Vous êtes sur la page 1sur 19

REFERAT RADIOLOGI

ABSES PARU

PEMBIMBING:

dr. Partogi , Sp.Rad

Penyusun:

Narendra Yoshua Makmur (030.12.187)

Maya Alvia Rahmi (030.13.121)

KEPANITRAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 11 DESEMBER 2017 - 12 JANUARI 2018

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa,
atas segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “Abses Paru” dengan baik dan tepat waktu.

Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti periode 11 Desember 2017 – 12
Januari 2018. Di samping itu, referat ini ditujukan untuk menambah pengetahuan bagi
kita semua tentang Abses Paru.

Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Partogi,
Sp.Rad selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini di Kepaniteraan Klinik Ilmu
Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada rekan – rekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi serta
berbagai pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya kritik maupun saran yang
membangun. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga tugas ini dapat
memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Jakarta, Januari 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................2

DAFTAR ISI ......................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN .......................................................... ...... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 5


2.1 Definisi ....................................................................................... 5
2.2 Faktor Resiko ............................................................................. 5
2.3 Etiologi ....................................................................................... 6
2.4 Patofisiologi ............................................................................... 7
2.5 Diagnosis .................................................................................... 9
2.6 Penatalaksanaan ......................................................................... 13
2.7 Komplikasi ................................................................................. 15
2.8 Prognosis .................................................................................... 15

BAB III KESIMPULAN ................................................................ ...... 17

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 18

3
BAB I

PENDAHULUAN

Abses paru merupakan salah satu penyakit infeksi paru yang didefinisikan
sebagai kematian jaringan paru-paru dan pembentukan rongga yang berisi sel-sel
mati atau cairan akibat infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang
terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru
pada satu lobus atau lebih. Abses paru harus dibedakan dengan cavitas pada pasien
tuberkulosis paru. Abses paru lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan
dan umumnya terjadi pada umur tua karena terdapat peningkatan insidens penyakit
periodontal dan peningkatan prevalensi aspirasi.1

Abses paru dapat diklasifikasikan berdasarkan perlangsungannya dan


kemungkinan penyebabnya. Berdasarkan perlangsungannya, abses terbagi dua, yakni
abses akut dan abses kronis. Suatu abses paru disebut akut jika gejalanya berlangsung
kurang dari 4 minggu. Pada beberapa pasien dengan abses paru akut didapatkan,
spesies bakteri yang diidentifikasi adalah bakteri anaerob dan beberapa keadaan akut
disebabkan oleh patogen tak dikenal atau Mycobacterium tuberculosis. Abses paru
disebut kronis apabilagejalanya berlangsung selama lebih dari 4 sampai 6 minggu,
lebih sering disebabkan karena neoplasma atau infeksi dengan agen anaerobik yang
kurang virulen.3,4,5

Sedangkan berdasarkan penyebabnya, abses paru dapat dibagi menjadi dua, yakni
abses primer dan abses sekunder. Abses primer muncul karena nekrosis parenkim
paru (akibat pneumonitis, infeksi, dan neoplasma) ataupun pneumonia asprasi pada
orang normal. Sedangkan abses sekunder dapat disebabkan penyebaran infeksi dari
tempat lain secara limfogen, hematogen, dan perkontinuitatum karena kondisi
sebelumnya seperti septik emboli (misalnya endokarditis sisi kanan), obstruksi
bronkus (misalnya aspirasi benda asing), bronkiektasis, ataupun pada kasus
immunocompromised.1,2,6

Penurunan kasus abses paru berhubungan dengan penggunaan dini antimikroba


yang efektif, peningkatan manajemen perawatan pasien yang tidak sadar, dan
peningkatan manajemen perawatan pasien yang dianestesi.7

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi

Abses paru adalah proses infeksi paru supuratif yang menimbulkan destruksi
parenkim dan pembentukan satu atau lebih kaviti yang mengandung pus pada satu
lobus atau lebih sehingga membentuk gambaran Radiologist Air Fluid Level.

