Vous êtes sur la page 1sur 7

Baca dan pahami artikel berikut, dan untuk selanjutnya jelaskan menurut

pendapat anda, dan berikan dan jelaskan contoh yang anda ketahui
sekarang ini.

Hasil analisanya silahkan kerjakan pada MS. Word, denga ketentuan


Jenis kertas A4
Ukuran huruf 12
Spasi 2
Jenis huruf aril
Margin seseuikan yang ideal menurut anda

Aspek-Aspek Internal Manajemen yang Harus Diperhatikan dalam pengembangan dan


Implementasi Teknologi Informasi di Perusahaan

Teknologi dan globalisasi bisnis telah menciptakan lingkungan persaingan baru di


abad ke-21. Teknologi globaliasi telah berinteraksi untuk menciptakan revolusi yang
berkelanjutan. Secara khusus, pengembangan dan penggunaan teknologi baru telah
memfasilitasi meningkatnya globalisasi.

Saat ini, Internet telah membuka jalan kemudahan bagi komunikasi dan koordinasi
yang cepat dan efektif antara unit-unit dan operasi global. Teknologi ini juga memfasilitasi
relasi bisnis-ke-bisnis (B2B). Banyak perusahaan sekarang yang berlomba untuk bergabung
dengan revolusi e-commerce.

Dua trend-Internet dan komunikasi nirkabel-juga penggunaan kombinasi keduanya


(Internet dihubungkan dengan telepon bergerak), memfasilitasi peningkatan e-commerce
dengan basis global. Walaupun e-commerce pada awalnya meluas di Amerika Serikat dan
Eropa Barat karena kedua wilayah ini mendedikasikan dirinya pada infrastruktur
telekomuniksi dan komputer, sekarang e-commerce telah menjadi revolusi global yang
dimungkinkan oleh ketersediaannya yang lebih luas dari penggunaan peralatan komunikasi
tanpa kabel.

Para pelaku bisnis di Indonesia saat ini telah merasakan ketergantungan mereka
semakin meningkat terhadapat teknologi informasi dan komunikasi, dan tidak lama lagi
teknologi yang lebih spesifik yaitu aplikasi internet akan mendominasi praktek bisnis.
Meskipun demikian, tidak sedikit perusahaan yang masih mencari bentuk teknologi yang
tepat dan sesuai dengan kebutuhannya.

Dalam perkembangannya, ternyata teknologi informasi tidak sekedar memberikan


manfaat efisiensi semata, namun lebih jauh lagi menawarkan beragam jenis value yang lain,
seperti: peningkatan efektivitas, perbaikan kontrol internal, penciptaan keunggulan kompetitif,
pembentukan citra atau “image” usaha, pemutakhiran proses kerja, percepatan pengambilan
keputusan, penghapusan kesalahan operasional, dan lain sebagainya.

Namun demikian, perusahaan juga tidak bisa secara gegabah mengeluarkan


investasi untuk implementasi Teknologi Informasi, karena tentu saja harus memperhitungkan
cost dan benefit yang dihasilkannya. Oleh karena itu, perusahaan membutuhkan semacam
blue print yang sering disebut sebagai IT Master Plan sebagai dasar perusahaan dalam
melakukan implementasi Teknologi Informasi.

Implementasi Teknologi Informasi (TI) di suatu perusahaan atau organisasi sebagai


basis dalam rangka penciptaan layanan yang berkualitas dan optimalisasi proses bisnis
sangatlah beresiko. Resiko timbul manakala penerapan TI tidak mampu membantu
perusahaan dalam mencapai tujuan bisnisnya.

IT Master Plan pada intinya berisi rencana strategis perusahaan dalam


mengimplementasikan dan membangun sistem informasi di Perusahaan. Di dalamnya berisi
pedoman kebutuhan sistem informasi seperti apa yang diperlukan perusahaan.

