Vous êtes sur la page 1sur 48

1

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hampir semua kematian ibu (99%) terjadi di negara berkembang,
komplikasi utama yang menyumbang 80% dari seluruh kematian ibu adalah
perdarahan hebat setelah melahirkan, infeksi, preekampsia dan eklampsia.
Dan salah satu komplikasi persalinan yang ada di Indonesia adalah
preeklamsia berat (PEB). PEB ditandai dengan tekanan darah 160/110 mmHg
atau lebih, proteiunuria 2+, terjadinya kejang (eklampsia), gangguan
penglihatan, nyeri abdomen atas, terjadi trombositopenia, hemolisis,
pertumbuhan janin terhambat, edema paru, dan oliguria. Proteinuria dan
hipertensi adalah manifestasi klinis yang dominan pada preeklampsia karena
ginjal menjadi target penyakit pada beberapa organ seperti kegagalan ginjal,
kerusakan pada organ hati, dan terjadinya perdarahan intracranial.
Sedangkan kejang pada pasien PEB meningkatkan angka kematian ibu dan
kematian janin dikarenakan terjadinya kolaps sirkulasi. Keterlibatan hepar
pada preeklampsia-eklampsia adalah hal yang serius dan disertai dengan
keterlibatan organ lain terutama ginjal dan otak, bersama dengan hemolisis
dan trombositopenia. Keadaan ini yang disebut sindrom Hemolisis Elevated
Liver Enzymes Low Platelet (HELLP) (Cunningham, 2012).
Di Indonesia mempunyai angka kejadiaan PEB sekitar 7-10% dari
seluruh kehamilan. Jumlah komplikasi kehamilan Provinsi Jawa Tengah
tahun 2012 dan presklamsia merupakan komplikasi kehamilan di dapatkan
data sebanyak 126.806 (20% dari jumlah ibu hamil). Cakupan komplikasi
kehamilan yang di tangani tahun 2012 sebesar 90,81% (Profil Kes.Prov
Jateng, 2012).
Preeklampsia berakibat fatal jika tidak segera mendapatkan tindakan,
merusak plasenta sehingga menyebabkan bayi lahir dalam keadaan tidak
bernyawa, atau lahir prematur, penyakit ini juga membahayakan ginjal ibu
hamil. Pada beberapa kasus, bisa menyebabkan ibu hamil mengalami koma
bahkan sampai kematian. Untuk mencegah hal tersebut jalan terbaik adalah
2

dilakukannya tindakan Sectio Caesarea (SC). Namun tidak semua Ibu yang
mengalami preeklamsi berat (PEB) atau eklampsia (preeklampsia yang
disertai kejang) harus di lakukan tindakan SC. Tindakan SC untuk perbaikan
keadaan ibu dan mencegah kematian janin dalam uterus. (Indiarti, 2009).
SC pada umumnya dilakukan ketika proses persalinan normal tidak
memungkinkan dilakukan karena alasan indikasi medis maupun non medis,
SC merupakan tindakan yang beresiko, dampak yang ditimbulkan antara lain
berupa perdarahan, infeksi, anastesi dan lainnya (Reeder, 2011) Beberapa
penyulit persalinan yang mungkin muncul dan perlu dilakukan SC diantara
indikasi untuk dilakukan tindakan SC yaitu malpresentasi janin yaitu letak
bokong, letak lintang, presentasi rangkap, presentasi muka dan dahi, dan
gemelli/bayi kembar, plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul sempit,
disproporsi sefalopelvik, partus lama, partus tak maju, dan
eklamsia/preeklamsia (Rustam, 2012).
Tahun 2013 menunjukkan kelahiran dengan metode SC sebesar 9,8
persen dari total 49.603 kelahiran sepanjang tahun 2010 sampai dengan 2013,
dengan proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan terendah di Sulawesi
Tenggara (3,3%), dan proporsi SC di provinsi Jawa Tengah sebesar (9,9%)
(Riskesdas, 2013). Angka kejadian pasien dilakukan SC karena pre eklmpsia
berat sebanyak 21% (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2013).
Ibu yang mengalami bedah SC akibat PEB harus segera diberikan
perawatan post SC berupa pengawasan, monitor, dan pengontrolan terhadap
tekanan darah dimana apabila tekanan darah pasien tinggi dapat
menyebabkan terjadinya kejang. Pencegahan terjadinya kejang yaitu dengan
cara pemberian magnesium sulfat melalui intravena. Penatalaksanaan cairan
dalam pemberian cairan harus dilakukan pembatasan untuk mengurangi
resiko kelebihan cairan (Robson, 2012).
Peran perawat sebagai pelaksana keperawatan memiliki kemampuan
yang memadai dalam perawatan post SC dengan PEB diantaranya
kemampuan untuk membantu perawatan menurunkan tekanan darah,
membantu Activity Daily Living (ADL) pasien, perawatan yang dilakukan
dalam keperawatan maternitas pada pasien post SC PEB seperti perawatan
3

luka, perawatan payudara, perawatan fungsi kandung kemih dan perawatan


perineum, memberi pertolongan mental serta pendidikan pada pasien dan
keluarga tentang nutrisi ibu post SC PEB (Manuaba, 2009).
Melihat berbagai fakta yang ada bahwa tingginya kasus PEB di
Indonesia penulis tertarik untuk menjadikan kasus PEB pada ibu hamil untuk
dijadikan karya tulis ilmiah. sehingga dalam penyusunannya karya tulis
ilmiah ini penulis mengambil judul “Asuhan Keperawatan dengan Post Sectio
Caesarea Indikasi Preeklamsia Berat (PEB) RSUD Banyumas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam laporan
kasus ini adalah “ bagaimana Asuhan Keperawatan dengan Post Sectio
Caesarea Indikasi Preeklamsia Berat (PEB) RSUD Banyumas”.
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran asuhan keperawatan dengan Post Sectio
Caesarea Indikasi Preeklamsia Berat (PEB) RSUD Banyumas.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan
penulis mampu:
a. Mampu melakukan pengkajian dengan Post Sectio Caesarea Indikasi
Preeklamsia (PEB) RSUD Banyumas.
b. Mampu menganalisa data yang telah diperoleh dari hasil pengkajian
keperawatan dengan Post Sectio Caesarea Indikasi Preeklamsia
Berat (PEB) RSUD Banyumas.
c. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan dengan Post Sectio
Caesarea Indikasi Preeklamsia Berat (PEB) RSUD Banyumas.
d. Mampu melakukan rencana tindakan keperawatan dengan Post
Sectio Caesarea Indikasi Preeklamsia Berat (PEB) RSUD
Banyumas.
e. Mampu melakukan evaluasi dengan Post Sectio Caesarea Indikasi
Preeklamsia Berat (PEB) RSUD Banyumas.
f. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan dengan Post
Sectio Caesarea Indikasi Preeklamsia Berat (PEB) RSUD
Banyumas.
4

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Rumah Sakit
Hasil study kasus ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi
dan tambahan pengetahuan referensi khususnya tentang Asuhan
keperawatan tentang pemilihan alat kontrasepsi, nutrisi, dan pengobatan
yang sesuai dengan masalah Post Sectio Caesarea Indikasi Preeklamsia
Berat (PEB).
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai referensi dan acuan proses keperawatan dengan
Asuhan keperawatan tentang pemilihan alat kontrasepsi, nutrisi, dan
pengobatan yang sesuai dengan masalah Post Seksio Sesarea Indikasi Pre-
eklamsia Berat (PEB). dengan Post Sectio Caesarea Indikasi Preeklamsia
Berat (PEB).
3. Bagi Mahasiswa
Menambah pengetahuan tentang proses keperawatan tentang
Asuhan keperawatan dengan tentang pemilihan alat kontrasepsi, nutrisi,
dan pengobatan yang sesuai dengan masalah Post Sectio Caesarea Indikasi
Preeklamsia Berat (PEB).

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan proposal yang digunakan dalam pembuatan makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Bab I.Pendahuluan
Bab ini membahas tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, sistematika penulisan
2. Bab II. Tinjauan teori
Berisi tentang post SC PEB yang meliputi definisi, etiologi,
manifestasi klinis, fisiologisways dan pathway, penalaksanaan medis,
dan penatalaksanaan keperawatan berupa pengkajian, dan fokus
intervensi
3. Bab III. Metodologi Penulisan KTI
5

Berisi rancangan KTI, metode pengambilan data, tempat dan


waktu, kriteria pasien, etika pengambilan kasus

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Teori
1. Pengertian
a. Sectio Caesarea
Sectio Caesarea di definisikan sebagai lahirnya janin melalui insisi
pada dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (Sumelung,
2014). Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan
membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan abdomen
(Sofian, 2011). Sectio Caesarea adalah suatu persalinan buatan,
dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan
6

dinding syaraf rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500
gram (Winkjosastro, 2010)
b. Post Partum
Postpartum adalah masa dimulai beberapa jam sesudah lahirnya
plasenta sampai 6 minggu setelah melahirkan (Nugroho, 2014).
Postpartum adalah dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir
ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil
yang berlangsung kira-kira selam 6 minggu (Wilis, 2014). Postpartum
adalah 1 jam setelah plasenta lahir hingga 6 minggu (42 hari)
setelahnya, masa ini juga dikenal sebagai masa involusi dimana
system reproduksi perempuan setelah melahirkan akan kembali ke
kondisi seperti sebelum hamil (Tanto, 2014).
c. Pre-eklamsia
Preeklampsia berat adalah hipertensi yang terjadi pada ibu hamil
dengan usia kehamilan 20 minggu atau setelah persalinan di tandai
dengan meningkatnya tekanan darah menjadi ≥ 140/90 mmHg dan di
sertai dengan kadar proteinuria 300 mg protein dalam urin selama 24
jam (Lombo, 2017). Preeklampsia berat adalah kumpulan gejala yang
timbul pada ibu hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel,
yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah, edema, dan
proteinuria (Aprina, 2016). Preeklampsia berat adalah suatu
komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya PEB 160/110
mmHg atau lebih disertai proteinuria, dan edema pada kehamilan 20
minggu atau lebih (Cunningham, 2012).
Jadi masa nifas dengan post SC PEB adalah masa setelah seorang
ibu melahirkan bayi beserta plasenta dengan cara melalui insisi di
dinding abdomen dan dinding uterus (SC) akibat adanya komplikasi
kehamilan berupa preeklamsia berat yang ditandai dengan adanya
peningkatan tekanan darah, edema, dan proteinuria.
2. Klasifikasi
Berikut 2 klasifikasi Pre-eklamsia
a. Preeklampsia ringan menurut Wijayarini (2011) bila disertai keadaan
sebagai berikut:
7

