Vous êtes sur la page 1sur 4

IN MEMORIAM AB.

LAPIAN, MAESTRO SEJARAH MARITIM NUSANTARA

Muhammad Ridwan Alimuddin

A
da rasa sesal, baru mengetahui wafatnya beliau dua hari kemudian. Kabarnya pun tidak
sengaja saja tahunya. Tadi siang, 21 Juli 2011, saya meng-approve komentar Mas
Halim HD di web Koran Mandar. Salah satu komentarnya berisi, “kemarin, berita
duka kita terima, wafatnya prof. lapian, pakar sejarah bahari, yang akan dimakamkan di tomohon
pada hari kamis yad. waktu melintas dan takdir menjadi bagian dari kehidupan seorang. maka,
sosok prof. lapian tentu akan memberikan inspirasi, …”.

Pertanyaan dalam hati, apakah saya yang tidak mengikuti berita atau kematian ahli sejarah
maritim tersebut bukan berita? Saat saya memasukkan kata “wafat + ab lapian” ke kotak
pencarian Googgle, yang muncul di atas (malah) artikel di Kompasiana yang ditulis Achmad
Sunjayadi.

Judulnya “Selamat Berlayar Professor A.B. Lapian, ‘Nakhoda Maritim Asia Tenggara’”.
Dan dibawahnya tentang WB. Lapian (bapak AB. Lapian) di facebook yang ditulis Stefen J.
Supit, dalam rangka memperingati HUT RI ke 61, 2006. Koq tidak ada banyak pilihan di laman-
laman media-media utama yang memberitakan kematian beliau?

Sebenarnya saya murid AB. Lapian yang ‘luar biasa’. Maksudnya, biasanya, yang menjadi
murid-murid AB. Lapian adalah mahasiswa sejarah, khususnya yang kuliah di Universitas
Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Sedangkan saya mahasiswa perikanan (di UGM).
Untung saya tertarik pada sejarah dan kebudayaan maritim, sehingga ada alasan saya mengenal
dan belajar dari seorang ahli maritim, AB. Lapian.

Saya agak lupa kapan pertama kali saya mengenal beliau. Kalau tidak salah lewat surel
(email). Waktu itu, saya meminta kesediaannya untuk memberi epilog pada buku pertama saya,
“Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut?” (prolognya Rokhmin Dahuri, waktu itu dia Menteri
Kelautan dan Perikanan). Untung file surat tersebut masih saya simpan. Surat saya kirim ke
tempat tinggal AB Lapian di Jl. Haji Sa’abun No. 9 Jati Padang, Pasar Minggu, Kampung
Ragunan, Jakarta Selatan

Kemudian di buku kedua saya, “Orang Mandar Orang Laut”, pak Lapian memberi Kata
Pengantar. Permintaan saya ajukan langsung ke beliau, di rumahnya. Itu juga pertama kali saya
bertemu dengan Pak Lapian.
Bersahaja

R
umah pak Lapian tak mewah tak juga sederhana. Tapi saya agak ‘kaget’ dengan
penampilannya yang bersahaja. Rumahnya juga sepi. Katanya, dia lebih banyak di
Tomohon. Sering bolak-balik. Nanti ke Jakarta kalau lagi ada kegiatan, khususnya
pengeditan buku Sejarah Indonesia yang beberapa edisi itu.

Bila ada kegiatan di pak Lapian di Yogya, saya selalu mengikutinya. Pernah juga beliau
mengajak saya jalan-jalan ke kerabatnya di Magelang. Saat di sana, mereka bercakap pakai Bahasa
Belanda. Kerabatnya itu juga tua, lebih tua dari Pak Lapian. Saya masih menyimpan foto-foto
mereka berdua.

Saya terakhir bertemu pak Lapian di Wisma Kagama UGM. Hari itu hari terakhir beliau
di Yogya, setelah sebelumnya menjadi pembicara di diskusi bukunya yang kembali diterbitkan,
“Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX”. Saya sangat
kecewa tidak bisa ikut diskusinya, soalnya saya baru datang juga di Yogya (waktu itu kalau tidak
salah April atau Mei 2009, saya tidak lagi bermukim di Yogya sejak 2006). Tapi bersyukur masih
bisa bertemu dengan beliau di kamar hotelnya.

Nada suara Pak Lapian amat tenang. Matanya juga demikian. Penampilannya yang
bersahaja dan tutur bicaranya tak seperti ‘kebanyakan’ profesor yang berada di ‘menara gading
intelektual’. Saya juga hampir tak percaya betapa begitu mudahnya saya diterima dan memberi
bimbingan. Padahal waktu itu saya masih tergolong anak bawang dalam mempelajari sejarah dan
kebudayaan maritim. Tapi Pak Lapian tak membeda-bedakan. Referensi-referensi yang dia punya
dia berikan (khususnya makalah-makalah yang bisa dikopi) dan memberitahukan referensi yang
harus saya baca.

