Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Definisi
Menurut Diane C. Baughman dan JoAnn C. Hackley (2000) dalam buku saku
dari Brunner & Suddarth mendefinisikan, Bell’s palsy (paralisis parsial) adalah
kondisi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf cranial ketujuh bagian perifer pada satu
sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis otot fasial.
Paralisis Bell (paralisis wajah) Karen aketerlibatabn perifer saraf cranial ketujuh
pada salah satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis otor wajah (Arif
Muttaqin, 2012).
Paralisis Bell (Bell’s palsy) atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus fasialis
perifer, terjadi secara akut, dan penyebabnya tidak diketahui atau tidak menyertai
penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis (Harsono, 2009).
Priguna Sidharta (1985) mendefinisiskan bahwa ‘Bells’s Palsy’ adalah
kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-
degeratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus
fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang
mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
B. Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui, meskipun kemungkinan penyebab dapat meliputi
iskemia vascular, penyakit virus (herper simplek, herpes zoster), penyakit autoimun,
atau kombinasi semua factor ini (Smeltzer dan Bare, 2002).
Menurut Harsono (2009) mengatakan paralisis fasial perifer dapat terjadi pada
penyakit-panyakit tertentu, misalnya diabetes mellitus, hipertensi berat, anestesi local
pada pencabutan gigi, infeksi telinga bagian tengah, sindrom Guillain Barre,
kehamilan trimester terakhir, meningitis, perdarahan, dan trauma. Apabila factor
penyebabnya jelas maka disebut paralisis fasialis perifer dan bukannya paralisis Bell.
C. Patofisiologi
Menurut Arif Muttaqin (2012) paralisis Bell dipertimbangkan dengan beberapa
tipe paralisis tekanan. Inflamasi dan edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh
nutriennya tersumbat pada titik yang menyebabkan nekrosis iskemik dalam kanal
yang sangat sempit. Ada kelainan wajah berupa paralisis otot wajah; peningkatan
lakrimasi (air mata); sensasi nyeri pada wajah, belakang telinga, dan terdapat
kesulitan bicara pada sisi yang terkena karena kelemahan atau otot wajah. Pada
kebanyakan klien, yang pertama kali mengetahui paresis adalah teman sekantor atau
orang terdekat/ keluarganya.
Pada observasi dapat terlihat juga bahwa gerakan kelompok yang tidak sehat
lebih lambat jika dibandingkan dengna gerakan kelopak mata yang sehat lebih lambat
jika dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat. Lipatan nasolabial pad
asisi kelumpuhan mendatar. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi
yang lumpuh tidak mengembung. Saat mencibir, gerakan bibir tersebut menyimpan ke
sisi yang tidak sehat. Jika klien diminta untuk memperlihatkan gigi geliginya atau
diminta meringis, sudut mulut sisi yang lumpuh tidak terangkat, sehingga mulut
tampaknya mencong kearah yang sehat.
Setelah paralisi pasial perifer sembuh, masih sering terdapat gejala sisa. Pada
umumnya gejala itu merupakan proses regerasi yang salah, sehingga timbul gerakan
fasial yang berasosiasi dengan gerakn otot kelompok lain. Gerakan yang mengikuti
gerakan otot kelopak lain disebut sinkinetik. Gerakan yang mengikuti gerakan otot
kelopak lain itu disebut sinkinetik. Adapun gerakan sinkinetik adalah ikut
terangkatnya sudut mulut pada waktu mata ditutup dan fisula palpebra sisi yang
pernah lumpuh menjadi sempit, pada waktu rahang bawah ditarik ke atas atau ke
bawah, seperti sewaktu berbicara atau mengunyah. Dalam hal ini, di luar serangan
spasme fasialis, sudut mulut sisi yang pernah lumpuh tampak lebih tinggi
kedudukannya dari padapada sisi yang sehat. Oleh karena itu, banyak kekeliruan
mengenai sisi yang memperlihatkan paresis fasialis, terutama jika klien yang pernah
mengalami Bell’s Palsy kemudian memperoleh ‘stroke’.
D. Manifestasi klinis
Menurut Harsono (2009), mengatakan pada awalnya, penderita merasakan ada
kelainan disaat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara.
Setelah merasakan adanya kelainan didaerah mulut maka penderita biasanya
memperhatikannya lebih cermat dengan mengunakan cermin.
