Vous êtes sur la page 1sur 20

KERAJAAN KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA

(Diajukan untuk memenuhi tugas Sejarah Nasional Indonesia)

KELAS C

Dosen Pengampu :

Drs. Kayan Swastika, M. Si

PAPER

Oleh:

Dimas Faldi Jiaulhaq 170210302086

Dwi Febrianti 1702103020114

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN IPS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
BAB 1
PEMBAHASAN

1.1 KERAJAAN SAMUDERA PASAI


Letak kerajaan Smudra Pasai lebih kurang 15 km di sebelah timur
Lhokseumawe, Nanggro Aceh, diperkiraan tumbuh antara tahun 1270-1275 M
atau pertengahan abad ke -13 M. kerajaan Samudra Pasai di bawah pemerintahan
sultan pertamannya yang bernama Sultan Malik as-Shalih, wafat tahuj 696 H
(1297 M). Nama Sulta Malik as-Shalih sebagai sultan pertama kerajaan tersebut
diceritakan pula dalam sejarah Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai, yang
sebelumnya hanya seorang kepal Gampong Samudra, bernama Marah Silu.
Tumbuhnya kerajaan Islam Samudra Pasai tidak dapat dipisahkan dari letak
geografisnya yang senantiasa tersentuh pelayaran dan perdagangan internasional
melalui Selat Malaka yag sudah ada sejak abad-abad pertama Masehi. Sejak abad
ke-7 dan ke-8 M para pedagang muslim dari Arabia, Persi (Iran), dan dari negeri-
negeri Timur Tengah lainnya mulai memegang peran penting, turut serta dalam
jarigan pelayaran dan perdagangan internasional yang waktu itu jaraknya lebih
jauh, yaitu dari Teluk Aceh, Teluk Persi, melalui samudra India-Selat Malaka
sampai Lautan Cina. Erkembanngan jaringan pelayaran dan perdagangan melalui
Selat Malaka sejak abad-abad tersebut disebabkan pula oleh upaya-upaya
perkembangan kekuasaan di Asia Barat di bawah Dinasti T’ang (618-907), dan
Asia Tenggara di bawah kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-14 M).
Keberadaan jaringan pelayaran da perdagangan antar bangsa itu bukan hanya
di sarankan berita-berita Cina, tetapi sejak abad ke-9 M sampai ke-11 M berita-
berita para pelayar dan geografi banga Arab juga telah Khurdazbih (850) ,
Ya’Qubi (875-880), Ibn Faqih (902), Ibn Rusteh (903), Sirat (lk. 916), Abu Dulaf
(lk, 940), Mas’udi (943), dan Buzurg Ibn Syahriyar (awal abad ke-10). Dalam
berita mereka itu sering disebut nama-nama tempat yang ada di Selat Malaka
seperti sebutan Salahit (Selat), Kalah (Kedah), Jawa (Sumatra), Sribuza dan
Ramni, Qaqulah, Fansur, Lambri (Lamuri), dan sebagainya. Oleh karena itu, sejak
abad ke-7 dan ke-8 sampai abad ke-11 M di daerah pesisir Selat Malaka dan juga
di Cina Selatan tumbuh komunitas-komunitas muslim akibat islamisasi. Sesuai
dengan situasi dan kondisi kerajaan Sriwijaya yang sedang mengalami kelemahan
disebabkan pelunasan kekuasaan kerajaan Singasari dari Jawa, menyebabkan
kekurangmampuan kerajaan Sriwijaya melakukan control sejak awal abad ke-13
M, lambat laun muncul komunitas muslim yang akhirnya tumbuhlah Samudra
Pasai sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Sultan-sultan yang memerintah kerajaan Samudra Pasai berturut-turut adalah
Sultan Malik as-Shalih (wafat 696 H/1297 M), Sultan Muhammad Malik az-Zahir
(1297-1326), Sultan Mahmud az-Zahir (1383-1405), Sultanah Nahrisyah (1405-
1412), wafat 27 September 1428), Abu Zaid Malik az-Zahir (1412-?), dan
Mahmud Malik az-Zahir (1513-1524). Nama-nama sultan yang telah di sebutkan
itu selain terdapat pada sumber Sejarah Melayu dan Hakikat Raja-raja Pasai juga
tercantum pada mata uang, emas yang diseut dhirham itu. Pada masa kerajaan
Samudra Pasai hal-hal yang perlu di catat, antara lain di bidang politik dan
hubungan antar kerajaan di bidang keagamaan dan bidang perekonomian
perdagangan.
Kemungkinan pada masa pemerintahan Sultan Malik as-Shalih sudah ada
hubungan dengan Cina sebagaimana diberitakan dalam sejarah dinasti Yuan
bahwa tahun 1282 M seorang utusan Cina bertemu dengan salah seorang menteri
dari kerajaan Sumatra di Quilon yang meminta agar raja Sumatra (Samudra) agar
