Vous êtes sur la page 1sur 35

SISTEM RESPIRASI

EFFUSION PLEURA

Oleh : KELOMPOK 2
RONNY ISWAHYUDI NIM 1714314201046
YULIUS PANCA SEPUTRA NIM 1714314201049
LILY MASRIANI NIM 1714314201042
RINI HANDRIANI NIM 1714314201045

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARANI

PROGRAM S1 ILMU KEPERAWATAN

2018

1
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura dapat terjadi oleh banyak
hal diantaranya adanya bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit
ginjal, tumor mediastinum, ataupun akibat proses keradangan seperti
tuberculosis dan pneumonia. Hambatan reabsorbsi cairan tersebut
mengakibatkan penumpukan cairan di rongga pleura yang disebut efusi pleura.
Efusi pleura tentu mengganggu fungsi pernapasan sehingga perlu
penatalaksanaan yang baik. Pasien dengan efusi pleura yang telah diberikan tata
laksana baik diharapkan dapat sembuh dan pulih kembali fungsi pernapasannya,
namun karena efusi pleura sebagian besar merupakan akibat dari penyakit
lainnya yang menghambat reabsorbsi cairan dari rongga pleura, maka
pemulihannya menjadi lebih sulit. Karena hal tersebut, masih banyak penderita
dengan efusi pleura yang telah di tatalaksana namun tidak menunjukkan hasil
yang memuaskan.

Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada


sekitar 50-60% penderita keganasan pleura primer. Sementana 95% kasus
mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan sekitar
50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura.

Kejadian efusi pleura yang cukup tinggi apalagi pada penderita


keganasan jika tidak ditatalaksana dengan baik maka akan menurunkan kualitas
hidup penderitanya dan semakin memberatkan kondisi penderita. Paru-paru
adalah bagian dari sistem pernapasan yang sangat penting, gangguan pada organ
ini seperti adanya efusi pleura dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan
bahkan dapat mempengaruhi kerja sistem kardiovaskuler yang dapat berakhir
pada kematian.

Perbaikan kondisi pasien dengan efusi pleura memerlukan


penatalaksanaan yang tepat oleh petugas kesehatan termasuk perawat sebagai
pemberi asuhan keperawatan di rumah sakit. Untuk itu maka perawat perlu

2
mempelajari tentang konsep efusi pleura dan penatalaksanaannya serta asuhan
keperawatan pada pasien dengan efusi pleura. Maka dalam makalah ini akan
dibahas bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan efusi pleura.

B. TINJAUAN TEORITIS
1. Pengertian
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak
diantara permukaan viseral dan pariental, proses penyakit primer jarang terjadi
biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain (Suzanne, 2002).
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana ketika rongga pleura dipenuhi
oleh cairan atau terjadi penumpukan cairan dalam rongga pleura (Soemantri,
2009).
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan
dalam rongga pleura berupa transudat dan eksudat yang diakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi di kapiler dan pleura viseralis
(Muttaqin, 2012).
Jadi efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam rongga pleura yang
terletak diantara permukaan viseral dan pariental berupa transudat dan eksudat
akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi yang proses penyakitnya
biasanya merupakan penyakit sekunder.

2. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi Pleura
Pleura adalah suatu membran serosa yang membungkus pulmo,
mempunyai asal yang sama dengan peritoneum. Pleura terdiri atas dua yaitu
pleura parietalis dan pleura visceralis. Diantara kedua lapisan pleura tersebut
terbentuk suatu rongga (celah) tertutup, disebut cavum pleurae, yang
memungkinkan pulmo bebas bergerak pada waktu respirasi. Pleura normal
memiliki permukaan licin,mengkilap dan semitransparan. Luas permukaan
pleura viseral sekitar 4.000 cm2 pada laki-laki dewasa dengan berat badan 70
kg.

3
1) Pleura Viseralis
Bagian permukaan luarnya terdiri atas selapis sel mesotial yang tipis
(tebalnya tidak lebih dari 30 µ), diantara celah-celah sel ini terdapat
beberapa sel limfosit. Terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit
dibawah sel mesotelial. Struktur lapisan tengah memiliki jaringan kolagen
dan serat-serat elastik, sedangkan lapisan terbawah terdapat jaringan
intertisial subpleural yang sangat banyak mengandung pembuluh darah
kapiler dari arteri pulmonalis dan brachialis serta kelenjar getah bening.
Keseluruhan jaringan pleura viseralis ini menempel dengan kuat pada
parenkim paru.

2) Pleura Parietalis
Lapisan pleura parietalis merupakan lapisan jaringan yang lebih tebal
atas sel-sel mesotelial serta jaringan ikat (jaringan kolagen dan serat-serat
elastik). Dalam jaringan ikat ini terdapat pembuluh kapiler dari arteri
intercostalis dan mammaria interna, kelenjar getah bening, banyak
reseptor saraf sensorik yang peka terhadap rangsangan nyeri. Di tempat ini
juga terdapat perbedaan temperatur. Sistem persarafan berasal dari nervus
intercostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada.
Keseluruhan jaringan pleura parietalis ini menempel dengan mudah, tetapi
juga mudah dilepaskan dari dinding dada diatasnya.

