Vous êtes sur la page 1sur 11

MAKALAH PENDAIS

Pengaruh Gerakan Pembaruan terhadap Perkembangan Islam di Indonesia

DISUSUN OLEH :

SAMSIDAR RAHMATUL FAZRIAH

ANNISA EKA RAMADHANI SRI WIDIANTI

NUR MUFLIHA ALSIRA A. CHERIA TRI DE AFRIL

NUR ALYA MULYANINGSIH L.M. FAHMISYAH

DEDI SAPTARUDIN

DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


KOTA KENDARI
SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 2 KENDARI
TAHUAN AJARAN 2017/2018
LATAR BELAKANG GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM di
INDONESIA

Pada abad ke XIII M agama Islam mulai masuk ke Indonesia, dan ada yang berpendapat bahwa
penyebaran Islam pertama kali dilakukan oleh para pedagang dan mubaligh dari Gujarat-India.
Sekarang jumlah umat Islam di Indonesia merupakan yang paling besar dibandingkan umat
Islam di negara-negara lain di dunia ini oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa umat Islam di
Indonesia mempunyai peranan yang penting bagi bangsa-bangsa dan negara-negara Islam
lainnya. Lebih-lebih di Indonesia sendiri, umat Islam merupakan mayoritas penduduk dan
mereka bertebaran di segenap pelosok tanah air serta banyak yang berkumpul dalam berbagai
organisasi sosial, pendidikan, keagamaan, ekonomi, dan politik.

Semenjak datangnya Islam di Indonesia yang disiarkan oleh para mubaligh khususnya di Jawa
oleh Wali Sanga atau Sembilan Wali Allah hingga berabad-abad kemudian, masyarakat sangat
dijiwai oleh keyakinan agama, khususnya Islam. Sejarah telah mencatat pula, bahwa Islam yang
datang di Indonesia ini sebagiannya dibawa dari India, dimana Islam tidak lepas dari pengaruh
Hindu. Campurnya Islam dengan elemen-elemen Hindu menambah mudah tersiarnya agama itu
di kalangan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa, karena sudah lama kenal akan
ajaran-ajaran Hindu itu.

Sebagian besar tersiarnya Islam di Indonesia adalah hasil pekerjaan dari Kaum Sufi dan Mistik.
Sesungguhnya adalah Sufisme dan Mistisisme Islam, bukannya ortodoksi Islam yang meluaskan
pengaruhnya di Jawa dan sebagian Sumatera. Golongan Sufi dan Mistik ini dalam berbagai segi
toleran terhadap adat kebiasaan yang hidup dan berjalan di tempat itu, yang sebenarnya belum
tentu sesuai dengan ajaran-ajaran tauhid.

Sebelumnya, masyarakat sangat kuat berpegang teguh pada Agama Hindu dan Budha. Setelah
kedatangan Islam, mereka banyak berpindah agama secara sukarela. Tetapi sementara itu mereka
masih membiasakan diri dengan adat kebiasaan lam, sehingga bercampur-baur antara adat
kebiasaan Hindu-Budha dengan ajaran Islam. Hal tersebut berlangsung dari abad ke abad,
sehingga sulit dipisahkan antara ajaran Islam yang murni dengan tradisi peninggalan Hindu atau
peninggalan agama Budha. Dan tidak sedikit tradisi lama berubah menjadi seakan-akan “Tradisi
Islam”. Seperti kebiasaan menyelamati orang yang telah mati pada hari ke:7, 40, 1 tahun dan ke
1000-nya serta selamatan pada bulan ke-7 bagi orang yang sedang hamil pertama kali,
mengkeramatkan kubur seseorang, meyakini benda-benda bertuah dan sebagainya.
AWAL KELAHIRAN GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM di
INDONESIA

