Vous êtes sur la page 1sur 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, maka
penyelesaian perkara kepailitan diselesaikan oleh Pengadilan Negeri yang merupakan
bagian dari Peradilan Umum sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14 tahun
1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, ada 4 (empat) lingkungan peradilan
di Indonesia yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Namun demikian sejak ditetapkan dan berlakunya Undang-undang
Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 maka kemudian penyelesaian perkara Kepailitan
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan
Umum. 1
Disisi lain kita juga mengenal adanya penyelesaian sengketa diluar lembaga peradilan
formal, yakni yang dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif maupun Arbitrase.
Ini merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang didasarkan
pada kesepakatan para pihak yang bersengketa.Sebagai konsekuensinya maka alternatif
penyelesaian sengketa bersifat sukarela dan karenanya tidak dapat dipaksakan oleh salah
satu pihak kepada pihak lainnya yang bersengketa.Walau demikian sebagai bentuk
perjanjian kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa
melalui forum diluar pengadilan harus ditaati oleh para pihak.
Menurut UU Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitarse ini, apabila ada sengketa perdata
dagang yang dalam perjanjiannya memuat klausula arbitrase harus diselesaikan oleh
lembaga arbitrase, dan pengadilan negeri wajib menolak dan menyatakan tidak
berwenang untuk mengadilinya apabila perkara tersebut diajukan. Karena menjadi
wewenang lembaga arbitrase untuk menyelesaikannya sesuai dengan kesepakatan para
pihak dalam perjanjian tersebut. Namun bagaimana halnya apabila ini menyangkut
masalah kepailitan sementara dalam perjanjiannya memuat klausula arbitrase menjadi
kewenangan siapakah penyelesaian perkara ini, lembaga arbitrase atau Pengadilan Niaga
dan dasar hukum yang mana yang diterapkan.

1
Hartini,RahayuKewenangan Pengadilan Niaga Dalam Penyelesaian Pailit Yang Berklausula Arbitrase, 2010

1
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah yang berwenang memutuskan perkara kepailitan yang berklausula
arbitrase dalam perjanjiannya?
2. Bagaimanakah penerapan Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis dalam Kasus
Kepailitan?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian arbitrase dan pailit


Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang atau
beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang
berpekara dengan tidak di selesaikan lewat pengadilan (abdurrasyid, 2002:8)
Arbitrase menurut UU No 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative
penyelesaian sengketa (selanjutnya disebut UU arbitrase) adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar lemabaga peradilan umum yang didasarkan oada perjanjian
arbitrase yang dibuat para pihak secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausa arbitrase yang tercantum
dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.2
Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan (yang lama) menyatakan: “setiap
berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri
maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur), dengan putusan
hakim dinyatakan dalam keadaan pailit”. Sedang menurut ketentuan dalam lampiran
Undang-undang Kepailitan No.4 Tahun 1998 Pasal 1 ayat (1) (selanjutnya disebut UUK),
yang menyebutkan: “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2,
baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih
krediturnya. Pernyataan pailit tersebut harus melalui proses pemeriksaan dipengadilan
setelah memenuhi persyaratan di dalam pengajuan permohonannya.3
Maka esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas
harta kekayaan debitur untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu kreditur
dinyatakan pailit mempunyai hutang.

2
ibid
3
Saprudin Ahmad, Satiri Ahmad, Teknik Penyelesaian Perkara Kepailitan Ekonomi Syariah, , Yogyakarta: pustaka
belajar 2018 ,

3
B. Dasar Hukum Kepailitan
Maksud dari dasar hukum kepailitan ini bukan tentang diaturnya kepailitan, tetapi
dasar mengapa dapat dilakukan penyitaan terhadap harta benda atau kekayaan debitur
pailit.
Konsep dasar kepailitan sebenernya bertitik poladari ketentuan pasal 1131
KUHPedata, pasal ini menyatakan bahwa semua barang, baik yang bergerak maupun
yang tidak begerak milik debitur baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada di
kemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan-perikatan perorangan debitur itu.

Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa debitur bertanggung jawab


terhadap utang-utangnya.Tanggung jawab tersebut di jamin dengan harta ada dan yang
aka ada dikemudian hari, baik harta yang bergerak.Ketentuan ini di dasarkan kepada
asas tanggung jawab terhadap utang.Asas ini di perlukan dalam upaya memberikan
rasa tanggung jawab kepada para debitur supaya melaksanakan kewajibannya dan
tidak merugikan krediturnya.Asas ini juga di maksudkan untuk melindungi ketentuan
kreditur, supaya seimbang dengan hak yang sudah diberikan kepada debitur, yaitu
untuk mendapatkan pinjaman berupa uang.Dengan adanya ketentuan dan asas
demikian, setiap debitur harus menyadari bahwa perbuatannya meminjam uang kepada
kreditur yang berakibat yang bersangkutan mempunyai utang, dijamin dengan segala
kebendaannya baik yang ada maupun yang aka nada di kemudian hari, baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak. Oleh karena itu, yang bersangkutan harus
menyadari pula apabila kewajibannya membayar utang tidak dilakukan pada
waktunya, maka segala kebendaanya akan di sita melalui proses kepailitan.
Dasar hukum berikutnya terdapat dalam ketentuan pasal 1132 KUHPerdata yang
berbunyi : “kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang
yang menghutangkan kepadanya, pendapatan penjualan benda-benda itu di bagi-bagi
menurut keseimbangannya itu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali
apabila diantara para pihak berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk di
dahulukan”.
Penafsiran pada pasal 1132 KUPerdata bahwa setiap kreditur memiliki kedudukan
yang sama terhadap kreditur lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang

4
karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk di dahulukan daripada kreditur-kreditur
lainnya. Kecuali ada kreditur terdapat alasan yang sah untuk di dahulukan daripada
kreditur lainnya maka kreditur tersebut kedudukan hukumnya lebih tinggi.
Pasal 21 undang-undang nomor 37 tahun 2004 yang berbunyi “kepailitan meliputi
seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit di ucapkan serta segala
sesuatu yang di peroleh selama kepailitan”.Ketentuan ini hampir senada dengan pasal
1131 KUPerdata.

C. Perikatan Sebagai Dasar Adanya Kepailitan


Dasar dari diajukannya perkara kepailitan adalah terjadinya utang piutang antara
pihak debitur dan kreditur, sedangkan utang tersebut lahir karena perjanjian,
sebagaimana di uraikan dalam pasal 1 angka 6 undang-undang kepailitan dan PKPU.
Selanjutnya dalam rumusan pasal 1352 kitab undang-undang hukum perdata di
tegaskan lebih lanjut bahwa perikatan yang lahir dari undang-undang saja atau karena
undang-undang sebagai akibat dari perbuatan manusia, kemudian pasal 1353 kitab
undang-undang hukum perdata dijelaskan akibat perbuatan itu dapat di katagorikan
lagi kepada perbuatan yang halal dan perbuatan yang haram.
Perikatan karena undang-undang yang berdasarkan pada perbuatan manusia,
dibagi lagi ke dalam dua bagian dalam pasal 1353 KUHPerdata, yaitu;
a. Perikatan yang bersumber pada perbuatan tak melanggar hukum
b. Perikatan yang bersumber pada perbuatan melanggar hukum
Perikata yang timbul karena perjanjian maupun dari undang-undang tentu akan
menciptakan hak dan kewajiban bagi para pihak, kewajiban tersebu terdapat dalam
pasal 1234 KUHPerdata yang menyebutkan “tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”
Dari perikatan tersebut salah satu pihak diwajibkan melaksanakan kewajibannya,
yang dapat berupa;
 Kewajiban dari peminjam untuk membayar pinjaman pokok dan biaya
serta bunga kepada orang yang meminjami
 Kewajiban dari penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada
pembeli.

5
 Kewajiban dari penjamin untuk membayar kreditu utang dari debitur yang
dijaminnya apabila debitur wanprestasi
 Kewajiban dari pembangun untuk membuat rumah dan menyerahkannya
kepada pembeli/pemesan.

