Vous êtes sur la page 1sur 27

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cokelat adalah sebutan untuk hasil olahan makanan atau minuman dari biji
kakao (Theobroma cacao). Cokelat pertama kali dikonsumsi oleh penduduk
Mesoamerika kuno sebagai minuman.Theobroma cacao adalah nama biologi yang
diberikan pada pohon kakao olehLinnaeus pada tahun 1753. Tempat alamiah dari
genus Theobroma adalah di bagianhutan tropis dengan banyak curah hujan,
tingkat kelembaban tinggi, dan teduh.
Secara umum, proses terbentuknya coklat dari buah kakao mengalami
beberapa tahapan, yaitu pembersihan dan penyortiran biji kakao, penyangraian,
pemecahan dan pemisahan kulit, pengempaan untuk mendapatkan lemak kakao
dan bungkil kakao, dan terakhir pengolahan pasta dan bubuk coklat untuk
mendapatkan produk akhir yang diinginkan. Produk – produk tersebut dapat
berupa coklat batangan, coklat bubuk, dan masih banyak yang lainnya.
Pengolahan biji kakao hilir pada Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia memiliki cara tersendiri untuk mengolah biji kakao. Untuk memperoleh
produk antara ( lemak kakao, bungkil kakao, dan pasta), proses yang dilakukan
yaitu biji kakao fermentasi yang memenuhi standart SNI dilakukan penyangraian,
pemisahan kulit biji, pemastaan, dan pengempaan yang akhirnya didapatkan
lemak dan bungkil kakao yang kemudian diolah lebih lanjut.
Oleh karena itu, praktikum ini dilakukan untuk mengetahui dan
menentukan mutu biji kakao fermentasi yang berdasarkan SNI 2323-2008.

1.2 Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah menentukan mutu biji kakao berdasarkan SNI
2323-2008.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kakao (Theobroma cacao L.)


Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan
yang cukup populer dan sangat penting bagi perekonomian di Indonesia, yakni
sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara (Marwati
dkk, 2012). Bagian dari tanaman kakao (Theobroma cacao L.) yang dimanfaatkan
adalah biji kakao. Menurut SNI (2008) biji kakao merupakan biji tanaman kakao
(Theobroma cacao L.) yang berasal dari biji kakao mulia atau lindak yang telah
mengalami proses fermentasi atau pemeraman, dicuci atau tanpa dicuci,
dikeringkan dan dibersihkan. Produksi biji kakao tahunan dunia adalah sekitar 3,6
juta metrik ton dan produsen utama adalah Pantai Gading, Ghana, Indonesia,
Brazil, Nigeria, Kamerun, Ekuador dan Malaysia (Afoakwa, 2010).
Berikut ini merupakan klasifikasi dari tanaman kakao:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Malvales
Famili : Sterculiaceae
Genus : Theobroma
Spesies : Theobroma cacao, L. (Situmorang, 2010).
Menurut Billqis (2008), berdasarkan nilai ekonomisnya yang dapat dibedakan
dalam bentuk buah, warna buah dan warna biji kakao dikelompokkan menjadi tiga
varietas yaitu :

a. Criollo, merupakan varietas unggul. Adapun ciri-ciri dari varietas ini


antara lain buahnya berbentuk panjang, sempit, ujungnya lancip, dan memiliki
permukaan yang bergerigi, kulit buahny tipis dan berwarna merah, biji agak bulat
dan memiliki warna putih keunguan, dan tidak tahan terhadap hama dan penyakit
serta kurang produktif. Menurut Sitanggang (2014), biji kakao criollo berbentuk
bulat telur dan berukuran besar dengan kotiledon berwarna putih pada waktu
basah.
b. Forastero, merupakan varietas yang produktivitasnya lebih tinggi dan
lebih tahan terhadap hama. Adapun ciri-ciri dari varietas ini antara lain buahnya
pendek, lebar, dan permukaannya halus, kulit buahnyankeras sehingga susah
untuk diiris, tebal, berwarna hijau saat muda dan menjadinkuning saat matang,
dan bijinya berbentuk pipih dan memiliki warna ungu.
c. Trinitario, merupakan hibrida dari kakao varietas criollo dan forastero
memiliki sifat diantara keduanya. Jenis trinitario berbentuk heterogen, buahnya
berwarna hijau merah dan bentuknya bermacam-macam. Biji buahnya juga
bermacam-macam dengan kotiledon berwarna ungu muda sampai ungu tua pada
waktu basah (Sitanggang,2014).

