Vous êtes sur la page 1sur 26

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK

PERCOBAAN IV
KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
Isolasi Kurkumin dari Kunyit ( Curcuma longa L)

Disusun oleh :

Nama : Dini Wahidah


NPM : 10060316211
Shift/ Kelompok : G/5
Tanggal Praktikum : 03 Mei 2018
Tanggal Pengumpulan : 09 Mei 2018
Nama Asisten : Yufli Yusran, S. Farm.

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT A


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2018 M/ 1439 H
PERCOBAAN II
“ KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS”
Isolasi Kurkumin dari Kunyit (Curcuma Longa L)

I. Tujuan Percobaan
1. Isolasi senyawa kurkumin dari rimpang kunyit dengan metode refluks.
2. Mengidentifikasi kurkumin dari hasil isolasi dengan metode kromatografi
lapis tipis.
3. Pemurnian senyawa kurkumin dengan metode kromatografi lapis tipis
preparatif dan kromatografi kolom.

II. Prinsip Percobaan


1. Ekstrasi dengan metode refluks merupakan cara pemisahan senyawa yang
terdapat pada zat padat yang dilarutkan pada suatu pelarut tertentu dengan
cara pemanasan.
2. Kromatografi lapis tipis adalah pemisahan berdasarkan perbedaan
kepolaran dan kecepatan migrasi.
3. Kromatografi lapis tipis preparatif merupakan pemisahan berdasarkan
perbedaan daya serap dan daya partisi serta kelarutan dari komponen-
komponen kimia.

III Teori Dasar


3.1 Kunyit

Gambar 3.1. Rimpang kunyit kering


3.1.1 Pengertian Senyawa Kurkumin

Kurkumin merupakan senyawa kurkuminoid yang merupakan pigmen


warna kuning pada rimpang temulawak dan kunyit. Senyawa ini termasuk golongan
fenolik. Kurkuminoid yang sudah diisolasi bewarna kuning atau kuning jingga, dan
berasa pahit. Kurkuminoid mempunyai aroma yang khas dan tidak bersifat toksik.
Kurkumin adalah senyawa polifenol dengan rumus senyawa C21H20O6. Kurkumin
memiliki titik lebur 183 ˚C tidak larut dalam air dan eter. Larut dalam etil asetat,
etanol, metanol, benzena, asam asetat glasial, aseton, dan alkali hidroksida.
Kurkumin stabil pada suasana asam, tidak stabil pada kondisi basa dan adanya
cahaya. Pada kondisi basa dengan pH di atas 7,45, 90% kurkumin terdegradasi
membentuk produk samping berupa trans-6-(4ˈ-hidroksi-3ˈ-metoksifenil)-2,4-
diokso-5-heksenal (mayoritas), vanilin, asam ferulat dan feruloil metan. Sementara
dengan adanya cahaya, kurkumin terdegradasi menjadi vanilin, asam vanilat,
aldehid ferulat, asam ferulat dan 4-vinilguaiakol (Brat dkk, 2008).
Struktur kimia kurkuminoid yang terdiri atas kurkumin, demetoksikurkumin
dan bis-demetoksikurkumin.

Gambar 3.2. Struktur kimia kurkumin, demetoksikurkumin dan bis-demetoksikurkumin


Jika dilihat dari struktur kurkumin dan turunannya, kurkumin yang memiliki
struktur simetris merupakan senyawa nonpolar. Sedangkan turunannya yaitu
desmetoksi kurkumin yang merupakan senyawa polar dan bidesmetoksi kurkumin
yang merupakan senyawa semipolar. Kurkumin dapat ditemukan pada dua bentuk
tautomer, yaitu bentuk keto dan bentuk enol. Struktur keto lebih stabil atau lebih
banyak ditemukan pada fasa padat, sedangkan struktur enol lebih dominan pada
fasa cair atau larutan (Fachry,A.R., Fenilla B,. Farhan M., 2014).

Gambar 3.3. Bentuk taumer kurkumin


3.1.2 Klasifikasi
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas: Commelinidae
Ordo: Zingiberales
Famili: Zingiberaceae (suku jahe-jahean)
Genus: Curcuma
Spesies: Curcuma longa L.

3.1.3 Kandungan Kunyit

Kandungan kunyit berupa zat kurkumin 10 %, Demetoksikurkumin 1-5 %,


Bisdemetoksikurkumin, sisanya minyak atsiri atau volatil oil (keton sesquiterpen,
turmeron, tumeon 60%, zingiberen 25%, felandren, sabinen, borneol dan sineil),
lemak 1-3%, karbohidrat 3%, protein 30%, pati 8%, vitamin C 45-55%, dan garam-
garam mineral (zat besi, fosfor, dan kalsium) (Sharma R.A, A.J. Gescher, W.P.
Steward, 2005:41).

3.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun bahan
cair dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak
substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi merupakan
proses pemisahan suatu bahan dari campurannya, ekstraksi dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Ekstraksi menggunakan pelarut didasarkan pada kelarutan
komponen terhadap komponen lain dalam campuran (Suyitno, 1989).

