Vous êtes sur la page 1sur 17

BAB I

STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
 Nama : Ny. E
 Usia : 31 tahun
 Jenis kelamin : Perempuan
 Status : Menikah
 Pekerjaan : IRT
 Agama : isalm
 Alamat : Kp. Buaran, Jakarta Timur
 No. RM : 00-25-xx-xx
 Tanggal Masuk RS : 22 Mei 2108

B. Anamnesis
Keluhan utama :
 Sesak napas yang memberat sejak 5 jam SMRS

Keluhan tambahan :
 Batuk berdahak(+), demam (-), mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (+)

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSIJ Sukapura dengan keluhan sesak napas sejak 5 jam
SMRS. Sesak napas dirasakan setelah pasien melakukan aktivitas (mencuci
pakaian), dan bersifat terus-menerus. Sesak napas juga sering muncul terutama
pada malam hari dirasakan mengganggu aktivitas dan tidur. Sesak terasa berkurang
dalam posisi duduk. Pasien juga mengeluhkan keluhan bersin-bersin di pagi hari,
hidungnya terasa gatal, batuk berdahak bewarna bening kental, rasa tertekan di
dada dan mengi.
Keluhan ini baru pertana kali dirasakan oleh pasien. Tidak demam, tidak ada
riwayat demam, nyeri dada tidak ada,tidak mual ,tidak muntah, tidak ada jantung
berdebar. Batuk lama dan keringat malam disangkal. Saat di IGD, pasien
mengatakan kalau ia sangat sesak dan hanya bisa berbicara dengan kalimat yang
terputus-putus.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat asma tidak ada
 Riwayat pengobatan penyakit paru tidak ada
 Riwayat hipertensi, penyakit jantung, kencing manis tidak ada

Riwayat Penyakit Keluara :


 Riwayat asma tidak ada
 Riwayat pengobatan penyakit paru tidak ada
 Riwayat hipertensi, penyakit jantung, kencing manis tidak ada

Riwayat Alergi :
 Alergi obat, makanan, cuaca disangkal

Riwayat pengobatan :
 Pasien sudah meminum obat warung (Napasin) ½ tablet dan sesak hanya
berkurang sedikit

Riwayat Psikososial
 Riwayat merokok disangkal
 Riwayat memnium minuman alcohol disangkal
 Pasien tinggal di rumah bersama 1 orang suami dan 3 orang anaknya,
menurut pasien ventilasi udara dirumah pasien kurang

C. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda Vital :
 TD : 120/80 mmHg
 Nadi : 86x/menit
 Pernapasan : 27x/menit
 Suhu : 36,60C
Status Generalisata
Kepala : Normocephal, rambut bewarna hitam, distribusi merata, tidak
mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), RCL (+/+),
RCTL (+/+), Pupil isokor.
Hidung : Normonasi, secret (-/-), Epitaksis (-/-)
Telinga : Normotia, secret (-/-), nyeri tekan (-/-)
Mulut : mukosa bibir lembab, sianosis (-), lidah kotor (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Thorax :
 Paru-paru
I : Pergerakan dinding dada simetris antara kanan dan kiri.
Retraksi dinding dada (+/+)
P : Nyeri tekan (-/-), massa (-/-), krepitasi (-/-), vocal fremitus
sama di kedua lapang paru
P : Sonor dikedua lapang paru,. Batas paru hepar setinggi ICS V
dextra
A : Vesikuler (+/+), Wheezing (+/+), Ronkhi (-/-)

 Jantung
I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis tidak teraba
P : redup, batas jantung tidak melebar
Batas atas : ICS III linea parasternalis dextra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Batas kiri : ICS IV linea midclavicularis sinistra
A : bunyi jantung I = II murni regular, tidak ditemukan gallop
atau murmur.
 Abdomen
I : tampak datar. Distensi (-), jaringan parut (-)
A : Bising usus normal (+)
P : supe;, NTE (-), hepar dan lien tidak teraba (-). Turgor kulit
normal
P : Timpani pada seluruh kuadran abdomen

 Ektremitas
Akral hangat (+/+/+/+), CRT < 2detik, edema (-/-/-/-), sianosis (-/-/-/-)

D. Pemeriksaan Penunjang
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
HEMATOLOGI
Diff Count
- Basophil 0 %
- Eosinofil 10 %
- Neutrofil 55 %
- Limfosit 31 %
- Monosit 4 %
LED 23 mm/1 jam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Asma

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan
napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Asma merupakan suatu
penyakit yang dicirikan oleh hipersensitifitas cabang-cabang trakhea bronkhial
terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan
seluruh nafas secara periodik dan reversibel akibat bronkhospasme12.
Pakar dari “Allergy Foundation of America”, yang mendefinisikan asma sebagai
suatu peristiwa episode dari wheezing dan sesak yang ditandai dengan peningkatan
dari tahanan aliran udara di dalam saluran pernapasan yang secara spontan atau
setelah pengobatan terjadi masa bebas gejala dan keluhan (normal) dengan diikuti
penurunan tahanan aliran udara pernapasan. Kaliner (1980) meninjau asma dari segi
klinis dan imunopatologi serta menganjurkan definisi asma ialah suatu penyakit yang
berdasarkan adanya kepekaan saluran pernapasan yang berlebihan dengan manifestasi
yang berupa penyumbatan (obstruksi) saluran pernapasan yang dapat pulih kembali
(reversible)13.

