 2. Observasi reaksi nonverbal
nonfarmakologi untuk dari ketidaknyamanan
3. Kaji kultur yang
mengurangi nyeri)
2. Melaporkan bahwa nyeri mempengaruhi respon nyeri
4. Kontrol lingkungan yhang
berkurang dan
dapat mempengaruhi nyeri
menggunakan
seperti suhu ruangan,
manajemen nyeri.
3. Mampu mengenali nyeri kebisingan dan lain – lain
5. Kurangi faktor presipitasi
(skala,intensitas,
nyeri
frekuensi dan tanda
6. Ajarkan tentang teknik non
nyeri)
farmakologi
7. Tingkatkan istirahat
8. Kolaborasi dengan dokter

Analgesik Adminitration
1. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum
pemberian obat
2. Cek intruksi dokter tentang
jenis obat
3. Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian obat
4. Berikan anagesik tepat eaktu
terutama saat nyeri hebat

3 Kekurangan volume Fluid balance Fluid management


Hydration 1. Pertahankan catatan intake
cairan berhubungan
Nutriotional status : Food and
dan output yang akurat
dengan kehilangan
Fluid intake 2. Monitor status hidrasi
cairan berlebih 3. monitor vital sign
Kriteria Hasil : 4. Monitor masukan
1. Mempertahankan urine
makanan/cairan dan hitung
output sesuai dengan usia
intake kalori harian
dan BB, 5. Kolaborasi pemberian
2. Tekanan darah, nadi, suhu
cairan IV
tubuh dalam batas normal 6. Monitor status nutrisi
3. Tidak ada tanda – tanda 7. Dorong masukan oral
8. Monitor berat badan
dehidrasi, turgor kulit baik
9. Dorong keluarga untuk
dan membran mukosa
membantu pasien makan
lembab 10. Kolaborasi dengan dokter
4 Hipertermi Thermoregulation Fever treatment
Kriteria Hasil : 1. Monitor suhu sesering
berhubungan
1. Suhu tubuh dalam
mungkin
dengan proses
rentang normal 2. Monitor warna dan suhu
inflamasi 2. Nadi dan RR dalam
kulit
rentang normal 3. Monitor vital sign
3. Tidak ada perubahan 4. Monitor penurunan tingkat
waran kulit kesadaran
5. Kolabira Berikan antipiretik
6. Kolaborasi Berikan
pengobatan untuk
mengatasi penyebab demam
7. Selimut pasien
8. Kolaborasi dalam
pemberian IV
9. Tingkatkan sirkulasi darah
10. Berikan pengobatan untuk
mencegah terjadinya
menggigil
11. Monitor tanda – tanda
hipertemi dan hipotermi
12. Tingkatkan intake cairan
dan nutrisi
13. Ajarakan klien cara
mencegah keletihan akibat
panas
14. Diskusikan tentang
pentingnya pengaturan suhu
dan kemungkinan efek
negatif dari kedinginan
15. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
5 Kerusakan Tissue integrity : Skin and Pressure Management
1. hindari karutan dari tempat
integritas kulit Mucos membranes
Hemodyalisis akses tidur
berhubungan
2. Jaga kebersihan kulit agar
dengan infalamasi Kriteria Hasil :
tetap bersih dan kering
1. Integritas kulit yang baik
dermal,intrademal 3. Mobilisasi pasien setiap dua
bisa dipertahankan’
sekunder jam sekali
2. Perfusi jaringan baik
4. Monitor kulit akan adanya
3. Tidak ada luka/lesi pada
kemerahan
kulit
5. Oleskan body lution atau
4. Mampu melindungi kulit
minyak oil pada daerah
dan mempertahankan
yang tertekan
kelembapan kulit
6. Monitor status nutrisi klien
7. Memandikan klien dengan
sabun dan air hangat
8. Monitor tanda dan gejala
infeksi
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Alergi adalah rangsangan yang berlebihan terhadap reaksi peradangan yang telah
terjadi sebagai respon terhadap antigen lingkungan yang spesifik. Suatu anigen yang
menyebabkan di sebut alergen. Reaksi alergi dapat di perantarai antibodi atau sel T.
Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah contoh alergi yang di perantarai antibodi,
sedangkan reaksi hipersensitivitas tipe IV adalah alergi yang di perantarai sel T.
Klasifikasi : Macam/Type I (reaksi anafilaktis dini), Macam/type II (reaksi imun
sitotoksis) Macam/Type III (reaksi berlebihan oleh kompleks imun = immune
complex = precipitate) Macam/Type IV (Reaksi lambat type tuberkulin)
Komplikasi : Reaksi alergi yang hebat dapat menyebabkan anafilaksis. Hal ini di
tandai oleh penurunan tekanan darah dan penutupan jalan napas. Gatl, kram, dan diare
dapat terjadi. Tanpa intervensi reaksi yang sangat hebat dapat menyebabkan syok
kardiovaskuler, hipoksia, dan kematian dan Dermatiti kontak alergi dapat
menyebabkan infeksi sekunder akibat garukan berlebihan

B. Saran
Penulis berharap kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran demi
perbaikan makalah kami, lebih kurang kami mohon maaf jika ada kekurangan dari
makalah kami

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC..

Elizabeth J, Carwin. 2009. Buku Saku Fisiologi Patologis. Jakarta : EGC

Anne G. potter , Perry . 2009. Fundamental Keperawatan . 3 jil., 752 hlm.,.Buku 1 :Edisi 7,
Jakarta ; Salemba Medika

Huda, Amin. 2013. Aplikasi asuhan keparawatan berdasarkan diagnosa medis & NANDA
NIC – NOC. Jakarta : Media action
“ALERGI”

Mata Kuliah : Keperawatan Medikal Bedah III

Dosen : Ns. Rizka Ausrianti, S.Kep

Disusun Oleh :

Kelompok I
Hayatunnupus Haqiqi 13111798
Putri Aulia Indah
Ofiq Syahputra
Dodi

IIA

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN


STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
2015

Vous aimerez peut-être aussi