Vous êtes sur la page 1sur 13

MAKALAH FARTER II

“ASMA”

DISUSUN OLEH

KELAS B

KELOMPOK III

FEBY ARFIYAN SINJAYA G 701 15 015

MUHLISA NUGRAH G 701 15 030

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya penyusunan tugas makalah tentang Asma dengan lancar dan selesai
tepat pada waktunya .Tugas ini merupakan tugas dari mata kuliah Farmakoterapi
2, yang disusun dari data-data yang diperoleh dari berbagai literatur. Tugas ini
dapat penulis selesaikan karena mendapat bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak. Penulis menyadari bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan
dan kekurangan termasuk dalam pembuatan tugas ini.
Oleh karena itu, penulis sangat mengaharapkan kritikan dan saran dari
para pembaca yang bersifat konstruktif demi perbaikan isi makalah ini.

Palu, 29 APRIL 2018

Kelompok III
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................ ii

Daftar Isi...................................................................................................... iii

Bab I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang ........................................................................... 1


I.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 1

Bab II Pembahasan

II.1 Definisi .....................................................................................


II.2 Faktor resiko ............................................................................
II.3 Patofisiologi .............................................................................
II.4 Menifestasi klinik ....................................................................
II.5 Dx tegak ……………………………………………………….
II.6 Klasifikasi ……………………………………………………..
II.7 Komplikasi ……………………………………………………
II.8 Terapi farmakologi……………………………………………

Bab III penutup

III.I Kesimpulan ................................................................................

III.2 Saran ..........................................................................................

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya,
dan tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan
untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa
upaya penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan
utama adalah menghindari faktor penyebab.

Penyakit asma masuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan


kematiandi Indonesia. Pada tahun 2005 Survei Kesehatan Rumah Tangga
mencatat225.000 orang meninggal karena asma (Dinkes Jogja, 2011).
Menurut hasil RisetKesehatan Dasar (RISKESDAS) nasional tahun 2007,
penyakit asma ditemukansebesar 4% dari 222.000.000 total populasi nasional,
sedangkan di Sumatera BaratDepartemen Kesehatan menyatakan bahwa pada
tahun 2012 jumlah penderitaasma yang ditemukan sebesar 3,58% (Zara,
2011). Jumlah kunjungan penderitaasma di seluruh rumah sakit dan
puskesmas di Kota Padang sebanyak 12.456 kalidi tahun 2013.
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Definisi
Asma sendiri berasal dari kata asthma. Kata ini berasal dari bahasa
Yunani yang memiliki arti sulit bernafas. Penyakit asma dikenal karena
adanya gejala sesak nafas, batuk, dan mengi yang disebabkan oleh
penyempitan saluran nafas. Atau dengan kata lain asma merupakan
peradangan atau pembengkakan saluran nafas yang reversibel sehingga
menyebabkan diproduksinya cairan kental yang berlebih (Prasetyo, 2010).