2.2 Karakteristik Biji Kakao


2.2.1 Kadar Air
Kadar air merupakan sifat fisik yang sangat berpengaruh terhadap mutu
dari biji kakao dan sangat diperhatikan oleh pembeli. Kadar air pada biji kakao
akan berpengaruh terhadap rendemen hasil (yield). Selain itu, kadar air pada biji
kakao juga akan berpengaruh terhadap daya tahan biji kakao saat penggudangan
atau penyimpanan. Biji kakao yang memiliki kadar air yang tinggi sangat rentan
terhadap jamur dan serangga. Adanya jamur dan serangga akan mempengaruhi
aroma dan citarasa dari biji kakao tersebut. Standar kadar air biji kakao mutu
ekspor adalah 6-7%. Menurut Siregar (2004), jika kadar air biji kakao lebih tinggi
dari nilai tersebut, biji kakao tidak aman disimpan dalam waktu lama, sedang jika
kadar air terlalu rendah biji kakao cenderung menjadi rapuh
2.2.2 Ukuran Biji
Ukuran biji kakao merupakan sifat fisik penentu rendemen hasi lemak,
semakin besar biji kakao maka semakin besar rendemen hasil lemaknya. Ukuran
biji kakao tersebut dinyatakan dalam jumlah biji (beans account) per 100 gram
contoh uji yang diambil secara acak pada biji kakao yang memiliki kadar air 6 - 7
%. Ukuran biji rata-rata yang masuk kualitas ekspor adalah antara 1,0 - 1,2 gram
atau 85 - 100 biji per 100 gram biji kakao. Menurut Siregar (2004), ukuran biji
kakao kering sangat dipengaruhi oleh jenis bahan tanaman, kondisi kebun (curah
hujan) selama perkembangan buah, perlakuan agronomis dan cara pengolahan
2.2.3 Kadar Kulit Biji
Biji kakao terdiri atas keping biji (nib) yang dilindungi oleh kulit (shell).
Kadar kulit dihitung dengan membandingkan berat kulit dan berat total biji kakao
(kulit dan keping) pada kadar air 6 - 7 persen. Standar kadar kulit biji kakao yang
umum antara 11 hingga 13 persen. Biji kakao dengan kadar kulit yang tinggi
biasanya akan lebih kuat dan tidak mudah rapuh saat ditumpuk di gudang dan
disimpan dalamwaktu yang lama. Menurut Siregar (2004), kadar kulit biji kakao
dipengaruhi oleh jenis bahan tanaman dan cara pengolahan (fermentasi dan
pencucian). Semakin singkat waktu fermentasi, kadar kulit biji kakao semakin
tinggi karena sebagian besar sisa lendir (pulp) masih menempel pada biji.
Selain itu, kandungan kulit biji tersebut juga dapat dikurangi dengan
proses pencucian.

2.3 Komponen Penentu Mutu Kakao


Berdasarkan SNI 2323-2008, faktor penentu mutu dari biji kakao sebagai
berikut :
a. Serangga hidup: Serangga pada stadia apapun yang ditemukan hidup pada
partai barang.
b. Biji berbau abnormal: Biji yang berbau asap atau bau asing lainnya yang
ditentukan dengan metode uji.
c. Benda asing: Benda lain yang berasal bukan dari tanaman kakao
d. Biji berjamur: Biji kakao yang ditumbuhi jamur dibagian dalamnya dan apabila
dibelah dapat terlihat dengan mata.
e. Biji Slaty : Pada kakao lindak separuh atau lebih irisan permukaan keping biji
bewarna keabu-abuan atau biru keabu-abuan bertekstur padat dan pejal. Pada
kakao mulia warnanya putih kotor.
f. Biji berserangga : Biji kakao yang bagian dalamnya terdapat serangga pada
stadia apaun atau terdapat bagian-bagian tubuh dari tubuh serangga atau yang
memperlihatkan kerusakan karena serangga yang dapat dilihat oleh mata.
g. Kotoran : Benda- benda berupa plasenta, biji dempet , pecahan biji, pecahan
kulit , biji pipih, ranting dan benda lainnya yang berasal dari tanaman kakao.
h. Biji dempet (cluster): Biji kakao yang melekat tiga atau lebih yang tidak dapat
dipisahkan dengan satu tangan.
i.Pecahan biji : Biji kakao yang berukuran ½ bagian biji kakao yang utuh.
j. Pecahan kulit: Bagian kulit biji kakao tanpa keping biji
k. Biji pipih : Biji kakao yang tidak mengandung keping biji atau keping bijinya
tidak bisa dibelah.
l. Biji berkecambah: Biji kakao yang kulitnya telah pecah atau berlubang karena
pertumbuhan lembaga.

2.4 Syarat Mutu Biji Kakao (Tabel SNI)


Menurut SNI 2323-2008 ukuran berat biji kakao yang dinyatakan dengan
jumlah biji per 100 gram contoh, digolongkan dalam 5 golongan ukuran dengan
penandaan:
AA : maksimum 85 biji per seratus gram;
A : 86 – 100 biji per seratus gram;
B : 101 – 110 biji per seratus gram;
C : 111 – 120 biji per seratus gram;
S : lebih besar dari 120 biji per seratus gram

Syarat mutu biji kakao menurut SNI 2323-2008 adalah sebagai berikut:
A. Syarat Umum
Tabel 1 – Persyaratan Mutu
No. Jenis Uji Satuan Persyaratan
1. Serangga hidup - Tidak ada
2. Kadar air % fraksi masa Maks. 7,5
3. Biji berbau asap dan atau - Tidak ada
hammy dan atau berbau
asing
4. Kadar benda asing - Tidak ada

