Vous êtes sur la page 1sur 26

Referat

ACUTE HEART FAILURE

Oleh :

Fania Putri Indra 1740312210

Nashiha Alsakina 1740312226

Zahara Bunga 1740312240

Preseptor:

Dr. dr. Dwitya Elvira, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR M. DJAMIL PADANG

2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2

BAB I PENDAHULUAN 3

1.1 Latar Belakang …………………………………………………… 3

1.2 Batasan Masalah …………………………………………………… 4

1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………… 4

1.4 Metode Penulisan …………………………………………………… 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi………..…………………………………….. 5

2.2 Patogenesis…………………………………………………………… 7

2.3 Diagnosis………………………………………………………..... 11

2.4 Tatalaksana……...………………………………………………. 17

2.5 Komplikasi….…...………………………………………………. 22

2.6 Prognosis………..……...…………………………………….... 23

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal jantung akut telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia sekaligus penyebab

signifikan jumlah perawatan di rumah sakit. Prevalensi gagal jantung pada dewasa di negara

berkembang berkisar antara 1 – 2%, dan meningkat hingga > 10% pada usia >70 tahun. Pada

negara Eropa insidensi gagal jantung mencapai 5 – 10 per 1000 orang per tahun, dan lebih

banyak pada negara berkembang.Sebuah penelitian menunjukkan bahwa angka kematian kasar

pasien dengan gagal jantung dari tahun ke tahun terjadi fluktuasi, berkisar dari 89 hingga 103

dari 2000 pasien gagal jantung. Di Amerika angka kematian setiap tahun sekitar 277.00 jiwa

disebabkan oleh gagal jantung.1,2

Gagal jantung akut adalah sekumpulan gejala gagal jantung yang datang secara tiba tiba,

berbahaya, mengancam nyawa, dan membutuhkan penanaganan segera. Gagal jantung akut bisa

muncul dari pasien yang sebelumnya tidak ada gejala, atau perburukan dari gagal jantung

sebelumnya. Disfungsi jantung dapat berupa disfungsi sistolik, disfungsi diastolik, atau bahkan

keduanya.3

Penyakit jantung koroner merupakan penyebab gagal jantung akut pada 60 – 70% pasien

terutama pada pasien usia lanjut, sedangkan pada usia muda gagal jantung akut disebabkan oleh

kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung kongenital atau valvular dan miokarditis.4 Dapat

dikatakan bahwa gagal jantung merupakan fase akhir pada setiap penyakit jantung.3 Hal ini

3
menyebabkan di satu sisi penyakit gagal jantung dapat mudah dipahami sebagai suatu sindrom

klinis, namun di sisi lain gagal jantung merupakan kondisi dengan patofisiologi yang bervariasi

dan kompleks. Oleh karena itu, perlu pemahaman yang komprehensif mengenai gagal jantung

akut ini demi terlaksananya penatalaksanaan yang baik pada setiap kasus gagal jantung.

1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, faktor risiko, patogenesis dan

patofisiologi, diagnosis, pemeriksaan penunjang, diagnosis banding, tatalaksana, prognosis, dan

komplikasi gagal jantung akut.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan Penulisan referat ini adalah mengembangkan wawasan dan pemahaman penulis

mengenai penyakit gagal jantung akut

1.4 Manfaat Penulisan

Referat ini diharapkan menjadi salah satu sumber keilmuan yang terstruktur bagi calon

dokter maupun tenaga kesehatan sehingga dapat melakukan tatalaksana yang baik dan

komprehensif pada setiap kasus gagal jantung akut.

1.5 Metode Penulisan

Penulisan referat ini menggunakan pustaka yang merujuk pada beberapa buku, guideline,

maupun jurnal.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut

Gagal jantung akut menurut European Society of Cardiology (ESC),


merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi kegagalan fungsi
jantung dengan awitan yang cepat maupun perburukan dari gejala dan tanda dari
gagal jantung 4. Hal ini merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan memerlukan
perhatian medis yang segera dan biasanya berujung pada hospitalisasi 5. Pada
sebagian besar kasus, gagal jantung akut terjadi sebagai akibat perburukan pada
pasien yang telah terdiagnosis dengan gagal jantung sebelumnya (baik gagal jantung
dengan fraksi ejeksi yang rendah/ heart failure with reduced ejection fraction (HF-
REF), maupun pada gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang masih baik/ heart
failure with preserved ejection fraction (HF-PEF)4.

