Vous êtes sur la page 1sur 16

PENDIDIKAN UNTUK KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN

Menuju pendidikan yang berkeadilan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi
seluruh rakyat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan dengan biaya murah dan terjangkau.
Membangun sistem pendidikan nasional yang terpadu, komprehensif dan bermutu. Meningkatkan
kemampuan profesonalisme dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan sebagai pilar
utama pembangunan pendidikan nasional
Rabu, Januari 30, 2008
Strategi Pendidikan Islam dalam Menghadapi Globalisasi
Oleh: Fahmy Alaydroes[2]

PENDAHULUAN

Kehidupan globalisasi telah dengan nyata melanda kehidupan kita. Suka ataupun tidak suka,
ummat Islam harus menghadapinya dengan segala implikasinya. Ciri-ciri kehidupan global[3]
antara lain: Pertama, terjadinya pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke arah persaingan
perdagangan, investasi dan informasi; dari keseimbangan kekuatan (balance of power) ke arah
keseimbangan kepentingan (balance of interest). Kedua, hubungan antar negara/bangsa secara
struktural berubah dari sifat ketergantungan (dependency) ke arah saling ketergantungan
(interdependency), hubungan yang bersifat primordial berubah menjadi sifat tergantung kepada
posisi tawar-menawar (bargaining position). Ketiga, batas-batas geografis hampir kehilangan arti
operasionalnya. Kekuatan suatu negara ditentukan oleh kemampuannya memanfaatkan
keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive
advantage). Keempat, persaingan antar negara sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi
tinggi. Setiap negara terpaksa menyediakan dana yang besar bagi penelitian dan pengembangan.
Kelima, terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik, efisien, tidak menghargai nilai dan
norma yang secara ekonomi tidak efisien.

Pergaulan global dengan cirinya seperti diuraikan diatas, disamping mendatangkan sejumlah
kemudahan bagi manusia, juga mendatangkan sejumlah efek negatif yang dapat merugikan dan
mengancam kehidupan. Dampak negatif tersebut antara lain: Pertama, pemiskinan nilai spiritual.
Tindakan sosial yang tidak mempunyai implikasi materi (tidak produktif) dianggap sebagai
tindakan tidak rasional. Kedua, kejatuhan manusia dari mahluk spiritual menjadi mahluk material,
yang menyebabkan nafsu hayawaniyyah menjadi pemandu kehidupan manusia. Ketiga, peran
agama digeser menjadi urusan akhirat sedang urusan dunia menjadi urusan sains (sekularistik).
Keempat, Tuhan hanya hadir dalam pikiran, lisan, dan tulisan, tetapi tidak hadir dalam perilakudan
tindakan. Kelima, gabungan ikatan primordial dengan sistem politik modern melahirkan
nepotisme, birokratisme, dan otoriterisme. Keenam, Individualistik. Keluarga pada umumnya
kehilangan fungsinya sebagai unit terkecil pengambil keputusan. Seseorang bertanggungjawab
kepada dirinya sendiri, tidak lagi bertanggung-jawab pada keluarga. Ikatan moral pada keluarga
semakin lemah, dan keluarga dianggap sebagai lembaga teramat tradisional. Ketujuh, terjadinya
frustasi eksistensial, dengan ciri-cirinya : a). hasrat yang berlebihan untuk berkuasa (the will to
power), bersenang-senang untuk berkuasa, bersenang-senang untuk mencari kenikmatan (the will
to pleasure), yang biasanya tercermin dalam perilaku yang berlebihan untuk mengumpulkan uang
(the will to money), untuk bekerja (the will to work), dan mengejar kenikmatan seksual (the will
to sex); b). kehampaan eksistensial berupa perasaan serba hampa, hidupnya tidak bermakna, dan
lain-lain; c). neuroses nogenik, perasaan hidup tanpa arti, bosan, apatis, tak mempunyai tujuan,
dan sebagainya. Keadaan semacam ini semakin banyak melanda manusia, hari demi hari.
Kedelapan, terjadinya ketegangan-ketegangan informasi di kota dan di desa, kaya dan miskin,
konsumeris, kekurangan dan sebagainya[4].

Pendidikan Islam[5] memainkan peranan yang sangat penting dalam mempersiapkan generasi
menghadapi era yang penuh dengan tantangan. Pendidikan Islam harus mampu menyelenggarakan
proses pembekalan pengetahuan, penanaman nilai, pembentukan sikap dan karakter,
pengembangan bakat, kemampuan dan keterampilan, menumbuh-kembangkan potensi aqal,
jasmani dan ruhani yang optimal, seimbang dan sesuai dengan tuntutan zaman[6].

Kenyataannya, pendidikan islam (khususnya di Indonesia) telah berjalan dalam lorong krisis yang
panjang. Pendidikan Islam telah kehilangan pijakan filosofisnya yang hakiki, yang kemudian
berdampak kepada tidak jelasnya arah dan tujuan yang hendak dicapai. Pendidikan Islam juga
tertatih-tatih dan gagap dalam menghadapi laju perkembangan zaman dan arus globalisasi.
Akibatnya, output pendidikan Islam, yang semestinya melahirkan generasi “imamul muttaqien”
malah melahirkan generasi yang gagap: gagap teknologi, gagap pergaulan global, gagap zaman
dan bahkan gagap moral!. Perlu strategi yang tepat dalam membangun pendidikan islam yang
sebenarnya.

HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan merupakan sebuah proses pemberdayaan manusia untuk membangun suatu peradaban
yang bermuara pada wujudnya suatu tatanan masyarakat yang sejahtera lahir dan bathin. Allah
SWT sebagai Pencipta memberdayakan adam as (manusia pertama) dengan proses pendidikan
Islam sendiri memulai proses membangun kembali peradaban manusia yang telah porak poranda
(kala itu) dengan mengibarkan panji-panji wahyu pertamanya yang sarat akan nilai-nilai
pendidikan. Sistem dan metode yang amat menentukan kualitas hidup manusia secara utuh
(ruhiyah, jasadiyah dan aqliyah) dalam segala bidang adalah pendidikan. Akibatnya dalam
sepanjang sejarah kehidupan umat manusia, amat sulit ditemukan kelompok manusia yang tidak
menggunakan pendidikan sebagai sarana pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Bahkan
pendidikan juga dijadikan sarana penerapan suatu pandangan hidup. Pepatah Arab bahkan
menegaskan: adabulmar’I khoirun min dzahabihi (pendidikan lebih berharga bagi manusia
ketimbang emasnya)[7].

Pendidikan memikul beban amanah yang sangat berat, yakni memberdayakan potensi fitrah
manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan
dirinya sebagai hamba[i], yang siap menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya yakni
“khilafah fil ardl”. Oleh karena itu pendidikan berarti merupakan suatu proses membina seluruh
potensi manusia sebagai: makhluq yang: beriman, berfikir, dan berkarya untuk kemaslahatan diri
dan lingkungannya. Membangun sekolah berkualitas berarti menyelenggarakan proses pendidikan
yang membentuk kepribadian peserta didik agar sesuai dengan fitrahnya.
Memberdayakan potensi fitrah manusia haruslah berkesesuaian dengan nilai-nilai yang mendasari
fitrah itu sendiri, yakni nilai-nilai robbani yang bersumber kepada Rob yang menciptakan manusia
itu sendiri, sebagai zat yang maha mengetahui akan segala sifat dan tabiat manusia. Dengan
mengacu pada nilai-nilai tersebut, maka dengan sendirinya proses pendidikan niscaya akan
memperhatikan azas-azas fisiologis, psikologis dan paedagogis yang melekat erat sebagai
sunnatulkaun pada pertumbuhan dan perkmbangan manusia, juga memperhatikan situasi dan
kondisi zaman di mana peserta didik menjalankan kehidupannya kelak.

Pendidikan aqal adalah salah satu aspek yang sangat diperhatikan oleh Islam, selain aspek
pendidikan jasmani dan ruhani. Islam sangat memperhatikan penggunaan aqal dan pemikiran.
Kemuliaan Adam as, manusia pertama di muka bumi, terkait dengan kemampuannya dalam proses
pemberdayaan aqal.[8] Wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT kepada RasuluLlah SAW
memerintahkan pemberdayaan aqal lewat kegiatan membaca (QS: Al Alaq 1-5), kemudian
dilanajutkan dengan surah yang Allah SWT bersumpah atas nama “pena”, symbol pemberdayaan
aqal melalui kegiatan menulis (QS Al Qolam:1). Lebih jauh, materi ‘aqal dalam Al Qur’an
terulang sebanyak 49 kali, yang sebagiannya (sebanyak 13 kali) dalam bentuk istifham inkari
(pertanyaan negative) yang menunjukkan dorongan atau memberi penakanan membangkitkan
semangat, disebutkan untuk mencerca bagi mereka yang tidak menggunakan aqal. Sedangkan
term ulul albab terulang sebanyak 16 kali, yang mengandung makna mereka yang menggunakan
aqal untuk berfikir substanstif (lubbu = inti, substansi)[9]

Membangun suatu institusi pendidikan berarti mengambil peran dan tanggung jawab yang besar
terhadap proses pembentukan kepribadian anak, karena di lembaga pendidikan itulah anak akan
mendapatkan sebagian besar faktor-faktor penentu bentukan kepribadiannya, terutama dalam
domain kognitif, afektif dan konatif, yang sering pula diterjemahkan menjadi pengetahuan, sikap
dan perilaku. Kepribadian yang baik akan tumbuh pada anak manakala seluruh faktor eksternal
yang mempengaruhi proses pembentukannya dapat berinteraksi dengan sistem fisiopsikologis
peserta didik secara sehat, proporsional dan memunculkan pengalaman belajar yang
menyenangkan serta membangkitkan motivasi.

Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas tentang tujuan dan
hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai
kebenaran dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba (QS AsSyams:8, Adz
Dzariyat: 56), yang siap menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya sebagai khalifah di
muka bumi (QS 2:30/ 33: 72 ) Oleh karena itu pendidikan berarti merupakan suatu proses
membina seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman dan bertaqwa, berfikir, dan
berkarya, sehat, kuat dan berketerampilan tinggi untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya.

Hakikat Pendidikan Islam seharusnya mengajarkan, mengasuh, melatih, mengarahkan, membina


dan mengembangkan seluruh potensi peserta didik dalam rangka menyiapkan mereka
merealisasikan fungsi dan risalah kemanusiaannya di hadapan Allah SWT: yaitu mengabdi
sepenuhnya kepada Allah SWT dan menjalankan misi kekhilafahnnya di muka bumi sebagai
makhluk yang berupaya memakmurkan kehidupan dalam tatanan hidup bersama dengan aman,
damai dan sejahtera. Oleh karena itu pendidikan seharusnya diarahkan kepada upaya ma’rifah
terhadap Allah SWT dalam upaya mengokohkan tali hubungan denganNya sebagai Rob, Pencipta,
Pemelihara dan Penguasa alam raya (misi ubudiyah), dan kemampuannya meningkatkan kualitas
hubungan dengan sesama makhluk di alam fana ini guna bersama merealisasikan dan
menigimplementasikan nilai-nilai ilahiyah sehingga tercipta kedamaian dan kesejahteraan bagi
sesama dan semua (misi khilafah).

