Vous êtes sur la page 1sur 39

LAPORAN

TUTORIAL MODUL I
SISTEM ENDOKRIN DAN METABOLISME
‘’
DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 9
TUTOR : dr. Ida Royani, M.kes
 MUH. ARDIANSYAH MADARZA 110 211 0063
 SANTRI ADZTI 110 213 0002
 ST AINULHAYATI M ZEN 110 213 0009
 SRI AYU HANDAYANI 110 213 0029
 HELDI JAFAR YANSARI 110 213 0041
 KURNIATI FAJARYANTO 110 213 0045
 NURUL INSYIRAH 110 213 0064
 RAHMAWATI S 110 213 0087
 GHINA SALSABILA RURAY 110 213 0108
 ANDI NURQALBY TSM 110 213 0117
 MARWANI 110 213 0133

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2015
1) Anatomi, histologi, fisiologi

Mata adalah organ penglihatan yang mendeteksi cahaya, berikut bagian-


bagian mata :
1. Organ luar
a. Bulu mata
b. Alis mata
c. Kelopak mata (palpebra)
2. Organ dalam
a. Kornea
b. Sclera
c. Pupil
d. konjungtiva
e. Iris
f. Corpus ciliaris
g. Lensa
h. Retina

Fisiologi penglihatan

Histologi mata
Kornea Retina

a. Mata secara mikroskopik :


1. tunika fibrosa terdiri dari kornea dan sclera
2. Tunika vaskulosa terdiri dari koroid, korpus siliaris dan iris
3. Tunika interna = retina

b. Kornea
Merupakan membrane transparan avaskuler, terdapat pada bagian depan
mata, bagian tepinya disebut limbus kornea, bagian tengah tebalnya 0,5 mm
dan tepi 0,7 mm. terdiri dari 5 lapisan yaitu:
1. Epitel kornea anterior
2. Membrane bowman
3. Stroma kornea
4. Membrane desemen
5. Epitel kornea posterior

c. Koroid
Merupakan lapisan tipis yang warnanya gelap terletak antara sclera dan
retina ke sebelah depan melanjutkan diri sebagai ora serrata dan kemudian
menjadi korpus siliaris.
1. Lamina supra koroid
2. Stroma koroid
3. Koriokapiler

d. Retina
Terdiri dari 10 lapisan:
1. Lap. epitel pigmen
2. Lap. Sel batang & kerucut
3. Membrana limitan eksterna
4. Lap. nuklear luar
5. Lap. pleksiform luar
6. Lap. nuklear dalam
7. Lap. pleksiform dalam
8. Lap. sel-sel ganglion
9. Lap. serabut-serabut saraf
10. Membrana limitan interna

e. Palpebra
Terdiri dari lapisan-lapisan
1. Kulit
2. Lap. Subkutan
3. Lap. Otot
4. Tarsus dan septum orbita

Referensi :
 Atlas Anatomi Manusia, Sobotta, jilid 1, edisi 21.egc. 2003. hal:
367.
 Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Ed.8. egc.
2014. 212-214.
 Mescher, Anthony L. Histologi Dasar Junqueria. Ed.12. egc.2011.
hal ;405,407 dan 405
2) Hubungan riwayat DM dengan penglihatan kabur

SKEMA PATOFISIOLOGI RETINOPATI DIABETIK

Patofisiologi Retinopati Diabetik

Mekanisme terjadinya RD masih belum jelas, namun beberapa studi menyatakan


bahwa hiperglikemi kronis merupakan penyebab utama kerusakan multipel organ.
Komplikasi hiperglikemia kronis pada retina akan menyebabkan perfusi yang
kurang adekuat akibat kerusakan jaringan pembuluh darah organ, termasuk
kerusakan pada retina itu sendiri. Terdapat 4 proses biokimiawi yang terjadi pada
hiperglikemia kronis yang diduga berhubungan dengan timbulnya retinopati
diabetik, antara lain:

1) Akumulasi Sorbitol
Produksi berlebihan serta akumulasi dari sorbitol sebagai hasil dari aktivasi jalur
poliol terjadi karena peningkatan aktivitas enzim aldose reduktase yang terdapat
pada jaringan saraf, retina, lensa, glomerulus, dan dinding pembuluh darah akibat
hiperglikemi kronis. Sorbitol merupakan suatu senyawa gula dan alkohol yang tidak
dapat melewati membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang
banyak dalam sel. Kerusakan sel terjadi akibat akumulasi sorbitol yang bersifat
hidrofilik sehingga sel menjadi bengkak akibat proses osmotik.

Selain itu, sorbitol juga meningkatkan rasio NADH/NAD+ sehingga menurunkan


uptake mioinositol. Mioinositol berfungsi sebagai prekursor sintesis
fosfatidilinositol untuk modulasi enzim Na-K-ATPase yang mengatur konduksi
syaraf. Secara singkat, akumulasi sorbitol dapat menyebabkan gangguan konduksi
saraf.

Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim aldose reduktase (sorbinil)


yang bekerja menghambat pembentukan sorbitol, dapat mengurangi atau
memperlambat terjadinya retinopatik diabetik. Namun uji klinik pada manusia
belum menunjukkan perlambatan dari progresifisitas retinopati. 3, 5, 6

2) Pembentukan protein kinase C (PKC)

Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel vaskular
meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, yang merupakan
suatu regulator PKC dari glukosa. PKC diketahui memiliki pengaruh terhadap
agregasi trombosit, permeabilitas vaskular, sintesis growth factor dan
vasokonstriksi. Peningkatan PKC secara relevan meningkatkan komplikasi
diabetika, dengan mengganggu permeabilitas dan aliran darah vaskular retina.

Peningkatan permeabilitas vaskular akan menyebabkan terjadinya ekstravasasi


plasma, sehingga viskositas darah intravaskular meningkat disertai dengan
peningkatan agregasi trombosit yang saling berinteraksi menyebabkan terjadinya
trombosis. Selain itu, sintesis growth factor akan menyebabkan peningkatan
proliferasi sel otot polos vaskular dan matriks ekstraseluler termasuk jaringan
fibrosa, sebagai akibatnya akan terjadi penebalan dinding vaskular, ditambah
dengan aktivasi endotelin-1 yang merupakan vasokonstriktor sehingga lumen
vaskular makin menyempit. Seluruh proses tersebut terjadi secara bersamaan,
hingga akhirnya menyebabkan terjadinya oklusi vaskular retina. 3, 7

3) Pembentukan Advanced Glycation End Product (AGE)

Glukosa mengikat gugus amino membentuk ikatan kovalen secara non enzimatik.
Proses tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu senyawa AGE. Efek dari
AGE ini saling sinergis dengan efek PKC dalam menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular, sintesis growth factor, aktivasi endotelin 1 sekaligus
menghambat aktivasi nitrit oxide oleh sel endotel. Proses tersebut tentunya akan
meningkatkan risiko terjadinya oklusi vaskular retina. 3, 8