2.2. Faktor resiko

Faktor predisposisi terjadinya abses paru seorang pasien:

1. Ada sumber infeksi saluran pernafasan.

Infeksi mulut, tumor laring yang terinfeksi, bronkitis, bronkiektasis dan kanker
paru yang terinfeksi.

2. Daya tahan saluran pernafasan yang terganggu.

Pada paralisa laring, aspirasi cairan lambung karena tidak sadar, kanker esofagus,
gangguan ekspektorasi, dan gangguan gerakan sillia.

3. Obstruksi mekanik saluran pernafasan karena aspirasi bekuan darah, pus, bagian
gigi yang menyumbat, makanan dan tumor bronkus. Lokalisasi abses
tergantung pada posisi tegak, bahan aspirasi akan mengalir menuju lobus medius
atau segmen posterior lobus inferior paru kanan, tetapi dalam keadaan berbaring
aspirat akan menuju ke segmen apikal lobus superior atau segmen superior lobus
interior paru kanan, hanya kadang-kadang aspirasi dapat mengalir ke paru kiri.

4. Infeksi saluran napas atas dan bawah yang belum teratasi, terutama pada pasien
HIV yang terkena abses paru pada umumnya mempunyai status
immunocompromised yang sangat buruk (kadar CD4 <50/mm3), dan
kebanyakan didahului oleh infeksi terutama infeksi paru.

5
2.3. Etiologi

Berbagai infeksi dapat menyebabkan terjadinya abses paru. Infeksi bakteri


pyogenic terutama Bakteri anaerob merupakan penyebab terbanyak yang ditemukan.
Studi yang dilakukan Barlett et al. (1974) mendapatkan 46% abses paru disebabkan
hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri anaerob dan aerob.
Bakteri anaerob ini ditemukan terutama pada saluran napas atas dan paling banyak
terdapat pada penyakit oral dan ginggiva.1,6

Pada pasien immunocompromised spektrum kuman patogen penyebab abses paru


sedikit berbeda. Pada pasien AIDS kebanyakan kumannya adalah bakteri aerob,
P.Carinii, jamur, Cryptococcus neoformans, dan Mycobacterium tuberculosis.1
Penyebab lainnya dapat disebabkan oleh mikobakteria, jamur, parasit dan
komplikasi penyakit paru lain seperti keganasan primer atau metastasis. Saat ini abses
paru lebih banyak disebabkan oleh kuman anaerob (89%) dan aspirasi materi
orofaring. Bakteri anaerob tersering adalah Peptostreptococcus, Bacterioides,
Fusabacterium dan Microaerophylic streptococcus. Penyebab abses lain adalah
parasit (Paragonimus, Entamoeba), jamur (Aspergillus, Criptococcus, Histoplasma,
Blastomyces, Coccidioides) dan Mycobacterium. Penyakit dasar neoplasma yang
tersering adalah kanker paru jenis sel squamosa.1

Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, yaitu :

a. Kelompok bakteri anaerob, biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi

Bacteriodes melaninogenus
Bacteriodes fragilis
Peptostreptococcus species
Bacillus intermedius
Fusobacterium nucleatum
Microaerophilic streptococcus
Bakteri anaerobik meliputi 89% penyebab abses paru dan 85%-100% dari spesimen
yang didapat melalui aspirasi transtrakheal.

b. Kelompok bakteri aerob

Gram positif: sekunder oleh sebab selain aspirasi

6
Staphillococcus aureus
Streptococcus micraerophilic
Streptococcus pyogenes
Streptococcus pneumoniae
Abses sekunder adalah abses yang terjadi sebagai akibat dari kondisi lain. Seperti
contoh: Obstruksi bronkial (karsinoma bronkogenik); penyebaran hematogen
(endokarditis bakterial, IVDU); penyebaran infeksi dari daerah sekitar (mediastinum,
subphrenic).