Gambar 1 : Pleura (Sumber: www.kalbemed.com)

4
b. Cairan Pleura
Didalam cavum pleurae terdapat sedikit cairan serous yang membuat
permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis menjadi licin sehingga
mencegah terjadinya gesekan. Cairan ini diproduksi oleh pleura parietalis dan
diserap oleh pembuluh darah pleura viseralis, dialirkan ke pembuluh limfa
dan kembali ke darah. Pada orang normal, cairan di rongga pleura sebanyak
10-20mL.
Cairan pleura mengandung 1.500-4.500 sel/ mL terdiri dari makrofag
(75%), limfosit (23%), eritrosit dan mesotel bebas. Cairan pleura normal
mengandung protein 1-2 g/100mL. Elektroforesis cairan pleura menunjukkan
bahwa kadar protein cairan pleura setara dengan kadar protein serum, namun
kadar protein berat molekul rendah seperti albumin, lebih tinggi dalam cairan
pleura. Kadar molekul bikarbonat cairan pleura 20-25% lebih tinggi
dibandingkan kadar bikarbonat plasma, sedangkan kadar ionatrium lebih
rendah 3-5% dan kadari ion klorida lebih rendah 6-9% sehingga pH cairan
pleura lebih tinggi dibandingkan dengan pH plasma.

c. Fisiologi Pleura
Pleura berperan dalam sistem pernapasan melalui tekanan pleura
menimbulkan tekanan transpulmonar yang selanjutnya mempengaruhi
pengembangan paru dalam proses respirasi. Pengembangan paru terjadi bila
kerja otot dan tekanan transpulmoner berhasil mengatasi rekoil elastik (elastic
recoil) paru dan dinding dada sehingga terjadi proses respirasi. Jumlah cairan
rongga pleura diatur keseimbangan starling (laju filtrasi kapiler di pleura
parietal) yang ditimbulkan oleh tekanan pleura dan kapiler, kemampuan
sistem penyaliran limfatik pleura serta keseimbangan elektrolit.
Ketidakseimbangan komponen-komponen gaya ini menyebabkan
penumpukan cairan sehingga terjadi efusi pleura. Bila terserang penyakit,
pleura mungkin akan meradang, selain itu udara atau cairan dapat masuk ke
dalam rongga pleura sehingga menyebabkan paru tertekan atau kolaps.

5
d. Fisiologi Tekanan Pleura
Tekanan cairan pleura mencerminkan dinamik aliran cairan melewati
membran dan bernilai sekitar -10 cmH2O. Tekanan permukaan pleura
mencerminkan keseimbangan elastic recoil dinding dada ke arah luar dengan
elastic recoil paru ke arah dalam. Nilai tekanan pleura tidak serupa di seluruh
permukaan rongga pleura; lebih negatif di apeks paru dan lebih positif di
basal paru. Perbedaan bentuk dinding dada dengan paru dan faktor gravitasi
menyebabkan perbedaan tekanan pleura secara vertikal; perbedaan tekanan
pleura antara bagian basal paru dengan apeks paru dapat mencapai 8 cmH2O.
Tekanan alveolus relatif rata diseluruh jaringan paru normal sehingga gradien
tekanan resultan di rongga pleura berbeda pada berbagai permukaan pleura.
Gradien tekanan di apeks lebih besar dibandingkan basal sehingga formasi
bleb pleura terutama terjadi di apeks paru dan merupakan penyebab
pneumotoraks spontan. Gradien ini juga menyebabkan variasi distribusi
ventilasi.

e. Fisiologi Cairan Pleura


Rongga pleura terisi cairan dari pembuluh kapiler pleura, ruang
interstitial paru, saluran limfatik intratoraks, pembuluh kapiler intratoraks
dan rongga peritoneum. Neergard mengemukakan hipotesis bahwa aliran
cairan pleura sepenuhnya bergantung perbedaan tekanan hidrostatik dan
osmotik kapiler sistemik dengan kapiler pulmoner. Perkiraan besar perbedaan
tekanan yang memengaruhi pergerakan cairan dari kapiler menuju rongga
pleura ditunjukkan pada Gambar 2. Tekanan hidrostatik pleura parietal
sebesar 30 cmH2O dan tekanan rongga pleura sebesar -5 cmH2O sehingga
tekanan hidrostatik resultan adalah 30 – (-5) = 35 cmH2O. Tekanan onkotik
plasma 34 cmH2O dan tekanan onkotik pleura 5 cmH2O sehingga tekanan
onkotik resultan 34 – 5 = 29 cmH2O. Gradien tekanan yang ditimbulkan
adalah 35 – 29 = 6 cmH2O sehingga terjadi pergerakan cairan dari kapiler
pleura parietal menuju rongga pleura. Pleura viseral lebih tebal dibandingkan
pleura parietal sehingga koefisien filtrasi pleura viseral lebih kecil

6
dibandingkan pleura parietal. Koefisien filtrasi kecil pleura viseral
menyebabkan resultan gradien tekanan terhadap pleura viseral secara
skematis bernilai 0 walaupun tekanan kapiler pleura viseral identik dengan
tekanan vena pulmoner yaitu 24 cmH2O. Perpindahan cairan dari jaringan
interstitial paru ke rongga pleura dapat terjadi seperti akibat peningkatan
tekanan baji jaringan paru pada edema paru
maupun gagal jantung kongestif.