Mulut tampak mencong terlebih pada saat meringis kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka
bola matanya makan bola mata tampak terputar ke atas (tanda Bell). Penderita tak
dapat bersiul atau menutup, apabila berkumur atau minum makan air akan keluar
melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinis lainnya
berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.
a) Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut sehat, makanan terkumpul di antara pipi dan
gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi
menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka
air mata akan keluar terus-menerus.
b) Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya
ketajaman pengecapan lidah (dua pertiga bagian depan) dan salviasi di sisi yang
terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan
terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan terlibatnya nervus
intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana
korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c) Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala tanda klinis seperti pada (a) dan (b), ditambah dengan adanya
hiperakusis.
d) Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik sepertipada (1), (2), dan (3) disertai dengan nyeri di
belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pascaherpes di
membrane timpani dan konka. Syndrome Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis
fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum.
Lesi herpetic terlihat di membrane timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
e) Lesi di matus akustikus internus
Gejala dan tanda klinik seperti di atas ditambah dengna tuli sebagai akibat dari
terlibatnya nervus akustikus.
f) Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons
Gejala dan tanda klinis sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda
terlihatnya nervus trigenius, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus
abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.
Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa
paralisis Bell, beberapa bulan pasca awitan, dengna manifestasi klinik: air mata
bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasialis
menginervasi glandula lakrimalis dan granua salivarius submandibularis.
Diperkirakan terjadi regerasi saraf salivarius tetapi dalam perkembangannya
terjadi “salah jurusan” menuju ke granula lakrimali.
E. Pemeriksaan diagnosik
Setelah 10 hari, elektromiografi membantu memprediksi tingkat kesembuhan
yang diharapkan dengan membedah kerusakan konduksi sementara dengan interupsi
patologis serabut saraf ( Wiliam & Wilkins, 2008).
F. Penataksaaan
Menurut Diane C. Baughman dan JoAnn C. Hackley (2000) dalam buku saku
dari Brunner & Suddarth mengatakan tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk
mempertahanakan tonus otot wajah dan untuk mencegah atau meminimalkan
penyimpangan.
a) Tenangkan pasien bahwa tidak terjadi stroke pada dirinya dan pemulihan secara
spontan akan terjadi dalam 3-5 minggu pada kebanyakan pasien.
b) Mungkin diberikan terapi steroid untuk mengurangi inflamasi dan edema, yang akan
menurunkan kompresi vaskuler dan memungkinkan pemulihan sirkulasi darah pada
saraf. Pemberian steroid awal tampaknya untuk mengurangi keparahan,
menghilangkan nyeri, dan meminimalkan penyimpangan.
c) Nyeri fasial diatasi dengan analgesic atau pemasangan kompres hangat pada bagian
wajah yang sakit.
d) Mungkin dilakukan stimulus listrik pada wajah untuk mencegah atrofi otot.
e) Eksplorasi melalui pembedahan mungkin dilakukan jika digunakan kuat adanya
tumor; pembedahan dekompresi saraf fasial; atau rehabilitasi pembedahan dari wajah
yang mengalami paralisis.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
INTERVENSI KEPERAWATAN
No Diagnosa keperawatan Tujuan/Kriteria Hasil NOC Intervensi (NIC)
1. Hambatan mobilitas fisik b/d 1) Pasien dapat menggerakkan 1) Kaji kemampuan pasien
kekuatan otot yang tidak anggota tubuh/beraktivitas dalam beraktivitas
mencukupi dengan criteria : 2) Lakukan rentang gerak
- Pasien dapat mengangkat aktif pasif pada semua
tangan kanan dan dapat ektremitas
menggerakan kaki kanan
- Berpindah dari dan ke 3) Ajarkan tentang teknik
kursi atau kursi roda ambulasi dan berpindah
- Memperlihatkan mobilitas yang aman
yang dibuktikan oleh : 4) Gunakan ahli terapi fisik
tidak mengalami ganguang dan okupasi sebagai suatu
keseimbangan, performa sumber untuk
posisi tubuh, bergerak mengembangkan
dengan mudah, berjalan perencanan dan
dan pergerakan sendi dan mempertahankan atau
otot. meningkatkan mobolitas.
Implementasi
No Rasional Implementasi/Hasil
Evaluasi