Vous êtes sur la page 1sur 23

BAB I

PENDAHULUAN

Ginjal adalah sepasang organ yang terletak di rongga peritoneal. Ginjal terbagi menjadi
cortex dan medulla yang di dalamnya terdapat unit fungsional ginjal yang disebut nefron.
Setiap nefron terdiri dari beberapa komponen yang seluruhnya berfungsi untuk membentuk
urin. Korpus renal terdiri dari kapiler glomerular yang disebut glomerulus dan kapsul
Bowman’s yang berfungsi untuk filtrasi. Sel endotel kapiler glomerulus terdiri dari membran
basal yang dikelilingi oleh podosit. 1,2,3
Kerusakan glomerulus menjadi penyebab utama terjadinya ESRD. Diagnosis
didasarkan sepenuhnya pada biopsi, namun invasif dengan multipel resiko dan gagal dalam
memprediksi respon terhadap terapi dan perjalanan penyakit. Sekarang banyak penelitian
genetik dan molekular terbaru dalam mengembangkan biomarker terbaru dan menawarkan
diagnosis non-invasif dan meningkatkan prognosis. 4
Ureum, kreatinin, albuminuria dan proteinuria adalah marker yang paling banyak
digunakan untuk menentukan eGFR, tetapi memiliki banyak keterbatasan. Karena itu
berkembang marker baru seperti cystatin C dan pemeriksaan UACR untuk penentuan eGFR.
Selain itu, kerusakan glomerulus diawali dengan kerusakan podosit, karena itu berkembang
banyak biomarker protein podosit, dimana kerusakan awal glomerulus biasanya belum
terdeteksi baik dengan mikroskop elektron ataupun pemeriksaan marker biasa pada serum dan
urin. Kerusakan glomerulus harus terdeteksi dari dini untuk mencegah perburukan dan
menentukan prognosis.7
Penulisan tinjauan pustaka ini untuk memperluas wawasan mengenai biomarker
kerusakan glomerulus dan deteksi dini kerusakan glomerulus. Pada tinjauan pustaka ini akan
dibahas anatomi ginjal dan glomerulus, GFR dan renal blood flow dan marker kerusakan
glomerulus.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ginjal dan Glomerulus


2.1.1. Anatomi Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ berkapsul yang terletak di rongga retroperitoneal.
Ginjal terletak antara vertebra torakal 12 sampai vertebra lumbal 3. Ginjal kanan
terletak sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri disebabkan oleh adanya hati di sebelah
kanan. Ginjal berbentuk seperti kacang, panjang 11 cm, lebar 6 cm dan berat 150 gram.1
Gambaran anatomi ginjal diilustrasikan pada gambar 2.1. Bila ginjal dipotong,
akan terlihat dua daerah yang terbagi menjadi bagian luar yang disebut cortex dan
bagian dalam yang disebut medulla. Cortex dan medulla adalah bagian dari nefron (unit
fungsional ginjal). Medulla ginjal terbagi kedalam 8-10 masa berbentuk kerucut yang
disebut renal piramid. Dasar dari setiap piramid adalah corticomedullary dan
puncaknya pada papilla dalam kaliks minor. Kaliks minor mengumpulkan urin dari
setiap papilla. Beberapa kaliks minor membentuk kaliks mayor. Kaliks mayor
kemudian menjadi pelvis renal. Pelvis renal adalah bagian atas yang luas dari ureter
yang dilewati urin menuju kandung kemih.2,3

Gambar 2.1. Anatomi Ginjal2

2
Unit fungsional ginjal adalah nefron. Setiap ginjal manusia mengandung kurang
lebih 1,2 juta nefron yang dapat membentuk urin. Ginjal tidak dapat regenerasi nefron
baru, karenanya dengan adanya renal injury, penyakit renal dan penuaan, jumlah nefron
berangsur-angsur menurun. Setiap nefron terdiri dari korpus renal, tubulus proksimal,
lengkung Henle, tubulus distal dan sistem duktus kolektikus (gambar 2.2). Korpus renal
terdiri dari kapiler glomerular yang disebut glomerulus dan kapsul Bowman’s. 2,3

Gambar 2.2. Nefron Ginjal2

2.1.2. Glomerulus
Glomerulus terdiri dari jaringan kapiler yang aliran darahnya disuplai dari
arteriol aferen dan keluar melalui arteriol eferen. Glomerulus dilapisi oleh kapsula
Bowman. Kapsula Bowman terdiri dari lapisan parietal yang terbentuk dari epitel
sedangkan lapisan viseral yang terbentuk dari podosit. Ruangan antara lapisan parietal
dan lapisan viseral adalah Bowman’s space (Gambar 2.3).2
Sel endotel kapiler glomerulus dilapisi oleh membran basal yang dikelilingi oleh
podosit. Kapiler endotel, membran basal dan prosesus dari podosit membentuk barrier
filtrasi.2

