Vous êtes sur la page 1sur 23

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR

A. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2014).
Menurut Sjamsuhidajat & Jong tahun 2014, fraktur adalah setiap retak atau
patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana
terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan
trauma tidak langsung
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai
dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan
pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang
dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2014).

B. Klasifikasi
Menurut Carpenito tahun 2014 membagi fraktur berdasarkan penyebab fraktur,
antara lain:
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah
dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
Sedangkan menurut Doenges tahun 2000 mengklasifikasikan fraktur menjadi :
1. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur
2. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal (kongenital, peradangan, neuplastik
dan metabolik).
Klasifikasi fraktur secara umum :
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris dst).
2. Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur:
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang
tulang).
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama
4. Berdasarkan posisi fragmen :
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser):
Garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih
utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser):
Terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen
5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit. Fraktur terbuka
dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
1) Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
2) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
3) Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak
ekstensif.
6. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma :
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.
7. Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
- At axim : membentuk sudut.
- At lotus : fragmen tulang berjauhan.
- At longitudinal : berjauhan memanjang.
- At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
8. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
d. Fraktur Kelelahan : Fraktur akibat tekanan yang berulang – ulang.
e. Fraktur Patologis : Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

C. Etiologi
Menurut Carpenito tahun 2013 adapun penyebab fraktur antara lain :
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah
dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
Menurut Doenges tahun 2013 adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur
2. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan, neuplastik
dan metabolik).
Menurut aragon tahun 2000 adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Trauma langsung/ direct trauma
Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
(misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma
Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi
fraktur pada pegelangan tangan
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri
rapuh/ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini disebut dengan
fraktur patologis.
4. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa
pemuntir

D. Manifestasi Klinis
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi,
hematoma, dan edema
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat
diatas dan dibawah tempat fraktur
4. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit

E. Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma. Baik itu
karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil, atau tidak
langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa
karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan olekranon, karena
otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi. (Doenges, 2000:629)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan
ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-
sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran
darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di
tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk
melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru
imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati Carpenito (2000:50)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total
dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth,
2002: 2387).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan
pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke
bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi
terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari
proses penyembuhan tulang nantinya (Doenges, 2000:629).
F. Pathway
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
2. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
3. Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens ginjal
4. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.
5. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
6. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
7. CCT kalau banyak kerusakan otot.
8. Pemeriksaan Darah Lengkap
Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit sering
rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan
jaringan lunak sangat luas, Pada masa penyembuhan Ca meningkat di dalam darah,
traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi:
perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah
hati.

H. Komplikasi
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Artery
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di
otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan
hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada
otot. Gejala – gejalanya mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada
luka, rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada
kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan
paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia)
dan tulang hasta (radius atau ulna).
c. Fat Embolism Syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal
ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang
dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati
sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah
pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli
lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah,
marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke
tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur
(yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan
menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang
terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan
gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada
pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya
melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat
menahan beban
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi
pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang
dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous
(infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka
fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang
panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma
dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki
risiko osteomyelitis yang lebih besar
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang –
kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor – faktor yang dapat
menyebabkan non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan
lunak, pemisahan lebar dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat
patologis.
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan
deformitas, angulasi atau pergeseran.