1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi
berbaring telentang, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih;
atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara pengukuran
sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak
periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
2) Tidak adanya edema, sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri
epigastrium, oliguria.
3) Menurunnya gerakan janin.
4) Proteinuria kwantitatif 0,3 gr atau lebih per liter, kwalitatif 1 +
atau 2 + pada kateter atau midstream.
b. Preeklampsia berat menurur Cuningham (2012):
1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau meningkat >20mmHg.
2) Proteinuia 5 gr atau lebih per liter.
3) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam.
4) Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri pada
epigastrium.
5) Terdapatnya edema paru dan sianosa.
6) Sindrom HELLP.
7) Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat
8) Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurunan
trombosit dengan cepat.
9) Kenaikan kadar kreatinin plasma.
10) Edema paru dan sianosis.
11) Hemolisis mikroangiopatik.
3. Etiologi
a. Preeklamsia
Penyebab preeklamsia dalam kehamilan hingga kini belum
diketahui dengan jelas, banyak teori yang dikemukakan tentang
terjadinya hipertensi pada kehamilan. Teori-teori yang sekarang banyak
dianut menurut Prawirohardjo (2010) adalah:
1) Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadinya invasi sel-sel
trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks
sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan
keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan
mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis
relatife mengalami vasokontriksi dan terjadi kegagalan
“remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah ke
8

uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemi


plasenta. Diameter
2) Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada
hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri
spiralis”, dengan akibat plasenta mengalami iskemia , plasenta
yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan
oksidan ( disebut juga radikal bebas).

3) Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin


Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak
adanya “hasil konsepsi” karena adanya HLA-G yang berperan
penting dalam modulasi respon imun, sehingga ibu tidak
menolak hasil konsepsi (janin). Tapi pada plasenta hipertensi
dalam kehamilan, terjadi penurunan akspresi HLA-G, sehingga
menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas
sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak dan gembur
sehingga memudahkan terjadinya dilates arteri spiralis. HLA-G
juga merangsang produksi stikoin sehingga mempermudah
terjadinya reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi immune-
maladaption pada pre-eklamsia.
4) Teori adaptasi kardiovaskularori
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya reftakter
terhadap bahan vasokontriksi dan ternyata menjadi peningkatan
kepekaan terhadap bahan-bahan vasokonpresor.
5) Teori genetik
Adanya paktor keurunan dan familial dalam gen tunggal.
Terbuksti bahwa ibu yang engalami pre-eklamsia 26% anak
perempuannya akan mengalami pre-eklamsia pula.
6) Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan gizi
kan berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
7) Teori inflamasi
9

Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofblas


didalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya
inflamasi .
Ada beberapa faktor resiko terjadinya pre-eklamsia berat pada
kehamilan menurut Indriani (2012), Roberts (2011), Djannah (2010)
yaitu sebagai berikut :

1) Usia
Usia merupakan bagian dari status reproduksi yang penting. Umur
berkaitan dengan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh
sehingga mempengaruhi status kesehatan seseorang. Salah satu
penelitian menyatakan bahwa wanita usia remaja yang hamil untuk
pertama kali dan wanita yang hamil pada usia 30 – 35 tahun
mempunyai resiko yang sangat tinggi untuk mengalami
preeklampsia. Pada usia 30 – 35 tahun atau lebih akan terjadi
perubahan pada jaringan dan alat reproduksi serta jalan lahir tidak
lentur lagi. Pada usia tersebut cenderung didapatkan penyakit lain
dalam tubuh ibu, salah satunya hipertensi. Usia ibu yang terlalu tua
saat hamil mengakibatkan gangguan fungsi organ karena proses
degenerasi. Proses degenerasi organ reproduksi akan berdampak
langsung pada kondisi ibu saat menjalani proses kehamilan dan
persalinan yang salah satunya adalah preeklampsia.
2) Status gizi (IMT)
Status gizi (IMT) menunjukkan indeks masa tubuh (IMT) kategori
obesitas lebih dominan yang menunjukkan bahwa resiko
preeklampsia terjadi 3 kali lipat lebih besar pada wanita dengan
obesitas. Salah satu penelitian menyatakan kegemukan disamping
menyebabkan kolestrol tinggi dalam darah juga menyebabkan kerja
jantung lebih berat, oleh karena jumlah darah yang berada dalam
tubuh sekitar 15% dari berat badan, semakin gemuk seseorang
makin banyak pula jumlah darah yang terdapat di dalam tubuh
yang berarti makin berat pula fungsi pemompaan jantung. Sehingga
hal ini dapat memicu terjadinya preeklampsia.
10

3) Pekerjaan
Pekerjaan ibu rumah tangga lebih dominan. Karena pekerjaan
dikaitkan dengan adanya aktifitas fisik dan stress yang merupakan
faktor resiko terjadinya preeklampsia.
4) Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multiple,
diabetes militus, hidrops fetalis, dan bayi besar.
5) Riwayat keluarga pernah mengalami preeklamsia/eklamsia.
b. Sectio Caesarea (SC)
Beberapa penyebab dilakukannya SC pada terminasi kehamilan
menurut Sofian (2011) adalah:
1) Plasenta preveria, dan lateralis
2) Panggul sempit
3) Disproporsi sefalopelfik
4) Partus lama (prolonged labor)
5) Partus tak maju (obstructed labor)
6) Distosia pelvic
7) Preeklamsia dan eklamsia
4. Manifestasi Klinik
Dalam PEB menurut Angsar (2008) diagnosis preeklamsia ditegakkan
berdasarkan adanya dari tiga gejala, yaitu :
a. Edema
b. Hipertensi
c. Proteinurin
Tanda gejalanya PEB menurut Cuningham (2012) yaitu :
a. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg
(PEB berat)
b. Proteinuria + ≥5 g/24 jam atau ≥ 3 pada tes celup.
c. Oliguria (<400 ml dalam 24 jam).
d. Sakit kepala hebat atau gangguan penglihatan.
e. Nyeri epigastrum dan ikterus.
f. Trombositopenia.
g. Pertumbuhan janin terhambat.
h. Mual muntah
i. Nyeri epigastrium
j. Pusing
k. Penurunan visus
5. Perubahan fisiologi dan psikologi pada periode postpartum
11

a. Perubahan fisiologi pada pasien saat masa postpartum menurut Wilis


(2014) yaitu:
1) Perubahan sistem reproduksi
a) Involusi uterus
Involusi uterus atau pengerutan uterus merupakan suatu
proses dimana uterus kembali ke kondisi sebelum hamil.
Proses involusi uterus adalah sebagai berikut:
(1) Iskemia Miometrium: hal ini disebabkan oleh kontraksi
dan retraksi yang terus menerus dari uterus setelah
pengeluaran plasenta sehingga membuat uterus menjadi
relative anemi dan menyebabkna serat otot atrofi.
(2) Atrofi jaringan: atrofi jaringan terjadi sebagai reaksi
penghentian hormone esterogen saat pelepasan plasenta.
(3) Autolysis: merupakn proses penghancuran diri yang
terjadi didalam otot uterus. Enzim proteolitik akan
memendekkan jaringan otot yang telah mengendur
hinggan panjangnya 10x panjang sebelum hamil yang
terjadi selama kehamilan. Hal ini disebakna karena
penuruna hormone esterogen dan prosterogen.
(4) Efek oksitoksin: oksitoksin menyebabkan terjadinya
kontraksi dan retraksi otot uterus sehingga akan menekan
pembuluh darah yang mengakibatkan berkurangnya suplai
darah ke uterus. Proses ini membantu untuk mengurangi
situs atau tempat implantasi serta mengurangi perdarahan.
b) Involusi tempat plasenta
Uterus pada bekas implantasi plasenta merupakan luka
yang kasar dan menonjol ke dalam kavum uteri. Segera setelah
plasenta lahir, dengan cepat luka mengecil, pada akhir minggi
ke-2 hanya sebesar 3-4 cm dan pada akhir nifas 1-2 cm.
penyembuhan luka plasenta khas sekali.
Pada permulaan nifas bekas plasenta mengandung banyak
pembuluh darah besara yang tersumbat oleh thrombus. Luka
bekas plasenta tidak meninggalkan parut. Hal ini disebabkan
12

karena diikuti pertumbuhan endometrium baru dibawah


permukaan luka.
Regenerasi endometrium terjadi ditempat implantasi
plasenta selama sekitar 6 minggu. Pertumbuhan kelenjar
endometrium ini berlangsung didalam decdua basalis.
Pertumbuhan kelenjar ini mengikis pembuluh darah yang
membeku pada tempat implantasi plasenta hingga terkelupas
dan tak dipakai lagi pada pembuangan lochia.
c) Perubahan ligament
Setelah bayi lahir, ligament dan diafragma pelvis fasia yang
meregang sewaktu kehamilan dan saat melahirkan, kembali
sediakala. Perubahan ligament yang dapat terjadi pasca
melahirkan antara lain: ligamentum rotundum menjadi kendur
yang mengakibatkan letak uerus menjadi retrofleksi; ligament,
fasia, jaringan penunjang alat genetalia menjadi agak kendor.
d) Perubahan serviks
Segera setelah melahirkan, serviks menjadi lembek, kendor,
terlukai, dan berbentuk seperti corong. Hal ini disebabkan
korpus uteri berkontraksi, sedangkan serviks tidak
berkontraksi, sehingga perbatasan atara korpus dan serviks
uteri berbentuk cincin. Warna serviks merah kehitam-hitaman
karena penuh pembuluh darah. Segera setelah bayi dilahirkan,
tangan pemeriksa masih dapat dimasukkan 2-3 jari dan setelah
1 minggu hanya 1 jari saja yang dapat masuk. Oleh karena itu
hiperpalpasi dan retraksi serviks, robekan serviks dapat
sembuh. Namun demikian, selesai involusi, ostium eksternum
tidak sama waktu sebelum hamil. Pada umumnya ostium
eksternum lebih besar, tetap ada retak-retak dan robekan-
robekan pada pinggirnya, terutama pada pinggir sampingnya.
e) Lochia
Akibat involusi uteri, lapisan luar desidua yang
mengelilingi situs plasenta akan menjadi nekrotik. Desidua
yang mati akan keluar bersama dengan sisa cairan.
13