Hakikat Pendidikan Islam seharusnya melahirkan generasi yang mengusai kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sangat diperlukan bagi peningkatan kemaslahatan dan
kesejahteraan ummat manusia, Tujuan Pendidikan Islam juga harus mampu membentuk watak
atau karakter yang akan membekali putera-puteri generasi menjalankan misi dan fungsinya
sebagai anak manusia, anak bangsa dan hambaNya yang bertaqwa

Seharusnya, Pendidikan Islam melahirkan generasi yang mampu menghadapi era global.
Setidaknya, lima kemampuan yang mereka harus miliki, yaitu: 1) Kemampuan belajar Mendidik
dan melatih anak didik agar selalu terus menerus terbiasa dan terampil belajar. Dengan
kemampuan ini, arus informasi dan perubahan yang selalu dan kerap terjadi di era global ini akan
selalu dapat diantisipasi. Patutlah dalam hal ini, Pendidikan Islam memperhatikan pernyataan
UNESCO bahwa dalam abad 21, belajar hendaknya berpijak pada 4 pilar, yaitu: a) learning to
think, b) learning to know, c) learning to do, d) learning to live together. 2) Kemampuan
melakukan penelitian: eksploratif, kritis, inovatif, dan kreatif, 3) Kemampuan membangun
jaringan kerjasama (networking), 4) Kemampuan beradaptasi dengan keaneka-ragaman budaya, 5)
Berpegang teguh pada nilai dan prinsip.

KRISIS PENDIDIKAN ISLAM


Krisis Paradigmatik
Memudarnya kecemerlangan pendidikan Islam (the decline of Islamic learning)
sesungguhnya sudah terjadi sejak ratusan tahun yang silam. Salah satu sebab utama
layunya intelektualisme Islam adalah saat dunia pendidikan Islam terjadi dikotomi
keilmuan; terbelahnya ilmu agama (‘ilmu diniyah) dengan ilmu dunia (‘ilmu dunya),
dikotomi antara wahyu dan alam, serta dikotomi antara wahyu dan aqal. Dikotomi
yang pertama telah melanggengkan supremasi ilmu-ilmu gama yang berjalan secara
monotonik, dikotomi kedua telah menyebabkan kemiskinan penelitian empiris dalam
pendidikan Islam, serta dikotomi yang terakhir telah menjauhkan filsafat dari
pendidikan Islam[10].
Dunia pendidikan Islam terjebak pada simtom dikotomik yang sangat parah:
sekularisasi’ dan ’sakralisasi’ pendidikan. Sekularisasi bermakna bahwa pendidikan
telah melepaskan dirinya dari agama. Agama diartikan sebagai sesuatu yang ’hanya’
berhubungan dengan maslalah ibadah ritual, ataupun hal-hal yang berkaitan dengan
urusan-urusan mu’amalah terbatas seperti nikah, talak, rujuk, warisan, dan
pengurusan jenazah (mayyit). Agama tidak ada hubungannya dengan sains, teknologi,
terlebih lagi kepada ilmu sosial, hukum, politik, budaya. Sedangkan pada sekolah-
sekolah agama (madrasah ataupun pesantren), pendidikan terlalu asyik dengan kajian-
kajian ’kitab kuning’ (ajaran Islam klasik yang membahas fiqh, hadis ataupun tafsir)
tanpa peduli dengan perkembangan zaman, kemajuan sains dan teknologi yang
sesungguhnya relevan untuk diketahui, difahami bahkan dikuasai. Alhasil, “Islam”
hanya diartikan sebatas “agama”, yang maknanya terbatas pada lingkup ritual
(tanasuk) ibadah, jenazah, nikah-talak-rujuk, warisan dan hal-hal yang berkait dengan
urusan ghaib/kehidupan akhirat. Islam hanyalah sebuah “agama”, bukan “ad-Din”
yang makna hakikinya melingkupi seluruh aturan hidup dan kehidupan (minhajul
hayah). Dengan cara pandang seperti itu, wajarlah kalau kemudian pendidikan Islam
pun terjebak ke dalam lingkup yang sempit dan “lepas” dalam segala urusan
memakmurkan dunia.
Krisis Visi dan Arah
Pendidikan Islam mengalami krisis visi dalam pengertian bahwa kebanyakan lembaga
pendidikan islam tidak mampu merumuskan/menetapkan visi dan arah pendidikannya
dengan apa yang secara hakiki menjadi tujuan pendidikan yang diinginkan oleh Islam
itu sendiri. Lembaga Pendidikan Islam lebih banyak menjadikan “Islam” sebagai
obyek bahasan, bukan menjadikan Islam sebagai “way of life” (Minhajul hayah).
Padahal, sudah pasti, lulusan mereka akan menghadapi segala problematika
kehidupan yang sarat dengan tantangan-tantangan zaman dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekonologi modern, yang membutuhkan penyikapan yang jelas,
terarah dan efektif. Ketertinggalan ummat Islam dalam sains dan teknologi, kurang
peduli terhadap pemeliharaan lingkungan, ketidak-berdayaan dalam menghadapi
aneka virus, bakteri dan hama yang mendatangkan penyakit (baik kepada manusia,
hewan ataupun tanaman) yang kemudian menyebabkan terpinggirkannya eksistensi
ummat di panggung dunia merupakan contoh nyata dan jelas dalam hal ini.
Krisis Pengembangan