3
Gambar 2.3. Glomerulus

Sel endotel berlubang-lubang dan bersifat permeabel secara bebas terhadap air,
zat terlarut kecil (natrium, urea, glukosa), dan protein kecil, tapi tidak permeabel
terhadap protein besar seperti sel darah merah, sel darah putih atau trombosit. Endotel
mengekspresikan glikoprotein pada permukaan, sehingga endotel dapat meminimalisir
filtrasi albumin dan plasma protein kecil ke dalam Bowman’s space. Sebagai tambahan
dari fungsi barrier, endotel mensintesis beberapa substansi vasoaktif (NO sebagai
vasodilator, endothelin-1 sebagai vasokontriktor) yang memiliki peran penting dalam
mengontrol aliran plasma renal.2
Membran basal, berupa matriks berpori bermuatan negatif, termasuk kolagen
tipe IV, laminin, proteoglikan agrin dan perlecan dan fibronectin juga memiliki peran
penting dalam filtraasi protein plasma.2
Podosit memiliki prosesus fingerlike panjang yang mengelilingi permukaan luar
dari kapiler. Prosesus dari podosit melapisi membran basal dan dipisahkan oleh celah
yang disebut filtration slits. Setiap filtration slits dihubungkan oleh diafragma tipis
(filtration dypahragm) yang terlihat sebagai struktur kontinu ketika dilihat dengan
mikroskop electron. Filtration dypahragm terbentuk dari beberapa protein seperti
nephrin, NEPH-1 dan podocin, bersamaan dengan protein intraselular yang
berhubungan dengan diafragma, seperti CD2-AP dan -actinin 4 (ACTN4) (Gambar
2.4). Filtration slits memiliki fungsi primer sebagai size-selective filter, meminimalisir
filtrasi protein dan makromolekul yang melewati membran basal untuk masuk ke dalam
Bowman’s space.

4
Gambar 2.4. Anatomi Podosit2

2.1.3. Glomerular Filtration dan Renal Blood Flow


Aliran darah kedua ginjal normalnya sekitar 22% dari cardiac output, atau 1100
ml/menit. Arteri renal masuk ginjal melalui hilum dan bercabang menjadi arteri
interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobularis dan arteriol aferent yang menuju ke
kapiler glomerulus dimana cairan dan zat terlarut dalam jumlah besar difiltrasi untuk
mulai pembentukan urin. Akhir dari kapiler glomerulus adalah arteriol eferent, yang
membentuk jaringan kapiler (peritubular capillaries) yang mengelilingi tubulus renal.3
Sirkulasi renal unik karena memiliki dua kapiler dasar, kapiler glomerular dan
kapiler peritubular yang dipisahkan oleh arteriol eferent. Arteriol ini mengatur regulasi
tekanan hidrostatik di kedua kapiler. Tekanan hidrostatik di kapiler glomerular ( 60
mmHg) menyebabkan filtrasi cairan dengan cepat, dimana tekanan hidrostatik di
tubulus yang jauh lebih rendah ( 13 mmHg) memungkinkan reabsorbsi cairan dengan
cepat.3
Tahap pertama pembentukan urin adalah ultrafiltrasi plasma oleh glomerulus.
Nilai Glomerular Filtration Rate (GFR) pada orang dewasa normal adalah 90-140
ml/menit untuk pria dan 80-125 ml/menit untuk wanita. Dalam 24 jam, 180 liter plasma
difilter oleh glomerulus. Seperti kapiler pada umumnya, kapiler glomerulus relatif
impermeabel terhadap protein, sehingga hasil filter glomerulus bebas protein dan tanpa
elemen selular termasuk sel darah. Konsentrasi natrium dan molekul organik seperti
glukosa dan asam amino, sama seperti pada plasma. Sebagai pengecualian, substansi
dengan berat molekul yang rendah seperti kalsium dan asam lemak tidak difiltrasi
secara bebas karena berikatan dengan protein plasma.2,3

5
GFR ditentukan oleh keseimbangan tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik
koloid dan koefisien filtrasi kapiler, produk penyaringan dan luas permukaan
penyaringan kapiler. Penurunan dari GFR paling banyak disebabkan karena penrunan
koefisien ultrafiltrat karena hilangnya permukaan filtrasi kapiler glomerulus.3
Gold standard pengukuran GFR adalah dengan menggunakan inulin, tapi hanya
sedikit penelitian yang menggunakan inulin. Evaluasi pengukuran GFR kemudian
menggunakan radiolabeled plasma clearance yang kemudia diasumsikan mirip dengan
inulin clearance dan kemudian radiolabeled iothalamate plasma clearance menjadi
metode untuk berkembanganya studi Modification of Diet in Renal Disease (MDRD)
dan Chronic Kidney Disease Epidemiology Colaborration (CKD-EPI).3,21

2.2 Kerusakan Glomerulus


Kelainan glomerulus adalah kelompok kelainan ginjal yang menjadi penyebab
mayor dari End Stage Renal Disease (ESRD) di dunia. Pemeriksaan klinis dan hasil
dari kelainan glomerulus sangat bervariasi dan sulit di prediksi. Kondisi klinis mulai
dari ringan dan sembuh secara spontan sampai kondisi simptomatik dengan
progresivitas penyakit yang cepat. Diagnosis didasarkan sepenuhnya pada biopsi,
namun invasif dengan multipel resiko dan gagal dalam memprediksi respon terhadap
terapi dan perjalanan penyakit. Sekarang banyak penelitian genetik dan molekular
terbaru dalam mengembangkan biomarker terbaru dan menawarkan diagnosis non-
invasif, monitoring, dan meningkatkan prognosis.4