AGE terdapat di dalam dan di luar sel, berkorelasi dengan kadar glukosa.
Akumulasi AGE mendahului terjadinya kerusakan sel. Kadarnya 10-45x lebih
tinggi pada DM daripada non DM dalam 5-20 minggu. Pada pasien DM, sedikit
saja kenaikan glukosa maka meningkatkan akumulasi AGE yang cukup banyak,
dan akumulasi ini lebih cepat pada intrasel daripada ekstrasel. 8

4) Pembentukan Reactive Oxygen Speciesi (ROS)

ROS dibentuk dari oksigen dengan katalisator ion metal atau enzim yang
menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2), superokside (O2–). Pembentukan ROS
meningkat melalui autooksidasi glukosa pada jalur poliol dan degradasi AGE.
Akumulasi ROS di jaringan akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang
menambah kerusakan sel. 3, 8
SKEMA 2 PATOFISIOLOGI RETINOPATI DIABETIK (lanjutan)

Kerusakan sel yang terjadi sebagai hasil proses biokimiawi akibat hiperglikemia
kronis terjadi pada jaringan saraf (saraf optik dan retina), vaskular retina dan lensa.
Gangguan konduksi saraf di retina dan saraf optik akan menyebabkan hambatan
fungsi retina dalam menangkap rangsang cahaya dan menghambat penyampaian
impuls listrik ke otak. Proses ini akan dikeluhkan penderita retinopati diabetik
dengan gangguan penglihatan berupa pandangan kabur. Pandangan kabur juga
dapat disebabkan oleh edema makula sebagai akibat ekstravasasi plasma di retina,
yang ditandai dengan hilangnya refleks fovea pada pemeriksaan funduskopi. 2-4

Neovaskularisasi yang tampak pada pemeriksaan funduskopi terjadi karena


angiogenesis sebagai akibat peningkatan sintesis growth factor, lebih tepatnya
disebut Vascular Endothelial Growt Factor (VEGF). Sedangkan kelemahan
dinding vaksular terjadi karena kerusakan perisit intramural yang berfungsi sebagai
jaringan penyokong dinding vaskular. Sebagai akibatnya, terbentuklah penonjolan
pada dinding vaskular karena bagian lemah dinding tersebut terus terdesak sehingga
tampak sebagai mikroaneurisma pada pemeriksaan funduskopi. Beberapa
mikroaneurisma dan defek dinding vaskular lemah yang lainnya dapat pecah hingga
terjadi bercak perdarahan pada retina yang juga dapat dilihat pada funduskopi.
Bercak perdarahan pada retina biasanya dikeluhkan penderita dengan floaters atau
benda yang melayang-layang pada penglihatan. 2-4, 9

Gambaran retina penderita DM

Kebutaan pada Retinopati Diabetik

Penyebab kebutaan pada retinopati diabetik dapat terjadi karena 4 proses berikut,
antara lain:

1) Retinal Detachment (Ablasio Retina)

Peningkatan sintesis growth factor pada retinopati diabetik juga akan menyebabkan
peningkatan jaringan fibrosa pada retina dan corpus vitreus. Suatu saat jaringan
fibrosis ini dapat tertarik karena berkontraksi, sehingga retina juga ikut tertarik dan
terlepas dari tempat melekatnya di koroid. Proses inilah yang menyebabkan
terjadinya ablasio retina pada retinopati diabetik.3

2) Oklusi vaskular retina

Penyempitan lumen vaskular dan trombosis sebagai efek dari proses biokimiawi
akibat hiperglikemia kronis pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya oklusi
vaskular retina. Oklusi vena sentralis retina akan menyebabkan terjadinya vena
berkelok-kelok apabila oklusi terjadi parsial, namun apabila terjadi oklusi total akan
didapatkan perdarahan pada retina dan vitreus sehingga mengganggu tajam
penglihatan penderitanya. Apabila terjadi perdarahan luas, maka tajam penglihatan
penderitanya dapat sangat buruk hingga mengalami kebutaan. Perdarahan luas ini
biasanya didapatkan pada retinopati diabetik dengan oklusi vena sentral, karena
banyaknya dinding vaskular yang lemah. 3, 4

Selain oklusi vena, dapat juga terjadi oklusi arteri sentralis retina. Arteri yang
mengalami penyumbatan tidak akan dapat memberikan suplai darah yang berisi
nutrisi dan oksigen ke retina, sehingga retina mengalami hipoksia dan terganggu
fungsinya. Oklusi arteri retina sentralis akan menyebabkan penderitanya mengeluh
penglihatan yang tiba-tiba gelap tanpa terlihatnya kelainan pada mata bagian luar.
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat seluruh retina berwarna pucat. 3, 4

3) Glaukoma

Mekanisme terjadinya glaukoma pada retinopati diabetik masih belum jelas.


Beberapa literatur menyebutkan bahwa glaukoma dapat terjadi pada retinopati
diabetik sehubungan dengan neovaskularisasi yang terbentuk sehingga menambah
tekanan intraokular. 3, 9

PATOFISIOLOGI KATARAK DIABETIK

Katarak diabetik merupakan salah satu penyebab gangguan penglihatan yang utama
pada pasien diabetes melitus selain retinopati diabetik. Patofisiologi terjadinya
katarak diabetik berhubungan dengan akumulasi sorbitol di lensa dan terjadinya
denaturasi protein lensa. 4, 10

Katararak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat
hidrasi (penambahan cairan) lensa, atau akibat denaturasi protein lensa. Pada
diabetes melitus terjadi akumulasi sorbitol pada lensa yang akan meningkatkan
tekanan osmotik dan menyebabkan cairan bertambah dalam lensa. Sedangkan
denaturasi protein terjadi karena stres oksidatif oleh ROS yang mengoksidasi
protein lensa (kristalin). 4, 10

Daftar Pustaka

3. Pandelaki K. 2007. Retinopati Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. Edisi IV Jilid III. Editor: Aru W. Sudoyo dkk. Departemen ilmu penyakit
dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
4. Ilyas S. 2006. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta.

5. Mitchell PP & Foran S. 2008. Guidelines for the Management of Diabetic


Retinopathy. Australian Diabetes Society for the Department of Health and Ageing:
Australia.

6. Reddy GB, Satyanarayana A, Balakrishna N, Ayyagari R, Padma M,


Viswanath K, Petrash JM. 2008. Erythrocyte Aldose Reductase Activity and
Sorbitol Levels in Diabetic Retinopathy dalam www.molvis.org/molvis
(online).Diakses tanggal 26 Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir tanggal 24
Maret 2008.

7. Roy MS. 2000. Diabetic Retinopathy in African Americans with Type 1


Diabetes dalam http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10636422 (online). Diakses
tanggal 26 Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir Januari 2000.