mengirimkan dutanya ke Cina, ternyata pada tahun itu ada dua utusan dari
Samudra yang bernama Sulaeman dan Snams-ad-Din. Hubungan dengan negeri-
negeri Timur Tengah selalu ada bahkan sekitar tahun 1346 M berdasarkan berita
Ibn Battutah yang berkunjung oada masa pemerintahan Sultan Mahmud Malik az-
Zahir (1346-1383), ahli-ahli agama berdatangan antara lain dari Persi (Iran)
bernama Qadi Syarif Amir Sayyid dari Shiraz, dan Taj-al-Din dari Isfahan. Pada
awal abad ke-16 M mungkin masa memuncaknya kerajaan Samudra Pasai
sebagaimana diberitakan Tome Pires (1512-1515) tengah mengalami berbagai
kemajuan di bidang politik pemerintahan, di bidang keagamaan, terutama di
bidang perekonomian dan perdagangan. Diceritakan kerajaan Pasai mengadakan
hubungan persahabatan dengan Malaka bahkan mengikat hubungan perkawinan.
Para pedagang yang hadir di Pasai dari berbagai negeri, seperti Rumi, Turki,
Arab, Persia (Iran), Gujarat, Keling, Bengali, Melayu, Jawa, Bruas, Siam, Kadah,
dan Pegu.
Diberitakan pula bahwa kerajaan Samudra pasai telah menggunakan mata
uang seperti uang kecil yang di sebut cietis, ada yang di buat dari emas yang di
sebut dramas yang dibandingkan dengan harga mata uang Portugis crusade, yaitu
9 drama sama dengan 1 crusado yang juga sama dengan uang 500 uang cash.
Mata uang emas itu di buat dari serbukan emas dan perak. Bahkan Samudra Pasai
menghasilkan komoditas perdagangan dari berbagai daerah. Kecuali itu, juga
yang berkaitan dengan masalah pendapatan kerajaan-kerajaan ialah pajak dari
barang-barang yang di ekspor dan di impor. Dibidang keagamaan sebagaimana
telah diberitakan Ibn Battutah tentang kehadiran para ulama dari Persia, Syiria,
dan Isfahan. Ibn Battutah menceritakan bagaimana taatnya Sultan Samudra Pasai
terhadap agama Islam dari mazhab Syafi’I, dan dia selalu di kelilingi oleh ahli-
ahli teologi Islam.
Kerajaan Samudra Pasai mempunyai peran penting di dalam penyebaran
agama Islam di Asia Tenggara. Malaka menjadi kerajaan yang bercorak Islam
karena amat erat hubungannya dengan kerajaan Samudra Pasai lebih-lebih dengan
mengadakan hubungan pernikahan antara putra-putra Sultan 1414 M tumbuhlah
kerajaan Malaka, dimulai pemerintahan Paramisora. Tome Pires menceritakan
hubungan antar Pasai dengan Malaka terutama pada masa pemerintahan Saquem
Darxa yang dapat disamakan dengan nama kerajaan Sultan Muhammad Iskandar
Syah raja kedua Malaka.
Dalam Hikayat Patani terdapat certa tentang peng-Islam-an raja Patani yang
bernama Paya Tu Naqpa di laukan oleh seorang dari Pasai yang bernama Syaikh
Sa’id karena berhasil menyembuhkan raja patani itu. Setelah masuk Islam raja
berganti nama yaitu Sultan Mudhaffar Syah, Siti Aisyah, dan Sultan Mansur. Pada
masa pemerintahan Sultan Mudaffar Syah dating seorang ulama dari Pasai yang
bernama Syaikh Safiuddin yang atas perintah raja ia mendirikan masjid untuk
orang-orang muslim di Patani. Demikian pula dengan banyaknya jenis nisan
kubur yang disebut Batu Aceh yang menjadi nisan kubur raja-raja di Patani,
Malaka, dan Malaisya pada umumnya terutama yang bentuknya menyerupai nisan
kubur Sultan Malik as-Shalih dan nisan-nisan kubur dari abad-abad sebelum ke-
17 M, di tambah dengan kesamaan jenis batu serta penulisan dan huruf-huruf
bahkan dengan pengisian ayat-ayat Al-Qur’an dan nuansa kesufiannya, jelas
Samudra Pasai mempunyai peran penting dalam persebaran Islam di beberapa
tempat di Asia Tenggara, demikian pula di bidang perekonomian dan
perdagangan. Namun sejak Portugis menguasai Malaka sejak tahun 1511 M dan
meluaskan kekuasaannya, kerajaan Islam Samudra Pasai mulai di kuasai sejak
tahun 1521 M. Kemudian kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan
Sultan Al Mughayat Syah lebih berhasil menguasai Samudra Pasai. Kerajaan-
kerajaan yang terletak di pesisir seperti Aru, Pedir, dan lainnya berada di bawah
kekuasaan kerajaan Islam Aceh Darusslam yang sejak abad ke-16 M makin
mengalami perkembangan polotik, Ekonomi perdagangan, kebudayaan dan
keagamaan.