2.2.1 Marker Kerusakan Glomerulus


2.2.1.1 Ureum dan Kreatinin
Kreatinin adalah produk dari penghancuran kreatin fosfat, yang digunakan
sebagai sumber energi otot. Kreatinin diproduksi oleh otot dan di ekskresi secara kontan
ke darah. Kreatinin difiltrasi bebas oleh glomerulus, dalam jumlah kecil di sekresi oleh
tubulus. Pengukuran GFR paling umum adalah menggunakan kreatinin.5,10
Kreatinin serum (SCr) memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, SCr dapat
meningkat pada pre renal azotemia. Kedua, banyak faktor non-renal yang
mempengaruhi kadar SCr (berat badan, metabolisme otot, total volume tubuh dan obat-
obatan). Ketiga, SCr meningkat 72 jam setelah gangguan renal dan baru meningkat
setelah kerusakan ginjal lebih dari 50%. Keempat, kerusakan glomerulus dapat terjadi

6
tanpa perubahan SCr karena adanya sekresi tubular. Jadi, kreatinin terbatas untuk
diagnosis kelainan glomerulus stage awal.5
Urea adalah produk dari liver dalam siklus urea. Urea dikeluarkan dari darah
melalui ginjal. Urea clearance sama dengan creatinin clearance, tapi urea difilter dan
direabsorbsi dan urea dipengaruhi status hidrasi dan diet.10

2.2.1.2 Albuminuria dan Proteinuria


Proteinuria adalah berlebihnya serum protein di urin. Pemeriksaan uji kimia
rutin pada urine, proteinuria merupakan indikasi adanya glomerulopathy. Adanya
proteinuria sering dikaitkan dengan penyakit ginjal tahap awal dengan adanya uji
protein urine menjadi suatu bagian penting dari setiap kondisi klinis dan pemeriksaan
fisik. Urine normal mengandung sangat sedikit protein, pada umumnya kurang dari 10
mg/dL atau 100 mg/24 jam diekskresikan. Protein ini terutama terdiri dari serum protein
dengan berat molekul rendah yang telah difiltrasi oleh glomerulus dan protein yang
diproduksi dalam saluran genitourinarius. Albumin adalah protein terbanyak yang
ditemukan di urin. Disebut proteinuria klinis jika kadarnya ≥ 30 mg/dL (300 mg/L).6,12
Penyebab proteinuria bervariasi dan dibagi menjadi tiga kelompok besar : pre
renal, renal dan post renal, berdasarkan asal dari protein. Renal proteinuria
berhubungan dengan true renal disease yang berasal dari kerusakan glomerulus atau
tubulus. Ketika membran glomerulus rusak, selective filtration juga rusak, maka terjadi
peningkatan serum protein bahkan sel darah merah dan sel darah putih yang dapat
melewati membran dan diekskresikan di urin. Penyebab terbanyak kerusakan
glomerulus dengan ditemukannya substansi abnormal adalah material amyloid,
substansi toxic, kompleks imun pada lupus nephritis dan PSGN.12
Peningkatan tekanan dari darah yang masuk glomerulus menyebabkan
peningkatan albumin yang masuk untuk diflitrasi. Kondisi ini dapat reversible seperti
pada keadaan exercise berat dan dehidrasi atau berhubungan dengan hipertensi.12
Albuminuria adalah suatu gejala/ kondisi terdapatnya albumin di dalam urine.
Albumin yang mencapai ginjal melalui pembuluh darah pada umumnya akan
mengalami filtrasi pada glomerulus dan diserap kembali oleh tubulus proksimalis
menuju sirkulasi darah. Albumin secara normal berada di urin pada kadar 0.5-2.0 mg/dl.
Peningkatan ekskresi albumin (2.0 – 30 mg/dl) adalah indikasi kelompok resiko tinggi
nephropathy dan disebut mikroalbuminuria.6,12

7
Pengukuran kuantitatif protein yang diekskresikan dalam urine tampung 24 jam
telah dijadikan metode referensi dalam menentukan kadar protein urine. Namun karena
kesulitan dalam ketepatan jumlah urine tampung dan waktu yang cukup lama,
protein/kreatinin rasio (P/C) ataun Albumin/kreatinin rasio (A/C) dalam urin
dikembangkan sebagai diagnostik alternatif. Rasio protein kreatinin urine adalah nilai
perbadingan kadar protein/albumin di dalam urine dibandingkan dengan kadar kreatinin
dalam urine. Kadar normal (cut off) rasio P/C yang dipakai adalah < 0,2 mg/mg (200
mg/g). Kadar yang kurang dari 0,1 mg/mg menunjukkan kadar protein yang
diekskresikan sekitar 150 mg/hari.6
Metode pengukuran proteinuria dengan reaksi reagen strip. Prinsipnya dengan
kolorimetrik dengan menggunakan reagen tertrabromophenol blue dengan ph 3.0. Tes
ini lebih sensitif untuk albumin karena albumin mengandung lebih banyak kelompok
amino untuk menerima ion hidrogen daripada protein lainnya.12