Melihat keadaan di lapangan bahwa pengamalan agama Islam di Indonesia yang masih banyak
bercampur dengan tradisi Hindu-Budha tersebut dan jelas sekali merusak kemurnian ajarannya,
maka tampillah beberapa ulama mengadakan pemurnian dan pembaharuan faham keagamaan
dalam Islam. Pada mulanya lahir Gerakan Padri di daerah Minangkabau yang dipelopori oleh
Malim Basa, pendiri perguruan di Bonjol, yang kemudian dikenal dengan sebutan Imam Bonjol.
Sejak kembali dari Mekah, Imam Bonjol melancarkan pemurnian aqidah Islam seperti yang telah
dilakukan oleh gerakan Wahabi di Mekah. Karena kaum tua yang masih sangat kuat berpegang
teguh pada adat menentang dengan keras terhadap gerakan Imam Bonjol maka timbulah perang
Padri yang berlangsung antara tahun 1821-1837.

Pemerintahan Kolonial Belanda, sesuai dengan politik induknya “Devide et empera” akhirnya
membantu kaum adat untuk bersama-sama menumpas kaum pembaharu. Sungguh pun kaum
militer Padri dapat dikalahkan, tetapi semangat pemurnian Islam dan kader-kader pembaharu
telah ditabur yang kemudian pada kenmudian hari banyak meneruskan usaha dan perjuangan
mereka. Diantaranya, Syekh Tohir Jalaludin, setelah kembali dari Mekah dan Mesir bersama-
sama dengan Al Khalili mengembangkan semangat pemurnian Agama Islam dengan
menerbitkan majalah Al Imam di Singapura.

Pada saat itu juga, di Jakarta berdiri Jami’atul Khair pada tahun 1905, yang pada umumnya
beraggotakan peranakan Arab. Organisasi Jami’atul Khair ini dinilai sangat penting karena
dalam kenyataanya dialah yang memulai dalam bentuk organisasi dengan bentuk modern dalam
masyarakat Islam (dengan anggaran dasar, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat berkala) dan
mendirikan suatu sekolah dengan cara-cara yang banyak sedikitnya telah modern. Di bawah
pimpinan Syekh Ahmad Soorkati, Jami’atul Khair banyak mengadakan pembaharuan dalam
bidang pengajaran bahasa Arab, pendidikan Agama Islam, penyiaran agama, dan banyak
berusaha mewujudkan Ukhuwah Islam.

Sementara itu, banyak tumbuh dan lahir gerakan pembaharuan dan pemurnian Agama Islam di
beberapa tempat di Indonesia, yang satu sama lain mempunyai penonjolan perjuangan dan sifat
yang berbeda-beda. Akan tetapi, secara keseluruhan mereka mempunyai cita-cita yang sama dan
tunggal yaitu “Izzul Islam wal Muslimin” atau kejayaan Agama Islam dan Kaum Muslimin. Di
antara gerakan-gerakan tersebut adalah: Partai Sarekat Islam Indonesia, Muhammadiyah,
Persatuan Islam, dan Al Irsyad.

Gerakan-gerakan tersebut, umumnya terbagi dalam dua golongan yaitu Gerakan Modernis dan
Gerakan Reformis. Yang dimaksud dengan Gerakan Modernis ialah gerakan yang menggunakan
organisasi sebagai alat perjuangannya. Jadi semua Gerakan Islam tersebut dapat digolongkan
sebagai gerakan Modernis. Sedangkan Gerakan Reformis, berarti di samping gerakan ini
menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya, juga berusaha memurnikan Islam dan
membangun kembali Islam dengan pikiran-pikiran baru, sehingga Islam dapat mengarahkan dan
membimbing umat manusia dalam kehidupan mereka. Misalnya: Muhammadiyah, Persatuan
Islam, dan Al Irsyad
GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM

A. GERAKAN POLITIK ISLAM

1. PARTAI SAREKAT ISLAM INDONESIA


Sebelum menjadi Sarekat Islam, pada mulanya berasal organisasi dagang yang bernama Sarekat
Dagang Islam. Didirikan pada 1911 oleh seorang pengusaha batik terkenal di Sala, yaitu Haji
Samanhudi. Anggota-anggotanya terbatas pada para pengusaha dan pedagang batik, sebagai
usaha untuk membela kepentingan mereka dari tekanan politik Belanda dan monopoli bahan-
bahan batik oleh para pedagang Cina. Kemudian akibat pelarangan terhadap Sarekat Dagang
Islam oleh Residen Surakarta, maka pada 1912 kedudukannya dipindah ke Surabaya dan
namanya pun berganti menjadi Sarekat Islam.

