Vous êtes sur la page 1sur 135

ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU HAMIL DENGAN HIV /AIDS

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
HIV berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Ini adalah
retrovirus, yang berarti virus yang mengunakan sel tubuhnya sendiri untuk memproduksi
kembali dirinya. Asal dari HIV tidak jelas, penemuan kasus awal adalah dari sampel darah yang
dikumpulkan tahun 1959 dari seorang laki–laki dari Kinshasa di Republik Demokrat Congo.
Tidak diketahui bagaimana ia terinfeksi.
Saat ini terdapat dua jenis HIV: HIV–1 dan HIV–2. HIV–1 mendominasi seluruh dunia
dan bermutasi dengan sangat mudah. Keturunan yang berbeda–beda dari HIV–1 juga ada,
mereka dapat dikategorikan dalam kelompok dan sub–jenis (clades). Terdapat dua kelompok,
yaitu kelompok M dan O. Dalam kelompok M terdapat sekurang–kurangnya 10 sub–jenis yang
dibedakan secara turun temurun. Ini adalah sub–jenis A–J. Sub–jenis B kebanyakan ditemukan di
America, Japan, Australia, Karibia dan Eropa. Sub–jenis C ditemukan di Afrika Selatan dan
India. HIV–2 teridentifikasi pada tahun 1986 dan semula merata di Afrika Barat. Terdapat
banyak kemiripan diantara HIV–1 dan HIV–2, contohnya adalah bahwa keduanya menular
dengan cara yang sama, keduanya dihubungkan dengan infeksi–infeksi oportunistik dan AIDS
yang serupa. Pada orang yang terinfeksi dengan HIV–2, ketidakmampuan menghasilkan
kekebalan tubuh terlihat berkembang lebih lambat dan lebih halus. Dibandingkan dengan orang
yang terinfeksi dengan HIV–1, maka mereka yang terinfeksi dengan HIV–2 ditulari lebih awal
dalam proses penularannya.
HIV dapat menular melalui kontak darah, namun disini kami akan mencoba membahas
bagaiamana HIV AIDS yang dialami ibu hamil dan bagaimana melakukan sebuah proses
keperawatan pada ibu hamil dengan HIV AIDS.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian HIV/AIDS?
2. Bagaimana etiologi HIV?
3. Apa saja macam – macam infeksi HIV?
4. Bagaimana patofisiologi HIV?
5. Bagaimana periode penularan HIV pada ibu hamil?
6. Bagaimana gejala HIV?
7. Apa saja pemeriksaan diagnostik HIV?
8. Bagaimana pengobatan HIV?
9. Bagaimana konsep Asuhan Keperawatan pada ibu hamil dengan HIV?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian HIV/AIDS
2. Mengetahui etiologi HIV
3. Mengetahui macam – macam infeksi HIV
4. Mengetahui patofisiologi HIV
5. Mengetahui periode penularan HIV pada ibu hamil
6. Mengetahui gejala HIV
7. Mengetahui pemeriksaan diagnostik HIV
8. Mengetahui pengobatan HIV
9. Mengetahui konsep Asuhan Keperawatan pada ibu hamil dengan HIV

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Pengertian
HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang menyerang
system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif lama dapat menyebabkan
AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma penyakit yang muncul secara kompleks
dalam waktu relatif lama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi
HIV.
 AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi
imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan
terjadinya defisiensi tersebut sepertii keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang
sudah dikenal dan sebagainya ( Rampengan & Laurentz ,1997 : 171).
 AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia
(H. JH. Wartono, 1999 : 09).
 AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh (dr. JH.
Syahlan, SKM. dkk, 1997 : 17).
Infeksi pada kehamilan adalah penyebab morbiditas ibu dan neonatal yang sudah
diketahui. Banyak kasus dapat dicegah, dan dalam makalah ini akan dibahas mengenai penyakit
infeksi yang sering ditemukan yang dapat terjadi dalam kehamilan.

2.2. Etiologi
Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency
virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1.
Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2
dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk
memudahkan keduanya disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, B
menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan.
Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi
neurologist.
 Cara penularan HIV:
1. Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi. Kondom
adalah satu–satunya cara dimana penularan HIV dapat dicegah.
2. Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana darah tersebut belum
dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang tidak steril.
3. Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang yang telah
terinfeksi.
4. Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa kehamilan atau
persalinan dan juga melalui menyusui.

 Penularan secara perinatal


1. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV pada bayi yang dikandungnya.
2. Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses melahirkan, karena pada saat itu terjadi
kontak secara lansung antara darah ibu dengan bayi sehingga virus dari ibu dapat menular pada
bayi.
3. Bayi juga dapat tertular virus HIV dari ibu sewktu berada dalam kandungan atau juga melalui
ASI
4. Ibu dengan HIV dianjurkan untuk PASI

 Kelompok resiko tinggi:


1. Lelaki homoseksual atau biseks.
2. Orang yang ketagian obat intravena
3. Partner seks dari penderita AIDS
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.

2.3. Macam infeksi HIV


Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi menjadi tiga
Tahap :
1. Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam jaringan limfoid, terjadi
penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti serokonversi dan pengaturan replikasi virus dengan
dihasilkannya CD8+ sel T antivirus. Secara klinis merupakan penyakit akut yang sembuh sendiri
dengan nyeri tenggorok, mialgia non-spesifik, dan meningitis aseptik. Keseimbangan klinis dan
jumlah CD4+ sel T menjadi normal terjadi dalam waktu 6-12 minggu.
2. Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan replikasi. virus yang
rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan CD4+ secara perlahan menurun. Penderita
dapat mengalami pembesaran kelenjar limfe yang luas tanpa gejala yang jelas. Tahap ini dapat
mencapai beberapa tahun. Pada akhir tahap ini terjadi demam, kemerahan kulit, kelelahan, dan
viremia. Tahap kronik dapat berakhir antara 7-10 tahun.
3. Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh penderita secara cepat
berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat badan, diare, infeksi oportunistik, dan
keganasan sekunder. Tahap ini umumnya dikenal sebagai AIDS. Petunjuk dari CDC di Amerika
Serikat menganggap semua orang dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4+ kurang dari 200
sel/µl sebagai AIDS, meskipun gambaran klinis belum terlihat. ( Robbins, dkk, 1998 : 143 )

2.4. Patofisiologi
 HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan dirinya pada protein
CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah virus dalam tubuh penderita) turunan yang
disebut RNA (ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid) dengan
suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA
manusia, yang mana, daripada menghasilkan lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut mulai
menghasilkan virus–virus HI.
 Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–virus yang baru. Virus–
virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas dalam aliran darah, dan berhasil
menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya
merusak sistem kekebalan tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang oleh infeksi
dan penyakit–penyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut dari orang
ke orang.
 Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–sel yang
terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk
menghasilkan kembali dirinya.
 Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–1200 sel/ml kubik
darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya terhitung dibawah 200, dia
menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik.
 Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem kekebalan tertekan.
Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya
mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal.
Menyerang T Limfosit, sel
saraf,makrofag, monosit,
limfosit B

PATHWAY
produk-produk darah). Wanita dapat menjadi calon yang menerima Rho D Imunoglobulin.
Penularan HIV belum ditemukan adanya vaksin Rh. Proses persiapan melibatkan alcohol ethyl
yang membuat virus tidak aktif. Vaksin ini dibuat dari darah yang diambil dari kelompok donor
regular yang tidak dikenali. Darah yang digunakan untuk memproduksi vaksin menjalani tes
darah yang dapat mendeteksi darah adanya HIV (Francis, Chin, 1987, MMWR, 1987). Beberapa
ketidaknyamanan yang dihadapi pada masa prenatal (seperti kelelahan, anoreksia, dan penurunan
berat badan) menyiratkan tanda-tanda dan gejal-gejala infeksi HIV.
Diagnosa yang berbeda-beda terhadap seluruh keluhan dan gejala infeksi yang disebabkan
kehamilan dibenarkan. Tanda-tanda utama infeksi HIV yang semakin memburuk mencakup
turunnya berat badan lebih dari 10% dari berat badab sebelum kehamilan, diare kronis lebih dari
1bulan dan demam (kambuhan atau konstan) selama lebih dari 1 bulan. Untuk mendukung
system, wanita hamil harus mendapat nutrisi yang optimal, tidur, istirahat, latihan, dan reduksi
stress. Jika infeksi HIV telah didiagnosa, wanita tersebut diberitahukan mengenai konsekwensi
yang mungkin terjadi pada bayi.

2. Periode Intrapartum
Perawatan wanita yang sakit saat melahirkan tidak diubah secara substansial untuk infeksi
tanpa gejala dengan HIV (Minkoff,1987). Cara kelahiran didasarkan hanya pada pertimbangan
obstetric karena virus melalui plasenta pada awal kehamilan. Fokus utama pencegahn
penyebaran HIV nosocomial dan perlindungan terhadap pelaku perawatan. Resiko penularan
HIV dianggap rendah selama kelahiran vaginal.. EPM (Elektrinic Fetal Monitoring) eksternal
dilakukan jika EPM diperlukan. Terdapat kemungkinan inokulasi virus ke dalam neonatus jika
dilakukan pengambilan sempel darah pada bayi dilakukan atau jika elektroda jangat kepala bayi
diterapkan. Disamping itu, seseorang yang melakukan prosedur ini berada pada resiko tertular
virus HIV.

3. Periode Postpartum.
Hanya sedikit yang diketahui tentang tindakan klinis selama periode postpartum yang
dapat dilakukan pada wanita yang terinfeksi HIV. Walaupun periode postpartum pertengahan
tercatat signifikan (update, 1987), tindak lanjut yang lebih lama telah mengungkap frekwensi
penyakit kilinis yang tinggi pada ibu-ibu yang anaknya menderita penyakit (Skott, 1985;
Minkoff et al, 1987). Tindakan pencegahan universal dilakukan terhadap ibu dan bayi, seperti
yang dilakukan terhadap semua pasien. Wanita dan bayinya diarahkan pada dokter yang
berpengalamn dalam pengobatan AIDS dan keadaan-keadaan yang menyertainya. Pengaruh
infeksi pada bayi dan neonatal mungkin tidak jelas. Karena virus yang melalui plasenta, darah di
tali pusat akan menunjukkan antibody HIV baik apabila bayi terinfeksi ataupun tidak. Selama itu
antibody yang melalui palang plasenta mungkin tidak terdapat pada bayi yang tidak terinfeksi
sampai usia 15 bulan. Ketika infeksi HIV menjadi aktif banyak infeksi lain yang biasa menyertai
pada orang dewasa terjadi pada bayi. Komplikasi yang menyertai infeksi HIV pada bayi
mencakup Enchephalopati, Microchephalli, Defisit Kognitif, system saraf pusat (CNS/central
nervous system) Lhympoma, Cerebro Vaskuler Accident, gagal pernapasan dan
Lhympaclenophaty.

2.6. Gejala HIV AIDS


1. Gejala mayor
a. BB menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis
d. Demensia / HIV Ensefalopati
2. Gejala minor
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalist
c. Adanya herpes zoster yang berulang
d. Kandidiasis orofaringeal
e. Herpes simplex kronik progresif
f. Limfadenopati generalist
g. Infeksi jamur berulang pada kelamin wanita
h. Retinitis Cytomegalovirus

2.7. Pemeriksaan diagnostik


1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
- ELISA
- Western blot
- P24 antigen test
- Kultur HIV
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
- Hematokrit.
- LED
- CD4 limfosit
- Rasio CD4/CD limfosit
- Serum mikroglobulin B2
- Hemoglobulin
2.8. Pengobatan
 Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi cukup
memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik
pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika
jumlah sel CD4 dari orang yang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih
efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah
mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini
dapat mengunakan:
1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan pencegahan
protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral
DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
2. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat reproduksi dari HIV
dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut
sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan
NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga suatu
virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan.
 Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang mengidap HIV(+)
dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui.
Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita
yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan pengobatan tersedia
untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obat–obatan tersebut adalah:
1. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28 minggu selama
masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan angka penularan mendekati
67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50%
penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi
telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
2. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan satu dosis
tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan
penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet
kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3
hari.
 Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral, yang
dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang
menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun
terinfeksi occupational. Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP, maka suatu
pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang yang bersangkutan. Informasi dan
bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan orang tersebut mengerti obat–obatan, keperluan
untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan memperbaharui
pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT dan 3TC yang
digunakan dalam kombinasi. CDC telah memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine
sebagai bagian dari PEP yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena
infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam,
sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan,
maka keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak merekomen dasikan proses
terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat
memberikan efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak aman.
2.9. Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1. Biodata Klien
2. Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun. Umur
kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada
orang yang sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi
kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang
berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker
adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap sebagai
factor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes
dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :
 Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )
Terapi radiasi, defisiensi nutrisi, penuaan, aplasia timik, limfoma, kortikosteroid, globulin anti
limfosit, disfungsi timik congenital.
 Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)
Limfositik leukemia kronis, mieloma, hipogamaglobulemia congenital, protein liosing enteropati
(peradangan usus)
3. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Subyektif)
a) Aktifitas / Istirahat
- Gejala : Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan pola tidur.
- Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktifitas ( Perubahan TD,
frekuensi Jantun dan pernafasan ).

b) Sirkulasi
- Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada cedera.
- Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi perifer, pucat / sianosis, perpanjangan
pengisian kapiler.
c) Integritas dan Ego
- Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan penampilan, mengingkari
doagnosa, putus asa,dan sebagainya.
- Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.
d) Eliminasi
- Gejala : Diare intermitten, terus menerus, sering dengan atau tanpa kram abdominal, nyeri
panggul, rasa terbakar saat miksi
- Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat dan sering, nyeri tekan
abdominal, lesi atau abses rectal, perianal, perubahan jumlah, warna dan karakteristik urine.
e) Makanan / Cairan
- Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia
- Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi yang buruk, edema
f) Hygiene
- Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
- Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
g) Neurosensoro
- Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan status indera,kelemahan
otot,tremor,perubahan penglihatan.
- Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak
normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.
h) Nyeri / Kenyamanan
- Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada pleuritis.
- Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan gerak,pincang.
i) Pernafasan
- Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk, sesak pada dada.
- Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya sputum.
j) Keamanan
- Gejala : Riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse darah,penyakit defisiensi imun, demam
berulang,berkeringat malam.
- Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses, timbulnya nodul, pelebaran kelenjar
limfe, menurunya kekuatan umum, tekanan umum.
k) Seksualitas
- Gejala : Riwayat berprilaku seks dengan resiko tinggi, menurunnya libido, penggunaan pil
pencegah kehamilan.
- Tanda : Kehamilan,herpes genetalia.
l) Interaksi Sosial
- Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian, adanya trauma AIDS.
- Tanda : Perubahan interaksi.

4. Pemeriksaan Diagnostik
a) Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat penelitian. Tes
dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
 Serologis
- Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan
merupakan diagnosa
- Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
- Sel T limfosit
Penurunan jumlah total
- Sel T4 helper
Indikator system imun (jumlah <200>
- T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke T4 )
mengindikasikan supresi imun.
- P24 ( Protein pembungkus HIV)
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
- Kadar Ig
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal
- Reaksi rantai polimerase
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.
- Tes PHS
Kapsul hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif

 Neurologis
- EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
- Tes Lainnya
- Sinar X dada
- Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau adanya komplikasi lain
- Tes Fungsi Pulmonal
- Deteksi awal pneumonia interstisial
- Skan Gallium Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
- Biopsis
- Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
- Bronkoskopi / pencucian trakeobronkial Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun
dugaan kerusakan paru-paru

 Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka system imun
akan bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam
3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa
orang yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata
tidak efektif, kemampuan mendeteksi antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam
darah memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostic. Pada tahun
1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi lisensi tentang uji kadar Human
Immunodeficiency Virus (HIV) bagi semua pendonor darah atau plasma. Tes tersebut, yaitu :
- Tes Enzym – Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)
Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus Human
Immunodeficiency Virus (HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya
menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV). Orang yang dalam darahnya terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV)
disebut seropositif.
- Western Blot Assay
Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memastikan
seropositifitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)
- Indirect Immunoflouresence
Pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan seropositifitas.
- Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA )
Mendeteksi protein dari pada antibody.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang
beresiko.
2. Resiko tinggi penularan infeksi pada bayi berhubungan dengan adanya kontak darah dengan bayi
sekunder terhadap proses melahirkan.
3. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan output cairan berlebih sekunder
terhadap diare
4. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,
meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
6. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.
C. Rencana Keperawatan
N Tujuan dan Kriteria
Diagnosa Intervensi Rasional
o hasil
1 Resiko tinggi infeksi Pasien akan bebas1. Monitor tanda-tanda infeksi
1. Untuk pengoba
berhubungan dengan infeksi setelah baru.
imunosupresi, malnutrisi dilakukan tindakan2. gunakan teknik aseptik pada
2. Mencegah pas
dan pola hidup yang keperawatan selama setiap tindakan invasif. Cuci kuman patogen
beresiko. 3×24 jam dengan tangan sebelum meberikan di rumah sakit.
kriteria hasil: tindakan.
- Tidak ada luka atau3. Anjurkan pasien metoda
3. Mencegah
eksudat. mencegah terpapar terhadap infeksi
- Tanda vital dalam lingkungan yang patogen.
batas normal4. Kumpulkan spesimen untuk tes
4. Meyakinkan
(TD=110/70, RR=16- lab sesuai order. dan pengobatan
24, N=60-100, S=36-5. Atur pemberian antiinfeksi
5. Mempertahan
37) sesuai order yang terapeutik
- Pemeriksaan leukosit
normal (6000-10000)
2 Resiko tinggi infeksi Infeksi HIV tidak1. Anjurkan pasien atau orang
1. Pasien dan ke
(kontak pasien) ditransmisikan setelah penting lainnya metode memerlukan in
berhubungan dengan infeksi dilakukan tindakan mencegah transmisi HIV dan
HIV, adanya infeksi keperawatan selama kuman patogen lainnya. 2. Mencegah tr
nonopportunisitik yang 3×24 jam dengan2. Gunakan darah dan cairan tubuh HIV ke orang l
dapat ditransmisikan. kriteria hasil: precaution bial merawat pasien.
- kontak pasien dan tim Gunakan masker bila perlu.
kesehatan tidak
terpapar HIV
- Tidak terinfeksi
patogen lain seperti
TBC.
3 Resiko tinggi defisit volume Defisit volume cairan Kaji konsistensi dan frekuensi
1. Mendeteksi
cairan berhubungan dengan dapat teratasi setelah feses dan adanya darah. dalam feses
output cairan berlebih dilakukan tindakan Auskultasi bunyi usus
sekunder terhadap diare keperawatan selama 2. Hipermotiliti
1×24 jam dengan Atur agen antimotilitas dan diare
criteria hasil: psilium (Metamucil) sesuai
3. Mengurangi
- perut lunak order yang pelan
- tidak tegang Berikan ointment A dan D, perforasi pada
- feses lunak, warna vaselin atau zinc oside 4. Untuk menghil
normal
- kram perut hilang,

D. Implementasi
Didasarkan pada diagnosa yang muncul baik secara aktual, resiko, atau potensial.
Kemudian dilakukan tindakan keperawatan yang sesuai berdasarkan NCP.

E. Evaluasi
Disimpulkan berdasarkan pada sejauh mana keberhasilan mencapai kriteria hasil, sehingga
dapat diputuskan apakah intervensi tetap dilanjutkan, dihentikan, atau diganti jika tindakan yang
sebelumnya tidak berhasil
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

`HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang menyerang
system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif lama dapat menyebabkan
AIDS. Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency
virus (HIV). Cara penularan HIVmelakukan penetrasi seks, melalui darah yang terinfeksi,
dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang yang telah
terinfeksi, wanita hamil. Penularan secara perinatal terjadi terutama pada saat proses melahirkan,
karena pada saat itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu dengan bayi sehingga virus
dari ibu dapat menular pada bayi.
Kelompok resiko tinggi: lelaki homoseksual atau biseks, orang yang ketagian obat
intravena, partner seks dari penderita AIDS, penerima darah atau produk darah (transfusi), bayi
dari ibu/bapak terinfeksi. Gejala mayor infeksi HIV adalah BB menurun lebih dari 10% dalam 1
bulan, diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan, penurunan kesadaran dan adanya
gangguan neurologis, demensia / HIV ensefalopati. Gejala minor: batuk menetap lebih dari 1
bulan, dermatitis generalist, adanya herpes zoster yang berulang, kandidiasis orofaringeal, herpes
simplex kronik progresif, limfadenopati generalist,
infeksi jamur berulang pada kelamin wanita, retinitis cytomegalovirus.

3.2. Saran
Dengan dibuatnya makalah HIV pada ibu hamil ini, diharapkan nantinya akan
memberikan manfaat bagi para pembaca terutama pemahaman yang berhubungan dengan
bagaimana melakukan sebuah proses asuhan keperawatan maternitas terutama pada ibu hamil
yang juga menderita HIV.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S,
EGC, Jakarta

Kuswayan. 2009. Apa itu HIV/AIDS?. http://www.kswann.com/WhatisHIVAIDS.pdf. 07 Oktober 2013.


13.00 WIB (access online)

Yati, Ida. 2010. AIDS pada ibu hamil. http://www.docstoc.com/docs/. 05 Oktober 2013. 15.10 WIB
(access online)
Administrator. 2010. Pencegahan dan Penatalaksanaan Infeksi HIV (AIDS) pada kehamilan.
http://www.mkb-online.org/. 05 Oktober 2013. 13.30 WIB (access online)
http://adinasyafa32.blogspot.co.id/2015/03/asuhan-keperawatan-pada-ibu-
hamil.html

Kamis, 12 Maret 2015

Jumat, 28 Maret 2014


HIV/AIDS PADA IBU HAMIL

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG................................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH..........................................................................................................2
C. JUTUAN PENULISAN............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
I. KONSEP HIV/AIDS PADA IBU HAMIL/PEREMPUAN
A. Pengertian..................................................................................................................................4
B. Etiologi......................................................................................................................................5
C. Manifestasi Klinis.....................................................................................................................6
D. Patofisiologi...............................................................................................................................7
E. Penularan HIV dari Ibu ke Bayinya..........................................................................................7
F. Factor Resiko...........................................................................................................................10
G. Pemeriksaan Penunjang............................................................................................................11
H. Penatalaksanaan.......................................................................................................................12
I. Pencegahan..............................................................................................................................13
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN HIV/AIDS PADA IBU HAMIL
A. Pengkajian................................................................................................................................15
B. Diagnose keperawatan.............................................................................................................16
C. Perencanaan.............................................................................................................................16
D. Evaluasi...................................................................................................................................21
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN........................................................................................................................23
B. SARAN...................................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................24
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang
sangat sederhana.
Harapan kami Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca untuk mengetahui informasi tentang penyakit
HIV/AIDS pada ibu hamil/perempuan sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu, kami harapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Palangkaraya, Februari 2014


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan dapat
mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester pertama.
Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mua, muntah, nafsu makan
berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung memperberat kondisi
klinis wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV-AIDS.
Sejak ditemukannya infeksi human immunodeficiency virus (HIV) pada tahun 1982,
penelitian semakin banyak dilakukan dan ternyata hasilnya sangat mengejutkan dunia. Terdapat
sekitar lima jenis HIV dengan bentuk infeksi terakhir disebut AIDS (acquired immunodeficiency
syndrome), yaitu kondisi hilangnya kekebalan tubuh sehingga member kesempatan
berkembangnya berbegai bentuk infeksi dan keganasan, kemunduran kemampuan intelektual,
dan penyakit lainnya. Dengan hilangnya semua kekebalan tubuh manusia pada AIDS, tubuh
seolah-olah menjadi tempat pembenihan bakteri, protozoa, jamur serta terjadi degenerasi ganas.
Penelitian telah dilakukan sejak HIV pertama kali ditemukan, tetapi sampai saat ini
obatnya belum ditemukan sehingga bila terinfeksi virus HIV berarti sudah menuju kematian.
Obat yang tersedia sekedar untuk mempertahankan atau memperpanjang usia, bukan untuk
membunuh virus HIV.
Orang-orang yang terinfeksi positif HIV yang mengetahui status mereka mungkin dapat
memberikan manfaat. Namun, seks tanpa perlindungan antara orang yang yang berisiko
membawa HIV sero-positif sebagai super infeksi, penularan infeksi seksual, dan kehamilan yang
tidak direncanakan dapat membuat penurunan kesehatan seksual dan reproduksi. Hal ini jelas
bahwa banyak pasangan yang harus didorong untuk melakukan tes HIV untuk memastikan status
mereka dengan asumsi bahwa mereka mungkin terinfeksi karena pernah memiliki hubungan
seksual denga seseorang yang telah diuji dan ditemukan sero-positif HIV.
Komunikasi seksualitas antara orangtua dan anak telah diidentifikasi sebagai factor
pelindung untuk seksual emaja dan kesehatan reproduksi, termasuk infeksi HIV. Meningkatkan
kesehatan seksual dan reproduksi remaja merupakan prioritas dunia. Intervensi yang bertujuan
untuk menunda perilaku seksual, mengurangi jumlah pasangan seksual dan meningkatkan
penggunaan kondom. Dari penelitian yang dilakukan di negara berkembang menunjukkan
bahwa pendidikan seksualitas memiliki potensi untuk memberikan dampak positif pada
pengetahuan, sikap, norma dan niat, meskipun mengubah perilaku seksual sangat terbatas.
Evolusi infeksi HIV menjadi penyakit kronis memiliki implikasi di semua pengaturan
perawat klinis. Setiap perawat harus memiliki perawatan klinis. Setiap perawat harus memiliki
pengetahuan tantang pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan kronisitas dari penyakit dalam
rangka untuk memberikan perawatan yang berkualitas tinggi kepada orang-orang dengan atau
berisiko untuk HIV.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Konsep HIV/IADS pada ibu hamil/perempuan
a. Apa yang dimaksud HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil?
b. Apa penyebab HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil?
c. Sebutkan menifestasi klinis HIV/AID pada perempuan/ibu hamil?
d. Bagaimana patofisiologi HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil?
e. Bagaimana cara penularan HIV/AIDS?
f. Apa faktor risiko HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil?
g. Sebutkan pemeriksaan penunjang HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil?
h. Sebutkan penatalaksanaan HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil?
i. Bagaimana pencegahan HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil?
j. Bagaimana sikap dan pertolongan persalinan pada perempuan/ibu hamil?
2. Konsep asuhan keperawatan pada klien HIV/AIDS pada ibu hamil/perempuan
a. Bagaimana asuhan keperawatan HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil?

k. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui penyakit HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil dan untuk mengetahui
Asuhan Keperawatan HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui pengertian HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil
b. Untuk mengetahui penyebab/etiologi HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil
c. Untuk mengetahui menifestasi klinis HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil
d. Untuk mengetahui patofisiologi HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil
e. Untuk mengetahui cara penularan HIV/AIDS
f. Untuk mengetahui factor risiko HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil
g. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil
h. Untuk mengetahui penatalaksaan HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil
i. Untuk mengetahui pencegahan HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil
j. Untuk mengetahui sikap dan pertolongan persalinan
k. Untuk mengetahui Asuhan keperawatan HIV/AIDS pada perempuan/ibu hamil

BAB II
PEMBAHASAN

I. KONSEP HIV AIDS PADA IBU HAMIL/PEREMPUAN


A. Pengertian
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel sistem
kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung, sistem
kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tahap yang
lebih lanjut dari infeksi HIV adalah acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Hal ini dapat
memakan waktu 10-15tahun untuk orang yang terinfeksi HIV hingga berkembang menjadi
AIDS, obat antiretroviral dapat memperlambat proses lebih jauh. HIV ditularkan melalui
hubungan seksual (anal atau vaginal), transfusi darah yang terkontaminasi, berbagi jarum yang
terkontaminasi, dan antara ibu dan bayinya selama kehamilan, melahirkan dan menyusui.
AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang
berkaitan dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). (Suzane C. Smetzler dan
Brenda G.Bare).
AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) adalah suatu penyakit retrovirus epidemik
menular, yang disebabkan oleh infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai
depresi berat imunitas seluler, dan mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk pria
homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat intravena, penderita hemofilia, dan penerima
transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari individu yang terinfeksi virus tersebut. (Kamus
kedokteran Dorlan, 2002).
AIDS merupakan bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam
respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan
dengan berbagai infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang
jarang terjadi. (Menurut Center for Disease Control and Prevention).
Wanita hamil lebih berisiko tertular Human Immunodeficien Virus (HIV) dibandingkan
dengan wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita hamil lebih sering dapat menularkan
HIV kepada mereka yang tidak terinfeksi daripada wanita yang tidak hamil.
Menurut laporan CDR (Center for Disease Control) Amerika mengemukakan bahwa
jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada usia reproduksi. Sekitar
80% penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi prenatal dari ibunya. Seroprevalensi HIV
pada ibu prenatal adalah 0,0-1,7%, saat persalinan 0,4-0,3% dan 9,4-29,6% pada ibu hamil yang
biasa menggunakan narkotika intravena.
Wanita usia produktif merupakan usia yang berisiko tertular infeksi HIV. Dilihat dari
profil umur, ada kecendrungan bahwa infeksi HIV pada wanita mengarah ke umur yang lebih
muda, dalam arti bahwa usia muda lebih banyak terdapat wanita yang terinfeksi, sedangkan pada
usia di atas 45 tahun infeksi pada wanita lebih sedikit. Dilain pihak menurut para ahli kebidanan
bahwa usia reproduktif merupakan usia wanita yang lebih tepat untuk hamil dan melahirkan.
Hasil survey di Uganda pada tahun 2003 mengemukakan bahwa prevalensi HIV di klinik
bersalin adalah 6,2%, dan satu dari sepuluh orang Uganda usia antara 30-39 tahun positif HIV-
AIDS perlu diwaspadai karena cenderung terjadi pada usia reproduksi.

B. Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-
kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV),
sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas
kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.
Muman Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang
asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel
target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus
HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus
yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus
dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infeksius yang setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama hidup penderita tersebut..
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic
Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid
dan glikoprotein. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV
termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan
mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan
sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV
dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.
Penularan virus HIV/AIDS terjadi karena beberapa hal, di antaranya ;
1. Penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual).
2. Hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan.
3. Perempuan yang menggunakan obat bius injeksi dan bergantian memakai alat suntik.
4. Individu yang terpajan ke semen atau cairan vagina sewaktu berhubungan kelamin dengan orang
yang terinfeksi HIV.
5. Orang yang melakukuan transfusi darah dengan orang yang terinfeksi HIV, berarti setiap orang
yang terpajan darah yang tercemar melalui transfusi atau jarum suntik yang terkontaminasi.

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang tampak dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Manifestasi Klinis Mayor
a. Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan.
b. Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus-menerus.
c. Kehilangan napsu makan.
d. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 tiga bulan.
e. Berkeringat.
2. Manifestasi Klinis Minor
a. Batuk kronis
b. Infeksi pada mulut dan jamur disebabkan karena jamur Candida Albicans
c. Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh
d. Munculnya Herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal di seluruh tubuh

D. Patofisiologi
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS pada
wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah terinfeksi HIV. Pada
negara berkembang istri tidak berani mengatur kehidupan seksual suaminya di luar rumah.
Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih rendah, dan isteri sangat
percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah seksual masih dianggap tabu untuk
dibicarakan.
Virus HIV tergolong retrovirus, yang merupakan standar RNA, tunggal terbungkus. Bila
memasuki tubuh, virus akan melekat pada reseptor CD4 sel terinfeksi. Kemudian virus
mempergunakan enzim reverse transcriptase, yang mampu membentuk DNA ganda. Standar
DNA ganda ini mampu masuk sirkulasi sel menuju intinya dan bersatu dengan DNA inti sel yang
asli. DNA virus dapat membentuk RNA yang terinfeksi dan RNA yang akan membawa tanda
(berita) sehingga dapat membentuk protein.
Pertumbuhan virus HIV terbatas pada limfosit, monosit, makrofag, dan sumber
pembentuk sum-sum tulang tertentu. Secara intraseluler, virus dapat memecah diri sehingga
setelah selnya hancur dapat dikeluarkan virus HIV baru yang akan menyerang sel lainnya.
Bentuk virus HIV selalu berubah-ubah, sesuai dengan sel yang diserangnya sehingga sulit untuk
membuat antibody atau antigen agar mampu membuat vaksinnya. Oleh karena itu, obatnya
masih sulit untuk dibuat sampai saat ini.

E. Penularan HIV dari Ibu kepada Bayinya


Cara penularan virus HIV-AIDS pada wanita hamil dapat melalui hubungan seksual.
Salah seorang peneliti mengemukakan bahwa penularan dari suami yang terinfeksi HIV ke
isterinya sejumlah 22% dan istri yang terinfeksi HIV ke suaminya sejumlah 8%. Namun
penelitian lain mendapatkan serokonversi (dari pemeriksaan laboratorium negatif menjadi
positif) dalam 1-3 tahun dimana didapatkan 42% dari suami dan 38% dari isteri ke suami
dianggap sama.
Penularan HIV dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS
sebagian besar masih berusia subur, sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang terjadi pada
saat kehamilan (Richard, et al., 1997). Selain itu juga karena terinfeksi dari suami atau pasangan
yang sudah terinfeksi HIV/AIDS karena sering berganti-ganti pasangan dan gaya hidup.
Penularan ini dapat terjadi dalam 3 periode :
1. Periode kehamilan
Selama kehamilan, kemungkinan bayi tertular HIV sangat kecil. Hal ini disebabkan karena
terdapatnya plasenta yang tidak dapat ditembus oleh virus itu sendiri. Oksigen, makanan,
antibodi dan obat-obatan memang dapat menembus plasenta, tetapi tidak oleh HIV. Plasenta
justru melindungi janin dari infeksi HIV. Perlindungan menjadi tidak efektif apabila ibu:
a. Mengalami infeksi viral, bakterial, dan parasit (terutama malaria) pada plasenta selama
kehamilan.
b. Terinfeksi HIV selama kehamilan, membuat meningkatnya muatan virus pada saat itu.
c. Mempunyai daya tahan tubuh yang menurun.
d. Mengalami malnutrisi selama kehamilan yang secara tidak langsung berkontribusi untuk
terjadinya penularan dari ibu ke anak.
2. Periode persalinan
Pada periode ini, resiko terjadinya penularan HIV lebih besar jika dibandingkan periode
kehamilan. Penularan terjadi melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau
membrane mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama
proses persalinan, maka semakin besar pula resiko penularan terjadi. Oleh karena itu, lamanya
persalinan dapat dipersingkat dengan section caesaria. Faktor yang mempengaruhi tingginya
risiko penularan dari ibu ke anak selama proses persalinan adalah:Lama robeknya membran.
a. Chorioamnionitis akut (disebabkan tidak diterapinya IMS atau infeksi lainnya).
b. Teknik invasif saat melahirkan yang meningkatkan kontak bayi dengan darah ibu misalnya,
episiotomi.
c. Anak pertama dalam kelahiran kembar
3. Periode Post Partum
Cara penularan yang dimaksud disini yaitu penularan melalui ASI. Berdasarkan data
penelitian De Cock, dkk (2000), diketahui bahwa ibu yang menyusui bayinya mempunyai resiko
menularkan HIV sebesar 10- 15% dibandingkan ibu yang tidak menyusui bayinya. Risiko
penularan melalui ASI tergantung dari:
a. Pola pemberian ASI, bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif akan kurang berisiko
dibanding dengan pemberian campuran.
b. Patologi payudara: mastitis, robekan puting susu, perdarahan putting susu dan infeksi payudara
lainnya.
c. Lamanya pemberian ASI, makin lama makin besar kemungkinan infeksi.
d. Status gizi ibu yang buruk.
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara
penularan HIV yang diketahui adalah melalui:
1. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan
penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan
cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada
pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah
pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko
seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan
pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan
merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
a. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita AIDS,
berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal
merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra
seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan
dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat
berhubungan secara anogenital.
b. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada
promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun
wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

2. Transmisi Non Seksual


a. Transmisi Parenral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik
yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang
dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi
parental ini kurang dari 1%.
1) Darah/Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985.
Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor
telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah
lebih dari 90%.
b. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%.
Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air
susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

F. Faktor Resiko
Semula diperkirakan factor risiko infeksi HIV hanya homoseksual, dan pengguna
narkoba yang menggunakan suntikan terinfeksi, tetapi jumlahnya semakin besar. Infeksi HIV
terutama menyerang sel T limfosit dan system saraf pusat. Cara masuknya ke dalam sel mulai
dengan ikatan reseptornya pada sel lomfosit dan diikuti rusaknya inti kemudian memecahkan
dirinya menjadi beberapa virus HIV. Secara berabtai, virus HIV kembali akan menyerang sel
lomfosit CD4 sehingga akhirnya terjadi penurunan daya tahan tubuh secara menyeluruh dan
disebut acquired immunodefeciency syndrome (AIDS).
Kelompok orang yang berisiko tinggi terinfeksi Virus HIV sebagai berikut :
1. Janin dengan ibu yang terjangkit HIV
2. Perempuan yang menggunakan obat bius injeksi dan bergantian memakai alat suntik.
3. Pekerja seks komersial
4. Pasangan yang heteroseks dengan adanya penyakit kelamin

G. Pemeriksaan Penunjang
Tes-tes saat ini tidak membedakan antara antibody ibu/bayi, dan bayi dapat menunjukkan
tes negatif pada usia 9 sampai 15 bulan. Penelitian mencoba mengembangkan prosedur siap
pakai yang tidak mahal untuk membedakan respons antibody bayi dan ibu.
1. Pemeriksaan histologis, sitologis urin , hitung darah lengkap, feces, cairan spina, luka, sputum,
dan sekresi.
2. Tes neurologis: EEG, MRI, CT Scan otak, EMG.
3. Tes lainnya: sinar X dada menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCV tahap lanjut
atau adanya komplikasi lain; tes fungsi pulmonal untuk deteksi awal pneumonia interstisial; Scan
gallium; biopsy; branskokopi.
4. Tes Antibodi
a. Tes ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay), untuk menunjukkan bahwa seseorang
terinfeksi atau pernah terinfeksi HIV.
b. Western blot asay/ Indirect Fluorescent Antibody (IFA), untuk mengenali antibodi HIV dan
memastikan seropositifitas HIV.
c. Indirect immunoflouresence, sebagai pengganti pemerikasaan western blot untuk memastikan
seropositifitas.
d. Radio immuno precipitation assay, mendeteksi protein pada antibodi.
e. Pendeteksian HIV.
Dilakukan dengan pemeriksaan P24 antigen capture assay dengan kadar yang sangat
rendah. Bisa juga dengan pemerikasaan kultur HIV atau kultur plasma kuantitatif untuk
mengevaluasi efek anti virus, dan pemeriksaan viremia plasma untuk mengukur beban virus
(viral burden).
Antibody yang ditimbulkan oleh infeksi HIV terjadi sejak infeksi berusia 2-3 bulan.
Antibody ini akan masuk melalui plasenta menuju janin.Infeksi langsung pada janin mulai sejak
usia 13 minggu dengan mekanisme yang tidak diketahui. Infeksi ini disebut sebagai infeksi
vertical karena berlangsung semasih intrauterin. Cara infeksi lainnya pada bayi adalah saat
pertolongan persalinan karena melalui jalan lahir dengan cairannya yang penuh dengan virus
HIV.

H. Penatalaksanaan
Pengalaman program yang signifikan dan bukti riset tentang HIV dan pemberian
makanan untuk bayi telah dikumpulkan sejak rekomendasi WHO untuk pemberian makanan
bayi dalam konteks HIV terakhir kali direvisi pada tahun 2006. Secara khusus, telah dilaporkan
bahwa antiretroviral (ARV) intervensi baik ibu yang terinfeksi HIV atau janin yang terpapar
HIVsecara signifikan dapat mengurangi risiko penularan HIV pasca kelahiran melalui
menyusui. Bukti ini memiliki implikasi besar untuk bagaimana perempuan yang hidup dengan
HIV mungkin dapat memberi makan bayi mereka, dan bagaimana para pekerja kesehatan harus
nasihati ibu-ibu ini. Bersama-sama, intervensi ASI dan ARV memiliki potensi secara signifikan
untuk meningkatkan peluang bayi bertahan hidup sambil tetap tidak terinfeksi HIV.
Dimana otoritas nasional mempromosikan pemberian ASI dan ARV, ibu yang diketahui
terinfeksi HIV sekarang direkomendasikan untuk menyusui bayi mereka setidaknya sampai usia
12 bulan. Rekomendasi bahwa makanan pengganti tidak boleh digunakan kecuali jika dapat
diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan dan aman (AFASS).
Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load rendah sehingga jumlah virus yang ada
dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Obat yang bisa dipilih untuk
negara berkembang adalah Nevirapine, pada saat ibu saat persalinan diberikan 200mg dosis
tunggal, sedangka bayi bisa diberikan 2mg/kgBB/72 jam pertama setelah lahir dosis tunggal.
Obat lain yang bisa dipilih adalah AZT yang diberikan mulai kehamilan 36 minggu
2x300mg/hari dan 300mg setiap jam selama persalinan berlangsung.
Belum ada penyembuhan untuk AIDS jadi yang dilakukan adalah pencegahan seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya. Tapi, apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) maka terapinya yaitu :
1. Pengendalian infeksi oportunistik. Bertujuan menghilangkan, mengendalikan dan pemulihan
infeksi opurtuniti, nosokomial atau sepsis, tindakan ini harus di pertahankan bagi pasien di
lingkungan perawatan yang kritis.
2. Terapi AZT (Azidotimidin). Obat ini menghambat replikasi antiviral HIV dengan menghambat
enzim pembalik transcriptase.
3. Terapi antiviral baru. Untuk meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi
virus atau memutuskan rantai reproduksi virus pada proses nya. Obat- obat ini adalah :
didanosina, ribavirin, diedoxycytidine, recombinant CD4 dapat larut.
4. Vaksin dan rekonstruksi virus, vaksin yang digunakan adalah interveron.
5. Menghindari infeksi lain, karena infeksi dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat replikasi
HIV.
6. Rehabilitas. Bertujuan untuk memberi dukungan mental-psikologis, membantu mengubah
perilaku risiko tinggi menjadi perilaku kurang berisiko atau tidak berisiko, mengingatkan cara
hidup sehat dan mempertahankan kondisi tubuh sehat.
7. Pendidikan. Untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan makanan yang sehat, hindari
stres, gizi yang kurang, obat-obatan yang mengganggu fungsi imun. Edukasi ini juga bertujuan
untuk mendidik keluarga pasien bagaimana menghadapi kenyataan ketika anak mengidap AIDS
dan kemungkinan isolasi dari masyarakat.

I. Pencegahan
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui tiga cara, dan bisa
dilakukan mulai saat masa kehamilan, saat persalinan, dan setelah persalinan. Cara tersebut
yaitu:
1. Penggunaan obat Antiretroviral selama kehamilan, saat persalinan dan untuk bayi yang baru
dilahirkan.
Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load menjadi lebih rendah sehingga jumlah virus
yang ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Satu tablet
nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet lagi diberi pada bayi 2–3
hari setelah lahir. Menggabungkan nevirapine dan AZT selama persalinan mengurangi penularan
menjadi hanya 2 persen.
2. Penanganan obstetrik selama persalinan
Persalinan sebaiknya dipilih dengan menggunakan metode Sectio caesaria karena metode ini
terbukti mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke bayi sampai 80%. Apabila pembedahan ini
disertai dengan penggunaan terapi antiretroviral, maka resiko dapat diturunkan sampai 87%.
Walaupun demikian, pembedahan ini juga mempunyai resiko karena kondisi imunitas ibu yang
rendah yang bisa memperlambat penyembuhan luka. Oleh karena itu, persalinan per vagina atau
sectio caesaria harus dipertimbangkan sesuai kondisi gizi, keuangan, dan faktor lain.

3. Penatalaksanaan selama menyusui


Pemberian susu formula sebagai pengganti ASI sangat dianjurkan untuk bayi dengan ibu yang
positif HIV. Karena sesuai dengan hasil penelitian, didapatkan bahwa ± 14 % bayi terinfeksi HIV
melalui ASI yang terinfeksi.
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN HIV/AIDS PADA IBU HAMIL
A. Pengkajian
1. Data yang dapat dikumpulkan pada klien yaitu data sebelum dan selama kehamilan
a. Identitas pasien
b. Riwayat Kesehatan
1) Masa lalu
2) Sekarang
c. Menstruasi
d. Reproduksi
e. Keluhan Utama
f. Data Psikologi
Kondisi ibu hamil dengan HIV / AIDS takut akan penularan pada bayi yang dikandungnya. Bagi
keluarga pasien cenderung untuk menjauh sehingga akan menambah tekanan psikologis pasien.
2. Pemeriksaan fisik
a. Breating
Kaji pernafasan ibu hamil, apabila ibu telah terinfeksi sistem pernafasan maka sepanjang jalr
pernafasan akan mengalami gangguan. Misal RR meningkat, kebersihan jalan nafas.
b. Blood
Pemeriksaan darah meliputi pemeriksaan virus HIV/AIDS. Penurunan sel T limfosit; jumlah sel
T4 helper; jumlah sel T8 dengan perbandingan 2:1 dengan sel T4; peningkatan nilai kuantitatif
P24 (protein pembungkus HIV); peningkatan kadar IgG, Ig M dan Ig A; reaksi rantai polymerase
untuk mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler; serta tes
PHS (pembungkus hepatitis B dan antibodi,sifilis, CMV mungkin positif).
c. Brain
Tingkat kesadaran ibu hamil dengan HIV/AIDS terkadang mengalami penurunan karena proses
penyakit. Hal itu dapat disebabkan oleh gangguan imunitas pada ibu hamil.
d. Bowel
Keadaan sisitem pencernaan pada ibu hamil akan mengalami gangguan. Kebanyakan gangguan
tersebut adalah diare yang lama. Hal itu disebabkan oleh penurunan sistem imun yang berada di
tubuh sehingga bakteri yang ada di saluran pencernaan akan mengalami gangguan. Hal itu dapat
menyebabkan infeksi saluran pencernaan.
e. Bladder
Kaji tingkat urin klien apakah ada kondisi patologis seperti perubahan warna urin, jumlah dan
bau. Hal itu dapan mengidentifikasikan bahwa ada gangguan pada sistem perkemihan. Biasanya
saat imunitas menurun resiko infeksi pada uretra klien.
f. Bone
Kaji respon klien, apakah mengalami kesulitan bergerak,reflek pergerakan. pada ibu hamil
kebutuhan akan kalsium meningkat,periksa apabila ada resiko osteoporosis. Hal itu dapat
memburuk dengan bumil HIV/AIDS.

B. Dignosa Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang
beresiko.
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pengeluaran yang
berlebihan ( muntah dan diare berat ).
3. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan inflamasi, kejang abdomen dan infeksi.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan HIV dan AIDS (perjalanan, penyebaran penyakit,
efek jangka panjang pada wanita dan janin.

C. Perencanaan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang
beresiko.
Tujuan : Infeksi tidak terjadi
iteria hasil : Mengidentifikasi/ikut serta dalam perilaku yang mengurangi resiko infeksi, tidak demam dan bebas
dari pengeluaran/sekresi purulen dan tanda-tanda lain dari kondisi infeksi.

INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
Mengurangi resiko kontaminasi silang.
1. pasien dan orang terdekat sebelum dan
sesudah seluruh kontak perawatan
dilakukan.
2. Berikan lingkungan bersih dan Mengurangi patogen pada system imun.
berventilasi.
3. Pantau TTV, terutama suhu. Peningkatan suhu secara berulang-ulang
dari demam yang terjadi untuk
menunjukkan bahwa tubuh bereaksi pada
proses infeksi.
4. Selidiki keluhan sakit kepala, kaku leher, Ketidak normalan neurologis umum dan
perubahan penglihatan. mungkin di hubungkan dengan HIV
ataupun infeksi sekunder.
5. Bersihkan kuku setiap hari. Dikikir lebih Mengurangi resiko tranmisi bakteri
baik daripada dipotong dan hindari pathogen melalui kulit.
memotong kutikula.
6. Periksa adanya luka/lokasi alat invasif, Identifikasi/perawatan awal dari infeksi
perhatikan tanda-tanda inflamasi/infeksi sekunder dapat mencegah terjadinya sepsis.
local.

7. Bersihkan percikan cairan tubuh/darah Mengontrol mikroorganisme pada


dengan larutan pemutih. permukaan kertas.
Kolaborasi
Dilakukan untuk mengidentifikasi demam.
8. Patau studi laboratorium. Mis. Periksa
darah, urin, sputum dan lain-lain.
9. Berikan antibiotik, antijamur dan anti Mengahambat proses infeksi.
mikroba. Seperti pentamidin atau
AZT/retrovir.

2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pengeluaran yang
berlebihan ( muntah dan diare berat ).
Tujuan : Mempertahankan massa otot yang adekuat dan mempertahankan berat antara 0,9-1,35 kg dari
berat sebelum sakit.
riteria hasil : Mempertahankan berat badan atau memperlihatkan peningkatan berat badan dan
mendemonstrasikan keseimbangan nitrogen positif, bebas dari malnutrisi dan menunjukkan
perbaikan tingkat energy.

INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
1. Kaji kemampuan mengunyah, lesi mulut, tenggorokan, dan esophagus
merasakan, dan menelan. dapat menyebabkan disfagia (penurunan
kemampuan mengolah makanan dan
mengurangi keinginan untuk makan).
2. Aukultasi bising usus. Hipermotilitas saluran intestinal umum
terjadi dan di hubungkan dengan muntah
dan diare, yang mempengaruhi pilihan diet.
3. Timbanng berat badan sesuai kebutuhan. Indicator kebutuhan nutrisi/pemasukan yang
adekuat.
4. Berikan perawatan mulut yang terus Mengurangi ketidaknyamanan yang
menerus, awasi tindakan pencegahan berhubungan dengan mual/mual, lesi oral,
sekresi. Hindari obat kumur yang penegeringan mukosa, dan halitosis. Mulut
mengandung alcohol. yang bersih akan meningkatkan napsu
makan.
5. Kaji obat-obatan tehadap efek samping profilaktik dan obat-obatan terapeutik
nutrisi. mungkin memiliki efeksamping, misalnya
AZT (pengubah rasa, mual/muntah).
6. Dorong aktivitas fisik sebanyak Dapat meningkatkan napsu makan dan rasa
mungkin. sehat.
7. Dorong pasien duduk pada saat makan. Mempermudah proses menelan dan
mengurangi resiko aspirasi.
Kolaborasi
8. Tinjau ulang pemeriksaan laboratorium. Mengindikasikan status nutrisi dan fungsi
Misalnya glukosa, protein dan albumin. organ, dan mengidentifikasi kebutuhan
pengganti.
9. Pasang/pertahankan selang NGT sesuai Mungkin diperlukan unntuk mengurangi
petunjuk. mual/muntah atau untuk pemberian makan
per selang.
10. Konsultasikan dengan tim pendukung Menyediakan diet berdasarkan kebutuhan
ahli diet/gizi. individu dengan rute yang tepat.
11. Berikan obat-obatan sesuai petujuk,
misal:
Suplemen makanan.
Kekurangan vitamin terjadi akibat
Antiemetik (metoklopramid) penurunan pemasukan makanan.
Menguraningi insiden muntah,
meningkatkan fungi gaster.

3. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan inflamasi, kejang abdomen dan infeksi.


Tujuan : Nyeri dapat diatasi dan hilang.
Kriteria hasil : Hilangnya/terkontrolnya rasa sakit, menunjukkan posisi/ekspresi wajah rileks.
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
Mengindikasikan kebutuhan untuk
1. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi,
intervensi dan juga tanda-tanda
intensitas nyeri (skala 0-10), frekuensi dan
perkembangan komplikasi.
waktu.
2. Berikan aktivitas hiburan, misalnya Memfokuskan kembali perhatian, mungkin
membaca, menonton TV dan berkunjung. dapat meingkatkan kemampuan untuk
mennanggulangi.
3. Lakukan tindakan paliatif, misalnya Meningkatkan relaksasi/menurunkan
pengubahan posisi, masase, rentang gerak tegangan otot.
pada sendi yang sakit.
4. Berikan kompres hangat/lembab pada sisi injeksi ini diketahui sebagai penyebab rasa
injeksi pentamidin IV selama 20 menit sakit dan abses steril.
setelah pemberian.
5. Instruksikan melakukan relaksasi Meningkatkan relaksasi dan perasaan sehat.
progresif dan teknik napas dalam. Dapat menurunkan kebutuhan narkotik
analgesic.
6. Berikan perawatan oral. Ulserasi/lesi mungkin menyebabkan
ketidaknyamanan yang sangat.
Kolaborasi
Memberikan penurunan nyeri/tidak
7. Berikan analgesic/antipiretik narkotik.
nyaman dan mengurangi demam.
Gunakan ADP untuk memberikan
analgasik 24 jam.

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan HIV dan AIDS (perjalanan, penyebaran penyakit,
efek jangka panjang pada wanita dan janin.
Tujuan : Pasien mengetahui pengertian, penyebab, akibat dan penatalaksanaan penyakit HIV dan AIDS.
teria hasil : Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi/proses penyakit dan tindakan, melakukan perubahan
gaya hidup yang sesuai dan berpartisipasi dalam aturan perawatan.
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
Pasien perlu waspada terhadap resiko bagi
1. Berikan informasi mengenai
dirinya sendiri sama seperti resiko bagi
system/respon imun normal dan
bayi dan orang lain disekitarnya.
bagaimana efek dari HIV, penyebaran
virus, factor yang diyakini dapat
meningkatkan kemungkinan progresifitas
penyakit.
2. Berikan informasi yang realistis optimis Perlu untuk memberikan harapan yang
selama kontak dengan pasien. realistis, untuk mengurangi resiko bunuh
diri.
3. Tinjau tanda-tanda/gejala yang mungkin Pasien mungkin mengalami penyakit akut
menjadi konsekuensi dari infeksi HIV. 2-6 minggu selama terinfeksi.
4. Tekankan perlunya memperhatikan seks Membatasi penyebaran virus. Mengerangi
yang lebih aman dan juga perlunya pemajanan pada agen infeksi/sters
menghindari penggunaan obat-obatan IV tamabahan pada system imun.
terlarang.
5. Berikan informasi mengenai perubahan Bukti menunjukkan bahwa diet yang
gaya hidup yang sesuai dengan factor khusus dan factor gaya hidup dapat
yang membantu mempertahankan berpengaruh pada perkembangan infeksi
kesehatan. HIV sampai AIDS.
6. Diskusikan strategi penatalaksanaan Keterlibatan pasien dalam perawatan
terhadap gejala-gejala dan tanda-tanda meningkatkan kerja sama dan kepuasan
yang terus menerus. dalam perawatan.
7. Dorong kontak dengan orang terdekat, Banyak yang merasa takut mengungkapkan
keluarga, dan teman. pada orang terdekat, keluarga dan teman
karena takut ditolak.

D. Evaluasi
Evaluasi memuat kriteria keberhasilan proses dan keberhasilan tindakan keperawatan.
Keberhasilan proses dapat di lihat dengan jalan membandingkan antara proses dengan
pedoman/rencana proses tersebut. Sedangkan keberhasilan tindakan dapat di lihat dengan
membandingkan antara tingkat kemandirian pasien dalam kehidupan sehari-hari dan tingkat
kemajuan kesehatan pasien dengan tujuan yang telah di rumuskan sebelumnya.
Setelah dilakukann tindakan keperawatan di harapakan pasien :
1. Dx 1 : Mengidentifikasi/ikut serta dalam perilaku yang mengurangi resiko infeksi, tidak demam
dan bebas dari pengeluaran/sekresi purulen dan tanda-tanda lain dari kondisi infeksi.
2. Dx 2 : Mempertahankan berat badan atau memperlihatkan peningkatan berat badan dan
mendemonstrasikan keseimbangan nitrogen positif, bebas dari malnutrisi dan menunjukkan
perbaikan tingkat energi.
3. Dx 3 : Hilangnya/terkontrolnya rasa sakit, menunjukkan posisi/ekspresi wajah rileks.
4. Dx 4 : Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi/proses penyakit dan tindakan, melakukan
perubahan gaya hidup yang sesuai dan berpartisipasi dalam aturan perawatan.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan dapat
mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester pertama.
Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mua, muntah, nafsu makan
berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung memperberat kondisi
klinis wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV-AIDS.
HIV/AIDS adalah topic yang sangat sensitive dan lebih banyak sehingga banyak
penelitian melibatka anak-anak yang rentan untuk terjangkit HIV. Setiap usaha dilakukan untuk
memastikan bahwa keluarga akan merasa baik.
AIDS (acquired immunodeficiency syndrome), yaitu kondisi hilangnya kekebalan tubuh
sehingga member kesempatan berkembangnya berbegai bentuk infeksi dan keganasan,
kemunduran kemampuan intelektual, dan penyakit lainnya. Dengan hilangnya semua kekebalan
tubuh manusia pada AIDS, tubuh seolah-olah menjadi tempat pembenihan bakteri, protozoa,
jamur serta terjadi degenerasi ganas.

B. SARAN
Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan saran sangat
diharapkan untuk pengerjaan makalah berikutnya yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta. EGC.


Manuaba, Ida Ayu Chandranita, dkk. 2008. Patologi Obstetri. Jakarta : EGC
Nursalam dan dwi, Ninuk. 2008. Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta:
Salemba medika.
Susanti NN. 2000. Psikologi Kehamilan. Jakarta: EGC.
http://nurseenynopilestari.blogspot.co.id/2014/03/hivaids-pada-ibu-hamil.html

Asuhan Keperawatan HIV/AIDS Pada Ibu Hamil


Filed under: Uncategorized — Tinggalkan komentar
Maret 7, 2012

LAPORAN PENDAHULUAN

HIV / AIDS PADA IBU HAMIL

I. DEFINISI

AIDS atau Acquired Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala penyakit akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV. Dalam bahasa Indonesia dapat
dialihkatakan sebagai Sindrome Cacat Kekebalan Tubuh Dapatan.

Acquired : didapat, bukan penyakit keturunan

Immune : sistem kekebalan tubuh

Deficiency : kekurangan

Syndrome : kumpulan gejala-gejala penyakit.


AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan
dengan infeksi Human Immunodefciency Virus (HIV). (Suzane C. Smetzler dan Brenda G.Bare).

Sedangkan di dalam kamus kedokteran Dorlan (2002), menyebutkan bahwa AIDS adalah suatu
penyakit retrovirus epidemik menular, yang disebabkan oleh infeksi HIV, yang pada kasus berat
bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas seluler, dan mengenai kelompok risiko tertentu,
termasuk pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat intravena, penderita hemofilia,
dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari individu yang terinfeksi virus
tersebut.

Menurut Center for Disease Control and Prevention, AIDS merupakan bentuk paling hebat dari
infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata
hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan berbagai infeksi yang dapat membawa
kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi.

II. ETIOLOGI

Penularan virus HIV/AIDS terjadi karena beberapa hal, di antaranya ;

1. Penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual). (WHO, 2003)

2. Hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan

3. Perempuan yang menggunakan obat bius injeksi dan bergantian memakai alat suntik.

4. Individu yang terpajan ke semen atau cairan vagina sewaktu berhubungan kelamin dengan
orang yang terinfeksi HIV.

5. Orang yang melakukuan transfusi darah dengan orang yang terinfeksi HIV, berarti setiap orang
yang terpajan darah yang tercemar melalui transfusi atau jarum suntik yang terkontaminasi.

III. MANIFESTASI KINIS

Manifestasi klinis yang tampak dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Manifestasi Klinis Mayor

1. Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan

2. Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus-menerus

3. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 tiga bulan


4. TBC

5. Manifestasi Klinis Minor

1. Batuk kronis selama lebih dari satu bulan

2. Infeksi pada mulut dan jamur disebabkan karena jamur Candida Albicans

3. Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh

4. Munculnya Herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal di seluruh


tubuh

IV. PATOFISIOLOGI

HIV AIDS Pada Ibu hamil


Etiologi : Infeksi Virus

Faktor Resiko :

1. Seks Bebas

2. Berganti-ganti pasangan

3. Pengguna Narkoba suntik

4. Penerima transfuse darah

5. Tenaga medis

Ibu hamil-bayi

Penularan melalui :

1. Antepartum/ in utero

2. Inpartum

3. Postpartum/ melalui ASI

Ibu

Anak

MK: Ansietas dan isolasi sosial

Efek obat

Sel epitel usus


Sistem imun

Sel hepar dan lien

Infeksi pneomocytis carinii

Mual/muntah

Diare kronis

Imunitas ↓

MK : Nutrisi Kurang dari kebutuhan tubuh

MK : Nyeri

MK : Defisit volume cairan dan kerusakan integritas kulit

Gampang Sakit

Pada bayi gg. Tumbuh kembang

hepatosplenomegali

MK : Nyeri

Pneumonia

Sersak
MK : Pola Nafas tidak efektif

MK : Resti infeksi oportunistik


V. Cara Penularan HIV/AIDS dari Ibu ke Anak

Penularan HIV dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS sebagian besar
masih berusia subur, sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang terjadi pada saat kehamilan
(Richard, et al., 1997). Selain itu juga karena terinfeksi dari suami atau pasangan yang sudah
terinfeksi HIV/AIDS karena sering berganti-ganti pasangan dan gaya hidup. Penularan ini dapat
terjadi dalam 3 periode:

1. Periode kehamilan

Selama kehamilan, kemungkinan bayi tertular HIV sangat kecil. Hal ini disebabkan karena
terdapatnya plasenta yang tidak dapat ditembus oleh virus itu sendiri. Oksigen, makanan,
antibodi dan obat-obatan memang dapat menembus plasenta, tetapi tidak oleh HIV. Plasenta
justru melindungi janin dari infeksi HIV. Perlindungan menjadi tidak efektif apabila ibu:

1. Mengalami infeksi viral, bakterial, dan parasit (terutama malaria) pada plasenta selama
kehamilan.

2. Terinfeksi HIV selama kehamilan, membuat meningkatnya muatan virus pada saat itu.

3. Mempunyai daya tahan tubuh yang menurun.


4. Mengalami malnutrisi selama kehamilan yang secara tidak langsung berkontribusi untuk
terjadinya penularan dari ibu ke anak.

5. Periode persalinan

Pada periode ini, resiko terjadinya penularan HIV lebih besar jika dibandingkan periode
kehamilan. Penularan terjadi melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau
membrane mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama
proses persalinan, maka semakin besar pula resiko penularan terjadi. Oleh karena itu, lamanya
persalinan dapat dipersingkat dengan section caesaria.

Faktor yang mempengaruhi tingginya risiko penularan dari ibu ke anak selama proses persalinan
adalah:Lama robeknya membran.

1. Chorioamnionitis akut (disebabkan tidak diterapinya IMS atau infeksi lainnya)

2. Teknik invasif saat melahirkan yang meningkatkan kontak bayi dengan darah ibu
misalnya, episiotomi.

3. Anak pertama dalam kelahiran kembar

1. Periode Post Partum

Cara penularan yang dimaksud disini yaitu penularan melalui ASI. Berdasarkan data penelitian
De Cock, dkk (2000), diketahui bahwa ibu yang menyusui bayinya mempunyai resiko
menularkan HIV sebesar 10- 15% dibandingkan ibu yang tidak menyusui bayinya. Risiko
penularan melalui ASI tergantung dari:

1. Pola pemberian ASI, bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif akan kurang berisiko
dibanding dengan pemberian campuran.

2. Patologi payudara: mastitis, robekan puting susu, perdarahan putting susu dan infeksi
payudara lainnya.

3. Lamanya pemberian ASI, makin lama makin besar kemungkinan infeksi.

4. Status gizi ibu yang buruk

VI. FAKTOR RESIKO


Kelompok orang yang berisiko tinggi terinfeksi Virus HIV sebagai berikut :

1. Janin dengan ibu yang terjangkit HIV

2. Perempuan yang menggunakan obat bius injeksi dan bergantian memakai alat suntik.

3. Pekerja seks komersial

4. Pasangan yang heteroseks dengan adanya penyakit kelamin

1. VII. PEMERIKSAAN

2. VCT (Voluntary Counseling Testing)

VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor
dan kliennya untuk mencegah penularan HIV, memberikan dukungan moral, informasi, serta
dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga , dan lingkungannya. Tujuan VCT :

1. Upaya pencegahan HIV/AIDS.

2. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan mereka


tentang faktor-faktor resiko penyebab seseorang terinfeksi HIV.

3. Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehingga secara dini mengarahkan mereka


menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi antiretroviral, serta
membantu mengurangi stigma dalam masyarakat.

4. Pemerikasaan Laboratorium

1. Tes serologis: tes antibodi serum terdiri dari skrining HIV dan ELISA;

Tes blot western untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap beberapa protein spesifik HIV.

1. Pemeriksaan histologis, sitologis urin ,darah, feces, cairan spina, luka, sputum, dan
sekresi.

2. Tes neurologis: EEG, MRI, CT Scan otak, EMG.

3. Tes lainnya: sinar X dada menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCV tahap
lanjut atau adanya komplikasi lain; tes fungsi pulmonal untuk deteksi awal pneumonia
interstisial; Scan gallium; biopsy; branskokopi.

4. Tes Antibodi
1. Tes ELISA, untuk menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi
HIV.

2. Western blot asay/ Indirect Fluorescent Antibody (IFA), untuk mengenali antibodi
HIV dan memastikan seropositifitas HIV.

3. Indirect immunoflouresence, sebagai pengganti pemerikasaan western blot untuk


memastikan seropositifitas.

4. Radio immuno precipitation assay, mendeteksi protein pada antibodi.

5. Pendeteksian HIV

Dilakukan dengan pemeriksaan P24 antigen capture assay dengan kadar yang sangat rendah.
Bisa juga dengan pemerikasaan kultur HIV atau kultur plasma kuantitatif untuk mengevaluasi
efek anti virus, dan pemeriksaan viremia plasma untuk mengukur beban virus (viral burden).

1. VIII. PENATALAKSANAAN

Belum ada penyembuhan untuk AIDS jadi yang dilakukan adalah pencegahan seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Tapi, apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) maka
terapinya yaitu :

1. Pengendalian infeksi oportunistik

Bertujuan menghilangkan, mengendalikan dan pemulihan infeksi opurtuniti, nosokomial atau


sepsis, tindakan ini harus di pertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan yang kritis.

1. Terapi AZT (Azidotimidin)

Obat ini menghambat replikasi antiviral HIV denngan menghambat enzim pembalik
transcriptase.

1. Terapi antiviral baru

Untuk meningkatkan aktivitas system immune dengan menghambat replikasi virus atau
memutuskan rantai reproduksi virus padan proses nya.obat- obat ini adalah : didanosina,
ribavirin, diedoxycytidine, recombinant CD4 dapat larut.

1. Vaksin dan rekonstruksi virus, vaksin yang digunakan adalah interveron.

2. Menghindari infeksi lain, karena infeksi dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat
replikasi HIV.
3. Rehabilitasi
Bertujuan untuk memberi dukungan mantal-psikologis, membantu mengubah perilaku
risiko tinggi menjadi perilaku kurang berisiko atau tidak berisiko, mengingatkan cara
hidup sehat dan mempertahankan kondisi tubuh sehat.

4. Pendidikan
Untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan makanan yang sehat, hindari stres,
gizi yang kurang, obat-obatan yang mengganggu fungsi imunne. Edukasi ini juga
bertujuan untuk mendidik keluarga pasien bagaimana menghadapi kenyataan ketika anak
mengidap AIDS dan kemungkinan isolasi dari masyarakat.

IX. PENCEGAHAN

Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui tiga cara, dan bisa dilakukan
mulai saat masa kehamilan, saat persalinan, dan setelah persalinan. Cara tersebut yaitu:

1. Penggunaan obat Antiretroviral selama kehamilan, saat persalinan dan untuk bayi yang
baru dilahirkan.

Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load menjadi lebih rendah sehingga jumlah virus
yang ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Resiko penularan
akan sangat rendah (1-2%) apabila terapi ARV ini dipakai. Namun jika ibu tidak memakai ARV
sebelum dia mulai sakit melahirkan, ada dua cara yang dapat mengurangi separuh penularan ini.
AZT dan 3TC dipakai selama waktu persalinan, dan untuk ibu dan bayi selama satu minggu
setelah lahir. Satu tablet nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet lagi
diberi pada bayi 2–3 hari setelah lahir. Menggabungkan nevirapine dan AZT selama persalinan
mengurangi penularan menjadi hanya 2 persen. Namun, resistansi terhadap nevirapine dapat
muncul pada hingga 20 persen perempuan yang memakai satu tablet waktu hamil. Hal ini
mengurangi keberhasilan ART yang dipakai kemudian oleh ibu. Resistansi ini juga dapat
disebarkan pada bayi waktu menyusui. Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini lebih
terjangkau di negara berkembang.

1. Penanganan obstetrik selama persalinan

Persalinan sebaiknya dipilih dengan menggunakan metode Sectio caesaria karena metode ini
terbukti mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke bayi sampai 80%. Apabila pembedahan ini
disertai dengan penggunaan terapi antiretroviral, maka resiko dapat diturunkan sampai 87%.
Walaupun demikian, pembedahan ini juga mempunyai resiko karena kondisi imunitas ibu yang
rendah yang bisa memperlambat penyembuhan luka. Oleh karena itu, persalinan per vagina atau
sectio caesaria harus dipertimbangkan sesuai kondisi gizi, keuangan, dan faktor lain.

1. Penatalaksanaan selama menyusui


Pemberian susu formula sebagai pengganti ASI sangat dianjurkan untuk bayi dengan ibu yang
positif HIV. Karena sesuai dengan hasil penelitian, didapatkan bahwa ± 14 % bayi terinfeksi HIV
melalui ASI yang terinfeksi.

ASUHAN KEPERAWATAN

HIV / AIDS PADA IBU HAMIL

1. A. Pengkajian

Pengkajian adalah langkah awal dalam melakukan asuhan keperawatan secara keseluruhan.
Pengkajian terdiri dari tiga tahapan yaitu ; pengumpulan data, pengelompakan data atau analisa
data dan perumusan diagnose keperawatan (Depkes RI, 1991 ).

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan kegiatan dalam menghimpun imformasi (data-data) dari klien.
Data yang dapat dikumpulkan pada klien yaitu data sebelum dan selama kehamilan
1. Identitas pasien

2. Riwayat Kesehatan

– Masa lalu

– Sekarang

– Menstruasi

– Reproduksi

1. Keluhan Utama

2. Data Psikologi

Kondisi ibu hamil dengan HIV /AIDS takut akan penularan pada bayi yang dikandungnya. Bagi
keluarga pasien cenderung untuk menjauh sehingga akan menambah tekanan psikologis pasien.

1. Pemeriksaan fisik

1. Breating

Kaji pernafasan bumil, apabila ibu telah terinfeksi sistem pernafasan maka sepanjang jalr
pernafasan akan mengalami gangguan. Misal RR meningkat, kebersihan jalan nafas.

1. Blood

Pemeriksaan darah meliputi pemeriksaan virus HIV/AIDS. Penurunan sel T limfosit; jumlah sel
T4 helper; jumlah sel T8 dengan perbandingan 2:1 dengan sel T4; peningkatan nilai kuantitatif
P24 (protein pembungkus HIV); peningkatan kadar IgG, Ig M dan Ig A; reaksi rantai polymerase
untuk mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler; serta tes
PHS (pembungkus hepatitis B dan antibodi,sifilis, CMV mungkin positif).

1. Brain

Tingkat kesadaran bumil dengan HIV/AIDS terkadang mengalami penurunan karena proses
penyakit. Hal itu dapat disebabkan oleh gangguan imunitas pada bumil.

1. Bowel

Keadaan sisitem pencernaan pada bumil akan mengalami gangguan. Kebanyakan gangguan
tersebut adalah diare yang lama. Hal itu disebabkan oleh penurunan sistem imun yang berada di
tubuh sehingga bakteri yang ada di saluran pencernaan akan mengalami gangguan. Hal itu dapat
menyebabkan infeksi saluran pencernaan.
1. Bladder

Kaji tingkat urin klien apakah ada kondisi patologis seperti perubahan warna urin, jumlah dan
bau. Hal itu dapan mengidentifikasikan bahwa ada gangguan pada sistem perkemian. Biasanya
saat imunitas menurun resiko infeksi pada uretra klien.

1. Bone

Kaji respon klien, apakah mengalami kesulitan bergerak,reflek pergerakan. pada ibu hamil
kebutuhan akan kalsium meningkat,periksa apabila ada resiko osteoporosis. Hal itu dapat
memburuk dengan bumil HIV/AIDS.

Analisa Data

Data Etiologi Problem

DS: biasanya pasien Buang Diare (infeksi virus HIV Kekurangan volume
air besar selama berhari- yang menyerang usus ) cairan
hari, lemas, pusing

DO: wajah pucat, matanya


cowong, kulit dan mukosa
kering, tekanan turgor
menurun

DS : biasanya pasien Mual. Muntah dan diare Perubahan nutrisi :


mengeluh lemas yang berlebihan kurang dari kebutuhan

DO: pasien terlihat kurus

DS: biasanya pasien Infeksi virus HIV Nyeri


mengeluh nyeri pada
bagian perut pada usus

DO :

P: nyeri meningkat ketika


beraktifitas

Q: nyeri

R: nyeri di daerah abdomen


kuadran kiri bawah

S: skala nyeri 8

T: nyeri hilang timbul

S : nyeri pada daerah Diare yang Kerusakan integritas


perianal
berlebihan kulit
O : kulit perianal terlihat
merah dan sedikit lecet

S : biasnya pasien Takut bayi akan Ansietas


mengeluh cemas
tertular virus HIV
O : pasien menangis

S : merasa cemas Persepsi ridak Resiko tinggi isolasi

dan takut dapat diterima social

masyarakat

1. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Kekurangan volume cairan b.d diare berat

2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d pengeluaran yang berlebihan ( muntah
dan diare berat )
3. Nyeri b.d infeksi

4. Kerusakan integritas kulit b.d diare berat

5. Ansietas b.d transmisi dan penularan interpersonal ( pada bayi )

6. Resiko tinggi isolasi sosial b.d persepsi tentang tidak akan diterima dalam masyarakat

1. C. INTERVENSI

1. Kekurangan volume cairan b.d diare berat

Tujuan :

– Mempertahankan hidrasi

Intervensi Rasional

1. Pantau tanda-tanda vital, termasuk CVP 1. Indikator dari volume cairan


bila terpasang. Catat hipertensi,
termasuk perubahan postural.