D. Fungsi dan Tujuan Hukum Kepailitan


Pada dasarnya kehadiran hukum di tengah-tengah masyarakat berfungsi untuk
memelihara kepentingan dalam masyarakat berfungsi untuk memelihara kepentingan
dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia serta mewujudkan keadilan bagi
kehidupan masyarakat.Dalam kepailitan pun harus mempunyai hukum agar dapat
berjalannya prosedural.Mengenai hal ini, penjelasan umum UUKPKPU (undang-
undang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang) menyebutkan
beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban
pembyaran utang. Faktor-faktor dimaksud yaitu;4
1. Untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama
ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur.
2. Untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang
menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa
memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.

Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan salah seorang


kreditur atau debitur sendiri.Misalnya, debitur berusaha untuk memberikan
keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditur tertentu sehingga kreditur
lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan semua
harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawab terhadap
kreditur.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui tujuan dari hukum kepailitan adalah
sebagai berikut;

4
Saprudin Ahmad, Satiri Ahmad, Teknik Penyelesaian Perkara Kepailitan Ekonomi Syariah, , Yogyakarta: pustaka
belajar 2018 ,

6
a) Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaannya
debitur di antara para krediturnya.
b) Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
merugikan kepentingan para kreditur.
c) Memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dari para
krediturnya, dengan cara memperoleh pembebasan utang
Asas dalam undang-undang nomor 37 tahun 2004 tentang UUKPKPU, yaitu;

 Asas keseimbangan
Asas ini perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat
ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan
lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat
ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan
lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik
 Asas kelangsungan usaha
Dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan
perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan
 Asas keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan
mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang
berkepentingan. Asas ini mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak
penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing
terhadap debitur, dengan tidak mempedulikan kreditur lainnya
 Asas integrasi
Bahwa sistem hukum formil dan hukum materialnya merupakan satu
kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata
nasional.

7
E. Studi Kewenangan
Pengadilan negri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang
terikat dalam perjanjian arbitrase (pasal 3). Dengan adanya arbitrase tertulis tersebut
maka akan meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke
pengadilan negeri dan pengadilan negeri wajib menolak atau tidak campur tangan
dalam penyelezaian suatu sengketa yang telah menetapkan melalui arbitrasinie, kecuali
dalam hal hal tertentu yang di tetapkan undang undang. (pasal 11 UU arbirase).5
Mengenai pihak mana yang berwenang untuk memutuskan perkara kepailitan
yang ada klausula arbitrase dalam perjanjiannya (Pengadilan Niaga ataukah BANI
sebagai Lembaga Arbitrase, tentunya kita perlu melihat kembali pada teori hukum
tentang kekuatan berlakunya perjanjian atau klausula arbitrase. Ada dua aliran dalam
teori hukum (dan dalam perkembangannya dikenal tiga teori hukum) yakni bahwa :6
1). Klausula arbitrase bukan public policy (meskipun ada klausula arbitrase,
pengadilan tetap berwenang mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan,
karena klausula arbitrase bukanlah openbare orde),
2). Aliran yang menekankan asas “Pacta Sunt Servanda” pada kekuatan klausula
atau perjanjian arbitrase (klausula arbitrase mengikat para pihak dan dapat
dikesampingkan hanya dengan kesepakatan bersama para pihak yang tegas untuk itu.
Dalam hal ini penarikan secara diam-diam atau praduga telah di “waive” tidak berlaku
dan klausula arbitrase dianggap menimbulkan kompetensi absolut),
3). Kontroversial (sungguhpun ada klausula arbitrase, in casu yang dipilih adalah
BANI, dan sungguhpun ada bantahan dari salah satu pihak ketika harus ke Pengadilan
Negeri, tetapi Pengadilan Negeri tetap menyatakan dirinya berwenang dan MA
membenarkannya, alasannya karena para pihak tidak serius).
Jadi pada prinsipnya walaupun sengketa dinyatakan menjadi kewenangan
arbitrase, tidak berarti bahwa Pengadilan sama sekali tidak berwenang.

5
Hartini,Rahayu Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Penyelesaian Pailit Yang Berklausula Arbitrase, 2010
6
Fuady, Munir, Hukum Pailit 1998: Dalam Teori Dan Praktek, Aditya Bhakti, Bandung: 2002

8
Syarat penyelesaian pailit
Permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, di
periksa dan di putuskan oleh pengadilan niaga yang berada di lingkungan peradilan
umum. Dengan ketentuan ini, semua permohonan pernyataan pailit dan penundaan
kewajiban pembayaran utang yang di ajukan setelah berlaku nya uu kepailitan tentang
kepailitan sebagaimana diubah dengan peraturan perundangan undangan ini hanya
dapat di ajukan pada pengadilan niaga (pasal 280 ayat (1)jo. Penjelasan pasal 280 ayat
(1) UUK.