Gambar 2.5. Multistix Protein13

Interferensi pemeriksaan ini adalah pada keadaan pH urin alkali akan


mengganggu rekasi dengan meningkatkan pH dan menghasilkan warna yang tidak
sesuai dengan kadar protein sesungguhnya. Hal ini juga terjadi pada urin yang lama.
Urin dengan pigmen yang tinggi dan kontaminasi dengan ammonium, detergent, dan
antiseptik menyebabkan false positive. False positive juga terdapat pada specimen
dengan berat jenis yang tinggi. False negative didapatkan pada keadaan dimana adanya
protein lain yang lebih tinggi dari albumin mengingat bahwa reagen strip mendeteksi
albumin. Kebanyakan laboratorium, melalukan konfirmasi pada semua hasil dengan
protein positif dengan menggunakan Sulfosalicyclic Acid (SSA) Precipitation Test.12
Pemeriksaan microalbuminuria sudah banyak berkembang dengan
menggunakan spesimen urin pagi atau sewaktu. Metode ini menggunakan
immunochemical assays untuk albumin atau albumin-specific reagent strips yang juga
mengukur albumin untuk mendapatkan rasio albumin:kreatinin.12

8
Micral-Test reagent strips mengandung gold-labeled antihuman albumin
antibody-enzyme conjugate. Immunodip reagent strips menggunakan prinsip
immunochromatographic.12
Pengukuran Albumin : Creatinine Ratio (A:C) juga dapat menggunakan “The
Clinitek Microalbumin reagent strips and the Multistix Pro reagent strips” (Siemens
Medical Solutions Diagnostics, Tarrytown, N.Y.). Kreatinin diproduksi dan diekskresi
dalam jumlah yang konstan pada setiap individu. Dengan begitu, bila dibandingkan
ekskresi albumin dengan ekskresi kreatinin, pembacaan kadar albumin dapat
menggunakan urin sewaktu. Dengan penambahan pemeriksaan kreatinin urin, reagent
strip ini juga mengganti reaksi dye-binding yang lebih spesifik untuk albumin daripada
strip sebelumnya.12

Gambar 2.6. Multistix Pro 10LS12

Pengukuran albumin menggunakan 3′ ,3′′ , diodo-4′ ,4′′ - dihydroxy-5′ ,5′′ -


dinitrophenyl)-3,4,5,6-tetra-bromosulphonphtalein (DIDNTB) yang lebih sensitif dan
spesifik untuk albumin, sehingga strip ini dapat mengukur kadar albumin antara 8-10
mg/dl (80-200 mg/L) tanpa memasukan protein lainnya. Sedangkan pengukuran
kreatinin berdasarkan reaksi enzymatic colorimetric dengan peroksidase sama seperti
pemeriksaan kreatinin darah. Pengukuran kreatinin urin dengan strip tidak dapat
mendeteksi keadaan tidak adanya kreatinin. Hal ini mengakibatkan terjadinya false
positive.12

9
Gambar 2.7. Pengukuran Kreatinin Urine12

Pengukuran A:C ratio dibaca dengan menggunakan Clinitek. Nilai abnormal


A:C ratio adalah 30-300 mg/g atau 3.4-33.9 mg/mmol. Interferens untuk pemeriksaan
stik proteinuria adalah pada kondisi urin yang nengandung banyak darah, bilirubin dan
obat-obatan yang mengandung zat pewarna (Pyridium, Azo Gantrisin, Azo Gantanol),
Nitrofurantoin (Macrodantin, Furatandin) atau Riboflavin. Kadar asam askorbat normal
ditemukan di urin, tidak mengganggu pemeriksaan. Urin yang berwarna merah karena
mengandung darah dapat menyebabkan hasil protein yang tinggi palsu.12

2.2.1.3 Cystatin C
Cystatin C adalah protein 13-kDA yang disintesis secara konstan pada seluruh
sel bernukleus. Cystatin C difiltrasi secara bebas di glomerulus dan direabsorbsi dan
dikatabolisme hampir sempurna di tubulus proximal renal. Cystatin C tidak dipengaruhi
oleh umur, jenis kelamin, diet dan massa otot dibandingkan SCr. Cystatin C serum
dipertimbangkan sebagai marker yang lebih baik untuk mendiagnosis difungsi awal
dari glomerulus. Cystatin C serum bisa mendeteksi penurunan GFR ringan sampai
sedang. Sedangkan kadar Cystatin C di urine dapat digunakan untuk menilai kelainan
di tubulus ginjal, dimana kadar cystatin C dapat meningkat sampai 200 kali bisa
didapatkan gangguan pada tubulus ginjal.5,6
CKD-EPI mengembangkan 3 pengukuran estimasi GFR melalui cystatin C
(Gambar 2.8), yaitu : hanya dengan Cystatin C, Cystatin C dengan faktor demografik,
dan Cystatin C kreatinin dan koefisien demografik. Perhitungan yang melibatkan
Cystatin C, kreatinin dan koefisien demografik memberikan estimasi GFR yang paling
akurat.5,6