B. Syarat Khusus
Tabel 2 – Persyaratan Mutu
Satuan dalam persen
Jenis Mutu Persyaratan
Kakao Kakao Kadar Kadar biji Kadar biji Kadar Kadar biji
Mulia Lindak biji slaty berserangga kotoran berkecam
(Fine (Bulk berjamur (biji/biji) (biji/biji) waste bah
Cocoa) Cacao) (biji/biji) (biji/biji) (biji/biji)
I–F I–B Maks. 2 Maks. 3 Maks. 1 Maks. 1,5 Maks. 2
II – F II – B Maks. 4 Maks. 8 Maks. 2 Maks. 2,0 Maks. 3
III – F III - B Maks. 4 Maks. 20 Maks. 2 Maks. 3,0 Maks. 5
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu
a. neraca
b. ayakan
c. botol timbang
d. pisau
e. ayakan
f. telenan
g. stopwatch
h. oven
i. desikator
3.1.2 Bahan
a. Kakao yang telah difermentasi

3.2 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan


3.2.1 Penentuan Adanya Serangga Hidup atau Benda Asing

Kakao dalam kemasan

Pembukaan kemasan

Pengamatan serangga hidup atau


benda asing

Gambar 3.1 Diagram alir penentuan serangga hidup dan benda asing
Pada praktikum kakao, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
mengamati adanya serangga hidup atau benda asing pada biji kakao. Pada
pengamatan ini, langkah pertama yaitu biji kakao dalam kemasan dibuka.
Kemudian amati dengan seksama secara visual adanya serangga hidup dan benda
asing pada sekeliling partai biji kakao dan pada saat kemasan contoh uji dibuka.
Apabila tidak ditemukan adanya serangga hidup maka dinyatakan tidak ada,
apabila ditemukan serangga hidup maka dinyatakan ada. Apabila tidak ditemukan
adanya benda asing maka dinyatakan tidak ada, apabila ditemukan benda asing
maka dinyatakan ada. Pengamatan ini berfungsi untuk mendapatkan biji kakao
yang sesuai dengan standar SNI.
3.2.2 Penentuan Kadar Air

10 g biji Kakao

Pengecilan ukuran

Pemasukan dalam botol timbang

Pengovenan selama 16 jam (T:103±2°C)

Desikator selama 15 menit

Penimbangan

Gambar 3.2 Diagram alir penentuan kadar air


Pada acara penentuan kadar air, biji kakao yang sudah dihancurkan
(dicacah) ditimbang sebanyak 10 gram. Penghancuran ini bertujuan untuk
mengecilkan ukuran dari biji kakao sehingga dapat mempermudah dalam
menganalisis kadar air. Proses penghancuran biji kakao dilakukan hingga ukuran
partikel terbesar tidak melebihi 5 mm untuk memperluas permukaan sehingga
penguapan berjalan lebih efisien dan tidak boleh terlalu halus agar tidak
membentuk pasta. Setelah itu, 10 gram biji kakao yang telah hancur dimasukkan
ke dalam botol timbang yang sudah dioven terlebih dahulu. Kemudian, botol
timbang yang telah diisi dengan biji kakao dimasukkan ke dalam oven pada suhu
103 ± 2˚C selama 16 jam dengan tidak sekali-kali membuka oven karena akan
mempengaruhi berat botol timbang dan isinya. Pengovenan ini bertujuan untuk
mengeringkan biji kakao sehingga dapat diketahui berat kering biji kakao dan
berat air yang hilang selama pengeringan. Berat air yang hilang ini diindikasikan
dengan kadar air yang terdapat dalam biji. Setelah pengovenan 16 jam, botol
timbang dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke dalam eksikator selama 15
menit yang berfungsi untuk menyeimbangkan RH (Relative Humidity).
Kemudiian, dilakukan penimbangan yang bertujuan untuk mengetahui berat bahan
setelah pengovenan atau kadar air yang menguap dari bahan. Lihat perbedaan
antara sebelum dan sesudah di oven. Menurut SNI 2323:2008, kadar air
dinyatakan dalam persentase bobot/bobot sebagai berikut.
(M1-M2)/ (M1-M0) X 100%
Keterangan:
Mo = bobot botol timbang, dinyatakan dalam gram
M1 = bobot botol timbang dan contoh uji sebelum pengeringan, dinyatakan dalam
gram
M2 = bobot botol timbang dan contoh uji sebsudah pengeringan dinyatakan dalam
gram
3.2.3 Penentuan Biji Berbau Asap atau Asing

15 keping biji Kakao

Pembelahan

Pengamatan biji berbau asap atau bau asing


Gambar 3.3 Diagram alir penentuan biji berbau asap atau asing
Pada acara penentuan adanya biji berbau asap abnormal atau berbau asing,
langkah yang dilakukan yaitu mempersiapkan biji kakao kering sebanyak 150
keping dan dilakukan pembelahan dengan menggunakan pisau. Kemudian,
dilakukan pengamatan secara organoleptik adanya bau asap abnormal dan bau
asing lainnya dengan mencium bagian dalam dari setiap contoh uji. Apabila tidak
ditemukan adanya bau asap atau bau asing maka dinyatakan tidak ada, apabila
ditemukan bau asap atau bau asing maka dinyatakan ada. Pengamatan ini
berfungsi untuk mendapatkan biji kakao yang sesuai dengan standar SNI.
3.2.4 Penentuan Kadar Kotoran