3.2.1 Ekstraksi Berdasarkan Bentuk


a. Ekstraksi Padat Cair
Pada ektraksi padat-cair, zat yang diekstraksi terdapat di dalam campuran
yang berbentuk padatan. Ekstraksi padat-cair dilakukan dengan melarutkan terlebih
dahulu zat yang akan diekstraksi. Ukuran zat padat yang mengandung bahan
organik dan kontak dengan pelarut sangatlah penting. Karena itulah peralatan
soxhlet sering dipakai dalam ekstraksi jenis ini. Jenis ekstraksi padat-cair yaitu:

1. Maserasi
2. Perkolasi
3. Refluks
4. Ekstraksi Sinambung (Soxhlet) (Stahl,1985).
b. Ekstraksi Cair Cair
Pada ekstraksi cair- cair, zat yang diekstraksi terdapat dalam campuran yang
berbentuk cairan. ECC pada dasarnya adalah pemisahan senyawa berdasarkan atas
sifat ketertarikannya pada suatu fasa tertentu (fasa air ataupun fasa organik)
berdasarkan prinsip like dissolve like. Syarat pelarut pada ECC yaitu: tidak
bercampur dengan pelarut dalam campurannya, memiliki tingkat volatilitas tinggi,
dan inert (Stahl,1985).
Teknik ekstraksi cair-cair dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:
1. Bertahap
Ekstraksi bertahap merupakan metode ekstraksi yang paling sederhana.
Pelaksanaan ekstraksi dilakukan dengan menggunakan alat corong pemisah. Zat
yang akan diekstrak dilarutkan dalam air kemudian dimasukkan dalam corong
pemisah. Pelarut pengekstrak (biasanya pelarut organik) ditambahkan kepada
larutan air agar zat terlarut dapat diekstrak ke dalam cairan pengekstrak. Campuran
dalam corong pemisah tersebut harus dikocok berulang kali, dan setelah didiamkan
beberapa saat terbentuk dua lapisan (Stahl,1985).

Gambar 3.4. Corong pisah

2. Ekstraksi Kontinyu (Ekstraksi sampai habis-ekstraksi serba terus)


Teknik ekstraksi kontinyu ini khususnya bagi zat dengan harga D sangat
kecil (< 1). Bila keadaan ini terjadi, maka ekstraksi bertahap dengan corong
pemisah menjadi kurang praktis, karena harus dilakukan ratusan kali (Stahl, 1985).

Gambar 3.5. Alat ekstraksi kontinyu


Pada prinsipnya di dalam alat ekstraksi kontinyu terjadi aliran kontinyu
(terus-menerus) dari pelarut melalui suatu larutan zat yang tidak di ekstrak
(Stahl,1985)

3. Counter Current Craig Extraction (Ekstraksi dengan arah berlawanan


menurut Craig)

Gambar 3.6. Sel kaca yang khas untuk peralatan Craig


3.2.2 Berdasarkan Waktu Kontak
a. Ekstraksi Bertahap
– Maserasi
– Refluks
– ECC (corong Pisah)
b. Ekstraksi Sinambung
– ECC (Craig)
– Sinambung dengan Alat Soxhlet (Stahl,1985).
3.2.3 Berdasarkan Energi yang Digunakan
 Cara Panas
1. Refluks

Gambar 3.7. Alat refluks


Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya
selama waktu tertentu dan dalam jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Kekurangan metode refluks yaitu: waktu reaksi
bisa 7-72 jam bergantung reaksi, suhu yang bisa berubah, sehingga waktu tidak
efektif, dan diperlukan pelarut yang cukup banyak kelebihan. Kelebihannya antara
lain: kondisi reaksi terkontrol dengan baik, rendemen bisa cukup banyak, reaksi
berlangsung bisa bertahap, dan dalam sintesis polimer, produk yang dihasilkan
memiliki masa molekul yang tidak kecil (Depkes RI, 2000).
2. Sinambung (soxhlet)
Soxhletasi adalah proses untuk menghasilkan ekstrak cair yang dilanjutkan
dengan proses penguapan. Pada cara ini pelarut dan simplisia ditempatkan secara
terpisah. Sokhletasi digunakan untuk simplisia dengan khasiat yang relatif stabil
dan tahan terhadap pemanasan. Prinsip kerja soxhlet adalah penyarian secara terus-
menerus sehingga penyarian lebih sempurna dengan memakai pelarut yang relatif
sedikit. Jika penyarian telah selesai maka pelarutnya diuapkan dan sisanya adalah
zat yang tersari. Biasanya pelarut yang digunakan adalah pelarut yang mudah
menguap atau mempunyai titik didih yang rendah (Depkes RI, 2000).
3. Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang
lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu pada 40-50°C (Depkes RI, 2000).
4. Dekokta
Rebusan (dekokta) merupakan simplisia halus yang dicampur dengan air
bersuhu kamar atau dengan air bersuhu > 90ºC sambil diaduk berulang-ulang dalam
pemanas air selama 30 menit (Voigt, 1994).
5. Infusa
Infus adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur penangas
air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 90°C
selama 15 menit (Depkes RI, 2000).
 Cara Dingin
Metoda ini untuk mengambil senyawa yang termolabil, mengekstraksi yang
belum diketahui. Metode ini tidak ada proses pemanasan selama proses ekstraksi
berlangsung, tujuannya untuk menghindari rusaknya senyawa yang dimaksud rusak
karena pemanasanan. Jenis ekstraksi dingin adalah maserasi dan perkolasi (Syukri,
2017).
1. Maserasi
Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia
dalam cairan penyari yang sesuai selama tiga hari pada temperatur kamar terlindung
dari cahaya, cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel
akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan
di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh
cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut
berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di
dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian cairan
penyari setiap hari. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan
(Syukri, 2007).
2. Perlokasi
Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara serbuk simplisia dimaserasi
selama 3 jam, kemudian simplisia dipindahkan ke dalam bejana silinder yang
bagian bawahnya diberi sekat berpori, cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah
melalui simplisia tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel
simplisia yang dilalui sampai keadan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh
karena gravitasi, kohesi, dan berat cairan di atas dikurangi gaya kapiler yang
menahan gerakan ke bawah. Perkolat yang diperoleh dikumpulkan, lalu dipekatkan
(Syukri, 2007).