10
Gambar 2.8. Perhitungan GFR21. MDRD, The Modification of Diet in Renal
Disease; GFR, Glomerular Filtration Rate; SCr, Serum Creatinine; CKD-EPI,
Chronic Kidney Disease Epidemiology Collaboration; eGFR, estimated GFR;
Scys,Serum Cystatin C. Cystatin C terbukti menjadi marker yang lebih baik
dibandingkan kreatinin.

Nilai ambang batas eGFR dengan cystatin C adalah 85 ml/mnt/1.73m2


sedangkan nilai ambang batas eGFR dengan menggunakan kreatinin adalah 60
ml/mnt/1.73m2. Hal ini menunjukan bahwa perhitungan eGFR dengan cystatin C dapat
digunakan untuk mendeteksi lebih dini peningkatan resiko ke arah yang lebih buruk
dibandingkan pengukuran eGFR dengan menggunakan kreatinin.14,15
Kelemahan Cystatin C adalah tidak dapat digunakan pada kondisi dimana
terjadi turnover sel yang cepat, penyakit tiroid yang tidak terkontrol, dan penggunaan
kortikosteroid yang dapat menginduksi produksi cystatin C sehingga meningkatkan
kadarnya. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perhitungan eGFR dengan
menggunakan kombinasi kreatinin dan Cystatin C lebih akurat dibandingkan
penggunakan salah satu marker saja dengan pertimbangan akan mengurangi efek dari
false positive salah satu marker.14,15
Kadar kreatinin dan cystatin C dipengaruhi pada beberapa faktor non-renal,
karena itu rasio cystatin C dan kreatinin serum (cysC-crea ratio) bermakna.
Peningkatan rasio tersebut disebut “shrunken pore syndrome” dimana terjadi perbedaan
estimasi GFR pada kedua marker (eGFRCys ≤ 60% eGFRCrea). Penyusutan pori-pori
glomerulus terjadi pada beberapa kondisi seperti kehamilan dan terutama pada
preeklampsia. Walaupun GFR awalnya normal dan bahkan meningkat pada kehamilan

11
normal, komposisi filtrasi glomerulus berubah karena molekul-molekul besar tidak lagi
dapat melewati pori-pori glomerulus, akibatnya konsentrasi serum molekul besar
meningkat. Cystatin C adalah molekul yang berukuran lebih besar daripada kreatinin
sehingga Cystatin C meningkat lebih awal. Peningkatan cysC-crea ratio
mengindikasikan perubahan kualitas filtrasi glomerulus yang mengarah kepada early-
stage disfungsi ginjal.17
Pengukuran Cystatin C dengan menggunakan sampel serum atau plasma
heparin. Serum pengukuran Cystatin C dapat bertahan 1 minggu pada suhuh 4oC dan 1
bulan pada suhu -20oC. Interferens pada pemeriksaan Cystain C adalah bilirubin (≤200
mg/L), hemoglobin (<5 g/L), atau sampel lipemik (≤1500 FTU) (Roche COBAS 6000
analyzer).16
Metode yang pertama kali digunakan dan disetujui oleh United States Food and
Drug Administration adalah dengan Latex-enhanced Nephelometric Immunoassays
(PENIAs) oleh Simens Nephelometer II. Berikutnya adalah Particle-enhanced
Colloidal Gold Turbidimetric Immunoassays (PETIAs) dari Roche dan Sysmex
(Gambar 2.9).12,23

Gambar 2.9. PETIA (Particle-enhanced turbidimetric immunoassay. Partikel


latex dilapisi oleh anibodi anti-cystatin C (kelinci) yang berada di dalam
reagen kemudian beraglutinasi dengan human cystatin C di sampel. Selama
inkubasi, terbentuk kompleks antigen-antibodi. Derajat kekeruhan kemudian
dibaca oleh turbidimetri pada panjang gelombang 456 nm dan berbanding
lurus dengan kadar Cystatin C pada sampel.

Interferens pemeriksaan Cystatin C adalah sampel icterus (sampai dengan 60


mg/dl), hemolysis (700 mg/dl), lipemik (1000 mg/dl), Rheumatoid factors < 1200
IU/ml, high dose hook effect Cystatin C >20.0 mg/L, IgM Waldenstrom’s.23