Sarekat Islam dipimpin oleh Haji Umar Said Cokroaminoto. Dan dibawah kepemimpinannya
Sarekat Islam berkembang mewnjadi sebagai organisasi besar dasn berpengaruh, anggota-
anggotanya semakin Banyak dan meliputi seluruh lapisan masyarakat dan cabang-cabangnya
berdiri dimana-mana. Tujuannya diperluas, tidak saja urusan dagang dan perekonomiannya,
melainkan lebih luas dan besar yaitu: menentang politik kolonial Belandadalam segala seginya
dengan menggunakan dasar perjuangan islam. Dengan tujuan tersebut akhirnya Sarekat Islam
memasuki bidang politik dan menginginkan suatu pemerintahan yang bebas dari penjajahan
Belanda.

Karena Sarekat Islam diselundupi oleh orang-orang komunis yang tergabung dalam organisasi
Indische Social Democratische Vereniging (ISDV) pimpinan Sneevliet, seorang kader komunis
yg berasal dari negeri Belanda, akhirnya tak dapat mengelakkan diri dari perpecacahan, dan
menjadilah SI Putih SI Merah yang beraliran komunis . Sarekat Islam Putih kemudian
meningkatkan diri menjadi satu organisasi politik Partai Sarekat Islam Indonesia yang
diresmikan pada tahun 1929.

2. PARTAI ISLAM MASJUMI

Partai Islam Masjumi berdiri pada tanggal 7 November 1945 sebagai hasil keputusan
Muktamar Umat Islam Indonesia I yang berlangsung di Yogyakarta (Gedung Madrasah
Mualimin Muhammadiyah) pada tanggal 7-8 November 1945. Kongres ini dihadiri oleh hampir
semua tokoh dari berbagai organisasi Islam dari masa sebelum perang serta pada masa
pendudukan Jepang, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sarekat Islam, al-Wasliyah,
Persis, al-Irsyad, serta tokoh intelektual muslim yang pada zaman Belanda aktif dalam Jong
Islamiten Bond dan Islam Study Club dan sebagainya. Dalam kongres tersebut disepakati dan
diputuskan untuk mendirikan Majlis Syura Pusat bagi umat Islam Indonesia.

Sesungguhnya Partai Masjumi ini merupakan kelanjutan dari kegiatan politik organisasi Islam
pada akhir zaman penjajah Belanda yang dikenal dengan nama MIAI (Majlis Islam A’la
Indonesia). MIAI adalah suatu wadah federasi dari semua organisasi Islam, baik yang bergerak
dalam bidang politik praktis maupun yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan yang
didirikan pada tanggal 21 September 1937 di Surabaya atas inisiatif KH Mas Masyur
(Muhammadiyah), KH Wahab Hasbullah (NU), dan Wondo Amiseno (Sarekat Islam). Kemudian
pada masa pendudukan Jepang gabungan gerakan Islam yang juga bersifat federasi semacam
MIAI ini dinamakan Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masjumi).

Partai Masjumi yang mencanangkan tujuannya dengan rumusan “Terlaksananya syari’at Islam
dalam kehidupan orang-seorang, masyarakat, dan Negara Republik Indonesia” dalam kiprah
politiknya sepanjang masa hidupnya, baik dalam bentuk program maupun kebijakan-kebijakan
partai menampakan sikap yang tegar, istiqomah, konsisten terhadap prinsip-prinsip Islam yang
bersumber pada Al-Qur’an maupun Al-Hadits.