1.2 KERAJAAN ACEH DARUSSALAM


Berdasarkan sumber Cina, hikayat dari legenda, serta berita Portugis (Tome
Pires) telah ada kerajaan-kerajaan sebelum kesultanan Aceh darussalam berdiri.
Menurut berita Cina dari Chau Ju-Kua dan kitab Nagarakertagama karya Empu
Prapanca, Lambri atau Lamuri atau Ramni adalah sebuah kerajaan yang pada abad
XIII-XIV berada di bawah Sriwjijaya dan Majapahit . Seperti telah dikatakan di
atas bahwa kesultanan Aceh Darussalam di bawah kekuasaan Sultan Ali
Mughayat syah, yang namanya dalam berita Portugis disebut raja Brahim, berhasil
melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Pedir pada 1520, dan pada tahun itu juga
memasukkan kerajaan Daya kedalam kekuasaan Aceh Darussalam. Pada 1524,
pedir dan samudra pasai ditaklukan, kesultanan aceh di bawah Sultan Ali
Mughayat Syah menyerang kapal portugis dibawah komando Simao de Souza
Galvao di Banda Aceh. Pada 1529 kesultanan Aceh mengadakan persiapan untuk
menyerang orang portugis di malaka, tetapai tidak jadi karena sultan Ali
Mughayat Syah wafat pada 1530, yang kemudian dimakamkan di kandang XII
Banda Aceh (Moquette,1914 : 73 & 80). Diantara penggantinya yang terkenal
adalah Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Qahhar (m. 1538-1571). Usaha-usahanya
adalah mengembangkan kekuatan perang, perdagangan , dan mengadakan
hubungan internasional dengan kerajaan islam di timur tengah seperti
turki,Abessinia (Ethiopia), dan Mesir. Pada 1563 ia mengirimkan utusannya ke
constatinpel meminta bantuan dalam usaha melawan kekuasaan portugis. Dua
tahun kemudian datang bantuan dari turki berupa teknisi-teknisi, dan dengan
kekuatan tentaranya Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Qahhar menyerang dan
menaklukkan banyak kerajaan,seperti Batak, Aru, dan Barus. Untuk menjaga
keutuhan kesultanan Aceh, Sultan Alauuddin Riayat Syah al-Qahar menempatkan
suami saudara perempuannya di Barus dengan gelar Sultan Barus, dua orang putra
sultan diangkat menjadi sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan gelar resminya
Sultan Gharri dan Sultan Mughal dan di daerah-daerah pengaruh kesultanan Aceh
ditempatkan wakil-wakil dari aceh.
Pada tahun 1537,1547, dan 1568 Johar dan malaka diserang oleh pasukan
Aceh dan juga bantuan dari tentara turki dengan kekuatan yang besar dan
sejumlah meriam kecil maupun besar. Perluasan Politik kesultanan Aceh
diteruskan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah (1568-1588) yang merupakan
keturunan Sultan Pariaman lalu mengadakan penyerangan pada Malaka dan Perak
pada tahun 1573 dan 1575. Lalu ia mengadakan hubungan dengan Ratu
Kalinyamat dari Jepara . Pada tahun 1579 Aceh menyerang perak dan Sultan
Ahmad Gugur putranya m=bernama Mansyur dibawah ke Aceh dan di nikahkan
dengan putri Sultan Alauddin Riayat Syah. Mansyur menjadi sultan Aceh pada
1579-1586 M dengan gelar sultan Alauddin Mansyur syah.
Menurut buku Bustan as-Syalatin karya Nuruddin ar-Raniri (1636) sultan
Alauddin mansyur syah merupakan orang yang sangat baik dan jujur dan
mencintai para ulama. Sultan Alauddin Mansyur syah meninggal pada tahun 1585
lalu digantikan oleh Sultan Alauddin riayat Syah bin Munawar syah (1588) lalu
diganti oleh Sultan Alauddin riayat syah bin firmansyah (1589-1604) pada masa
ini orang-orang eropa terutama Inggris datang untuk memberi lada yang dipimpin
oleh James lancaster (1599 dan 1602) beserta orang belanda dibawah pimpinan
Cornelis de Houtman (30 juni 1599).
Sultan Alauddin Riayat Syah bin Firmansyah wafat pada tahun 1604 diganti
oleh sultan muda tahun 1607. Kesultanan aceh darussalam mengalami puncak
kejayaan pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Kemajuan ini
menarik perhatian Dennys Lombard. Sultan Iskandar Muda berhasil
menundukkan daerah-daerah disepanjang pesisir timur dan barat beserta Johor
disemenanjung malaya. Kedudukan portugis di Malaka mendapat ancaman dan
serangan meskipun Malaka mengalami keruntuhan sebagai pusat perdagangan
Asia yang disebabkan oleh VOC (1641). Kekuasaan VOC sampai Hindia Belanda
pada abad ke XX menjadi ancaman bagi kesultanan Aceh.
Hubungan-hubungan politik di negeri-negeri timur tengah semakin di
tingkatkan seperti hubungan dagang Mesir, Turki, Negeri-negeri di Semenanjung
Arabia, Afrika, Prancis, Inggris ,India ,Cina, dan Jepang. Menurut kitab adat aceh
Komoditas yang diimpor antara lain beras, guci, gula (sakar), Sakar lumat,
Anggur, Kurma, timah putih dan hitam, Besi, tekstil dar katun, kain batik Mori,
pinggan dan mangkuk, kipas, kertas, opium, air mawar, dan lain-lain. Komoditas
yang di ekspor dari aceh ada kayu cendana, saapan, gandarukem (resin), damar,
getah perca, obat-obatan dan parfum, Pasamala, kapur barus, bunga lawang, lada,