1000 g biji Kakao

Pengamatan kotoran

Penimbangan

Perhitungan kadar kotoran

Gambar 3.4 Diagram alir penentuan kadar kotoran


Pada acara penentuan kadar kotoran dalam biji kakao, pertama menyiapkan
biji kakao sebanyak 1000 gram. Kemudian dilakukan pengamatan dengan
memisahkan antara kotoran dan biji kakao yang baik. Katoran yang dimaksud
berupa plasenta, biji dempet (cluster), pecahan biji, pecahan kulit, biji pipih dan
ranting. Selanjutnya, dilakukan penimbangan pada masing-masing kotoran untuk
mengetahui banyaknya kotoran yang menempel pada biji kakao. Langkah terakhir
yaitu dilakukan perhitungan sesuai dengan kadar kotoran. Menurut SNI
2323:2008 penentuan kadar kotoran menurut persamaan berikut.

((M2-M1)/M0) x 100%
Keterangan:
M0= bobot contoh uji dinyatakan dalam gram
M1= bobot kaca arloji kosong dinyatakan dalam gram
M2= bobot kaca arloji dan kotoran dinyatakan dalam gram
3.2.5 Penentuan Jumlah Biji Kakao per 100 gram

100 g biji Kakao

Perhitungan jumlah biji

Penggolongan AA, A, B, C, dan S


Gambar 3.5 Diagram alir penentuan jumlah biji kakao per 100 gram

Pada acara penentuan jumlah biji kakao/100 gram, pertama menyiapkan 100
gram biji kakao. Kemudian dilakukan penghitungan jumlah biji kakao dalam 100
gram biji tersebut sehingga dapat diketahui jumlahnya dan dapat diketahui
penggolongan sesuai dengan mutunya menurut SNI kakao. Jika AA = maks 85
biji per seratus gram, A=86-100 biji per seratus gram, B=101-110 biji per seratus
gram, C= 111-120 biji per seratus gram, dan S= lebih dari 120 biji per seratus
gram (SNI, 2008).
3.2.6 Penentuan Kadar Biji Cacat

300 keping biji Kakao

Pemotongan memanjang

Pengamatan

Perhitungan

Penentuan kadar masing-masing biji cacat


Gambar 3.6 Diagram alir penentuan kadar biji cacat
Pada acara penentuan kadar biji cacat pada kakao, pertama siapkan 300 biji
kakao yang diambil secara acak. Kemudian dilakukan pemotongan memanjang
dengan pisau/cutter melalui bagian sisi tipis pada talenan. Pemotongan
memanjang ini bertujuan untuk memudahkan pengamatan biji kakao yang
berkapang, biji yang tidak terfermentasi/biji slaty, biji berserangga, dan biji
berkecambah. Setelah itu, dilakukan pengamatan satu per satu adanya biji yang
cacat. Kemudian dari masing-masing parameter yang di amati, pisahkan biji-biji
cacat menurut jenis cacatnya dan dilakukan perhitungan jumlah biji cacat tersebut.
Setelah itu, menentukan kadar masing-masing biji cacat yang dinyatakan dalam
persentase biji per biji.
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN

4.1 Hasil Pengamatan


4.1.1 Penentuan Adanya Serangga Hidup Atau Benda Asing
Pengamatan Hasil
Serangga hidup Tidak ada
Benda asing Ada
4.1.2 Penentuan Kadar Air

Botol Timbang Kadar Air


1 6,48 %
2 5,88 %
3 6,59 %
4 7,18 %
4.1.3 Penentuan Adanya Biji Berbau Asap Atau Berbau Asing Lainnya

Pengamatan Hasil
Biji berbau asap Tidak ada
Bau asing Tidak ada
4.1.4 Penentuan Kadar Kotoran

Pengamatan Gram/1000gram
Plasenta 20,12
Biji dempet 42,12
Pecahan biji 1,44
Pecahan kulit 2,78
Biji pipih 35,67
Ranting 0
4.1.5 Penentuan Jumlah Biji Kakao Per Seratus Gram

Pengamatan Hasil
Jumlah biji per seratus gram 86 biji/ 100 g (A)
4.1.6 Penentuan Kadar Biji Cacat pada Kakao

Pengamatan Biji/900 biji


Biji berjamur 6
Biji slaty 2
Biji berserangga 0
Biji berkecambah 0

4.2 Hasil Perhitungan


4.2.1 Kadar air
Ulanga Berat Botol+bahan Botol+bahan Air yang Kadar Rata –
n sampel(g) sebelum sesudah menguap Air rata
pengeringan (g) pengeringan (g) (ml) (%) (%)
1 10,03 56,56 55,91 0,65 6,48
2 10,04 54,63 54,04 0,59 5,88
6,53
3 9,96 56,79 56,13 0,66 6,59
4 10 58,26 57,54 0,72 7,18