Yang perlu menjadi catatan penting adalah bahwa IT Master Plan merupakan turunan
dari Business Plan perusahaan. Teknologi informasi diimplementasikan sebagai tool untuk
membantu perusahaan dalam mencapai visi dan misinya. Karena itu, tanpa ada visi dan misi
yang jelas dari perusahaan, IT Master Plan juga tidak bisa dibangun.

Banyak sekali manfaat IT Master Plan untuk perusahaan, beberapa di antaranya


adalah: IT Master Plan akan menjadi dasar bagi perencanaan perusahaan dalam investasi
dan implementasi teknologi informasi. Dengan demikian, perusahaan tidak lagi sekedar beli
ataupun install, tetapi mempunyai perencanaan yang baik.

Karena IT Master Plan harus mengacu pada Business Plan perusahaan, maka
langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahami visi-misi perusahaan, target dan
tujuan yang akan dicapai perusahaan dalam kurun waktu tertentu. Dari situ kita bisa
melakukan breakdown secara lebih detil kebutuhan informasi bisnis seperti apa yang
dibutuhkan.

Kebutuhan informasi itu misalnya: "Informasi real time tentang kondisi keuangan,
profil pelanggan, efektifitas marketing channel, produktifitas setiap pekerja, produktifitas
mesin, inventory, profitabilitas setiap produk", dan berbagai informasi spesifik lain yang
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing perusahaan.
Dari berbagai kebutuhan informasi bisnis inilah yang kemudian diterjemahkan
menjadi kebutuhan sistem dan teknologi seperti apa yang harus diimplementasikan
perusahaan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Biasanya, kebutuhan sistem dan teknologi
informasi ini pada saat implementasi diterjemahkan secara teknis menjadi kebutuhan aplikasi
perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware) .

Dalam proses ini juga menjabarkan bagaimana perusahaan mengelola berbagai


sumber daya yang ada mulai dari aspek organisasi, personel, maupun perangkat lunak
(software) dan perangkat keras (hardware) yang akan diimplementasikan.

Bagian akhir dari IT Master Plan adalah apa yang disebut sebagai manajemen
proyek yang harus diimplementasikan perusahaan. Pada bagian ini dipetakan proyek IT apa
yang menjadi skala prioritas perusahaan dibandingkan dengan proyek yang lain. Manajemen
proyek juga mengatur kalender impelementasi setiap proyek hingga kurun waktu tertentu,
misalnya dalam tiga hingga lima tahun ke depan. Hal ini akan sangat berguna bagi
perusahaan dalam mengatur sumber daya mulai dari keuangan, SDM, dan berbagai sumber
daya lain yang terkait.

Cara yang paling ampuh untuk melihat sejauh mana sebuah perusahaan telah
memiliki kinerja pemanfaatan sumber daya yang optimal adalah dengan melakukan proses
“IT Audit” atau yang oleh beberapa praktisi disebut sebagai “Information Technology
Effectiveness Review”. Melalui aktivitas audit ini perusahaan tidak saja dapat secara jelas
dan detail mengetahui tingkat optimalisasi pemakaian sumber daya teknologi informasi yang
dimilikinya, namun di sisi lain dapat pula memperoleh informasi mengenai aspek-aspek
penting lainnya, seperti: profil resiko bisnis yang dihadapi, tingkat efektivitas penggunaan
teknologi informasi, gambaran kesepadanan manfaat dengan biaya yang harus dikeluarkan
untuk membangun aplikasi, dan lain sebagainya.