Percampuran antara darah dan desidua inilah yang dinamakan


lokia. Lokia adalah eksresi cairan rahim selama masa nifas dan
mempunyai reaksi basalis/alkalis yang membuat organism
berkembang lebih cepat dari pada kondisi asam yang ada pada
vagina normal.
Lokia mempunyai bau yang amis (anyir) meskipun tidak
terlalu menyengat dan volumenya berbeda-beda pad setiap
wanita. Lokia mengalami perubahan karena proses involusi.
Pengeluaran lokia dapat dibagi menjadi lokia rubra,
sanguilenta, serosa, dan alba. Perbedaan masing-masing lokia
dapat dilihat sebagai berikut
Table 2.1 Jenis-jenis lokia
Lokia Waktu Warna Ciri-ciri
Terdiri dari sel desidua, verniks caseosa,
Merah
Rubra 1-3 hari rambut lanugo, sisa mekoneum dan sisa
kehitaman
darah
Putih Sisa darah bercampur lendir
Sanguilenta 3-7 hari bercampur
merah
Lebih sedikit darah dan lebih banyak
Kekuningan/
Serosa 7-14 hari serum, juga terdiri dari leukosit dan
Kecoklatan
robekan laserasi plasenta
Mengandung leukosit, selaput lendir
Alba >14 hari Putih
serviks, dan serabut jaringan yang mati

f) Perubahan vulva, vagina dan perineum


Selama proses persalinan vulva dan vagina mengalami
penekanan serta peregangan, setelah beberapa hari persalinan
ke dua organ ini kembali dalam keadaan kendor. Rugae timbul
kembali pada minggu ke tiga. Hymen tampak sebagai tonjolan
kecil dan dalam proses pembentukan berubah menjadi
karankulae mitiformis yang khas bagi wanita multipara.
Ukuran vagina akan selalu lebih besar dibandingkan keadaan
saat sebelum persalinan pertama. Perubahan pada perineum
pasca melahirkan terjadi pada saat perineum mengalami
robekan. Robekan jalan lahir dapat terjadi secara spontan
ataupun dilakukan epsiotomi dengan indikasi tertentu.
14

Meskipun demikian, latihan otot perineum dapat


mengembalikan tonus tersebut dan dapat mengencangkan
vagina hingga tingkata tertentu. Hal ini dapat dilakukan pada
akhir puerperium dengan latihan harian.
2) Perubahan sistem pencernaan
Pasca melahirkan kadar progestron mulai menurun, faal
usus memerlukan waktu 3-4 hari untuk kembali normal. Beberapa
hal yang berkaitan dengan perubahan pada system pencernaan
antara lain:
a) Nafsu makan
Ibu sering kali cepat lapar setelah melahirkan dan siap
makan pada 1-2 jam post primordial, dan dapat ditoleransi
dengan diet yang ringan. Setelah benar-benar pulih dari efek
analgesia, anastesia, dan keletihan, kebanyakan ibu merasa
sangat lapar. Permintaan untuk memperoleh makanan dua
kali dari jumlah yang biasa dikonsumsi disertai konsumsi
camilan yang sering ditemukan. kerapkali untuk pemulihan
nafsu makan, diperlukan waktu 3 – 4 hari sebelum faal usus
kembali normal. Meskipun kadar progesteron menurun
setelah melahirkan, namun asupan makanan juga mengalami
penurunan selama satu atau dua hari, gerak tubuh berkurang
dan usus bagian bawah sering kosong jika sebelum
melahirkan diberikan enema.
b) Motilitas
Secara khas penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna
menetap selama waktu yang singkat setelah bayi lahir. Tetapi,
apabila ada kelebihan analgesia atau anastesia bisa
memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan
normal.
c) Pengosongan usus
Pasca melahirkan ibu sering mengalami konstipasi. Hal ini
disebkan tonus otot usus menurun selama proses persalinan
dan masa postpartum dan juga efek dari anastesi ang
dilakukan pada saat SC. Sistem pencernaan selama masa
15

nifas membutuhkan waktu untuk kembali normal. Beberapa


cara agar ibu dapat buang air besar kembali secara teratur:
(1) Pemberian diet/makanan yang banyak mengandung serat
(2) Pemberian cairan yang cukup
(3) Pengetahuan tentang pola eliminasi pasca melahirkan
(4) Pengetahuan tentang perawatan luka jalan lahir
3) Perubahan sistem perkemihan
Pada pasca melahirkan kadar steroid yang bertujuan
meningkatkan fungsi ginjal menurun sehingga menyebabkan
penurunan pada fungsi ginjal. Fungsi ginjal kembali normal
dalam waktu 1 bulan setelah wanita melahirkan. Urin dalam
jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu 12-36 jam.

4) Perubahan sistem muskuluskeletal


Perubahan sistem muskuluskeletal terjadi pada saat umur
kehamilan semakin bertambah. Adaptasi muskuluskeletal ini
mencakup peningkatan berta badan, bergesernya pusar akibat
pembesaran rahim, relaksasi, dan mobilitas. Namun demikian,
pada saat post partum sistem muskuluskeletal akan berangsur-
angsur pulih kembali. Ambulasi dini dilakukan segera setelah
melahirkan, untuk membantu mencegah komplikasi dan
mempercepat involusi uteri.
5) Perubahan sistem endokrin
Selama proses kehamilan dan persalina terdapat perubahan pada
sistem endokrin. Hormon-hormon yang berperan pada proses
tersebut diantara lain:
a) Hormon plasenta
Pengeluaran plasenta menyebakan penurunan hormon
yang diproduksi oleh plasenta. Hormon plasenta menurun
dengan cepat pasca persalinan. Penurunan hormon plasenta
(Human Placental Lactogen) menyebakan kadar gula darah
menurun pada masa nifas.
b) Hormon pituitary
Hormon pituitary antara lain: hormon prolakti, FSH,
dan LH. Hormon prolakti darah meningkat dengan cepat,
16

pada wanita tidak menyusui menurun dalam waktu 2 minggu.


Hormon prolaktin berperan dalam pembesaran payudar untuk
merangsang produksi asi. FSH dan LH meningkat pda fase
konsetrasi folikuler pada minggu ke-3 dan LH tetap rendah
hingga ovulasi terjadi.
c) Hipotalamik pituitary ovarium
Hipotalamik pituitary ovarium akan mempengaruhi
lamanya mendapatkan menstruasi pada wanita yang
menyusui maupun yang tidak menyusui. Pada wanita
menyusui mendapatkan menstruasi pada 6 minggu pasca
melahirkan berkisar 16% dan 45% setelah 12 minggu paska
melahirkan. Sedangkan pada wanta yang tidak menyusui
akan mendapatkan menstruasi berkisar 40% seteleh 6 minggu
psca melahirkan dan 90% setelah 24 minggu.
d) Hormon oksitoksin
Hormone oksitoksin disekresikan dari kelenjar otak
bagian belakang, bekerja terhadap tonus otot uterus dan
jaringan payudara. Selam tahap ke-3 persalinan, hormon
oksitokin berperan dalam pelepasan plasenta dan
mempertahankan kontraksi, sehingga pencegah perdarahan.
Isapan bayi dapat merangsang produksi asi dan seksresi
oksitoksin, sehingga dapat membbantu involusi uteri.
e) Hormon esterogen dan prosterogen
Volume darah normal selama kehamilan akan
meningkat. Hormon esterogen yang tinggi memperbesar
hormone anti diuretik yang dapat meningkatkan volume
darah. Sedangkan hormon progesteron mempengaruhi otot
halus yang mengurangi perangsangan dan peningkatan
pembuluh darah. Hali ini mempengaruhi saluran kemih,
ginjal, usus, dinding vena, dasar panggul, perineum, dan
vulva serta vagina.
6) Perubahan tanda-tanda vital
Pada masa nifas perubahan tanda-tanda vital yang perlu dikaji:
1) Suhu badan
17

Suhu tubuh pasca melahirkan akan naik pada hari


ke-4 setelah melahirkan. Hal ini diakibatkan adanya
pembentukan asi, kemungkinan payudara membengkak,
maupun kemungkinan infeksi pada endometrium, mastitis,
atau traktus genetalis, atau sistem yang lain. Apabila
kenaikan suhu di atas 38˚C, waspada terhadap infeksi
pada luka SC postpartum.
2) Nadi
Denyut nadi normal orang dewasa 60-80x/permenit.
Pasca melahirkan denyut nadi dapat menjadi bradikardi
maupun takikardi. Denyut nadi yang melebihi
100x/permenit harus waspada kemungkian infeksi atau
perdarahan postpartum.
3) Tekanan darah
Tekanan darah normal manusia adalah sistolik
antara 90-120 mmHg dan diastolic 60-80 mmHg pasca
melahirkan pada kasus normal tekanan darah tidak
biasanya tidak berubah. Perubahan tekanan darah menjadi
lebih rendah pasca melahirkan dapat diakibatkan oleh
perdarahan. Sedangkan tekanan darah tinggi pada
postpartum merupakan tanda terjadinya preeklamsia
postpartum. Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg merupakan
ciri-ciri dari PEB ringan, dan tekanan darah sistolik ≥ 160
mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg merupak ciri-ciri dari
PEB berat.
4) Pernafasan
Frekuensi pernafasan orang dewasa normal
umumnya 16-24x/menit. Pada ibu post partum umumnya
pernafasan lamabat atau normal. Hal ini dikarenakan ibu
masih dalam masa pemulihan atau dalam kondisi istirahat.
Bila pernafasan pada masa postpartum lebih cepat,
kemungkinan ada tanda-tanda syok.
7) Perubahan sistem kardiovaskular
18