3.3 Jenis- Jenis Kromatografi

3.3.1 Kromatografi Lapis Tipis

KLT merupakan jenis kromatografi bidang planar (datar). Fase diam berupa
padatan, sedangkan fase gerak berupa cairan. Prinsip mekanisme kerjanya adalah
adsorpsi (penjerapan). Tehnik pengerjaannya adalah dengan menotolkan sampel
pada bidang datar, kemudian sampel tersebut dielusi oleh fase gerak berupa larutan.
Senyawa yang memiliki afinitas tinggi terhadap fase diam akan tertahan pada fase
diam, namun senyawa yang afinitasnya rendah akan terbawa oleh fase gerak. Hal
tersebut akan menghasilkan spot terpisah berupa pigmen (Brown, 1998).
 Keuntungan KLT:
a. Waktu relatif singkat.
b. Menggunakan inestasi yang kecil.
c. Paling cocok untuk analisis bahan alam dan obat.
d. Jumlah cuplikan yang dengan sedikit.
e. Kebutuhaan ruang minimum.
f. Penanganan sederhana.
g. Zat yang bersifat asam/basa kuat dapat dipisahkan dengan KLT.
(Brown, 1998).
 Kelemahan KLT:
a. Hanya merupakan langkah awal untuk menentukan pelarut yang cocok
dengan pada kromatografi kolom.
b. Noda yang terbetuk belum tentu senyawa murni.
(Brown, 1998).
3.3.2 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
Kromatografi lapis tipis preparatif merupakan proses isolasi yang terjadi
berdasarkan perbedaan daya serap dan daya partisi serta kelarutan dari komponen-
komponen kimia yang akan bergerak mengikuti kepolaran eluen oleh karena daya
serap adsorben terhadap komponen kimia tidak sama, maka komponen bergerak
dengan kecepatan yang berbeda sehingga hal inilah yang menyebabkan pemisahan.
Tujuan dari kromatografi preparatif adalah memisahkan komponen campuran
untuk digunakan lebih lanjut (proses pemurnian ulang). Oleh karena itu,
kromatografi preparatif digunakan untuk memurnikan jumlah yang cukup dari
bahan untuk digunakan lebih lanjut, bukan analisis (Kristanti, 2008).
Biaya yang digunakan murah dan memakai peralatan paling dasar.
Kekurangan dari penggunaan KLT preparatif antara lain: adanya kemungkinan
senyawa yang diambil dari plat adalah senyawa beracun, waktu yang diperlukan
dalam proses pemisahan cukup panjang, adanya pencemar setelah proses ekstraksi
senyawa dari adsorben dan biasanya rendemen yang diperoleh berkurang dari 40%-
50% dari bahan awal (Kristanti, 2008).

3.3.3 Kromatografi Kolom


Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan kolom
sebagai alat untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran. Prinsip
dari kromatografi kolom adalah adsorpsi dan partisi. Adsorpsi adalah mekanisme
berupa komponen sample secara selektif diadsorpsi oleh permukaan fasa diam.
Partisi adalah mekanisme berupa komponen sample secara selektif terpartisi antara
eluen dan lap. Cair tipis yang terikat pada padatan pendukung inert (Brown, 1998).

A. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok:


1. Kolom analitik : garis tengah dalam 2 – 6 nm. Panjang bergantung pada
jenis kemasan, untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50 – 100 cm.
Untuk kemasan mikropartikel berpori, biasanya 10 – 30 cm.

2. Kolom preparatif : umumnya bergaris tengah 6 mm atau lebih besar dan


panjang kolom 25 – 100 cm (Brown, 1998).