Pendekatan lain yang kerap dipergunakan pula untuk menilai tingkat optimalisasi
penerapan teknologi informasi adalah dengan menggunakan konsep “Capability Maturity
Model” yang pada mulanya diperkenalkan oleh Software Engineering Institute (Carnegie-
Mellon University) dan kemudian dikembangkan oleh Information Technology Governance
Institute dalam metode COBIT-nya (Common OBjectives for Information and related
Technology), dimana tingkat kematangan manajemen sistem dan teknologi informasi dapat
dibagi menjadi 6 (enam) level, yaitu masing-masing:

1. Nothing, adalah kondisi dimana perusahaan sama sekali tidak perduli


terhadap pentingnya teknologi informasi untuk dikelola secara baik oleh manajemen.
2. Ad-Hoc, adalah kondisi dimana perusahaan secara reaktif melakukan
penerapan dan implementasi teknologi informasi sesuai dengan kebutuhan-
kebutuhan mendadak yang ada, tanpa didahului dengan perencanaan sebelumnya.
3. Repeatable, adalah kondisi dimana perusahaan telah memiliki pola yang
berulang kali dilakukan dalam melakuan manajemen aktivitas terkait dengan tata
kelola teknologi informasi, namun keberadaannya belum terdefinisi secara baik dan
formal sehingga masih terjadi ketidakkonsistenan.
4. Defined, adalah kondisi dimana perusahaan telah memiliki prosedur baku
formal dan tertulis yang telah disosialkan ke segenap jajaran manajemen dan
karyawan untuk dipatuhi dan dikerjakan dalam aktivitas sehari-hari.
5. Managed, adalah kondisi dimana perusahaan telah memiliki sejumlah
indikator atau ukuran kuantitatif yang dijadikan sebagai sasaran maupun obyektif
kinerja setiap penerapan aplikasi teknologi informasi yang ada.
6. Optimised, adalah kondisi dimana perusahaan dianggap telah
mengimplementasikan tata kelola manajemen teknologi informasi yang mengacu
pada best practice.

Dengan menggunakan “tools” yang telah disediakan COBIT (dimana harus dilakukan
analisa terhadap 34 proses manajemen teknologi informasi), setiap perusahaan dapat
melakukan kajian terhadap tingkat kematangan manajemen teknologi informasinya. Tentu
saja semakin optimal perusahaan dalam mengelola sumber daya teknologi informasinya,
akan semakin tinggi nilai akhir tingkat kematangan yang diperoleh. COBIT juga memberikan
sejumlah panduan bagi perusahaan yang berniat untuk meningkatkan tingkat
kematangannya, agar yang bersangkutan dapat memperbaiki tingkat optimalisasi yang ada
tanpa mengesampingkan pencapaian manfaat bisnis yang dicanangkan.

Pada beberapa kasus, IT Master Plan memang biasanya mengalami revisi sesuai
dengan dinamika bisnis dan kebutuhan perusahaan. Tetapi tentu saja, implementasi IT yang
kadang bisa jadi sangat mahal akan lebih mudah dikelola resikonya dan dikontrol jika
perusahaan mempunyai IT Master Plan yang baik.

Implementasi teknologi informasi (TI) adalah suatu bentuk perubahan di dalam


perusahaan atau organisasi. Dengan begitu, kita tidak bisa memisahkan persoalan teknis,
yang terkait dengan TI, dengan persoalan non-teknis, seperti manajemen perubahan. Hal ini
harus dipikirkan dan dicarikan solusinya secara komprehensif demi kesuksesan implementasi
TI tersebut.

Hanya saja, pengalaman menunjukkan bahwa seringkali suatu proyek implementasi


TI menganggap manajemen perubahan sebagai persoalan sekunder, sehingga tidak
dipikirkan dengan baik. Seringkali perhatian yang sangat serius diberikan hanya pada aspek
teknis TI. Hal inilah yang berpotensi menggagalkan proyek implementasinya di berbagai
perusahaan atau organisasi.

Berbagai literatur menunjukkan setidaknya ada tiga jenis kesalahan (error) yang
berkaitan dengan TI ini. Pertama, kesalahan teknis (technical error) yang berkaitan dengan
kualitas teknis yang rendah. Kedua, kesalahan fungsional (functionality error) yang berkaitan
dengan ketidaksesuaian antara fungsi teknologi dengan kebutuhan perusahaan atau
organisasi. Ketiga, kesalahan manusia (human error) yang secara garis besar berkaitan
dengan kemampuan (skill) dan kemauan (motivation) karyawan untuk menggunakan
teknologi tersebut.