Politik yang dianut oleh Partai Masjumi adalah politik yang menggunakan parameter Islam,
artinya bahwa semua program atau kebijakan partai harus terukur secara pasti dengan nilai-nilai
Islam. Ungkapan bahwa politik itu kotor, menurut keyakinan Partai Masjumi tidak mungki
terjadi manakala sikap, langkah, dan pola perjuangannya selalu berada di atas prinsip-prinsip
ajaran Islam. Masjumi mengakui terhadap realitas yang terjadi di tengah-tengah arena politik
bahwa politik itu memang kotor, kalau politik itu didasarkan pada “politik bebas nilai” atau
politik yang diajarkan oleh Nicollo Machiavelli bahwa “tujuan menghalalkan semua cara”.
Politik Islam sebagaimana yang dianut oleh Partai masjumi adalah politik yang mengharamkan
tujuan yang ditempuh dengan semua cara. Islam mengajarkan bahwa “Tujuan yang baik harus
dicapai dengan cara-cara yang baik pula”.

Pada tanggal 15 Desember 1955 diadakan Pemilu, Partai Masjumi mendapatka 57 kursi di
pemerintahan. Akan tetapi karena Bung Karno termakan oleh bujukan dari Komunis sehingga
pada tanggal 17 Agustus 1960 mengeluarka Surat Keputusan (SK) Presiden Nomor 200 tahun
1960 untuk membubarkan Partai Islam Masjumi dari pusat sampai ranting di seluruh wilayah
NKRI. Pada tanggal 13 September 1960 DPP Masjumi membubarkan Masjumi dari pusat
sampai ke ranting-rantingnya.

B. GERAKAN SOSIAL KEMASYARAKATAN ISLAM

Merupakan gerakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar yang dalam ajarannya konsisten
berpegang pada :

1. Kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah secara murni.


2. Membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya kepada siapa pun yang telah berhak
melakukannya.
3. Mengamalkan ajaran Islam secara konsisten, bersih dari segala kemusyrikan,
khurafat, bid’ah, dan taqlid

Contoh: Gerakan Al Islah wal Irsyad, Persatuan Islam dan Muhammadiyah


1. MUHAMMADIYAH

Sejak tahun 1905, Kyai Haji Ahmad Dahlan telah banyak melakukan dakhwah dan pengajian-
pengajian yang berisi faham baru dalam islam dan menitik beratkan pada segi alamiyah.
Baginya, Islama adalah agama amal, suatau agama yang mendorong umatnya untuk banyak
melakukan kerja dan berbuat sesuatu yang bermanfaat. Dengan bekal pendalaman beliau
terhadap Al- Qura’an dan sunannah Nabi, sampai pada pendirian dan tindakana yang banyak
bersifat pengalaman Islam dalam kehidupan nyata.

Dari kajian – kajian Kyai Haji Ahmad Dahlan ,akhirnya timbul pertanyaan kenapa banyak
gerakan-gerakan islamyang tidak berhasil dalam usahanya? Hal ini tidak lain di sebabkan banyak
orang yang bergerak dan berjuang tetapi tidak berilmu luas serta sebaliknya banyak orang yang
berilmu akan tetapi tidak mau mengamalkan ilmunya.

Atas dasar keyakinannya itulah, Kyai Haji Ahmad Dahlan ,pada tahun 1991 mendirikan “sekolah
Muhammadiyah” yang menempati sebuah ruangan dengan meja dan papan tulis. Dalam sekolah
tersebut, di masukkan pula beberapa pelajaran yang lazim di ajarkan di sekolah-sekolah model
Barat, seperti Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Ilmu Hayat dan sebagainya. Begitu pul;a di perkenalkan
cara-cara baru dalam pengajaran ilmu-ilmu keagamaan sehingga lebih menarik dan lebih
menyerap. Dengan murid yang tidak begitu banyak,jadilah sekolah Muhammadiyah tersebut
sebagai tempat persemaian bibit-bibit pembaruan dalam Islam Indonesia.

Dan sebagai puncaknya berdirilah gerakan Muhammadiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 yang
bertepatana dengan tanggal 18 November 1992, yang di dalam Anggaran Dasarnya yang pertama
kali bertujuan: “ Menyebarkan Pengajarn Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk
bumi putera,di dalam residensi yogyakarta” serta “ Memajukan hal agama Islam kepada sekutu-
sekutunya.