2. Catat peningkatan suhu andurasi


demam. Berikan kompres hangat sesuai
indikasi. Pertahankan pakaian tetap 1. Meningkatkan kebutuhan
kering. Pertahankan kenyamanan suhu metabolism dan diaphoresis yang
lingkungan berlebihan yang dihubungkan
dengan demam dalam
meningkatkan kehilangan cairan

1. Kaji turgor kulit, membran mukosa, dan 2. Indikator tidak langsung dari
rasa haus status cairan

2. Ukur haluan urine dan berat jenis urine. 3. Peningkatan berat jenis
Ukur/kaji jumlah kehilangan diare. Catat urin/penurunan haluaran urin
kehilangan kasat mata menunjukkan perubahan perfusi
ginjal/volume sirkulasi. Catatan :
pemantauan keseimbangan sulit
karena kehilangan melalui
gastrointestinal/tak kasat mata

4. Meskipun kehilangan berat


badan dapat
menunjukkanpenggunaan otot,
fluktuasi tibatiba menunjukkan
status hidrasi. Kehilangan cairan
1. Timbang berat badan sesuai indikasi berkenaan dengan diare dapat
dengan cepat menyebabkan
krisis dan mengancam hidup.

5. Mempertahankan keseimbangan
cairan, mengurangi rasa haus,
dan melembabkan membrane
mukosa

6. Meningkatkan pemasukan.
Cairan tertentu mungkin ter
rlalu menimbulkan nyeri untuk
dikonsumsi (misal, jeruk asam)
karena lesi pada mulut.

7. Mungkin dapat mengurangi


1. Pantau pemeriksaan oral dan diare.
memasukan cairan sedikitnya
2500ml/hari

1. Buat cairan mudah diberikan pada


pasien; gunakan cairan yang mudah
ditoleransi oleh pasien dan yang
mengandung elektrolit yang dibutuhkan,
mis., Gatorade, air daging

2. Hilangkan yang potensial menyebabkan


diare, yakni yang pedas/makanan
berkadar lemak tinggi, kacang, kubis,
susu. Mengatur kecepatan/konsentrasi
yang diberikan perselang, jika
diperlukan.
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d pengeluaran yang berlebihan ( muntah
dan diare berat )

Tujuan:

– mempertahankan massa otot yang adekuat

– mempertahankan berat antara 0,9-1,35 kg dari berat sebelum sakit

Intervensi Rasional

1. Tentukan berat badan umum sebelum 1. Penurunan berat badan dini bukan ketentuan
pasien didiagnosa HIV pasti grafik berat badan dan tinggi badan
normal. Karenanya penentuan berat badan
l terakhir dalam hubungannya berat badan dan
pra-diagnosa lebih bermanfaat.

2. Membantu memantau penurunan dan


menentukan kebutuhan nutrisi sesuai dengan
perubahan penyakit.

3. Identifikasi dari faktor-faktor ini dapat


2. Buat ukuran antropometri terbaru. membantu merencanakan kebutuhan individu.
Pasien dengan infeksi HIV menunjukkan
deficit mineral renik zinc, magnesium,
selenium. Penyalahgunaan alcohol dan obat-
obatan dapat mengganggu asupan adekuat.

3. Diskusikan/catat efek-efek samping 4. Umunya obat-obatan yang digunakan


obat-obatan terhadap nutrisi. menyebabkan anoreksia dan mual/muntah;
beberapa mempengaruhi produksi SDM
sumsum tulang.

5. Memiliki informasi ini dapat membantu


pasien memahami pentingnya diet seimbang.
Sebagaian pasien mungkin akan mencoba diet
makrobiotik maupun diet jenis lain.

4. Sediakan informasi ,mengenai nutrisi


dengan kandungan kalori, vitamin,
protein, dan mineral tinggi. Bantu pasien
merencanakan cara untuk
mempertahankan/menentukan masukan.

5. Tekankan pentingnya mempertahankan


keseimbangan/pemasukan nutrisi adekuat.

3. Nyeri b.d infeksi

Tujuan:

– Pasien bisa mengontrol nyeri/rasa sakit

Intervensi Rasional

1. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, 1. Mengindikasikan kebutuhan untuk


intensitas (skala 1-10), frekuensi, dan intervensi dan juga. Tanda-tanda
waktu. Menandai gejala nonverbal misal perkembangan/ resolusi komplikasi. Catatan:
gelisah, takikardia, meringitas. sakit yang kronis tidak menimbulkan
perubahan autonomic.

2. Dapat mengurangi ansietas dan rasa takut,


2. Dorong pengungkapan perasaan. sehingga mengurangi persepsi akan intensitas
rasasakit.

3. Memfokuskan kembali perhatian; mungkin


dapat meningkatkan kemampuan untuk
menanggulangi.
3. Berikan aktivitas hiburan, mis.,
membaca, berkunjung, dan menonton 4. Meningkatkan relaksasi/menurunkan
televisi. tegangan otot.

4. Lakukan tindakan paliatif, mis., 5. Injeksi ini diketahui sebagai penyebab rasa
pengubahan posisi, masase, rentang gerak sakit dan abses steril.
pada sendi yang sakit.
6. Meningkatkan relaksasi dan perasaan sehat.
5. Berikan kompres hangat/lembab pada Dapat menurunkan kebutuhan narkotik
sisi injeksi pentamidin/IV selama 20 analgesik (depresan SSP) dimana telah terjadi
menit setelah pemberian. proses degenaratif neuro/motor. Mungkin
tidak berhasil jika muncul demensia,
6. Instruksikan pasien/dorong untuk meskipun minor.
menggunakan visualisasi/bimbingan
imajinasi, relaksasi progresif, teknik 7. Ulserasi/lesi oral mungkin menyebabkan
napas dalam. ketidak nyamanan yang sangat.

7. Berikan perawatan oral.

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan diare berat

Tujuan:

– Pasien menunjukkan perbaikan integritas kulit

Intervensi Rasional

1. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, 1. Menentukan garis dasar diamana perubahan
turgor, sirkulasi, dan sensasi. lambarkan pada status dapat dibandingkan dan melakukan
lesi dan amati perubahan. intervensi yang tepat.

2. Secara teratur ubah posisi, ganti seprei 2. Mengurangi stress pada titik tekannan,
sesuai kebutuhan. Dorongn pemindahan meningkatkan aliran darah ke jaringan dan
berat badan secara periodik. Lindungi meningkatkan proses kesembuhan.
penonjolan tulang dengan bantal, bantalan
tumit/siku, kulit domba.
3. Pertahankan seprei bersih, kering, dan 3. Fiksasi kulit disebabkan oleh kain yang
tidak berkerut berkerut dan basah yang menyebabkan iritasi
dan potensial terhadap infeksi.

4. Gunting kuku secara teratur. 4. Kuku yang panjang/kasar meningkatkan


risiko kerusakan dermal.

1. D. EVALUASI

1. Pasien menunjukkan tingkah laku/teknik untuk mencegah kerusakan


kulit/meningkatkan kesembuhan.

2. Menunjukkan kemajuan pada luka/penyembuhan lesi.

3. Keluhan hilangnya/terkontrolnya rasa sakit

4. Menunjukkan posisi/ekspresi wajah rileks

5. Dapat tidur/beristirahat adekuat

6. Membran mukosa pasien lembab, turgor kulit baik, tanda-tanda vital stabil,
haluaran urine adekuat

7. menunjukkan nilai laboratorium dalam batas normal

8. melaporkan perbaikan tingkat energi


DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E.2000.Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta. EGC.

Nursalam dan dwi,Ninuk. 2008. Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta.
Salemba medika.

Yasmine Flores, Swabina.2007. Anak dan HIV/AIDS. Jakarta.

ibu-hamil-dengan-aids.html

Penyakit Imunologi HIV AIDS _ Ginekologi _ LUSA.html

https://elzhazhula.wordpress.com/2012/03/07/asuhan-keperawatan-hivaids-pada-
ibu-hamil/
ASUHAN KEPERAWATAN KEHAMILAN DENGAN HIV / AIDS

KEHAMILAN DENGAN HIV / AIDS


A. PENGERTIAN
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala penyakit akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV. Dalam bahasa Indonesia
sebagai Sindrome Cacat Kekebalan Tubuh Dapatan.
Acquired : Didapat, bukan penyakit keturunan
Immune : Sistem kekebalan tubuh
Deficiency : Kekurangan
Syndrome : Kumpulan gejala-gejala penyakit.
AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan
dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). (Suzane C. Smetzler dan Brenda
G.Bare).
AIDS adalah suatu penyakit retrovirus epidemik menular, yang disebabkan oleh infeksi HIV,
yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas seluler, dan mengenai
kelompok risiko tertentu, termasuk pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat
intravena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari
individu yang terinfeksi virus tersebut. (Kamus kedokteran Dorlan, 2002).
AIDS merupakan bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon
imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan
berbagai infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang
terjadi. (Menurut Center for Disease Control and Prevention).

B. ETIOLOGI
Penularan virus HIV/AIDS terjadi karena beberapa hal, di antaranya ;
1. Penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual).
2. Hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan.
3. Perempuan yang menggunakan obat bius injeksi dan bergantian memakai alat suntik.
4. Individu yang terpajan ke semen atau cairan vagina sewaktu berhubungan kelamin dengan orang
yang terinfeksi HIV.
5. Orang yang melakukuan transfusi darah dengan orang yang terinfeksi HIV, berarti setiap orang
yang terpajan darah yang tercemar melalui transfusi atau jarum suntik yang terkontaminasi.
(WHO, 2003)
C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis yang tampak dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Manifestasi Klinis Mayor
1) Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan
2) Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus-menerus.
3) Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 tiga bulan
2. Manifestasi Klinis Minor
1) Batuk kronis
2) Infeksi pada mulut dan jamur disebabkan karena jamur Candida Albicans
3) Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh
4) Munculnya Herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal di seluruh tubuh

D. PATOFISIOLOGI
HIV AIDS Pada Ibu hamil
Etiologi : Infeksi Virus
Faktor Resiko :
1. Seks Bebas
2. Berganti-ganti pasangan
3. Pengguna Narkoba suntik
4. Penerima transfusi darah
5. Tenaga medis
Ibu hamil-bayi
Penularan melalui :
1. Antepartum / in utero
2. Inpartum
3. Postpartum / melalui ASI
Cara Penularan HIV / AIDS dari Ibu ke Anak
Penularan HIV dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV / AIDS sebagian besar
masih berusia subur, sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang terjadi pada saat kehamilan
(Richard, et al., 1997). Selain itu juga karena terinfeksi dari suami atau pasangan yang sudah
terinfeksi HIV / AIDS karena sering berganti-ganti pasangan dan gaya hidup. Penularan ini dapat
terjadi dalam 3 periode:
1. Periode kehamilan
Selama kehamilan, kemungkinan bayi tertular HIV sangat kecil. Hal ini disebabkan karena
terdapatnya plasenta yang tidak dapat ditembus oleh virus itu sendiri. Oksigen, makanan,
antibodi dan obat-obatan memang dapat menembus plasenta, tetapi tidak oleh HIV. Plasenta
justru melindungi janin dari infeksi HIV. Perlindungan menjadi tidak efektif apabila ibu:
a. Mengalami infeksi viral, bakterial, dan parasit (terutama malaria) pada plasenta selama
kehamilan.
b. Terinfeksi HIV selama kehamilan, membuat meningkatnya muatan virus pada saat itu.
c. Mempunyai daya tahan tubuh yang menurun.
d. Mengalami malnutrisi selama kehamilan yang secara tidak langsung berkontribusi untuk
terjadinya penularan dari ibu ke anak.
2. Periode persalinan
Pada periode ini, resiko terjadinya penularan HIV lebih besar jika dibandingkan periode
kehamilan. Penularan terjadi melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau
membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses
persalinan, maka semakin besar pula resiko penularan terjadi. Oleh karena itu, lamanya
persalinan dapat dipersingkat dengan section caesaria.
Faktor yang mempengaruhi tingginya risiko penularan dari ibu ke anak selama proses persalinan
adalah:Lama robeknya membran.
a. Chorioamnionitis akut (disebabkan tidak diterapinya IMS atau infeksi lainnya).
b. Teknik invasif saat melahirkan yang meningkatkan kontak bayi dengan darah ibu misalnya,
episiotomy.
c. Anak pertama dalam kelahiran kembar.
3. Periode Post Partum
Cara penularan yang dimaksud disini yaitu penularan melalui ASI. Berdasarkan data penelitian
De Cock, dkk (2000), diketahui bahwa ibu yang menyusui bayinya mempunyai resiko
menularkan HIV sebesar 10- 15% dibandingkan ibu yang tidak menyusui bayinya. Risiko
penularan melalui ASI tergantung dari:
a. Pola pemberian ASI, bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif akan kurang berisiko
dibanding dengan pemberian campuran.
b. Patologi payudara: mastitis, robekan puting susu, perdarahan putting susu dan infeksi payudara
lainnya.
c. Lamanya pemberian ASI, makin lama makin besar kemungkinan infeksi.
d. Status gizi ibu yang buruk

E. PENATALAKSANAAN
Belum ada penyembuhan untuk AIDS jadi yang dilakukan adalah pencegahan seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Tapi, apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) maka
terapinya yaitu :
1. Pengendalian infeksi oportunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan dan pemulihan infeksi opurtuniti, nosokomial atau
sepsis, tindakan ini harus di pertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan yang kritis.
2. Terapi AZT (Azidotimidin)
Obat ini menghambat replikasi antiviral HIV dengan menghambat enzim pembalik transcriptase.
3. Terapi antiviral baru
Untuk meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus atau
memutuskan rantai reproduksi virus pada proses nya.Obat- obat ini adalah : didanosina,
ribavirin, diedoxycytidine, recombinant CD4 dapat larut.
4. Vaksin dan rekonstruksi virus, vaksin yang digunakan adalah interveron.
5. Menghindari infeksi lain, karena infeksi dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat replikasi
HIV.
6. Rehabilitasi
Bertujuan untuk memberi dukungan mental-psikologis, membantu mengubah perilaku risiko
tinggi menjadi perilaku kurang berisiko atau tidak berisiko, mengingatkan cara hidup sehat dan
mempertahankan kondisi tubuh sehat.
7. Pendidikan
Untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan makanan yang sehat, hindari stres, gizi
yang kurang, obat-obatan yang mengganggu fungsi imun. Edukasi ini juga bertujuan untuk
mendidik keluarga pasien bagaimana menghadapi kenyataan ketika anak mengidap AIDS dan
kemungkinan isolasi dari masyarakat.

F. PENCEGAHAN
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui tiga cara, dan bisa dilakukan
mulai saat masa kehamilan, saat persalinan, dan setelah persalinan. Cara tersebut yaitu:
1. Penggunaan obat Antiretroviral selama kehamilan, saat persalinan dan untuk bayi yang baru
dilahirkan.
Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load menjadi lebih rendah sehingga jumlah virus
yang ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Resiko penularan
akan sangat rendah (1-2%) apabila terapi ARV ini dipakai. Namun jika ibu tidak memakai ARV
sebelum dia mulai sakit melahirkan, ada dua cara yang dapat mengurangi separuh penularan ini.
AZT dan 3TC dipakai selama waktu persalinan, dan untuk ibu dan bayi selama satu minggu
setelah lahir. Satu tablet nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet lagi
diberi pada bayi 2–3 hari setelah lahir. Menggabungkan nevirapine dan AZT selama persalinan
mengurangi penularan menjadi hanya 2 persen. Namun, resistensi terhadap nevirapine dapat
muncul pada hingga 20 persen perempuan yang memakai satu tablet waktu hamil. Hal ini
mengurangi keberhasilan ART yang dipakai kemudian oleh ibu. Resistensi ini juga dapat
disebarkan pada bayi waktu menyusui. Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini lebih
terjangkau di negara berkembang.
2. Penanganan obstetrik selama persalinan
Persalinan sebaiknya dipilih dengan menggunakan metode Sectio caesaria karena metode ini
terbukti mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke bayi sampai 80%. Apabila pembedahan ini
disertai dengan penggunaan terapi antiretroviral, maka resiko dapat diturunkan sampai 87%.
Walaupun demikian, pembedahan ini juga mempunyai resiko karena kondisi imunitas ibu yang
rendah yang bisa memperlambat penyembuhan luka. Oleh karena itu, persalinan per vagina atau
sectio caesaria harus dipertimbangkan sesuai kondisi gizi, keuangan, dan faktor lain.
3. Penatalaksanaan selama menyusui
Pemberian susu formula sebagai pengganti ASI sangat dianjurkan untuk bayi dengan ibu yang
positif HIV. Karena sesuai dengan hasil penelitian, didapatkan bahwa ± 14 % bayi terinfeksi HIV
melalui ASI yang terinfeksi.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1) Data yang dapat dikumpulkan pada klien yaitu data sebelum dan selama kehamilan
1. Identitas pasien
2. Riwayat Kesehatan
a. Masa lalu
b. Sekarang
c. Menstruasi
d. Reproduksi
3. Keluhan Utama
4. Data Psikologi
Kondisi ibu hamil dengan HIV / AIDS takut akan penularan pada bayi yang dikandungnya. Bagi
keluarga pasien cenderung untuk menjauh sehingga akan menambah tekanan psikologis pasien.
2) PEMERIKSAAN FISIK
1. Breating
Kaji pernafasan bumil, apabila ibu telah terinfeksi sistem pernafasan maka sepanjang jalr
pernafasan akan mengalami gangguan. Misal RR meningkat, kebersihan jalan nafas.
2. Blood
Pemeriksaan darah meliputi pemeriksaan virus HIV/AIDS. Penurunan sel T limfosit; jumlah sel
T4 helper; jumlah sel T8 dengan perbandingan 2:1 dengan sel T4; peningkatan nilai kuantitatif
P24 (protein pembungkus HIV); peningkatan kadar IgG, Ig M dan Ig A; reaksi rantai polymerase
untuk mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler; serta tes
PHS (pembungkus hepatitis B dan antibodi,sifilis, CMV mungkin positif).
3. Brain
Tingkat kesadaran bumil dengan HIV/AIDS terkadang mengalami penurunan karena proses
penyakit. Hal itu dapat disebabkan oleh gangguan imunitas pada bumil.
4. Bowel
Keadaan sisitem pencernaan pada bumil akan mengalami gangguan. Kebanyakan gangguan
tersebut adalah diare yang lama. Hal itu disebabkan oleh penurunan sistem imun yang berada di
tubuh sehingga bakteri yang ada di saluran pencernaan akan mengalami gangguan. Hal itu dapat
menyebabkan infeksi saluran pencernaan.
5. Bladder
Kaji tingkat urin klien apakah ada kondisi patologis seperti perubahan warna urin, jumlah dan
bau. Hal itu dapan mengidentifikasikan bahwa ada gangguan pada sistem perkemihan. Biasanya
saat imunitas menurun resiko infeksi pada uretra klien.
6. Bone
Kaji respon klien, apakah mengalami kesulitan bergerak,reflek pergerakan. pada ibu hamil
kebutuhan akan kalsium meningkat,periksa apabila ada resiko osteoporosis. Hal itu dapat
memburuk dengan bumil HIV/AIDS.

B. ANALISA DATA
N DATA FOKUS ETIOLOGI PROBLEM
O
1 DS: biasanya pasien Buang air besar Diare (infeksi virus Kekurangan volume
selama berhari-hari, lemas, pusing. HIV yang menyerang cairan
DO: wajah pucat, matanya cowong,
usus )
kulit dan mukosa kering, tekanan
turgor menurun.
2 DS: biasanya pasien mengeluh lemas, Pengeluaran yang Perubahan nutrisi :
mual muntah dan diare yang berlebihan kurang dari
berlebihan kebutuhan tubuh
DO: pasien terlihat kurus.
3 DS: biasanya pasien mengeluh nyeri Infeksi Nyeri
pada bagian perut
DO :
P: nyeri meningkat ketika beraktifitas
Q: nyeri
R: nyeri di daerah abdomen kuadran
kiri bawah
S: skala nyeri 8
T: nyeri hilang timbul Infeksi virus
HIV
pada usus

4 DS: nyeri pada daerah perianal Diare berat Kerusakan integritas


DO : kulit perianal terlihat merah dan
kulit
sedikit lecet
5 DS: Pasien mengeluh cemas takut Transmisi dan Ansietas
bayi akan tertular virus HIV penularan interpersonal
DO: Pasien menangis

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kekurangan volume cairan b.d diare
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d pengeluaran yang berlebihan ( muntah dan
diare berat )
3. Nyeri b.d infeksi
4. Kerusakan integritas kulit b.d diare berat
5. Ansietas b.d transmisi dan penularan interpersonal ( pada bayi )

D. INTERVENSI
1. Kekurangan volume cairan b.d diare
Tujuan : Mempertahankan hidrasi
Intervensi:
a. Pantau tanda-tanda vital, termasuk CVP bila terpasang. Catat hipertensi, termasuk perubahan
postural.
b. Catat peningkatan suhu andurasi demam. Berikan kompres hangat sesuai indikasi. Pertahankan
pakaian tetap kering. Pertahankan kenyamanan suhu normal.
c. Kaji turgor kulit, membran mukosa, dan rasa haus.
d. Ukur haluan urine dan berat jenis urine. Ukur/kaji jumlah kehilangan diare. Catat kehilangan
kasat mata.
e. Timbang berat badan sesuai indikasi.
f. Pantau pemeriksaan oral dan memasukan cairan sedikitnya 2500ml/hari.
g. Buat cairan mudah diberikan pada pasien; gunakan cairan yang mudah ditoleransi oleh pasien
dan yang mengandung elektrolit yang dibutuhkan, mis., Gatorade, air daging.
h. Hilangkan yang potensial menyebabkan diare, yakni yang pedas/makanan berkadar lemak tinggi,
kacang, kubis, susu. Mengatur kecepatan/konsentrasi yang diberikan perselang, jika diperlukan.
i. Indikator dari volume cairan
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d pengeluaran yang berlebihan ( muntah
dan diare berat )
Tujuan:
- mempertahankan massa otot yang adekuat
- mempertahankan berat antara 0,9-1,35 kg dari berat sebelum sakit
Intervensi Rasional
1. Tentukan berat badan umum sebelum pasien didiagnosa HIV
2. Buat ukuran antropometri terbaru.
3. Diskusikan/catat efek-efek samping obat-obatan terhadap nutrisi.
4. Sediakan informasi ,mengenai nutrisi dengan kandungan kalori, vitamin, protein, dan mineral
tinggi. Bantu pasien merencanakan cara untuk mempertahankan/menentukan masukan.
5. Tekankan pentingnya mempertahankan keseimbangan/pemasukan nutrisi adekuat.
6. Penurunan berat badan dini bukan ketentuan pasti grafik berat badan dan tinggi badan normal.
Karenanya penentuan berat badan terakhir dalam hubungannya berat badan dan pra-diagnosa
lebih bermanfaat.
7. Membantu memantau penurunan dan menentukan kebutuhan nutrisi sesuai dengan perubahan
penyakit.
8. Memiliki informasi ini dapat membantu pasien memahami pentingnya diet seimbang.
Sebagaian pasien mungkin akan mencoba diet makrobiotik maupun diet jenis lain.
3. Nyeri b.d infeksi
Tujuan:
- Pasien bisa mengontrol nyeri/rasa sakit
Intervensi Rasional
1. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 1-10), frekuensi, dan waktu. Menandai
gejala nonverbal misal gelisah, takikardia, meringitas.
2. Dorong pengungkapan perasaan.
3. Berikan aktivitas hiburan, mis., membaca, berkunjung, dan menonton televise.
4. Lakukan tindakan paliatif, mis., pengubahan posisi, masase, rentang gerak pada sendi yang sakit.
5. Berikan kompres hangat/lembab pada sisi injeksi pentamidin/IV selama 20 menit setelah
pemberian.
6. Instruksikan pasien/dorong untuk menggunakan visualisasi/bimbingan imajinasi, relaksasi
progresif, teknik napas dalam.
7. Dapat mengurangi ansietas dan rasa takut, sehingga mengurangi persepsi akan intensitas
rasasakit.
8. Memfokuskan kembali perhatian; mungkin dapat meningkatkan kemampuan untuk
menanggulangi.
9. Meningkatkan relaksasi/menurunkan tegangan otot.
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan diare berat
Tujuan:
- Pasien menunjukkan perbaikan integritas kulit
Intervensi Rasional
1. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor, sirkulasi, dan sensasi. lambarkan lesi dan amati
perubahan.
2. Secara teratur ubah posisi, ganti seprei sesuai kebutuhan. Dorongn pemindahan berat badan
secara periodik. Lindungi penonjolan tulang dengan bantal, bantalan tumit/siku, kulit domba.
3. Mengurangi stress pada titik tekannan, meningkatkan aliran darah ke jaringan dan meningkatkan
proses kesembuhan.
4. Pertahankan seprei bersih, kering, dan tidak berkerut
5. Fiksasi kulit disebabkan oleh kain yang berkerut dan basah yang menyebabkan iritasi dan
potensial terhadap infeksi.
6. Gunting kuku secara teratur.Kuku yang panjang/kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.
Daftar pustaka
Nursalam dan dwi,Ninuk. 2008. Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta.
Salemba medika.
Yasmine Flores, Swabina.2007. Anak dan HIV/AIDS. Jakarta.
ibu-hamil-dengan-aids.html
Penyakit Imunologi HIV AIDS _ Ginekologi _ LUSA.
http://alvianminazuki.blogspot.co.id/2012/05/asuhan-keperawatan-kehamilan-
dengan-hiv.html

Selasa, 01 Mei 2012

MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU HAMIL
DENGAN HIV /AIDS

Diajukan Untuk Memeuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Maternitas
Disusun Oleh :
-Dadan Suhendar
-Nita Mulyana
-Atik Suharti
-Yopan Bagus G
-Yustika Rusminanti

AKPER YPIB MAJALENGKA


2012

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatakan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul ” Asuhan Keperawatan Pada Ibu Dengan HIV/AIDS “. Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah maternitas program study D3 Keperawatan
AKPER YPIB Majalengka.
Selain itu, penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan
dan banyak kesalahan. Oleh karena itu dimohon kritik dan sarannya.