Gambar 2 : Skema tekanan dan pergerakan cairan pada rongga pleura


manusia
(Sumber: www.kalbemed.com)

3. Etiologi
Penyebab efusi pleura dibedakan atas:
a. Transudat
Pleuritis serosa, serofibronosa dan fibrinosa semuanya disebabkan oleh
proses yang pada hakikatnya sama. Eksudasi fibrinosa umumnya pada fase
perkembangan awal, mungkin bermanifestasi sebagai eksudat serosa atau
serofibrinosa, tetapi akhirnya akan muncul reaksi eksudativa yang lebih parah.
Efusi pleura ini disebabkan oleh gagal jantung kongestif, emboli paru, sirosis

7
hati (penyakit intrabdominanl), dialisis peritoneal, hipoalbuminemia, sindrom
nefrotik, glomerulonefritis akut, retensi garam, atau pasca by-pass koroner.

b. Eksudat
Penimbunan non-inflamatorik cairan serosa di dalam rongga pleura
disebut hidrotoraks. Eksudat terjadi akibat peradangan dan infiltrasi pada
pleura atau jaringan yang berdekatan dengan pleura. Kerusakan pada dinding
kapiler darah menyebabkan terbentuknya cairan kaya protein yang keluar dari
pembuluh darah dan berkumpul pada rongga pleura. Penyebab efusi pleura
eksudatif adalah neoplasma, infeksi, penyakit jaringan ikat, penyakit
intraabdominal, dan imunologik. Bendungan pada pembuluh limfa juga dapat
menyebabkan efusi pleura eksudatif. Klitotoraks adalah penimbunan cairan
seperti susu, biasanya berasal dari pembuluh limfa, di rongga pleura. Kilus
tampak putih susu karena mengandung emulsi halus lemak.

4. Patofisiologi
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 mL cairan dalam rongga
pleura berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis
yang saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu
terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan
diabsorbsi oleh kapiler dan saluran limfa pleura parietalis dengan kecepatan
seimbang dengan kecepatan pembentukannya.
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya
kecepatan proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan
cairan patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan dengan
terjadinya efusi pleura yaitu:
1. Kenaikan tekanan hindrostatik dan penurunan tekanan osmotik pada
sirkulasi kapiler.
2. Penurunan tekanan cavum pleura.
3. Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfa dari rongga
pleura.

8
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh
peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah
sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah
sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks. Proses terjadinya pneumotoraks
karena pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam
rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada
daerah tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru. Efusi
cairan dapat terbentuk karena transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan
primer paru-paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik,
dialisis peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis
konstriktifa, keganasan, atelektaksis paru dan pneumothoraks.
Efusi eksudat bila ada proses peradangan yang menyebabkan
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotel
berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam
rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
Mycrobacterium tubercolosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa
tubercolosa.

Klitotoraks paling sering disebabkan oleh trauma duktus torasikus atau sumbatan yang
secara sekunder menyebabkan ruptur saluran limfa besar. Penyakit ini dijumpai pada
keganasan yang timbul di dalam rongga toraks yang menyebabkan obstruksi saluran
limfa utama. Kanker yang terletak jauh dapat bermetastasis melalui limfa dan tumbuh di
dalam limfa kanan atau duktus torasikus untuk menyebabkan obstruksi. Patofisiologi Efusi
Pleura

9
PATOFISIOLOGI

TB Paru Gagal jantung kiri Karsinoma mediastinum

Pnemonia Gagal ginjal Karsinoma paru


Gagal fungsi hati
Atelektasis

Hipoalbuminemia - Peningkatan tekanan


hidrostatis di pembuluh Peningkatan permeabilitas
Inflamasi
darah ke jantung kapiler paru
- Asites
- Tekanan osmotic koloid menurun -
- Terjadi tekanan negatif intra pleura
- Peningkatan permeabilitas kapiler
Gangguan Jumlah produksi
cairan dengan absorpsi yang
bisa dilakukan pleura viseralis

Akumulasi/penimbunan cairan
di kavum pleura

Gangguan Ventilasi :
- Pengembangan paru tidak optimal
- Gangguan difusi, distribusi dan transportasi oksigen