4.2.2 Kadar Kotoran


No Jenis Kotoran Berat Kadar Total
sampel (g) sampel Kotoran Kadar
(g) % Kotoran
(%)
1 Plasenta 1000 20,12 2,012
2 Biji dempet 1000 42,12 4,21
(cluster)
10,211
3 Pecahan biji 1000 1,44 0,144
4 Pecahan kulit 1000 2,78 0,278
5 Biji pipih 1000 35,67 3,567
6 Ranting 1000 0 0

4.2.3 Penentuan Kadar Biji Cacat pada Kakao


Pengamatan Biji/300 biji Persentase Total
(%) Kadar Biji
Cacat(%)
Biji berjamur 6 0,67
Biji slaty 2 0,22
0,89
Biji berserangga 0 0
Biji berkecambah 0 0
BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Penentuan Adanya Serangga Hidup Atau Benda Asing


Pada praktikum penentuan adanya serangga hidup atau benda asing
menggunakan bahan yaitu biji kakao kering hasil fermentasi yang telah dikemas.
Serangga hidup yang dimaksud dalam pengamatan ini yaitu serangga pada stadia
apapun yang ditemukan hidup pada partai barang. Sedangkan benda asing yang
dimaksud yaitu benda lain yang berasal bukan dari tanaman kakao contohnya
kerikil atau benda lainnya. Praktikum ini perlu dilakukan karena adanya serangga
dan benda asing di dalam kemasan dapat mengurangi kualitas dari olahan biji
kakao tersebut. Setelah dilakukan pengamatan didapatkan data yaitu tidak
ditemukan serangga hidup yang ada di dalam kemasan biji kakao kering hasil
fermentasi, sedangkan untuk penentuan benda asing ditemukan benda asing yang
terdapat dalam kemasan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa biji kakao tersebut
tidak dapat dijual di pasaran dikarenakan tidak memenuhi persyaratan umum biji
kakao. Hal ini sesuai dengan SNI 2323-2008 tentang biji kakao yang menyatakan
persyaratan umum mutu biji kakao yaitu tidak terdapat benda asing di dalamnya.
Menurut Basri (2010) adanya serangga dapat disebabkan karena kadar air biji
kakao lebih dari 8%. Kadar air yang tinggi meningkatkan risiko terhadap
kerusakan biji. Biji berserangga dapat juga disebabkan oleh fermentasi yang
kurang baik, penjemuran yang kurang optimal, dan tempat penyimpanan yang
kurang bersih. Sehingga menjadi tempat yang cocok untuk serangga bertelur
disana.

5.2 Penentuan Kadar Air


Pada praktikum penentuan kadar air menggunakan 10 gram biji kakao
kering yang telah difermentasi sebagai bahannya. Penentuan kadar air ini
dilakukan yaitu untuk mengetahui tingkat kadar air yang terkandung di dalam biji
kakao tersebut, kadar air perlu diketahui karena dalam SNI 2323-2008 tentang biji
kakao yakni, diketahui kadar air untuk persyaratan umum mutu biji maskimal
sebesar 7,5%. Menurut Basri (2010) Kadar air biji kakao yang lebih dari 8%
menyebabkan biji mudah diserang jamur dan serangga, sehingga meningkatkan
risiko terhadap kerusakan biji sedangkan kadar air biji yang kurang dari 5% akan
menyebabkan biji mudah pecah. Biji kakao dengan kadar air rendah dapat
menghambat perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat
menyebabkan pembusukan (Wood, 1985).
Setelah dilakukan pengamatan didapatkan hasil yaitu untuk ulangan pertama
memiliki kadar air sebesar 6,48%, pada data ulangan kedua memiliki kadar air
sebesar 5,88%, pada ulangan ketiga diketahui kadar airnya sebesar 6,59%, dan
untuk ulangan keempat diketahui memiliki kadar air sebesar 7,18%. Kemudian
hasil pengamatan tersebut dirata-rata sehingga didapatkan hasil kadar air
seluruhnya 6,53%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa biji kakao kering
tersebut dapat dimasukkan ke dalam mutu biji kakao dikarenakan kadar airnya
kurang dari 7,5. Hal ini telah sesuai dengan SNI 2323-2008 tentang biji kakao
yang menyatakan kadar air untuk persyaratan umum mutu biji kakao yaitu
maksimal sebesar 7,5%.

5.3 Penentuan Adanya Biji Berbau Asap Atau Berbau Asing Lainnya
Pada praktikum penentuan adanya biji kakao yang berbau asap atau berbau
asing menggunakan 15 biji kakao yang diambil secara acak. Biji kakao yang
berbau asap atau asing ini dapat mengurangi kualitas dari olahan biji kakao,
karena dapat menimbulkan aroma selain aroma khas kakao. Sehinga biji kakao
tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam persyaratan mutu biji kakao. Menurut
SNI 2323-2008 tentang biji kakao pada persyaratan umum mutu biji kakao
disebutkan bahwa tidak boleh ada biji yang berbau asap atau bau asing. Menurut
Haryadi dan Supriyanto (1991) Aroma khas biji kakao terbentuk pada saat
fermentasi yaitu pulp teraerasi, pH menurun sampai 4,5 karena kenaikan produksi
asam. Produksi asam didominasi oleh bakteri asam asetat dan bakteri asam laktat.
Jika substrat pulp digunakan oleh mikroorganisme sampai habis, pH akan naik
sehingga menyebabkan warna kulit biji kakao menjadi gelap dan terjadi
perubahan bau.
Setelah dilakukan pengamatan didapatkan data bahwa tidak ada biji yang
berbau asap atau berbau asing. Sehingga dapat disimpulkan bahwa biji kakao
tersebut dapat dimasukkan ke dalam penggolongan mutu biji kakao. Hal ini telah
sesuai menurut SNI 2323-2008 tentang biji kakao dimana disebutkan bahwa
dalam persyaratan umum mutu biji kakao tidak boleh ada biji yang berbau asap
atau asing.