2. AL-IRSYAD

Dalam jami’at khair, timbul suatu perbedaan pendapat yang cukup tajam, terutama persoalan
“kafa’ah”, yaitu sah tdaknya golongan Arab keturunan Sayid (keluarga Nabi) kawin dengan
golongan lainnya. Dalam hal ini Syeh Sukarti berpendapat boleh,dan tetap kufu atau seimbang.
Ia mengemukakan alasan dengan ayat Al-Qur’an bahwa: “yang paling mulia diantara kamu
sekalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa” (Al Hujarat 13). Selain itu terdapat banyak bukti
bahwa para sahabat kawin satu sama lain tanpa memandang keturunan Sayyid atau tidaknya.
Ternyata pendapat ini menimbulkan ketidaksenangan golongan Arab seketurunan dengan
Syaidina Ali, keluarga Nabi, dan berakhir dengan perpecahan. Kemudian Syekh Ahmad Sukati
pada tahun 1914 mendirikan perkumpulan Al Ishlah Wal Irsyad. Maksudnya ialah memajukan
pelajaran agama Islam yang murni di kalangan bangsa Arab di Indonesia. Dan sebagai
amaliyahnya berdirilah beberapa perguruan Al-Irsyad di mana-mana, di antaranya pada tahun
1915 di jakarta. Selain itu banyak bergerak dalam bidang sosial dan dakwah Islam dengan dasar
Al-Qur’an dan sunnah Rosul secara murni dan konsekuen.
3. PERSATUAN ISLAM

Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada 17 September 1923 oleh K.H. Zamzam,
seorang ulama berasal dari Palembang. Persis beeertujuan mengembalikan kaum muslimin
kepada pimpinan AL-Qur’an dan sunnah Nabi dengan jalan mendirikan madrasah-madrasah,
pesantren dan tabliqh pidato ataupun tulisan. Selain itu, menerbitkan pula majalah yang cukup
menonjol pada zamannya, yaitu “Pembela Islam” dan majalah Al Muslimin.

Persis sangat menonjol dalam usahanya memberantas segala macam bid’ah dan khufarat ,
dengan cara-cara radikal dan tidak tanggung- tanggung. Lebih-lebih setelah Persis berda dalam
kepemimpinan ustadz A. Hasan, yang terkenal tajam pena dan lidahnya menegakkan kemurnian
agama, maka Persis semakin hari semakin bertambah luas dan berkembang. Diantara alumni
pendidikan Persis yang terkemuka adalah M.Natsir, seorang tokoh cendikiawan dan pemimpin
Islam Indonesia yang juga pernah menjadi Perdana Menteri RI dan menduduki jabatan-jabatan
penting dalam Lembaga Islam International.

C. Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia


Abad ke-19 adalah awal kemunculan ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamaludin
Al-afghani dan Muhammad Abduh. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat didukung pula
dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan
Sumatera Thawalib (1915).

1. Cak Nur (Nurcholis Madjid)

Cak Nur atau biasa di sebut nurcholis madjid dianggap sebagai ikon pembaruan pemikiran dan
gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai
intelektual Muslim terdepan di masanya, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam
berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa. Cak Nur dikenal dengan konsep
pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman / ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia.
Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini
keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Keyakinan tersebut sangat mungkin
berbeda-beda antar manusia satu dengan yang lain, walaupun memeluk agama yang sama.
Hal ini berdasar kepada kemampuan nalar manusia yang berbeda-beda, Cak Nur mendukung
konsep kebebasan dalam beragama. Bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai
kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas
apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika
menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia
lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis. Manusia akan bertanggung
jawab secara pribadi atas apa yang ia lakukan dengan yakin. Apa yang diyakini, itulah yang
dipertanggung jawabkan. Maka pahala ataupun dosa akan menjadi imbalan atas apa yang secara
yakin ia lakukan.
Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial
terutama gagasan mengenai pembaruan Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap sebagai
sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam
Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.
Namun demikian, ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada
tahun 1998. Cak Nur sering diminta nasihat oleh PresidenSoeharto terutama dalam mengatasi
gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang
merupakan imbas krisis 1997. Atas saran Cak Nur, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari
jabatannya untuk menghindari gejolak politik yang lebih parah.
Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan
baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat Islam yang
menganut paham tekstualis literalis (tradisional dan konservatif) pada sumber ajaran Islam.
Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-
teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan Cak Nur yang paling kontroversial adalah saat dia
mengungkapkan gagasan "Islam Yes, Partai Islam No?" yang ditanggapi dengan polemik
berkepanjangan sejak dicetuskan tahun 1960-an, sementara dalam waktu yang bersamaan
sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai
yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini tidak pernah berubah ketika setelah terjadi
reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk partai yang berlabelkan agama.