Majalengka, Maret 2012

penyusun
DAFTAR ISI

Hal
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
.
DAFTAR ISI ............................................................................................ ii
..

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Tujuan Penulis ............................................................................................ 2
1.3 Perumusan Masalah ............................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian ............................................................................................ 4
.
2.2 Epidemiologi ............................................................................................ 6
.
2.3 Etiologi ............................................................................................ 7
.
2.4 Pathogenesis ............................................................................................ 8
.
2.5 Manifestasi Klinis ............................................................................................ 14
.
2.6 PemeriksaanDiagnostik ............................................................................................ 15
.
2.7 Penatalaksanaan ............................................................................................ 17
.
2.8 Pencegahan ............................................................................................ 22
.
2.9 Asuhan Keperawatan ............................................................................................ 25
.

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan . ............................................................................................ 31
3.2 Saran .... ............................................................................................ 31
DAFTAR PUSTAKA .... ............................................................................................ 32

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan dapat
mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester pertama.
Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mua, muntah, nafsu makan
berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung memperberat kondisi
klinis wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV-AIDS[1].
HIV/AIDS adalah topic yang sangat sensitive dan lebih banyak sehingga banyak
penelitian melibatka anak-anak yang rentan untuk terjangkit HIV. Setiap usaha dilakukan untuk
memastikan bahwa keluarga akan merasa baik [2].
Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu
syndrome/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang menyerang sistem
kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh, maka orang yang
terinfeksi mudah diserang penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan
infeksi oportunistik. Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada
tahun 1981 dan virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier pada tahun 1983[3].
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah penyebab penyakit dan kematian
yang terkemuka di kalangan perempuan dan anak-anak di negara-negara dengan tingkat infeksi
human immunodeficiency virus (HIV) yang tinggi. Transmisi HIV dari ibu ke anak (Mother To
Child Transmission – MCTC) adalah rute infeksi HIVpada anak yang paling signifikan.
Beberapa intervensi telah terbukti efektif dalam mengurangi MTCT termasuk pilihan persalinan
secara caeseran, substitusi menyusui dan terapi antiretroviral selama kehamilan, persalinan, dan
pasca melahirkan. Jika intervensi ini diterapkan dengan benar maka dapat mengurangi MTCT
sebesar 2% [4].
Orang-orang yang terinfeksi positif HIV yang mengetahui status mereka mungkin dapat
memberikan manfaat. Namun, seks tanpa perlindungan antara orang yang yang berisiko
membawa HIV sero-positif sebagai super infeksi, penularan infeksi seksual, dan kehamilan yang
tidak direncanakan dapat membuat penurunan kesehatan seksual dan reproduksi. Hal ini jelas
bahwa banyak pasangan yang harus didorong untuk melakukan tes HIV untuk memastikan status
mereka dengan asumsi bahwa mereka mungkin terinfeksi karena pernah memiliki hubungan
seksual denga seseorang yang telah diuji dan ditemukan sero-positif HIV[5].
Komunikasi seksualitas antara orangtua dan anak telah diidentifikasi sebagai factor
pelindung untuk seksual emaja dan kesehatan reproduksi, termasuk infeksi HIV. Meningkatkan
kesehatan seksual dan reproduksi remaja merupakan prioritas dunia. Intervensi yang bertujuan
untuk menunda perilaku seksual, mengurangi jumlah pasangan seksual dan meningkatkan
penggunaan kondom. Dari penelitian yang dilakukan di negara berkembang menunjukkan
bahwa pendidikan seksualitas memiliki potensi untuk memberikan dampak positif pada
pengetahuan, sikap, norma dan niat, meskipun mengubah perilaku seksual sangat terbatas[6].
Evolusi infeksi HIV menjadi penyakit kronis memiliki implikasi di semua pengaturan
perawat klinis. Setiap perawat harus memiliki perawatan klinis. Setiap perawat harus memiliki
pengetahuan tantang pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan kronisitas dari penyakit dalam
rangka untuk memberikan perawatan yang berkualitas tinggi kepada orang-orang dengan atau
berisiko untuk HIV.

1.2 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat :
a. Memahami tentang penyakit HIV/AIDS
b. Mengetahui bagaimana epidemiologi HIV/AIDS
c. Mengetahui etiologi pada HIV/AIDS
d. Memahami patoghenesis pada HIV/AIDS
e. Memahami manifestasi klinis pada HIV/AIDS
f. Mengetahui cara pemeriksaan diagnostik HIV/AIDS
g. Memahami pengobatan HIV/AIDS
h. Mengetahui pencegahan HIV/AIDS
i. Mengetahui prognosis pada HIV/AIDS
j. Mengetahui asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS

1.3 Perumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini, antara lain :
a. Apa pengertian HIV/AIDS ?
b. Bagaimana epidemiologi HIV/AIDS)?
c. Bagaimana etiologi pada HIV/AIDS?
d. Bagaimana patoghenesis pada HIV/AIDS?
e. Bagaimana manifestasi klinis pada HIV/AIDS?
f. Bagaimana pemeriksaan diagnostik HIV/AIDS?
g. Bagaimana pengobatan HIV/AIDS?
h. Bagaimana pencegahan HIV/AIDS?
i. Bagaimana prognosis pada HIV/AIDS?
j. Bagaimana asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel
sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksiberlangsung,
sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tahap
yang lebih lanjut dari infeksi HIV adalah acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Hal
inidapat memakan waktu 10-15tahun untukorang yangterinfeksi HIVhingga berkembang
menjadiAIDS; obat antiretroviral dapat memperlambat proses lebih jauh.HIV ditularkan melalui
hubungan seksual(anal atau vaginal), transfusi darah yang terkontaminasi, berbagi jarum yang
terkontaminasi, dan antara ibu dan bayinyaselama kehamilan, melahirkan dan menyusui[8]
Kehamilan adalah keadaan mengandung embrio atau fetus didalam tubuh, setelah
penyatuan sel telur dan spermatozoon. Kehamilan ditandai dengan berhentinya haid; mual yang
timbul pada pagi hari (morning sickness); pembesaran payudara dan pigmentasi puting;
pembesaran abdomen yang progresif. Tanda-tanda absolut kehamilan adalah gerakan janin,
bunyi jantung janin, dan terlihatnya janin melalui pemerikasaan sinar-X, atau USG[9].
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom gejala penyakit infeksi
oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV
(Human Immunodeficiency Virus) (Fogel, 1996)[9].
Menurut laporan CDR (Center for Disease Control) Amerika mengemukakan bahwa
jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada usia reproduksi. Sekitar
80% penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi prenatal dari ibunya. Seroprevalensi HIV
pada ibu prenatal adalah 0,0-1,7%, saat persalinan 0,4-0,3% dan 9,4-29,6% pada ibu hamil yang
biasa menggunakan narkotika intravena[10].
Wanita usia produktif merupakan usia yang berisiko tertular infeksi HIV. Dilihat dari
profil umur, ada kecendrungan bahwa infeksi HIV pada wanita mengarah ke umur yang lebih
muda, dalam arti bahwa usia muda lebih banyak terdapat wanita yang terinfeksi, sedangkan pada
usia di atas 45 tahun infeksi pada wanita lebih sedikit. Dilain pihak menurut para ahli kebidanan
bahwa usia reproduktif merupakan usia wanita yang lebih tepat untuk hamil dan melahirkan.
Hasil survey di Uganda pada tahun 2003 mengemukakan bahwa prevalensi HIV di klinik
bersalin adalah 6,2%, dan satu dari sepuluh orang Uganda usia antara 30-39 tahun positif HIV-
AIDS perlu diwaspadai karena cenderung terjadi pada usia reproduksi[10].
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS pada
wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah terinfeksi HIV. Pada
negara berkembang isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual suaminya di luar rumah.
Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih rendah, dan isteri sangat
percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah seksual masih dianggap tabu untuk
dibicarakan[10].
Wanita hamil lebih berisiko tertular Human Immunodeficien Virus (HIV) dibandingkan
dengan wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita hamil lebih sering dapat menularkan
HIV kepada mereka yang tidak terinfeksi daripada wanita yang tidak hamil International
Microbicides Conference 2010, abstract
#8). Peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan adalah mereka yang
berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis yang tidak diketahui[11].
Sebagaimana diketahui penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) meningkat setiap tahunnya di seluruh dunia, terutama di
Afrika dan Asia. Diperkirakan dewasa ini terdapat puluhan juta penderita HIV/AIDS. Sekitar
80% penularan terjadi melalui hubungan seksual, 10% melalui suntikan obat (terutama
penyalahgunaan narkotika), 5% melalui transfusi darah dan 5% dari ibu melalui plasenta kepada
janin (transmisi vertikal). Angka terjadinya transmisi vertikal berkisar antara 13-48%[12].
Pada pemeriksaan antenalal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil memiliki otonomi untuk
menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap HIV, setelah diberikan penjelasan yang
memuaskan mereka dan dokter harus menghormati otonomi pasiennya. Bagi ibu hamil yang
diperiksa dan ternyata HIV sero-positif, perlu diberi kesempatan untuk konseling mengenai
pengaruh kehamilan terhadap HIV, risiko penularan dari ibu ke anak, tentang pemeriksaan dan
terapi selama hamil, rencana persalinan, masa nifas dan masa menyusui[12].
Kerahasiaan perlu dijaga dalam melaporkan kasus-kasus HIV sero-positif. Dalam hal ini
diserahkan kepada ibu bersangkutan untuk menyampaikan hasilnya kepada pasangannya, perlu
dipertimbangkan untuk ruginya membuka rahasia pekerjaan dokter. Tentulah dalam memabuka
rahasia ini akan berpengaruh terhadap hubungannya dengan keluarga, teman-teman, dan
kesempatan kerja, juga berkurangnya kepercayaan pasien terhadap dokternya[12].
Untuk pasangan infertil yang menginginkan teknologi reproduksi yang dibantu dan salah
satu atau keduanya terinfeksi HIV adalah etis, jika kepada mereka diberikan pelayanan tersebut.
Dengan kemanjuan pengobatan masa kini, penderita HIV dapat hidup lebih panjang dan risiko
penularan dari ibu ke anak berkurang. Dokter dengan HIV positif tidak perlu memberitahukan
pasiennya tentang dirinya, tetapi harus berhati-hati melakukan tindakan-tindakan medik yang
mengandung risiko, seperti pembedahan obstetrik dan ginekologi, serta berhati-hati dengan alat-
alat yang digunakan[12].
Kasus HIV dan AIDS disebabkan oleh transmisi heteroseksual. Kehamilan pada ibu
dengan AIDS menimbulkan dilema, yaitu perkembangan penyakit, pilihan penatalaksanaan, dan
kemungkinan transmisi vertikal pada saat persalinan. Transmisi infeksi lewat plasenta ke janin
lebih dari 80%. Antibodi ibu melewati plasenta, dan dapat diteliti melalui uji bayi mereka. Uji
antiboti bayi dapat menentukan status HIV ibu. Uji terbaru untuk bayi adalah reaksi rantai
polimer (polymerase chain reaction, PCR) yang mengidentifikasi virus HIV neonatus.
Diperlukan pemeriksaan virus HIV yang terintegrasi pada pemeriksaan rutin ibu hamil untuk
melindunginya[13].
2.2 Epidemiologi
Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara didunia (pandemi),
termasuk diantaranya Indonesia. Hingga November 1996 diperkirakan telah terdapat sebanyak
8.400.000 kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta orang dewasa dan 1,7 juta anak-anak. Di
Indonesia berdasarkan data-data yang bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan PLP
Departemen Kesehatan RI sampai dengan 1 Mei 1998 jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 685
orang yang dilaporkan oleh 23 propinsi di Indonesia. Data jumlah penderita HIV/AIDS di
Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang sebenarnya.
Pada penyakit ini berlaku teori “Gunung Es“ dimana penderita yang kelihatan hanya sebagian
kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO mengestimasikan bahwa dibalik 1 penderita yang
terinfeksi telah terdapat kurang lebih 100-200 penderita HIV yang belum diketahui[2].
Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu memecahkan masalah
penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif dalam upaya menanggulangi
problematik jumlah penderita yang terus meningkat adalah upaya pencegahan yang dilakukan
semua pihak yang mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan transmisi yang
memungkinkan dapat terserang HIV[2].
Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung 20 tahun. Sejak tahun 2000 epidemi tersebut
sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan
prevalens > 5%), yaitu pengguna Napza suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria.
Situasi demikian menunjukkan bahwa pada umumnya Indonesia berada pada tahap concentrated
epidemic. Situasi penularan ini disebabkan kombinasi transmisi HIV melalui penggunaan jarum
suntik tidak steril dan transmisi seksual di antara populasi berisiko tinggi. Di Tanah Papua
(Provinsi Papua dan Papua Barat), keadaan yang meningkat ini ternyata telah menular lebih jauh,
yaitu telah terjadi penyebaran HIV melalui hubungan seksual berisiko pada masyarakat umum
(dengan prevalens > 1%). Situasi di Tanah Papua menunjukkan tahapan telah mencapai
generalized epidemic[14].
Epidemi HIV yang terkonsentrasi ini tergambar dari laporan Departemen Kesehatan
(Depkes) tahun 2006. Sejak tahun 2000 prevalens HIV mulai konstan di atas 5% pada beberapa
sub-populasi berisiko tinggi tertentu. Dari beberapa tempat sentinel, pada tahun 2006 prevalens
HIV berkisar 21% – 52% pada penasun, 1%-22% pada WPS, dan 3%-17% pada waria[14].
Situasi epidemi HIV juga tercermin dari hasil Estimasi Populasi Dewasa Rawan Tertular
HIV pada tahun 2006. Diperkirakan ada 4 juta sampai dengan 8 juta orang paling berisiko
terinfeksi HIV dengan jumlah terbesar pada sub-populasi pelanggan penjaja seks (PPS), yang
jumlahnya lebih dari 3,1 juta orang dan pasangannya sebanyak 1,8 juta. Sekalipun jumlah sub-
populasinya paling besar namun kontribusi pelanggan belum sebanyak penasun dalam infeksi
HIV. Gambaran tersebut dapat dilihat dari hasil estimasi orang dengan HIV dan AIDS (ODHA)
di Indonesia tahun 2006, yang jumlahnya berkisar 169.000-217.000, dimana 46% diantaranya
adalah penasun sedangkan PPS (Peria Penjajah Seks)14%[12].
Prevalensi HIV-AIDS menurun dikalangan wanita hamil pendapat ini berdasarkan hasil
survey di daerah perkotaan Kenya terutama di Busnia, Meru, Nakura, Thika, dimana rata-rata
prevalensi HIV menurun tajam dari kira-kira 28% pada tahun 1999 menjadi 9% pada tahun 2003.
Di wilayah India prevalensi secara nasional dikalangan wanita hamil masih rendah di daerah
miskin padat penduduk yaitu Negara bagian utara Uttar Pradesh dan Bihar. Tetapi peningkatan
angka penularan relatif kecil dapat berarti sejumlah besar orang terinfeksi karena wilayah
tersebut dihuni oleh seperempat dari seluruh populasi India. Prevalensi HIV lebih dari 1%
ditemukan dikalangan wanita hamil, di wilayah industri di bagian barat dan selatan India[12].
Namun data terbaru dari Afrika Selatan memperlihatkan bahwa prevalensi HIV
dikalangan wanita hamil saat ini telah mencapai angka tertinggi, yaitu 29,5% dari seluruh wanita
yang mengunjungi klinik bersalin yang positif terinfeksi HIV ditahun 2004. Prevalensi tertinggi
adalah dikalangan wanita usia 25-34 tahun atau lebih yaitu satu dari tiga wanita yang
diperkirakan akan terinfeksi HIV. Tingkat prevalensi yang tertinggi melebihi 30% dikalangan
wanita hamil masih terjadi juga pada empat Negara lain di wilayah Botswana, Lesotho, Nambia
dan Swaziland[10].

2.3 Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-
kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV),
sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas
kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV[3].
Muman Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang
asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel
target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus
HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus
yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus
dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama hidup penderita tersebut[3].
` Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic
Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid
dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang
rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk
virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah
dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan
sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet[3].
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV
dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak[3].

2.4 Pathogenesis
HIV merupakan retrovirus yang ditransmisikan dalam darah, sperma, cairan vagina, dan
ASI. Cara penularan telah dikenal sejak 1980-an dan tidak berubah yaitu secara; seksual
hubungan seksual, kontak dengan darah atau produk darah, eksposur perinatal, dan menyusui.
HIV muncul sebagai epidemic global pada akhir tahun 1970. Pada tahun 2007 diperkirakan 33
juta orang diseluruh dunia hidup dengan HIV, 2 juta orang meninggal dari komplikasi AIDS, dan
15 juta anak-anak menjadi yatim piatu akibat kehilangan salah satu atau kedua orang tua mereka
karena AIDS[6].
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu
sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan
tempat masuk kuman (port’d entrée)[3].
Transmisi human immunodefiency virus (HIV) terjadi terutama melalui pertukaran cairan
tubuh (misalnya darah, semen, peristiwa perinatal). Depresi berat pada sistem imun selular
menandai sindrom immunodefiensi didapat (AIDS). Walaupu populasi berisiko tinggi telah
didokumentasi dengan baik,semua wanita harus dikaji untuk mengetahui[16].
Begitu HIV memasuki tubuh, serum HIV menjadi positif dalam 10 minggu pertama
pemaparan. Walaupun perubahan serum secara total asimptomatik, perubahan ini disertai
viremia, respons tipe-influenza terhadap infeksi HIV awal. Gejala meliputi demam, malaise,
mialgia, mual, diare, nyeri tenggorok, dan ruam dan dapat menetap selama dua sampai tiga
minggu[16].
Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai
organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum
yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai
cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau
servik dan darah penderita[3].
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara
penularan HIV yang diketahui adalah melalui[3]:
1. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual
merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan
semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV
kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks,
jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan
resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang
dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti
pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
a. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita
AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.
Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi
penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari
seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan
mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.
b. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada
promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun
wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
2. Transmisi Non Seksua
a. Transmisi Parenral
- Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik
yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang
dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi
parental ini kurang dari 1%.
- Darah/Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985.
Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor
telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah
lebih dari 90%.
b. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%.
Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air
susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

PENULARAN HIV DARI WANITA KEPADA BAYINYA


Penularan HIV ke ibu bisa akibat hubungan seksual yang tidak aman (biseksual atau
hommoseksual), pemakaian narkoba injeksi dengan jarum bergantian bersama penggidap HIV,
tertular melalui darah dan produk darah, penggunaan alat kesehatan yang tidak steril, serta alat
untuk menorah kulit. Menurut CDC penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita secara
berurutan dari yang terbesar adalah pemakaian obat terlarang melalui injeksi 51%, wanita
heteroseksual 34%, dtransfusi darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak 7%[17].
Cara penularan virus HIV-AIDS pada wanita hamil dapat melalui hubungan seksual.
Salah seorang peneliti mengemukakan bahwa penularan dari suami yang terinfeksi HIV ke
isterinya sejumlah 22% dan isteri yang terinfeksi HIV ke suaminya sejumlah 8%. Namun
penelitian ain mendapatkan serokonversi (dari pemeriksaan laboratorium negatif menjadi positif)
dalam 1-3 tahun dimana didapatkan 42% dari suami dan 38% dari isteri ke suami dianggap
sama[10].
Penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak bisa melalui darah, penularan melalui hubungan
seks. Penularan dari ibu ke anak karena wanita yang menderita HIV atau AIDS sebagian besar
(85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang bisa terjadi
saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika prevalensi penularan HIV dari ibu
ke bayi adalah 0,01 % sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIv dan belum ada gejala AIDS
kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20-35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada
ibu kemungkinannya mencapai 50%[17].
Penularan juga terjadi pada proses persalinan melalui transfuse fetomaternal atau kontak
antara kulit atau membrane mukosa bayi dan darah atau sekresi maternal saat melahirkan.
Semakin lama proses persalinan semakin besar resiko, sehingga lama persalinan bisa dicegah
dengan operasi section caesarea. Transmisi lain terjadi selama periode post partum melalui ASI,
resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%[17].
Kasus HIV-AIDS disebabkan oleh heteroseksual. Virus ini hanya dapat ditularkanmelalui
kontak langsung dengandarah, semen, dan sekret vagina. Dan sebagian besar (75%) penularan
terjadi melalui hubungan seksual. HIV tergolong netrovirus yang memiliki materi genetik RNA.
Bilamana virus masuk kedalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA diubah menjadi DNA
oleh enzim reverse transcriptase. DNA provirus tersebut diintegrasikan kedalam sel hospes dan
selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus[10].
Penularan secara vertikal dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan atau pada periode
intrapartum atau postpartum. HIV ditemukan pada jaringan fetal yang berusia 12 dan 24 minggu
dan terinfeksi intrauterin sejumlah 30-50% yang penularan secara vertikal terjadi sebelum
persalinan, serta 65% penularan terjadi saat intrapartum. Pembukaan serviks, vagina, sekresi
serviks dan darah ibu meningkatkan risiko penularan selama persalinan. Lingkungan biologis,
dan adanya riwayat ulkus genitalis, herpes simpleks, dan SST (Serum Test for Syphilis) yang
positif meningkatkan prevalensi infeksi HIV karena adanya luka-luka merupakan tempat
masuknya HIV. Sel-sel limfosit T4/CD4 yang mempunyai reseptor untuk menangkap HIV akan
aktif mencari luka-luka tersebut dan selanjutnya memasukkan HIV tersebut ke dalam peredaran
darah[10].
Perubahan anatomi dan fisiologi maternal berdampak pula pada perubahan uterus, serviks
dan vagina, dimana terjadi hepertropi sel otot oleh karena meningkatnya elastisitas dan
penumpukan jaringan fibrous, yang menghasilkan vaskularisasi, kongesti, udem pada trimester
pertama, keadaan ini mempermudah erosi ataupun lecet pada saat hubungan seksual. Keadaan ini
juga merupakan media untuk masuknya HIV. Penularan HIV yang paling sering terjadi antara
pasangan yang salah satunya sudah terinfeksi HIV mendekati 20% setelah melakukan hubungan
seksual dengan tidak menggunakan kondom[10].
Peneliti lain mengemukakan faktor yang dapat meningkatkan penularan HIV
heteroseksual dengan tidak menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seksual
dengan pasangan yang memiliki lesi pada organ vital, yang disebabkan oleh infeksi sifilis atau
herpes simpleks, meningkatkan transfer virus melalui lesi sehingga terjadi kerusakan membran
mukosa dan merangsang limfosit CD4 untuk bergabung dengan jaringan yang mengalami
inflamasi[10].