5.4 Penentuan Kadar Kotoran


Pada praktikum penentuan kadar kotoran menggunakan 1000 gram biji kakao
kering yang telah mengalami proses fermentasi. Penentuan kadar kotoran ini
dilakukan karena kotoran dalam biji kakao dapat mengurangi nilai mutu dari biji
kakao tersebut. Penuruan mutu tersebut dikarenakan biji yang memiliki kotoran
maka akan mempengaruhi cita rasa dari olahan biji kakao. Kotoran yang akan
diamati yaitu plasenta, biji dempet, pecahan biji, pecahan kulit, biji pipih, dan
ranting. Setelah dilakukan pemisahan dan penimbangan didapatkan data sebagai
berikut, untuk biji yang memiliki plasenta mempunyai berat 20,12 gram, pada biji
kakao yang bijinya dempet memiliki berat 42,12 gram, untuk biji kakao yang
memiliki pecahan biji memiliki berat 1,44 gram, untuk pecahan kulit seberat 2,78
gram, untuk biji pipih diketahui seberat 35,67 gram, dan untuk pemilahan ranting
pohon kakao tidak ditemukan pada pengamatan ini. Selanjutnya data kadar
kotoran tersebut dibuat menjadi bentuk persentase, sehingga menjadi seperti
berkut untuk kadar plasenta sebesar 2,012%, untuk kadar biji dempet sebesar
4,21%, untuk kadar pecahan biji sebesar 0,144%, untuk kadar pecahan kulit
sebesar 0,278%, dan untuk kadar biji pipih sebesar 3,567% sedangkan kadar
ranting karena tidak ranting di dalam pengamatan tersebut maka ditulis 0%.
Kemudian dapat diketahui total kadar kotoran yaitu sebesar 10,211%. Dari data
tersebut dapat disimpulkan bahwa biji kakao kering tersebut tidak termasuk ke
dalam kelas mutu dikarenakan melebihi mutu terakhir yaitu mutu ke III. Hal ini
telah sesuai menurut SNI 2323-2008 tentnag biji kakao dimana menjelaskan
persyaratan khusus mutu biji kakao untuk mutu I yaitu maksimal kadar
kotorannya sebesar 3%, untuk mutu II yaitu kadar kotorannya maksimal sebesar
2%, dan untuk mutu III yaitu kadar kotorannya maskimal sebesar 3%.
5.5 Penentuan Jumlah Biji Kakao Per Seratus Gram
Pada praktikum jumlah biji kakao per 100 gram menggunakan biji kakao
seberat 100 gram sebagai sampelnya. Praktikum acara ini dilakukan untuk
mengetahui biji kakao tersebut tergolong ke dalam golongan AA (maksimal 85
biji per100 gram), A (86-100 biji per 100 gram), B (101-110 biji per 100 gram), C
(111-120 biji per 100 gram), dan S (lebih dari 121 biji per 100 gram). Setelah
dilakukan pengamatan didapatkan data bahwa dalam 100 gram terdapat 86 biji
kakao, itu artinya biji tersebut termasuk golongan A (86-101 biji per gram).
Pernyataan ini telah sesuai menurut SNI 2323-2008 tentang biji kakao dimana
menyatakan ukuran AA (maksimal 85 biji per100 gram), A (86-100 biji per 100
gram), B (101-110 biji per 100 gram), C (111-120 biji per 100 gram), dan S (lebih
dari 121 biji per 100 gram). Menurut Wahyudi (2008), ukuran biji kakao
dipengaruhi oleh proses fermentasi dan tingkat kematangan buah. Tingkat
kematangan buah kakao dapat memberikan pengaruh pada jumlah biji per seratus
gramnya, karena saat proses fermentasi biji kakao yang matang optimum
menghasilkan biji kakao kering yang utuh dan tidak gepeng.

