Vous êtes sur la page 1sur 5

2.4 Sifat dan Jenis Tanah Daerah Hutan Mangrove.

Karakteristik tanah mangrove dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu halic
hydraquent dan halic sulfaquent (Tomlison, 1986). Sedangkan keadaan tekstur tanah secara
umum sangat halus dengan kadar partikel-partikel koloid yang tinggi. Kesuburan tanah
mangrove tergantung dari endapan yang dibawa oleh air sungai, yang umumnya kaya akan bahan
organik dan mempunyai nilai nitrogen tinggi. Kehadiran bahan-bahan organik yang dibawa air
sungai tersebut sangat menentukan tekstur tanah pada tempat di mana bahan-bahan tersebut
diendapkan. Perubahan tekstur yang cepat dan tiba-tiba menyebabkan terganggunya vegetasi
yang ada di tempat tersebut. Topografi tanah pada komunitas mangrove pada umumnya landai
atau bergelombang dengan tanahnya yang bertekstur klei, klei berdebu dan lom. Topografi hutan
mangrove mempengaruhi intensitas dan seringnya penggenangan yang mengakibatkan
perbedaan kadar garam dalam tanah.
Tomlison (1986) juga mengatakan bahwa hutan mangrove dapat ditemukan di pesisir pantai
wilayah tropis sampai sub tropis, terutama pada pantai yang landai, dangkal, terlindung dari
gelombang besar dan muara sungai. Secara umum hutan mangrove dapat berkembang dengan
baik pada habitat dengan jenis tanah berlumpur, berlom, atau berpasir, dengan bahan bentukan
berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang koral. Habitat mangrove tergenang air laut secara
berkala, dengan frekuensi sering (harian) atau hanya saat pasang purnama saja, frekuensi
genangan ini akan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Selain dipengaruhi oleh air
laut, habitat mangrove juga menerima pasokan air tawar yang cukup, baik berasal dari sungai,
mata air maupun air tanah yang berguna untuk menurunkan kadar garam dan menambah pasokan
unsur hara dan lumpur. Kondisi air di habitat mangrove dengan air payau dengan salinitas sekitar
2-22‰ sampai dengan asin yang bisa mencapai salinitas 38 ‰.
Sitorus dan Djokosudardjo (1979) menyatakan bahwa pengaruh air pasang yang mengandung
garam-garam terlarut akan mewarnai susunan kimia tanah di daerah tersebut sebagai hasil
pertukaran dan penyerapan kation-kation oleh koloid tanah. Selanjutnya Matondang (1979)
menyatakan bahwa tanah yang dipengaruhi air asin dapat dicirikan oleh sifat halik tanah yang
biasanya dapat didekati dari daya hantar listrik (DHL), persentase kejenuhan natrium (ESP) atau
nisbah jerapan natrium (SAR).
Hardjowigeno (1986) juga menyatakan bahwa tanah daerah mengrove dicirikan oleh tiga hal,
yaitu: salinitas tanah yang tinggi, tingkat kematangan tanah yang rendah, serta mengandung
tanah klei masam (cat clay). Klei masam (cat clay) adalah klei dalam tanah yang mengandung
sejumlah sulfida atau sulfat. Hal ini terjadi karena pengaruh pasang air laut atau air payau pada
saat pembentukan tanah ini dan proses pasang surut selanjutnya.
Menurut Wiradinata (1992), salinitas tanah tinggi disebabkan karena pengaruh air payau atau
air asin pada saat tanah daerah mangrove terbentuk. Tanah daerah mangrove dengan salinitas
tinggi umumnya mempunyai DHL sebesar 20-35 mmhos/cm pada 250C atau kadar garam 0.80%
sampai lebih. Tanah tersebut umumnya memiliki nilai alkalinitas yang tinggi dengan nilai Na-dd
mencapai lebih dari 15% dan nisbah jerapan Na (SAR)-nya sekitar 15-40. Nilai SAR dan ESP
tanah menentukan tingkat sodisitas tanah, dimana pada tanah nonsodik persentase ESP berkisar
antara 0-5%, pada tanah sodik persentase ESP berkisar antara 5-15%, dan di atas 15% tanah
tergolong ke dalam tanah sangat sodik. Nilai kematangan tanah (n-value) daerah mangrove yang
dipengaruhi pasang surut berkisar antara 1.4 sampai dengan 2.0, sedangkan yang kadangkadang
dipengaruhi pasang surut n-value berkisar antara 0.7 sampai dengan 1.4. Semakin rendah n-value
tanah menunjukkan tanah tersebut semakin matang dan sebaliknya semakin tinggi n-value tanah
menunjukkan tanah tersebut semakin mentah.
Menurut Sitorus dan Djokosudardjo (1979) daerah pasang surut mempunyai aneka ragam
sifat-sifat kimia terutama dalam susunan kation pada kompleks jerapan tanah. Susunan kation
dinilai berdasarkan urutan dominasi kation-kation (K, Na, Ca, dan Mg) pada kompleks jerapan
tanah. Terdapat 3 model susunan kation berdasarkan tingkat dominasinya yaitu Model I
(Na>Mg>Ca atau K), Model II (Mg>Ca>Na atau K) dan Model III (Ca>Mg>Na atau K). Model
I terdapat di daerah dekat laut/pantai atau muara sungai-sungai utama (daerah pengaruh air laut);
semakin menjauhi laut atau sungai-sungai utama (daerah pengaruh payau) susunan kation
mengikuti Model II dan daerah yang lebih jauh lagi (daerah pengaruh air tawar) mengikuti
Model III.
2.5 Kondisi Mangrove di Jawa Barat
Letak geografis pesisir Jawa Barat terbagi menjadi dua, yaitu Pesisir Selatan dan Pesisir
Utara oleh karena itu ekosistem mangrove pun tersebar di ke dua pesisir tersebut.
2.5.1 Kondisi Mangrove Pesisir Selatan
Menurut data ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil tahun 2011, potensi hutan
mangrove menyebar merata di Kabupaten Ciamis mulai dari bagian Utara. Mangrove umumnya
terdapat di muara sungai Citanduy (Kecamatan Kalipucang) berdekatan dengan Segara Anakan,
Muara Cigaluh dan Cijulang (Kecamatan Parigi dan Kecamatan Cijulang). Jenis mangrove yang