Paru Otak G.I Tract Ekstrimitas Psikososial

Pa O2 menurun, Penurunan suplai Efek Pe ↓ suplai O2 Adanya sesak nafas,


PCO2 meningkat, O2 ke otak hiperventilasi tindakan invasif
sesak nafas, produksi ke jaringan
sekret meningkat,
penurunan imunitas Hipoksia Produksi HCL  , Metabolisme Koping individu
anaerob
peristaltik↓, tidak efektif,
Pusing, disorientasi,
keringat dingin Akumulasi gas  ketidak tahuan
Konstipasi, mual, Produksi asam
muntah laktat

10
5. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika
paru terganggu. Klien dengan efusi pleura biasanya akan mengalami keluhan:
1. Batuk
2. Sesak napas
3. Nyeri pleuritis
4. Rasa berat pada dada
5. Berat badan menurun
6. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan
nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberkolosis) banyak keringat, batuk.
7. Deviasi trachhea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi
penumpukan cairan pleural yang signifikan.
8. Pada pemeriksaan fisik:
a) Inflamasi dapat terjadi friction rub
b) Atelektaksis kompresif (kolaps paru parsial ) dapat menyebabkan bunyi
napas bronkus.
c) Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan
karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang
bergerak dalam pernapasan.
d) Vocal fremitus melemah pada perkussi didapati pekak, dalam keadaan
duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis ellis
damoiseu).
e) Didapati segitiga garland, yaitu daerah yang diperkussi redup timpani
dibagian atas garis ellis damoiseu. Segitiga grocco-rochfusz, yaitu daerah
pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain. Pada auskulutasi
daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronchi.

6. Tes Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi

11
Pada fluoroskopi maupun foto thorax PA cairan yang kurang dari 300 cc
tidak bisa terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa
penumpukan sostophrenicus. Apabila cairan tidak tampak pada foto
psoterior-anterior (PA) maka dapat dibuat foto pada posisi dekubitus lateral.
Dengan foto toraks posisi lateral dekubitus dapat diketahui adanya cairan
dalam rongga pleura sebanyak paling sedikit 50 cc, sedangkan denga posisi
PA paling tidak cairan dapat diketahui sebanyak 300 cc.

12
b. Biopsi Pleura
Dapat menunjukkan 50-70% diagnosis kasus pleuritis tuberkolosis dan
tumor pleura. Biopsi ini berguna untuk mengambil spesimen jaringan pleura
melalui biopsi jalur perkutaneus. Komplikasi biopsi adalah pneumothoraks,
hemothoraks, penyebaran infeksi dan tumor dinding dada.

c. Analisa Cairan Pleura


Untuk diagnostik cairan pleura perlu dilakukan pemeriksaan :
1) Warna cairan
a) Haemorragic pleural efusion, biasanya pada klien dengan adanya
keganasan paru atau akibat infark paru terutama disebabkan oleh
tuberkolosis.
b) Yellow exudate pleural efusion, terutama terjadi pada keadaan
gagal jantung kongestif, sindrom nefrotik, hipoalbuminemia, dan
perikarditis konstriktif.
c) Clear transudate pleural efusion, sering terjadi pada klien dengan
keganasan ekstrapulmoner.
2) Biokimia, untuk membedakan transudasi dan eksudasi.
3) Sitologi, pemeriksaan sitologi bila ditemukan patologis atau dominasi sel
tertentu untuk melihat adanya keganasan.

Tabel 1. Perbedaan transudasi dan eksudasi

Parameter Transudat Eksudat


Kadar protein dalam efusi (g/dl) <3 >3
Kadar protein dalam efusi <0,5 >0,5
Kadar LDH dalam efusi (IU) <200 >200
Kadar LDh dalam efusi <0,6 >0,6
Berat jenis cairan efusi <1,016 >1,016
Rivalta Negatif Positif

13
4) Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung
mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen. Efusi yang purulen
dapat mengandung kuman-kuman yang aerob ataupun anaerob. Jenis
kuman yang sering ditemukan adalah Pneumococcus, E.Coli, Clebsiella,
Pseudomonas, Enterobacter.
d. Ultrasonografi dan CT Scan Dada
Pemeriksaan dengan ultrasonografi pada pleura dapat menentukan
adanya cairan dalam rongga pleura. Keuntungan dari ultrasound dapat
membedakan tebalnya pleura parietal dan pleura nodul serta bentuk vokal
dari pleura. Pemeriksaan ini sangat membantu sebagai penentuan waktu
melakukan aspirasi cairan tersebut terutama pada efusi yang terlokalisasi.
Demikian juga dengan pemeriksaan CT Scan dada, adanya perbedaan antara
cairan dengan jaringan sekitarnya, sangat memudahkan dalam menentukan
adanya efusi pleura. Hanya saja pemeriksaan ini tidak dilakukan karena
memerlukan biaya yang mahal.