5.6 Penentuan Kadar Biji Cacat pada Kakao


Pada praktikum kadar biji cacat pada kakao menggunakan 300 biji kakao
kering sebagai sampelnya. Praktikum ini dilakukan untuk menentukan kualitas
mutu dari biji kakao tersebut. Menurut Haryadi dan Supriyanto (1991) biji slaty
merupakan biji yang tidak terfermentasi secara sempurna, tekstur bijinya padat
dan pejal seperti keju dan jika dicicipi (dikunyah) rasanya pahit dan sepat.
Menurut Biji berjamur merupakan biji kakao yang ditumbuhi jamur atau kapang
di bagian dalam atau luar dan apabila dibelah dapat dilihat dengan mata.
Setelah dilakukan perhitungan didapatkan data sebagai berikut pada biji
berjamur untuk ulangan pertama terdapat 2 biji, untuk ulangan kedua terdapat 4
biji dan untuk ulangan ke 3 tidak ada biji yang berjamur. Penyebab tumbuhnya
jamur yaitu kadar air melebihi 7,5% yang disebabkan pengeringan dengan sinar
matahari (penjemuran) yang umumnya dilakukan lebih dari 7 hari. Salah satu
kelemahan dari pengeringan alami, yaitu apabila cuaca buruk (mendung atau
hujan) maka akan memakan waktu yang cukup lama. Kondisi ini sangat
memungkinkan biji kakao untuk ditumbuhi jamur (IEK, 2009). Tunbuhnya jamur
juga dapat disebabkan penyimpanan biji kakao kering yang kurang baik. Imdad
dan Abdjad (1995) menyimpulkan bahwa untuk menyimpan biji kakao kering
agar tetap dalam kondisi baik, biji kakao sebaiknya disimpan dengan kemasan dan
ditempatkan dalam ruangan yang bersuhu 30oC serta kelembaban relative < 74%,
sedang suhu minimal 25°C. Apabila lebih dari kelembaban relatif maka biji kakao
yang disimpan akan rusak karena jamur.
Selanjutnya penentuan biji slaty, untuk ulangan pertama diketahui terdapat
1 biji slaty, untuk ulangan ke 2 diperoleh hasil 1 biji slaty, dan untuk ulangan ke 3
tidak terlihat biji slaty. Biji slaty muncul dikarenakan proses fermentasi yang tidak
baik. Menurut Susanto (1994) fermentasi yang baik yaitu menggunakan kotak
kayu yang berventilasi dan dilakukan pembalikan agar sirkulasi udara dapat
berjalan baik untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme yang berperan
dalam proses fermentasi serta waktu fermentasinya berkisar antara5-6 hari. Biji
kakao yang tidak difermentasi warnanya lebih pucat bila dibanding dengan yang
terfermentasi sempurna, adapula yang mengalami fermentasi warnanya keunguan,
sedangkan yang mengalami fermentasi sempurna warnanya coklat dan bukan
ungu.
Setelah itu pengamatan biji berserangga, untuk ulangan pertama, kedua
dan ketiga tidak tidak diketahui adanya biji berserangga. Kemudian penentuan biji
berkecambah dengan biji berkecambah, untuk untuk ulangan pertama, kedua dan
ketiga tidak diketahui adanya biji berkecambah. Biji berkecambah dapat
disebabkan oleh pemanenan buah kakao yang lewat masak. Pemanenan buah yang
tidak terlalu masak bertujuan untuk menghindari biji berkecambah di dalam buah.
Buah yang bijinya telah berkecambah biasanya kulit buah berlubang sehingga
memungkinkan jamur atau serangga masuk dalam buah. Pemanenan juga tidak
diperkenankan untuk dilakukan pada buah yang kurang masak karena biji kakao
dari buah kurang masak sulit dipisahkan dan cenderung saling lengket (Wahyudi,
2008).
Selanjutnya dilakukan perhitungan hingga diketahui persentase dari
masing-masing jenis cacat, untuk biji berjamur persentasenya 0,67%, untuk biji
slaty persentasenya 0,22 %, untuk biji berseranggan dan berkecambah
persentasenya 0%. Dari hasil perhitungan tersebut dapat diketahui total kadar
cacat yaitu sebesar 0,89%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa biji kakao tersebut
termasuk ke dalam mutu kualitas kakao, karena kadar cacatnya tidak melebihi dari
mutu III. Hal ini sesuai menurut SNI 2323-2008 tentang biji kakao bahwa mutu
III untuk biji berjamur maksimal 4%, untuk biji slaty jumlah maksimalnya 20%,
untuk biji berserangga jumlah maksimalnya 2%, dan untuk biji berkecambah
jumlah maksimalnya sebesar 3%.