gading,lilin, tali sabut, sutra,porseln, pakaian, minyak, serta emas. Aceh
mengalami kemajuan sebelum kedatangan orang inggris dan belanda dan
mengalami perubahan setelah kedatangan dua pedagang bangsa barat itu.
Kesultanan Aceh darussalam saat masa itu memiliki sistem birokrasi dan
peraturan hukum dan dicantumkan dalam adat Makeuta alam atau Kanun Makeuta
alam. Pada tahun 1653 Buchari al-Jauhari menulis kitab teori politik islam dengan
Taj as-salatin (mahkota segala raja) Iskandar muda mendukung perkembangan
sufisme atau tasawuf pemikiran mistis filosofis yang diajarkan Hamzah al-Fansuri
dan Syamsuddin as-Sumattrani. Ajaran tasawuf dipengaruhi oleh pengaruh ajaran
Ibnu Arabi (Sufi dari andalusia, spanyol, 1165-1240) dan aljili 1365-1424. Setelah
sultan iskandar muda wafat pemerintahan diganti oleh Iskandar sani (1636-1641).
Ajaran Tasawuf Wujudiah terdesak oleh ajaran tasawuf Wahdah as-syuhud yang
diajarkan oleh Nuruddin ar-raniri (1636). Menurut Azyu Mardi Azra ajaran Ar-
Raniri merupakan ajaran Neosufisme yang menitikberatkan syariat islam yang
diikuti oleh ulama-ulama seperti Abdur Rauf as-singkili (1615-1693) dan
Muhammad Yusuf al-makassari. Sultan Iskandar Sani meninggal pada 15 februari
1641 lalu digantikan oleh jandanya putri dari Iskandar Muda dengan gelar Taj al-
Alam Syafi’ah ad-Din Syah (Safiatuddin Tajul Alam). Pada 23 oktober 1675
Safiatuddin meninggal dan digantikan oleh wanita yang bergelar Sri Sultanah Nur
Al Alam Naqi’ah ad-Din Syah (Naqiyatuddin nurul Alam).
Menurut Bustan As-syalatin masa pemerintahan Naqiyauddin masjid
baiturahman dan istana mengalami kebakaran. Hal ini dibenarkan oleh
pemberitaandalam daggregister (1677). Ia meninggal pada 22 januari 1678 an
digantikan oleh putri Muhammad Syah yang memakai Gelar Sultanah Inayad syah
zakkiah Ad dinsyah (3 okteber 1688). Kemudian digantikan oleh sultanah
Kamalat syah timbul ketidak senangan dari golongan menentang karena Aceh
kembali mengangkat wanita menjadi sultan Aceh akhirnya Ia diturunkan dari
takhta pada oktober 1699. Kemudian Kesultanan aceh diperintah oleh keturunan
orang arab dan bugis (1699-1735). Pada awal abad XVIII kerajaan tersebut mulai
mengalami kemunduran.
Pada awal abad XIX kesultanan aceh terus menurus mengalami ancaman dari
kolonialisme belanda. Pada tahun 1873-1904 terjadi perang aceh (perang sabil)
yang didorong motivasi keagamaan melawan kafir. Pada 5 april 1873 pasukan
belanda dibawah pimpinan major jenderal kohler mendarat di Aceh pada 14 april
1873 terjadi pertempuran pasukan aceh dengan belanda di masjid raya
Biturrahman, Kohler pun tewas. Masjid raya Baiturrahman jatuh ditangan belanda
.Serangan pertama belanda menaklukan aceh mengalami kegagalan pada 29 april
1873. pada 9 desember 1873 belanda kembali ke Aceh dan berhasil menguasai
istana sultan. Pada 11 januari 1874 Tentara belanda dibawah pimpinan Letnan
Jenderral J.Van Swieten, mengumumkan banda aceh telah dikuasai hindia belanda
meskipun begitu pasukan aceh tetap melakukan serangan terhadap militer
belanda. Pasukan Aceh dibawah pimpinan uleebalang, ulama anatara lain
panglima polem Habib Abdurrahman, Teuku Tjik Di tiro, dan Tengku Umar
beserta Tjoet Njak dien dikampung Tunga pasukan aceh berhasil menembak mati
pemimpin tentara belanda jenderal Pel (1878). Pada 1880 tentara belanda mundur
dan kembali lagi pada 1884.
Dengan alat politik barunya, atas nasihat ahli Belanda, Christiaan Snouck
Hurgounje (1857-19936), pemerintah Hindia Belanda mengubah politiknya
dengan cara memisahkan kesatuan kekuatan antara kaum bangsawan dan kaum
ulama Aceh. Dengan demikian, Belanda berhasil mendakan perpecahan di antara
pemimpin pasukan kesultanan Aceh. Satu persatu jatuh ke tangan militer Belanda,
seperti Tjik Di Tiro , Muhammad Syaman, dan Teuku Umar-walaupun kelak
kembali bergabung dengan panglima Polem, Teuku Usen, dan Lainnya.
Penyerangan tentara Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hazeu-yang
menggantikan kedudukan van Vliet sebagai guberneur Militer dan sipil pada pada
maret 1898 semakin mendesak pasukan Aceh yang berakhir dengan
tertangkapnya isteri Sultan dan anaknya pada 26 desember 1902, Panglima Polem
dengan Isteri pada 6 September 1903. Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya
menyerah serta menandatangani perjanjian perdamaian pada 10 januari 1903.
Perlawanan pasukan Aceh di daerah Meulaboh di bawah pimpinan Teuku Umar
terlebih dahulu lumpuh setelah ia sendiri wafat pada 11 Februari 1899, sedangkan
isterinya , Tjoet Njak Dien, ditangkap pada tahun 1905, yang kemudian
diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, pada Tahun 1906 (ibid : hal 249-251).