Volume darah yang normal yang diperlukan plasenta dan


pembuluh darah uterin, meningkat selam kehamilan. Dieresis
terjadi akibat adanya penurunan hormon esterogen, yang dengan
cepat mengurangi volume plasma menjadi normal kembali.
Meskipun kadar esterogen menurun selama nifas, namun
kadarnya masih tetap tinggi daripada normal. Plasma darah tidak
banyak mengandung cairan sehingga daya koagulasi meningkat.
Aliran ini terjadi dalam 2-4 jam pertama setelah kelahiran
bayi. Selama masa ini ibu mengeluarkan banyak sekali jumlah
urin. Hilangnya progesteron membantu mengurangi retensi cairan
yang melekat dengan meningkatnya vaskuler pada jaringan
tersebut selama kehamilan bersam-sama dengan trauma selama
persalinan.
Kehilangan darah pada persalinan pervaginam
mengeluarkan darah sekitar ±300-400 cc, sedangkan kehilangan
darah dengan persalinan sc meningkat menjadi dua kali lipatnya.
Pada persalinan sc homokonsentrasi cenderung stabil dan kembali
normal setelah 4-6 minggu.
8) Perubahan sistem hematologi
Pada minggu-minggu terakhir kehamilan kadar fibrinogen
dan lasma serta factor-faktor pembekuan darah meningkat. Pada
hari pertama post partum, kadar fibrinogen dan plasma akan
sedikit menurun tetapi darah lebih mengental dengan peningkatan
viskositas sehingga meningkatkan faktor pembekuan darah.
Leukositosis adalah meningkatnua jumlah sel-sel darah
putih sebanyak 15.000 selam persalinan. Jumlah leukosit akan
tetap tinggi selama beberapa hari pertama masa postpartum.
Jumlah sel darah putih akan tetap bisa naik lagi sampai 25.000-
30.000 tanda adanya kondisi patologis jika wanita tersebut
mengalami persalinan lama.
Pada awal postpartum jumlah hemoglobin, hematokrit, dan
eritrosit sangat bervariasi. Hal ini disebabkan volume darah,
volume plasenta,dan tingkat volume darah yang berubah-ubah.
19

Tingkatan ini dipengaruhi oleh status gizi dan hidrasi dari wanita
tersebut. Jika hemaktokrit pada hari pertama atau hari kedua lebih
rendah dari titik 2% atau lebih tinggi daripada saat memasuki
persalinan awal, maka pasie dianggap telah kehilangan darah
yang cukup banyak. Titik 2% ± sama dengan kehilangan darah
500ml darah.
b. Perubahan psikologis pada pasien postpartum:
Proses adaptasi psikologi sudah terjadi selama kehamilan,
menjelang proses persalinan, maupun setelah proses persalinan. Pada
periode tersebut, kecemasan seorang wanita dapat bertambah.
Pengalaman yang unik yang dialami oelh ibu setelah persalinan. Masa
nifas merupakan masa yang rentan dan terbuka untuk bimbingan dan
pembelajaran. Perubahan peran seorang ibu memerlukan adaptasi.
Tanggung jawab ibu mulai bertambah. Fase-fase yang akan dialami
oleh ibu pada masa nifas antara lain:
1) Fase taking in
Fase ini merupakan periode ketergantungan yang
berlangsung dari hari pertama sampai hari kedua setelah
persalinan. Ibu terfokus pada dirinya sendiri, sehingga cenderung
pasif terhadap lingkungannya. Ketidaknyamanan yang dialami
antara lain rasa mules, nyeri pada luka jahitan, kurang tidur, dan
kelelahan. Hal yang perlu diperhatikan pada fase ini adalah
istirahat yang cukup, komunikasi yang baik, dan asupan nutrisi.
Gangguan psikologis yang dialami oleh ibu pada fase ini adalah:
a) Kekecewaan pada bayinya
b) Ketidaknyamanan sebagai akibat perubahan fisik yang
dialami
c) Rasa bersalah karena belum bisa menyusui bayinya
d) Kritikan suami atau keluarga tentang perawatan bayinya

2) Fase taking hold


Fase ini berlangsung anatara 3-10 hari setelah melahirkan.
Ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan aras tanggung
jawab dalam perawatan bayinya. Perasaan ibu lebih sensitif
20

sehingga mudah tersinggung. Hal yang perlu diperhatikan adalah


komunikasi yang baik, dukungan dan pemberian
penyuluhan/pendidikan kesehatan tentang perawatan dirinya dan
bayinya. Hal-hal yang perlu dilakukan pada ibu selama fase ini
adalah:
a) Mengajarkan cara perawatan bayi
b) Mengajarkan cara menyusui bayi yang benar
c) Cara perawatan luka jahitan
d) Pendkes tentang gizi ibu hamil
e) Kebesihan diri
f) Istirahat
g) Senam nifas
3) Fase letting go
Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan
peran barunya. Fase ini berlagsung 10 hari setelah melahirkan.
Ibu sudah mulai dapat menyesuaikan diri dengan ketegantungan
bayinya. Terjadi peningkatan akan perawatan diri dan bayinya.
Ibu merasa percaya diri akan peran barunya, lebih mandiri dalam
memenuhi kebutuhan dirinya dan bayinya. Dukungan suami dan
keluarga dapat membantu merawat bayi. Kebutuhan akan istirahat
masih diperlukan ibu untuk menjaga kondisi fisiknya. Hal-hal
yang harus dipenuhi selama nifas adalah sebagai berikut:
a) Fisik: istirahat, asupan gizi, lingkungan yang bersih
b) Psikologi: dukungan dari keluarga sangan diperlukan
c) Sosial/perhatian: rasa kasih sayang, menghibur ibu saat sedih,
dan menemani ibu saat kesepian

6. Fisiologisways
Berasal dari beberapa faktor yang dapat menyebabkan PEB yaitu
diantaranya riwayat keluarga dengan pre-eklamsia dan eklamsi, pre-
eklamsia pada kehamilan sebelumnya, usia, pekerjaan, satatus gizi ibu dan
masih banyak lagi (Indriani, 2012). Banyak teori yang mengemukakan
tentang terjadinya hipertensi pada kehamilan. Seperti teori kelainan
vaskularisasi plasenta, teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi
endotel, teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin, teori adaptasi
kardiovaskularori genetik, teori defisiensi gizi, dan teori inflamasi. PEB
21

bisa beresiko terhadap kematian ibu dan janinnya (Prawirohardjo, 2010).


Resiko yang terjadi pada ibu yang menderita preeklamsia adalah sindrom
HELLP, abrasio plasenta, kegagalan ginjal, pelahiran premature, kegagalan
multi-organ, eklamsia (kejang pada pre-eklamsia yang terjadi karena
tekana darah toinggi pada pre-eklamsia akan menyebabkan keruskan pada
pembuluh darah yang mengganggu aliran darah hal ini mengakibatkan
pembengkakan pembuluh darah yang bearad diotak dan akhirnya
mengganggu kerja otak sehingga memicu kejang), dan bahkan kematian
Janin yang dikandung oleh ibu dengan preeklamsia gangguan
pertumbuhan janin dapat terjadi akibat gangguan sirkulasi retropalsenter
dimana spasme arteriola menyebabkan asfiksia janin dan spasme yang
berlangsung lama dapat mengganggu pertumbuhan janin. Spasme
pembuluh darah arteriola yang menuju organ penting dalam tubuh dapat
menimbulkan mengecilnya aliran darah yang menuju retroplasenta
sehingga mengakibatkan gangguan pertukaran CO2, O2 dan nutrisi pada
janin. Preeklamsi menyebabkan berkurangnya perfusi uteroplacental yang
menyebabkan berkurangnya aliran darah ini dapat menyebabkan berat
badan lahir bayi rendah. Spasme arteriola yang mendadak dan berat dapat
menyebabkan kematian janin. Hal ini bisa menyebabkan perburukan
kondisi ibu dan janin sehingga banyak kondisi darurat yang memaksa
persalinan harus dilakukan dengan cara SC (Prawirohardjo, 2010).
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di
atas 500 gr dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi
dilakukan tindakan ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus,
distorsia jaringan lunak, placenta previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk
janin adalah gawat janin, janin besar dan letak lintang. Setelah dilakukan
SC ibu akan mengalami adaptasi post partum baik dari aspek kognitif
berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari aspek
fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan
ASI yang keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi post de entris
bagi kuman. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka
22

dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena insisi yang
mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa
bersifat regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak
pengaruhnya terhadap janin maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-
kadang bayi lahir dalam keadaan apnue yang tidak dapat diatasi dengan
mudah. Akibatnya janin bisa mati, sedangkan pengaruhnya anestesi bagi
ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa atonia uteri sehingga darah
banyak yang keluar(Wilis, 2014). Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu
jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret yan berlebihan karena kerja otot
nafas silia yang menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran
pencernaan dengan menurunkan mobilitas usus. Selain itu motilitas yang
menurun juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu konstipasi
(Sofian, 2011).
23

7. Pemeriksaan penunjang
a. Uji laboratorium
1) Fungsi urinaria seperti pemeriksaan proteinuria yang ≥+3
Pada Test urine (mikroalbumin) menjadi sebuah pertanda awal
kerusakan ginjal (Imad, 2014)
2) Hitung darah lengkap:
a) Untuk mengevaluasi trombosit untuk mengetahui peningkatan
trombositopenia pada pre-eklamsia dan hematokrit untuk
mengetahui adanya perdarahan pada post partum
b) Peningkatan LDH untuk mengetahui hemolisis mikroangiopati
c) ALT atau AST untuk mengetahui peningkatan kadar transminase
serum atau untuk mengetahui tes fungsi hati
d) Panel elektrolit, karena PEB mengalami hipokia dan
menimbulkan gangguan asam basa.
24

e) Kadar kalsium darah


Pada wanita dengan PEB kekurangan asupan kalsium akan
mengakibatkan penurunan kadar kalsium plasma dan penurunan
aliran darah uteri, kenaikan tekanan darah dan peningkatan
protein urin (Rakhsanda, 2012).
f) Kadar natrium dan kalium darah
Hipokalemia pada preeklamsia mungkin karena kelainan pada
transportasi natrium dan kalium melintasi membran sel otot
polos pembuluh darah, yang biasanya bertanggung jawab untuk
pemeliharaan tekanan darah (Indumati et al, 2011)
g) Kadar magnesium darah
Magnesium merupakan salah satu mineral yang berperan
penting bagi kesehatan dan sistem metabolisme tubuh. Mineral
ini ikut bekerja dalam sekitar 300 fungsi enzim pada proses
reaksi kimia tubuh dengan berbagai bentuk. Proses sintesa
protein, fungsi saraf dan otot, kontrol kadar glukosa darah dan
juga pengontrol tekanan darah merupakan sebagian fungsi
metabolisme tubuh yang berkaitan erat dengan magnesium
(Widiyani, 2013).
8. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan PEB adalah terjadinya
sindrom HELLP. Sindrom HeLLP berasal dari singkatan Hemolisys
Elevated Liver Enzyme Low Platelet Count yaitu adalah preeklamsi-
eklamsia yang disertai timbulnya hemolisis, peningkatan enzim hepar,
disfungsi hepar, dan trombositopenia.
Didahului tanda dan gejala yang tidak khas seperti malaise, lemah,
nyeri kepala, mual, mumtah, tanda tanda hemolis intravaskuler, khususnya
pada kenaikan LDH, AST, dan Bilirubin indirek. Tanda kerusakan atau
disfungsi sel hepatosis hepar seperti kenaikan ALT, AST, LDH.
Trombositopenia yaitu dengan ditandai trombosit ≤ 150.000/ml, semua
perempuan hamil yang denga keluhan nyeri pada kuadran atas, tanpa
memandang ada tidaknya tanda dan gejala pre-eklamsia harus
dipertimbangkan sindrom HELLP.
9. Penatalaksanaan medis
25