8. Ciulla TA, Amador AG, Zinman B. 2003. Diabetic Retinopathy and


Diabetic Macular Edema, Pathophysiology, Screening, and Novel Therapies dalam
http://care.diabetesjournals.org/content (online). Diakses tanggal 26 Oktober 2010.
Pemutakhiran data terakhir tanggal 11 Mei 2003.

9. James B dkk. 2006. Oftalmologi, Lecture Notes, Edisi ke-9. Erlangga:


Jakarta.

10. Pollreisz A & Erfurth US. 2009. Diabetic Cataract-Pathogenesis,


Epidemiology and Treatment dalam http://downloads.hindawi.com/journals
(online). Diakses tanggal 26 Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir tanggal 11
Desember 2009.

3) Bagaimana efek tidak teratur berobat RAHMA


4) Faktor yang mempengaruhi mata kabur
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penglihatan menurut Corwin (2001)
adalah sebagai berikut :
1. Usia, bertambahnya usia maka lensa mata berangsur-angsur kehilangan
elastisitasnya dan melihat ada jarak dekat akan semakin sulit. Hal ini akan
menyebabkan ketidaknyamanan penglihatan ketika mengerjakan sesuatu pada
jarak dekat, demikian pula penglihatan jauh.
2. Penerangan, pengaruh intensitas penerangan dengan penglihatan sangat
penting karena mata dapat melihat objek melalui cahaya yang dipantulkan oleh
permukaan objek tersebut. Luminasi adalah banyaknya cahaya yang dipantulkan
oleh permukaan objek. Jumlah sumber cahaya yang tersedia juga mempengaruhi
kemampuan mata melihat objek. Pada usia tua diperlukan intensitas penerangan
yang lebih besar untuk melihat objek. Tingkat luminasi juga mempengaruhi
kemampuan membaca teks. Semakin besar luminasi sebuah objek maka semakin
besar juga rincian objek yang dapat dilihat oleh mata. Bertambahnya luminasi
sebuah objek akan menyebabkan mata bertambah sensitif terhadap kedipan
(flicker). Faktor penerangan berpengaruh pada kualitas penerangan yang
ditentukan oleh kualitas dan kuantitas penerangan. Sifat penerangan juga
ditentukan oleh rasio kecerahan yaitu antara objek dan latar belakang.
Penerangan bisa bersumber dari penerangan langsung, misalnya dari penerangan
buatan (bola lampu), penerangan yang bersumber dari pantulan tembok, langit-
langit ruangan dan bagian permukaan meja kerja (Kroemer et al, 2000).
3. Silau (glare), adalah proses adaptasi berlebihan pada mata sebagai akibat dari
retina mata terpapar sinar yang berlebihan (Grandjean, 2000).
4. Ukuran pupil, supaya jumlah sinar yang diterima retina sesuai maka otot iris
akan mengatur ukuran pupil. Lubang pupil juga dipengaruhi oleh memfokusnya
lensa mata, mengecil ketika mata memfokus pada objek yang dekat.
5. Sudut dan ketajaman penglihatan, sudut penglihatan (visual angle) sebagai
sudut yang berhadapan dengan objek pada mata.

REFERENSI : Repository Universitas Semarang


5) pada umur bera penglihatan menurun
Pada umumnya, penglihatan menurun pada usia 40-60 tahun dimana pada usia
tersebut telah terjadi kelainan berupa spingter pupil timbul sklerosis dan
hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih berbentuk sferis (bola), lensa lebih
suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, susah melihat dalam cahaya
gelap, hilangnya daya akomodasi dan menurunnya lapangan pandang.

REFERENSI : Repository Universitas Semarang

6) Interpretasi hasil pemeriksaan visus

Penglihatan dapat dibagi menjadi penglihatan sentral dan perifer.


Ketajaman penglihatan sentral diukur dengan memperlihatkan objek dalam
berbagai ukuran yang diletakkan pada jarak standar dari mata. Misalnya,
“kartu snellen” yang sudah dikenal, yang terdiri atas deretan huruf acak
yang tersusun mengecil untuk menguji penglihatan jauh. Setiap baris diberi
angka yang sesuai dengan suatu jarak (dalam kaki atau meter), yaitu jarak
yang memungkinkan semua huruf dalam baris itu terbaca oleh mata normal.
Misalnya huruf-huruf pada baris “40” cukup besar untuk dibaca mata
normal dari jarak 40 kaki.
Suatu konversi, ketajaman penglihatan dapat diukur pada jarak jauh
20 kaki (6 meter), atau dekat 14 inci. Untuk keperluan diagnostic, ketajaman
penglihatan yang diukur pada jarak jauh merupakan standar pembanding
dan selalu diuji terpisah pada masing-masing mata. Ketajaman penglihatan
diberi skor dengan dua angka, misalnya 20/40. Angka pertama adalah jarak
uji (dalam kaki) antara kartu dengan pasien, dan angka kedua adalah jarak
barisan huruf terkecil yang dapat dibaca oleh mata pasien.
(Gambar)

Dalam penulisan kode - kode tersebut, ada 3 standar notasi yang


sering digunakan, yaitu notasi metrik (Belanda), notasi feet
(Inggeris/imperial), dan notasi desimal (Amerika). Notasi metrik bisa
dikenali dengan nilai pembilang yang umumnya 6 (6/…), feet dengan nilai
20 (20/…) dan desimal, sesuai dengan namanya, notasinya berbentuk
bilangan desimal (0,…). Ukuran huruf terbesar pada optotip, umumnya
berkode 6/60 atau 20/200 atau 0,1. Alat paling banyak yang digunakan
untuk pengujian visus ini adalah Snellen Chart. Kartu ini ditemukan oleh
seorang opthamologist, dr. Hermann Snellen (1862). Dengan Optotype
Snellen dapat ditentukan tajam penglihatan atau kemampuan melihat
seseorang, seperti :

1. Bila visus 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak 6 meter,
yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter.
2. Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan
angka 30, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.
3. Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan
angka 50, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.
4. Bila visus adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak 6 meter
yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.
5. Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka
dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada
jarak 60 meter.
6. Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang
diperlihatkan pada jarak 3 meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan
pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai sampai 1/60, yang
berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.
7. Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan visus pasien yang
lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau
lambaian tangan pada jarak 1 meter, berarti visus adalah 1/300.
8. Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak
dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam
penglihatan 1/~. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak
berhingga.
9. Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan
penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta total.

Pada penderita di skenario pemeriksaan visusnya didapatkan pada


mata kanan pasien VOD 1/300 dengan interpretasi yaitu pasien tidak dapat
membaca hitungan jari sehingga pasien hanya bisa melihat adanya gerakan
tangan dari pemeriksa pada jarak 1 meter. Sedangkan pada mata kiri pasien
VOS 20/70 dengan interpretasi pasien dapat membaca huruf di tabel
snelleen chart sampai baris ketiga yaitu T O Z merupakan huruf yang cukup
besar untuk di baca dari jarak 70 kaki oleh mata normal sedangkan pasien
dapat membaca dari jarak 20 kaki.