2. K.H. Ahmad Dahlan

K.H. Ahmad Dahlan atau dikenal dengan Kiai Dahlan telah membawa pembaharuan dan
membuka kacamata modern Islam di Indonesia sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman,
bukan lagi secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur’an dengan terjemahan dan
tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melantunkan ayat Al Qur’an
semata, melainkan dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian
diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan dalam Al Qur’an
itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam
dari kulitnya saja tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya menjadi suatu
dogma yang mati.
Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan juga mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu,
yang menurutnya tidak jelas antara jenjang dan metode yang diajarkan lantaran mengutamakan
hafalan dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Sehingga Kiai Dahlan mendirikan sekolah-
sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan
ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur’an. Sebaliknya, beliau pun
memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan
dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan
sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan.Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran
pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua
ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga
mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap
pusaka-pusaka keratin seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga
memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme,
dan kejawen.
Di bidang Organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus
untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari
Muhammadiyah ini, sebagai bentuk kesadaran pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan
perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai
Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu – sekarang dikenal dengan nama Pramuka – dengan
nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan
genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan
uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.

3. Syekh Muhammad Jamil Jambek

Sebagai ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20, serta sebagai ahli
ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan
Syekh Muhammad Jambek. Beliau dilahirkan dari keluarga bangsawan dan juga merupakan
keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai,
sedangkan ibunya berasal dari Sunda. Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang
kegiatan keagamaan di Sumatera Barat. Mengutip Ensiklopedia Islam, Syekh Muhammad
Jambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka
umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat
lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu.
Demikian halnya dengan kebiasaan membaca riwayat Isra Mi'raj Nabi Muhammad dari kitab
berbahasa Arab. Dia menggantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam
bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi
membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari. Menurutnya,
semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia
pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah.
Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syekh
Muhammad Jambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan
pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan,
Padang Panjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia "berhadapan"
dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.
Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal
Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua
jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang
dari Persia dan India. Syekh Muhammad Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu
penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.
Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya
mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin
bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Jambek
mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk
memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat.
Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang
dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi
Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan
dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Jambek mendirikan Majelis
Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi.

4. Abdul Karim Amrullah

Lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera
Barat, 10 Februari 1879. Beliau dijuluki sebagai Haji Rasul dan merupakan salah satu ulama
terkemuka sekaligus reformis Islam di Indonesia. Beliau juga merupakan pendiri Sumatera
Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia.
Abdul Karim Amrullah dilahirkan dari pasangan Syekh Muhammad Amrullah dan Andung
Tarawas. Ayahnya, yang juga dikenal sebagai Tuanku Kisai, merupakan syekh dari Tarekat
Naqsyabandiyah. Bersama dengan Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah menjadi orang
Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, di
Kairo, Mesir. Pada tahun 1894, beliau dikirim oleh ayahnya ke Mekkah untuk menimba ilmu dan
berguru pada Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang pada waktu itu menjadi guru dan
imam Masjidil Haram. Pada tahun 1925, sepulangnya dari perjalanan ke Jawa, beliau mendirikan
cabang Muhammadiyah di Minangkabau, tepatnya di Sungai Batang, kampung halamannya.
Salah satu putranya, yaitu Hamka, nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, dikenal
banyak orang sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka.
Abdul Karim Amrullah meninggal di Jakarta, 2 Juni 1945 pada usia 66 tahun.

Vous aimerez peut-être aussi