Pendidikan Islam (di Indonesia) jalan di tempat. Setelah lewat masa puluhan tahun,
lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak menunjukkan kemajuan kinerjanya yang
berarti. Sebagai contoh, gerakan pembaruan pendidikan Islam yang dilakukan
organisasi Muhammadiyah lebih banyak menekankan pada aspek kuantitatif, belum
menajam pada aspek pembangunan mutu (kualitatif)[11]. Dari berbagai tolok ukur
(fasilitas, manajemen, sdm, kurikulum), rata-rata pendidikan Islam belum duduk
dalam barisan “papan atas”. Pendidikan Islam mengalami kekurangan sumberdaya
manusia, sumberdaya pemikiran, sumber daya dana, sumber-sumber belajar.
Pendidikan Islam kurang didukung oleh riset dan pengembangan yang berkelanjutan,
baik yang dilakukan oleh individu masyarakat ataupun oleh pemerintah. Hasilnya,
model pengelolaan institusi dan pendekatan pembelajaran tidak mengalami
perkembangan yang berarti. Boleh jadi, krisis pengembangan ini diakibatkan pula
oleh lemahnya komitmen dan alokasi pendanaan bagi kemajuan pendidikan Islam
[12]. Sedikit pihak penyandang dana (baik dari APBN, dari masyarakat, ataupun dari)
anggaran belanja Negara
krisis Proses dan pendekatan pembelajaran
Pada sisi lain, pendidikan Islam telah kehilangan substansinya sebagai sebuah
lembaga yang mengajarkan bagaimana memberdayakan aqal dan fikiran. Meminjam
istilah Syed Husein Al Attas, pendidikan Islam telah kehilangan ”Spirit of inquiry”
yaitu hilangya semangat membaca dan meneliti yang dulu menjadi supremasi utama
dunia pendidikan Islam pada zaman klasik pertengahan.[13] Dengan hilangnya
semangat inquiry’, kegiatan mengajar dan belajar di sekolah-sekolah/madrasah
Islam/pesantren menjadi monoton, satu arah dan kurang mampu mengembangkan
metode yang melatih dan memberdayakan kemampuan belajar murid. Mereka hanya
terpaku pada metode ’menghafal” (rote learning), menyimak dengan seksama
(talaqqi), dan sangat kurang mengembangkan budaya diskusi, seminar, bedah kasus,
problem solving, eksperimen, observasi, dan sebagainya. Murid menjadi kurang
terampil dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan.
Krisis pengelolaan (manajemen)

Sudah menjadi pengetahuan publik, lembaga pendidikan Islam seringkali di kelola


tanpa dukungan manajemen yang handal. Kebanyakan lembaga pendidikan malah
berada dalam “kerajaan” para kiyai ataupun yayasan keluarga yang dalam
penyelenggaraanna seringkali mengabaikan prinsip-prinsip dasar manajemen. Alih-
alih menerapkan standar proses berbasis ISO, ataupun pendekatan TQM yang
berorientasi pada mutu, ataupun mencanangkan manajemen strategis yang
mengarahkan pada perencanaan jangka panjang (visioner), membuat rencana jangka
pendek pun seringkali diabaikan.

Krisis Komunikasi
Lembaga pendidikan Islam masing-masing berjalan sendiri. Mereka hanya
berkomunikasi dengan sesamanya, tetapi kurang mengembangkan jalinan kerjasama
kepada lembaga-lembaga pendidikan lainnya, apalagi ke lembaga pendidikan di
mancanegara. Kalaupun ada, komunikasi berjalan tidak dalam kerangka membangun
kerjasama peningkatan mutu. Dengan kondisi yang demikian, lembaga-lembaga
pendidikan Islam agak lamban dalam merespons perkembangan kemajuan di dunia
pendidikan.

SOLUSI STRATEGIS

Kenyataan yang tak dapat dipungkiri, pendidikan Islam di negeri ini belum mampu menunjukkan
jati dirinya. Masyarakat masih melihat dan menilai pendidikan Islam dengan “sebelah mata”.
Perlu dilakukan gerakan pembaharuan pendidikan Islam melalui langkah-langkah strategis
berikut:

1. Membangun Paradigma Pendidikan Islam yang sebenarnya[14]

Melakukan kajian yang mendalam untuk membangun kembali paradigma pendidikan Islam sesuai
dengan semangat ’ruhul Islam’ yang sebenarnya. Pendidikan Islam yang berpijak kepada Al
Qur’an dan AsSunnah. Pikiran-pikiran yang perlu ditegaskan antara lain:
a. Paradigma ‘lmullah sebagai obyek bahasan

Pendidikan Islam harus berpijak kepada pandangan bahwa Allah SWT menurunkan ‘ayat dan
‘ilmu Nya melalui dua jalur: jalur formal melalui prosedur Allah – malaikat – Rasul; yang disebut
sebagai ‘ayatul qauliyah (Wahyu, AlQur’an), dan ayatul kauniyah (alam semesta). Ayat qauliyah
menjadi petunjuk dan pedoman (minhajul ayah), sedangkan ayatul kauniyah menjadi fasilitas,
sarana kehidupan (wasailul hayah). Lihat bagan berikut:

Dengan paradigma sebagaimana tergambar di atas, dalam pendidikan Islam tidak akan mengalami
disintegrasi ataupun dikotomik. Semua obyek bahasan (dalam kurikulum) dipandang sebagai
‘ilmu Allah yang harus dipelajari untuk mendapatkan bekalan Petunjuk Hidup (mempelajari
‘ayatul qauliyah) dan mendapatkan bekalan untuk memperoleh fasilitas hidup (mempelajari ilmu
kauniyah). Bila paradigma tadi dilihat dalam konteks kurikulum, Ali Maksum & Luluk Yunan
Ruhendi (2005) menggambarkannya sebagai berikut[15]:

A = Integrasi Sains Islami

B = Spesialisasi Ilmu

Implikasi praksis dari paradigma ‘IlmuLlah adalah, bahwa ummat Islam akan menyadari dengan
sepenuhnya bahwa mereka harus mempelajari dan menekuni seluruh ‘ilmu Allah dalam upaya
meraih kejayaan dunia dan akhirat. ‘Ilmu-ilmu umum’ yang selama ini dianggap sebagai
‘pendidikan umum”, niscaya akan berubah menjadi pendidikan (yang diperintahkan oleh) Islam
juga.

b. Paradigma holistik-integralistik
Proses pendidikan Islam harus berorientasi pada pembentukan manusia seutuhnya. Oleh karena
itu, materi pendidikan Islam mengandung kesatuan pendidikan jasmani-ruhani, mengasah
kecerdasan inetelektual, emosional dan spiritual, kesatuan pendidikan teoritis dan praktis,
kesatuan pendidikan individu-sosial, dan kesatuan materi pendidikan keagamaan (diniyah),
filsafat, etika dan estetika (akhlak) . Evaluasi pendidikan islam juga dilakukan dalam kerangka
kesatuan pengetahuan, sikap dan perilaku.