7. Penatalaksanaan
Pengelolahan efusi pleura ditujukan untuk pengobatan penyakit dasar dan
pengosongan cairan.
a. Penatalaksanaan Farmakologis
Tujuan pengobatan adalah menemukan penyebab dasar, untuk
mencegah penumpukan kembali cairan. Pengobatan spesifik ditujukan
pada penyebab dasar seperti gagal jantung kongestif, pneumonia, sirosis.
Bila penyebab dari malignasi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa
hari atau minggu.

b. Penatalaksanaan Non Farmakologis


i. Thorakosintesis
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis,
aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapeutik. Pengambilan

14
pertama cairan pleura, tidak boleh sebaiknya tidak melebihi 1000-
1500 ml pada aspirasi guna mencegah terjadinya edema paru yang
ditandai dengan batuk dan sesak.
Indikasi :
a) Menghilangkan sesak napas yang disebakan oleh akumulasi cairan
dalam rongga pleura.
b) Bila terapi spesifik pada penyakit primer tidak efektif atau gagal.
c) Bila terjadi akumulasi cairan.
Kerugian :
a) Dapat menyebabkan kehilangan protein yang berada dalam cairan
pleura.
b) Dapat menimbulkan infeksi di rongga pleura.
c) Dapat terjadi pneumothoraks.

ii. Pemasangan Water Seal Drainage (WSD)


Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang thoraks
dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara
lambat dan aman. Indikasi :
a) Hematothoraks
b) Pneumothoraks
Tujuan pemasangan WSD:
a. Untuk mengeluarkan udara, cairan atau darah dari rongga pleura.
b. Untuk mengembalikan tekanan negatif pada rongga pleura.
c. Untuk mengembangkan kembali paru yang kolaps.
d. Untuk mencegah reflux drainase kembali ke dalam rongga dada.

Jenis WSD:
a) Single Botel Water Seal System
Sistem satu botol digunakan pada kasus pneumothoraks
sederhana sehingga hanya membutuhkan gaya gravitasi saja untuk
mengeluarkan isi pleura. Water seal dan penampung drainase

15
digabungkan pada satu botol dengan menggunakan katup udara.
Katup udara digunakan untuk mencegah penambahan tekanan
dalam botol yang dapat menghambat pengeluaran cairan atau
udara dari rongga pleura. Karena hanya menggunakan satu botol
yang perlu diingat adalah penambahan isi cairan botol dapat
mengurangi daya hisap botol sehingga cairan atau udara pada
rongga intrapleural tidak dapat dikeluarkan.
b) Two bottle system
Sistem ini terdiri dari botol water seal ditambahan botol
penampungan cairan drainase. Drainase sama dengan system satu
botol, kecuali ketika cairan pleural terkumpul, underwater seal
system tidak terpengaruh oleh volume drainase. Botol pertama
adalah penampungan drainase yang berhubungan langsung dengan
klien dan botol kedua berfungsi sebagai water seal yang dapat
mencegah peningkatan tekanan dalam penampungan sehingga
drainase dada dikeluarkan secara optimal. Dengan sistem ini
jumlah drainase dapat diukur secara tepat.
c) Three bottle system
Pada sistem ini ada penambahan botol ketiga yaitu untuk
mengontrol jumlah cairan suction yang digunakan. Sistem ini
menggunakan 3 botol yang masing-masing berfungsi sebagai
penampung, “water seal” dan pengatur; yang mengatur tekanan
pengisap. Jika drainase yang ingin dikeluarkan cukup banyak
biasanya digunakan mesin pengisap (suction) dengan tekanan
sebesar 20 cm H20 untuk mempermudah pengeluaran.

Tempat insersi :
a) Untuk mengeluarkan udara pada ICS 2-3 linea midclavicularis.
b) Untuk pengeluaran cairan dilakukan pada ICS 7-8-9 linea
midaxilaris/ linea dorsal axillar.

16
Tabel 2. Perbedaan WSD sistem satu botol, dua botol, dan tiga botol

Sistem Keuntungan Kerugian


Satu - Penyusunan - Saat drainase dada mengisi
botol sederhana botol, lebih banyak kekuatan
- Mudah untuk diperlukan untuk
pasien yang dapat memungkinkan udara dan
berjalan cairan pleura keluar dari
dada masuk ke botol
- Campuran darah dari
drainase dan udara
menimbulkan campuran busa
dalam botol yang membatasi
garis pengukuraan drainase.
- Untuk terjadinya aliran,
tekanan pleural harus lebih
tinggi dari tekanan botol
Dua - Mempertahanka - Untuk terjadinya aliran,
botol n water seal tekanan pleural harus lebih
pada tingkat tinggi dari tekanan botol.
konstan. - Mempunyai batas kelebihan
- Memungkinkan kapasitas aliran udara pada
observasi adanya kebocoran pleural.
pengukuran
drainase yang
lebih baik.