Referensi : Paul Riordan-Eva. 2009. Vaughan & Asbury : Oftalmologi


umum. Jakarta : EGC halaman 30-32
7) Patomekanisme mata kabur secara perlahan
Ketajaman visus mengacu pada kemampuan untuk melihat dengan jelas,
penurunan ketajaman visus sering menyertai gangguan refraksi, pada rabun
jauh atau myopia, mata memfokuskan bayangan visual di depan retina
sehingga benda-benda yang terletak dekat terlihat jelas sementara benda-
benda yang terletak jauh terlihat kabur. Sebaliknya pada rabun dekat atau
hipermetropia mata memfokuskan bayangan visual di belakang retina
sehingga benda-benda yang letaknya dekat terlihat kabur sementara benda-
benda yang letaknya jauh terlihat dengan jelas.. kedua permasalahan ini
disebabkan oleh perubahan bentuk bola mata . penyebab mata kabur yang
lain meliputi penuaan, ambliopia, katarak, glaucoma, papiledema, adaptasi
gelap, dan skotoma (daerah penurunsn ketajaman visus yang dikelilingi oleh
daerah dengan visus normal di dalam lapangan pandang.)
Ambliopia merupakan penurunan ketajaman visus yang berat atau
penurunan kebutuhan virtual pada mata yang secara structural masih utuh.
Keadaan ini bisa disebabkan oleh zat-zat toksik (yang meliputi alcohol dan
tembakau) atau dapat pula menyertai penyakit sistemik seperti diabetes
mellitus atau gagal ginjal.
Bersamaan dengan bertambahnya usia, pupil menjadi lebih kecil sehingga
jumlah cahaya yang mencapai retina berkurang. Dewasa lanjut usia
memerlukan cahaya sebanyak tiga kali lipat Yang diperlukan dewasa muda
untuk dapat melihat dengan jelas.
Pada penyakit diabetes akan terjadi peningkatan kadar glukosa di dalam
lensa yang menyebabkan lensa mata menyerap air, akibatnya dapat terjadi
dehidrasi, asidosis dan hiperglikemia nyata, membuat lensa terlihat keruh
berupa garia akibat kapsul lensa berkerut. Bila dehidrasi lama akan terjadi
kekeruhan lensa, kekeruhan akan hilang bila terjadi rehidrasi dan kadar
glukosa normal kembali.

Sumber:
Prof.dr.H.Sidarta Ilyas,SpM.2008.Ilmu Penyakit Mata.Penerbit FKUI
Kowalak dkk.2010.Buku Ajar Patofisiologi.Penerbit EGC

8) KATARAK DIABETIC
Definisi
Opasifikasi lensa mta (katarak) merupakan penyebab tersering kebutaan yang
dapat diobati di seluruh dunia. Katarak diabetes adalah katarak yang disebabkan oleh
penyakit diabetes mellitus.

(Referensi: James, Bruce. 2006. Oftalmologi Edisi 9. Jakart: Penerbit Erlangga)

Etiologi

1. Pasien dengan dehidrasi berat, asidois dan hiperglikemia nyata, pada lensa akan
terliha kekeruhan berupa garis akibat kapsul lensa berkerut. Bila dehidrasi lama
akan terjadi kekeruhan lensa, kekeruhan akan hilang bila terjadi rehidrasi dan kadar
gula kembali normal.
2. Pasien diabetes juvenile dan tua tidak terkontrol, di mana terjadi katarak serentak
pada kedua mata dalam 48 jam, bentuk dapat snow flake atau bentuk piring
subkapsular
3. Katarak pada pasien diabetes dewasa di mana gambaran secara histologic dan
biokimia sama dengan katarak nondiabetik.

(Ilmu Penyakit Mata Edisi 5. Jakarta: FKUI)

Epidemiologi

Gejala Klinik

 Penglihatan seperti berasap dan tajam penglihatan yang menurun secara progresif
 Menyebabkan hilangnya penglihatan tanpa rasa nyeri
 Menyebabkan rasa silau
 Dapat mengubah kelainan refraksi
Referensi:

Tandra, Hans. 20017. Panduan Lengkap Mengenal dan Mengatasi Diabetes dengan Cepat
dan Mudah. Jakarta: Gramedia

Patogenesis

Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada keadaan hiperglikemia terdapat


penimbunan sorbitol dan fruktosa di dalam lensa. Pada mata akan terlihat meningkatkan
nsidens maturasi katarak yang lebih pada pasien diabetes. Adalah jarang ditemukan “true
diabetic” katarak. Pada lensa akan terlihat kekeruhan tebaran salju subkapsular yang
sebagian jernih dengan pengobatan. Kekeruhan lensa ini mengakibatkan lensa tidak
transparan, sehingga pupil berwarna putih atau abu-abu. Pada mata akan tampak kekeruhan
lensa dalam bermacam-macam bentuk dan tingkat. Kekeruhan ini juga dapat ditemukan
pada berbagai lokalisasi di lensa seperti kortek dan nucleus.

Diperlukan pemeriksaan tes urin dan pengukuran darah gula puasa.

(Ilmu Penyakit Mata Edisi 5. Jakarta: FKUI)

Pemeriksaan Penunjang

Tajam penglihatan berkurang. Pada beberapa pasien tajam penglihatan yang diukur
di ruangan gelap mungkin tampak memuaskan, sementara bila tes tersebut dilakukan dalam
keadaan terang maka tajam penglihatan akan menurun sebagai akibat dari rasa silau dan
hilangnya kontras.

Katarak terlihat hitam terhadap reflex fundus ketika mata diperiksa dengan oftalmoskopi
direk. Pemeriksaan slit lamp memungkinkan pemeriksaan katarak secara rinci dan
identifikasi lokasi opasitas dengan tepat.

Pemeriksaan penunjang lainnya jarang diperlukan kecuali bila terdapat dugaan


penyakit sistemik yang harus dieksklusi (dalam hal ini diperlukan pemeriksaan tes urin dan
pengukuran darah gula puasa
(Referensi: James, Bruce, dkk. 2006. Oftalmologi Edisi 9. Jakart: Penerbit Erlangga)

Penatalaksanaan

Pengobatan katarak pada penderita diabetes tidak berbeda dengan mereka yang
tidak mengidap diabetes. Pembedahan untuk mengganti lensa atau cangkok lensa baru bisa
menjadi terapi pilihan dan dapat memperbaiki penglihatan pada 90-95% kasus katarak.

(Referensi: Tandra, Hans. 20017. Panduan Lengkap Mengenal dan Mengatasi Diabetes
dengan Cepat dan Mudah. Jakarta: Gramedia)

Operasi katarak terdiri dari pengangkatan sebagian besar lensa dan penggantian lensa
dengan implant plastic. Saat ini pembedahan semakin banyak dilakukan dengan anastesi
lokal daripada anastesi umum. Anastesi lokal diinfiltrasikan di sekitar bola mata dan
kelopak mata atau diberikan secara topical. Jika keadaan social memungkinkan, pasien
dapat dirawat sebagai kasus perawatan sehari dan tidak memerlukan perawatan rumah
sakit.