Karya-karya AB Lapian

M
emperingati 80 tahun AB Lapian, Komunitas Bambu menerbitkan lima buku yang
merupakan karya tulis AB Lapian dan satu buku yang ditulis beberapa orang
sebagai persembahan untuk AB Lapian. Buku-buku tersebut adalah Pelayaran dan
Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17 (Agustus 2008); Pertempuran Laut, Perbudakan dan
Kolonialisme; Dari Sriwijaya , Majapahit, sampai Orang Bajau: Sejarah dan Laut Indonesia;
Tambora dan Krakatau: Sejarah Bencan Alam; Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah
Kawasan Laut Sulawesi Abad ke-19; dan Kembara Bahari Esei Kehormatan 80 Tahun AB
Lapian.
Dari sekian buku di atas, hanya dua yang saya punya, yaitu Pelayaran dan Perniagaan
Nusantara dan Orang Laut, Bajak Laut dan Raja Laut. Saya pernah melihat buku Kembara Bahari
di Gramedia Samarinda, tapi tidak beli sebab uang tak cukup.

Pernah saya menanyakan judul-judul lain di di atas ke Komunitas Bambu (6 September)


tapi katanya tak ada stok. Mungkin juga belum diterbitkan? Entahlah saat ini.

Buku paling monumental AB Lapian adalah Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut. Aslinya,
tulisan tersebut adalah desertasi AB Lapian pada 1987 sewaktu kuliah di Universitas Gadjah
Mada. Desertasi tersebut dua kali diterbitkan dalam bentuk buku, pertama oleh penerbit di
Yogyakarta, Mata Bangsa pada tahun 2001. Di antara sekian banyak lapak kios buku di samping
Universitas Islam Indonesia di Jl. Cik Di Tiro dan di Shopping Center Yogyakarta, hanya satu
kios yang memiliki buku itu.

Syukurlah, saya bisa memilikinya. Pak Lapian agak kecewa dengan penerbitan buku
tersebut, sebab penerbit tak mengupayakan pembaharuan. Pak Lapian pun tak pernah
mendapatkan royalti, setidaknya sampai 20 Februari 2003, sewaktu dia diwawancari Kompas
(“AB Lapian: Perintis Sejarah Maritim Indonesia, Kompas, Kamis 20 Februari 2003, hal. 12).

Kemudian, sewaktu saya mengikuti Ekspedisi Garis Depan Nusantara di kawasan timur
Indonesia, bersama teman-teman Wanadri, salah seorang wartawan Kompas yang meliput acara
tersebut membawa serta buku Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut yang telah diperbaharui AB
Lapian.

Fisik bukunya cukup besar, lebih besar dari A4. Kertasnya ringan, kuning. Tampak klasik.
Bila penerbitan tak dibantu beberapa lembaga, mungkin bukunya lebih seratusan ribu. Tapi di
tokobuku harganya Rp 80.000.

Buku penerbitan pertama dan yang kedua jauh berbeda. Dengan kata lain, yang kedua
telah memenuhi harapan pak Lapian. Sebab telah diperbaharui. Di dalam juga ada beberapa foto.

Sebagai pemberi Kata Pengantar buku-buku bertema maritim, Pak Lapian menjadi
langganan. Berikut beberapa buku yang di-Kata Pengantar-i AB Lapian (tidak termasuk buku-
buku saya): Pelajaran dan Pengaruh Kebudajaan Makassar-Bugis di Pantai Utara Australia, A.A.
Cense, dan H.J. Heeren (Bhrata. Djakarta, 1972); Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia
karya Ary Wahyono, A. Rahman Patji, D.S. Laksono, Ratna Indrawasih, Sudiyono, Surmiati Ali
(Media Pressindo. Yayasan Adikarya IKAPI, Ford Foundation, 2000); Cilacap 1830-1942, penulis
Susanto Zuhdi (Kepustakaan Populer Gramedia, 2002); NusaUtara: Dari Lintasan Niaga ke
Daerah Perbatasan, karya Alex John Ulean (Pustaka Sinar Harapan, MICRC, Yayasan Adikarya
IKAPI dan Ford Foundation, 2003).

***

A
wal Juli 2011, saya shalat Dhuhur di mesjid kampus Unasnam, Polewali. Saat akan
keluar, tampak di dekat pintu ada selembar koran terlipat. Dilihat dari karakter huruf
dan judul rubrik, saya tebak itu halaman Sosok di Kompas. Mendekat, foto sosok
yang dibahas amat saya kenal, “Ah pak Lapian”, guman saya dalam hati. Tentu saya ambil. Tak
baca semua sebab harus segera naik motor, judulnya saja, “Lapian, 80 Tahun Nakhoda Sejarah
Kelautan”.

Lama tak saya baca, hanya saya simpan lembar kertas koran itu di rak buku. Hingga
kemudian ada kabar dari mas Halim bahwa beliau wafat. Saat saya baca teliti artikel Kompas itu,
ternyata berangka “Selasa, 1 September 2009”. Berarti sudah lebih dua tahun, antara
pemuatannya dengan ‘penemuan’ saya atas koran tersebut. Ternyata, untuk saya pribadi, itu
adalah penanda bahwa pak Lapian akan meninggalkan bahtera Nusantara. Selamat berlayar pak!
Terima kasih atas warisan pengetahuannya kepada kami, awak-awak bahtera Nusantara.

Vous aimerez peut-être aussi