1.3 KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI RIAU


Kerajaan-kerajaan islam yang disebut-sebut dalam berita Tomi Pires ialah
Siak, Kampar, Indragiri, kini berada di daerah Riau. Sejak kapan kerajaan tersebut
bercorak Islam belum dapat dipastikan meskipun pedagan muslim dari Arab dan
negeri timur tengah sejak abad 7 atau 8 sudah memegang peranan pelayaran dan
perdagangan melalui selat Malaka. Kesultanan Kampar, Indragiri dan Siak, pada
abad 7 dan 14 masih dalam kekuasaan kerajaan Malayu dan Singasari-Majapahit,
maka yang mendekati kepastian kerajaan tumbuh menjadi kerajaan bercorak islam
pada abad ke-15 pengaruh Islam ke daerah-daerah itu mungkin akibat kesulatanan
Samudra Pasai dan Malaka. Berdasarkan berita Tomi Pires, Kesultanan Kampar,
Indragiri dan Siak senantiasa melakukan perdagangan dengan Malaka, bahkan
memberikan upeti pada kerajaan tersebut. Ketika kerajaan pesisir Sumatra Timur
itu dikuasai kesultanan Malaka pada masa kesultanan Mansyur Syah (w.1477).
bahkan pada masa pemerintahan putranya, Sultan Alaudin Riayad Syah (w.1488),
banyak pulau di selat Malaka-termasuk Lingga- Riau masuk kesultanan
kekuasaan Malaka. Tomi Pires menyebutkan barang-barang yang dihasilkan di
negeri-negeri itu. Siak menghasilkan padi, madu, lilin, rotan, bahan-bahan apotik,
dan banyak emas. Kampar menghasilkan barang dagangan emas, lilin, madu, biji-
bijian dan kayu gaharu. Indragiri menghasilkan perdagangan seperti di Kampar,
tetapi emas didalam Minangkabau. Siak menjadi daerah kekuasaan malaka sejak
penaklukan oleh Sultan Masur syah. Raja raja ditempatkan sebagai wakil
kemaharajaan melayu. Ketika sultan Mahmud Syah I (m. 1488-1511) berada di
bintan, di siak diangkat raja abdullah yang bergelar Sultan Kojha Ahmad syah.
Pada tahun 1596 yang menjadi raja di Siak adalah raja Hasan, puta Ali Jallah
Abdul Jalil, sedangkan saudara saudaranya raja Husain ditempatkan di Kelantan
dan Muhammad di Kampar.kesultanan Siak, Kampar dan Indragiri berada
dibawah pengaruh kekuakasaan politik dan ekonomi-perdagangan VOC sejak
VOC menguasai Malaka pada tahun 1461 (VOC berkuasa disini sampai abad
XVIII). Perjanjian 14 januari 1676 berisi bahwa hasil timah dijual kepada VOC
demikian pula dengan emas setelah ditemukan tambang emas di Petapahan,
Kesultanan Siak. Kerajaan tersebut terikat perjanjian monopoli perdagnagan
sehingga raja Siak, raja kecil, pada tahun 1723 mendirikan kerajaan baru di
Buantan-dekat Sabak Auh di Sungai Jantan yang kemudian disebut juga
kesultanan Siak. Raja kecil kemudian menjadi Sultan dengan gelar Sultan Abdul
Jalil Rahmad Syah dan selama pemerintahannya ia meluaskan daerah
kekuasaanya sambil melakukan perlawanan terhadap kekuasaan politik VOC.
Bahkan armadanya sering muncul di selat Malaka. Pada tahun 1750 Sultan Abdul
Jalil Rahmat Syah memindahkan ibukota kerajaan dari Buantan ke menpura yang
terletak di tepi Sungai Memra Besar. Kemudian nama Sungai Jantan berubah
menjadi Sungai Siak dan kerajannya disebut kesultanan Siak Sri indrapura.
Karena orang orang VOC yang kantor dagangnya ada di pulau Guntung di mulut
sungai Siak sering kali diganggu oleh lalu lintas kapal kesultanan Siak Sri
Indrapura, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah dengan pasukannya menyerang
benteng VOC pada tahun 1760.
Sultan Sayid Ali memerintahkan kesultanan Siak pada tahun 1791-1811, ia
seorang yang jujur dan banyak berjasa bagi rakyat. Sang sultan berhasil
memakmurkan kerajaan dan berhasil menguasai daerah daerah yang pada masa
Raja kecil melepaskan diri dari Kesultanan Siak. Sulatn Sayid Ali mengundurkan
diri sebagai Sultan Siak pada tahun 1811, dan kemudian digantikan putranya,
Tengku Ibrahim(Sayid Ibrahim). Di bawah pemerintahan Tengku Ibrahim inilah
kesultanan Siak mengalami Kemunduran sehingga banyak orang yang pindah ke
Bintan, Lingga Tambelan, Trengganu, dan Pontianak. Lagi pula, ada perjanjian
dengan VOC pada tahun 1822 di Bukit Batu yang isinya menekankan bahwa
kesultanan Siak tidak boleh mengadakan ikatan atau perjanjian denagn negara
lain, kecuali denagn Belanda. Denagn demikian, ruang gerak Kesultanan Siak Sri
Indrapura semakin sempit dan semakin banyak di pengaruhi politik penjajahan
Hindia Belanda.
Sebagaiamana telah disebutkan, kesultanan Kampar sejak abad XV berada
dibawah kesultanan Malaka. Ketika Kesultanan Kampar Diperintah Sultanan
Abdullah, sang sultan tidak mau menghadap Sultan Mahmud Syah I di Bintan
selaku pemegang kekuasaan Kemharajaan Melayu. Akibatnya, Sultan Mahmud
Syah I mengirimkan pasukanya ke Kampir. Sultan Abdullah meminta bantuan
Portugis, maka Kampar berada di bawah pembesar-pembesar kerajaan, antara lain
Mangkubumi Tun Perkasa yang mengirimkan utusan Kemaharajaan Melyu-yang
sedang dimpinpin Sultan Abdul Jalil Syah I memohon agar di Kampar
ditempatknan di raja. Pemohonan tersebut dikabulkan, lalu dikirimlah seorang
pembesar dari Kemaharajaan Melayu bernama Raja Abdurrahman yang bergelar
Maharaja Dinda I (m.1690-1630), dan berkedudukan di Pekantua. Hubungan
anatara Kesultanan Kampar di bawah pemerintahan Maharaja Lele Utama (m.
1630-1650), pengganti Maharaja Dinda I, dan Siak serta Kuatan diikat dengan
hubungan dagang . pada masa pemerintahanya. Maharaja Dinda II (m. 1720-
1750) memindahkan ibukota Kesultanan Kamparke pelalawan pada tahun 1725,
kemudian mengganti kesultanan Kampar menjadi Kesultnana Pelalawan.
Akhirnya, kerajaan tersebut tunduk kepada Kesultanan Siak, dan mulai 4 februari
1879 Kampar-berdasarkan perjanian pengakuan kekuasaan-berada di bawah
pemerintahan Hindia Belanda.
Sebelum tahun 1641, kesultanan Indragiri-yang berada di bawah
Kemaharajaan Melayu berhubungan erat dengan orang portugis, namun setelah
Malaka diduduki VOC, kerajaan tersebut mulai berhubungan dengan VOC yang
mendirikan kantor dagangnya di Indragiri berdasarkan perjanjain 28 Oktober
1664. Pada masa pemerintahan sultan Indragiri XVII, sultan Hasan Salahudin
Kramat Syah (m. 1735-1765), undang-undang Indragiri disusun yang dasar-
dasarnya telah dibuat Sultan Indragiri pertama, Sultan Abdul Jalil Syah (m. 1687 -
1700). Pada tahun 1765 Sultan Ibrahim memindahkan ibukota kerajaan dari
Rengat ke Japura, tetapi Sultan Ibrahim (m. 1784-1815) memindahkanya lagi
pada 5 januari 1815 ke Rengat. Sultan Ibrahim inilah yang ikut serta berperang
dengan raja haji-dan kesultanan Johor untuk merebut Kota Malaka dari tangan
Belanda di Teluk Ketapang pada tahun 1784. Kemudian berdasarkan traktaat van
Vrede en Vriendschap 27 september 1838, kekuasaan politik kerajaan in sama
sekali hilang, pindah ke tangan pemerintah Hindia Belanda, yang berarti jalanya
pemerintah kesultanan Indragiri ditentukan pemerintah Hindia Belanda.