Operasi ini dapat dilakukan dengan:

 Insisi luas pada perifer korena atau sclera anterior, diikuti oleh ekstraksi katarak
ekstrakapsular (extra-capsular cataract extraction, ECCE). Insisi harus dijahit.
 Likuifikasi lensa menggunakan probe ultrasonografi yang dimasukkan melalui insisi
yang lebih kecil di kornea atau sclera anterior (fakoemulsifikasi). Biasanya tidak
dibutuhkan penjahitan. Sekarang metode ini merupakan metode pilihan di Negara
Barat.

Kekuatan implant lensa intraocular yang akan digunakan dalam operasi dihitung
sebelumnya dengan mengukur panjang mata secara ultrasonic dan kelengkungan kornea
(maka juga kekuatan optic) secara optic. Kekuatan lensa umumnya dihitung sehingga
pasien tidak akan membutuhkan kacamata untuk penglihatan jauh. Pilihan lensa juga
dipengaruhi oleh refraksi mata kontralateral dan apakah terdapat katarak pada mata tersebut
yang membutuhkan operasi. Jangan biarkan pasien mengalami perbedaan refraktif pada
kedua mata.

Pascaoperasi pasien diberikan tetes mata steroid dan antibiotic jangka pendek.
Kacamata baru dapat diresepkan setelah beberapa minggu, ketika bekasi insisi telah
sembuh. Rehabilitasi visual dan persepan kacamata baru dapat dilakukan lebih cepat
dengan metode fakoemulsifikasi. Karena pasien tidak dapat berakomodasi maka pasien
akan membutuhkan kacamata untuk pekerjaan jarak dekat meski tidak dibutuhkan
kacamata untuk jarak jauh. Saat ini digunakan lensa intraocular multifocal. Lensa
introkular yang dapat berakomodasi sedang dalam tahap pengembangan.

(Referensi: James, Bruce, dkk. 2006. Oftalmologi Edisi 9. Jakart: Penerbit Erlangga)

Komplikasi

Komplikasi pembedahan katarak

1. Hilangnya vitreous. Jika kapsul posterior mengalami kerusakan selama operasi


maka gel vitreous dapat masuk ke dalam bilik anterior yang merupakan risiko
terjadinya galukoma atau traksi pada retina. Keadaan ini membutuhkan
pengangkatan dengan satu instrument yang mengaspirasi dan mengeksisi gel
(vitrektomi(. Pemasangan lensa intraocular sesegera mungkin tidak bisa dilakukan
pada kondisi ini.
2. Prolaps iris. Iris dapat mengalami protrusi melalui insisi bedfah pada periode
pascaoperasi dini. Terlihat sebagai daerah berwarna gelap pada lokasi insisi. Pupil
mengalami distorsi. Keadaan ini membutuhkan perbaikan segera dengan
pembedahan
3. Endoftalmitis. Komplikasi infektif ekstraksi katarak yang serius namun jarang
terjadi (kurang dari 0,3%) Pasien dating dengan:
a. Mata merah yang terasa nyeri
b. Penurunan tajam penglihatan, biasanya dalam beberapa hari setelah
pembedahan
c. Pengumpulan sel darah putirh di bilik anterior (hipopion)
4. Astigmatisme pascaoperasi. Mungkin diperlukan pengangkatan jahitan kornea
untuk mengurangi astigmatisme kornea. Ini dilakukan sebelum melakukan
pengukuran kacamata baru namun setelah luka insisi sembuh dan tetes mata sterois
dihentikan. Kelengkungan kornea yang berlebih dapa terjadi pada garis jahitan bila
jahitan terlalu erat. Pengangkatan jahitan biasanya menyelesaikan masalah ini dan
bisa dilakukan dengan mudah di klinik dengan anastesi local, dengan pesien duduk
di depan slit lamp. Jahitan yang longgar harus diangkat untuk mencegah infeksi
namun mungkin diperlukan penjahitan kembali jika penyembuhan lokasi insisi
tidak sempurna. Fakoemulsifikasi tanpa jahitan melalui insisi yang kecil
menghindarkan komplikasi ini. Selain itu, penempatan luka memungkinkan
koreksi astigmatisme yang telah ada sebelumnya.
5. Edema macular sistoid. Makula menjadi edema setelah pembedahan, terutama bila
disertai hilangnya vitreous. Dapat sembuh siring waktu namun dapat menyebabkan
penurunan tajam penglihatan yang berat.
6. Ablasio retina. Teknik-teknik modern dalam ekstraksi katarak dihubungkan
dengan rendahnya tingkat komplikasi ini. Tingkat komplikasi ini bertambah bila
terdapat kehilangan vitreous. Gejala, tanda, dan tatalaksana telah dijelaskan.
7. Opasifikasi kapsul posterior. Pada sekitar 20% pasien, kejernihan kapsul posterior
berkurang pada beberapa bula setelah pembedahan ketika sel epitel residu
bermigrasi melalui permukaannya. Penglihatan menjadi kabur dan mungkin
didaptkan rasa silau. Dapat dibuat satu lubang kecil pada kapsul dengan laser
(neodymium yttrium(ndYAG) laser) sebagai prosedur klinis rawat jalan. Terdapat
risiko kecil edema macular sistoid atau terlepasnya retina setelah kapsulotomi
YAG. Penelitian yang ditujukan pada pengurangan komplikasi ini menunjukkan
bahwa bahan yang digunakan untuk membuat lensa, bentuk tepi lensa, dan
tumpang tindih lensa introkular dengan sebagian kecil cincin kapsul anterior
penting dalam mencegah opsifikasi kapsul posterior.

8. Jika jahitan nilom halus tidak diangkat setelah pembedahan maka jahitan dapat
lepas dalam beberapa bulan atau tahun setelah pembedahan dan mengakibatkan
iritasi atau infeksi. Gejala hilang dengan pengangkatan jahitan.

(Referensi: James, Bruce, dkk. 2006. Oftalmologi Edisi 9. Jakart: Penerbit Erlangga)

GLAUCOMA
Definisi:

Glaukoma merupakan neuropati optik yang khas disertai dengan penurunan


lapangan pandang akibat kerusakan papil nervus optikus, dimana tekanan
intraokular merupakan faktor risiko terpenting.