2. Membangun Model Lembaga Pendidikan Islam yang ideal

Perlu ada model sekolah/lembaga pendidikan Islam yang dibangun dengan format yang ideal.
Boleh jadi ada satu sekolah yang memiliki satu atau dua keunggulan, sementara sekolah lain
memiliki keunggulan pada aspek lainnya. Sekolah-sekolah model inilah yang kemudian dapat
dijadikan contoh yang dapat ditiru oleh sekolah-sekolah Islam lainnya. Setidaknya kita berharap
akan menemukan lembaga pendidikan Islam yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Mengusung nilai dan pesan Islam sebagai ruh dalam setiap kegiatan sekolah. Seluruh dimensi
kegiatan sekolah senantiasa bernafaskan semangat nilai dan pesan-pesan Islam. Adab dan etika
pergaulan seluruh waga sekolah dan lingkungannya, tata tertib dan aturan, penataan lingkungan,
pemfungsian mesjid, aktivitas belajar mengajar, berbagai kegiatan sekolah baik reguler ataupun
non reguler semuanya mencerminkan realisasi dari ajaran Islam.

b. Mengintegrasikan nilai kauniyah dan qauliyah dalam bangunan kurikulum. Seluruh bidang ajar
dalam bangunan kurikulum dikembangkan melalui perpaduan nilai-nilai Islam yang terkandung
dalam Al Qur’an dan asSunnah dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan umum yang diajarkan.
Artinya, ketika guru hendak mengajarkan ilmu pengetahuan umum semestinya ilmu pengetahuan
tersebut sudah dikemas dengan perspektif bagaimana AlQur’an/AsSunnah membahasnya. Dengan
demikian tidak ada lagi ambivalensi ataupun dikotomi ilmu.

c. Menerapkan dan mengembangkan metode pembelajaran untuk mencapai optimalisasi proses


belajar mengajar. Pendekatan pembelajaran mengacu kepada prinsip-prinsip belajar, azas-azas
psikologi pendidikan serta perkembangan kemajuan teknologi instruksional. Menggunakan
kemampuan dan keterampilan berfikir yang kaya seperti: berfikir kritis, kreatif, analitis, induktif,
deduktif, problem solving melalui berbagai macam pendekatan pembelajaran. Penggunaan
sumber, media dan peraga dalam kegiatan belajar merupakan bagian dari upaya memunculkan
suasana belajar yang stimulatif, motivatif dan fasilitatif. Pembelajaran harus lebih diarahkan pada
pada proses learning yang produktif, ketimbang proses teaching. Peserta didik diarahkan dan
difasililitasi untuk mampu mendaya-gunakan kemampuannya sebagai pembelajar yang terampil
dan produktif.

d. Mengedepankan qudwah hasanah dalam membentuk karakter peserta didik. Seluruh tenaga
kependidikan (baik guru maupun karyawan sekolah) mesti menjadi figure contoh bagi peserta
didik. Keteladan akan sangat berpangaruh terhadap hasil belajar. Dan kualitas hasil belajar sangat
dipengaruhi kualitas keteladanan yang ditunjukkan oleh tenaga kependidikan.
e. Menumbuhkan biah solihah dalam iklim dan lingkungan sekolah: Lingkungan sekolah harus
marak dan ramai dengan segala kegiatan dan perilaku yang terpuji seperti: terbiasa dengan
menghidupkan ibadah dan sunnah, menebar salam, saling hormat-menghormati dan menyayangi
dan melindungi, bersih dan rapih. Di sisi lain lingkungan sekolah juga harus terbebas dari segala
perilaku yang tercela seperti umpatan, makina, kata-kata yang kotor dan kasar, iri, hasad dan
dengki, konflik berkepanjangan, kotor dan berantakan, egois, ghibah.

f. Melibatkan peranserta orangtua dan masyarakat dalam mendukung tercapainya tujuan


pendidikan. Ada kerjasama yang sistematis dan efektif antara guru dan orangtua dalam
mengembangkan dan memperkaya kegiatan pendidikan dalam berbagai aneka program. Guru dan
orangtua saling bahu-membahu dalam memajukan kualitas sekolah. Orangtua harus ikut secara
aktif memberikan dorongan dan bantuan baik secara individual kepada putera-puterinya maupun
kesertaan mereka terlibat di dalam sekolah dalam serangkaian program yang sistematis.
Keterlibatan orangtua memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam meningkatkan
performance sekolah.

g. Menjamin seluruh proses kegiatan sekolah untuk selalu berorientasi pada mutu. Ada system
manajemen mutu terpadu yang mampu menjamin kepastian kualitas penyelenggaraan sekolah.
Sistem dibangun berdasarkan standar mutu yang dikenal, diterima dan diakui oleh masyarakat.

3. Memperkaya Kurikulum PAI yang berwawasan: perjuangan, kebangsaan, global, iptek,


demokratis, pluralis,.