Gram negatif : biasanya merupakan sebab nosokomial

Klebsiella pneumoniae
Pseudomonas aeroginosa
Escherichia coli
Actinomyces species
Nocardia species
Gram negatif bacilli
c. Kelompok jamur (mucoraceae, aspergillus species), parasit, amuba, mikobakterium

2.4. Patofisiologi
Bermacam-macam faktor yang berinteraksi dalam terjadinya abses paru seperti
daya tahan tubuh dan jenis dari mikroorganisme patogen yang menjadi penyebab.
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara yaitu aspirasi dan hematogen. Yang
paling sering dijumpai adalah kelompok abses paru bronkogenik yang termasuk
akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor dan striktur bronkial.1

Kebanyakan abses paru muncul sebagai komplikasi dari pneumonia aspirasi


akibat bakteri anaerob di mulut. Penderita abses paru biasanya memiliki masalah
periodontal (jaringan di sekitar gigi). Sejumlah bakteri yang berasal dari celah gusi
sampai di saluran pernafasan bawah dan menimbulkan infeksi. Tubuh memiliki
sistem pertahanan terhadap infeksi semacam ini, sehingga infeksi hanya terjadi jika
sistem pertahanan tubuh sedang menurun, seperti yang ditemukan pada seseorang
yang berada dalam keadaan tidak sadar atau sangat mengantuk karena pengaruh obat

7
penenang, obat bius atau penyalahgunaan alkohol. Selain itu dapat pula terjadi pada
penderita penyakit sistem saraf.1,2,8,12

Jika bakteri tersebut tidak dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh,
maka akan terjadi pneumonia aspirasi dan dalam waktu 7-14 hari kemudian
berkembang menjadi nekrosis yang berakhir dengan pembentukan abses.2,8

Pada striktur bronkial terjadi obstruksi bronkus dan terbawanya organisme


virulen dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada daerah distal obstruksi tersebut.
Abses jenis ini banyak terjadi pada pasien bronkitis kronik karena banyaknya mukus
pada saluran napas bawahnya yang merupakan kultur media yang sangat baik bagi
organisme yang teraspirasi. Pada perokok usia lanjut keganasan bronkogenik bisa
merupakan dasar untuk terjadinya abses paru.1

Secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau sebagai
fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain tubuhnya seperti
tricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya akan berbentuk
abses multipel dan biasanya disebabkan oleh stafilokokus. Penanganan abses
multipel dan kecil lebih sulit dari abses single walaupun ukurannya besar. Secara
umum diameter abses paru bervariasi dari beberapa milimeter sampai dengan 5 cm
atau lebih.1

Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang
terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi pada orang
yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi, bronkiektasis, dan
gangguan imunitas.1

Selain itu abses paru dapat terjadi akibat necrotizing pneumonia yang
menyebabkan terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah yang mengalami
konsolidasi, dengan organisme yang penyebabnya paling sering ialah Staphylococcus
aureus, Klebsiella pneumonia dan grup Pseudomonas. Abses yang terjadi biasanya
multipel dan berukuran kecil (<2cm).1

Bulla atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru. Kista
bronkogenik yang berisi cairan dan elemen sekresi epitel merupakan media kultur
untuk tumbuhnya mikroorganisme. Bila kista tersebut mengalami infeksi oleh
mikroorganisme yang virulens maka akan terjadilah abses paru.1