II,2 Faktor resiko

II.3 Patofisiologi

II.4. Menifestasi klinik

II.5. Diagnosis tegak


Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) Diagnosis Asma yaitu:
1. Anamnesis
Kriteria diagnosis asma berdasarkan anamnesis adalah sebagai berikut :
 Terdapat gejala saluran napas yang khas meliputi mengi, sesak
napas, rasa tertekan pada dada, batuk.
1) Pasien asma mempunyai lebih dari satu gejala ini ( mengi, sesak
napas, batuk, dada seperti tertekan).
2) Gejala dapat terjadi bervariasi dalam hal waktu dan intensitas.
3) Gejala biasanya lebih sering terjadi dan lebih berat pada malam
hari dan pada saat bangun tidur.
4) Gejala sering dipicu olahraga, pada saat tertawa, alergen, atau
udara dingin
5) Gejala sering muncul dan lebih berat bila disertai dengan infeksi
virus.
Gejala yang menurunkan kemungkinan bahwa seseorang menderita
asma :
1) Batuk tanpa gejala respirasi lain
2) Produksi sputum kronik
3) Dispnea yang disertai dengan pusing, kepala terasa ringan,
paresthesia perifer
4) Nyeri dada
5) Dispnea dengan inspirasi nyaring terkait olahraga
 Terdapat keterbatasan aliran udara ekspirasi
1) Variabilitas fungsi paru yang besar dan keterbatasan aliran udara,
makin besar variasi / makin sering, makin sering kemungkinan
Terdapat penurunan FEV1 ( forced expiratory volum in
1 second), sehingga rasio FEV1/FVC (force vital capacity)
berkurang. Nilai normal FEV1/FVC > 0,75-0,80 pada dewasa
dan > 0,90 pada anak.
2) Uji reversibilitas bronkhus positif
a. Terdapat variasi fungsi paru yang lebih besar dibandingkan
orang normal, misalnya :
- FEV1 meningkat lebih dari 12% dan 200 ml ( pada anak
> 12% nilai prediksi) setelah inhalasi dengan
bronchodilator. Hal ini disebut sebagai uji reversibilitas
bronkhus positif.
- Rata-rata variasi diurnal PEF (peak expiratory flow) atau
arus puncak ekspirasi > 10% ( pada anak > 13%)
- FEV1 meningkat lebih dari 12% dan 200 ml ( pada anak
> 12% nilai prediksi) setelah 4 minggu pemberian anti
inflamasi (diluar infeksi saluran napas).
b. Semakin besar variasi dan semakin sering gejala muncul
lebih meyakinkan untuk menegakkan diagnosis asma
c. Pemeriksaan ulang diperlukan pada saat gejala muncul pada
pagi hari atau setelah pemberian bronchodilator
d. Reversibilitas bronchodilator akan hilang pada saat
eksaserbasi dengan gejala yang berat atau akibat infeksi
virus. Apabila tidak terdapat resersibilitas dengan pemberian
bronchodilator pada saat pemeriksaan pertama, maka langkah
selanjutnya tergantung kepentingan klinis dan ketersediaan
pemeriksaan lain.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas yang
paling sering adalah wheezing ekspiratorik pada auskultasi, tetapi
kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi yang kuat
yang dipaksa. Wheezing juga tidak bisa ditemukan pada asma
eksaserbasi berat, karena penurunan aliran udara yang sangat hebat
(silent chest), akan tetapi biasanya tanda- tanda patologis lain muncul.
Wheezing juga bisa ditemukan pada disfungsi jalan napas atas, missal
pada PPOK, infeksi saluran napas, trakeomalasia, atau korpus alienum.
Crakles atau wheezing inspiratorik bukan karakteristik asma. Perlu juga
dilakukkan pemeriksaan hidung untuk menemukan adanya rhinitis atau
polip nasal.
3. Pemeriksaan penunjang
 Spirometri
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced
expiratory volume in 1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak
expiratory flow (PEF). Jika PEF dilakukan, maka alat yang sama
harus digunakan tiap saat pemeriksaan, karena perbedaan sebesar
20% bisa terjadi bila dilakukan perubahan ukuran atau alat.
 Tes provokasi bronkhus
Pemeriksaan ini dilakukan untuk uji hiperresponsivitas jalan
napas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi metakolin
dan histamine, hiperventilasi eukapnik volunter atau mannitol
inhalasi. Tes ini cukup sensitif untuk diagnosis asma tapi kurang
spesifik karena bisa juga disebabkan oaleh penyakit lain seperti
rhinitis alergika, fibrosis kistik, dysplasia bronkhopulmoner, dan
PPOK. Jadi bila hasil negatif pada pasien yang tidak mengkonsumsi
ICS dapat mengekslusi asma akan tetapi hasil positif tidak selalu
menandakan bahwa pasien menderita asma, sehingga anamnesis
perlu diperhatikan.
 Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala
pernapasan menderita asma alergika tetapi hal ini tidak spesifik.
Riwayat atopi dapat diperiksa dengan skin prick test dan
pemeriksaan IgE serum. Skin prick tes dengan bahan yang mudah
ditemukan di lingkungan sekitara dalah tes yang cepat, murah, dan
sensitif jika dikerjakan dengan benar.
 Ekshalasi Nitrit Oksida
Fractional concentration of exhaled nitric oxide (FENO)
dapat diperiksa di beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada
asma eosinofilik dan pada keadaan non asma misalnya rhinitis alergi
dan belum dipastikan bermanfaat untuk diagnosis asma. FENO
menurun pada perokok dan saat terjadi bronkhokonstriksi, dan
meningkat jika terjadi infeksi pernapasan yang disebabkan oleh