I. Penatalaksanaan
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena
terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri
tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik
imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat
dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips.
a. Pembidaian
benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang
b. Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah. Gips
yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh. Indikasi
dilakukan pemasangan gips adalah :
1) Immobilisasi dan penyangga fraktur
2) Istirahatkan dan stabilisasi
3) Koreksi deformitas
4) Mengurangi aktifitas
5) Membuat cetakan tubuh orthotik
Sedangkan hal – hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips adalah :
1) Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
2) Gips patah tidak bisa digunakan
3) Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien
4) Jangan merusak / menekan gips
5) Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaru
6) Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk
itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti pemasangan traksi kontinyu,
fiksasi eksternal, atau fiksasi internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
a. Penarikan (traksi) : Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban
dengan tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian
rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.
Metode pemasangan traksi antara lain :
1) Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan
emergency
2) Traksi mekanik, ada 2 macam :
a) Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot.
Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
b) Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced
traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat
metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal.
Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :
1. Mengurangi nyeri akibat spasme otot
2. Memperbaiki & mencegah deformitas
3. Immobilisasi
4. Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
5. Mengencangkan pada perlekatannya
Prinsip pemasangan traksi :
1. Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya tarik
2. Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan pemberat
agar reduksi dapat dipertahankan
3. Pada tulang – tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus
4. Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol
5. Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai
3. Pembedahan
a. Pengertian ORIF
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan
dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Tujuan
dari operasi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap
menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra
Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe
fraktur tranvers
b. Pengertian OREF
OREF adalah reduksi terbuka dengan fiksasi internal di mana prinsipnya tulang
ditransfiksasikan di atas dan di bawah fraktur , sekrup atau kawat ditransfiksi di
bagian proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama lain dengan suatu
batang lain. Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan
kerusakan jaringan lunak . Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk
fraktur kominutif ( hancur atau remuk ) . Pin yang telah terpasang dijaga agar
tetap terjaga posisinya, kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini
memberikan rasa nyaman bagi pasien yang mengalami kerusakan fragmen
tulang.
1) Indikasi
a) Fraktur terbuka grade II dan III
b) Fraktur terbuka yang disertai hilangnya jaringan atau tulang yang parah.
c) Fraktur yang sangat kominutif (remuk) dan tidak stabil.
d) Fraktur yang disertai dengan kerusakan pembuluh darah dan saraf.
e) Fraktur pelvis yang tidak bisa diatasi dengan cara lain.
f) Fraktur yang terinfeksi di mana fiksasi internal mungkin tidak cocok.
Misal : infeksi pseudoartrosis (sendi palsu).
g) Non union yang memerlukan kompresi dan perpanjangan.
h) Kadang – kadang pada fraktur tungkai bawah diabetes melitus.
2) Keuntungan dan Komplikasi Eksternal Fiksasi
a) Fiksator ini memberikan kenyamanan bagi pasien, mobilisasi awal da
latihan awal untuk sendi di sekitarnya sehingga komplikasi karena disuse
dan imobilisasi dapat diminimalkan
3) Sedangkan komplikasinya adalah :
a) Infeksi di tempat pen (osteomyelitis).
b) Kekakuan pembuluh darah dan saraf.
c) Kerusakan periostium yang parah sehingga terjadi delayed union atau non
union.
d) Emboli lemak.
e) Overdistraksi fragmen.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DENGAN FRAKTUR

A. Pengumpulan Data
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
- Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
- Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
- Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
- Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
- Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain
itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit – penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
- Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
- Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
- Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema,
nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri
tekan
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak
pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j) Paru
- Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
- Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
- Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
- Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti
stridor dan ronchi.
k) Jantung
- Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
- Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
- Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l) Abdomen
- Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
- Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
- Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
- Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
n) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain,
Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
- Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
 Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
 Cape au lait spot (birth mark).
 Fistulae.
 Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
 Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal).
 Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
 Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
- Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun
klien. Yang perlu dicatat adalah:
 Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary
refill time à Normal > 3 detik
 Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
 Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal).
 Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
 Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
 Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif.

DIAGNOSA
NO DATA PENUJANG ANALISA DATA & PATOFLOW
KEPERAWATAN
1 DS: Kecelakaan Nyeri akut
Klien mengeluh nyeri
tarauma langsung
DS:
- Biasanya klien tampak tekanan padatulang
meringis
- Tanda – tanda vital tidak mampu meredam energy
menigkat yang terlalu besar
- Sekala nyeri menigkat
- Terdapat luka tekan fraktur

merusak jaringan sekitar

pelepasan mediator nyeri


(histamine, prostaglandin, bradi
kinin, serotonin)

Ditangkap resepator nyeri perifer

Inflak ke otak

Persepsi nyeri

nyeri
ANALISA KEPERAWATAN

DIAGNOSA
NO DATA PENUJANG ANALISA DATA & PATOFLOW
KEPERAWATAN
2 DS: - Kecelakaan Resiko infeksi