8
Abses paru biasanya satu (single), tapi bisa multipel yang biasanya unilateral
pada satu paru, yang terjadi pada pasien dan keadaan umum yang buruk atau pasien
yang mengalami penyakit menahun seperti malnutrisi, sirosis hati, gangguan
imunologis yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun, atau penggunaan
sitostatika. Abses akibat aspirasi paling sering terjadi pada segmen posterior lobus
atas dan segmen apikal lobus bawah dan sering terjadi pada paru dekstra, karena
bronkus utama kanan lebih lurus dibanding kiri. Abses bisa mengalami ruptur ke
dalam bronkus dengan isinya diekspektorasikan keluar dengan meninggalkan kavitas
yang berisi air dan udara. Kadang-kadang abses ruptur ke rongga pleura sehingga
terjadi empiema yang bisa diikuti dengan terjadinya fistula bronkopleura.1

2.5. Diagnosis

1. Gambaran Klinis

Gambaran klinis pada pemeriksaan fisik pasien dengan abses paru bervariasi. Temuan
fisik mungkin menjadi sekunder dengan kondisi yang terkait seperti radang paru
yang mendasari atau efusi pleura. Temuan pemeriksaan fisik juga dapat bervariasi
tergantung pada organisme yang terlibat, tingkat keparahan dan luasnya penyakit, dan
status kesehatan pasien dan komorbiditas.2

Umumnya pasien mempunyai riwayat perjalanan penyakit 1-3 minggu dengan


gejala awal adalah badan terasa lemah, tidak nafsu makan, penurunan berat badan,
batuk kering, keringat malam, demam intermitten bisa disertai menggigil dengan
suhu tubuh mencapai 39,4oC atau lebih. Namun, tidak adanya demam tidak
menyingkirkan adanya abses paru.1,2

Kadang abses paru belum dicurigai hingga abses tersebut menembus bronkus dan
mengeluarkan banyak sputum yang bisa mengandung jaringan paru yang mengalami
gangren. Sputum yang berbau amis dan berwarna anchovy (disebut dengan putrid
abscesses) merupakan tanda yang patognomonik untuk infeksi bakteri anaerob dan,
tetapi tidak didapatkannya sputum demikian tidak menyingkirkan kemungkinan
infeksi anaerob. Pada kasus ini pun, dapat dijumpai batuk darah pada sekitar 25% dari
pasien serta pada 60% pasien pun ada yang mengeluhkan sakit dada yang
berhubungan dengan pleura.2,4,11

9
Bila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piothorax (empiema)
sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding dada tertinggal pada
tempat lesi, vokal fremitus menghilang, perkusi redup/pekak, bunyi napas menghilang
dan terdapat tanda-tanda pendorongan mediastinum terutama jantung ke arah
kontralateral. Selain itu, pada abses paru pun bisa ditemukan clubbing finger (jari
tabuh).3,4

Gejala penyakit biasanya berupa:

a. Malaise

Malaise merupakan gejala awal disertai tidak nafsu makan yang lama kelamaan
menyebabkan penurunan berat badan.

b. Demam

Demam berupa demam intermitten bisa disertai menggigil bahkan ‘rigor’ dengan suhu
tubuh mencapai 39.40C atau lebih. Tidak ada demam tidak menyingkirkan adanya
abses paru

c. Batuk

Batuk pada pasien abses paru merupakan batuk berdahak yang setelah beberapa dapat
berubah menjadi purulen dan bisa mengandung darah. Sputum yang berbau amis
dan berwarna anchovy menunjukkan penyebabnya bakteri anaerob, tetapi tidak
didapatkannya sputum dengan ciri di atas tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi
anaerob. Batuk darah bisa dijumpai, biasanya ringan tetapi ada yang masif.

d. Nyeri pleuritik

Nyeri pleuritik atau nyeri yang dirasakan dalam dada menunjukkan adanya
keterlibatan pleura

e. Sesak

Sesak disebabkan oleh adanya pus yang menumpuk menutupi jalan napas

f. Anemia

Anemia yang terjadi dapat berupa anemia defisiensi yang disebabkan oleh kurangnya
asupan akibat penurunan nafsu makan, namun lebih sering disebabkan oleh
perdarahan pada saluran nafas khususnya pada hemoptysis.