Pentalaksanaan medis pada pasien post SC PEB menurut Chris


tanto (2014, dan Nugroho (2010):
a. Pemberian antihipertensi seperti:
1) Metildopa 500-2000 mg dibagi dalam 2-4 dosis sehari. Metildopa
merupakan golongan α-adrenergik yang dieksresikan terutama
melalui ginjal.
2) Labetalol dosis awal 2x100 mg dapat dinaikkan setiap minggu
sampai maksima 2400 mg sehari. Titrasi dosis tidak boleh lebih
dari 2x200 mg tiap minggunya.
3) Nifedipin dengan dosis 30 mg sehari. Penggunaan nifedipin harus
hati-hati dalam penggunaan pasien yang mendapatkan MgSO4 ,
karena berpotensi memerkuat blockade kanal kalsium pada otot,
dan tidak boleh diberikan sublingual.
b. Pemberian obat anti kejang seperti magnesium sulfat (MgSO4),
diazepam atau fenitoin. Pemberian MgSO4 40% 6 gr dan dilarutkan
dalam 500 ml RL berikan secara intravena dengan kecepatan 28
tetes/menit dan dilulang setelah 24 jam pasca persalinan.
c. Pemberian analgesik untuk mengurangi nyeri pasien. Pemberian
analgesik sessudah bedah sangatlah penting, pemberian sedasi yang
berlebihan akan menghambat mobilitas yang diperlukan pascabedah.
Analgesik yang diberikan: supositoria ketoprofen 2x/12 jam atau
tramadol: oral tiap 6 jam atau parasetamol.
d. Pemberian antibiotik untuk mengurangi resiko infeksi. Pemberain
antibiotik dilakukan bila ada tanda dan gejala infeksi, dan ditandai
juga adanya demam. Jika ada tanda infeksi atau demam berikan
antibiotik sampai bebas dari demam selama 48 jam.

B. Konsep Perawatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah metode yang sistematis untuk memperoleh data dan
informasi yang penting tentang keadaan dan status kesehatan pasien
dalam rangka pemenuhan kebutuhannya. Pengkajian yang perlu dikaji
pada ibu post sc PEB menurut Ratnawati (2012) dan Fauziah (2012)
meliputi:
26

a. Identitas klient yang meliputi umur, pendidikan, pekerjaan,


suku/bangsa, agama, alamat, dan identitas suami.
b. Riwayat kesehatan sekarang meliputi yaitu:
1) Keluhan utama: menayakan keluhan atau apa yang dirasakan
pasien saat ini.
2) Riwayat kesehatan: menanyakan penyakit yang diderita pasien
maupun yang pernah diderita pasien baik akut ataupun kronis
serta penyakit menular dan keturunan.
3) Riwayat kesehatan keluarga: menanyakan penyakit-penyakit
dan masalah kesehatan dalam keluarga.
4) Riwayat penyakit ginekologi: tumor kandungan, tumor
ovarium, dan lain-lain.
c. Riwayat obstetrik
Untuk mengetahui riwayat kehamilan, persalinan, abortus, dan anak
hidup yang dimiliki saat pemeriksaan kehamilan sekarang.
1) Paritas ibu hamil dituliskan dengan G:gestasi/jumlah kehamilan,
P:jumlah kelahiran/paritas, A:abortus (G P A) atau
G:gestasi/jumlah kehamilan, T:kehamilan term jumlah
kehamilan cukup bulan, P:jumlah kelahiran premature, A:aborsi,
L:living (jumlah anak yang hidup saat ini).
2) Riwayat menstruasi menanyakan pada pasien tentang usia pada
saat menarche, siklus menstruasi, lama menstruasi, masalah-
masalah menstruasi/amenorrhoe, perdarahan irregular, nyeri
hebat, dan perdarahan sampai menggumpal selama menstruasi.
3) Hari pertama haid terakhir (HPHT), menanyakan untuk
menghitung perkiraan waktu persalinan, tanggal tafsiran partus,
dan jika bagi siklus menstruasinya 28 hari maka perkiraan
persalinanya dihitung dengan penambahan 7 pada
tanggal/mengurangi 3, penambahan 9 untuk bulan, dan
penambahan 1 untuk tahun (+7, -3, +1 atau +7, +9, +1). Bagi
siklus 35 hari tanggal ditambah 14, pengurangan 3 untuk bulan,
penambahan 1 untu tahun (+14, -3, +1).
4) Penggunaan obat-obatan selama kehamilan.
d. Pemenuhan kebutuhan akan gizi pada pasien post operasi dengan
pre-eklamsia dan eklamsia dimulai dari pemenuhan farmakologisnya
27

hingga dietnya. Pasien yang mengalami persalinan dengan cara


operasi sesarea perlu diperhatikan tentang nutrisi diet tinggi kalori,
rendah lemak, tinggi proteinnya untuk menunjang proses
penyembuhan serta serta rendah garam apabila terjadi penambahan
berat badan atau udema. Nutrisi yang baik sangat penting untuk
mencapai keberhasilan penyembuhan luka. Namun, nutrisi di sini
harus mematuhi rekomendasi diet seimbang dan bergizi tinggi.
Bahan makanan yang terdiri dari empat golongan utama, yaitu
protein, lemak, karbohidrat, dan mikronutrien (vitamin dan mineral)
penting untuk proses biokimia normal. Asupan nutrisi berupa protein
dan vitamin A dan C, tembaga, zinkum, dan zat besi yang
adekuat.Protein mensuplai asam amino yang dibutuhkan untuk
perbaikan jaringan dan regenerasi.Vitamin A dan zinkum dibutuhkan
untuk epitelialisasi, dan vitamin C serta zinkum diperlukan untuk
sistesis kolagen dan integrasi kapiler.Zat besi digunakan untuk
sintesis hemoglobin yang bersama oksigen diperlukan untuk
menghantarkan oksigen keseluruh tubuh. Nutrisi sendiri juga dapat
membantu tubuh dalam meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh
(sistem imun), dan pada akhirnya akan membantu proses
penyembuhan luka. Zat – zat yang mengandung berbagai gizi yang
sangat dibutuhkan oleh tubuh ini biasanya terkandung pada ikan,
telur, daging dan sebagainya (Hanifah, 2009, Puspitasari, et al,
2011).
e. Penggunaan alat kontrasepsi pada post SC dengan indikasi PEB
adalah menggunakan pilih saja KB tipebarrier, yang tanpa hormon
seperti spiral/IUD atau kondom. Jika mau suntik, maka pilih yang
suntik 3 bulan karena tidak mengandung estrogen (Senoaji, 2014).
f. Pengkajian kebutuhan dasar manusia (Pola Gordon)
1) Pola persepsi kesehatan:
Pengumpulan data tentang persepsi dan pemeliharaan kesehatan
yang perlu ditanyakan dan pada pasien antara lain persepsi
28

tentang penyakit atau sakit, persepsi tentang arti kesehatan,


pesepsi tentang penatalaksanaan kesehatan (Alimul, 2010).
2) Pola nutrisi/metabolik
Nutrisi dan metabolisme yang ditanyakan adalah diet khusus
atau suplemen yang dikonsumsi dan instruksi diet sebelumnya,
nafsu makan, jumlah makan, atau minuman serta cairan yang
masuk, serta adanya mual atau muntah (Alimul, 2010).
3) Pola eliminasi, defeksi, dan miksi
Pola ini yang perlu ditanyakan adalah jumlah kebiasaan defekasi
perhari, ada atau tidaknya konstipasi, penurunan frekuensi urine,
oliguria, atau anuria (Alimul, 2010).
4) Pola latihan dan aktivitas
Pengumpulan data ini yang perlu ditanyakan adalah kemampuan
dalam menata diri apabila tingkat kemampuannya 0 berarti
madiri, 1= menggunakan alat bantu, 2= dibantu orang lain, 3=
dibantu orng lain dan juga alat, 4= ketergantungan (Alimul,
2010).
5) Pola tidur-istirahat
Pengkajian pola tidur-istirahat yang dilakukan adalah jumlah
jam tidur pada malam hari, pagi hari, siang hari, merasa tenang
setelah tidur, adanya terbangun pada dini hari atau mimpi buruk
(Alimul, 2010).
6) Pola perseptual yaitu meliputi penglihatan, pendengaran,
pengecap dan sensasi
7) Pola konsep diri dan persepsi diri
Persepsi ini yang ditanyakan adalah tentang dirinya dari
masalah-masalah yang ada sepeerti perasaan cemas, ketakutan,
atau penilaian terhadap diri mulai dari peran, ideal diri,
gambaran diri, dan identitas tentang dirinya (Alimul, 2010).
8) Pola hubungan dan peran
29