virus. Kadar FENO > 50 ppb terkait dengan respons jangka waktu
yang singkat terhadap ICS. Saat ini pemeriksaan FENO belum
direkomendasikan.
4. Penegakan Diagnosis pada Kondisi Khusus
 Pasien hanya dengan gejala batuk
Pada kondisi ini perlu dipikirkan cough variant asthma, batuk
yang diinduksi terapi ACE inhibitor, GERD, chronic upper airway
cough syndrome, sinusitis kronik dan disfungsi pita suara. Pasien
dengan cough variant asthma memiliki gejala utama batuk kronik,
jika tidak, mungkin gejala tersebut berkaitan dengan
hiperresponsivitas. Hal ini paling sering terjadi pada anak-anak dan
memberat pada malam hari dengan fungsi paru normal. Untuk pasien
ini perlu dicatat variabilitas fungsi paru. Penyakit cough variant
asthma harus dibedakan dengan bronkhitis eosinofilik pada pasien
yang batuk, pada pemeriksaan sputum didapatkan eosinophil akan
tetapi fungsi paru dan responsivitas jalan napas normal.
 Asma terkait pekerjaan
Asma jenis ini sering kali terlewat. Asma jenis ini diinduksi
dan diperberat dengan adanya paparan alergen atau alergen sensitizer
di lingkungan kerja, kadang paparan bersifat tunggal, kadang masif.
Rhinitis okupasional biasanya amendahului asma beberapa tahun
sebelum muncul asma. Dan paparan yang berlanjut terkait dengan
prognosis yang lebih buruk.
 Atlet
Diagnosis pada atlet harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan
fungsi paru, biasanya denngan uji provokasi bronkhus. Kondisi yang
mirip dengan asma, misalnya rhinitis, penyakit laring, gamgguan
pernapasan, gangguan jantung dan over-training harus disingkirkan.
 Wanita hamil
Wanita hamil atau wanita yang merencanakan hamil harus
ditanya mengenai riwayat asma dan diberikan edukasi tentang asma.
Jika pemeriksaan yang objektif perlu dilakukan untuk konfirmasi
diagnosis, tidak dianjurkan untuk melakukan uji provokasi bronkhus
atau untuk menurunkan terapi controller sampai selesai persalinan.
 Usia lanjut
Asma seringkali tidak terdiagnosis pada orang tua karena
persepsi orang tua terhadap keterbatasan jalan napas yang berkurang,
anggapan bahwa sesak adalah hal yang wajar, jarang olahraga dan
kurangnya aktifitas. Keberadaan penyakit penyerta juga turut
mempersulit diagnosis. Keluhan mengi, sesak napas, dan batuk yang
memberat dengan olahraga atau memberat saat malam hari juga bisa
disebabkan oleh adanya penyakit jantung atau kegagalan ventrikel
kiri. Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat, ditambah dengan
pemeriksaan EKG dan foto toraks dapat membantu diagnosis.
Pemeriksaan brain natriuretic polypeptide (BNP) dan pemeriksaan
jantung dengan ekokardiogram juga dapat membantu. Pada orang tua
yang mempunyai riwayat merokok atau paparan bahan bakar fosil,
PPOK dan Asthma-COPD overlap syndrome (ACOS) perlu
disingkirkan.
 Pasien yang pernah menjalani terapi controller
Jika diagnosis asma belum ditegakkan maka konfirmasi
diagnosis perlu dilakukan. Sekitar 25-35% pasien dengan diagnosis
asma di fasilitas kesehatan tingkat I tidak bisa terkonfirmasi dengan
diagnosis asma. Konfirmasi diagnosis asma tergantung pada gejala
dan fungsi paru. Pada beberapa pasien, bisa disertakan percobaan
untuk menurunkan dan menaikkan dosis controller. Jika diagnosis
tetap tidak bisa ditegakkan, maka perlu dilakukan rujukan ke fasilitas
kesehatan yang lebih tinggi. 1,2 4.4.8. Pasien obesitas Asma lebih
sering ditemukan pada pasien dengan obesitas, gejala yang terkait
dengan obesitas dapat menyerupai asma. Pada pasien obes dengan
adanya dyspnea saat aktivitas, perlu dikonfirmasi dengan
pemeriksaan objektif untuk menemukan adanya sumbatan jalan
napas.
 Kondisi sumber daya kurang
Pada kondisi sumber daya kurang, perlu dipertajam lagi proses
penggalian gejala. Perlu ditanyakan durasi gejala, demam, batuk,
menggigil, penurunan berat badan, nyeri saat bernapas dan infeksi
parasit atau jamur. Variabilitas jalan napas dapat dikonfirmasi
dengan PEF meter dan perlu diperiksa sebelum diberikan terapi
SABA atau ICS atau bisa dilakukan bersamaan dengan pemberian 1
minggu kortikosteroid oral.

II.6. Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit
penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang,
semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.

II.7. Komplikasi

II.8 Terapi farmakologi


BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN

III. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma.


Jakarta; Direktorat Bina farmasi komunitas dan klinik Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat kesehatan Departemen Kesehatan RI.

Global Initiative for Asthma. 2018. Pocket Guide For Asthma Management
and Prevention. Global Initiative Asthma.

Global Initiative for Asthma. 2018. Global strategy For Asthma Management
and Prevention. Global Initiative Asthma.

Prasetyo, Budi. 2010. Seputar Masalah Asma : Mengenal Asma, Sebab-sebab,


Resiko-resiko, Dan Cara Mengantisipasinya. Yogyakarta: Diva Press.

Vous aimerez peut-être aussi