B. Pembagian fase dalam kromatografi kolom:


1. Fasa diam
Fasa diam yang digunakan dalam kromatografi kolom adalah suatu
adsorben padat. Biasanya berupa silika gel atau alumina, dan bubuk
selulosa. Fasa diam berbentuk serbuk microporus untuk meningkatkan luas
permukaan (Brown, 1998).
2. Fasa gerak
Fasa gerak atau eluen adalah campuran cairan murni. Eluen dipilih
sedemikian rupa sehingga faktor retensi senyawa berkisar antara 0,2-0,3
supaya meminimalisir penggunaan waktu dan jumlah eluen melewati kolom
(Brown, 1998).
C. Metode kromatografi kolom:
1. Metode kering
Pada metode kering kolom diisi dengan fasa diam kering, diikuti dengan
penambahan fasa gerak yang disiramkan pada kolom sampai benar-benar
basah (Brown, 1998).
2. Metode basah
Pada metode basah bubur (slurry) disiapkan dengan mencampurkan eluen
pada serbuk fasa diam dan dimasukkan secara hati-hati pada kolom. Dalam
langkah ini harus benar-benar hati-hati supaya tidak ada gelembung udara.
Larutan senyawa organik dipipet di bagian atas fasa diam, kemudian eluen
dituangkan pelan-pelan melewati kolom (Brown, 1998).

Gambar 3.8. Kolom kromatografi

3.3.4 Kromatografi Kertas (Paper Chrom)

KKt sama seperti KLT merupakan jenis kromatografi planar. Perbedaan


dengan KLT, pada KKt mekanismenya adalah partisi, yaitu terjadinya proses
distribusi antara dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Kertas kromatografi tidak
berperan sebagai fase diam, melainkan hanya sebagai penyangga (Brown, 1998).
Gambar 3.9. Kertas kromatografi

Kertas terdiri selulosa murni. Adapun fase diam pada KKt adalah air yang
terjerap pada selulosa tersebut. Kertas terlebih dahulu diimpregnasi dengan air, atau
dapat pula dengan senyawa lipofil. Prosedur analisis KKt sama hampir sama
dengan KLT (Brown, 1998).

3.4 Adsorben

Adsorben merupakan bahan yang sangat berpori dan adsorpsi


berlangsung terutama pada dinding-dinding pori atau pada letak-letak tertentu di
dalam partikelnya. Karena pori-porinya biasa kecil maka luas permukaan dalam
mencapai beberapa orde besaran lebih besar dari permukaan luar dan bisa sampai
2000 m2/gr. Dalam kebanyakan hal komponen yang diadsorpsi melekat
sedemikian kuat sehingga memungkinkan pemisahan komponen itu secara
menyeluruh dari fluida tanpa terlalu banyak adsorpsi terhadap komponen lain
sehingga memungkinkan adsorbat yang dihasilkan dalam bentuk terkonsentrasi
atau hampir murni (Tandy,E., 2012).

3.4.1 Jenis- Jenis Adsorben

3.4.1.1 Adsorben Tidak Berpori

Adsorben tidak berpori dapat diperoleh dengan cara presipitasi deposit


kristalin seperti BaSO4 atau penghalusan padatan kristal. Luas permukaan
spesifiknya kecil tidak lebih dari 10 m2 /g dan umumnya antara 0,1 s/d 1 m2/g.
Adsorben yang tidak berpori seperti filter karet (rubber filters) dan karbon hitam
bergrafit (graphitized Carbon Black) adalah jenis adsorben tidak berpori yang telah
mengalami perlakuan khusus sehingga luas permukaannya dapat mencapai ratusan
m2/g (Tandy,E., 2012).

3.4.1.2 Adsorben Berpori

Luas permukaan spesifik dsorben berpori berkisar antara 100 s/d 1000 m2/g.
Biasanya digunakan sebagai penyangga katalis, dehidrator, dan penyeleksi
komponen. Adsorben ini umumnya benbentuk granular.

Beberapa jenis adsorben berpori yang telah digunakan secara komersial


antara lain:

a. Silika Gel

Silika gel cenderung mengikat adsorbat dengan energi yang relatif lebih
kecil dan membutuhkan temperatur yang rendah untuk proses desorpsinya,
dibandingkan jika menggunakan adsorben lain seperti karbon atau zeolit.
Kemampuan desorpsi silika gel meningkat dengan meningkatnya temperatur.
Silika gel terbuat dari silika dengan ikatan kimia mengandung air kurang lebih 5%.
Pada umumnya temperatur kerja silika gel sampai pada 200 °C, jika dioperasikan
lebih dari batas temperatur kerjanya maka kandungan air dalam silika gel akan
hilang dan menyebabkan kemampuan adsorpsinya hilang (Tandy,E., 2012).

Gambar 3.10. Silika Gel

b. Aktif karbon

Aktif karbon dapat dibuat dari batu bara, kayu, dan tempurung kelapa
melalui proses pyrolizing dan carburizing pada temperatur 700 sampai 800 °C.
Hampir semua adsorbat dapat diserap oleh karbon aktif kecuali air. Aktif karbon
dapat ditemukan dalam bentuk bubuk dan granular. Pada umumnya karbon aktif
dapat mengadsorpsi metanol atau amonia sampai dengan 30%, bahkan karbon
aktif super dapat mengadsorpsi sampai dua kalinya (Tandy,E., 2012).