10
2. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan leukositosis berkisar 10.000 -


30.000/mm3 dengan laju endap darah ditemukan meningkat > 58 mm/1 jam. Pada
hitung jenis sel darah putih didapatkan pergeseran ke kiri dan sel polimorfonuklear
yang banyak terutama neutrofil yang immatur. Bila abses berlangsung lama sering
ditemukan adanya anemia.1,2

Pemeriksaan sputum dapat membantu dalam menemukan mikroorganisme


penyebab abses. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pewarnaan gram, kultur
mikroorganisme aerob, anaerob, jamur, Nocardia, basil Mycobacterium tuberculosis,
dan mikroorganisme lainnya.1

3. Gambaran Radiologik

a. Foto Thorax

Pada gambaran radiologik tampak satu atau lebih kavitas, disertai dengan
air-fluid level. Bentuk abses kecil (<2cm) multipel seringkali dihubungkan dengan
necrotizing pneumonia dan gangren paru. Baik abses paru maupun necrotizing
pneumonia merupakan manifestasi dari proses patologis yang serupa. Kegagalan
dalam mengenali dan mengobati abses paru berhubungan dengan keadaan umum yang
jelek.2,6

Pada foto thorax PA dan lateral biasanya ditemukan satu kavitas, tetapi dapat
juga multikavitas berdinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi di sekelilingnya.
Kavitas ini bisa multipel atau tunggal dengan tebal dinding kavitas bisa mencapai 5
mm.13

Khas pada abses paru anaerobik kavitasnya single (soliter) yang biasanya
ditemukan pada infeksi paru primer, sedangkan abses paru sekunder (aerobik,
nosokomial, atau hematogen) lesinya biasanya multipel.1

Gambaran kavitas ini lebih sering dijumpai pada paru kanan dari paru kiri. Bila
terdapat hubungan dengan bronkus maka di dalam kavitas terdapat air-fluid
level. Tetapi bila tidak ada hubungan maka hanya dijumpai tanda-tanda
konsolidasi (opasitas). Gambaran spesifik ini tampak dengan mudah bila kita
melakukan foto thorax PA dengan posisi berdiri.1,13

11
Abses paru akibat aspirasi paling sering menyerang segmen posterior paru lobus
atas atau segmen superior paru lobus bawah. Ketebalan dinding abses paru bervariasi,
bisa tipis ataupun tebal, batasnya bisa jelas maupun samar-samar. Dindingnya
mungkin licin atau kasar.1,12,13

b. CT-Scan

Gambaran khas CT-Scan abses paru ialah lesi hiperdens bundar dengan kavitas
berdinding tebal, tidak teratur, dan terletak di daerah jaringan paru yang rusak.

12
Tampak bronkus dan pembuluh darah berakhir secara mendadak pada dinding
abses, tidak tertekan atau berpindah letak. Selain itu lesi tampak
membentuk sudut pada permukaan pleura dinding dada.13

2.6. Tatalaksana

Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya dari
patogen penyebab dengan pengobatan yang cukup, drainase yang
adekuat dari empiema dan pencegahan komplikasi yang terjadi.1

Pemberian antimikroba yang tepat merupakan terapi utama. Pemilihan antibiotik


yang tepat bergantung pada sumber infeksi dan hasil pemeriksaan pewarnaan gram
dan kultur spesimen sputum tidak terkontaminasi. Sambil menunggu hasil kultur,
agar terapi lebih efektif, diberikan terapi beradasarkan data empiris dan
terutama ditujukan untuk melawan bakteri anaerob sebagai penyebab terbesar
abses paru. Lama terapi tergantung pada respons klinis dan radiologis
pasien, bisa diberikan 4-6 minggu kemudian dilanjutkan sampai
didapatkan perbaikan klinis dan radiologis. Pada tahap awal diberikan
antibiotik intravena sampai pasien tidak demam dan menunjukkan perbaikan
klinis (4-8 hari) diikuti terapi oral 6-8 minggu. Bila respons terapi buruk,

13
perlu dipertimbangkan penyebab lain misalnya obstruksi benda asing,
keganasan, infeksi bakteri resisten, mikobakteria atau jamur.