F. Beberapa Kasus Kepailitan Yang Perjanjiannya Mencantumkan Arbitrase

Putusan Perkara Kepailitan Yang Terdapat Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian


BisnisnyaPeriode Tahun 1998-2004.7

No No. Putusan Para Pihak dalam Kepailitan Keterangan


1 - PN N0.30/Pailit/1998 PT. Bangun Prima Graha Tidak ada
/PN.Niaga, Jkt Pst Persada. Melawan PT. Daito Kasasi tetapi
- PK. N0.07/PK/N /1999 Kogyo Ltd. langsung
diajukan PK

2 - PN. N0.14/ailit/1999/ PT. Environmental Network


PN.Niaga/Jkt.Pst Indonesia (ENINDO) dan
- Kasasi N0. 13/PK/N/ Kelompok Tani Tambak FSSP
1999 Maserrocinnae Melawan PT.
- PK N0.13PK/N/ 1999 Putra Putri Fortuna Windu dan
PPF International Corporation

3 -PN. No. 32/Pailit/ PT. Basuki Pratama Engineering


1999/P.Niaga/Jkt.Pst dan PT. Mitra
- Kasasi No. 019 K/N/ Surya Tatamandiri Melawan PT.
1999
Megarimba Kayatama
- PK N0. 020 PK/N/ 1999
4 - PN. No. 80/Pailit/2000/ Perkara Kepailitan :PT. Tiara
PN.Niaga/Jkt.Pst Marga Trakindo melawan PT.
- Kasasi No. 05 K/N/ Hotel Sahid Jaya Internasional

7
Hartini,Rahayu,UUK DAN PKPU NO 37 TH 2004 Mengesampingkan Berlakunya Asas Pacta Sunt Servanda
DalamPenyelesaian Sengketa Kepailitan ,2015

9
2001
-PK N0. 04 PK/N/2001
5 - PN. No. 81/Pailit/2000/ PT. Kadi Internasional Melawan
PN.Niaga/Jkt.Pst PT. Wisma Calindra
- Kasasi No. 04 K/N/
2001
-PK N0. 10 PK/N/2001

G. Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis dalam Kasus Kepailitan
Asas Lex Spesialis Derogat Lex Generali yaitu asas yang menyatakan bahwa
undang-undang yang lebih khusus mengesampingkan undang – undang yang lebih
umum. Apabila kita membandingan antara UUK dengan Undang – Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS, UUK merupakan undang – undang yang lebih
khusus (Special Law) karena hanya mengatur hal – hal kepailitan, sedangkan Undang -
Undang Nomor 30 Tahun1999 tentang Arbitrase dan APS tidak hanya mengatur hal -
hal kepalitan, namun mengatur secara keseluruhan penyelesaian sengketa perdata di
luar pengadilan sehingga undang - undang ini bersifat lebih umum (General Law).8
Hal ini juga didukung dengan adanya Putusan Mahkamah Agung dalam Kasus
Kepailitan antara PT. Enindo dan Kawan melawan PT. Putra Putri Fortuna dan Kawan
dengan salah satu putusan yang menegaskan bahwa tentang klausul arbitrase dalam
hubungannya dengan Pengadilan Niaga, Mahkamah Agung mempertimbangkan
berdasarkan pasal 280 ayat (1) dan (2) Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan
penjelasannya, maka status hukum dan kewenangan (legal status and power)
pengadilan niaga mempunyai kapasitas hokum (legal capacity) untuk menyelesaikan
permohonan pailit. Berdasarkan penjelasan pasal 3 Undang - Undang Nomor 14 tahun
1970 jo. Pasal 377 HIR dan Pasal 615-651 Rv. bahwa klausul arbitrase sebagai sebagai
extra judicial dan yurisprudensi telah mengakui legal effect, maka badan arbitrase
mempunyai kewenangan absolut akan tetapi kewenangan absolut (extra judicial)

8
Ni Made Asri Alvionita, I Nyoman Bagiastra, Kewenangan Penyelesaian Sengketa Kepailitan Yang

Dalam Perjanjiannya Tercantum Klausul Arbitrase

10
tersebut tidak dapat mengesampingkan kewenangan pengadilan niaga (extra ordinary)
yang secara khusus diberi kewenangan untuk memeriks amasalah kepailitan
sebagaimana ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang -Undang
Nomor 4 tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi UUK.