17
Tiga Sistem paling aman Lebih kompleks, lebih banyak
botol untuk mengatur kesempatan untuk terjadinya
pengisapan. kesalahan dalam perakitan dan
pemeliharaan

iii. Pleurodesis
Bertujuan untuk melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis,
merupakan penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan
yang digunakan seperti tiotepa, bleomisin, 5-fluorourasil, adramisin,
dan doksorubisin.
8. Komplikasi
a. Fibrothoraks
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani dengan
drainase yang baik akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis
dan pleura viseralis akibat efusi pleura yang tidak ditangani dengan
drainase yang baik. Jika fibrothoraks meluas dapat menimbulkan
hambatan mekanis yang berat pada jaringan-jaringan yang berada
dibawahnya. Pembedahan pengupasan (dekortikasi) perlu dilakukan
untuk memisahkan membran-membran pleura tersebut.
b. Atelektaksis
Atelektasis merupakan pengembangan paru yang tidak sempurna yang
disebabkan oleh penekanan akibat efusi pleura.
c. Fibrosis.
Pada fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat
jaringan ikat paru dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat
cara perbaikan jaringan sebagai lanjutan suatu proses penyakit paru yang
menimbulkan peradangan. Pada efusi pleura, atelektaksis yang
berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan baru yang
terserang dengan jaringan fibrosis.

18
9. Pencegahan
Lakukan pengobatan yang adekuat pada penyakit-penyakit yang dapat
menimbulkan efusi pleura. Merujuk penderita ke rumah sakit yang lebih
lengkap bila diagnosa belum dapat ditegakkan.

C. KONSEP DASAR KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Pengkajian pada efusi pleura ini mengacu pada 11 pola Gordon
a) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Data subjektif : riwayat kebiasaan penggunaan obat- obatan,
merokok, minum alkohol.
Data objektif : ada obat-obatan
b) Pola nutrisi dan metabolik
Data subjektif : kebiasaan makan dan minum, terjadinya penurunan
nafsu makan.
Data objektif : turgot kulit jelek, mukosa kering dan penurunan
berat badan.
c) Pola eliminasi
Data subjektif : penurunan frekuensi BAB, penurunan peristaltik
usus, otot-otot traktus digestivus dan peningkatan BAK.
Data objektif : perubahan jumlah urine yang meningkat.
d) Pola aktifitas dan latihan
Data subjektif : sesak nafas, kelelahan, nyeri dada, penurunan
aktifitas.
Data objektif : penurunan aktifitas secara mandiri.
e) Pola tidur dan istirahat
Data subjektif : sulit tidur, penurunan kebutuhan tidur karena adanya
sesak, nyeri dada dan peningkatan suhu tubuh.
Data objektif : palpebra inferior warna gelap dan wajah mengantuk.
f) Pola persepsi dan kognitif
Data subjektif : perasaan nyeri

19
Data objektif : bingung dan gelisah

g) Pola hubungan dan peran


Data subjektif : perubahan peran interpersonal.
Data objektif : kurang berinteraksi.
h) Pola persepsi dan konsep diri
Data subjektif : perubahan persepsi diri.
Data objektif : perhatian kurang, kontak mata.
i) Pola mekanisme koping
Data subjektif : stress, bertanya-tanya tentang penyakitnya.
Data objektif : ansietas
j) Pola reproduksi dan seksualitas
Data subjektif : penurunan libido
Data objektif : keterbatasan gerak
k) Pola sistem dan kepercayaan
Data subjektif : kemampuan pasien dalam menjalankan ibadah,
tanggapan pasien atau keluarga mengenai agamanya.
Data objektif : agama yang dianut oleh pasien.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan sindrom hipoventilasi.
b. Ketidakefektifan pembersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi
jalan napas (produksi mukus berlebih).
c. Hipertermi berhubungan dengan penyakit.
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen penyebab cidera (kimia).
e. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor biologis: penurunan nafsu makan akibat sesak napas sekunder
terhadap penekanan strukur abdomen; mual muntah.
f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum;
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.

20
g. Ansietas berhubungan dengan ketidakpastian mengenai prognosis penyakit;
persepsi mendekati kematian.
h. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang familier dengan sumber-
sumber informasi.

21
22
D. ANALISA DATA

BATASAN MASALAH ETIOLOGI


KARAKTERISTIK
Subyektif: Ketidakefektifan Peningkatan produksi
 PX mengeluh bersihan jalan nafas sekret
sedikit sesak. (00031)
 Px mengeluh
nyeri hilang
timbul dan terasa
paling parah di
area wsd
Obyektif:
 Terdapat ronchi
pada semua
lapang paru saat
auskultasi.
 Respirasi rate
32x/i
 Terpasang WSD.
 USG Thorax
tampak
echocairan
dicavum pleura
dextra dan
sinistra.
 Tampak
penggunaan otot
bantu pernafasan
RIC + RSS+

23
Subyektif: Gangguan pertukaran Perubahan membran
 Mengeluh sedikit gas alveolar-kapiler
sesak. (00030)
 Px mengeluh
nyeri hilang
timbul dan terasa
paling parah di
area wsd