Etiologi:

Glaukoma dapat bersifat kongenital ataupun didapat. Berdasarkan etiologinya di


bagi menjadi:
1. Glaukoma primer: tanpa faktor kontributor yang jelas
2. Glaukoma sekunder: dengan faktor kontributor okulor atau ekstra-okular
yang jelas yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokular

Epidemiologi:

Di Indonesia, glaukoma merupaka penyakit ketiga yang menyebabkan


kebutaan di Indonesia dan mengenai sekitar 0,40% dari kasus penyakit mata.
Penyakit ini biasanya mengenai orang dewasa diatas usia 40 tahun terutama pada
usia lanjut, biasanya dalam keluarga sedarah. Wanita lebih sering mengalami
penyakit ini dibandingkan pria dan mudah terjadi pada mata yang mempunyai
bakat sudut bilik mata tertutup, seperti pada hipermetropia.

Klasifikasi:

Berdasarkan gangguan saluran aqueous humor, glaukoma dapat dibedakan


menjadi:

1. Glaukoma sudut terbuka: glaukoma kronis primer dengan sudut pada


kamera oculi anterior yang terbuka, disertai dengan peningkatan TIO.
2. Glaukoma sudut tertutup: kelompok penyakit glaukoma yang dicirikan
dengan obstruksi mekanik dari trabecular meshwork , dengan sudut pada
kamera oculi anterior yang tertutup dan tekanan intra-ocular yang
meningkat.

Gejala klinis:

- Pada glaukoma primer sudut mata tertutup akut terdapat anamnesa yang khas
berupa nyeri pada mata yang mendapat serangan yang berlangsung beberapa
jam dan hilang setelah tidur sebentar.
- Kekaburan pengelihatan
- Nyeri hebat
- Pegal disekitar mata yang menunjukkan tanda kongestif (peradangan)
- Kelopak mata bengkak
- Mata merah
- Melihat lingkaran-lingkaran berwarna seperti pelangi disekitr lampu (halo)
- Mual dan muntah

Patogenesis dan Patofisiologi:

Secara umum, tekanan intraokuler (TIO) normal berkisar antara 10-21


mmHg. TIO dapat meningkat akibat gangguan sistem drainase (glaukoma sudut
terbuka) atau gangguan akses sistem drainase (glaukoma sudut tertutup). Terapi
glaukoma bertujuan untuk menurunkan TIO dan mengatasi dasar penyebab
peningkatan TIO.

Pada glaukoma akut, peningkatan TIO mendadak hingga 60-80 mmHg


menyebabkan kerusakan iskemik akut dari nervus opticus. Pada glaukoma sudut
terbuka primer, kerusakan sel ganglion retina muncul akibat jejas kronik menahun.
Pada glaukoma dengan TIO normal, papil nervus optikus mungkin rentan terhadap
TIO normal.

Faktor Risiko:

Glaukoma primer sudut terbuka:

1. Peningkatan TIO >21 mmHg


2. Riwayat keluarga dengan glaukoma primer sudut terbuka (orang tua, kakek,
dll)
3. Usia lanjut
4. Ras (afrika, latin, afro-karibia)
5. Ketebalan kornea sentral yang lebih tipis
6. Tekanan perfusi okular yang rendah (selisih antara sistol dengan TIO <125
mmHg atau diastol dengan TIO <50 mmHg)
7. DM tipe 2
8. Miopia

Glaukoma primer sudut tertutup:


1. Riwayat keluarga dengan glaukoma primer sudut tertutup
2. Usia lanjut
3. Lebih banyak pada wanita
4. Keturunan asia
5. Hipermetropia
6. Bilik depan mata dangkal (perifer atau sentral)
7. Curvatura cornea yang landai
8. Lensa mata yang tebal
9. Diameter aksial bola mata yang pendek

Penatalaksanaan:

1. Medikamentosa (pengobatan darurat dan jangka pendek)


a. Mitotik:
Untuk melepaskan iris dari jaringan trabekulum sehingga sudut mata
bilik depan akan terbuka.
Pilocarpin 2%, tetes mata setiap menit 1 tetes selama 5 menit, lalu
disusul 1 tetes tiap jam sampai 6 jam.
b. Carbonic Anhidrase:
Untuk menurunkan pembentukan aqueous humor
Asetazolamid 250mg pertablet (2 tablet sekaligus, disusul setiap 4 jam
1 tablet sampai 24 jam
c. Obat hiperosmotik
Untuk meningkatkan daya osmotik plasma
d. Larutan gliserin 50% secara oral, dosis 1-1,5 g/kgBB/hari
(0,7-1,5 cc/kgBB atau 1cc/kgBB), diminum sekali
e. Manitol 20% per infus kurang lebih 60 tetes/menit
f. Morfin
Untuk mengurangi sakit dan mengecilkan pupil disuntikkan 10-15mg
2. Pembedahan
Dilakukan setelah terapi dengan obat-obatan sampai tekanan bola mata
<25mmHg dan mata merah berkurang
a. Iridektomi perifer
Indikasi:
- Glaukoma dalam fase prodormal
- Glaukoma akut yang baru terjadi
- Tindakan pencegahan pada mata kiri
Teknik : dibuat kubang di bagian perifer iris pada sisi temporal atas.
b. Pembedahan filtrasi
Indikasi:
- glaukoma akut sudah berlangsung lama
- penderita sudah masuk dalam stadium glaukoma kongestif kronik
teknik :
Trepanasi Elliot, lubang kecil berukuran 1,5mm dibuat di daerah
kornea-sklera, lalu ditutup dengan konjungtiva dengan tujuan agar
aquos mengalir langsung dari bilik mata anterior ke ruang
subkonjungtiva.
c. Trabekulektomi
Mengangkat trabekulum sehingga terbentuk celah untuk mengalirkan
cairan mata masuk ke dalam kanal schlemm.

Prognosis:
Glaukoma akut merupakan suatu kegawatdaruratan oftalmologi
sehingga kalau tidak segera ditangani prognosisnya buruk.

Komplikasi:
Kebutaan

Pencegahan:
- Memberi nasihat pada pasien bahwa emosi (takut, bingung,dll) dapat
menimbukan serangan akut
- Membaca dekat yang mengakibatkan miosis atau pupil kecil akan
menimbulkan serangan pada glaukoma dengan blok pupil
- Pemakaian simpatomimetik yang membuat pupil melebar

Referensi:

- prof. Dr. H. Sidarta Ilyas, SpM; dr. Sri Rahayu Yulianti SpM. Ilmu
Penyakit Mata. Hal 169-172. Edisi IV. Badan Penerbit FK UI.2013
- Chris tanto, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Hal. 385-388. Edisi IV.
Media Aesculapius. 2014

RETINOPATI DIABETIK
Definisi

Retinopati diabetes adalah kelainan retina yang ditemukan pada


penderita diabetes mellitus. Retinopati akibat diabetes mellitus lama berupa
aneurismata, melebarnya vena, perdarahan dan eksudat lemak. Retinopati
merupakan penyulit penyakit diabetes yang paling penting. Hal ini
disebabkan karena insidennya yang cukup tinggi yaitu mencapai 40-50%
penderita diabetes dan prognosisnya yang kurang baik terutama bagi
penglihatan.