Pola yang perlu ditanyakan adalah status pekerjaan, kemapuan


bekerja hubungan pasien dengan keluarga, dan gangguan
terhadap peran yang dilakukan.
9) Pola reproduksi dan seksual
Pengumpulan data tentang pola seksual dan reproduksi dan
maslah seksual yang berhubungana dengan keadaan pasien saat
ini. Hal yang perlu dukaji dala pola reproduksi dan seksua adaah
pakaha kehidupan seksualnya aktif, apakah pengguanaan alat
bantu atau pelindung, apakah mengalami kesulitan atau
perubahan dalam pemenuhan kebutuhan seks, menayakan pada
gambaran pola haid, usia menarche, dan riwayat kehamilan,
10) Pola koping stress dan toleransi
Pengumpulan data ini yang ditanyakan adalah koping
mekanisme saat terjadi masalah. Hal yang perlu dikaji adalah
apakaha ada perubahan besar dikehidupan dalam beberapa tahun
terakhir, dalam menghadapi masalah apa yang dilakukan, efektif
atau tidak tindakan tersebut, apakah ada orang lain untuk
berbagi, pakah orang tesebut ada sampai sekarang, apakah
paisen selalu mengalami tegang, adakah penggunaan obat atau
zat tertentu.
11) Pola keyakinan dan nilai
Yang perlu ditanyakan adalah pantangan dalam agama yang
pada saat sakit, serta kebutuhan rohaniawan.
1) Pemeriksaan fisik meliputi
Keadaan umum dan tanda-tanda vital (tekanan darah pada
pasien PEB biasanya diatole ≥110 mmH sementara systole ≥140
mmHg, temperature yang tinggi biasanya berasal dari tanda-
tanda infeksi postpartum dengan ditandai peningkatan leukosit,
nadi yang melebihi 100x/menit dicurigai adanya infeksi atau
terjadinya perdarahan pada postpartum, dan pernafasan bila
30

pernafasan lebih dari batas normal diwaspadai adanya udema


pada paru-paru).
2) Kepala dan leher: kloasma gravidarum, bengkak, konjungtiva
anemis, pembesaran kelenjar limfe, pembesaran vena jugularis.
3) Mata: warna kornea hitam,selaput mata putih, pupil isokor
(3mm/3mm),
4) Hidung: Pernafasan kuping hidung.
5) Telinga: normal, tak ada gangguan pada telinga.
6) Mulut: selaput mukosa bibir tampak kering, bibir pecah-pecah
dan tampak pucat.
7) Leher: adanya pembesaran kelenjar getah bening , vena
membesar.
8) Thorax/dada meliputi:
a) Jantung: Inspeksi: tidak ada jejas, Palpasi: tidak ada nyeri
tekan, Perkusi : pekak, Auskultasi: regular.
b) Paru-paru: Inspeksi: simetris, Palpasi : tidak ada nyeri
tekan, Perkusi : bunyi pekak pada paru-paru, Auskultasi :
vesikuler. Dikaji juga adanya edema paru seperti suara
mengi, crackle, tanda dispnea, nafas dangkal dan lain-lain.
c) Payudara: meliputi kesimetrsisan, bentu, ukuran, adanya
benjolan, puting susu menonjol atau tidak, cadanya cairan
asi yang keluar.
9) Abdomen: Inspeksi :tampak linea nigra, adanya strae
gravidarum, adanya luka post SC, Auskultasi: aktivitas pertama
terjadi pada usus yang tercatat biasanya dalam 24 jam. Aktivitas
kontraksi usus halus terhambat dalam 24 jam setelah
pembedahan, tetapi fungsi normalnya kembali dalam 3-4 hari,
Palpasi: adanya nyeri tekan, tinggi tfu, tidak ada distensi
kandung kemih, Perkusi: timpani positif.
10) Ekstremitas: edema, pucat, dan reflek patella, tanda Homan:
untuk mengetahui adanya tromboflbitis, tanda homan positif.
11) Genetalia: penggunaan kateter , luka, hemoroid, pembengkakan
perineum, pengeluaran cairan, adanya massa, ada atau tidaknya1
distensi kandung kemih.
31

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan tertulis yang tegas dan
jelas tentang masalah kesehatan pasien, penyebabnya dan faktor yang
menunjang. Kegiatan yang dilakukan meliputi memilih data,
mengelompokkan data, mengenal masalah, menyusun daftar masalah,
menyusun referensi dan kesimpulan serta menegakkan diagnosa
(Nursalam, 2013). Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan
post SC PEB adalah sebagai berikut:
a. Resiko kejang berhubungan dengan spasme pembuluh darah
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot
pernafasan ditandai dengan dispnea
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan hipertensi
ditandai dengan edema, pengisian kapiler >3 detik
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan agen obat (anastesi)
ditandai dengan kesulitan membolak-balikkan posisi
e. Resiko konstipasi berhubungan dengan obstruksi pasca bedah
f. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
g. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
h. Kesiapan meningkatkan menjadi orang tua ditandai dengan keinginan
mengepresikan untuk meningkatkan peran menjadi oranng tua
i. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen ditandai dengan sesak nafas, kelemahan,
dan keletihan
j. Ketidak efektifan pemberian ASI berhubungan dengan kontraindikasi
terhadap menyusui ditandai dengan ketidakadekuatan suplai ASI
k. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif ditandai dengan peningkatan frekuwensi nadi, peningkatan
hematokrit.

3. Fokus Intervensi
Intervensi keperawatan menurut menurut Indriani (2012), Sofian (2011),
Wilis (2014), Robson ( 2011), dan Prawirohardjo (2010) adalah sebagai
berikut:
32

a. Resiko kejang berhubungan dengan spasme pembuluh darah


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan selama …x… jam diharapkan
resiko kejang tidak terjadi dengan kriteria hasil sebagai berikut:
Tabel 2.2 Cardiopulmonary Status
Indikator IR ER
1. Frekuwensi pernafasan
2. Peningkatan tekanan darah sistol
3. Peningkatan tekanan darah diastol
Keterangan :
1) Berat
2) Besar
3) Sedang
4) Ringan
5) Tidak ada
Intervensi : Monitor tanda-tanda vital ,monitor cairan, perawatan
kehamilan resiko tinggi
1) Monitor tekanan darah, nadi suhu, status pernafasan pasien
2) Monitor pola pernafasan abnormal
3) Monitor oximetri nadi
4) Monitor sianosis sentral dan perifer
5) Monitor asupan dan pengeluaran cairan
6) Minitor distensi vena leher, ronkhi diparu-paru, edema
perifer, dan penambahan berat badan
7) Catat ada tidaknya vertigo saat bangkit untuk berdiri
8) Monitor berat badan
9) Minotor warna, kuantitas, dan berat jenis urin
10) Kolaborasi dalam pemberian anti hipertensi
11) Kolaborasi dalam pemberian anti konvulsi
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot
pernafasan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan selama …x… jam diharapkan
ketidakefektifan pola nafas teratasi dengan kriteria hasil sebagai
berikut:
Tabel 2.3 Respiratory Status
Indikator IR ER
1. Respirasi rate
2. Saturasi oksigen
3. Auskultasi suara nafas
Keterangan :
1) Penyimpangan berat dari kisaran normal
2) Berat dari kisaran normal
3) Sedang dari kisaran normal
33

4) Ringan dari kisaran normal


5) Tidak ada
Intervensi : Respiratory Monitoring
1) Monitor jumlah, ritme, kedalaman, dan usaha pernafasan
2) Monitor pola pernafasan (bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
pernafasan kusmaul)
3) Monitor tingkatan saturasi oksigen pada pasien yang dibius
4) Perhatikan pergerakan dada, lihat kesimetrisan dada,
penggunaan dari otot aksesoris, dan retraksi otot intercosta.
5) Monitor peningkatan kegelisahan, ansietas, dan kebutuhan
oksigen
6) Auskultasi suara nafas
7) Kaji perlunya suction pada jalan nafas engan cara auskultasi
suara nafas ronkhi diparu-paru
8) Catat perubahan saturasi oksigen
9) Monitor suara nafas tambahan seperti mengorok atau mengi
10) Monitor kelelahan otot diafragma, seperti gerakan paradok

c. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan hipertensi


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan selama …x… jam diharapkan
ketidakefektifan perfusi jaringan teratasi dengan kriteria hasil
sebagai berikut:
Tabel 2.4 Circulation Status
Indikator IR ER
1. Pitting udema
2. Pengeluaran urin
3. Tekanan darah
Keterangan :
1) Penyimpangan berat dari kisaran normal
2) Berat dari kisaran normal
3) Sedang dari kisaran normal
4) Ringan dari kisaran normal
5) Tidak ada
Intervensi : Vital Sign Monitoring and Hemodynamic Regulation
1) Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan
2) Perhatikan kenaikan tekanan darah
3) Monitor tanda dan gejala hipotermi atau hipertermi
4) Monitor irama dan tekanan jantung
5) Monitor pulse oximetri
6) Monitor pola pernafasan abnormal
7) Monitor warna, suhu, dan kelembaban kulit
8) Monitor sianosis central dan perifer
9) Monitor irama dan laju pernafasan
34

10) Monitor dan mencatat tekanan darah


11) Monitor tanda dan gejala dari status ,asalah perfusi seperti
hipertensi, ekstremitas dingin termasuk lengan dan kaki,
tudur yang terus-menerus, penurunan kadar kreatinin dan
BUN, dan hipotermia
12) Monitor udema perifer
13) Tinggikan kepala atau kaki
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan agen obat (anestesi)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x… jam
diharapkan pasien menunjukkan mobilitas fisik yang baik dengan
kriteria hasil sebagai berikut :
Tabel 2.5 Mobility
Indikator IR ER
1. Berpindah dengan mudah
2. Berjalan
3. Koordinasi
Keterangan :
1) Ekstrim
2) Berat
3) Sedang
4) Ringan
5) Tidak ada
Internvensi : Activity therapy
1) Beri bantuan pada pasien saat mobilisasi
2) Intruksikan pasien untuk mobilisasi secara bertahap :
miring, duduk, berdiri, dan berjalan
3) Memperbolehkan keluarga berpartisipasi membantu pasien
dalam mobilisasi
4) Sarankan metode-metode untuk meningkatkan aktivitas
fisik yang tepat
5) Menentukan komitmen pasien untuk meningkatkan
frekuensi dan berbagai aktivitas
6) Kolaborasi dengan keluarga dalam membantu aktivitas
pasien
7) Monitor respon pasien terhapa aktivitas seperti emosional
dan fisik
8) Membantu aktivitas fisik secara umum seperti: ambulasi,
perpindahan, dan perwatan diri
35

e. Resiko konstipasi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x… jam
diharapkan pasien menunjukkan resiko konstipasi tidak terjadi
dengan kriteria hasil sebagai berikut :
Tabel 2.6 Surgical Recovery: Post-Operative
Indikator IR ER
1. Suara bising usus
2. Mual
3. Muntah
Keterangan :
1) Ekstrim
2) Berat
3) Sedang
4) Ringan
5) Tidak ada
Internvensi : Bowel Management, Exercise Therapy: Ambulation
1) Monitor suara bising usus
2) Monitor tanda dan gejala konstipasi
3) Masukkan obat supositoria jika diperlukan
4) Berikan minuman hangat setelah makan
5) Evaluasi efek samping penggunaan obat untuk pengobatan
gastrointestinal
6) Perhatikan kapan terakhir kali pasien bab
7) Menganjurkan pasien untuk duduk di kasur, duduk di
pinggir kasur (dengan menggelantungkan kaki), dan duduk
dikursi
8) Membantu pasien dalam perpindahan
9) Gunakan sabuk pengaman untuk membantu pasien
berpindah dan ambulasi
10) Gunakan alat bantu dalam ambulasi seperti kursi roda dan
lain-lain
11) Menganjurkan ambulasi dalam batas aman
f. Resiko infeksi berhubungan dengan dengan trauma jaringan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x… jam
diharapkan resiko infeksi tidak terjadi dengan kriteria hasil sebagai
berikut :
Tabel 2.7 Maternal Status:Postpartum
Indikator IR ER
1. Nyeri luka insisi
2. Perdarahan vagina
36