PERIODE PRENATAL
Insiden HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (ACOG, 1992a). Riwayat
kesehatan, pemeriksaan fisik, dan pemeeriksaan laboratorium harus meregleksikan perkiraan ini
jika wanita dan bayi baru lahir akan menerima perawatan yang tepat. Individu yang berada pada
kategori infeksi HIV meliputi[16]:
1. wanita dan pasangan dari daerah geografi tempat HIV umum terjadi;
2. wanita dan pasangan yang menggunakan obat-obatan intravena;
3. wanita dengan PMS persisten dan PMS rekuren;
4. wanita yang menerima transfuse darah antara tahun 1987 dan 1985;
5. setiap wanita yang yakin bahwa ia mungkin terpapar HIV.
Informasi tentang HIV dan ketersediaan pemeriksaan HIV harus ditawarkan kepada
wanita berisiko tinggi pada saat pertama kali mereka dating ke perawatan prenatal. Hasil
negative pada pemeriksaan HIV prenatal pertama bukan suatu garansi bahwa titer selanjutnya
akan negative[16].
Pemeriksaan prenatal juga dapat menunjukkan adanya gonrorea, C. trachomatis, hepatitis
B, Micobacterium tuberculosis, kandidiasis (infeksi orofaring atau infeksi vaginal kronis),
sitomegalovirus (CMV), dan toksoplasmosis. Sekitar setengah jumlah penderita AIDS
mengalami peningkatan titer[16].
Beberapa ketidaknyamanan prenatal (mis., keletihan, anoreksia, dan penurunan berat
badan. Menyerupai tanda dan gejala infeksi HIV. Diagnosis banding semua keluhan akibat
kehamilan dan gejala infeksi dibenarkan. Tanda-tanda utama perburukan infeksi HIV meliputi
penurunan berat badan, lebih dari 10% berat badan sebelum hamil, diare kronis selama lebih dari
satu bulan, dan demam (intermiten atau konstan) selama lebih dari satu bulan[16].
Untuk menyokong sistem imun wanita hamil, konseling diberikan, mencakup nutrisi
optimum, tidur, istirahat, latihan fisik, dan reduksi stress. Apabila infeksi HIV didiagnosis,
wanita diberi penjelasan tentang teknik berhubungan seksual yang lebih aman. Penggunaan
kondom dan spermisida 9 non-oksinol dianjurkan untuk meminimalkan pemaparan HIV lebih
jauh jika pasangan wanita tersebut merupakan sumber infeksi. Hubungan seksual orogenital
tidak dianjurkan. Hal yang sama penting ialah merujuk wanita tersebut menjalani rehabilitasi
untuk menghentikan penyalahgunaan substansi. Penyalahgunaan alcohol atau obat-obatan lain
mengganggu sistem imun tubuh dan meningkatkan risiko AIDS dan kondisi terkait[16]:
1. sistem imun tubuh harus rusak dulu sebelum HIV dapat menimbulkan penyakit
2. alcohol dan obat-obatan mengganggu banyak terapi medis dan terapi alternatif untuk AIDS
3. dan obat-obatan mempengaruhi pertimbangan pengguna yang menjadi lebih cenderung
terlibat dalam aktivitas yang membuatnya berisiko mengidap AIDS aatau meningkatkan
pemaparan terhadap HIV
4. alcohol dan penyalahgunaan obat menyebabkan stress, termasuk masalah tidur, yang
membahayakan fungsi sistem imun.
Terapi farmakologi untuk infeksi HIV berkembang dengan pesat sejak virus tersebut
ditemukan. Obat primer yang disetujui untuk terapi infeksi HIV adalah 3’azido-3’-deoksitimidin
(zidovudin, AZT [Retrivirl]). Walaupun obat ini menjanjikan hasil yang baik bagi terapi infeksi
HIV, penggunaannya dalam kehamilan dibatasi karena adanya potensi efek mutagenic atau
toksik potensial pada janin. Azitomidin saat ini dipelajari pada beberapa penelitian terkendali
pada wanita hamil, yang memiliki hitung sel T-helper kurang dari 400 sel/mm 3 dan terbukti
secara signifikan mengurangi risiko transmisi HIV dari wanita terinfeksi ke janinnya[16].

PERIODE INTRAPARTUM
Perawatan wanita bersalin tidak secara sustansial berubah karena infeksi asimptomatik
HIV. Model kelahiran yang akan dilakukan didasarkan hanya pada pertimbangan obstetric karena
virus menembus plasenta pada tahap awal kehamilan[16].
Focus utama adalah mencegah persebaran nosokomial HIV dan melindungi tenaga
keperawatan kesehatan. Risiko tranmisi HIV dianggap rendah selama proses kelahiran per
vaginam terlepas dari kenyataan bahwa bayi terpapar pada darah, cairan amniotic, dan sekresi
vagina ibunya[16].
Pemantauan janin secara elektronik dan eksternal lebih dipilih jika pemantauan
diperlukan. Ada kemungkinan inokulasi virus ke neonates jika pengambilan sampel darah
dilakukan pada kulit kepala janin atau elektroda dipasang pada kulit kepala janin. Selain itu,
individu yang melakukan salah satu prosedur ini berisiko tertusuk jarum pada jarinya[16].

PERIODE PASCAPARTUM
Hanya sedikit diketahui tentang kondisi klinis wanita yang terinfeksi HIV selama periode
pascapartum. Walaupun periode pascapartum awal tidak signifikan, follow-up yang lebih lama
menunjukkan frekuensi penyakit klinis yang tinggi pada ibu yang anaknya menderita penyakit.
Konseling tentang pengalihan pengasuhan anak dibutuhkan jika orang tua tidak lagi mampu
merawat diri mereka[16].
Terlepas dari apakah infeksi terdiagnosis, roses keperawatan diterapkan dengan cara yang
peka terhadap latar belakang budaya individu dan dengan menjunjung nilai kemanusiaan. Infeksi
HIV merupakan suatu peristiwa biologi, bukan suatu komentarmoral. Sangat penting untuk
diingat, ditiru, dan diajarkan bahwa reaksi (pribadi) terhadap gaya hidup, praktik, atau perilaku
tidak boleh mempengaruhi kemampuan perawat dalam member perawatan kesehatan yang
efektif, penuh kasih sayang, dan obyektif kepada semua individu[16].
Bayi baru lahir dapat bersama ibunya, tetapi tidak boleh disusui. Tindakan kewaspadaan
universal harus diterapkan, baaik untuk ibu maupun bayinya, sebagaimana yang dilakukan pada
semua pasien. Wanita dan bayinya dirujuk ke tenaga kesehatan yang berpengalaman dalam terapi
AIDS dan kondisi terkait[16].

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala dari infeksi akut HIV terjadi sekitar 50% kepada seseorang yang baru terinfeksi.
Gejala yang ditimbulkan adalah[6]:
 Demam
 Malaise
 Ruam
 Myalgia
 Sakit kepala
 Meningitis
 Kehilangan napsu makan
 Berkeringat
Adapun gejala infeksi HIV kronis sebagai berikut[6]:
 Infeksi bakteri berulang
 Candidiasis di saluran bronkus, trachea, paru dan esophagus
 Herpes simpleks kronis
 Kaposi sarcoma (proliferasi vaskuler neoplastik ganas yang multi sentrik dan ditandai
dengan nodul-nodul kutan berwarna merah kebiruan, biasanya pada pada ekstremitas bawah
yang ukuran dan jumlahnya membesar dan menyebar ke daerah yang lebih proksimal)
 Pneumoncystis
 Wasting syndrome
Gejala infeksi HIV pada wanita hamil, uumnya sma dengan wanita tidak hamil atau
orang dewasa. infeksi HIV memberikan gambaran klinis yang tidak spesifik dengan spectrum
yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatik) pada stadium awal sampai pada gejala-
gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala
AIDS rata-rata baru timbl 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi[15].
Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala apapun. mereka merasa
sehat dan juga dari luar Nampak sehat-sehat saja. Namun orang yang terinfeksi HIV akan
menjadi pembawa dan penular HIV kepada orang lain[15].
Kelompok orang-orang HIV tanpa gejala dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu[15]:
1. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tetapi tanpa gejala dan tes darahnya negatif. pada
tahap dini ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Waktu antara masuknya HIV disebut
window period yang memerlukan waktu antara 15 hari sampai 3 bulan setelah terinfeksi HIV.
2. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tanpa gejala tetapi tes darah positif. Keadaan tanpa
gejala ini dapat berlangsung lama sampai 5 tahun atau lebih.
CDC (Center for Disease Control, USA, 1986) menetapkan klasifikasi infeksi HIV pada
orang dewasa sebagai berikut[6]:
 Kelompok I: infeksi akut
 Kelompok II: infeksi asimptomatik
 Kelompk III: Infeksi Limpadenopati Generalisata Persisten (LGP)
 Kelompok IV: penyakit-penyakit lain.
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
`Tes-tes saat ini tidak membedakan antara antibody ibu/bayi, dan bayi dapat
menunjukkan tes negative pada usia 9 sampai 15 bulan. Penelitian mencoba mengembangkan
prosedur siap pakai yang tidak mahal untuk membedakan respons antibody bayi vs.ibu[18]:
 Hitung darah lengkap (HDL) dan jumlah limfosit total: Bukan diagnostic pada bayi baru
lahir tetapi memberikan data dasar imunologis.
 EIA atau ELISA dan tes Western Blot: Mungkin positif, tetapi invalid
 Kultur HIV (dengan sel mononuclear darah perifer dan, bila tersedia, plasma).
 Tes reaksi rantai polymerase dengan leukosit darah perifer: Mendeteksi DNA viral pada
adanya kuantitas kecil dari sel mononuclear perifer terinfeksi.
 Antigen p24 serum atau plasma: peningkatan nilai kuantitatif dapat menjadi indikatif dari
kemajuan infeksi (mungkin tidak dapat dideteksi pada tahap sanagt awal infeksi HIV)
 Penentuan immunoglobulin G, M, dan A serum kualitatif (IgG, IgN, dan IgA): Bukan
diagnostic pada bayi baru lahir tetapi memberikan data dasar imunoogis.

Diagnosis pada Bayi dan Anak


Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama periode
neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah pneumonia yang
disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan ifeksi HIV
adalah gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral, diare kronis, atau hepatosplenomegali
(pembesaran hapar dan lien)[17].
Karena antibody ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan, maka tes
ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV karena tes ini
berdasarkan ada atau tidaknya antibody terhadap virus HIV. Tes paling spesifik untuk
mengidentifikasi HIV adalah PCR pada dua saat yang berlainan. DNA PCR pertama diambil saat
bayi berusia 1 bulan karena tes ini kurang sensitive selama periode satu bulan setelah lahir. CDC
merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat bayi berusia empat
bulan. Jika tes ini negative, maka bayi terinfeksi HIV. Tetapi bila bayi tersebut mendapatkan ASI,
maka bayi resiko tertular HIV sehingga tes PCR perlu diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18
bulan, pemeiksaan ELISA bisa dilakukan pada bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang
lain[17].
Anak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan kombinasi
antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV sering mengalami infeksi
bakteri kumat-kumatan, gagal tumbuh atau wasting, limfadenopati menetap, keterlambatan
berkembang, sariawan pada mulut dan faring. Anak usia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis
dengan ELISA dan tes konfirmasi lain seperti pada dewasa. Terdapat dua klasifikasi yang bisa
digunakan untuk mendiagnosis bayi dan anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan WHO[17].
CDC mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung limfosit
CD4+ dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan berdasarkan derajat imunosupresi (1,
2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B, C, E). Klasifikasi ini memungkinkan adanya surveilans
serta perawatan pasien yang lebih baik. Klasifikasi klinis dan imunologis ini bersifat eksklusif,
sekali pasien diklasifikasikan dalam suatu kategori, maka diklasifikasi ini tidak berubah
walaupun terjadi perbaikanstatus karena pemberian terapi atau factor lain[17].
Menurut Depkes RI (2003), WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah
penularan HIV dari ibu ke anak dan anak, yaitu dengan mencegah jangan sampai wanita
terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah dengan HIV/AIDS dicegah supaya tidak hamil, apabila
sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular pada bayi dan anaknya, namun bila ibu
dan anak sudah terinfeksi maka sebaiknya diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan
keluarga[17].
Uji HIV pada Wanita Hamil
CDC telah merekomendasikan skrining rutin HIV secara suka rela pada ibu hamil sejak
tahun 2001. Banyak dokter telah mengadopsi kebijakan universal opt-out skrining HIV (yang
berarti bahwa pengujian adalah otomatis kecuali jika wanita secara khusus memilih untuk tidak
di uji) pada wanita hamil selama tes kehamilan rutin dan telah dieliminasi persyaratan untuk
konseling sebelum uji dilakukan dan persetujuan tertulis untuk tes HIV. Penelitian dianalisis oleh
Angkatan US Preventive Services Task mengungkapkan bahwa pada tahun 1995 tingkat tes HIV
di antara wanita hamil di Amerika Serikat adalah 41% 9 (dianjurkan dilakukan tes universal pada
tahun pertama kehamilan) dan meningkat menjadi 60% pada 1998. Pada tahun 2005, di negara
bagian dan provinsi Kanada yang telah menerapkan pengujian "opt-out", angka tes HIV di antara
perempuan hamil berkisar antara 71% sampai 98%, dibandingkan dengan 15% menjadi 83%
dalam keadaan dan provinsi yang memiliki Kebijakan “opt-in” yang membutuhkan seorang
wanita untuk secara khusus meminta tes HIV[6].
Identifikasi dini pada wanita hamil memungkinkan untuk pemberian pengobatan terapi
antiretroviral untuk mendukung kesehatan dan mengurangi risiko penularan bayinya. Tes HIV
direkomendasikan Tes HIV direkomendasikan untuk semua wanita hamil pada kunjungan
prenatal pertama. Tes HIV kedua, selama trimester ketiga sebelum 36 minggu kehamilan, juga
dianjurkan bagi wanita yang berisiko, tinggal di daerah prevalensi HIV tinggi, atau memiliki
tanda-tanda atau gejala yang konsisten dengan infeksi HIV akut[6].
Jika seorang wanita yang berstatus HIV belum didokumentasikan ketika dia tiba saat
persalinan dan melahirkan, tes cepat HIV harus ditawarkan. Jika hasil tes awal positif, segera
inisiasi ARV profilaksis yang tepat intravena harus direkomendasikan tanpa menunggu
konfirmasi hasil. Jika wanita menolak pengujian, bayi baru lahir harus menerima pengujian cepat
sesegera mungkin setelah lahir sehingga profilaksis antiretroviral dapat ditawarkan jika terdapat
indikasi[6].

2.7 Penatalaksanaan
Pengalaman program yang signifikan dan bukti riset tentang HIV dan pemberian
makanan untuk bayi telah dikumpulkan sejak rekomendasi WHO untuk pemberian makanan
bayi dalam konteks HIV terakhir kali direvisi pada tahun 2006. Secara khusus, telah dilaporkan
bahwaantiretroviral (ARV) intervensi baik ibu yang terinfeksi HIV atau janin yang terpapar
HIVsecara signifikan dapat mengurangi risiko penularan HIV pasca kelahiran melalui
menyusui. Bukti ini memiliki implikasi besar untuk bagaimana perempuan yang hidup dengan
HIV mungkin dapat memberi makan bayi mereka, dan bagaimana para pekerja kesehatan harus
nasihati ibu-ibu ini. Bersama-sama, intervensi ASI dan ARV memiliki potensi secara signifikan
untuk meningkatkan peluang bayi bertahan hidup sambil tetap tidak terinfeksi HIV[19].
Meskipun rekomendasi 2010 umumnya konsisten dengan panduan sebelumnya, mereka
mengakui dampak penting dariARV selama masa menyusui, dan merekomendasikan bahwa
otoritas nasional di setiap negarauntuk memutuskan praktik pemberian makan bayi, seperti
menyusui yaitu dengan intervensi ARVuntuk mengurangi transmisi atau menghindari menyusui,
harus dipromosikan dan didukung oleh layanan Kesehatan Ibu dan Anak mereka. Hal ini berbeda
dengan rekomendasi sebelumnya di mana petugas kesehatan diharapkan untuk memberikan
nasihat secara individual kepada semua ibu yang terinfeksi HIV tentang berbagai macam pilihan
pemberian makanan bayi, dan kemudian ibu-ibu dapat memilih cara untuk pemberian makanan
bayinya[19].
Dimana otoritas nasional mempromosikan pemberian ASI dan ARV, ibu yang diketahui
terinfeksi HIV sekarang direkomendasikan untuk menyusui bayi mereka setidaknya sampai usia
12 bulan. Rekomendasi bahwa makanan pengganti tidak boleh digunakan kecuali jikadapat
diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan dan aman (AFASS) [19].
Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load rendah sehingga jumlah virus yang ada
dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Obat yang bisa dipilih untuk
negara berkembang adalah Nevirapine, pada saat ibu saat persalinan diberikan 200mg dosis
tunggal, sedangka bayi bisa diberikan 2mg/kgBB/72 jam pertama setelah lahir dosis tunggal.
Obat lain yang bisa dipilih adalah AZT yang diberikan mulai kehamilan 36 minggu
2x300mg/hari dan 300mg setiap jam selama persalinan berlangsung [17].

Intervensi Terapetik Antiretrovirus


Terapi yang sekarang berlaku menghadapi masalah membidik berbagai harapan dalam
proses masuknya virus ke dalam sel dan replikasi virus, memanipulasi gen virus untuk
mengendalikan produksi protein virus, membangun kembali sistem imun, mengkombinasikan
terapi, dan mencegah resistensi obat. Dua pemeriksaan laboratorium, hitung sel T CD4+ dan
kadar RNA HIV serum, digunakan sebagai alat untuk memantau risiko perkembangan penyakit
dan menentukan waktu yang tepat untuk memulai atau memodifikasi regimen obat. Hitung sel T
CD4+ memberikan informasi mengenai status imunologik pasien yang sekarang, sedangkan
kadar RNA HIV serum (viral load) memperkirakan prognosis klinis (status hitung sel T CD4+
dalam waktu dekat). Hitung RNA HIV sebesar 20.000 salinan/ml (2x104) dianggap oleh banyak
pakar sebagai indikasi untuk memberikan terapi antiretrovirus berapa pun hasil hitung sel T
CD4+. Pengukuran serial kadar RNA HIV dan sel T CD4+ serum sangat bermanfaat untuk
mengetahui laju perkembangan penyakit, angka pergantian virus, hubungan antara
pengaktivasian sistem imun dan replikasi virus, dan saat terjadinya resistensi obat antiretrovirus
disebabkan oleh penurunan kadar RNA HIV[20].
Tujuan utama terapi antivirus adalah penekanan secara maksimum dan berkelanjutan
jumlah virus, pemulihan atau pemeliharaan (atau keduanya) fungsi imunologik, perbaikan
kualitas hidup, dan pengurangan morbiditas an mortalitas HIV[20].
Prinsip pengobatan untuk infeksi HIV[20]
1. replikasi HIV yang berlangsung terus menerus menyebabkan sistem imun rusak dan
berkembang menjadi AIDS. Infeksi HIV selalu merugikan dan kesintasan jangka-panjang sejati
yang bebas dan disfungsi sistem imun sagat jarang terjadi.
2. Kadar RNA HIV dalam plasma menunjukkan besarnya replikasi HIV dan berkaitan dengan
laju destruksi limfosit T CD4+ untuk yang terinfeksi oleh HIV, perlu dilakukan pengukuran
periodik berkala kadar RNA HIV plasma dan hitung sel T CD4+ untuk menentukan factor risiko
perkembangan penyakit serta mengetahui saat yang tepat untuk memulali atau memodifikasi
regimen terapi antiretrovirus
3. Karena laju perkembangan penyakit berbeda diantara orang-orang yang terinfeksi HIV,
maka keputusan tentang pengobatan harus disesuaikan orang per orang berdasarkan tingkat
risiko yang ditunjukkan oleh kadar RNA HIV plasma dan hitung sel T CD4+.
4. Pemakaian terapi antiretrovirus kombinasi yang poten untuk menekan replikasi HIV
dibawah kadar yang dapat dideteksi oleh pemeriksaan-pemeriksaan RNA HIV plasma yang
sensitive akan membatasi kemungkinan munculnya varian-varian HIV resisten-penyakit. Karena
itu, tujuan terapi seyogyanya adalah penekanan replikasi HIV semaksimal yang dapat dicapai.
5. Cara paling efektif untuk menekan replikasi virus dalam jangka panjang lama dalah
pemberian secara simultan kombinasi obat-obat anti-HIV yang efektif yang belum pernah
diterima oleh pasien dan tidak memperlihatkan resistensi silang dengan obat antiretrovirus yang
pernag diterima oleh pasien.
6. Setiap obat antiretrovirus yang digunakan dalam regimen terapi kombinasi harus selalu
dipakai sesuai jadwal dan dosis yang optimal.
7. Jumlah dan mekanisme kerja obat-obat antiretrovirus efektif yang tersedia masih terbatas,
karena telah terbukti adanya resistensi-silang di antara obat-obat spesifik. Karena itu, setiap
perubahan dalam terapi antiretrovirus meningkatkan pembatasan-pembatasan terapetik di masa
mendatang.
8. Perempuan harus mendapat terapi antiretrovirus yang oprimal, tanpa memandang status
kehamilan.
9. Prinsip terapi antiretrovirus yang sama juga berlaku pada anak, remaja dan dewasa yang
terinfeksi HIV, walaupun terapi pada anak yang terinfeksi oleh HIV memerlukan pertimbangan
farmakologik, virologik, dan imunologik tersendiri.
10. Individu yang terdeteksi pada infeksi HIV akut harus diterapi dengan terapi antiretrovirus
kombinasi untuk menekan replikasi virus sampai ke kadar batas deteksi pemeriksaan –
pemeriksaan RNA HIV plasma sensitive.
11. Individu yang terinfeksi oleh HIV, walaupun dengan kadar virus yang dibawah batas yang
dapat dideteksi, harus terap dianggap menular. Dengan demikian, para pasien harus diberi
penyuluhan untuk menghindari perilaku seksual dan penyalahgunaan obat yang berkaitan dengan
penularan atau akuisisi HIV dan pathogen menular lainnya.