2.1.1 Patofisiologi Asma


Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang
dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam
jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama
melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat
dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase
sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan
dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin.
Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi
mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen.
Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama
histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus14,15.

2.1.2 Faktor Risiko Asma

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu dan


lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetic yang mempengaruhi
untuk berkembangnya sama, yaitu: genetik asma, alergik (atopi), hiperaktiviti
bronkus, jenis kelamin dan ras.

Faktor Pejamu
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian.
Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/ kecenderungan
untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran
subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau
keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma
dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara
objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi, walau disadari kondisi tersebut
tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan beberapa
kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma14.

Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam lingkungan:
 Allergen binatang
 Mite domestic
 Jamur (fungi, molds, yeast)
b. Alergen diluar ruangan
 Tepung saru bunga
 Jamur (fungi, molds, yeast)
c. Bahan di lingkungan kerja
 Asap rokok
 Polusi udara
d. Infeksi pernapasan
e. Exercise dan hiperventilasi
f. Perubahan cuaca
g. Makanan aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan
h. Ekspresi emosional yang berlebih
i. Iritan (parfum, bau-bauan yang merangsang)17

2.1.3 Klasifikasi Asma

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola


keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan
gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai16.

Tabel 2.1 Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis


Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
I. Intermiten Bulanan APE >80%
*Gejala <1x/minggu *<2 kali sebulan *VEP1 >80% nilai
*Tanpa gejala di luar prediksi
serangan APE >80% nilai
*Serangan singkat terbaik
*Variabiliti APE
<20%
II. Persisten Ringan Mingguan APE >80%
*Gejala *>2 kali sebulan *VEP1 >80% nilai
>1x/minggu, tetapi prediksi
<1x/hari APE >80% nilai
*Serangan dapat terbaik
mengganggu *variabiliti APE 20-
aktivitas dan tidur 30%
III. Persisten Harian APE 60-80%
Sedang
*Gejala setiap hari *>1x/seminggu *VEP1 60-80% nilai
*Serangan prediksi
mengganggu APE 60-80% nilai
aktivitas dan tidur terbaik
*Membutuhkan *Variabiliti
bronkodilator setiap APE>30%
hari16
IV.Persisten Berat Kontinyu APE < 60%
*Gejala terus *Sering *VEP1 <60% nilai
menerus prediksi
*Sering kambuh APE <60% nilai
*Aktivitas fisik terbaik
terbatas *Variabiliti APE
>30%16
(16)

Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan dan pengobatan yang telah
berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah
gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita
dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Tabel 2.3
menunjukkan bagaimana melakukan penilaian berat asma pada penderita yang sudah
dalam pengobatan. Bila pengobatan yang sedang dijalani sesuai dengan gambaran
klinis yang ada, maka derajat berat asma naik satu tingkat. Contoh seorang penderita
dalam pengobatan asma persisten sedang dan gambaran klinis sesuai asma persisten
sedang, maka sebenarnya berat asma penderita tersebut adalah asma persisten berat15.
Demikian pula dengan asma persisten ringan. Akan tetapi berbeda dengan
asma persisten berat dan asma intemiten (lihat tabel 2.3). Penderita yang gambaran
klinis menunjukkan asma persisten berat maka jenis pengobatan apapun yang sedang
dijalani tidak mempengaruhi penilaian berat asma, dengan kata lain penderita tersebut
tetap asma persisten berat. Demikian pula penderita dengan gambaran klinis asma
intermiten yang mendapat pengobatan sesuai dengan asma intermiten, maka derajat
asma adalah intermiten14,16.