Ketidaksesuaian Pengimplementasian Asas

Asas atau Prinsip hukum adalah nilai-nilai yang melandasi Norma hukum. Asas
hukum merupakan pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang
sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim, yang berkenaan denganya ketentuan-ketentuan dan
keputusan-keputusan individual. Sistem hukum perjanjian dibangun berdasarkan asas-
asas hukum. Bahwa sistem hukum merupakan kumpulan asas-asas hukum yang
terpadu di atas mana dibangun tertib hukum. Jika hukum perjanjian bekerja tanpa
memperhatikan asas hukumnya, maka norma hukum itu akan kehilangan jati diri dan
semakin memberikan percepatan bagi runtuhnya norma hukum tersebut.
Prinsip hukum merupakan Meta Norma yang dapat dijadikan landasan
pembentukan suatu perundang-undangan serta dapat pula dijadikan dasar bagi hakim
didalam menemukan suatu hukum terhadap kasus-kasus yang sedang dihadapinya
untuk diputuskan ketika hakim tidak dapat merujuk kepada norma hukum positifnya.
Disamping itu prinsip hukum sebagai alat pengukur suatu norma hukum sudah di jalan
yang benar. Demikian seyogyanya dilakukan oleh hakim Pengadilan Niaga atau
Mahkamah Agung dalam memutuskan kasus kepailitan yang ada klausula arbitrase
dalam perjanjian diantara para pihak, karena ada dualisme kewenangan dalam
Undang-undang Arbitrase No. 30 tahun 1999 dengan Undang-undang Kepailitan No. 4
tahun 1998 jo. Undang-undang Kepailitan No. 37 tahun 2004 yang substansinya
mengandung asas yang saling bertentangan.
Prinsip hukum kontrak juga bisa disebutkan sebagai asas hukum kontrak. Aturan-
aturan hukum yang menguasai kontrak sebenarnya penjelmaan dari filosofi yang
terdapat pada asas-asas hukum kontrak pada umumnya. Asas-asas hukum ini sebagai
dasar ideologis aturan-aturan hukum. Terdapat 3 hal utama dalam berkontrak yaitu;

11
asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, dan asas kekuatan mengikatnya
perjanjian. Menurut pandangan Eropa Continental, asas kebebasan berkontrak
merupakan konsekuensi dari dua asas lainnya dalam perjanjian. Konsesualisme
berhubungan dengan terjadinya perjanjian. Pacta sunt servanda berkaitan dengan
akibat adanya perjanjian yaitu terikatnya para pihak yang mengadakan perjanjian,
sedangkan asas kebebasan berkontrak menyangkut isi perjanjian tersebut.
Prinsip kekuatan mengikatnya perjanjian diartikan bahwa para pihak harus
memenuhi apa yang mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka buat. Prinsip ini
tertuang dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Keterikatan suatu perjanjian terkandung di
dalam janji yang dilakukan oleh para pihak sendiri. Kata-kata itu sendiri tidak
mengikat, namun yang mengikat ialah kata-kata yang ditujukan kepada pihak lainnya.
Apabila alur perkembangan azas itu diikuti sebenarnya mengikatnya suatu
perjanjian itu karena adanya consensus atau persesuaian kehendak. Akan tetapi
mengingat bahwa consensus itu telah diwujudkan di dalam suatu pactum sehingga
pactum inilah yang kemudian dipandang sebagai mempunyai kekuatan mengikat. Oleh
karena itulah dapat difahami kalau pada saat ini yang lebih menonjol adalah azas pacta
sunt servanda.
asas ini berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan di antara para
individu, dengan menekankan bahwa perjanjian merupakan undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya, dan menyiratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban
yang ada pada perjanjian merupakan tindakan melanggar janji atau wansprestasi.
ketentuan Pasal 303 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan ini
mengesampingkan berlakunya asas “Pacta Sunt Servanda” dalam penyelesaian
sengketa pailit dengan klausul arbitrase. bahwa “asas” itu adalah termasuk metanorma.
Artinya sesuatu yang seharusnya diperpegangi sebagai pedoman karena dengan
adanya asas hukum ini seharusnya melahirkan norma hukum, kaidah aturan yang tidak
boleh berbeda dengan dasarnya. Setiap produk hukum yang lahir baik berupa undang-
undang atau peraturan lainnya tetap harus memperhatikan hal ini. apabila dalam
produk undang-undang atau peraturan lainnya dan ternyata mengatur hal yang
substansi nya sama, maka keberlakuannya akan melihat kembali kepada adanya asas