Tabel 1. Rekomendasi untuk pengobatan antiretroviral infeksi HIV selama kehamilan[21]


Kelas Obat
NRTI NNRTI Protease inhibitor Entry inhibitor Integrase
Rekomendasi inhibitor
Direkomendasikan Zidovudine, Nevirapinea Lopinavir/ritonavir ... ...
lamividine
Agen Pengganti Didanosine,b ... Indinavir, ritonavil, saquinavir ... ...
emtricitabine, hard gel capsule, nelvinafire
stavudine,b abacavir
Ketidakcukupan Tenofovir ... Atazanavir, darunavir,
Enfuvirtide, maraviroc Raltegravir
Data fosamprenavir, tipranavir
Tidak ... Efavirenz, delavirdine ... ... ...
Direkomendasikan
Catatan. NNRTI, nonnukleoside reverse-transcriptase inhibitor; NRTI, nukleoside reserve-
transcriptase inhibitor.
a
Sebaiknya hanya digunakan pada wanita dengan jumlah sel CD4 > 250sel/mm3 jika
manfaatnya lebih banyak dari pada risiko yang berhubungan dengan hepatotoxicity.
b
Didanosine dan stavudine sebaiknya tidak digunakan dalam kombinasi lainnya

Regimen Pengobatan yang Direkomendasikan dan Regimen yang Dihindari


Obat yang direkomendasikan yaitu zidovudine (ZDV) yang menjadi bagian dari beberapa
regimen untuk pengobatan wanita hamil, kecuali terdapat dokumentasi riwayat keparahan ZDV-
berhubungan dengan toksisitas atau resisten. Untuk wanita yang memiliki riwayat keracunan
ZDV atau resisten, regimen sebaiknya termasuk sedikitnya 1 obat antiretroviral yang melewati
plasenta untuk memberikan fetus preexposure prophylaxis. Obat antiretroviral lainnya yang
melewati plasenta manusia termasuk didanosine, lamivudine (3TC), tenofovir, nevirapine (NVP),
dan lopinavir. Beberapa dari inhibitor protease juga memiliki variabel yang sedikit ke bagian
plasenta[21].
Ketika memilih regimen yang sesuai untuk wanita hamil, kombinasi regimen
antiretroviral terdiri dari 3 obat yang direkomendasikan. Pada umumnya, prinsip pedoman
pengobatan untuk wanita yang tidak hamil sebaiknya benar-benar dipertimbangkan. Harus
terdapat dua kekuatan inhibitor nukleosida reverse-transkriptase dengan inhibitor nonnukleosida
reverse-transkriptase atau inhibitor pratease yang cocok (tabel 1). Efavirenz pada umumnya
dihindari selamas trimester pertama kehamilan karena menyangkut teratogenitas. NVP tidak
direkomendasikan untuk wanita dengan jumlah sel CD4 >250 sel/mm 3 karena meningkatkan
risiko terjadinya ruam dan hepatotoksik. Tetapi jika si wanita telah toleransi terhadap NVP-
terdiri dari regimen sebelumnya saat kehamilan, regimen ini sebaiknya dilanjutkan selama
kehamilan[21].
Kombinasi dari stavudine dan didanosine sebaiknya dihindari selama kehamilan karena
berpotensi menyebabkan toksisitas mitokondrial dan asidosis laktat. Pada umumnya, monoterapi
sebaiknya dihindari selama kehamilan karena berpotensi dalam menyebabkan perkembanagan
resistensi antiretroviral. Pengobatan ZDV intravena intrapartum direkomendasikan untuk semua
wanita yang terinfeksi HIV kecuali terdapat riwayat hipersensitif terhadap ZDV[21].
Yang paling utama, dan mungkin sangat penting, langkah dalam mencegah MTCT
merupakan uji umum HIV dari seemua wanita yang hamil untuk diidentifikasi mana yang
berisiko menularkan virus untuk janinnya. Di negara berkembang, terapi kombinasi antiretroviral
direkomendasikan selama masa kehamilan tanpa memperhatikan jumlah sel CD4 atau jumlah
virus untuk menurunkan risiko penularan HIV kepada fetus. Jadwal operasi caesar
direkomendasikan untuk wanita hamil dengan muatan plasma RNA HIV > 1000 kopi/ mL. Di
United States dan negara berkembang lainnya, hindarkan pemberian air susu direkomendasikan
untuk menurunkan lebih lanjut risiko penularan perinatal. Dari sumber- negara terbatas,
penelitian yang sederhana dan singkat dari regimen antiretroviral juga berperan dalam
mengurangi transmisi MTCT. Terapi yang optimal untuk infeksi maternal dalam kehamilan, dan
perawatan untuk janin akan sukses dengan pendekatan multidisiplin untuk merawat wanita hamil
yang terinfeksi HIV[21].
Keterangan untuk obat yang digunakan pada pasien HIV/AIDS[23]:
3TC (nama dagang)
Lamivudine 150 mg
Indikasi: pengobatan HIV pada dewasa dengan progresive immunodefeciency dengan atau tanpa
pengobatan sebelumnya dengan antiretroviral, infeksi HIV pada anak-anak (umur 3 bulan)
dengan progresif immunodefeciency dengan atau tanpa pengobatan sebelumnya dengan retrovir
Norvir (nama dagang)
Ritonavir
Indikasi: monoterapi untuk infeksi HIV.
Kontra indikasi: Hipersensitifitas
Efek samping: astenia, gangguan GI dan neurologi, termasuk mual, muntah, diare, anoreksia,
nyeri abdomen, gangguan pengecapan, prestesis perifer dan sirkum oral
Dosis: kapsul/solid sehari 2 x 600mg
Reyataz (nama dagang)
Atazanavir sulfat
Indikasi: terapi untuk infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan obat antiretroviral lain.
Kontra indikasi: hipersensitifitas terhadapa atazanavir, kombinasi dengan midazolam,
dihiroergotamin, ergotamin, ergonovin, metilergonovin, cisapride, dan pimozid.
Efek samping: skit kepala, mual, ikterus, muntah, diare, nyeri abdomen, pusing, insomnia,
gangguan saraf perifer, ruam kulit.
Dosis: dewasa (pasien yang belum pernah mendapat terapi) sehari 1 x 400mg, dewasa (pasien
yang sudah pernah mendapat terapi) sehari 1 x 300mg, pasien ditambah dengan ritnovir sehari 1
x 100mg + efavirenz.

Pengobatan untuk ibu hamil dengan HIV salah satunya dapat menggunakan obat anti-
HIV dimana menurut penelitian dapat mencegah terjadinya transmisi virus HIV kepada janin
dengan cara penggunaan sebagai berikut[23]:
 selama kehamilan setelah trimester pertama: dengan memberikan anti-HIV sedikitnya tiga
anti-HIV yang berbeda yang dikombinasikan (atripla).
 selama labor dan persalinan: diberikan AZT (zidovudine) IV, kemudaian diberikan anti-HIV
yang lain melalui mulut.
 setelah melahirkan: diberikan cairan AZT selama 6 minggu.

2.8 Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara, mulai saat hamil, saat
melahirkan, dan setelah lahir yaitu[17]:
- Penggunaan antiretroviral selama kehamilan
- Penggunaan antiretroviral saat perasalinan dan bayi bayi yang baru dilahirkan
- Penatalaksanan selama menyusui
Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibody terhadap virus tersebut
hingga 10 sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG anti-HIV ibu menembus
plasenta. Karena itu, uji terhadap serum bayi untuk mencari ada tidaknya antibodi IgG ,erupakan
hal yang sia-sia, karena uji ini tidak dapat membedakan antibody bayi dari antibody ibu.
Sebagian besar dari bayi ini, seiring dengan waktu, akan berhenti memperlihatkan antibody ibu
dan juga tidak membentuk sendiri antibody terhadap virus, yang menunjukkan status seronegatif.
Pada bayi, infeksi HIV sejati dapat diketahui melalui pemeriksaan-pemeriksaan seperti biakan
virus, antigen p24, atau analisis PCR untuk RNA atau DNA virus. PCR DNA HIV adalah uji
virologik yang dianjurkan karena sensitive untuk mendiagnosis infeksi HIV selama masa
neonatus[20].
Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih belum diketahui
pasti. Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada populasi yang tidak menyusui dan tidak
diobati di negara-negara industri sampai sekitar 40% pada populasi serupa di negara-negara yang
sedang berkembang. Tanpa menyusui, sekitar 20% dari infeksi HIV pada bayi terjadi in utero dan
80% terjadi selama persalinan dan pelahiran. Penularan pascapartus dapat terjadi melalui
kolostrum dan ASI dan diperkirakan menimbulkan tambahan risiko 15% penularan perinatal[20].
Factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan mencakup penyakit ibu
yang lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T CD4+ yang rendah. Pada
tahun 1994, studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) membuktikan
bahwa pemberian zidovudin kepada perempuan hamil yang terinfeksi HIV mengurangi
penularan ibu ke bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%. Di Amerika Serikat, insiden
AIDS yang ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun 1992 sampai 1997 akibat uji
HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi zidovudin. Perempuan merupakan sekitar
20% dari kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat. Perempuan dari kaum minoritas (Amerika Afrika
dan keturunan Spanyol) lebih banyak terkena, merupakan 85% dari seluruh kasus AIDS. Selain
pemberian zidovudin oral kepada ibu positif HIV selama masa hamil, tindakan-tindakan lain
yang dianjurkan untuk mengurangi risiko penularan HIV ibu kepada anak antaea lain[20]:
1. seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi angka
penularan sebesar 50%);
2. pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;
3. pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;
4. tidak memberi ASI
Data menunjukkan bahwa perkembangan penyakit mengalami percapatan pada anak.
Fase asimptomatik lebih singkat pada anak yang terjangkit virus melalui penularan vertical.
Waktu median sampai awitan gejala lebih kecil pada anak, dan setelah gejala muncul,
progresivitas penyakit menuju kematian dipercepat. Pada tahun 1994, CDC merevisi sistem
klasfikasi untuk infeksi HIV pada anak berusia kurang dari 13 tahun. Pada sistem ini, anak yang
terinfeksi diklasifikasikan menjadi kategori-kategori berdasarkan tiga parameter: status infeksi,
status klinis, dan status imunologik[20]
Perjalanan infeksi HIV pada anak dan dewasa memiliki kemiripan dan perbedaan. Pada
anak sering terjadi disfungsi sel B sebelum terjadi perubahan dalam jumlah limfosit CD4+.
Akibat disfungsi sistem imun ini, anak rentan mengalami infeksi bakteri rekuren. Invasi oleh
pathogen-patogen bakteri ini menyebabkan berbagai sindrom klinis pada anak seperti otitis
media, sinusitis, infeksi saluran kemih, meningitis infeksi pernapasan, penyakit GI, dan penyakit
lain[20].
Seluruh dunia, pada 2008,diperkirakan 430.000[240.000-610.000] infeksibaru
karenahuman immunodeficiency virus(HIV) terjadi pada anak-anak, yang 90%
diperolehmelaluimotherto-child transmission (MTCT) HIV. Dari 430.000 infeksi baru,
antara280dan 360.000.000 diperolehselama persalinan danpada periodepra-melahirkan. Dari
infeksi baruyang tersisa,sebagian besardiperolehselama menyusui.Padabayi yangterjangkit
HIVselama waktu persalinan, perkembangan penyakitterjadi sangat cepatdalam beberapa
bulanpertama kehidupan, sering menyebabkan kematian. Untuk
mengaktifkanantiretroviral(ARV) profilaksisharus diberikan kepada bayi sesegera mungkin
setelah lahir, semua bayi yang memiliki status pajanan HIV harus diketahui sejak lahir[24].
Data terbaru yang diterbitkan mengkonfirmasi manfaat kelangsungan hidup dramatis
bagi bayi yang mulai diberikan ART sedini mungkin setelah diagnosis HIV, diperoleh dari
review Organisasi Kesehatan Dunia(WHO) pedoman pengobatan pediatrik. PadaJuni 2008,
pedoman baru dikeluarkan, yang merekomendasikan inisiasi ART segera pada bayi didiagnosis
dengan infeksi HIV. Dalam rangka untuk mengidentifisikan bayi yang akan membutuhkan ART
segera, konfirmasi awal dari infeksi HIV diperlukan. Pada November 2008, pertemuandiadakan
untukmeninjaurekomendasioleh WHOuntuk pengujiandiagnostikinfeksi HIVpada bayidan anak-
anak[24].
Asuhan Keperawatan

I.Pengkajian.
1.Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
2.Penampilanumum : pucat, kelaparan. 3.Gejala
subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari berulang
kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
4.Psikososial : kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan
perasaan takut, cemas, meringis. 5.Status
mental : marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl, hilang interest
pada lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang memori, gangguan atensi dan
konsentrasi, halusinasi dan delusi.
6.HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada bibir atau
mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.
7.Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku kuduk,
kejang, paraplegia.
8.Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
9.Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
10.Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu pernapasan, batuk
produktif atau non produktif.
11.GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare, inkontinensia,
perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
12.Gu : lesi atau eksudat pada genital,
13.Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.

II.Diagnosa keperawatan
1.Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang
beresiko.
2.Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi
nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
3.Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi,
kelelahan.
4.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,
meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
5.Diare berhubungan dengan infeksi GI
6.Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang
dicintai.

III.Intervensi keperawatan.
Diagnosa keperawatan 1
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola
hidup yang beresiko.
Intervensi Keperawatan :
1.Monitor tanda-tanda infeksi baru.
2.gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum meberikan
tindakan.
3.Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.
4.Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5.Atur pemberian antiinfeksi sesuai order
Rasional
1.Untuk pengobatan dini
2.Mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh di rumah sakit.
3.Mencegah bertambahnya infeksi
4.Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan
5.Mempertahankan kadar darah yang terapeutik Pasien akan bebas infeksi oportunistik dan
kriteria hasil
komplikasinya dengan kriteria tak ada tanda-tanda infeksi baru, lab tidak ada infeksi
oportunis, tanda vital dalam batas normal, tidak ada luka atau eksudat.
Diagnosa 2
Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi
nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
Intervensi
1.Anjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah transmisi HIV dan kuman
patogen lainnya.
2.Gunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien.
Rasional
1.Pasien dan keluarga mau dan memerlukan informasikan ini
2.Mencegah transimisi infeksi HIV ke orang lain
Kriteria Hasil :
Infeksi HIV tidak ditransmisikan, tim kesehatan memperhatikan universal precautions dengan
kriteriaa kontak pasien dan tim kesehatan tidak terpapar HIV, tidak terinfeksi patogen lain
seperti TBC.

Diagnosa 3
Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen,
malnutrisi, kelelahan.
Intervensi :
1.Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas
2.Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3.Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
Rasional :
1.Respon bervariasi dari hari ke hari
2.Mengurangi kebutuhan energi 3.Ekstra
istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan metabolik
Kriteri Hasil :
Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria bebas dyspnea dan takikardi selama
aktivitas.

Diagnosa 4
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,
meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
Intervensi :
1.Monitor kemampuan mengunyah dan menelan.
2.Monitor BB, intake dan ouput
3.Atur antiemetik sesuai order
4.Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.
Rasional :
1.Intake menurun dihubungkan dengan nyeri tenggorokan dan mulut
2.Menentukan data dasar
3.Mengurangi muntah
4Meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan keinginan pasien
Krtiteria Hasil :
Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan
metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah dikontrol, pasien makan TKTP, serum albumin
dan protein dalam batas n ormal, BB mendekati seperti sebelum sakit.

Diagnosa 5
Diare berhubungan dengan infeksi GI
Intervensi
1.Kaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2.Auskultasi bunyi usus
3.Atur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4.Berikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside
Rasional
1.Mendeteksi adanya darah dalam feses
2..Hipermotiliti mumnya dengan diare
3.Mengurangi motilitas usus, yang pelan, emperburuk perforasi pada intestinal
4.menghilangkan distensi
Kriteriaa hasil :
Pasien merasa nyaman dan mengnontrol diare, komplikasi minimal dengan kriteria
perut lunak, tidak tegang, feses lunak dan warna normal, kram perut hilang,

Diagnosa 6
Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang
orang dicintai.
Intervensi :
1.Kaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2.Biarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3.Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
Rasional :
1.Memulai suatu hubungan dalam bekerja secara konstruktif dengan keluarga.
2.Mereka tak menyadari bahwa mereka berbicara secara bebas
3.Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak sederhana.
Krtiteria Hasil :
Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport sistem dan adaptasi terhadap
perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien dan keluarga berinteraksi dengan cara yang
konstrukt
IV. Implentasi
DX. 1
1.Memonitor tanda-tanda infeksi baru.
2.Menggunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum
meberikan tindakan.
3.Menganjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.
4.Mengumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5.Mengatur pemberian antiinfeksi sesuai order
DX.2
1.Menganjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah transmisi HIV dan
kuman patogen lainnya.
2.Menggunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien.

DX.3
1.Memonitor respon fisiologis terhadap aktivitas
2.Memberikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3.Menjadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.

DX.4
1.Memonitor kemampuan mengunyah dan menelan.
2.Memonitor BB, intake dan ouput
3.Mengatur antiemetik sesuai order
4.Merencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.

DX.5
1.Mengkaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2.Mengauskultasi bunyi usus
3.Mengatur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4.Memberikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside

DX.6
1.Mengkaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2.Membiarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3.Mengajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
V. Evalusi
Setelah di berikan asuhan keperawatan kepada klien, kebutuhan klien sedikit demi sedikit
terpenuhi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
AIDS adalah suatu penyakit retrovirus epidemik menular, yang disebabkan oleh infeksi
HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas seluler, dan mengenai
kelompok risiko tertentu, termasuk pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat
intravena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari
individu yang terinfeksi virus tersebut.

3.2 Saran
Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan saran
sangat diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA

1. Hartati Nyoman, Suratiah, Mayuni IGA Oka. Ibu Hamil dan HIV-AIDS. Gempar: Jurnal
Ilmiah Keperawatan Vol. 2 No.1 Juni 2009.
2. Doku Paul Narh. Parental HIV/AIDS status and death, and Children’s Phychological
Wellbeing. International Journal of Mental Health system 2009;3(26):1-8
3. Siregar FA. Pengenalan dan Pencegahan HIV-AIDS. Medan. Universitas Sumatera Utara,
2004.
4. Heemanides HS, Lonneke AVV, Ralph V, Fred DM, Aimee D, Gerard VO, et all.
Developinh quality indicators for the care of HIV-infected pregnant women in the Dutch
Caribbean. Aids Research and Therapy 2011; 8(32) : 1-9.
5. Wamoyi J, Martin M, Janet S, Josephine B, Shabbar J. Changes in sexual desires and
behaviours of people living with HIV after initiation of ART: Implications for HIV prevention
and health promotion. BMC Public Health 2011; 11(633): 1-11.
6. Bradley-Springer L, Lyn S, Adele W. Every Nurse Is an HIV Nurse. AJN 2010;110(3):33-
39.
7. Bastien S, LJ Kajula, WW Muhwezi. A review of studies of parent-child communication
about sexuality and HIV/AIDS in sub-Saharan Africa. Reproductive Health 2011;8(25):1-17.
8. Anonymous. HIV/ AIDS. WHO. 2010
9. Dorland WAN. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta: EGC.
10. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison: Prinsip- Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam Vol. 1 (Edisi 13). 1995.
11. Walter J, Linda F, Melanie JO, William DD, Theresa G, Alice S, et all. Immunomodulatory
factors in cervicovaginal secretions from pregnant and non-pregnant women: A cross-sectional.
BMC Infectious Disease 2011; 11(263): 1-7.
12. Anonymous. 2007. Rencana Nasional Penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia 2007-2010.
Jakarta: Komisi Penanggulangan AIDS.
13. Susanti NN. Psikologi Kehamilan. Jakarta: EGC, 2000.
14. Hanafiah MJ, Amir A. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan Edisi 4. EGC: Jakarta. 2007.
15. Hartati N, Suratiah, Iga OM. Ibu hamil dengan HIV-AIDS. Gempar: Jurnal Ilmiah
Keperawatan. 2009:2:1.
16. Bobak, Lowdermik, Jensen. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta:
EGC.
17. Nursalam, Kurniawan ND. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika
18. Doengoes ME & Mary Drances Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi Edisi
2. Jakarta: EGC.
19. Anonymous. Guidelines on HIV and infant feeding 2010 Principles and recommendations
for infant feeding in the context of HIV and a summary of evidence. WHO. 2010.
20. Price SA, Lorraine MW. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6
Volume 1. Jakarta: EGC.
21. Anderson Brena L, Uvin Susan Cu. Pregnancy and optimal care of HIV-Infected Patients.
Clinical Infectious Diseases, 2009; 48: 449-55.
22. Anonymous. 2010. HIV and Pregnancy: anti-HIV medications for Use in Pregnancy. AIDS
info: A service of the U.S. Department of Health and Human Service.
23. Anonymous. 2009. ISO indonesia. Jakarta: Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
24. Anonymous. 2010. WHO recommendations on the diagnosis of HIV infection in infant and
children. WHO.
25. Trsetianingsih Y. 2011. Keperawatan Ibu Hamil. Yogyakarta: Program Studi Ilmu
Keperawatan STIKES A. Yani.
26. Wiley, Blackwell. Nursing Dianoses Definition and Classification 2009-2011. 2009. United
States of America: Mosby Elsevier.
27. Moorhead S, Johnson M, Maas ML, Swanson E. 2009. Nursing Outcome Classification
(NOC) Fourth Edition. United States of America: Mosby Elsevier.
28. Bulechek GM, Butcher HK, Dochterman JM. 2009. Nursing Interventions Classification
(NIC) Fifth Edition. United States of America: Mosby Elsevier.
http://yopangumilar.blogspot.co.id/2012/03/makalah-askep-pada-ibu-hamil-
dengan.html

Pengaruh HIV/AIDS Terhadap Ibu Hamil

MAKALAH
PENGARUH VIRUS HIV/AIDS PADA IBU HAMIL
Disusun Oleh :
Mariati Azis
31410003

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA MADIUN
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul ”
Pengaruh Virus HIV/AIDS Pada Ibu Hamil“. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Patofisiologi Program Studi Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Katolik Widya Mandala Madiun.
Selain itu, penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan dan
banyak kesalahan. Oleh karena itu dimohon kritik dan sarannya.
Madiun, April 2013
Penyusun;

MARIATI AZIS

DAFTAR ISI

Hal.
Kata Pengantar..................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang .......................................................................... 1
I. 2. Tujuan Penulisan........................................................................ 3
I. 3. Perumusan Masalah................................................................... 4
I. 4. Manfaat Penulisan...................................................................... 4
I. 5. Metode Penulisan....................................................................... 4
BAB II
PEMBAHASAN
II. 1. Pengertian HIV/AIDS............................................................... 4
II. 2. Gejala-Gejala Penyakit HIV/AIDS........................................... 8
II. 3. Penularan Penyakit HIV/AIDS................................................. 10
II. 4. Penanganan Penyakit HIV/AIDS.............................................. 13
II. 5. Pencegahan Penyakit HIV/AIDS.............................................. 17
BAB III
PENUTUP
I III. 1. Kesimpulan................................................................................ 20
III. 2. Saran.......................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 21

BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang

Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan dapat
mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester pertama.
Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mual, muntah, nafsu makan
berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung memperberat kondisi
klinis wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV-AIDS.

Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu syndrome/kumpulan


gejala penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang menyerang sistem kekebalan atau
pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah
diserang penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi oportunistik.
Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun 1981 dan
virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier pada tahun 1983 (Yopan, 2012).

Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah penyebab penyakit dan kematian yang
terkemuka di kalangan perempuan dan anak-anak di negara-negara dengan tingkat infeksi human
immunodeficiency virus (HIV) yang tinggi. Transmisi HIV dari ibu ke anak (Mother To Child
Transmission – MCTC) adalah rute infeksi HIV pada anak yang paling signifikan. Beberapa
intervensi telah terbukti efektif dalam mengurangi MTCT termasuk pilihan persalinan secara
caeseran, substitusi menyusui dan terapi antiretroviral selama kehamilan, persalinan, dan pasca
melahirkan. Jika intervensi ini diterapkan dengan benar maka dapat mengurangi MTCT sebesar
2% (Yopan, 2012) .

Jumlah penderita penyakit HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/ Acquaired Immune


Deficiency Syndrome) di dunia maupun di Indonesia, baik pada orang dewasa maupun anak
semakin meningkat jumlahnya setiap tahun. Diduga jumlah kasus HIV/AIDS ini menyerupai
fenomena gunung es, yaitu kasus yang diketahui hanya sekitar 1/10 dari jumlah kasus yang
sebenarnya (Gemari, 2010 dalam Yopan, 2012). Penyakit HIV/AIDS merupakan salah satu
penyakit pembunuh terbesar di dunia. Hal ini karena pada Januari 2006, UNAIDS dan WHO
memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama
kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Sejak HIV menjadi pandemi di dunia, diperkirakan 5,1 juta
anak di dunia terinfeksi HIV. Setiap tahun sekitar 400.000 bayi dilahirkan terinfeksi HIV akibat
penularan dari ibu ke anak (penularan vertical). Di Indonesia, hingga Maret 2011, jumlah anak
penderita HIV/AIDS mencapai 1.119 orang, dengan jumlah penderita dibawah lima tahun
dilaporkan mencapai 514 anak (Depkes, 2011 dalam Yopan, 2012). Dilaporkan juga sebanyak 34
anak usia bawah lima tahun (balita) di propinsi Papua positif mengidap infeksi HIV(Judarwanto,
2010 dalam Yopan, 2012).

Kasus HIV/AIDS di negara berkembang sungguh sangat mengerikan karena kasusnya


mengalami kenaiakan yang luar biasa yang mempengaruhi angka kesakitan dan kematian pada
penduduk usia produktif. Dan hal ini berdampak sangat buruk terhadap pembangunan sosial
ekonomi suatu bangsa dan dapat menyebabkan usia harapan hidup menjadi terhambat atau
bahkan menjadi mundur. Selanjutnya dapat mengancam kehidupan penduduk bahkan kehidupan
sebuah bangsa. Di Indonesia telah dilaporkan pula kasus HIV/AIDS pada bayi yang tertular dari
ibunya yang mengidap HIV dan pada remaja yang tertular karena berperilaku berisiko.

Dampak dari permasalahan pada anak tersebut diatas dapat mengarah pada penyebar
luasan HIV/ AIDS antara lain melalui hubungan sex yang tidak aman maupun melalui
penggunaan jarum suntik yang tidak steril oleh penyalahguna narkoba.

Ini semua dapat terjadi pada anak/ remaja penyalahguna narkoba, anak jalanan, anak/remaja
tuna susila atau yang dieksploitasi, anak/remaja nakal karena mereka termasuk kelompok yang
rentan terhadap penularan HIV/AIDS selain itu pengetahuan mereka terhadap permasalahan
HIV/ AIDS masih sangat kurang. Untuk itu perlu diadakan upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV/ AIDS terhadap kelompok-kelompok rawan, masyarakat termasuk kepada
anak/remaja.

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menyatakan bahwa saat ini jumlah ibu rumah
tangga yang terinfeksi HIV di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, sementara jumlah
pekerja seks komersil yang terinfeksi HIV terus menurun. Hal ini diduga disebabkan oleh
penularan HIV dari suami atau pasangan intim yang memiliki perilaku beresiko. Keadaan ini
dapat meningkatkan resiko penularan dari ibu ke anak. Dengan demikian permasalahan HIV
harus segera ditangani dengan baik. Bila tidak ditangani, epidemi HIV akan merambat masuk ke
dalam keluarga dan masyarakat umum (KPA, 2010 dalam Yopan, 2012).