Ketiga jenis kesalahan ini sudah harus dipikirkan sejak awal proyek implementasi
tersebut dimulai. Tulisan ini akan memberikan perhatian khusus pada kesalahan ketiga, yaitu
human error, yang terkait dengan kemampuan melakukan manajemen perubahan sejalan
dengan implementasi TI dalam perusahaan.

Risiko-risiko yang mungkin timbul dalam implementasi IT, di antaranya:

 Ketidaksesuaian antara kebutuhan bisnis dengan sistem informasi yang dibangun.


 Banyaknya aplikasi yang tambal sulam sehingga tidak bisa saling berkomunikasi
antara satu dengan yang lain.
 Investasi yang dikeluarkan tidak memberikan manfaat seperti yang diharapkan.
 Standar kualitas sistem informasi tidak sesuai dengan standar industri yang
semestinya.

Dengan adanya perencanaan yang jelas, diharapkan perusahaan bisa mengelola resiko
tersebut dengan baik sejak awal.

Jika kita sepakat bahwa implementasi TI dalam perusahaan atau organisasi merupakan
suatu bentuk perubahan, dan tunduk pada hukum-hukum manajemen perubahan, maka hal
akan berimplikasi pada kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang manajer proyek TI.

Manajer proyek TI juga harus membekali dirinya dengan kemampuan manajemen


perubahan yang meliputi berbagai keahlian berikut:

 Kemampuan membangun koalisi dengan berbagai pihak atau unit kerja


lainnya di dalam perusahaan. Jika tidak dilakukan, maka proyek TI yang dicanangkan
akan mendapatkan dukungan yang kecil, atau bahkan tidak sama sekali, dan tentu
saja ini menggiring proyek tersebut ke arah kegagalan. Koalisi diperlukan karena
implementasi TI bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ini terkait dengan berbagai
aspek lainnya di dalam perusahaan atau organisasi, sehingga seorang manajer
proyek TI harus mendapatkan dukungan dari manajer lain, seperti manajer sumber
daya manusia, manajer unit fungsional, dan tentunya manajemen puncak.

 Kemampuan mengomunikasi visi dengan baik. Mengapa kita perlu teknologi


yang baru? Apa salahnya teknologi yang ada saat ini? Apa dampaknya terhadap
bisnis? Keunggulan kompetitif apa yang dijanjikan teknologi baru tersebut?
Bayangkan jika semua pertanyaan ini tidak terjawab, maka bisa dipastikan
manajemen puncak perusahaan dan para manajer unit kerja lainnya akan menolak
gagasan implementasi teknologi baru, apalagi memberi dukungan.
 Kemampuan memanajemeni tim lintas fungsional dengan baik. Jika selama
ini seorang manajer proyek TI dianggap hanya cukup memiliki kemampuan
memanajemeni tim yang terdiri dari para pekerja TI, maka sesungguhnya hal itu
keliru. Proyek TI melibatkan berbagai pihak di dalam perusahaan, sehingga anggota
timnya juga terdiri dari berbagai pihak dari unit-unit di dalam perusahaan atau
organisasi. Karakteristik anggota tim ini tentu saja beragam, dan di sinilah manajer
proyek TI dituntut keahliannya dalam mamanajemeni tim

Setiap perusahaan memiliki struktur organisasinya masing-masing, yang dikembangkan


berdasarkan proses bisnis yang ada. Secara umum, pimpinan paling tinggi (seperti misalnya
Presiden Direktur, Direktur Utama, atau Chief Executive Officer) bertanggung jawab terhadap
kinerja perusahaannya, termasuk dalam hal implementasi teknologi informasi.