Gambar 3.11. Karbon Aktif


c. Zeolit
Zeolit mengandung kristal zeolit yaitu mineral aluminosilicate yang
disebut sebagai penyaring molekul. Mineral aluminosilicate ini terbentuk secara
alami. Zeolit buatan dibuat dan dikembangkan untuk tujuan khusus, diantaranya
4A, 5A, 10X, dan 13X yang memiliki volume rongga antara 0.05 sampai 0.30
cm3/gram dan dapat dipanaskan sampai 500 °C tanpa harus kehilangan mampu
adsorpsi dan regenerasinya. Zeolit 4A (NaA) digunakan untuk mengeringkan dan
memisahkan campuran hydrocarbon. Zeolit 5A (CaA) digunakan untuk
memisahakan paraffins dan beberapa Cyclic hydrocarbon. Zeolit 10X (CaX) dan
13X (NaX) memiliki diameter pori yang lebih besar sehingga dapat mengadsorpsi
adsorbat pada umumnya (Tandy,E., 2012).

IV. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah batang pengaduk, chamber,
gelas kimia, kertas saring, erlenmeyer, klem dan statip, kolom kromatografi, neraca
analitik, pipet tetes, alat refluks, lampu UV, spatula, penggaris, pensil, pipa kapiler
dan rotary evaporator.

Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah diklorometana: metanol


(9:1), kapas, n- heksan, rimpang kunyit kering, silika gel, dan plat KLT.
V. Prosedur Percobaan

40 g rimpang kunyit dikering dalam 50 mL diklorometana direfluks selama


1 jam.

Gambar 5.1. Alat refluks

Campuran kemudian segera disaring dengan saringan vakum hingga


diperoleh larutan kuning.

Gambar 5.2. Penyaringan dengan corong Buchner

Dilarutan lalu dipekatkan dengan metode evaporasi menggunakan


evaporator.

Gambar 5.3. Rotary evaporator


Residu kuning kemerahan yang diperoleh kemudian dicampurkan dengan
20 mL n-heksana dan diaduk secara merata. Campuran kemudian disaring lagi
dengan penyaring vakum. Padatan yang dihasilkan selanjutnya dianalisis dengan
Kromatografi lapis tipis (TLC) menggunakan eluen CH2Cl2 : MeOH = 9:1.

Kromatografi kolom menggunakan kolom kromatografi dibuat


menggunakan 15 g silika gel dan eluen CH2Cl2 : MeOH = (9 : 1). Dimasukkan
kapas ke dalam kolom kromatografi, kemudian dibasahi dengan eluen, lalu
dimasukkan bubur silika.

Setelah itu, 0,3 g diekstrak kasar yang diperoleh dilarutkan dengan sesedikit
mungkin pelarut CH2Cl2 : MeOH = 9:1 dan kemudian diteteskan secara perlahan
pada bagian atas kolom (jangan merusak permukaan kolom).

Elusi dilakukan dengan menampung fraksi masing-masing 5 cm pada 12


tabung. Dimonitoring dilakukan dengan menggunakan KLT. Digabungan fraksi
yang mengandung komponen pertama ini kemudian dikeringkan. Diuji spektrum
UV dari senyawa murni yang berhasil diisolasi.

Proses pemisahan dilakukan pula dengan menggunakan KLT preparatif.


Diekstrak kasar (0,1 g) dilarutkan dengan sesedikit mungkin pelarut CH2Cl2 :
MeOH = 9:1, kemudian ditotolkan pada batas awal pelat KLT preparatif dengan
menggunakan pipa kapiler yang diameternya lebih besar dari pada pipa kapiler
untuk titik leleh. Penotolan dijarak sesempit mungkin karena pemisahan tergantung
pada lebar pita. Setelah noda kering, dilakukan elusi dengan eluen CH2Cl2 : MeOH
= 9 : 1).

VI. Hasil Pengamatan dan Perhitungan

6.1 Hasil Pengamatan

 Hasil refluks 40 gram rumpang kunyit dalam 200 mL diklorometana

direfluks menghasilkan padatan dan berwarna kuning kemerahan.

 Hasil refluks di saringan dengan vakum menghasilkan kurkumin

kuning kemerahan dan ditambahkan n-heksana menghasilkan

kurkumin memadat atau mengkristal.

 Hasil analisis dengan kromatografi kolom

Gambar 6.1. Fraksi yang ditampung pada tabung reaksi

Gambar 6.2. Fraksi yang ditampung pada tabung reaksi


 Hasil analisis dengan kromatografi lapis tipis preparatif

Gambar 6.3. Hasil elusi KLT preparatif

6.2 Perhitungan

A. Isolasi Kurkumin dari Rimpang Kunyit

Bobot awal sampel = 40 gram

Bobot perkamen = 0,52 gram

Bobot kertas saring+ sampel = 1,66 gram

(𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔+𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙)−𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔


Rendemen = x100%
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑎𝑤𝑎𝑙

1,66𝑔−0,52 𝑔
= x100%
40 𝑔

1,14
= x 100%
40

= 2,85%

KLT sampel awal:

Jarak eluen = 4,1 cm

Jarak spot 1 = 3,5 cm

Jarak spot 2 = 3,5 cm


4,1𝑐𝑚
Rf = 3,5 𝑐𝑚= 0,85
B. Kromatografi Kolom

Eluen= CH2Cl2: MeOH (9:1) dalam 200 mL


9
CH2Cl2 =10x 200mL = 180 mL

1
MeOH = 10x 200 mL= 20 mL

C. Analisis dengan Kromatografi Lapis Tipis

Tabung ke-1 = -

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑛𝑜𝑑𝑎 4,6


Tabung ke-2 = Rf =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡= 4,7= 0,9787

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑛𝑜𝑑𝑎 4,5


Tabung ke-3 =Rf =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡= = 0,9574
4,7

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑛𝑜𝑑𝑎 0,3


Tabung ke-4 = Rf =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡= = 0,0638
4,7

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑛𝑜𝑑𝑎 4,6


Tabung ke-5 =Rf =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡 = 4,7= 0,9787

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑛𝑜𝑑𝑎 4,6


Tabung ke-6 = Rf =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡 = 4,7= 0,9787

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑛𝑜𝑑𝑎 4,6


Tabung ke-7 = Rf =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡 = 4,7= 0,9787

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑛𝑜𝑑𝑎 4,6


Tabung ke-8 = Rf =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡= 4,7= 0,9787

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑛𝑜𝑑𝑎 4,7


Tabung ke-9 = Rf =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡= 4,8= 0,9792

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑛𝑜𝑑𝑎 4,7


Tabung ke-10 = Rf =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡= 4,8= 0,9792

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑛𝑜𝑑𝑎 4,6


Tabung ke-11 = Rf =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡= 4,8= 0,9583

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑛𝑜𝑑𝑎 4,2


Tabung ke-12 = Rf =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡= 4,8= 0,875
VII. Pembahasan