Etiologi

Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini


bahwa lamanya terpapar pada hiperglikemia ( kronis ) menyebabkan
perubahan fisiologi dan biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan
endotel pembuluh darah.
Patofisiologi

Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati


DM dan terjadi melalui beberapa jalur. Pertama, hiperglikemia memicu
terbentuknya reactive oxygen intermediates (ROIs) dan advanced glycation
endproducts (AGEs). ROIs dan AGEs merusak perisit dan endotel pembuluh
darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric oxide (NO),
prostasiklin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin yang akan
memperparah kerusakan.

Kedua, hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang


meningkatkan glikosilasi dan ekspresi aldose reduktase sehingga terjadi
akumulasi sorbitol. Glikosilasi dan akumulasi sorbitol kemudian
mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi enzim
endotel.

Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler


protein kinase C (PKC). Vascular endothelial growth factor (VEGF) dan
faktor pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC. VEGF menstimulasi ekspresi
intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya
ikatan antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut
menyebabkan kerusakan sawar darah retina, serta trombosis dan oklusi
kapiler retina. Keseluruhan jalur tersebut menimbulkan gangguan sirkulasi,
hipoksia, dan inflamasi pada retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor
angiogenik yang berlebihan sehingga merangsang pembentukan pembuluh
darah baru yang memiliki kelemahan pada membran basalisnya, defisiensi
taut kedap antarsel endotelnya, dan kekurangan jumlah perisit. Akibatnya,
terjadi kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam retina dan
vitreous.
Gejala dan Tanda

Retinopati merupakan gejala diabetes mellitus utama pada mata, dimana


ditemukan pada retina:

 Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama


daerah vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak
dekat pembuluh darah terutama polus posterior.
 Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya
terletak dekat mikroaneurisma dipolus posterior.
 Dilatasi pembuluh darah dengan lumennya ireguler dan berkelok-
kelok.
 Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina.
Gambarannya khusus yaitu iregular, kekuning-kuningan Pada
permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung. Eksudat ini
dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.
 Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan
iskemia retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak
berwarna kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak
dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia
retina.
 Pembuluh darah baru ( Neovaskularisasi ) pada retina biasanya
terletak dipermukaan jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang
berkelok-kelok , dalam, berkelompok, dan ireguler. Mula–mula
terletak dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke daerah
preretinal, ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-
daerah ini dapat menimbulkan perdarahan retina, perdarahan
subhialoid ( preretinal ) maupun perdarahan badan kaca.
 Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama
daerah makula sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan.

Sebagian besar penderita retinopati DM, pada tahap awal tidak


mengalami gejala penurunan tajam penglihatan. Apabila telah terjadi
kerusakan sawar darah retina, dapat ditemukan mikroaneurisma, eksudat
lipid dan protein, edema, serta perdarahan intraretina. Selanjutnya, terjadi
oklusi kapiler retina yang mengakibatkan kegagalan perfusi di lapisan
serabut saraf retina sehingga terjadi hambatan transportasi aksonal.

Hambatan transportasi tersebut menimbulkan akumulasi debris akson


yang tampak sebagai gambaran soft exudates pada pemeriksaan
oftalmoskopi. Kelainan tersebut merupakan tanda retinopati DM non-
proliferatif. Hipoksia akibat oklusi akan merangsang pembentukan pembuluh
darah baru dan ini merupakan tanda patognomonik retinopati DM
proliferatif. Kebutaan pada DM dapat terjadi akibat edema hebat pada
makula, perdarahan masif intravitreous, atau ablasio retina traksional.

Diagnosis Retinopati DM

Deteksi dini retinopati DM di pelayanan kesehatan primer dilakukan


melalui pemeriksaan funduskopi direk dan indirek. Dengan fundus
photography dapat dilakukan dokumentasi kelainan retina. Metode
diagnostik terkini yang disetujui oleh American Academy of Ophthalmology
(AAO) adalah fundus photography.
Berikut adalah sistem kalsifikasi retinopati DM berdasarkan ETDRS
(Early Treatment Diabetic Retinopathy Study).

Tata Laksana dan pencegahan Retinopati DM

Tata laksana retinopati DM dilakukan berdasarkan tingkat keparahan


penyakit. Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan hanya perlu
dievaluasi setahun sekali. Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat
ringan-sedang tanpa edema makula yang nyata harus menjalani pemeriksaan
rutin setiap 6-12 bulan. Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang
dengan edema makula signifikan merupakan indikasi laser photocoagulation
untuk mencegah per- burukan. Setelah dilakukan laser photocoagulation,
penderita perlu dievaluasi setiap 2-4 bulan. Penderita retinopati DM
nonproliferatif derajat berat dianjurkan untuk menjalani panretinal laser
photocoagulation, terutama apabila kelainan berisiko tinggi untuk
berkembang menjadi retinopati DM proliferatif. Penderita harus dievaluasi
setiap 3-4 bulan pascatindakan. Panretinal laser photocoagulation harus
segera dilakukan pada penderita retinopati DM proliferatif. Apabila terjadi
retinopati DM proliferatif disertai edema makula signifikan, maka kombinasi
focal dan panretinal laser photocoagulation menjadi terapi pilihan.

Hal yang terpenting yang dapat dilakukan oleh penderita DM untuk


dapat mencegah terjadinya retinopati adalah dengan mengontrol gula darah,
selain itu tekanan darah, masalah jantung, obesitas dan lainnya juga harus
dikendalikan dan diperhatikan.

Referensi :

1. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Oftalmologi Umum, Edisi 14. Widya
Medika, Jakarta, 2000, hal. 211.

2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3. FK UI, Jakarta, 2009, hal. 218-219

3. Sitompul, Ratna. Retinopati Diabetik. Departemen Ilmu Kesehatan Mata


FK UI, Jakarta, 2011, hal. 338-341.

9) Lankah-Langkah Diagnosis

I. Anamnesis
Keluhan utama digolongkan menurut :

 Onsetnya muncul gejala apakah timbul secara perlahan, cepat atau asimptomatik.

Penurunan visus yang cepat biasanya ditemukan di trauma pada mata. Pada retinopati
diabetic dapat terjadi penglihatan tiba-tiba menurun. Pada glaukoma sudut terbuka
onsetnya biasa perlahan atau mungkin dapat menimbulkan gejala jika sudah terjadi
kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Pada katarak dapat terjadi penurunan penglihatan
secara perlahan tergantung stadiumnya.

 Durasinya singkat atau gejalanya menetap sampai kunjungan ke dokter. Jika


gejalanya hilang timbul, bagaimana frekuensinya?. Pada glaukoma akut episode
tertutup biasanya paling sering terjadi pada malam hari karena pupil secara alami
akan melebar dibawah cahaya yang meredup.

 Lokasinya apakah setempat atau difus, unilateral atau bilateral?. Pada retinopati
diabetic penglihatan tiba-tiba menurun pada satu sisi mata.

 Bagaimana derajat gejalanya menurut pasien ringan, sedang, atau berat?