Penisilin selalu menjadi antibiotik pilihan, namun percobaan terbaru


menunjukkan klindamisin lebih unggul. Meskipun khasiat keseluruhan
penisilin tampaknya berkurang, saat ini tetap menjadi obat praktis untuk kebanyakan
pasien, terutama jika klindamisin merupakan kontraindikasi. Tetrasiklin
dianggap terapi tidak memadai karena sebagian besar anaerob tahan untuk itu.
Demikian pula, metronidazol tidak efektif pada sekitar 50% pasien, mungkin karena
kontribusi bakteri aerobik. Karena itu, jika agen ini harus digunakan, sebaiknya
dikombinasikan dengan turunan penisilin atau sefalosporin. Setelah terapi
antibiotik awal, dan radiografi respon klinis secara bertahap, demam biasanya
mereda dalam 4-7 hari, namun normalisasi foto thorax mungkin memerlukan 2
bulan.6

Drainase merupakan bagian penting dari penatalaksanaan abses paru. Air-fluid


level menyiratkan adanya hubungan dari rongga abses ke trakeobronkial. Drainase
postural dan fisioterapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit diperlukan untuk
mempercepat proses resolusi abses paru. Namun pada penderita abses paru yang tidak
berhubungan dengan bronkus maka perlu dipertimbangkan drainase melalui
bronkoskopi.1,4,6

Bronkoskopi juga mempunyai peranan penting dalam penanganan abses paru


seperti pada kasus yang dicurigai karsinoma bronkus atau lesi obstruksi, pengeluaran
benda asing dan untuk melebarkan striktur. Disamping itu, dengan bronkoskopi dapat
dilakukan aspirasi dan pengosongan abses yang tidak mengalami drainase yang
adekuat, serta dapat memasukkan larutan antibiotik melewati bronkus langsung ke
lokasi abses.1

Tindakan operasi diperlukan pada kurang dari 10-20% kasus. Indikasi operasi
adalah:1

- Abses paru yang tidak mengalami perbaikan

- Komplikasi: empiema, hemoptisis masif, fistula bronkopleura

14
- Pengobatan penyakit yang mendasari: karsinoma obstruktif primer/metastasis,
pengeluaran benda asing, bronkiektasis, gangguan motilitas gastroesofageal,
malformasi atau kelainan kongenital.

Lobektomi merupakan prosedur paling sering dilakukan, sedangkan reseksi


segmental biasanya cukup untuk lesi-lesi yang kecil. Pneumoektomi diperlukan
terhadap abses multipel atau gangren paru yang refrakter terhadap penanganan dengan
obat-obatan. Angka mortalitas setelah pneumoektomi mencapai 5%-10%.1,13

Pasien dengan risiko tinggi untuk operasi maka untuk sementara dapat dilakukan
drainase perkutan via kateter secara hati-hati untuk mencegah kebocoran isi abses ke
rongga pleura.1

2.7. Komplikasi

Komplikasi dari abses paru meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi lewat
bronkus atau penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses paru yang
drainasenya kurang baik, bisa mengalami ruptur ke segmen lain dengan
kecenderungan penyebaran infeksi Staphylococcus, dan apabila ruptur ke rongga
pleura akan menjadi piothorax (empiema). Komplikasi sering lainnya berupa
abses otak, hemoptisis masif, ruptur pleura visceralis sehingga terjadi
piopneumothorax dan fistula bronkopleura.1,6,11

Abses paru yang kronik akan menyebabkan kerusakan paru yang


permanen dan mungkin menyisakan suatu bronkiektasis, cor pulmonal, dan
amiloidosis. Abses paru kronik bisa menyebabkan anemia, malnutrisi, kaheksia,
gangguan cairan dan elektrolit serta gagal jantung terutama pada manula.1,12