Pelajaran Agama Islam bukan semata mempelajari materi-materi Islam dalam konteksnya sebagai
’ulum syar’iyah (Fiqh, Ibadah, Akhlaq, Aqidah) , melainkan diposisikan sebagai pelajaran agama
yang memberikan kerangka pengetahuan, sikap dan perilaku yang sangat relevan dan dibutuhkan
dalam konteks kehidupan masa kini. PAI berwawasan perjuangan berarti menegaskan pentingnya
semangat juang yang tinggi untuk membela kebenaran, keadilan, kezhaliman, kemunkaran
sebagaimana yang banyak dipesankan oleh AlQur’anul Karim[16]. PAI berwawasan kebangsaan
berarti, di dalamnya juga terkandung muatan nilai-nilai cinta dan bela tanah air, selalu peduli akan
kejayaan dan kemakmuran bangsa dan negara. PAI berwawasan global berarti menjadikan Islam
agama yang mampu memberikan perspektif, arahan dan bekalan dalam kehidupan global yang
sangat syarat dengan kemajuan sains dan teknologi yang berimplikasi luas bagi kehidupan antar
manusia (mu’amalah). PAI berwawasan iptek berarti memberi kerangka yang tepat bagi
pengembangan dan penggunaan iptek untuk kemaslahatan kehidupan (wasailul hayah), yang
implikasinya adalah PAI yang seimbang antara aspek fikr dan dzikr; memicu dan memacu peserta
didik, untuk berfikir keras dan mendalam tentang alam[17]. PAI berwawasan demokratis
menekankan kepada inti dari demokrasi itu sendiri yaitu: penghargaan dan penghormatan terhadap
nilai-nilai kemanusiaan, yang sungguh sangat dijamin dalam ajaran Islam. PAI berwawasan
pluralis berarti menjelaskan bahwa Islam menerima (toleran) terhadap berbagai keragaman etnis,
budaya, bangsa dan agama sebagai suatu realita kehidupan, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip
aqidah yang sudah jelas, tegas dan final (qoth’i)[18].

4. Membangun Jaringan Lokal dan Global dgn sesama lembaga pendidikan Islam
Percepatan kemajuan lembaga pendidikan Islam sangat ditentukan oleh kemampuan mereka
dalam membangun kerjasama. Diperlukan networking

yang efektif yang dapat memainkan peranan dalam:

* Meningkatkan mutu dan intensitas komunikasi virtual sehingga terjadi sharing (berbagi):
masalah, penglaman, infromasi, sumber (resources), kerjasama melalui media milis, website, sms.
* Menggalakkan kerjasama peningkatan mutu penyelenggaraan antar jaringan sekolah pada
regional/wilayah terjangkau sehingga terjadi percepatan pertumbuhan dan perkembangan mutu
sekolah. Contoh: - kelompok kerja profesional (kepala sekolah, guru bidang studi, walikelas,
kepala tata usaha)
* Menggalakkan kompetisi yang sehat (fastabiqul khoyrot) untuk memacu dan memicu motivasi
berkarya, mengembangkan inovasi dan prestasi melalui serangkaian lomba: olimpiade mata
pelajaran,
* Menggalakkan kompetisi yang sehat (fastabiqul khoyrot) untuk memacu dan memicu motivasi
berkarya, mengembangkan inovasi dan prestasi melalui serangkaian lomba: olimpiade mata
pelajaran, karya kreasi guru, sekolah asri, dsb.
* Menyelenggarakan kegiatan siswa bersama: jambore, ekshibisi, study tour, pertukaran siswa

5. Menjalin kemitraan dengan industri, institusi dan pusat-pusat iptek, budaya dan ekonomi

Mendekatkan dunia pendidikan Islam dengan dunia nyata dan kongkrit merupakan salah satu
upaya yang sangat berarti. Dengan jalinan kerjasama dan kemitraan yang efektif kepada industri,
institusi atau lembaga-lembaga iptek, budaya ataupun lembaga ekonomi, bahkan instansi militer
akan memperkaya dan memperluas sumber belajar. Jalinan kemitraan ini akan menutupi banyak
kelemahan dan kekurangan sumber daya yang dimiliki lembaga pendidikan Islam. Pendidikan
sains akan sangat efektif ketika peserta didik mendapatkan pengalaman nyata dan langsung di
pusat-pusat penelitian dan pengembangan seperti LIPI, BPPT, Puspiptek Serpong. Wawasan
HAM, Demokrasi ataupun Politik dapat dipelajari langsung di lembaga-lembaga Negara, partai
politik, LSM dan sebagainya. Demikian pula pada upaya peningkatan mutu pembelajaran social,
ekonomi, budaya, hukum bahkan agama dapat diperkaya dengan pendekatan “experience
learning” ke sentra-sentra kegiatan nyata di tengah-tengah masyarakat.

6. Membuat pusat pengembangan guru

Guru adalah tulang punggung pendidikan. Oleh karenanya, mutu guru harus mendapatkan
kepastian dan jaminan akan kompetensi profesionalnya. Membangun pusat-pusat pelatihan dan
pengembangan mutu guru sangat membantu menyediakan tenaga-tenaga kependidikan yang
handal. Selain itu, dengan adanya pusat-pusat pengembangan mutu guru akan memfasilitasi
terjadinya tukar pengalaman dan salimng share berbagai ide dan gagasan.

7. Benchmarking dengan world class school


Menjadikan sekolah kelas dunia (world class school) sebagai patokan adalah upaya untuk
mengangkat lembaga pendidikan Islam agar selalu “gaul” dan mengikuti perkembangan mutu
sekolah berskala international. Dengan tetap menajga jati diri agama dan bangsa, pada beberapa
karakteristik yang sifatnya universal, lembaga pendidikan Islam patut merujuk kepada
criteria/karaktersitik sekolah-sekolah unggul di berbagai belahan dunia. Kriteria sekolah efektif
menurut hasil analisis yang dilakukan oleh the Connecticut School Effectiveness Project, sebagai
berikut:[19]

1. Lingkungan yang asri, nyaman dan aman yang memunculkan suasana kondusif bagi kegiatan
belajar mengajar

2. Misi sekolah yang jelas dengan komitmen kepada tujuan instruksional, prioritas, prosedur
assessment dan akuntabilitas.

3. Kepemimpinan instruksional di bawah arahan kepala sekolah yang memahami dan menerapkan
berdasarkan karakteristik efektifitas instruksional.

4. Adanya Iklim dimana seluruh staf guru mengharapkan dengan sangat (“high expectation”) akan
tuntasnya pencapaian basic skill oleh para murid.