12
2.2.1.4 Marker Protein Podosit
Barier filtrasi terdiri dari membran basal, endotel glomerulus dan podosit. Podosit
memiliki empat fungsi utama yang bergantung pada bentuk podosit yang unik.
Fungsinya adalah : regulasi permeabilitis membran glomerulus, penyokong struktur
kapiler glomerulus, remodeling glomerular basal membran (GBM) dan endositosis
filter protein. Kerusakan podosit disebut podocyopathies. Kerusakan podosit diawali
oleh perubahan dari slit diaphragm, perubahan struktur prosesus dengan fusi dari
filtration slits, dan hilangnya apex podosit. Perubahan awal ini tidak dapat dilihat di
bawah mikroskop biasa dan mengharuskan penggunaan mikroskop electron. Oleh
karena itu, pengenalan adanya kerusakan awal dari podosit penting sangat penting.
Berikut adalah marker-marker protein podosit : 7

a. Podocalyxin
Podocalyxin (PCX) adalah marker yang paling banyak digunakan untuk
diagnostik adanya protein podosit di urin. PCX adalah polyanionic sialoprotein,
berukuran 140-kDa, berlokasi di apikal sel podosit dan merupakan antigen
permukaan podosit terbanyak (Gambar 2.10). Fungsi PCX adalah untuk
mempertahankan bentuk podosit dan slit diaphragm. PCX yang ditemukan di urin,
berasal dari podosit ginjal dan PCX urin merefleksikan derajat kerusakan podosit.
PCX juga ditemukan pada sel endotel, platelet, megakariosit, hemangioblas dan
epitel sel parietal, karena itu PCX bukan protein spesifik podosit. Namun,
pemeriksaan total jumlah PCX atau total PCX-positive cells di urin dapat
digunakan sebagai marker untuk aktivitas penyakit.8,18
Beberapa penelitian menunjukan kadar PCX urin menurun setelah terapi
pada pasien dengan FSGS, LN, HSP, IgAN, PSGN dan Diabetic Nephropathy.
Penelitian Yu et al. tahun 2005, dengan berbagai model pada AKI menunjukan
podocyturia menjadi normal lebih awal daripada proteinuria, menunjukan bahwa
podocyturia adalah marker yang lebih spesifik pada ongoing AKI daripada
proteinuria. Hara et al. melakukan penelitian pada pasien dengan IgAN dan HSP,
didapatkan hasil yang menunjukan adanya korelasi yang kuat antara ekskresi PCX-
positive cells dengan perkembangan glomerulosclerosis pada follow-up biposi.8

13
Pengukuran protein PCX dengan menggunakan sampel urin pagi. Metode
menggunakan sandwich ELISA dengan phycoerythrin (PE)-conjugated mouse
monoclonal anti-human podocalyxin (R&D Systems). Pengukuran PCX juga dapat
dilakukan dengan metode flowcitometer (BD FACSCanto). Ye. H at al, 2014,
melakukan penelitian dimana didapatkan perbedaan yang signifikan antara AUC
PCX dan Cystatin C dan Serum Kreatinin (p<0,05) pada pasien normoalbumin,
mikroalbumin,dan makroalbumin, dan kemudian didapatkan sensitivitas 92,6%
dan spesifisitas 92,6%. Abdel et al, melakukan penelitian pada 45 pasien DM tipe
II yang dibagi ke dalam kelompok normoalbuminuria, microalbuminuria dan
makroalbuminuria. Pada ketiga kelompok pasien dilakukan uji diagnosis untuk
mendeteksi Podocin dengan ELISA (Sunlong Biotech Co.) Elshaarawy et al.
melakukan peneltian pada wanita hamil dengan pre eklampsia, dan didapatkan
sensitivitas 64% dan spesifisitas 77%. Takahiro et al. melakukan penelitian pada
Membranous Nephropathy, didapatkan hasil sensitivitas 80.5% dan spesifisitas
73.5%. Tidak ditemukan adanya interferens dan cross reaction antara PCX dan
marker podosit lainnya.22,24

Gambar 2.10 Struktur Podosit

14
b. Nephrin dan Podocin
Nephrin dan Podocin adalah komponen protein pada slit diaphragm dengan
spesifisitas yang tinggi untuk podosit. Mereka memiliki peran mempertahankan
fungsi dari barier filtasi glomerulus (Gambar 2.11).7,8
Nephrin adalah protein transmembran dari kelompok immunoglobulin,
berukuran 180KD yang diekspresikan oleh podosit glomerulus, berada di antara
prosesus podosit. Nephrin juga didapatkan di pankreas, otak, spinal cord, dan
jaringan limfoid, walaupun perannya pada jaringan-jaringan tersebut belum
diketahui. Nephrin bersama dengan sel endotel dan basal membran, membentuk

glomerular filtration barrier. Terdeteksinya nephrin di urin menandakan suatu


kerusakan atau kelainan glomerulus.7,19
Gambar 2.11. Nephrin dan Podocin

Nephrin urin digunakan sebagai marker dari podocyopathies awal. Wang et


al. meneliti urin nephrin sebagai marker untuk monitoring pre-eklampsia dan
pregnancy-induced hypertension. Nephrin urin terdeteksi pada wanita dengan
kehamilan normal dan pada wanita hamil dengan hipertensi kronik. Pada pasien
dengan pre eklampsia, nephrin urin meningkat secara signifikan. Pada penelitian
lain, nephrinuria dipengaruhi oleh kerusakan tubulus proksimal, dimana nephrin
pada urin hanya terdeteksi pada beberapa pasien dengan disfungsi tubulus
proksimal yang dibuktikan dengan adanya biomarker untuk medeteksi disfungsi
tubulus proksimal awal juga ditemukan di urin. Proses pengambilan kembali