Untuk membantu tugasnya, biasanya ditunjuk seseorang dengan jabatan khusus yang
bertanggung jawab terhadap proses perencanaan dan pengembangan sistem dan teknologi
informasi di perusahaan. Tugas utama yang bersangkutan ini adalah untuk menjamin
lancarnya implementasi teknologi informasi (TI), sehingga dapat memberikan kontribusi
signifikan bagi operasional dan perkembangan bisnis sehari-hari. Tinggi rendahnya posisi
orang ini sangat ditentukan oleh posisi dan peranan TI bagi perusahaan. Semakin kritikal
fungsi TI, biasanya semakin tinggi pula jabatan penanggung jawabnya di dalam organisasi.
Jabatan tertinggi adalah pada level Direktur (anggota Direksi) atau Chief Information Officer
(CIO).

Melihat bahwa keberadaan TI ditujukan untuk meningkatkan kualitas kinerja SDM


(employees empowerment), seorang CIO memiliki tugas memasyarakatkan teknologi
informasi agar digunakan secara aktif untuk para karyawan perusahaan.

Selain pemberian program-program pelatihan (training) yang bersifat edukatif, diperlukan


suatu strategi untuk membuat karyawan tertarik belajar lebih jauh dan memanfaatkan
teknologi informasi yang ada. Caranya bisa beraneka ragam, mulai dari yang bersifat hiburan
(entertainment) – seperti melalui permainan pada saat rekreasi perusahaan (company outing)
– sampai dengan yang sangat serius, seperti diadakannya workshop khusus. Tujuannya
adalah agar para karyawan akrab dengan komputer (computer literate), sehingga selain
dapat meningkatkan kualitas kerja mereka, inovasi-inovasi baru berupa ide-ide
pengembangan di masa mendatang akan turut berpengaruh pada pengembangan sistem
informasi di perusahaan.

Suatu kali seorang praktisi manajemen mengatakan bahwa seorang CIO yang baik akan
dapat “memanusiakan” karyawannya dengan cara memanfaatkan TI untuk membantunya
melaksanakan aktivitas pekerjaan sehari-hari.

Berdasarkan pengamatan dan kajian terhadap implementasi TI, khususnya di


perusahaan-perusahaan Indonesia, nampaknya hal yang menjadi kunci sukses utama adalah
aspek leadership atau kepemimpinan dari seorang Presiden Direktur.

Pimpinan perusahaan ini harus dapat menjadi “lokomotif” yang dapat merubah paradigma
pemikiran (mindset) terhadap orang-orang di dalam organisasi yang belum mengetahui
manfaat strategis dari teknologi informasi bagi bisnis perusahaan.
Disamping itu, yang bersangkutan harus memiliki rencana strategis atau roadmap yang jelas
terhadap pengembangan teknologi informasi di perusahaannya dan secara konsisten dan
kontinyu disosialisasikan ke seluruh jajaran manajemen dan stafnya. Hal-hal semacam
business plan, kebijakan (policy), masterplan, cetak biru, dan lain sebagainya dapat dijadikan
sebagai alat untuk membantu manajemen dalam usahanya untuk mengembangkan TI secara
holistik, efektif, dan efisien.

Hakekat penerapan sebuah aplikasi teknologi informasi adalah untuk memberikan nilai
tambah bagi organisasi yang menerapkannya, dimana dalam perusahaan komersial prinsip
ini disebut sebagai business value of information technology. Dalam implementasinya,
besarnya manfaat tersebut memang harus sepadan dengan tingginya biaya yang perlu
dialokasikan untuk membangun aplikasi tersebut. Oleh karena itulah maka setiap inisiatif
penerapan aplikasi teknologi informasi di perusahaan selalu dimulai dengan melakukan
kajian biaya dan manfaat atau yang lebih dikenal sebagai cost and benefit analysis.

(Mengambil referensi dari berbagai sumber)

***

Vous aimerez peut-être aussi