12
hukum, seperti misalnya: asas lex specialist derogate lex generalist, lex superior
derogate lex inferior, lex posterior derogate lex priori.
Mengesampingkan asas pacta sunt servanda maka asas hukum menjadi boleh
dilanggar, tidak harus diperpedomani sebagaimana teori yang selama ini diajarkan
oleh para pakar hukum bahwa asas itu sebagai Meta Norma yang seharusnya setiap
produk hukum itu mencerminkan keberlakuan asas. Artinya tidak setiap produk
hukum itu harus merupakan cerminan dari asas. Dan logika hukumnya sekarang
menjadi terbalik bahwa asaslah yang harus mengikuti norma, Undang-undang karena
perkembangan zaman yang selalu berubah. bahwa Asas merupakan Meta Norma, yang
tetap harus dijadikan sebagai pedoman untuk lahirnya setiap produk hukum. Sehingga
yang seharusnya menyesuaikan diri adalah produk hukumnya yaitu Undang-
undangnya bukan asasnya yang harus mengalami degradasi nilai.

13
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pemakalah menarik kesimpulan:
1. Bahwasannya yang berwenang memutuskan perkara kepailitan yang berklausula
arbitrase dalam perjanjian di periksa dan di putuskan oleh pengadilan niaga yang
berada di lingkungan peradilan umum. Dengan ketentuan ini, semua permohonan
pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang yang di ajukan setelah
berlaku nya uu kepailitan tentang kepailitan sebagaimana diubah dengan peraturan
perundangan undangan ini hanya dapat di ajukan pada pengadilan niaga (pasal 280
ayat (1) jo. Penjelasan pasal 280 ayat (1) UUK.
2. Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis dalam Kasus Kepailitan yang
menyatakan bahwa undang-undang yang lebih khusus mengesampingkan undang –
undang yang lebih umum. Apabila kita membandingan antara UUK dengan Undang –
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS, UUK merupakan undang
– undang yang lebih khusus (Special Law) karena hanya mengatur hal – hal
kepailitan, sedangkan Undang -Undang Nomor 30 Tahun1999 tentang Arbitrase dan
APS tidak hanya mengatur hal -hal kepalitan, namun mengatur secara keseluruhan
penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan sehingga undang - undang ini
bersifat lebih umum (General Law).9

9
Ni Made Asri Alvionita, I Nyoman Bagiastra, Kewenangan Penyelesaian Sengketa Kepailitan Yang

Dalam Perjanjiannya Tercantum Klausul Arbitrase

14
B. SARAN
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang
lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.

15
Daftar Pustaka

-Hartini, Rahayu. 2010. Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Penyelesaian Pailit Yang
Berklausa Arbitrase
-Saprudin Ahmad, dan Santri Ahmad. Teknik Penyelesaian Perkara Kepailitan Ekonomi
Syariah. Yogyakarta.
-Fuadi, Munir. 2002. Hukum Pailit 1998; Dalam Teori dan Praktek. Bandung
-Hartini, Rahayu. 2015. UUK DAN PKPU NO 37 TH 2004 mengesampingkan Berlakunya Asas
Pacta Sunt Servada Dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan.
-Ni Made Asri Alvionita, I Nyoman Bagiastra. Kewenangan Penyelesaian Sengketa Kepailitan Yang
Dalam Perjanjiannya Tercantum Klausul Arbitra

16

Vous aimerez peut-être aussi