2.8. Prognosis

Faktor-faktor yang membuat prognosis jelek adalah kavitas yang besar (lebih dari
6cm), penyakit dasar yang berat, status immunocompromissed, umur yang sangat
tua, empiema, nekrosis paru yang progresif, lesi obstruktif, abses yang disebabkan
bakteri aerobik, dan abses paru yang belum mendapat pengobatan dalam jangka

15
waktu yang lama. Angka mortalitas pada pasien-pasien ini bisa mencapai 75% dan
bila sembuh maka angka kekambuhannya tinggi.1,7

16
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit infeksi paru masih merupakan penyebab kematian yang


sangat penting di Indonesia. Baik yang mengenai cabang-cabang pembuluh paru
(bronkus, bronkiolus) atau yang mengenai jaringan paru-paru.

Abses paru merupakan salah satu penyakit infeksi paru yang


didefinisikan sebagai kematian jaringan paru-paru dan pembentukan rongga yang
berisi sel-sel mati atau cairan akibat infeksi destruktif berupa lesi
nekrotik pada jaringan paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi
nanah (pus) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih.

Gambaran klinis pada pemeriksaan fisik pasien dengan abses paru


bervariasi. Temuan fisik mungkin menjadi sekunder dengan kondisi
yang terkait seperti radang paru yang mendasari atau efusi pleura.
Temuan pemeriksaan fisik juga dapat bervariasi tergantung pada organisme yang
terlibat, tingkat keparahan dan luasnya penyakit, dan status kesehatan
pasien dan komorbiditas.

Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi


secepatnya dari patogen penyebab dengan pengobatan yang cukup,
drainase yang adekuat dari empiema dan pencegahan komplikasi yang

terjadi.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Rasyid A. Abses paru. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM,
Setiati S,editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 2006.hal.1052-5.
2. Kamangar N, Sather CC, Sharma S. Lung abscess. [online] 2009 Aug 19 [cited
2018 January 4]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/299425-overview
3. Yunus M. CT guided transthoracic catheter drainage of intrapulmonary
abscess. J Pak Med Assoc. 2009; 59 (10): 703-8
4. Baum, Crapo GL, James D. Lung abscess. In: Baum’s textbook of pulmonary
disease 7thEdition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.
5. Eisenberg RL, Johnson NM. Lung abscess. In: Comprehensive radiographic
pathology. USA: Mosby Elsevier; 2007. p.48-50
6. Bhimji S. Lung abscess, surgical perspective. [online] 2010 Oct 22 [cited
2018 Januari 4]. Available from:
URL: http://emedicine.medscape.com/article/428135-overview
7. Koziel H. Lung abscess. [online] 2006 [cited 2018 Jan 4]. Available from:
URL: http://www.scribd.com/doc/28978474/Lung-Abscess
8. Datir A. Lung abscess. [online] 2008 May 2 [cited 2018 Jan 4]. Available
from: URL:http://radiopaedia.org/articles/lung_abscess
9. Luhulima JW. Systema respiratorium. Makassar: Bagian Anatomi FK Unhas; 2004.
hal.1, 15-9
10. Faiz O, Moffat D. The Lungs. In: Anatomy at a glance. UK: Blackwell Science
Ltd; 2002. p.15-7.
11. Jardins TD. The cardiopulmonary system. In: Cardiopulmonary Anatomy and
physiology, essentials in respiratory care. Fourth edition. USA: Delmar; 2002. p.45,
47.
12. Djojodibroto RD. Abses paru. Dalam: Respirologi (Respiratory
medicine). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. hal.143-4.
13. Budjang N. Radang paru yang tidak spesifik. Dalam: Ekayuda I, editor.
Radiologi diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2005.
hal.100-5.

18
19

Vous aimerez peut-être aussi