3. Infeksi

Keterangan :
1) Ekstrim
2) Berat
3) Sedang
4) Ringan
5) Tidak ada
Internvensi : Wound Care
1) Monitor karakteristik dari luka termasuk warna, ukuran, bau,
dan pengeluaran cairan
2) Memberikan perawatan luka insisi
3) Pertahankan tehnik ganti balut steril ketika dalam perawatan
luka
4) Singkirkan benda-benda yang tertanam pada lika seperti
serpishan kassa dll
5) Mengganti balutan dan plester perekat
6) Bersihkan dengan luka dengan normal saline
7) Inspeksi luka setiap dalam perawatan luka
8) Berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka
9) Pemberian antibiotik pada pasien
10) Dokumentasi lokasi luka, ukuran dan tampilan
11) Periksa luka setiap kali ganti balutan
12) Bandingkan dan catat setiap perubahan luka

g. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selam …x… jam diharapkan
nyeri berkurang dengan kriteria hasil sebagai berikut :
Tabel 2.8 Pain Level
Indikator IR ER
1. Melaporkan nyeri
2. Ekspresi nyeri
3. Meringis kesakitan
Keterangan :
1) Ekstrim
2) Berat
3) Sedang
4) Ringan
5) Tidak ada
Intervensi : Pain Management
37

1) Kaji secara komprehensif melingkupi lokasi, karakteristik,


durasi, kualitas, keparahan nyeri, dan faktok presipitasi
penyebab nyeri
2) Observasi isyarat nonverbal dari ketidaknyamanan dari nyeri
3) Memastikan perawatan analgesik pasien yang penuh perhatian
4) Ajarkan penggunaan tehnik nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri seperti relaksasi nafas dalam
5) Meyarankan istirahat yang cukup untuk mengurangi rasa sakit
6) Edukasi informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa
lama akan berakhir, dan antisipasi ketidaknyaman dalam
prosedur
7) Kontrol faktor lingkungan yang dapat berdampak pada
ketidaknyamanan pasien seperti kegaduhan, pencahayaan,
suhu,dan pembatasan pengunjung
8) Pilih dan implementasikan tindakan beragam tindakan yang
beragam farmakologi, nonfarmokologi, nonfarmakologis, dan
interpersonal.
h. Kesiapan meningkatkan menjadi orang tua
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selam …x… jam diharapkan
pasien dan keluarganya siap dengan kriteria hasil sebagai berikut :
Tabel 2.9 Knowledge Infant Care
Indikator IR ER
1. Memegang bayi dengan benar
2. Memandikan bayi
3. Perawatan tali pusat
Keterangan :
1) Tidak tahu
2) Pengetahuan terbatas
3) Pengetahuan menengah
4) Pengetahuan banyak
5) Pengetahuan luas
Intervensi : Parent Education: Infant
1) Ajari orang tuan dalam ketrampilan perawatan bayi baru lahir
2) Berikan informasi tentang menyusui
3) Mendorong orang tua memegang, berpelukan, pijat,
menyentuh bayi
4) Membantu orang tua dalam menafsirkan isyarat bayi, isyarat
non verbal, dan menangis
5) Menginstruksikan orang tua tentang cara merawat popok
38

6) Memberikan informasi tentang karakteristik perilaku bayi yang


baru lahir
7) Membantu orang tua mengidentifikasi tentang karakteristik
perilaku bayi yang baru lahir
8) Bantu orang tua dalam mengidentifikasi karakteristik perilaku
bayi
9) Berikan informasi bagi orang tua mengenai bagaimana
membuat lingkungan rumah yang aman bagi bayi
10) Motivasi orang tua untuk bermain dengan bayi
11) Tunjukkan bagaimana tehnik menenangkan bayi
i. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selam …x… jam diharapkan
intoleransi aktifitas teratasi dengan kriteria hasil sebagai berikut :
Tabel 2.10 Respiratory Status
Indikator IR ER
1. Jumlah pernafasan
2. Saturasi oksigen
3. Ritme pernafasan
Keterangan :
1) Penyimpangan berat dari kisaran normal
2) Berat dari kisaran normal
3) Sedang dari kisaran normal
4) Ringan dari kisaran normal
5) Tidak ada
Intervensi : Oxygent Therapy, Exercise Therapy: Ambulation
dan terapi latihan: mobilitasi, dan
1) Pertahankan jalan nafas yang paten
2) Bersihkan jalan nafas pasien
3) Menginstruksikan pasien tentang pentingnya menggunakan
perangkat oksigen
4) Monitor efektivitas terapi oksigen (pulse oxymetry)
5) Monitor kemampuan toleransi pasien dalam pemindahan
oksigen ketika makan
6) Monitor kecemasan pasien terkait terapi okigen
7) Ganti dari nasal masker ke nasal kanul apabila sudah toleransi
8) Monitor lokasi dan kecenderungan adanya nyeri nyeri dan
ketidaknyamanan sekama pergerakan/aktivitas
9) Menganjurkan pasien untuk duduk di kasur, duduk di pinggir
kasur (dengan menggelantungkan kaki), dan duduk dikursi
39

10) Membantu pasien dalam perpindahan


11) Menganjurkan ambulasi dalam batas normal
j. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan kontraindikasi
terhadap menyusui
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selam …x… jam diharapkan
ketidakefektifan pemberian ASI teratasi dengan kriteria hasil sebagai
berikut :
Tabel 2.11 Breastfeeding Estabilisment: Infant
Indikator IR ER
1. Reflek hisap
2. Terdengar suar menelan
Keterangan :
1) Tidak adekuat
2) Sedikit adekuat
3) Sedang adekuat
4) Banyak adekuat
5) Sangat adekuat
Intervensi : Lactation Counseling
1) Memberikan informasi tentang manfaat psikologis dan
fisiologis dari menyusui
2) Memberikan kesempatan untuk menyusui setelah lahir, bila
sanggup
3) Menginstruksikan pada isyarat makan bayi
4) Memonitor kemampuan bayi untuk menghisap
5) Menunjukkan menghisap pelatihan jika perlu (bersihkan jari
untuk menstimulasi reflek hisap dan menyusu)
6) Menginstruksikan ibu untuk melakukan perawatan payudara
7) Menyarankan ibu untuk memakai bra yang pas dan
mendukung
8) Monitor nyeri putting dan gangguan pada kulit putting
9) Memberikan informasi keuntungan memberikan ASI setelah
melahirkan
10) Intruksikan macam-macam posisi meyusui
k. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selam …x… jam diharapkan
kekurangan volume cairan teratasi dengan kriteria hasil sebagai
berikut :
Tabel 2.12 Nutrition Status : Food and Fluid Intake
Indikator IR ER
40

1. Pemasukan makanan
2. Pemasukan cairan oral
3. Cairan intravena
Keterangan :
1) Tidak adekuat
2) Sedikit adekuat
3) Sedang adekuat
4) Banyak adekuat
5) Sangat adekuat
Intervensi : Fluid/Electrolyte Management, Bleeding Reducton:
Postpartum uterus
1) Monitor intake dan output
2) Monitor tekanan darah, nadi, frekuwensi pernafasan
3) Monitor tanda dan gejala perburukan dari dehidrasi seperti
poliuria/oliguria, mata cekung, dan nafas pendek yang cepat
4) Monitor hasil specimen laborat untuk memonitoring pada
perubahan tingkatan elektrolit/cairan seperti BUN, hematokrit,
protein, albumin, urin
5) Berikan cairan intravena yang sesuai
6) Monitor tanda-tanda vital
7) Monitor respon pasien setelah pemberian cairan intravena
8) Meninjau kembali sejarah obstetri dan catatan persalinan dari
faktor resiko perdarahan postpartum
9) Menerapkan es ke fundus
10) Menaikkan kaki
BAB III
METODOLOGI PENULISAN KTI

A. Penatalaksanaan Studi Kasus


1. Rancangan Karya Tulis Ilmiah
Penulis menggunakan rancangan studi kasus dalam karya tulis
ilmiah ini. Rancangan penelitian studi kasus merupakan salah satu
jenis rancangan penelitian non-eksperimen yang tergolong dalam
rancangan deskriptif. Rancangan ini mencangkup pengkajian satu unit
penelitian yang mencangkup satu unit penelitian secara intensif
misalnya satu klien, keluarga, kelompok, komunitas atau institusi.
Meskipun jumlah subyek cenderung sedikit namun jumlah variabel
yang diteliti sangat luas. Oleh karena itu sangat penting untuk
41

mengetahui semua variabel yang berhubungan dengan masalah


penelitian. Rancangan studi kasus bergantung pada keadaan kasus
namun tetap mempertimbangkan faktor penelitian waktu (Nursalam,
2013).
Rancangan ini digunakan untuk membahas dan memperdalam
proses keperawatan pada pasien dengan judul asuhan keperawatan
pada pasien dengan Post Sectio Caesarea (SC) dengan indikasi Pre-
Eklamsia Berat (PEB) di RSUD Banyumas. Dalam melakukan asuhan
keperawatan terhadap pasien penulis menggunakan teknik pendekatan
asuhan keperawatan yang terdiri dari pengkajian, penentuan diagnosa
keperawatan, perencanaan dan implementasi keperawatan hingga
evaluasi dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
2. Subyek Studi Kasus
Subyek studi sesuai dengan kasus yang diambil penulis meliputi:
a. Pasien dengan Post Sectio Caesarea dengan indikasi Pre-Eklamsia
Berat
b. Pasien dan keluarga bersedia dikelola oleh penulis
c. Pasien dilakukan asuhan keperawatan selama 3 hari
3. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan oleh penulis dalam pengumpulan data
antaralain dengan wawancara, pemeriksaan fisik dan studi
dokumentasi.
a. Wawancara
Wawancara atau interview merupakan metode
pengumpulan data secara langsung antara perawat dan klien.Di
sisi, perawat (pewawancara) mendapatkan respon langsung dari
klien melalui tatap muka dan pertanyaanyang diajukan. Data
wawancara adalah semua ungkapan klien, tenaga kesehatan, atau
orang lain yang berkepentingan, termasuk keluarga, teman dan
orang terdekat klien (Asmadi, 2008).
Penulis melakukan wawancara yang meliputi identitas
pasien dan penanggung jawab, riwayat kesehatan pasien dan pola
pengkajian Gordon. Selain melakukan wawancara kepada pasien,
penulis juga melakukan wawancara kepada keluarga pasien
sehingga data yang diperoleh lebih lengkap.
42