2.1.4 Diagnosis Asma

Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak,
mengi dan rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya mengeluh batuk-
batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani.
Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien maupun keluarganya seperti rhinitis
alergi, dermatitis atopik, akan membantu mendiagnosis asma. Gejala asma sering
timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul sembarang waktu. Adakalanya
gejala lebih sering terjadi pada musim tertentu. Anamnesis yang baik cukup
membantu dalam menegakkan diagnosis asma15,16.
Riwayat Penyakit/ gejala
 Bersifat episodik, seringkali reversible dengan atau tanpa pengobatan
 Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada
 Gejala timbul/ memburuk terutama pada malam hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

a. Anamnesis

Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung rhinitis alergi, mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem
atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat
perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena
masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat
keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara
binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam
rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan
karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah
sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien
merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang
digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid14.

b. Pemeriksaan Fisis

Penemuan tanda pada pemeriksaan fisis pasien asma, tergantung dari derajat
obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi pada auskultasi, auskultasi
dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat
penyempitan jalan napas, hiperinflasi dada, pernapasan cepat serta pernapasan cepat
sampai sianosis sering dijumpai pada pasien asma. Pada keadaan serangan, kontraksi
otot polos saluran naspas, edema7.

Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.
Walaupun demikian mengi juga tidak dapat terdengar (silent chest) pada serangan
yang sangat berat. Tetapi biasanya disertai gejala sianosis, gelisah, sukar berbicara,
takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas. Dalam praktek jarang
dijumpai kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai pasien
yang bukan asma mempunyai mengi, sehingga memerlukan pemeriksaan penjunjang
untuk menegakkan diagnosis15,16.

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Faal Paru

Umumnya penderita asma sulit menilai berat gejala dan presepsi mengenai
asma mereka, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dyspnea dan
mengi, sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru anatara lain untuk
menyamakan presepsi dokter dan pederita, dan parameter objektif menilai berat asma.
Pengukuran ini digunakan untuk menilai:
 Obstruksi jalan napas
 Reversibiliti kelainan faal paru
 Variabiliti faal paru
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah di terima
secara luas dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak
ekspirasi (APE)10.

a) Spirometri

Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma untuk
melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau
nebulizer) golongan adrenergic beta. Pengukuran volume ekspirasi paksa (VEP1)
dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan maneuver ekspirasi paksa melalui
prosedur yang standar. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai
tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Peningkatan VEP1 atau
KVP sebanyak 20% menunjukkan diagnosis asma. Obstruksi jalan napas diketahui
dari nilai VEP1/KVP <75% atau VEP1 <80% nilai prediksi. Hal-hal tersebut dapat
dijumpai pada pasien yang sudah normal atau mendekarti normal. Pemeriksaan
spirometri selain penting dalam menegakkan diagnosis asma, juga penting untuk
menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan15,16,17.

b) Arus Puncak Ekspirasi (APE)

Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan


yang lebih sederhana yaitu dengan alat Peak ExpiratoryFlow Meter (PEF meter)
yang relative sangat murah, mudah dibawa. Alat PEF meter relatif mudah
digunakan/dipahami baik oleh dokter maupun penderita. Maneuver pemeriksaan
APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang
jelas16.

Manfaat APE dalam diagnosis asma:

 Reversibilitas, yaitu perbaikan nilai APE > 200cc setelah inhalasi bronkodilator
oral 10-14 hari atau respon terapi kortikosteroid (inhalasi/oral, 2 minggu)
 Variabilitas, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variability APE
harian selama 1-2 minggu.

2) X-ray dada/thorax

Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma 18. Pada
gambaran thorax ini tampak gambaran normal atau menunjukkan adanya hiperinflasi
thorax ringan. Kadang-kadang tampak gambaran komplikasi asma, terutama
penyumbatan mucus18.

3) Pemeriksaan IgE atau Pengukuran Status Alergi

Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasikan melalui pemeriksaan uji


tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada
kulit. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu
mengidentifikasi faktor risiko/pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu
merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada
der- mographism)14,15,16.

4) Petanda inflamasi

Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak


berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan
spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif
inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel
eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas.
Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan
Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi
endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang
atau sulit dilakukan di luar riset14.

5) Uji Provokasi Bronkus

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita


dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus.
Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti
rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma peresisten, tetapi
hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat
terjadi pada penyakit lain seperti rhinitis alergi. Provokasi bronkus dengan
menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi
saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih
besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam
alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai
ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi
sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes
provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan
jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin16,17.

6) Pemeriksaan Sputum

Sputum eosinofil sangan karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat


dominan pada bronchitis kronik. Selain untuk melihat adanya eusinofil, Kristal
Chracot-Leyden, dan Spiral Curschmann, pemeriksaan ini penting untuk melihat
adanya miselium Aspergillus fumingatus17
2.1.6 Pengobatan Asma

Obat untuk asma dapat digolongkan menjadi pengendali (controller) dan pelega
(reliever). Controller adalah obat yang dikonsumsi setiap hari untuk membuat asma
dalam keadaan terkontrol terutama melalui efek anti inflamasi. Reliever adalah obat
yang digunakan bila perlu berdasarkan efek cepat untuk menghilangkan
bronkokontriksi dan menghilangkan gejalanya. Obat-obatan asma dapat diberikan
lewat beberapa cara seperti: oral, inhalasi, atau injeksi. Keuntungan utama obat
perinhalasi adalah langsung ke saluran napas, menghasilkan konsentrasi lokal tinggi
dengan risiko efek sistemik kurang18