Pada percobaan ini dilakukan isolasi kurkumin dari rimpang kunyit. Proses
isolasi ini meliputi pengerjaan yaitu dengan kromatografi kolom, kromatografi
lapis tipis, dan KLT preparatif. Prinsip pemisahan dari metode kromatografi adalah
memisahkan campuran senyawa atas komponen-komponennya berdasarkan
perbedaan kecepatan migrasi masing-masing pada dua fase, yakni fase diam dan
fase gerak.
Metode kromatografi kolom bertujuan untuk memisahkan kurkumin murni
beserta eluennya dan KLT bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan kurkumin
dalam fraksi. Pada KLT, fasa diam yang digunakan adalah pelat tipis, dan pada
kromatografi kolom digunakan silika gel sebagai fasa diam. Fasa gerak yang
digunakan pada keduanya adalah pelarut organik. Semakin besar polaritas suatu zat,
semakin sulit ia terbawa pelarut karena ikatannya yang kuat dengan fasa diam.
Kebalikannya, semakin nonpolar suatu zat, semakin mudah ia terbawa pelarut.
Berdasarkan definisi prinsip kromatografi tersebut, kromatografi kolom sama
dengan KLT, dimana senyawa-senyawa dalam campuran terpisahkan karena
adsorbsi suatu padatan penyerap sebagai fasa diam dan eluennya sebagai fasa gerak.
Perbedaan kecepatan migrasi tiap komponen dapat disebabkan oleh kemampuan
masing-masing komponen untuk teradsorpsi atau perbedaan distribusi diantara dua
fase yang tak saling campur.
Pada percobaan ini sebelum dilakukan isolasi terlebih dahulu dilakukan
proses preparasi sampel. 40 g rimpang kunyit kering dilarutkan 200 mL
diklorometana direfluks selama 3 jam. Keuntungan dengan menggunakan refluks
adalah tidak banyak zat murni yang hilang dalam proses refluks, karena refluks
sangat baik untuk menguapkan zat pengotor. Selain itu, refluks cepat dibantu oleh
pemanasan, hemat, dapat digunakan untuk sampel yang keras dan tahan panas.
Digunakan diklorometana, tujuannya agar kurkumin dari kunyit dapat larut dengan
diklorometana. Dimana diklorometana bersifat nonpolar dan kurkumin juga
bersifat nonpolar. Sehingga, kurkumin yang terdapat dalam kunyit dapat larut
dengan diklorometana. Kemudian disaring memisahkan seluruh cairan dari
campuran sehingga hanya akan tersisa padatan. Setelah itu filtrat yang diperoleh
dipekatkan dengan cara evaporasi. Dilakukan evaporasi karena memiki sistem
vakum, tekanan tinggi, sehingga suatu larutan akan menguap sebelum mencapai
titik didih. Berdasarkan percobaan isolasi kurkumin dari 40 g rimpang kunyit
dengan refluks didalam diklorometana 200 mL diperoleh rendemen sebesar 2,85%
menunjukkan kurkumin belum murni, hal ini disebabkan karena masih terdapat zat
pengotor. Menurut literatur senyawa kurkumin biasanya terdapat sekitar 1,5-2,0 %
dari berat rimpang kunyit kering. Pada KLT sampel awal diperoleh Rf 0,85, sesuai
dengan literatur dimana nilai Rf yang seharusnya didapat berada pada 0,2- 0,8.
Setelah ekstrak dievaporasi kemudian dilanjutkan proses pemisahan dengan
menggunakan metode kromatografi kolom. Mekanisme yang terjadi pada
kromatografi kolom ialah sampel akan terelusi oleh eluen melalui fase diam silika
gel. Senyawa organik terelusi oleh eluen proses elusi terjadi karena keseimbangan
distribusi zat analit pada fase gerak eluen dan fase diam selika gel. Elusi terus
berlangsung hingga tidak ada lagi yang tinggal dalam kolom. Proses elusi ini
menghasilkan eluat yang diharapkan mengandung banyak kurkumin. Pada metode
ini, kolom diisikan dengan adsorben yang berupa padatan dalam hal ini adalah silika
gel yang sebelumnya telah dilarutkan dengan eluen. Eluennya sendiri merupakan
campuran antara diklorometan dengan metanol pada perbandingan 9:1 yang
dicampurkan hingga membentuk bubur silika. Bubur silika dimasukkan dengan
hati-hati kedalam kolom kromatografi yang telah diisikan eluen yang sebelumnya
telah disumbat dengan kapas yang berfungsi sebagai penahan adsorben agar tidak
keluar bersama eluen. Idealnya menggunakan glass wool untuk menyumbat
kemudian diatasnya menggunakan white sand (serbuk halus putih). Pengisian
kolom dikerjakan secara seragam dan sepadat mungkin untuk menghindari
terjadinya gelembung-gelembung udara. Karena. jika terdapat gelembung-
gelembung udara dalam kolom maka berpotensi menyebabkan pecahnya kolom.
Hal lain yang dapat dilakukan agar tidak terjadi pemecahan kolom adalah dengan
menambahkan eluen secara kontinu agar udara tidak masuk kedalam kolom. Kolom
yang padat diindikasikan dengan warna slurry yang semakin memutih dan
kecepatan alir eluen yang semakin lambat. Jika kolom sudah memadat, larutan
sampel kemudian diisikan kedalam kolom. Kemudian, dilakukan elusi dengan
menampung fraksi masing-masing 5 cm pada 12 tabung. Eluen akan mengelusi
sampel kunyit dan membawa senyawa bersamanya menuju wadah eluat (keluar dari
kolom), fasa diam (silika gel) memiliki daya adsorbsi yang cukup besar, sehingga
ketika eluen yang membawa sampel melewati fasa diam akan terbentuk fraksi-
fraksi warna yang berbeda. Fraksi warna yang berbeda ini menunjukkan perbedaan
senyawa atau zat aktif yang dipisahkan dari setiap fraksi. Semakin pekat warna
fraksi, maka semakin banyak senyawa atau zat aktif yang terpisahkan dalam fraksi
tersebut. Dari fraksi yang dihasilkan pada kromatografi kolom selanjutnya
dilakukan kromatografi lapis tipis, namun sebelumnya fraksi yang diperoleh dari
kromatografi kolom dipekatkan terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk
menghilangkan pelarut yang masih terkandung dalam fraksi tersebut.
Kromatografi lapis tipis dilakukan dengan cara menotolkan fraksi tersebut
pada plat KLT, dan selanjutnya dielusi dengan eluen yang sudah di jenuhkan. Eluen
digunakan adalah diklorometana dan MeOH. Ketika eluen mulai membasahi
lempengan plat KLT, pelarut pertama akan melarutkan senyawa-senyawa dalam
bercak yang telah ditempatkan pada garis dasar. Senyawa-senyawa akan cenderung
bergerak pada lempengan kromatografi sebagaimana halnya pergerakan pelarut.
Cepatnya senyawa-senyawa dibawa bergerak ke atas pada lempengan, tergantung
pada kelarutan senyawa dalam pelarut. Hal ini bergantung pada bagaimana besar
atraksi antara molekul-molekul senyawa dengan pelarut. Kurkumin merupakan
senyawa yang terkandung dalam ekstrak kunyit yang dapat membentuk ikatan
kimia karakteristik dengan silikon dioksida. Senyawa ini dapat membentuk ikatan
hidrogen maupun ikatan van der walls yang lemah. Senyawa yang dapat
membentuk ikatan hidrogen ini akan melekat pada plat lebih kuat dibanding
senyawa lainnya dapat dikatakan bahwa senyawa kurkumin ini terjerap lebih kuat
dari senyawa yang lainnya. Penjerapan merupakan pembentukan suatu ikatan dari
satu substansi pada permukaan. Ketika kurkumin dijerap pada plat untuk sementara
waktu proses penjerapan berhenti dimana pelarut bergerak tanpa senyawa. Ini
berarti bahwa semakin kuat senyawa dijerap, semakin kurang jarak yang ditempuh
ke atas lempengan.
Dari hasil percobaan fraksi dari tabung reaksi dilakukan analisis KLT, pada
fraksi dari tabung no.1 tidak terlihat spot noda, fraksi dari tabung reaksi no. 2 (Rf
0,9787), no. 3 (Rf 0,9574), no. 5(Rf 0,9787), no. 6 (Rf 0,9787), no. 7 (Rf 0,9787),
no. 8 (Rf 0,9787), no. 9 (Rf 0,9792), no. 10 (Rf 0,9787), no. 11(Rf 0,9787). Spot
noda yang memiliki Rf terendah pada fraksi dari tabung reaksi no.4 yaitu 0,0638.
Kemudian pada fraksi tabung reaksi no. 12 diperoleh nilai Rf 0,8125. Menurut
literatur nilai Rf yang seharusnya berada pada 0,2- 0,8. Berdasarkan hasil percobaan
fraksi dari tabung reaksi no. 12 sesuai dengan literatur.
Kemudian dilakukan analisis dengan KLT preparatif. Tujuan dari
kromatografi preparatif adalah memisahkan komponen campuran untuk digunakan
lebih lanjut (proses pemurnian ulang). Pada percobaan analisis KLT preparatif
ditotolkan ekstrak yang telah dilarutkan pada eluen CH2Cl2:MeOH pada batas awal
pelat KLT preparatif dengan menggunakan pipa kapiler yang diameternya lebih
besar dari pada pipa kapiler untuk titik leleh. Penotolan dilakukan dengan jarak
sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Setelah noda
kering, dilakukan elusi dengan eluen CH2Cl2:MeOH = 9 : 1. Dari hasil percobaan,
sampel tidak dapat dipisahkan karena sampel terlalu pekat sehingga tidak dapat
diketahui identitas masing-masing komponen. Menurut literatur setelah didapatkan
tiga warna berbeda dapat di uji dengan kromatografi lapis tipis untuk mengetahui
identitas masing-masing komponen. Pada KLT biasa menggunakan eluen CH2Cl2 :
MeOH (9 : 1). Eluen ini bersifat non polar sedangkan silika gel sebagai fasa diam
bersifat polar. Maka, senyawa yang bersifat polar akan tertahan lebih lama di fasa
diam sehingga jarak tempuh noda kecil yang menyebabkan nilai Rf kecil sedangkan
untuk senyawa non polar tidak akan tertahan lama dengan fasa diam namun ikut
bergerak bersama fasa gerak yang non polar juga, hal ini menyebabkan nilai Rf nya
tinggi. Menurut literatur tiga komponen tersebut adalah kurkumin (non polar),
bidesmetoksin (semi-polar), dan desmetoksin (polar).
VIII. Kesimpulan