Obyektif:
 Respirasi rate
32x/i
 Tampak
penggunaan otot-
otot bantu
pernafasan
 BGA:
 Ph : 7,430
 pCO2: 93,0
 HCO3:19,8
 O2 saturasi 96,9
 BE: -2,8
 USG thorax
 Hemithorax Dex:
tampak
echocairan di
cavum pleura,
bersepta-septa
dengan penebalan
pleura. Sudah
terpasang marker

24
pada intercostals
space berjarak
26,7 – 47 mm,
kemungkinan sulit
untuk dilakukan
pungsi.
 Hemithorax Sin:
tampak
echocairan,
jumlah banyak
pada cavum
pleura kiri, sudah
terpasang marker
pada
intercostalspace
berjarak 23,5 mm
– 67,6 mm
 Protein total :
5,6 gr/dl
(6,7-8,7)
 Albumin :
2,2 gr/dl
(3,5-5,5)

Subyektif: Ketidakefektifan pola Penumpukan CO2


 Mengeluh sedikit nafas
sesak. (00032)
 Px mengeluh
nyeri hilang
timbul dan terasa
paling parah di

25
area wsd
Obyektif:
 Respirasi rate
32x/i
 Tampak
penggunaan otot-
otot bantu
pernafasan
 Nyeri tekan pada
sekitar
pemasangan
WSD.
 Inspeksi:
pergerakan dining
dada simetris,
tampak
penggunaan otot-
otot Bantu
pernapasan RIC +
RSS +

Subyektif: Hipetermi Respon inflamasi


 Px mengeluh (00007)
nyeri hilang
timbul dan terasa
paling parah di
area wsd
Obyektif:
 Kulit teraba
hangat
 Respirasi rate

26
32x/i
 Suhu 38’C
 Terpasang WSD
 Palpasi: Nyeri
tekan pada area
sekitar
pemasangan WSD
skala nyeri 2-5
 Hb :
8,8 gr/dl
 Leukosit :
10.700/mm3

27
E. RECANA ASUHAN KEPERAWATAN

DX. KEPERAWATAN NOC NIC


Ketidakefektifan bersihan Setelah dilaukan tindakan Manajemen jalan nafas:
jalan nafas. keperawatan diharapkan 1.Posisikan pasien untuk
pasien mampu memaksimalkan ventilasi
meningkatkan status 2.Lakukan fisioterapi
pernafasan: kepatenan dada sebagaimana
jalan nafas dengan mestinya.
indikator: 3.uang sekret dengan
memotivasi klien untuk
1.frekuensi pernafasan..5 melakukan batuk atau
2.Irama pernafasan........5 menyedot lendir.
3.Kedalaman inspirasi...5 4.Motivasi pasien untuk
4.Kemampuan untuk bernafan pelan, dalam,
mengeluarkan sekret.....5 berputar dan batuk.
5.Instruksikan bagaimana
Ket: 1= deviasi berat dari agar bisa melakukan atuk
kisaran normal, 2= efektif.
deviasi yang cukup berat Auskultasi suara nafas ,
dari kisaran normal, 3= catat area yang
deviasi sedang dari ventilasinya menurun
kisaran sedang, 4= atau tidak ada dan adanya
deviasi ringan dari suara tambahan.
kisaran normal, 5= tidak 6.Regulasi asupan cairan
ada deviasi dari kisaran untuk mengoptimalkan
normal. keseimbangan cairan.
7. Posisikan untuk
meringankan sesak nafas.

Monitor pernafasan:

28
1.Monitor kecepatan,
irama, dan kesulitan
bernafas.
2. Catat pergerakan dada,
catat ketidaksimetrisan,
penggunan otot-otot
bantu nafas, dan retraksi
pada otot supraclavicula
dan intercosta.
3.Monitor suara nafas
tamahan.
4.Monitor pola nafas.
5.Monitor saturasi
oksigen.
.Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru.
6.Monitor kelelahan otot-
otot diagfragma dengan
pergerakan parasoksikal.
7.Monitor kemampuan
batuk efekyif pasien.
8. monitor sekresi
pernafasan pasien.
9.Monitor hasil foto
thoraks

Ganguan pertukaran gas Setelah dilakukan Manajemen jalan nafas


tindakan keperawatan 1.Posisikan pasien untuk
diharapkan pasien mampu memaksimalkan ventilasi
meningkatkan respon 2.Lakukan fisioterapi
ventilasi mekanik: dada sebagaimana

29
dewasa dengan indikator: mestinya.
3.uang sekret dengan
1.Gerakan dindingn dada memotivasi klien untuk
asimetris.......................5 melakukan batuk atau
2.Pembesarandinding menyedot lendir.
dada asimetris..............5 4.Motivasi pasien untuk
3.Atelektasis.................5 bernafan pelan, dalam,
4.kegelisahan................5 berputar dan batuk.
5.Kurang istirahat.........5 5.Instruksikan bagaimana
6.Hipoksia.....................5 agar bisa melakukan atuk
7.Infeksi paru................5 efektif.
8.Sekresi pernafasan......5 Auskultasi suara nafas ,
9.Kesulitan mengutarakan catat area yang
kebutuhan .....................5 ventilasinya menurun
atau tidak ada dan adanya
Ket : 1= berat, 2=cukup suara tambahan.
berat, 3=sedang, 6.Regulasi asupan cairan
4=ringan, 5=tidak ada untuk mengoptimalkan
keseimbangan cairan.
7. Posisikan untuk
meringankan sesak nafas.