ada didominasi oleh bakau dan tancang, terutama di sekitar pelabuhan Majingklak, sedangkan
pohon nipah banyak dijumpai di muara Sungai Cijulang dan Cigaluh.
Di kawasan daerah muara Sungai Cigaluh dan Cijulang terdiri mangrove sejati dan
mangrove asosiasi khususnya pada rawa payau yang tersebar sepanjang karang Jaladri sampai
Cijulang. Kondisi hutan mangrove dikawasan ini masih cukup baik, dan di sepanjang muara
Sungai Cijulang ditemukan tumbuhan Nypa fruticants hingga kurang lebih sekitar 10 Km, Jenis
mangrove yang dominan dikawasan Muara Sungai Cijulang yang termasuk daerah Parigi dan
Cijulang adalah Avicenia marina dan Soneneratia alba. Jenis Rhizophora apiculata, Ceriops
tagal, Bruguiera gymnorhiza, Aegiceras comiculatum, Excoecaria agallocha, Xylocarpus
granatum ditemukan di daerah yang berbatasan dengan areal pertambakan dan dalam jumlah
yang sangat sedikit.
2.5.2 Kondisi Mangrove Pesisir Utara
Sebaran dan luas mangrove di wilayah Pesisir Utara Jawa Barat menurut data ekosistem
laut, pesisir dan pulau-pulau kecil 2010 relatif lebih banyak dibandingkan dengan Pesisir Selatan.
Jumlah luas total mangrove di wilayah Pesisir Utara Jawa Barat sebesar 32.400 ha. Kabupaten
yang memiliki luasan hutan mangrove paling luas adalah Kabupaten Subang. Kerusakan hutan
mangrove terbesar terjadi di Kota Bekasi seluas 11.748 ha.
2.6 Penyebab Perubahan Luasan Mangrove
Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan luasan mangrove yang dapat
diidentifikasi melalui data citra satelit terlihat pada perubahan spasialnnya antara lain :
2.6.1. Konversi Lahan Mangrove
Hampir semua bentuk pemanfaatan lahan di wilayah pesisir berasal dari konversi hutan
mangrove. Hutan mangrove sepanjang Utara Jawa Barat telah dikonversi menjadi kawasan
pemukiman, tambak, kawasan industri, pelabuhan dan ladang garam. Kebanyakan konversi
hutan mangrove menjadi bentuk pemanfaatan lain belum banyak ditata berdasarkan kemampuan
dan peruntukan pembangunan, sehingga menimbulkan kondisi yang kurang menguntungkan
dilihat dari manfaat regional dan nasional. Oleh karena itu pemanfaatan hutan mangorve yang
tersisa atau upaya rehabilitasi harus sesuai dengan potensi dan rencana pemanfaatan yang lainnya
dengan mempertimbangkan kelestarian ekosistem, manfaat ekonomis dan penguasaan teknologi
(Rahmawaty 2006).
Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan tuntutan untuk mendayagunakan
sumberdaya mangrove terus meningkat. Secara garis besar ada dua faktor penyebab konversi
lahan mangrove yaitu (1) faktor manusia yang merupakan faktor dominan penyebab kerusakan
hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebih, (2) faktor alam, seperti banjir,
kekeringan dan hama penyakit yang merupakan faktor penyebab yang relatif kecil
(Tirtakusumah 1994).
Salah satu upaya mengintegrasikan perikanan dan konversi hutan mangrove dilakukan
oleh perhutani dan masyarakat di Pantai Utara Jawa Barat dengan sistem “empang parit”
(tambak tumpangsari). Sistem ini merupakan pengetahuan asli masyarakat Indonesia, pada hutan
mangrove dibuat lajur-lajur tumbuhan mangrove, misalnya di Brebes, Pemalang, Cirebon,
Indramayu, Purwakarta dan Subang (Hartina 1996).
2.6.2. Pelestarian Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove yang rusak dapat pulih dengan cara restorasi/rehabilitasi. Restorasi
merupakan usaha mengembalikan kondisi lingkungan kepada kondisi semula secara alami.
Campur tangan manusia diusahakan sekecil mungkin terutama dalam memaksakan keinginan
untuk menumbuhkan jenis mangrove tertentu menurut yang dipahami atau diinginkan manusia.
Usaha restorasi memberikan jalan atau peluang kepada alam untuk mengatur atau memulihkan
dirinya sendiri. Kita manusia selaku pelaku mencoba membuka jalan dan peluang serta
mempercepat proses pemulihan terutama karena dalam beberapa kondisi, kegiatan restorasi
secara fisik akan lebih mudah dibanding kita memaksakan usaha penanaman mangrove secara
langsung.
Restorasi perlu dipertimbangkan ketika suatu sistem telah berubah dalam tingkat tertentu
sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau memperbaharui diri secara alami. Dalam kondisi
seperti ini, ekosistem asli telah berhenti secara permanen dan proses normal untuk suksesi tahap
kedua atau perbaikan secara alami setelah kerusakan terhambat oleh berbagai sebab. Secara
umum, semua habitat bakau dapat memperbaiki kondisinya secara alami dalam waktu 15 – 20
tahun jika : (1) kondisi normal hidrologi tidak terganggu, dan (2) ketersediaan biji dan bibit serta
jaraknya tidak terganggu atau terhalangi. Jika kondisi hidrologi adalah normal atau mendekati
normal tetapi biji bakau tidak dapat mendekati daerah restorasi, maka dapat direstorasi dengan
cara penanaman. Oleh karena itu habitat bakau dapat diperbaiki tanpa penanaman, maka rencana
restorasi harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut yang terhalangi atau tekanan-
tekanan lain yang mungkin menghambat perkembangan mangrove (Kusmana 2005).
Di Jawa Barat, sejarah restorasi ekosistem mangrove tidak banyak dicatat, namun
berbagai individu dan lembaga, baik pemerintah maupun swasta, diyakini terlibat dalam kegiatan
restorasi meskipun jumlahnya relatif terbatas. Salah satu contoh restorasi hutan mangrove yang
dilakukan secara kontinyu dan cukup berhasil adalah penanaman Rhizophora spp.

DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto. 2009. Keanekaragaman Mangrove Berdasarkan Jenis Pohon Penyusun Mangrove


Dari Arah Laut Ke Daratan di Pesisir Kejawanan Cirebon. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Awwalludin, Asyeb. 2004. Struktur dan Status Komunitas Mangrove di Ekosistem Muara Kali
Lamong Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Airlangga. Surabaya.

Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan . Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

Budiman, A. dan D. Darnaedi. 1984. Struktur komunitas moluska di hutan mangrove Morowali,
Sulawesi Tengah. Pros. Sem. II Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 175-182.

Budiman, A., M. Djajasasmita dan F. Sabar. 1977. Penyebaran keong dan kepiting hutan bakau
Wai Sekampung, Lampung. Ber. Biol. 2:1-24.

Departemen Kehutanan. 2004. Statistik Kehutanan Indonesia, Frorestry Statistics of Indonesia


2003. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.

Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo dan I. G. M. Tantra 1979. Status


pengetahuan hutan bakau di Indonesia Pros. Sem. Ekos. Hutan Mangrove: 21-39.

Kusmana, C., S. Takeda, and H. Watanabe. 1995. Litter Production of Mangrove Forest in East
Sumatera, Indonesia. Prosidings Seminar V: Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6 Agustus 1994:
247-265. Kontribusi MAB Indonesia No. 72-LIPI, Jakarta.

Vous aimerez peut-être aussi