1.4 KERAJAAN ISLAM DI JAMBI


Letak geografis Jambi dengan DAS Batanghari dengan sungai-sungai lainnya
memberikan kemudahan untuk kegiatan perdagangan baik lokal regional, maupun
internasional. Hubungan pelayaran dan perdagangannya dengan tempat-tempat di
pesisirtimur yaitu di selat malaka ditanda memuncul kontak dengan pelayaran dan
perdagangan yang bersifat internasional sejak abad-abad pertama Masehi. Dengan
adanya kegiatan pedagang Muslim dalam prlayaran dan perdagangan
internasional sejak abad ke-7 dan ke-8 M, kemungkinan mereka sudah dapat
berhubungan satu dengan lainnya. Meskipun demikian, berita cina, kitab Pei-hu-
lu tahun 875 M menyebutkan nama Chan-pei yang didatangi oleh pedagang
Po’sse(pedagang Persia) untuk mengumpulkan barang dagangan berupa buah-
buah pinang (areca nuts), yang Bahasa Sunda disebut jambe (mungkin sekali
sebagai sebutan jambi). Oleh karena pedagang Po’sse adalah pedagang Persi yang
tentunya sudah Islam sehingga mungkin pedagang muslim dari Persi atau Iran
sudah sampai ke Jambi. Berita Cina tersebut mungkin dapat diperkuat data
arkeologi berupa temuan pecahan kaca berwarna gelap dan hijau muda dari Muara
Saba, dan juga dari Muara Jambiberupa pecahan kaca berwarna biru tua dan biru
muda, hijau, kuning, dan merah tua serta sejumlah permata yang diperkirakan dari
abad ke-10 -13 M dari Timur Tenga, yaitu Arab dan Persi(Iran). Demikian pula
temuan pecahan kaca dari dan Wonorejo (kabuoaten Tanjung Jabung) yang
diperkirakan dari masa yang sama. Berdasarkan temuan-temuan arkeologi tersebut
yang kemungkinan kehadiran Islam di daerah Jambi itu sejak abad ke-9 dan ke -
10—13 M. jika sejak itu sudah ada Islamisasi, mungkin masih terbatass pada
perseorangan. Karena islamisasi besar-besaran bersamaan dengan tumbuh dan
berkembangnya kerajaan Islam Jambi sekitar 1500 M dibawah pemerintahan
Orang Kayo Hitam yang juga meluaskan yang juga meluaskan “Bangsa XII” anak
Datuk Paduka Berhala. Konon, menurut Undang-undang Jambi Datuk Paduka
Berhala adalah seorang dari Turki yang terdampar di Pulau Berhala yang
kemudian namanya juga disebut juga Ahmad Salim yang menikah dengan Putri
Salaro Pinang Masak yang sudah muslim, turunan Raja-raja Pagarruyun yag
kemudian melahirkan Orang Kayo Hitam, Sultan Kerajaan Jambi yang orang
tuanya sekitar tahun 1460 M atau pertengahan abad ke-15 M.

Menurut Sila-sila Keturunan Raja Jambi, pernikahan antara Datuk Paduka


Berhaka dengan Putri Pinang Masak, kecuali Orang Kayo Hitam, juga melahirkan
tiga orang saudaranya, yaitu Orang Kayo Pingai , Orang Kayo
Pedataran/Kedataran, dan Orang Kayo Gemuk(seorang putri). Yang menjadi
pengganti Datuk Paduka Berhala adalah Orang Kayo Hitam yang beristri salah
seorang putri dari saudara dari ibunya, yaitu Putri Rambut Panjang. Pengganti
Orang Kayo Hitam adalah Panembahan Hang di Aer yang setelah wafat
dimakamkan di Rantau Kapas sehingga terkenal pula dengan Panembah Rantau
Kapas. Tahun-tahun pemerintahan raja-raja Jambi yang tidak dicantum kan dalam
Sila-sila Keturunan Raja Jambi, oleh J. Tideman berdasarkan catatan dari M. M.
Menes, dicoba disusun. Masa pemerintahan Datuk Paduka Berhala beserta Putri
Pinang Masak sekitar tahun 1460 M, sedangkan masa pemerintahan Orang Kayo
Hitam sendiri sekitar 1500 M, Panemba Rantau Kapas antara 1500-1540 M,
Panembah Bawah Sawoh cicit Orang Kayo Hitam sekitar tahun 1540 M. Setelah
Panembah Bawah Sawoh meninggal digantikan oleh Panembah Kota Baru sekitar
tahun 1590 M dan kemudian digantikan lagi oleh Pangeran Keda yang bergelar
Sultan Abdu Khar tahun 1615 M. Sejak masa pemerintahan kerajaan islam Jambi
di bawah Sultan Abdul Khar itulah mulai kedatangan VOC untuk hubungan
perdagangan, pembelian hasil-hasil Kerajaan Jambi terutama lada. Dengan izin
Sultan Jambi tahun 1616 M, Kompeni Belanda (VOC) mendirikan lojinya di
Muara Kompeh. Akan tetapi, beberaoa tahun kemudian, tahun 1636, loji itu
ditanggalkan karena rakyat Jambi tidak mau menjual hali-hasi buminya antara lain
lada ke VOC. Sejak itu, hubungan Kerajaan Jambi dengan VOC makin renggang
dan tahun 1642 VOC masa pemerintahan Gubernur Jenderal Antonio van Diemn
menuduh Jambi bekerja sama dengan Mataram. Kompeni Belanda jelas sudah
mulai campur tangan urusan Kerajaan Jambi. Dengan menyodorkan suatu
perjanjian tahun 1643 yang hakikatnya memaksakan monopoli perdagangan,
tetapi ditolak, akhirnya Sultan Abdul Kahar berhenti dan digantikan oleh Sultan
Abdul Jalil yang dapat mengikuti kehendak VOC.

Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalogo (1665-1690) terjadi peperangan


antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Johor di mana Kerajaan Jambi mendapat
bantuan dari VOC dan akhirnya menang. Meskipun begitu, sebagai upah bantuan
itu VOC berturut-turut menyodorkan perjanjian tanggal 12 Juli 1681, 20 Agustus
1681, 11 Agustus 1683,, 20 Agustus 1683 yang pada hakikatnya perjanjian-
perjanjian tersebut menguatkan monopoli pembelian lada dan sebaliknya VOC
memaksa penjuaan kain dan opium. Setelah penyerangan kantor dagang VOC
oleh rakyat Jambi, dan terbunuhnya kepala dagang VOC, Sybrandt Swart tahun
1690 yang dituduh Sultan Jambi terlibat, maka Sultan Ingalngo ditangkap dan
diasingkan =. Mula-mula ke Batavia dan kemudian di pulau Banda. Sultan
penggantinya adalah Pangeran Cakraningrat yang bergelar Sultan Kyai Gede.
Dengan demikian, Sultan Ratu yang lebih berhak disingkirkan dan ia dengan
sejumlah pengikutnya pindah Muaratebo, membawa keris pusaka Sigenjei, keris
lambang bagi raja-raja Jambi yang mempunyai hak atas kerajaan. Sejak itulah
terus menerus terjadi konflik yang memuncak dengan pemberontakan dan
perlawanan terhadap Sultan Taha Saifuddin yang dipusatkan terutama di daerah
Batahari Hulu. Di daerah inilah, pada pertempuran yang sengit, Sultan Taha gugur
tanggal 1 April 1904 dan dimakamkan di Muaratebo.

1.5 KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA SELATAN


Berita dari I-Tsing seorang musafir Cina dan agamawan Budha dalam
perjalanannya ke India menceritakan tentang kehdiran kapal-kapal para pedagang
muslim dari Arab (Ta-shih) dan Persi (Posse) di Pelabuhan Bhoga (Palembang).
Berita ini diperkuat dengan adanya berita-berita Arab dan bahkan pada masa itu
ada dua surat dari Maharaja Sriwijaya kepada dua khalifah di Timur Tengah, yaitu
yang ditujukan kepada Khalifah Umar ibn. Abd Al-‘Aziz (99-102 H/717-20 M).
Raden Patah menurut tradisi historis adalah anak raja Majapahit, Brawijaya
dengan Putri Cina.Karena itulah setidaknya Palembang pada akhir abad ke-16
sudah merupakan enclave Islam terpenting atau bahkan pusat Islam di bagian
Selatan Pulau Emas. Sejak kerajaan Sriwijaya mulai mengalami kelemahan,
runtuh sekitar abad XIV, mulailah proses islamisasi sehingga pada akhirabad XV
muncul komunitas muslim di Palembang.Bukan saja karena reputasnya sebagai
pusat perdagangan yang banyak dikunjungi pedagang Arab/Islam pada abad-abad
kejayaan Sriwijaya, melainkan juga dibantu oleh kebesaran Malaka yang tidak
pernah melepaskan keterlibatannya dengan Palembang sebagai tanah asalnya.
Bagaimanapun Palembang sekitar awal abad ke 16 M sudah ada di bawah
pengaruhkekuasaan kerajaan Demak masa pemerintahan Pate Rodim seperti
diberitakan Tome Pires (1512-1515) bahkan waktu itu penduduk Palembang lebih
kurang 10.000 orang, tetapi banyak yang mati dalam serangan membantu Demak
terhadap Portugis di Malaka. Meskipun kedudukan Palembang sebagai pusat
penguasa muslim mungkin sudah sejak 1550 M, nama tokoh yang tercatat
menjadi Sultan pertama kesultanan Palembang adalah Susushunan Sultan
Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayidil Iman/Pangeran Kosumo
Abdurrahim/KyaiMas Endi Sejak tahun 1659-1706. Palembang berturut-turut
diperintah oleh sebelas sultan sejak 1706, dan sultannya yang terakhir ialah
Pangeran Kromojoyo/Raden Abdul Azim Purbolinggo (1823lsm sejarah -1825).
Dalam sejarah Banten, Palembang tahun 1596 pernah diserang oleh
Kesultanan Banten di bawah pimpinan Maulana Muhammad, yang kemudian
gugur dan karenanya digelari Pangeran Seda ing Palembang atau Panggeran Seda
ing Rana. Penyerangan Banten ke Palembang bukan disebabkan masalah agama,
melainkan ekonomi untuk menambah penghasilan lada, komoditas ekspor dari
Kesultanan Banten.
Kontak pertama Kesultanan Palembang dengan VOC ialah pada tahun 1610.
Pada tahun 1658 wakil dagang VOC, Ockersz beserta pasukannya dibunuh dan
dua buah kapalnya yaitu Wachter dan Jacatra tanggal 4 November 1659 terjadii
peperangan antara Kesultanan Palembang dengan VOC di bawah pimpinan
Laksaman Joan van der Laen. Keratin dibakar, demikian pula Kuta dan
pemukiman pendududk Cina, Portugis, Arab dan bangsa-bangsa lainnya yang
berada di seberang Kuta. Akhirnya kota Palembang dapat direbut kembali oleh
pasukan Palembang. Pembangunan kemudian dilakukan , kecuali masjid agumg
yang hingga kini masih dapat dissksikan, meskipun sudah ada beberapa
perubahan sejak dibangun 28 Jumadilawal 1151 H/26 Mei 1748 M, pada masa
pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758). Pada masa
pemerintahan putranya, yaitu Sultan Ahmad Najamuddin (1758-1774/1776), siar
agama Islam semakin pesat.
Pada Juli 1819 Kesultanan Palembang diserang oleh pasukan Hindia –
Bellanda, dikenal dengan nama Perang Menteng (diambil dari katamuntinghe ).
Serangn besar-besaran oleh pasukan Belanda dengan armada yang dipimpin J.C.
Wolterboek itu dapat dipukul mundur oleh prajuri-prajurik Kesultanan Palembang
pada Oktober 1819. Pada tahun Juni 1821 pihak Belanda mencoba lagi melakukan
penyerangan dengan banyak armada di bawah pimpinan Jenderal de Kock. Sultan
Mahmud Badaruddin II pun ditangkap, kemudian di buang ke Ternate. Kesultanan
Palembang sejak 7 Oktober 1823 dihapuskan dan langsung berada di bawah
pemerintahan Hindia-Belanda dengan menempatkan Residen Jon Cornelis
Reijnst. Sang residen tidak diterima oleh Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom,
ia pun memberontak. Akhirnya, ia ditangkap kemudian di asingkan ke Banda, lalu
ke Manado.