b. Observasi
Observasi adalah kegiatan pengumpulan data melalui
pengamatan langsung terhadap aktivitas responden atau partisipan
yang terencana dilakukan secara aktif dan sistematis.Unsur
terpenting dalam observasi adalah mempertahankan penilaian yang
obyektif (Kelana, 2011). Observasi yang dilakukan pada saat
metode pengumpulan data yaitu dilakukan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik adalah proses inspeksi tubuh dan system
tubuh guna menentukan ada/tidaknya penyakit. Pemeriksaan fisik
berfokus pada respon klien terhadap masalah kesehatan yang
dialaminya (Asmadi, 2008).
Dalam melakukan pengkajian pemeriksaan fisik penulis
menggunakan pendekatan secara head to toe. Head to toe yaitu
observasi dari kepala secara berurutan sampai ke kaki (keadaan
umum, tanda-tanda vital, kepala, wajah, telinga, hidung, mulut,
leher, punggung, dada, paru, jantung, abdomen, genetalia dan
kaki). Alasan penggunaan pemeriksaan fisik secara head to toe
adalah hasil pengkajian lebih spesifik dan memiliki urutan yang
runtut dari bagian atas sampai ujung kaki.
Dalam melakukan pemeriksaan head to toe penulis
menggunakan beberapa teknik yaitu inspeksi merupakan proses
observasi secara sistematik menggunakan indera penglihatan
sebagai alat untuk mengumpulkan data. Inspeksi dilakukan untuk
mendeteksi bentuk, warna, posisi, ukuran, tumor dan lainnya dari
tubuh pasien.
Palpasi dalah pemeriksaan fisik yang dilakukan melalui
perabaan terhadap bagian-bagian tubuh yang mengalami
kelainan.Auskultasi adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan
melalui pendengaran, biasanya menggunakan alat yang disebut
dengan stetoskop. Perkusi adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan
dengan mengetuk bagian tubuh menggunakan tangan atau alat
bantu seperti reflek hammer untuk mengetahui reflek seseorang,
43

juga dilakukan pemeriksaan lain yang berkaitan dengan kesehatan


fisik klien.
c. Studi dokumentasi (catatan medis)
Studi dokumentasi (catatan medis) adalah data klien saat ini
dan masa lalu yang dapat menguatkan informasi tentang pola
kesehatan dan pengobatan masa lalu atau memberikan informasi
baru yang dapat digunakan perawat untuk mengidentifikasi pola
penyakit, respon terhadap pengobatan sebelumnya dan metode
koping masa lalu (Dalami, dkk, 2011).
Pada studi dokumentasi, penulis mengkaji pemeriksaan
penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan fisik.

4. Instrumen studi kasus


Instrumen studi kasus menurut Kelana (2011) yaitu suatu alat yang
digunakan oleh peneliti untuk mengobservasi, mengukur atau menilai
suatu fenomena.Berdasarkan jenisnya instrumen penelitian dibagi
menjadi 4 yaitu instrument fisiologis, pedoman observasi, pedoman
wawancara dan kuesioner. Dalam pembuatan KTI penulis akan
menggunakan:
a. Instrumen fisiologis
Instrumen fisiologis adalah instrument yang digunakan untuk
mengukur atribut fisik dengan suatu alat ukur terstandarisasi.
Misalnya timbangan untuk mengukur berat badan, thermometer,
monitor dan spignomanometer untuk mengukur tekanan darah.
b. Pedoman pengkajian
Pedoman tentang pengkajian yang dilaksanakan untuk
mengumpulkan informasi dari pasien, pedoman yang digunakan
yaitu antara lain
1) Format pengkajian
Format pengkajian berisi tentang identitas pasien dan
penangggung jawab, riwayat kesehatan pasien yang riwayat
kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, dan riwayat
penyakit keluarga, riwayat obstetri yang berisi tentang paritas
44

pada ibu hamil, menarche, HPHT, dan penggunaan obat-obatan


pada masa kehamilan.
2) Format pengkajian pola Gordon
Format pengkajian pola Gordon yaitu bersi tentang pola
persepsi kesehatan, pola nutrisi dan metabolik, pola eliminasi,
pola latihan dan aktifitas, pola istirahat tidur, pola perceptual,
pola konsep diri dan persepsi diri, pola hubungan dan peran,
pola reproduksi dan seksual, pola koping stress dan toleransi,
dan pola keyakinan dan nilai.

3) Format pengkajian nyeri


Pengkajian nyeri merupakan pengukuran skala nyeri yang
biasa dipakai untuk mengukur tingkat nyeri pada seorang
pasien yang biasanya digunakan dirumah sakit.
5. Proses Studi
a. Identifikasi kasus
Proses identifikasi kasus dalam karya tulis ilmiah ini didahului
dengan fenomena yang ada dari angka kejadian di Indonesia,
melalui sumber media jurnal sehingga penulis akan mengambil
kasus dengan judul asuhan keperawatan dengan Post Sectio
Caesarea Indikasi Pre-eklamsia Berat (PEB) RSUD Banyumas.
b. Pemilihan kasus
Pada kesempatan ini penulis memilih kasus dengan judul asuhan
keperawatan dengan Post Sectio Caesarea Indikasi Pre-eklamsia
Berat (PEB) RSUD Banyumas.
c. Kerja lapangan/pengelolaan kasus
Dalam study kasus ini penulis melakukan dalam 1 minggu yang
akan mengelola kasus selama 3 hari. Pengelolaan kasus ini dimulai
dari pengkajian, analisa data, intervensi, implementasi, dan
evaluasi keperawatan. Pada hari pertama penulis akan melakukan
pengkajian pada pasien, merumuskan diagnosa keperawatan dan
membuat intervensi keperawatan, pada hari kedua penulis akan
melakukan implementasi keperawatan salah satunya yaitu
melakukan pemonitoran tanda-tanda vital, pemonitoran pemasukan
45

dan pengeluaran cairan dan pada hari ketiga penulis akan


melakukan evalusi keperawatan kepada pasien.

d. Pengelolaan data
Pengelolaan data yang digunakan perawat meliputi dengan
beberapa cara yaitu :
1) reduksi data yaitu merangkum, memilih yang pokok,
memfokuskan pada hal yang penting lalu dicari pola dan
temanya yaitu perumusan analisa data.
2) Penyajian data
Penyajian data merupakan salah satu kegiatan dalam
pembuatan laporan study kasus yang telah dilakukan agar
dapat dipahami dan dianalisis sesuai dengan tujuan yang
diinginkan. Data yang disajikan harus sederhana, dan jelas agar
mudah dibaca. Penyajian data juga dimaksudkan agar para
pengamat dapat dengan mudah memahami apa yang kita
sajikan untuk selanjutnya dilakukan penilaian atau
perbandingan dan lain lain.
3) Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan yaitu melakukan verifikasi secara terus-
menerus sepanjang proses studi kasus berlangsung, yaitu
selama proses pengumpulan data (Sugiyono, 2013). Penulis
akan membandingkan antara indikator pada outcome
dibandingkan dengan indikator pada saat evaluasi pada hari
ketiga apakah masalah keperawatan tersebut teratasi atau
belum teratasi.
e. Intepretasi data
Interpretasi data bertujuan untuk menentukan masalah pada klient
yang pernah dialami dan menentukan keputusan.
6. Tempat dan Waktu
Penulis mengambil kasus di RSUD Banyumas, penulis melakukan
asuhan keperawatan selama 3 hari.
46

7. Etika Studi Kasus


Etika studi kasus pada Karya Tulis Ilmiah ini terdiri dari self care,
determination, privacy, dan dignity, anonymity dan confidentiality,
justice, atau keadilan, beneficience, serta informed consent untuk lebih
jelasnya akan diuraikan sebagai berikut:
1. Self Determination
Subyek harus dilakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai
hak memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek maupun
tidak, tanpa adanya sanksi apapun atau akan berakibat terhadap
kesembuhannya, jika mereka seorang klien (Nursalam, 2011).
2. Privacy dan Dignity
Setiap orang hak dasar individu (privacy) dan kebebasan
individu dalam memberikan informasi. Setiap orang berhak untuk
tidak memberikan apa yang diketahuinya kepada orang lain. Oleh
sebab itu peneliti, tidak menampilkan informasi mengenai identitas
dan kerahasiaan identitas subjek, disamping itu, peneliti juga harus
menghormati harkat dan martabat subjek penelitian atau Dignity
(Notoatmodjo, 2010).
3. Anonymity dan Confidentiality
Masalah etika keperawatan tanpa nama (Anonymity)
merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan
subyek penelitian dengan cara tidak memberikan atau
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya
menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil
penelitian yang akan disajikan. Untuk menjaga kerahasiaan pada
lembar yang telah diisi oleh responden, penulis tidak
mencantumkan nama secara lengkap, responden cukup
mencantumkan nama inisial saja (Hidayat, 2008).
Masalah etika keperawatan kerahasiaan (Confidentiality)
merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan
hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya.
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya
oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan
pada hasil riset. Peneliti menjelaskan bahwa data yang diperoleh
47

dari responden akan dijaga kerahasiaannya oleh peneliti


(Nursalam, 2011)
4. Justice atau Keadilan
Subjek harus dilakukan secara adil baik sebelum, selama dan
sesudah keikutsertanya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi
apabila ternyata mereka tidak bersedi atau dikeluarkan dari
penelitian (Nursalam, 2011).
5. Beneficience
Penelitian harus berhati-hati mempertimbangkan resiko dan
keuntungan yang akan berakibat kepala subjek pada setiap
tindakan (Nursalam, 2011).
6. Informed Consent
Informed Consentmerupakan bentuk persetujuan antara
peneliti dan responden penelitian dengan memberikan lembar
persetujuan. Tujuan Informed Consent adalah agar subjek mengerti
maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya.
Beberapa informasi yang harus ada dalam Informed Consent
tersebut antara lain: partisipasi pasien, tujuan dilakukannya
tindakan, jenis data yang dibutuhkan, komitmen, prosedur,
pelaksanaan, potensi yang akan terjadi, manfaat, kerahasiaan,
informasi yang mudah dihubungi, dan lain-lain. Merupakan lembar
persetujuan studi kasus yang diberikan kepada responden, agar
responden mengetahui maksud dan tujuan studi kasus.Responden
setuju untuk terlibat dalam studi kasus dan telah menandatangani
lembar persetujuan (Hidayat, 2008).
48

Vous aimerez peut-être aussi