DS: tarauma langsung


- Adanya luka post
operasi tekanan padatulang
- Luka masih basah
- Terjadi peningkatan tidak mampu meredam energy
leukosit yang terlalu besar
- Luas pembedahan
bertanbah fraktur
- Terdapat tanda - tanda
infeksi prosedur post oprasi
- Luka menjadi bau
dilakukan tindakan pembedahan

terputusnya kontuinitas jaringan

luka masih bsah

tempat yang baik untuk


mikroorganisme

resiko infeksi
ANALISA KEPERAWATAN

DIAGNOSA
NO DATA PENUJANG ANALISA DATA & PATOFLOW
KEPERAWATAN
3 DS: Kecelakaan Cemas
Biasanya klien
mengatakan ingin cpat tarauma langsung
sembuh
tekanan padatulang
DS:
- Gelisah tidak mampu meredam energy
- Insomnia yang terlalu besar
- Ketakutan
- Focus pada diri fraktur
- kekhawatiran
prosedur post oprasi

dilakukan tindakan pembedahan

kurang pengetahuan tentang


penyakitnya

tidak mengetahui prosedur perawatan


luka

cemas
RENCANA KEPERAWATAN

Rencana keperawatan
No Diagnosa Keperawatan
Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
1 Nyeri berhubungan dengan luka post NOC 1. Lakukan pengkajian secara komprensif
oprasi di tandai dengan o Pain level termasuk lokasi karakteristik dan durasi
o Pain control 2. Observasi TTV
o Compont level 3. Kontrol lingkungan mempengaruhi nyeri,
Setelah dilakukan tindakan keperawatan seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
selama…………..diharapkan masalah kebisingan
keperawatan dapat teratasi dengan criteria hasil: 4. Bantu klien dan keluarga untuk mencari
- Mampu mengontrol nyeri menemukan dukungan
- Melaporkan nyeri berkurang 5. Ajarkan tentang therapy non farmakologi
- Sekala nyeri berkurang Teknik nafas dalam
- TTV dalam rentang normal Distraksi
- Tidak mengalami ganguan tidur Rileksasi
- Tidak terdapat luka tekan Kompres hangat
6. Tingkatkan istirahat
7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
analgetik
8. Monitor vital sign sebelum dan sesudah
analgetik pertamakali

2 Resiko infeksi berhubungan dengan NOC 1. Pertahankan teknik asptik


terputusnya kontuinitas jaringan o Immune status 2. Batasi pengunjung
ditandai dengan o Infection status 3. Cuci tangan setiap dan sesudah tindakan
o Risk kontrol keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 4. Tingkatkan TTV
selama………….. diharapkan masalah 5. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
keperawatan dapat teratasi dengan criteria hasil: dan local
- Klien bebas dari infeksi 6. Pertahankan teknik isolasi
- Menunjukan kemampuan untuk mencegah 7. Mengevaluasi suhu tubuh setiap 4 jam
infeksi 8. Lakukan perawatan luka steril
- Luka cepat sembuh 9. Kolaborasi dengan dokter pemberian
- Jumlah leukosit dalam batas normal antibiotic
- TTV Normal terutama suhu 10. Ajarkan klien dan keluarga tanda dan
- Tidak ada luka tekan gejala infeksi

3 Cemas berhubungan dengan kurang NOC 1. gunakan pendekatan yang menyenangkan


pengetahuan tentang penyakitnya o control kecemasan tentang penyakit 2. jelaskan semua prosedur keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan yang akan di berikan
DS: selama………….. diharapkan masalah 3. temani kilen untuk memberikan
- Biasanya klien mengatakan ingin keperawatan dapat teratasi dengan criteria hasil: keamanan dan mengurangi takut
cepat sembuh - klien mampu mengidentivikasi dan mengatasi 4. berikan informasi actual mengenai
- Kelien mengatakan ingin cepat kecemasan diagnosis, dan informasi penyakit
pulang - tidak gelisah 5. libatkan keluarga untuk mendampingi
DO: - tidak cemas klien
- Gelisah - tidak resah 6. dengarkan dengan penuh harapan
- Insomnia - tidak insomnia 7. melakukan penkes tentang penyakitnya
- Resah - tidak ketakutan 8. intruksikan klien untuk mengunakan
- Ketakutan - tidak khawatir teknik rileksasi
- Focus pada diri sendiri
- khawatiran
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2015. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Carpenito, LJ. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Doengoes, M.E., 2010, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya
Johnson, M., et all. 2014. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2013. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2013. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Smeltzer, S.C., 2013, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Carpenito (2013), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta
Doenges at al (2015), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Herman Santoso, dr., SpBO (2016), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem Muskuloskeletal, Diktat Kuliah PSIK, tidak dipublikasikan.

Vous aimerez peut-être aussi