5. Motivasi mengajar yang tinggi yang dibarengi dengan adanya harapan yang tinggi dari seluruh
staf pengajar akan terbentuknya basic skill di kalangan seluruh murid.

6. Tenaga kependidikan yang “high time on task”: selalu berorientasi kepada penyelesaian tugas,
terampil dalam mengelola waktu secara efektif

7. Supervisi yang efektif kepada seluruh pengajar: upaya memberikan bimbingan, feedback
(umpan balik) serta dukungan kepada staf pengajar

8. Pemantauan yang berkelanjutan terhadap kemajuan prestasi murid, menggunakan hasil belajar
murid untuk program pengembangan individual maupun perbaikan program instruksional, serta
melakukan proses penilaian yang sistematis.

9. Hubungan sekolah dan rumah yang positif dimana orangtua memberikan dukungan yang
bermakna dan memainkan peranan penting dalam upaya pencapaian misi utama sekolah.

Sementara itu, dalam suatu penelitian lain, diperoleh gambaran bahwa sekolah-sekolah yang ada
di berbagai Negara maju: Taiwan, Jepang, Jerman, Korea, New Zealand, Israel dan lain-lain yang
kemudian disebut sebagai sekolah kelas dunia (world class school), memiliki standard hal-hal
berikut[20]:

1. Memiliki kurikulum dan standard penilaian (test) nasional. Mereka memiliki kurikulum dan tes
standar nasional, selain untuk kepentingan mobilitas siswa juga untuk menjadi ukuran kemajuan
nasional.
2. Jumlah hari efektif sekolah 201 hari. Jumlah hari efektif mereka belajar dan bekerja di sekolah
selama setahun yang dimanfaatkan secara optimal.

3. Jumlah jam belajar di rumah/mengerjakan PR = 2.4 jam/hari

4. Pemerintah memfasilitasi rencana strategis dan kerangka manajemen

5. Guru mendapatkan respek dan penghargaan yang tinggi. Di Jepang, tinggal dan bertetangga
dengan seorang guru merupakan kebanggaan dan menaikkan status symbol mereka, di Taiwan
guru tidak membayar pajak penghasilan dan Hari Konfusius di rayakan sebagai ”Hari Guru”.

6. Kuatnya dorongan dan etka belajar keras meraih prestasi kepada seluruh murid; Masyarakat dan
orangtua memberikan respek yang tinggi kepada guru dan siswa yang menunjukkan kinerja baik
dalam proses mengajar dan belajar. Mereka sangat menghargai prestasi, dan menganggapnya
sebagai sesuatu yang terpuji dan luhur.

PENUTUP

Kebangkitan dan kejayaan suatu kaum tidak akan pernah sukses kalau sendi dan pilar
pendidikannya rapuh. Menjayakan sekolah merupakan suatu keniscayaan (compulsary) yang tidak
terbantahkan baik ditinjau dari aspek logis, idealis, filosofis ataupun historis. Sekolah Islam
seharusnya memainkan peranan yang penting dalam memajukan mutu pendidikan, baik untuk
dirinya maupun dalam konteks pendidikan nasional. Kebangkitan sekolah Islam bersendikan
kepada pengembangan model sekolah yang mengacu kepada azas-azas pendidikan sebagaimana
diisyaratkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, dan diinspirasi oleh temuan-temuan riset
pendidikan dan pengalaman sekolah-sekolah modern kelas dunia.

Setidaknya, di kalangan masyarakat, upaya peningkatan mutu sekolah Islam mulai bergerak[21].
Beberapa pihak mulai menyadari pentingnya membangun sekolah/lembaga Islam yang
berwawasan visioner dan global. Demikian pula komunikasi jaringan antar sekolah-sekolah Islam
mulai marak di 5 tahun terakhir. Upaya-upaya yang ada, meskipun belum membuahkan hasil yang
optimal, paling tidak ada kesadaran kolektif akan pentingnya membangun pendidikan Islam yang
bermutu, guna menyiapkan generasi yang beriman, bertaqwa, cerdas dan terampil. Perlu mendapat
dukungan semua fihak, WaLlahu a’lam.

----------------------

[2] Ketua Departemen Pendidikan PKS, Ketua Jaringan Lembaga Pendidikan Islam Indonesia,
Ketua Yayasan Pesantren Nurul Fikri.

[3] Lihat Ali Maksum dan Yunan Ruhendi dalam “Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern
dan Postmodern” Yogya: Ircisod. Halaman 281
[4] Ibid, halaman 282-283

[5] Yang dimaksud Pendidikan Islam dalam tulisan ini dibatasi dalam pengertian tempat atau
lembaga yang melaksanakan proses pendidikan Islam dengan mendasarkan pada programnya atas
pandangan serta nilai-nilai Islam. Assegaf yang menyebutkan bahwa istilah “pendidikan islam”
setidaknya mengandung 3 dimensi: dimensi kegiatan, dimensi kelembagaan dan dimensi
pemikiran. Lebih jauh lihat , Abdurrahchman Assegaf , ” Politik Pendidikan Nasional”,
Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005. hal 105.

[6] Imam Sayyidina Ali RA mengisyaratkan betapa pentingnya menyelenggarakan pendidikan


yang diarahkan bagi upaya mempersiapkan anak didik menghadapi tantangan dalam zaman
mereka: “didiklah anak-anakmu dengan didikan yang berbeda dengan didikan kalian, karena
mereka akan hidup di generasi yang berbeda dengan generasi kalian”

[7] Abraha, Kamsul. “Urgensi Jaringan Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Dalam rangka
Pemberdayaan dan Peningkatan Peran Lembaga Pendidikan Islam”, makalah: hal. 1

[8] Al Qur’an surah Al Baqoroh: 31-34

[9] DR Yusuf Qardhawi, “Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan”, hal. 30.

[10] Lihat lebih jelas di buku: “Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik”, Abdurrahman
Mas’ud. 2003. Yogyakarta: Gama Media, halaman 8-9.