1.6 KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA BARAT


Islam di Daerah Lampung tidak dibicarakan karena daerah ini sudah sejak
awal masuk kekuasaan Kesultanan Banten. Oleh karena itu, yang akan
dibicarakan pada bagian ini adalah kerajaan Islam di Sumatera Barat. Bila Islam
masuk dan berkembang di daerah Sumatera Barat masih sukar dipastikan.
Berdasarkan berita Cina dari Dinasti Tang. Sekitar abad VII (674) ada kelompok
orang arab (Ta’shih) dan menurut W.P. Goeneveldt-perkampungan mereka ada di
pesisisr Barat Sumatera. Anehnya, berita pemukiman orang-orang Arab di sana
pada abad-abad berikutnya sama sekali tidak aada sehingga masih memerlukan
pembuktian, baik data historis maupun arkeologis.
Selain pendapat itu, ada juga yang berpendapat bahwa islam datang dan
berkembang di Sumatera Barat pada sekitar akhir abad XIV-XV dan memperoleh
pengaruhnya di kerajaan besar Minangkabau. Bahwa Islam sudah datang ke
daerah Minangkabau pada sekitar abad XV mungkin dapat dihubungkan dengan
cerita yang terdapat dalam naskah kuno dari Kerinci semasa dengan putri Unduk
Pinang Masak, Dayang Branai, dan Parpatih Nna Sabatang , semuanya berada di
daerah Kerinci.
Tome Pires juga mencatat keberadaan tempat-tempat seperti Pariaman, Tiku,
bahkan Barus. Di daerah Minangkabau ada tiga raja yang ia ragukan apakah salah
seorang sudah beragama Islam atau yang kedua lainya masih belum memeluk
Islam. Pelabuhan Pariaman, Tiku, dan Barus dikatakan Pires sebagai kunci untuk
ketanah Minangkabau. Dari ketiga tempat in emas, sutra, damar, lilin, madu,
kapur barus dan lainya diperdagangkan. Setiap tahun tempat-tempat tersebut
didatangi Gujarat-dua atau tiga kapal yang membawa barang daganganya, antara
lain pakaian.
Pada masa Iskandar Muda, Pariaman merupakan salah satu daerah yang
berada dibawah pengaruh Kesultanan Aceh, demikian pula hingga penggantinya.
Pada abad XVII ada ulama’ terkenal di Ulukan, Sumatera Barat-salah seorang
murid Abdur Rauf as Singkili- yang bernama Syekh Burhanudin (1646-1692). Ia
mendirikan dan tak syak lagi Ulukan merupakan pusat keilmuawan Islam di
Minangkabau. syattariayah-didiririkan oleh abdullah asy-Syattar-yang diajarannya
terbesar didaerah Minangkabau.
Sejak awal abad XVI samapai awal abad XIX diaderah Minagkabau
senantiasa terdapat kedamaian, sama-sama saling menghargai antara kaum adat
dan kaum agama, antara hukum adat dan syariat Islam sebagaimana tercetus
dalam pepatah Adat basandi syarak basandii kitabullah. Sejak awal abad XIX
timbul pembaharuan Islam didaerah Sumatera Barat ynag dipengaruhi paham
wahabi, kemudian terjadi Perang Padri antara golongan adat dan golngan agama.
Wilayah Minagkabau mempunyai mempunyai seorang raja yang berkedudukan di
Pagaruyung. Raja tetap dihormati sebagai lambang negara, tetapi kebiasaan
buruk: main judi, menyabung ayam, dan minum madat. Para pembesar tidak dapat
mencegah bahkan diantaranya turut serta kemudian kaum ulama’nya, yang
bernama padri berkeinginana mengadakan perbaikan dengan mengembalikan
kehidupan yang dapat menjaga kemurnian Islam. Tuanku Koto Tua mengajar
kemurnian Islam dari Al-qur’an dan Hadist.
Pada tahun 1803 tiga ornga haji kembali dari Makkah, yaitu haji miskin, haji
Sumanik dan Hjai Piobang. Ketika haji miskin melarang melarang penyabungan
ayam dikampungnya, kaum adatpun melawan sehingga haji Miskin dikejar-kejar,
ia akhirnya ke Kota Lawas dan bertemu dengan beberapa tokoh ulama’ yang
akhirnya membentuk kelompok padri. Tujuan utamanya yaitu menegakkan Syara’
dan membasmi kemaksiatan. para ulama’ padri yaitu Tuanku Nan Renceh,
Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aer, Tuanku Padang Lawas,
Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Amelan dan tuanku Kubu Senang, disebut
harimau nan Salapan.
Perjuangan Kaum Padri lebih kuat karena kaum adat dibantu oleh Belanda
untuk keuntungan politik dan ekonominya sehingga kaum Padri melawan dua
kelompok yaitu kelompk adat dan kelompk Belanda. Pada tahun 1665 sampai
tahun 17540 terjadi tidak kurang dari dua puluh kali pemberontakan. Oleh karena
itupun mendapat julukan “Kota Pahlawan”.
Perang Padri terjadi atas tiga periode, yaitu periode pertama (1821-1825),
ditandai dengan meluasnya perlawanan Padri keseluruh daerah Minagkabau,
periode kedua (1825-1830) ditandai dengan meredanya pertempuran karena
Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan Gerakan Padri yang melemah.
Periode ketiga (1830-1838) ditandaii dengan perang Padri yang meningkat dan
penyerbuan Belanda secar besar-besaran, diakhiri dengan tertangapnya pemimpin-
pemimpin Padri, terutama Tuanku Imam Bonjol dalam pertempuran Banteng
Bonjol pada 25 Oktober 1837. Dengan demikian pemerintahan Belanda berhasil
mengukuhkan kekuasaan politik dan ekonominya pada tahun 1838 di daerah
Sumatera Barat. Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur lalu pada
19 januari 1839 dipindah ke Ambon, dipindahkan lagi ke Manado (1841) dan
wafat disana pada 6 November 1864.
DAFTAR PUSTAKA

Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional indonesia III. Jakarta


: PT (Persero) Penerbitan dan Percetakan
Daud Aris Tanudirjo, dkk.2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah. Jakarta : PT.
Ichtiar Baru van Hoeve

Vous aimerez peut-être aussi