Tabel 2.2 Penggolongan Obat Asma

Controller Reliever
Kortikosteroid (inhalasi, sistemik) Short acting b2 agonist (SABA):
inhalasi, oral
Leukotriene modifeier Kortikosteroid sistemik
Long Acting b2 agonist (LABA): Antikolinergik: Ipratropium br,
inhalasi,oral oxitropium
Chromolin: sodium cromoglycate dan Teofilin19
Nedocromil sodiem
Teofilin lepas lambat
Anti IgE
Antikolonergik: Tiotropium19

(19)
Cara inhalasi dalam pengantaran obat merupakan metode yang ideal dalam
mengobati asma. Asma adalah penyakit yang melibatkan paru-paru dan saluran
bronkial. Oleh karena itu masuk akal untuk memberikan obat langsung pada tempat
yang membutuhkan dan tepat ke saluran pernapasan. Ketika dihirup dengan benar,
obat asma tepat berada di tempat yang membutuhkan, jika ada, absorpsi oleh organ
lainnya, hanya dalam jumlah minimal. Dengan membatasi masuknya obat dalam
aliran daran dan organ tubuh lainnya, potensi interaksi pada obat dapat dihindari dan
efek samping serta toksisitas dapat diminimalisir19

Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah
dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit
yang tertinggal di saluran napas atas serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat,
atau orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai dan
masing-masing jenis alat terapi inhalasi mempunyai beberapa keuntungan dan
kerugian. Hingga saat ini dikenal 3 sistem inhalasi yang digunakan dalam klinik
sehari-hari yaitu,
 Nebuliser
 Metered dosed inhaler aerosol ( dengan atau tanpa spacer / alat penyambung)
 Dry powder inhaler

2.1.8 Tujuan Pengobatan Asma

Ada banyak pedoman penatalaksanaan asma internasional maupun nasional. Salah


satunya dari Global Initiative for Asthma (GINA) mengemukakan tujuan
penatalaksanaan asma ialah sebagai berikut:

a. Mencapai dan mempertahankan kontrol asma


b. Mempertahankan level aktivitas normal termasuk exercise
c. Mempertahankan fungsi paru mendekati normal bila mungkin
d. Mencegah eksaserbasi
e. Menghindari efek merugikan obat asma
f. Mencegah kematian akibat asma

Komponen penatalaksanaan asma

a. Membangun kerjasama pasien-dokter


b. Identtifikasi dan reduksi paparan faktor risiko
c. Assess, treat dan monitor asma
d. Pengobatan waktu eksaserbasi
e. Kodisi khusus14

2.1.9 Menilai kontrol asma

Instrument Asthma Control Test (ACT) merupakan salah satu intrumen yang valid
dan dapat dipercaya direkomendasikan secara internasional, dapat dilakukan oleh
pasien itu sendiri. Pada ACT terdapat 5 pertanyaan yang harus dijawab pasien dan
berdasarkan jawaban tersebut diberikan skor untuk menilai kondisi asma. Pertanyaan
dalam ACT sesungguhnya merupakan 5 dari 22 pertanyaan yang awalnya
dipertanyakan kepada pasien asma dalam suatu penelitian untuk menilai pertanyaan
mana yang dapat menggambarkan kondisi kontrol asma dengan memperbandingkan
pada penilaian klinis oleh dokter dan penilaian fungsi paru dengan spirometri25.

Lima pertanyaan dalam ACT merupakan pertanyaan yang mempunyai validitas


tertinggi untuk dapat membedakan derajat kontrol asma. Dengan kata lain untuk
menilai kondisi kontrol asma lebih tepat menggunakan ACT daripada spirometri saja.
Dalam penggunaan nya ACT digunakan pada pasien usia > 12 tahun, penilaian
kontrol asma dilakukan rentang waktu setiap 4 minggu, dilakukan sendiri oleh pasien
atau petugas kesehatan maupun dokter dan kemudian menjelaskan kepada pasien.
Minta pasien menjawab setiap pertanyaan (1 s/d 5) dengan sejujurnya dan lingkari
nilai sesuai jawaban pasien serta tuliskan nilai tersebut dikotak yang sudah tersedia.
Setiap pertanyaan mempunyai lima jawaban dan penilaian dari asma terkontrol
sebagai berikut. Skor jawaban dari kelima pertanyaan itu 25 artinya asmanya sudah
terkontrol secara total, skor antara 20 sampai 24 berarti asmanya terkontrol baik, skor
jawaban kurang dari atau sama dengan 19 berarti asmanya tidak terkontrol8.

Vous aimerez peut-être aussi