[11]Lihat dalam Internet:


http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/35/organisasi_sosial_keagamaan_dan_keberadaan.htm

[12] Krisis pendanaan pendidikan diperparah pula oleh sikap sebagian besar masyarakat yang
kurang begitu tanggap terhadap dukungan pendanaan pengembangan pendidikan. Mereka lebih
tertarik memberikan sumbangan (donasi) untuk kemiskinan, bencana alam ataupun pembangunan
mesjid. Jarang dari mereka menyumbang untuk kegiatan pengembangan pendidikan.

[13] Uraian lebih jauh dan filosofis dapat dilihat dalam buku: Menggagas Format Pendidikan
Non-Dikotomik”, tulisan Abdurrahman Mas’ud yang diterbitkan oleh Gama Media, Yogyakarta.

[14] Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi membahas masalah ini lebih luas dan detail, lihat
dalam buku mereka “Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern” ,
Yogyakarta: Ircisod, 2004. hal 181-190

[15] Opcit, halaman 287

[16] Jihad fi sabilillah, Amar Ma’ruf Nahiy Munkar (memerintahkan kebajikan, dan mencegah
kemunkaran) merupakan doktrin-doktrin Al Qur’an dan menjadi prasyarat bagi terbentuknya
“khairu ummah’, lihat QS: Ali Imran: 110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada
yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” .

[17] QS: Ali Imran 190-191

[18] Dalam hal pluralisme agama., perlu dibedakan antara sikap menerima dalam kerangka
hubungan antar manusia (mu’amalah) dengan sikap aqidah. Dalam bermu’amalah Islam
mewajibkan ummatnya untuk menghargai, menghormati, bahkan membela hak-hak siapapun yang
tertindas. Namun dalam pandangan aqidah, Islam secara tegas dan jelas memandang bahwa hanya
agama Islamlah yang Benar (QS: …)

[19] Hasil analisis The Connecticut School Effectiveness Project (lihat di Lunenberg and Ornstein,
1991. “Educational Administration, Concept and Practices”. Belmont, California: Wadsworth
Publishing Co.)

[20] Richard M. Haynes and Donald M. Chalker (….) dalam “World Class School”, internet:
www.asbj.com/achievement/aa/aa1.html. Lebih jauh hasil penelitian terhadap sekolah-sekolah
unggul kelas dunia juga memiliki keyakinan (beliefs) yang sangat kuat, yaitu: Belief #1: We
believe that students are our customers and our service to students will be of the highest caliber
when every decision is made on the basis of what is best for students. Belief #2: We believe ALL
students will learn and excel when provided with authentically engaging work based on high
standards that is given in a risk-free environment. Belief #3: We believe in order to provide a
world-class education to all students that teamwork, open communication, honesty and trust must
be part of all working relationships. Belief #4: We believe that all employees—teachers, support
staff, administrators, and School Board members—have special talents and strengths that have a
positive impact on student achievement. Employees are encouraged to pursue continual
professional development and model life-long learning.

[21] Beberapa contoh gerakan peningkatan mutu pendidikan Islam antara lain dilakukan antara
lain oleh:

Sekolah Islam Al Izhar, Sekolah Islam Al Azhar, Sekolah Islam Terpadu Mutiara Duri-Riau, SIT
Fajar Hidayah Cibubur, Sekolah Islam Terpadu Nurul Fikri, Depok, Sekolah Islam Al Hikmah
Surabaya, Pesantren AzZaitun, Sekolah Islam Tugasku, Jakarta, Madrasah Aliyah “Insan
Cendekia”, Serpong, Sekolah Islam “Lazuardi”, Sekolah Islam Salman Al Farisi Bandung.
Lembaga Pembinaan Mahasiswa-mahasiswa berprestasi: PPSDMS “Nurul Fikri” . Jaringan
Lembaga Pendidikan Islam: Seperti JSIT Indonesia, Konsorsium Pendidikan Islam, Surabaya;
Milis “SD Islam” di Bandung dan sekitarnya.
pendidikan umat at 11.31

1 komentar:

khozinmaRabu, Januari 30, 2008 3:34:00 PM


Wahai Kaum Muslimin.
Masalah masalah yang terjadi sekarang di seluruh negeri negeri kita menuntut kita untuk bergerak.
Sudah bukan waktunya lagi bagi kita untuk berdiam diri. Kembalikan semua kepada islam. Mari
kita tegakkan hukum Allah di bumi Allah ini. Syariah akan menyelesaikan semua masalah.
Dengan Islam kaum muslimin akan hidup dengan mulia. Tegaknya Islam mengharuskan tegaknya
Syariah. Kita semua Kaum Muslimin memerlukan sebuah sistem yang menjamin tegakknya
Syariah.

Seandainya kaum Muslimin memahami ini, niscaya Allah akan membukakan berkah dari langit
dan bumi untuk mereka, dan mereka bisa memakan hasilnya dari atas dan dari bawah. Dan mereka
akan menjadi masyarakat yang paling produktif dan paling kaya di antara masyarakat dunia yang
lain. Mereka tidak akan hidup bergantung kepada ummat yang lainnya, mereka tidak akan
kekurangan makanan pokok sehari-hari, karena negerinya negeri agraris, dan mereka juga tidak
membutuhkan senjata yang mereka perlukan untuk memelihara kehormatan, tanah air dan 'izzah
mereka. Cukuplah seandainya ummat lain itu tidak di suplai dari ummat Islam mereka akan mati
kelaparan dan mereka akan mengalami kekalahan mental karena hinanya.

Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah


(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Balas

Terima Kasih atas komentar Anda. Mudah-mudahan akan menjadi wacana konstruktif pada
pengembangan pendidikan Umat

Links to this post


Buat sebuah Link



Beranda
Lihat versi web
Diberdayakan oleh Blogger.

Vous aimerez peut-être aussi