 Riwayat menggunakan obat obat mata

 gejala penyerta seperti mata merah, gatal, berair, cepat lelah, dsb.

 Riwayat penyakit terdahulu. Gangguan vaskuler yang biasanya menyertai


manifestasi mata seperti hipertensi dan diabetes.

 Riwayat keluarga berhubungan dengan sejumlah gangguan mata seperti


strabismus, ambliopia, glaukoma atau katarak, serta kelainan retina seperti ablatio
retina dan degenerasi makula.

II. Pemeriksaan Dasar Mata

Tujuan pemeriksaan mata adalah untuk menilai fungsi maupun anatomi kedua mata. Fungsi
disini mencakup fungsi penglihatan dan bukan penglihatan, seperti gerak mata dan
kesejajaran. Secara anatomis masalah mata dapat dibagi menjadi 3 daerah : masalah pada
adneksia (palpebra dan jaringan periokuler), bola mata dan orbita.
Penglihatan

sebagaimana pemeriksaan tanda vital merupakan bagian dari setiap pemeriksaan fisik,
setiap pemeriksaan mata harus mencakup penilaian ketajaman penglihatan.

1. Refraksi

titik fokus jauh dasar bervariasi diantara mata individu normal tergantung bentuk bola mata
dan korneanya. Mata emetrop secara alami memiliki fokus yang optimal melihat secara
jauh. Mata ametrop (yakni mata miopia, hiperopia, atau astigmat) memerlukan lensa
koreksi agar terfokus dengan baik untuk melihat jauh.

Pemeriksaan refraksi sering diperlukan untuk membedakan pandangan kabur akibat


kelainan refraksi dari pandangan kabur akibat kelainan medis pada sistem penglihatan.

 Uji penglihatan sentral

ketajaman penglihatan sentral diuji dengan memperlihatkan objek dalam berbagai ukuran
yang diletakkan pada jarak standar dari mata. Misalnya “kartu Snellen” yang terdiri atas
deretan huruf acak yang tersusun mengecil untuk menguji penglihatan jauh.

Sesuai konvensi, ketajaman penglihatan dapat diukur pada jarak jauh 20 kaki ( 6 meter )
atau dekat 14 inci. Ketajaman penglihatan diberi skor dengan dua angka (mis : 20/40).
angka pertama adalah jarak uji (dalam kaki) antara kartu dan pasien, dan angka kedua
adalah jarak barisan huruf terkecil yang dapat dibaca oleh mata pasien. Penglihatan 20/20
adalah normal. Penglihatan 20/60 berarti huruf yang cukup besar untuk dibaca dari jarak
60 kaki oleh mata normal baru bisa dibaca oleh mata pasien dari jarak 20 kaki.

 Uji “Pinhole”

jika pasien memerlukan kacamata atau jika kacamatanya tidak tersedia, ketajaman
penglihatan terkoreksi dapat diperkirakan melalui “pinhole”.

 Menguji penglihatan buruk

pasien yang tidak dapat membaca huruf terbesar pada kartu (mis: 20/200) harus lebih
mendekati kartu sampai kartu itu dapat dibaca. Mata yang tidak dapat membaca satu huruf
pun diuji dengan cara menghitung jari. Catatan pada kartu menunjukan “CF pada 2 kaki”
menunjukan bahwa mata tersebut dapat menghitung pada jarak 2 kaki, tetapi tidak bisa
lebih jauh.

Jika tidak bisa menghitung jari, mata tersebut mungkin masih dapat mendeteksi tangan
yang digerakkan secara vertikal atau horizontal (hand motion). Tingkat penglihatan yang
lebih rendah lagi adalah kesanggupan mempersepsi cahaya . Mata yang tidak dapat
mempersepsi cahaya dianggap buta.

 Menguji penglihatan perifer

penglihatan lapangan pandang perifer dinilai secara cepat dengan uji konfrontasi.

2. Pupil

pupil harus tampak simetris dan masing masing diamati bentuk ( bulat atau tidak teratur )
dan reaksinya terhadap cahaya dan akomodasi. Untuk menghindari akomodasi pasien
diminta untuk menatap jauh saat berkas cahaya dari senter diarahkan ke setiap mata.
Terdapat respon langsung dan respon konsensual atau respon tidak langsung.

3 Motilitas mata

tujuan menguji motilitas mata adalah untuk mengevaluasi kesejajaran kedua mata dan
gerakannya, baik sendiri sendiri maupun bersamaan.

4. Pemeriksaan Luar

pemeriksaan luar secara umum pada adneksa mata. Lesi kulit, pertumbuhan, tanda-tanda
radang seperti pembengkakan, eritema, panas, dan nyeri tekan dievaluasi melalui inspeksi
dan palpasi sepintas. Periksa adanya kelainan posisi palpebra seperti ptosis atau retraksi
palpebra. Palpasi tepian tulang orbita dan jaringan lunak periokuler harus selalu dilakukan
bila dicurigai adanya trauma, infeksi, atau neoplasma orbital.
5. Pemeriksaan Slitlamp

slitlamp adalah sebuah mikroskop binokuler yang terpasang pada meja dengan sumber
cahaya khusus yang dapat diatur. Dengan memakai slitlamp belahan anterior bola mata
“segmen anterior” dapat diamati.

6. Tonometri

tonometri adalah cara pengukuran tekanan cairan intraokuler dengan memakai alat-alat
yang terkalibrasi. Tekanan normal berkisar dari 10 sampai 21 mmHg.

7. Pemeriksaan fundus

digunakan untuk melihat segmen posterior dari bola mata.

8. oftalmoskopi indirek

oftalmoskopi indirek binokuler menambah dan melengkapi pemeriksaan oftalmoskopi


direk.

Referensi : Vaughan & Asbury. 2009. Oftalmologi umum, Ed.17. Jakarta : EGC. Hal. 28 -
58

10) Perspektif Islam


Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai ―perlindungan
Allah untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipu daya‖.
Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh secara sempurnakecuali bagi
mereka yang mengindahkan petunjuk-petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat
diartikan sebagai: -berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan
penciptaannya.
Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan,
maka agaknya dapatdikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat
melihat maupun membaca tanpamenggunakan kacamata. Tetapi, mata yang
afiat adalah yang dapat melihat dan membaca objek-objekyang bermanfaat serta
mengalihkan pandangan dari objek-objek yang terlarang, karena itulah
fungsiyang diharapkan dari penciptaan mata.

Asy Syu‘araa‘ [26]: 78-82 :


- ‘’(Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan Aku, Maka Dialah yang
menunjuki Aku. Dan Tuhanku, yang Dia memberi Makan dan
minum kepadaKu. Dan apabila aku sakit, Dialah yangmenyembuhkan
Aku. Dan yang akan mematikan Aku, kemudian akan menghidupkan aku
(kembali). Danyang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku
pada hari kiamat’’.

Vous aimerez peut-être aussi