15
albumin oleh tubulus proksimal melalui mekanisme endositosis dengan
membentuk kompleks dengan reseptor, hal ini menjelaskan terjadinya delay dari
microalbuminuria pada pasien dengan nephrinuria. Ini diasumsikan bahwa tubulus
proksimal juga mungkin berperan tidak hanya pada albumin tapi juga pada
pengambilan kembali nephrin oleh tubulus proksimal.7,19
Nascimento et al. menggunakan mRNA RT-PCR membandingkan nephrin
urin dan albumin urin pada 3 kelompok pasien diabetes : normoalbuminuria,
microalbuminuria (MI) dan makroalbuminuria (MA). Didapatkan hasil, nephrin
urin yang meningkat pada pasien diabetes bahkan pada pasien dengan
normoalbuminuria.7
Pada penelitian Garovic et al., menunjukan Podocin muncul sebagai marker
podosit yang paling kuat dibandingkan dengan PCX, nephrin dan synaptopodin
dengan sensitifitas 100% pada wanita dengan pre eklampsia.7,8
Metode yang paling umum digunakan untuk pengukuran nephrin urin adalah
dengan human NPHN (Nephrin) ELISA kit ((Exocell, Philadelphia, PA; R&D
Systems, Minneapolis, MN, USA). Metode lainnya adalah menggunakan mRNA
RT-PCR dan imunohistokimia. Interferens pemeriksaan adalah pada sampel
dengan gross microbacteriuria.7,8
Kedua protein secara signifikan berkurang pada penyakit dengan proteinuria.
Secara keseluruhan, nephrin dan podocin mungkin sangat spesifik untuk podosit,
namun sangat dipengaruhi oleh keadaan proteinuria dimana terjadi pengurangan
prosesus podosit dan berkurangnya slit glomerular diaphragm yang merupakan ciri
umum dari penyakit renal dengan proteinuria.7,8

c. Synaptopodin
Synaptopodin adalah protein spesifik podosit (Gambar 2.11), actin
cytoskeleton-associated protein yang memiliki peran penting untuk integritas actin
cytoskeleton dan regulasi migrasi sel podosit. Synaptopodin urin merefleksikan
destruksi podosit, karena synaptopodin berada pada prosesus dari cytoskeleton
podosit. Seperti nephrin dan podocin, synaptopodin ditemukan berkurang pada
biopsy berbagai penyakit ginjal.20
Pemeriksaan synaptopodin dengan menggunakan sampel urin sewaktu.
Metode yang digunakan dengan menggunakan RT-PCR, imunohistokimia.20

16
d. Glomerular Epithelial Protein1 (GLEPP1)
GLEPP1 adalah membran-bound protein-tyrosine phosphatase pada
permukaan apical podosit yang memiliki peran dalam meregulasi struktur dan
fungsi prosesus podosit. Protein ini juga didapatkan di otak. GLEPP sekarang
seringkali disebut tyrosine phosphatase receptor type O (Ptpro). Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa ekspresi GLEPP1 menunjukkan cidera podosit sehingga
ekspresi GLEPP1 dapat menjadi salah satu penanda yang penting pada kerusakan
podosit.8

e. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)


VEGF adalah faktor pro-angiogenik, diproduksi terutama oleh podosit, yang
memiliki peran atas sel ini melalui mekanisme autokrin. Pada tahap awal kerusakan
glomerulus, ekspresi VEGF meningkat di dalam podosit yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas endotel dan efek autokrin VEGF terhadap podosit yang
selanjutnya teradi proteinuria. Ekskresi VEGF di urin meningkat bahkan pada
keadaan normoalbuminuria, menandakan VEGF mungkin dapat digunakan sebagai
biomarker yang sensitif untuk diagnosis kerusakan glomerulus awal.17
Pada sebuah penelitian, didapatkan korelasi antara VEGF dengan
nephrinuria dan UACR, juga didapatkan korelasi dengan biomarker disfungsi
tubulus proksimal bahkan pada pasien dengan normoalbuminuria. Sama seperti
nephrin, tubulus proksimal berperan pada VEGF urin. Pemeriksaan VEGF
menggunakan sampel urin pagi. Metode yang digunakan dengan menggunakan
VEGF human ELISA kit.19

No. Biomarker Metode


1. Podocalyxin ELISA
2. Nephrin & Podocin ELISA, RT-PCR, IHK
3. Synaptopodin RT-PCR, IHK
4. GLEPP1 IHK
5. VEGF ELISA
Tabel 2.1. Marker Protein Podosit

17
Tabel 2.2 Perbandingan Market Podosit. Pengukuran Serum pada 44 pasien dengan
preeklampsia dan 23 pasien kontrol normotensi. Ekskresi urin podosit didapatkan pada
semua pasien dengan preeklampsia.25