Semakin tingginya jumlah penderita penyakit ini di Indonesia, selain membebani


pembiayaan sistem kesehatan juga menimbulkan dampak sosial ekonomi yang tak sedikit karena
sebagian besar penderita berada dalam usia produktif (20-39 tahun). Hal ini memperlambat
pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia sehingga
mengakibatkan berkurangnya daya saing bangsa dalam percaturan global dunia. Makin
bertambahnya jumlah penderita HIV/AIDS terutama pada anak dan wanita menyebabkan
terancamnya Millenium Developmental Goals 2015 (4,5, dan 6) (Syafrawati, 2006 dalam Yopan,
2012).

I. 2. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Mengetahui tentang HIV/AIDS

2. Mengetahui gejala penyakit HIV/AIDS

3. Mengetahui cara penularan penyakit HIV/AIDS

4. Memahami pengobatan penanganan penyakit HIV/AIDS

5. Mengetahui Pencegahan penyakit HIV/AIDS pada ibu hamil

I. 3. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini, antara lain:

1. Apa pengertian HIV/AIDS ?

2. Apa gejala-gejala orang yang mengidap penyakit HIV/AIDS ?

3. Bagaimana penularan penyakit HIV/AIDS?

4. Bagaimana pengobatan/ penanganan penyakit HIV/AIDS ?

5. Bagaimana pencegahan penyakit HIV/AIDS pada ibu hamil ?

I. 4. Manfaat Penulisan

1. Adapun manfaat memberikan informasi kepada pembaca tentang pengertian, penyebab,


penularan, pencegahan dan penanganan HIV/AIDS.

I. 5. Metode Penulisan

1. Makalah ini disusun dengan menggunakan metode pustaka yaitu metode pengumpulan data
dengan cara mengutip sumber-sumber tertulis.

BAB II
PEMBAHASAN
II. 1. Pengertian HIV/AIDS

Menurut Andy (2011), Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune


Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul
karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virus penyebab
adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang secara progresif
menghancurkan sel-sel darah putih, sehingga melemahkan kekebalan manusia dan menyebabkan
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Orang yang terinfeksi virus ini menjadi rentan
terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor/kanker. Meskipun penanganan yang
ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum bisa disembuhkan.

Virus HIV menyerang sel putih dan menjadikannya tempat berkembang biaknya Virus. Sel
darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika
tubuh kita diserang penyakit, Tubuh kita lemah dan tidak mampu melawan penyakit yang datang
dan akibatnya kita dapat meninggal dunia meski terkena influenza atau pilek biasa (Andy, 2011).

Ketika tubuh manusia terkena virus HIV maka tidaklah langsung menyebabkan atau
menderita penyakit AIDS, melainkan diperlukan waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun
bagi virus HIV untuk menyebabkan AIDS atau HIV positif yang mematikan (Andy 2011).

Menurut Ayu (2012), HIV, virus penyebab AIDS, juga dapat menular dari ibu yang terinfeksi
HIV ke bayinya. Tanpa upaya pencegahan, kurang-lebih 30 persen bayi dari ibu yang terinfeksi
HIV menjadi tertular juga. Ibu dengan viral load tinggi lebih mungkin menularkan HIV kepada
bayinya. Namun tidak ada jumlah viral load yang cukup rendah untuk dianggap "aman". Infeksi
dapat terjadi kapan saja selama kehamilan, namun biasanya terjadi beberapa saat sebelum atau
selama persalinan. Bayi lebih mungkin terinfeksi bila proses persalinan berlangsung lama.
Selama persalinan, bayi yang baru lahir terpajan darah ibunya. Meminum air susu dari ibu yang
terinfeksi dapat juga mengakibatkan infeksi pada si bayi. Ibu yang HIV-positif sebaiknya tidak
memberi ASI kepada bayinya. Untuk mengurangi risiko infeksi ketika sang ayah yang HIV-
positif, banyak pasangan yang menggunakan pencucian sperma dan inseminasi buatan.

AIDS bukan penyakit turunan, oleh sebab itu dapat menulari siapa saja.Virusnya sendiri
bernama HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang
terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah
terkena tumor . Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan
virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. Penyakit ini kadang disebut
“infeksi oportunistik”, karena penyakit ini menyerang dengan cara memanfaatkan kesempatan
ketika kekebalan tubuh menurun sehingga kanker dan infeksi oportunistik inilah yang dapat
menyebabkan kematian.
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS pada
wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah terinfeksi HIV
(Ayu, 2012). Pada negara berkembang isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual suaminya
di luar rumah. Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih rendah, dan
isteri sangat percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah seksual masih dianggap tabu
untuk dibicarakan.

Virus HIV dikenal secara terpisah oleh para peneliti di Institut Pasteur Perancis pada tahun
1983 dan NIH yaitu sebuah institut kesehatan nasional di Amerika Serikat pada tahun 1984.
Meskipun tim dari Institute Pasteur Perancis yang dipimpin oleh Dr. Luc Montagnie, yang
pertama kali mengumumkan penemuan ini di awal tahun 1983 namun penghargaan untuk
penemuan virus ini tetap diberikan kepada para peneliti baik yang berasal dari Perancis maupun
Amerika. Peneliti Perancis memberi nama virus ini LAV atau Lymphadenopathy Associated
Virus. Tim dari Amerika yang dipimpin Dr. Robert Gallo menyebut virus ini HTLV-3
atau Human T-cell Lymphotropic Virustype-3 (Ayu, 2012).

Kemudian Komite Internasional untuk Taksonomi Virus memutuskan untuk menetapkan


nama Human Immunodeficiency Virus (HIV) sebagai nama yang dikenal sampai sekarang. Maka
para peneliti tersebut juga sepakat untuk menggunakan istilah HIV. Sesuai dengan namanya,
virus ini “memakan” imunitas tubuh (Ayu, 2012).

AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for Disease Control
and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih
diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima
laki-laki homoseksual diLos Angeles (Ayu, 2012).

Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih
mematikan dan lebih mudah masuk ke dalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi
HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat. Baik
HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes
troglodytes yang ditemukan di Kamerunselatan. HIV-2 berasal dari Sooty
Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun (Ayu, 2012).

Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan
primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging. Teori yang lebih
kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa epidemik
AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an diKongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary
Koprowski terhadap vaksin polio. Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya berpendapat
bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada (Ayu, 2012).
Menurut Ayu (2012), berdasarkan hal tersebut diatas maka penderita AIDS dimasyarakat
digolongkan kedalam 2 kategori yaitu :

1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS positif).

2. Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS negatif).

Penyakit AIDS telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu singkat terjadi
peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara. Dikatakan pula bahwa
epidemi yang terjadi tidak saja mengenai penyakit (AIDS ), virus (HIV) tetapi juga
reaksi/dampak negatif berbagai bidang seperti kesehatan, sosial, ekonomi, politik, kebudayaan
dan demografi. Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi baik oleh negara maju maupun
negara berkembang (Ayu, 2012).

Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu memecahkan masalah
penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif dalam upaya menanggulangi
problematik jumlah penderita yang terus meningkat adalah upaya pencegahan yang dilakukan
semua pihak yang mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan transmisi yang
memungkinkan dapat terserang HIV (Ayu, 2012).

II. 2. Gejala-gejala Penyakit HIV/AIDS

Seseorang yang terkena virus HIV pada awal permulaan umumnya tidak memberikan tanda
dan gejala yang khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung
daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi membaik, orang yang
terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan kekebelan tubuhnya
menurun/lemah hingga jatuh sakit karena serangan demam yang berulang. Satu cara untuk
mendapat kepastian adalah dengan menjalani Uji Antibodi HIV terutamanya jika seseorang
merasa telah melakukan aktivitas yang berisiko terkena virus HIV (Andy, 2011).

Menurut Andy (2011), adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit AIDS
diantaranya adalah seperti dibawah ini :
 Saluran pernafasan. Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk, nyeri dada
dan demam seprti terserang infeksi virus lainnya (Pneumonia). Tidak jarang diagnosa pada
stadium awal penyakit HIV AIDS diduga sebagai TBC.
 Saluran Pencernaan. Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda dan gejala seperti hilangnya
nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami penyakit jamur pada rongga mulut dan
kerongkongan, serta mengalami diarhea yang kronik.
 Berat badan tubuh. Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome, yaitu
kehilangan berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal karena gangguan pada sistem protein
dan energy didalam tubuh seperti yang dikenal sebagai Malnutrisi termasuk juga karena
gangguan absorbsi/penyerapan makanan pada sistem pencernaan yang mengakibatkan diarhea
kronik, kondisi letih dan lemah kurang bertenaga.
 System Persyarafan. Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang mengakibatkan kurang
ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan respon anggota
gerak melambat. Pada system persyarafan ujung (Peripheral) akan menimbulkan nyeri dan
kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon yang kurang, selalu mengalami tensi
darah rendah dan Impoten.
 System Integument (Jaringan kulit). Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes
simplex) atau carar api (herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan
rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut pada kulit
(Folliculities), kulit kering berbercak (kulit lapisan luar retak-retak) serta Eczema atau psoriasis.
 Saluran kemih dan Reproduksi pada wanita. Penderita seringkali mengalami penyakit jamur
pada vagina, hal ini sebagai tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka pada saluran kemih, menderita
penyakit syphillis dan dibandingkan Pria maka wanita lebih banyak jumlahnya yang menderita
penyakit cacar. Lainnya adalah penderita AIDS wanita banyak yang mengalami peradangan
rongga (tulang) pelvic dikenal sebagai istilah ‘pelvic inflammatory disease (PID)’ dan
mengalami masa haid yang tidak teratur (abnormal).

II. 3. Penularan Penyakit HIV/AIDS

Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh manusia, dan paling banyak ditemukan pada
darah, cairan sperma dan cairan vagina. Pada cairan tubuh lain bisa juga ditemukan, misalnya air
susu ibu dan juga air liur, tapi jumlahnya sangat sedikit (Andy, 2011)..

Sejumlah 75-85% penularan virus ini terjadi melalui hubungan seks (5-10% diantaranya
melalui hubungan homoseksual), 5-10% akibat alat suntik yang tercemar (terutama para pemakai
narkoba suntik yang dipakai bergantian), 3-5% dapat terjadi melalui transfusi darah yang
tercemar (Andy, 2011).

Infeksi HIV sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh kelompok usia produktif (15-50
tahun) terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita cenderung meningkat (Andy, 2011).
Infeksi pada bayi dan anak-anak 90% terjadi dari ibu yang mengidap HIV. sekitar 25-35%
bayi yang dilahirkan ibu yang terinfeksi HIV, akan tertular virus tersebut melalui infeksi yang
terjadi selama dalam kandungan, proses persalinan dan pemberian ASI (Andy, 2011).

Dengan pengobatan antiretroviral pada ibu hamil trimester terakhir, resiko penularan dapat
dikurangi menjadi 8%(Andy, 2011).

Penelitian baru menunjukkan bahwa perempuan HIV-positif yang hamil tidak menjadi lebih
sakit dibandingkan yang tidak hamil. Ini berarti menjadi hamil tidak mempengaruhi kesehatan
perempuan HIV-positif(Andy, 2011).

Menurut Yopan (2012), peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan
adalah mereka yang berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis yang tidak
diketahui.

Ada beberapa cara penularan HIV/AIDS yaitu sebagai berikut :

a. Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan


penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan
cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada
pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah
pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko
seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan
pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan
merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV (Yopan, 2012).

b. Transmisi Non Seksual


 Transmisi Parenral

Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik
yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang
dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi
parental ini kurang dari 1%.

Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun
1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah
donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah
adalah lebih dari 90% (Yopan, 2012).
 Transmisi Transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%.
Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air
susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah (Yopan, 2012).

c. Penularan Masa Prenatal

HIV dapat ditularkan dari ibu ke bayinya dengan tiga cara yaitu di dalam uterus (lewat
plasenta), sewaktu persalinan dan melalui air susu ibu. Pada bayi yang menyusui kira-kira
separuhnya transmisi terjadi sewaktu sekitar persalinan, sepertiganya melalui menyusui ibu dan
sebagian kecil di dalam uterus. Bayi terinfeksi yang tidak disusui ibunya, kira-kira dua pertiga
dari transmisi terjadi sewaktu atau dekat dengan persalinan dan sepertiganya di dalam uterus
(Ayu, 2012).
 Kehamilan

Menurut Ayu (2012), kehamilan bisa berbahaya bagi wanita dengan HIV atau AIDS selama
persalinan dan melahirkan. Ibu sering akan mengalami masalah-masalah sebagai berikut :

1) Keguguran

2) Demam, infeksi dan kesehatan menurun.

3) Infeksi serius setelah melahirkan, yang sukar untuk di rawat dan mungkin mengancam jiwa ibu.
 Melahirkan

Setelah melahirkan cucilah alat genitalia 2 kali sehari dengan sabun dan air bersih sehingga
terlindungi dari infeksi (Yopan, 2012).
 Menyusui

Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%. Infeksi HIV kadang-kadang


ditularkan ke bayi melalui air susu ibu (ASI). Saat ini belum diketahui dengan pasti frekuensi
kejadian seperti ini atau mengapa hanya terjadi pada beberapa bayi tertentu tetapi tidak pada bayi
yang lain. Di ASI terdapat lebih banyak virus HIV pada ibu-ibu yang baru saja terkena infeksi
dan ibu-ibu yang telah memperlihatkan tanda-tanda penyakit AIDS. Setelah 6 bulan, sewaktu
bayi menjadi lebih kuat dan besar, bahaya diare dan infeksi menjadi lebih baik. ASI dapat diganti
dengan susu lain dan memberikan makanan tambahan. Dengan cara ini bayi akan mendapat
manfaat ASI dengan resiko lebih kecil untuk terkena HIV (Yopan, 2012).
II. 4. Penanganan Penyakit HIV/AIDS

Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang
diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal,
perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan,
disebut post-exposure prophylaxis (PEP). PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang
menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan
seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah (Yopan, 2012).

Berbagai upaya telah dilakukan dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia antara lain:
KIE, promosi perilaku seksual aman, penyediaan darah transfusi yang aman dari HIV, pemasaran
kondom, pemeriksaan dan pengobatan IMS, surveilans HIV/STS, surveilans AIDS, layanan VCT
yang masih terbatas pada RS tertentu dan LSM, pelatihan bagi petugas kesehatan serta lintas
sektor (universal precaution, VCT), pengobatan dan perawatan ODHA yang masih terbatas, dan
penelitian perilaku pada kelompok risiko tinggi (Yopan, 2012).

Kendatipun dari berbagai negara terus melakukan researchnya dalam mengatasi HIV AIDS,
namun hingga saat ini penyakit AIDS tidak ada obatnya termasuk serum maupun vaksin yang
dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS. Adapun tujuan
pemberian obat-obatan pada penderita AIDS adalah untuk membantu memperbaiki daya tahan
tubuh, meningkatkan kualitas hidup bagi meraka yang diketahui terserang virus HIV dalam
upaya mengurangi angka kelahiran dan kematian (Yopan, 2012).

Antibiotik adalah pengobatan untuk gonore. Pasangan seksual juga harus diperiksa dan
diobati sesegera mungkin bila terdiagnosis gonore. Hal ini berlaku untuk pasangan seksual dalam
2 bulan terakhir, atau pasangan seksual terakhir bila selama 2 bulan ini tidak ada aktivitas
seksual. Banyak antibiotika yang aman dan efektif untuk mengobati gonorrhea, membasmi
N.gonorrhoeae, menghentikan rantai penularan, mengurangi gejala, dan mengurangi
kemungkinan terjadinya gejala sisa (Yopan, 2012).

Ada beberapa cara untuk mengobati atau menangani HIV/AIDS, yaitu:


 Terapi Anti Virus

Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active
antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang
yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang
menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari
setidaknya tiga obat ( disebut koktail ) yang terdiri dari paling sedikit dua macam ( atau kelas )
bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse
transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya
pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif
untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan
perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan
berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan
awal (Yopan, 2012).

Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus
dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan
gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya
kembali setelah perawatan dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup
seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian,
banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas
hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan
tingkat kematian (mortalitas) karena HIV (Yopan, 2012).

Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan
rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah
terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan
pasien selama 4 sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih
dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena
adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya
yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat (Yopan, 2012).

Ketidaktaatan dan ketidak teraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan
utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART.
Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan
HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas
kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan
HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis,
pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin. Berbagai efek samping yang
juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara
lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular,
dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan (Yopan, 2012).
Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah
memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut (Yopan,
2012).
 Penanganan eksperimental dan saran

Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik
global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya pengobatan lainnya, sehingga
negara-negara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan
harian. Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit
bagi vaksin (Yopan, 2012).

Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek


samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan
penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat
menjadi bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV atau
AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini
dan dalam berisiko terinfeksi. Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar
juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia pneumosistis,
demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula
mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut (Yopan, 2012).
 Pengobatan alternatif

Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah
arah perkembangan penyakit. Akupunktur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala,
misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri,
namun tidak menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu
menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki
dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek
samping negatif yang serius (Yopan, 2012).

Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan


mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang
menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang
memiliki status nutrisi yang baik. Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga
memiliki beberapa manfaat. Pemakaian seleniumdengan dosis rutin harian dapat menurunkan
beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat
digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar,
tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas (Yopan, 2012).

Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alternatif memiliki hanya


sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas
hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif
tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya (Yopan, 2012).

II. 5. Pencegahan Penyakit HIV/AIDS pada ibu hamil

Menurut Yopan (2012), penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara,
mulai saat hamil, saat melahirkan, dan setelah lahir yaitu:
 Penggunaan antiretroviral selama kehamilan

 Penggunaan antiretroviral saat perasalinan dan bayi bayi yang baru dilahirkan

 Penatalaksanan selama menyusui

Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibody terhadap virus tersebut hingga
10 sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG anti-HIV ibu menembus plasenta.
Karena itu, uji terhadap serum bayi untuk mencari ada tidaknya antibodi IgG ,erupakan hal yang
sia-sia, karena uji ini tidak dapat membedakan antibody bayi dari antibody ibu. Sebagian besar
dari bayi ini, seiring dengan waktu, akan berhenti memperlihatkan antibody ibu dan juga tidak
membentuk sendiri antibody terhadap virus, yang menunjukkan status seronegatif. Pada bayi,
infeksi HIV sejati dapat diketahui melalui pemeriksaan-pemeriksaan seperti biakan virus, antigen
p24, atau analisis PCR untuk RNA atau DNA virus. PCR DNA HIV adalah uji virologik yang
dianjurkan karena sensitive untuk mendiagnosis infeksi HIV selama masa neonatus (Yopan,
2012).

Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih belum diketahui
pasti. Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada populasi yang tidak menyusui dan tidak
diobati di negara-negara industri sampai sekitar 40% pada populasi serupa di negara-negara yang
sedang berkembang. Tanpa menyusui, sekitar 20% dari infeksi HIV pada bayi terjadi in utero dan
80% terjadi selama persalinan dan pelahiran. Penularan pascapartus dapat terjadi melalui
kolostrum dan ASI dan diperkirakan menimbulkan tambahan risiko 15% penularan perinatal
(Yopan, 2012).

Menurut Yopan (2012), factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan
mencakup penyakit ibu yang lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T CD4+
yang rendah. Pada tahun 1994, studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical Trials
Group (PACTG) membuktikan bahwa pemberian zidovudin kepada perempuan hamil yang
terinfeksi HIV mengurangi penularan ibu ke bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%. Di
Amerika Serikat, insiden AIDS yang ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun 1992
sampai 1997 akibat uji HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi zidovudin.
Perempuan merupakan sekitar 20% dari kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat. Perempuan dari
kaum minoritas (Amerika Afrika dan keturunan Spanyol) lebih banyak terkena, merupakan 85%
dari seluruh kasus AIDS. Selain pemberian zidovudin oral kepada ibu positif HIV selama masa
hamil, tindakan-tindakan lain yang dianjurkan untuk mengurangi risiko penularan HIV ibu
kepada anak antaea lain:

1) seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi angka penularan
sebesar 50%);

2) pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;

3) pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;

4) tidak memberi ASI

Data menunjukkan bahwa perkembangan penyakit mengalami percapatan pada anak. Fase
asimptomatik lebih singkat pada anak yang terjangkit virus melalui penularan vertical. Waktu
median sampai awitan gejala lebih kecil pada anak, dan setelah gejala muncul, progresivitas
penyakit menuju kematian dipercepat. Pada tahun 1994, CDC merevisi sistem klasfikasi untuk
infeksi HIV pada anak berusia kurang dari 13 tahun. Pada sistem ini, anak yang terinfeksi
diklasifikasikan menjadi kategori-kategori berdasarkan tiga parameter: status infeksi, status
klinis, dan status imunologik (Yopan, 2012).

Perjalanan infeksi HIV pada anak dan dewasa memiliki kemiripan dan perbedaan. Pada anak
sering terjadi disfungsi sel B sebelum terjadi perubahan dalam jumlah limfosit CD4+. Akibat
disfungsi sistem imun ini, anak rentan mengalami infeksi bakteri rekuren. Invasi oleh pathogen-
patogen bakteri ini menyebabkan berbagai sindrom klinis pada anak seperti otitis media,
sinusitis, infeksi saluran kemih, meningitis infeksi pernapasan, penyakit GI, dan penyakit lain
(Yopan, 2012).

Seluruh dunia, pada tahun 2008 diperkirakan 430.000 [240.000-610.000] infeksi baru karena
human immunodeficiency virus (HIV) terjadi pada anak-anak, yang 90% diperoleh
melalui motherto-child transmission (MTCT) HIV. Dari 430.000 infeksi baru, antara 280 dan
360.000.000 diperoleh selama persalinan danpada periode pra-melahirkan. Dari infeksi baruyang
tersisa, sebagian besar diperoleh selama menyusui. Pada bayi yang terjangkit HIV selama waktu
persalinan, perkembangan penyakit terjadi sangat cepat dalam beberapa bulanp ertama
kehidupan, sering menyebabkan kematian. Untuk mengaktifkan antiretroviral (ARV) profilaksis
harus diberikan kepada bayi sesegera mungkin setelah lahir, semua bayi yang memiliki status
pajanan HIV harus diketahui sejak lahir (Yopan, 2012).

Data terbaru yang diterbitkan mengkonfirmasi manfaat kelangsungan hidup dramatis bagi
bayi yang mulai diberikan ART sedini mungkin setelah diagnosis HIV, diperoleh dari review
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pedoman pengobatan pediatrik. Pada Juni 2008, pedoman
baru dikeluarkan, yang merekomendasikan inisiasi ART segera pada bayi didiagnosis dengan
infeksi HIV. Dalam rangka untuk mengidentifisikan bayi yang akan membutuhkan ART segera,
konfirmasi awal dari infeksi HIV diperlukan. Pada November 2008, pertemuan diadakan untuk
meninjau rekomendasioleh WHO untuk pengujian diagnostikinfeksi HIVpada bayi dan anak-
anak (Yopan, 2012).
BAB III
PENUTUP
III. 1. Kesimpulan

AIDS merupakan masalah kesehatan internasional yang perlu segera ditanggulangi. AIDS
berkembang secara pandemi hampir di setiap negara di Dunia, termasuk Indonesia.
Sampai saat ini obat dan vaksin untuk menaggulangi AIDS belum ditemukan. Untuk itu
alternatif lain yang lebih mendekati dalam upaya pencegahan. Upaya pencegahan dapat
dilakukan oleh semua pihak asal mengetahui cara-cara penularan AIDS.
Penularan AIDS terjadi melalui hubungan seksual, parental dan transplasental, sehingga
upaya pencegahan perlu diarahkan untuk merubah perilaku seksual masyarakat (terutama yang
memilikiki resiko tinggi), menghindari infeksi melalui donor darah, dan upaya pencegahan
infeksi perinatal sebelum ibu hamil. Perubahan perilaku dilakukan dengan penyuluhan
kesehatan.
III. 2. Saran

Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan saran sangat
diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik

Daftar Pustaka
Andy. 2011. HIV/AIDS Pada Ibu Hamil. http://ilmu-pasti-pengungkap-
kebenaran.blogspot.com/2011/11/hivaids-pada-ibu-hamil.html. Diakses tanggal 09 April 2013
Ayu. 2012. Pengaruh HIV/AIDS Terhadap Sistem Kekebalan
Tubuh. http://ayups87.wordpress.com/2012/06/16/makalah-pengaruh-hivaids-terhadap-sistem-
kekebalan-tubuh-manusia/. Diakses tanggal 09 April 2013
Yopan. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Ibu Hamil Dengan
HIV/AIDS. http://yopangumilar.blogspot.com/2012/03/makalah-askep-pada-ibu-hamil-
dengan.html. Diakses tanggal 09 April 2013
http://maria-biologywimamadiun.blogspot.co.id/

Vous aimerez peut-être aussi