Terapi oksigen
1.Bersihkan mulut,
hidung, sekresi trakea
dengan tepat
2.Pertahankan kepatenan
jalan nafas.
3.Berikan oksigen
tambahan sesuai indikasi.
4.Monitor aliran oksigen

30
5.monitor posisi alat
pemberian oksigen
6.Monitor efektifitas
pemerian oksigen.
7.Amati tanda-tanda
hipoventilasi induksi
oksigen
8.pantau tanda-tanda
keracunan oksigen.

Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan Manajemen jalan nafas:


nafas tindakan keperawatan 1.Posisikan pasien untuk
diharapkan pasien mampu memaksimalkan ventilasi
meningkatkan status 2.Lakukan fisioterapi
pernafasan dengan dada sebagaimana
indikator: mestinya.
3.uang sekret dengan
1.frekuensi pernafasan..5 memotivasi klien untuk
2.Irama pernafasan........5 melakukan batuk atau
3.Kedalaman inspirasi...5 menyedot lendir.
4.Kepatenan jalan nafas.5 4.Motivasi pasien untuk
bernafan pelan, dalam,
Ket: 1= deviasi berat dari berputar dan batuk.
kisaran normal, 2= 5.Instruksikan bagaimana
deviasi yang cukup berat agar bisa melakukan atuk
dari kisaran normal, 3= efektif.
deviasi sedang dari Auskultasi suara nafas ,
kisaran sedang, 4= catat area yang
deviasi ringan dari ventilasinya menurun
kisaran normal, 5= tidak atau tidak ada dan adanya
ada deviasi dari kisaran suara tambahan.

31
normal. 6.Regulasi asupan cairan
untuk mengoptimalkan
keseimbangan cairan.
7. Posisikan untuk
meringankan sesak nafas.

Monitor pernafasan:
1.Monitor kecepatan,
irama, dan kesulitan
bernafas.
2. Catat pergerakan dada,
catat ketidaksimetrisan,
penggunan otot-otot
bantu nafas, dan retraksi
pada otot supraclavicula
dan intercosta.
3.Monitor suara nafas
tamahan.
4.Monitor pola nafas.
5.Monitor saturasi
oksigen.
.Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru.
6.Monitor kelelahan otot-
otot diagfragma dengan
pergerakan parasoksikal.
7.Monitor kemampuan
batuk efekyif pasien.
8. monitor sekresi
pernafasan pasien.
9.Monitor hasil foto

32
thoraks.

Hipertermi Setelah dilakukan Perawatan demam:


tindakan keperawatan 1.Pantau suhu dan tanda-
diharapkan pasien mampu tanda vital lainnya.
meningkatkan 2.Monitor warna kulit
termoregulasi dengan dan suhu.
indikator: 3.Monitor asupan dan
keluaran, sadari
1.Merasa merinding saat perubahan kehilangan
dingin.............................5 cairan yang tak
2.Berkeringat saat dirasakan.
panas...............................5 4.Beri obat atau cairan IV
3.Menggigil saat dingin..5 (misal: antipiretik, agen
4.Denyut jantung anti bakteri, dan agen anti
apikal..5 menggigil).
5.Denyut nadi radial.......5 5.Tutup pasien dengan
6.Tingkat pernafasan......5 selimut atau pakaian
7.Melaporkan ringan tergantung fase
kenyamanan suhu...........5 demam.
6.dorong konsumsi cairan
Ket: 1=sangat terganggu, 7.Fasilitasi isturahat.
2=banyak terganngu, 8.Berikan oksigen yang
3=cukup terganggu, sesuai.
4=sedikit terganggu, 9.Mandikan dengan
5=tidak terganggu. spons hangat dengan hati-
hati.
10.Tingkatkan sirkulasi
udara.
11.Pantau komplikasi-
komplikasi yang

33
berhubungan dengan
demam serta tanda dan
gejala kondisi penyebab
demam.

34
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC

Danu Santoso, Halim. 2000. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Hipokrates

Doengoes, Marilynn. 2000. Rencana Keperawatan. Jakarta : EGC

Http:// Dewa Benny.com/2008/07/Asuhan Keperawatan dengan Efusi Pleura. Html

Http://ico iucu.blogspot.com/2008/07/Asuhan Keperawatan dengan Efusi Pleura. Html

Http://www.IndonesiaIndonesia.com/f/9917.Efusi Pleura/

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika

Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2003. Patofisiologi, Volume 2. Jakarta : EGC

Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda .Prima Medika

Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI

Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC

35

Vous aimerez peut-être aussi