Vogelmann et al. dan beberapa penelitian lain mencoba melakukan kultur pada
podosit urin. Pola pertumbuhan podosit urin terlihat sangat mirip antara sel podosit
yang bermnigrasi keluar dari podosit ataupun podosit yang menua dan apoptosis.
Setelah pertumbuhan koloni 1-2 minggu, banyak sel yang mengalami apoptosis,
dimana sisa lainnya mengalami diferensiasi, sebagai indikasi proses perkembangan.
Menariknya, sel podosit dari urin pasien dengan penyakit glomerulus menunjukan
proliferasi yang cepat sampai sebagian mengalami apoptosis dan sebagian lainnya
melanjutkan proses proliferasi. Terlihat sangat kontras, dimana kultur podosit urin dari
orang normal menampilkan koloni sel yang lebih kecil, proliferasi yang lebih singkat
dan apoptosis yang lebih cepat. Namun pada penelitian ini, tidak ditemukan GLEPP-1.
Petermann et al melakukan deteksi mRNA marker podosit, dan menariknya pada
penelitian ini ditemukan hasil yang sama pada urin yang segar maupun urin yyang
disimpan setelah beberapa jam. Ini mengindikasikan bahwa elemen podosit tidak
hancur dengan penyimpanan urin yang lama.25
Podosit berbentuk seperti cobblestone. Penampakan sel cobblestone menjadi
satu-satunya karakteristik untuk membuktikan bahwa glomerular tersebut berasal dari
podosit. Sel yang diperkirakan podosit tersebut kemudian dibuktikan dengan pengujian
podocalyxin atau synaptopodin. Ekspresi filament protein juga digunakan untuk
memastikan. Permasalahan dari kultur podosit in vitro adalah adanya pertumbuhan
yang cepat dari podosit secara in vitro, ditemani dengan hilangnya bentuk sel

18
cobblestone yang spesifik yan gmenjadi standar morfologi podosit. Bantuk sel berubha
menjadi arborized. Baik cobblestone maupun arborized, sama-sama mengekspresikan
podocyte specific O-acetylated ganglioside dan WT-1. Pada pertumbuhan secara in
vitro juga didapatkan ekspresi synaptopodin yang sedikit. Pada diferensiasi in vitro
didapatkan hilangnya lymphopoietic marker antigens yang didapatkan pada
perkembangan tahap awal podosit in vivo.26

Tabel 2.3 Ringkasan Marker Podosit25

19
2.2.1.5 B2-microglobulin (B2-M)
B2-M adalah molekul kecil berukuran 11.8 kDa dan merupakan kelas HLA 1,
berada pada semua sel bernukleus di tubuh dan dalam jumlah yang banyak berada pada
sel imun seperti limfosit dan monosit. B2-M memiliki karakteristik secara konstan
difiltrasi bebas oleh glomerulus dan direabsorbsi dan metabolisme oleh tubulus
proximal.6,12
Kadar B2-M meningkat pada penyakit ginjal, keganasan, penyakit autoimun,
infeksi dan penuaan. B2-M adalah marker endogen yang baik dari GFR dan
peningkatan kadar B2-M plasma merupakan indikator penurunan GFR yang lebih
sensitif dibanding creatinine clearance.6
Pengukuran B2M dengan menggunakan sampel serum, plasma atau urin.
Metode yang digunakan menggunakan solid phase ELISA (AssayPro, IBL
International GMBH, dan Phoenix Pharmaceuticals,INC) dengan menggunakan Mouse
monoclonal anti-B2MG antibody.

20
2.2.1.6 Biomarker Lain untuk Setiap Kelainan Glomerulus

21
Tabel 2.3 Biomarker kelainan Glomerulus

22
BAB III
KESIMPULAN

Glomerulus adalah bagian dari ginjal yang terdiri dari kapiler. Kapiler
glomerulus terdiri dari membran basal yang dikelilingi podosit dan berfungsi sebagai
barrier filtrasi. Kerusakan glomerulus mengakibatkan gangguan dari filtrasi.
Gangguan filtrasi mengakibatkan penurunan dari GFR yang didapatkan dari
perhitungan dengan ureum dan kreatinin yang banyak memiliki keterbatasan seperti
dipengaruhi diet, massa otot, exercise, dan berat badan, sedangkan cystatin C tidak
dipengaruhi hal-hal tersebut karenanya cystatin C dapat mendeteksi dini kerusakan
glomerulus ringan-sedang. Gangguan filtrasi didapatkan juga dari ditemukannya
proteinuria dan albuminuria yang pada pemeriksaannya memiliki banyak kelemahan,
karenanya dikembangkan pemeriksaan UACR.
Kerusakan glomerulus dini pada keadaan normoalbuminuria, ditentukan dengan
pemeriksaan marker podosit. Podocalyxin, nephrin, podocin, synaptopodin, GLEPP1,
dan VEGF merupakan biomarker baru yang nantinya diharapkan dapat menunjukkan
kerusakan dini glomerulus. Kerusakan glomerulus dini sangat penting untuk mencegah
kerusakan yang lebih luas, monitoring terapi dan menentukan prognosis.

23

Vous aimerez peut-être aussi