Berdasarkan percoban yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

 Kurkumin dapat diisolasi dari rimpang kunyit dengan cara ekstraksi

padat cair dengan refluks dalam 40 g rimpang kunyit dengan

rendemen 2,85%

 Nilai Rf ekstrak kurkumin murni yang didapat pada KLT sampel

awal 0,85.

 Hasil analisis dari KLT preparatif menunjukkan bahwa komponen

tidak dipisahkan karena sampel terlalu pekat sehingga tidak dapat

diketahui identitas masing-masing komponen. Menurut literatur,

apabila komponen-komponen dapat dipisahkan, maka dapat diuji

KLT dan dapat diketahui identitas tiga komponen, dimana tiga

komponen tersebut menunjukkan kurkumin (non polar),

bidesmetoksin (semi-polar), dan desmetoksin (polar).

IX. Daftar Pustaka

Brat,P., dkk., (2008), Stability and Analysis of Phenolic Pigments. In:


Socaciu C (eds) Food Colorant Chemical and Functional
Properties, CRC Press: Boca ration.
Brown, Phyllis.,(1998), Advances in Chromatography, CRC, New Jersey.
Ditjen POM.(2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
Fachry,A.R., Fenilla B,. Farhan M., (2014), Ekstraksi Senyawa Kurkumin
dari Kunyit (Curcuma Longa Linn) Sebagai Zat Pewarna Kuning
pada Proses Pembuatan Cat. Jurnal Teknik Kimia. No.3 Vol 19.
Kristanti,(2008), Buku Ajar Fikokimia.Universitas Airlangga Press:
Semarang.
Sharma, R.A., Gescher, A.J., Steward, W.P., (2005), Curcumin: The Story
so Far, Eur. J. Cancer, Hal. 41
Stahl, Egon., (1985), Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi,

ITB: Bandung.

Suyitno, (1989), Ekstraksi dan Pemanfaatannya, Unand: Padang.

Syukri, (2007). Kimia Dasar 2, Penerbit ITB: Bandung

Tandy, E., (2012), Kemampuan Adsorben Limbah Lateks Karet Alam

Terhadap Minyak Pelumas Dalam Air, Jurnal Teknik Kimia USU,

Volume 1 No. 2, Departemen Teknik Kimia Fakultas Tekni,. USU.

Trully, M.S.P., dan Kris H.T., (2005), Pengaruh Penambahan Asam

Terhadap Aktivitas Antioksidan Kurkumin. BSS_194_1.

Voigt, R., (1994), Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Industri, Edisi

kelima, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Vous aimerez peut-être aussi