5.7 Penentuan mutu biji kakao


Pada praktikum acara penentuan mutu biji kakao bertujuan untuk
menggolongkan biji kakao tersebut ke dalam mutu-mutunya. Setelah diketahui
kadar biji berjamurnya sebesar 0,67, kadar biji slaty sebesar 0,22, kadar biji
berserangga sebesar 0, kadar kotoran sebesar1,7, kadar biji berkecambah sebesar
0, dan jumlah biji per 100 gram sebanyak 86 biji. Dapat disimpulkan bahwa biji
kakao tersebut masuk ke dalam golongan A dengan mutu I.
BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapatkan dari praktikum penentuan mutu biji
kakao yaitu pada pengamatan biji kakao berserangga tidak ditemukan serangga
dalam stadia apapun sedangkan untuk pengamatan benda asing ditemukan benda
asing di dalam kemasan. Kadar air biji kakao telah memenuhi syarat umum mutu
biji kakao yaitu maksimal 7,5. Tidak ditemukan adanya bau asap abnormal/bau
asing lainnya pada biji kakao kering. Jumlah biji per seratus gram biji kakao
termasuk golongan A yaitu 86 biji per 100 gram. Kadar kotoran biji kakao sebesar
10,211% sehingga masuk ke dalam mutu II yaitu dengan nilai maksimum 2%.
Kadar biji berjamur pada biji kakao tersebut sebesar 0,67% sehingga biji kakao
tersebut masuk ke dalam mutu I, sedangkan untuk kadar biji slaty sebesar 0,22
sehingga masuk ke dalam mutu I, dan untuk kadar biji berserangga dan
berkecambah tidak ada sehingga biji kakao tersebut dimasukkan ke dalam mutu I.
Dapat disimpilkan biji kakao tersebut memiliki jumlah berat golongan A, akan
tetapi tidak termasuk kedalam kelas mutu dikarena pada kadar kotoran tidak
memenuhi syarat.

6.2 Saran
a. Pada saat praktikum sebaiknya metodologi harus benar-benar dipahami.
b. Pada saat praktikum sebaiknya tidak terlalu banyak bicara karena akan
mengganggu jalannya praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Aofakwa, E. 2010. Chocolate Science and Technology. Wiley-Blackwell.UK.

IEK, Anita. 2009. Evaluasi Mutu Biji Kakao (Thebroma cacaoL) Kering di SP 5
Kampung Macuan Distrik Masni Kabupaten Manokwari. Papua:
Universitas Negeri Papua

Maswadi.2011.Agribisnis Kakao dan Produk Olahannya Berkaitan dengan


KebijakanTarif Pajak di Indonesia. J.Perkebunan dan Lahan Tropika.1:23-
30.

Siregar et al. 2004. Cokelat, Pembudidayaan, Pengolahan, Pemasaran. Penebar


Swadaya: Jakarta

SNI-01-2323.2000.Biji Kakao:BSN.

Wahyudi, et al.2008.Panduan Lengkap Kaka.Jakarta:Penebar Swadaya.

Wood, G.A.R. 1985. From Harvest to Store, in G.A.R. Wood & R.A. Loss (ed.).
Cocoa. Logman. London
LAMPIRAN PERHITUNGAN

a. Perhitungan Kadar Air


M1−M2
C1 : M1−M0
× 100%
56,56−55,91
= 56,56−46,53
× 100%
0,65
= 10,03
× 100%

= 6,48%
0,59
C2 : 10,04 × 100%

= 5,88%
0,66
C3 : 10,02 × 100%

= 6,59%
0,72
C4 : 10,02 × 100%

= 7,18%
6,48+5,88+6,59+7,18
Rata-rata kadar air = 4

= 6,53
b. Perhitungan kadar kotoran
20,12
- Plasenta = x 100
1000

= 2,012 %
42,12
- Biji dempet = x 100
1000

= 4,212 %
1,44
- Pecahan biji = x 100
1000

= 0,144 %
2,78
- Pecahan kulit = 1000 x 100

= 0,278 %
35,67
- Biji pipih = x 100
1000

= 3,567 %
Total kadar kotoran = 2,012 + 4,212 + 0,144 + 0,278 + 3,567
= 10,211 %

c. Kadar biji cacat


6
- Biji berjamur = 900 x 100%

= 0,67%
2
- Biji slaty = x 100%
900

0, 22 %
0
- Biji berserangga = 900 x 100%

=0
0
- Biji berkecambah = 900 x 100%

=0
Total kadar cacat = 0,67 + 0,22
= 0,89%
DOKUMENTASI
No. Gambar Dokumentasi

Sampel biji kakao yang digunakan dalam


1.
praktikum

Penimbangan sampel biji kakao sebelum


2.
digunakan

Pemisahan sampel biji kakao dari kotoran


3. berupa plasenta, biji dempet, pecahan biji,
pecahan kulit, biji pipih, dan ranting

Hasil pemisahan sampel biji kakao dan


4.
kotorannya

Hasil pengamatan dan perhitungan jumlah


5.
sampel biji kakao dalam ±100 gram

Pemecahan dan pengamatan aroma sampel biji


6.
kakao
Hasil pengamatan dan pengelompokan sampel
7. biji kakao berdasarkan aromanya (aroma asap,
aroma asam, dan aroma coklat)

Pengamatan kenampakan dan penggolongan


sampel biji kakao yang telah dibelah
8.
berdasarkan jenis cacatnya (biji berjamur, biji
slaty, biji berserangga dan biji berkecambah)

Hasil penggolongan sampel biji kakao


9. berdasarkan jenis cacatnya (biji berjamur, biji
slaty, biji berserangga dan biji berkecambah)

Penghancuran dan penyiapan sampel biji kakao


10.
yang akan digunakan dalam pengujian kadar air

Penimbangan beaker glass yang akan


11. digunakan dalam pengujian kadar air sampel
biji kakao

Pengovenan beaker glass berisi sampel pada


12.
suhu 103±2oC selama 16 jam

Vous aimerez peut-être aussi