Presentasi klinis dari gagal jantung akut biasanya merefleksikan spektrum


kondisi, dan klasifikasinya memiliki batasan-batasan. Pasien dengan gagal jantung
akut biasanya datang dengan salah satu dari keenam kategori klinis berikut 6

Perburukan atau dekompensasi dari gagal jantung kronis/ADHF: biasanya


terdapat riwayat perburukan dari gagal jantung kronis dalam pengobatan, dan
bukti dari kongesti sistemik dan pulmoner. Tekanan darah rendah saat masuk
biasanya berhubungan dengan prognosis yang jelek.

Edema paru akut: pasien biasanya datang dengan distress pernafasan, takipneu
dan ortopneu, ronki basah halus sering ditemukan di seluruh lapang paru. Saturasi

5
oksigen arterial biasanya <90% dengan udara ruangan sebelum diberkan terapi
oksigen.

Gagal jantung akut hipertensif: tanda dan gejala dari gagal jantung yang disertai
peningkatan tekanan darah dan biasanya memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri yang
masih baik. Terdapat bukti dari peningkatan tonus simpatis dan vasokonstriksi.
Pasien mungkin dalam kondisi euvolemik atau hanya sedikit hipervolemik, dan
datang dengan tanda-tanda kongestif paru tanpa disertaikongesti sistemik.
Respons terhadap terapi medis biasanya cepat, dan tingkat kematian dirumah sakit
biasanya rendah.

Renjatan kardiogenik (cardiogenic shock) didefinisikan sebagai bukti adanya


hipoperfusi jaringan yang diinduksi oleh gagal jantung setelah dilakukannya
koreksi adekuat dari preload dan aritmia mayor. Biasanya renjatan kardiogenik
ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik ≤90 mmHg, atau penurunan
cepat dari rerata tekanan arteri >30 mmHg) disertai dengan oliguria atau anuria
(<0.5 ml/kg /jam). Gangguan irama juga sering terjadi, dan bukti-bukti
hipoperfusi organ serta kongesti paru biasanya terjadi secara cepat.

Gagal jantung kanan teisolasi: ditandai dengan sindroma penurunan curah jantung
(low output syndrome) tanpa adanya kongesti paru dengan peningkatan tekanan
vena juguler, dengan atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian ventrikel kiri
yang rendah.

Gagal jantung akut pada sindroma koroner akut: banyak pasien datang dengan
gambaran klinis gagal jantung akut namun diserai bukti-bukti laboratorium dari
sindroma koroner akut. Sekitar 15% pasien dengan sindroma koroner akut
memiliki tanda dan gejala gagal jantung akut, dan episode gagal jantung akut
tersebut biasanya berhubungan atau dipresipitasi oleh aritmia (bradikardia,
fibrilasi atrium atau takikardi venrikel).

6
2..2 Patogenesis Gagal Jantung Akut

Gagal jantung akut ditandai dengan abnormalitas hemodinamik dan


neurohormonal yang buruk dan mungkin diakibatkan atau sebagai akibat dari jejas
pada miokard dan atau ginjal. Abnormalitas tersebut mungkin dapat disebabkan
karena iskemia, hipertensi, atrial fibrilasi atau penyebab non kardiak lainnya (seperti
insufisiensi ginjal) atau sebagai akibat efek obat-obatan6. Beberapa mekanisme
pathogenesis gagal jantung akut diantaranya adalah:

Kongesti. Peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri akan berakibat kongesti


pulmonal dan sistemik dengan atau tanpa curah jantung yang menurun merupakan
presentasi utama pada mayoritas pasien dengan gagal jantung akut . Kongesti paru
dapat didefinisikan sebagai hipertensi vena pulmonalis (peningkatan tekanan baji
kapiler paru/ pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)) dan akan berakibat
edema interstisial dan alveolar paru. Kongesti sistemik bermanifestasi secara
klinis dengan distensi vena jugularis dengan atau tanpa edema perifer dan
peningkatan berat badan secara gradual sering ditemukan6. Biasanya, kongesti
paru berat yang terjadi secara mendadak dipresipitasi oleh peningkatan tekanan
darah (afterload), terutama pada pasien dengan disfungsi diastolik. Gangguan
ginjal, abmormalitas berat dari neurohormonal dan endothelial, gangguan diet dan
beberapa obat-obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS) juga
berkontribusi terhadap kelebihan cairan 4,7

Peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri yang tinggi, akan


berkontribusi terhadap progresifitas dari gagal jantunglebih lanjut dengan aktivasi
neurohormonal, iskemia subendokardial dan/ atau perubahan ukuran dan bentuk
dari ventrikel kiri (remodelling) yang pada akhirnya berakibat pada insufisiensi
katup mitral. Peningkatan tekanan vena sistemik (tekanan atrium kanan bagian
atas), lebih sering disebabkan karena tekanan jantung kiri yang tinggi/ pulmonary

7
capillary wedge pressure (PCWP), yang akan berkontribusi pada terjadinya
sindroma kardio renal (SKR) 8

Berat badan biasa digunakan sebagai penanda adanya kongesti pada


scenario pasien gagal jantung yang dirawat inap maupun rawat jalan.
Bagaimanapun, beberapa penelitian menyimpulkan hubungan yang kompleks
antara berat badan, kongesti dan keluaran pasien dengan gagal jantung 5.

Cedera miokard. Pelepasan troponin sering terjadi pada kondisi gagal jantung
akut, terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner 9 Hal ini nampaknya
merefleksikan adanya cedera miokard, yang berhubungan dengan abnormalitas
hemodinamik dan / atau neurohormonal atau sebagai akibat dari kejadian iskemia.
Cedera juga bisa terjadi sebagai akibat tingginya tekanan diastolik ventrikel kiri,
yang kemudian akan mengaktivasi stimulasi neurohormonal dan inotropik
sehingga berakibat kepada ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen 10.

Gangguan ginjal. Pada gagal jantung akut, abnormalitas ginjal akan


menyebabkan retensi natrium dan air Gangguan struktural ginjal akibat hipertensi,
diabetes dan arteriosklerosis merupakan penyebab yang sering ditemukan, dan
perburukan fungsi ginjal terjadi pada sekitar 20-30% pasien yang dirawat dengan
gagal jantung akut Dari penelitian akhir, 20% pasien akan mengalami perburukan
fungsi ginjal segera setelah pasien dipulangkan . Perburukan selama perawatan
atau setelah pasien pulang mungkin diakibatkan karena penurunan curah jantung
dan peningkatan tekanan vena, yang diperparah dengan pemberian diuretik dosis
tinggi11

Efek tidak langsung obat. Loop diuretik intravena merupakan agen lini pertama
untuk meringankan gejala kongestif. Bagaimanapun, efek menguntungkan
tersebut behubungan dengan abnormalitas elektrolit, aktivasi neurohormonal yang
8
lebih lanjut dan perburukan fungsi ginjal. Pemberian loop diuretik intravena
dengan dosis besar berhubungan dengan keluaran yang buruk pada pasien dengan
gagal jantung. Namun, hal ini mungkin suatu penanda dari keparahan dari gagal
jantung itu sendiri, dibandingkan dianggap sebagao penyebab peningkatan
mortalitas. Dobutamin, milrinon dan levosimendan akan meningkatkan profil
hemodinamik, namun efek ini berhubungan dengan peningkatan tingkat konsumsi
oksigen miokard (takikardia dan peningkatan kontraktilitas) dan hipotensi yang
berhubungan dengan efek vasodilatasi. Penurunan perfusi koroner yang
berhubungan dengan hipotensi dalam kondisi peningkatan kebutuhan akibat akan
mengakibatkan cedera miokard, terutama pada pasien dengan penyakit jantung
koroner (PJK) yang sering memiliki miokardium yang mengalami hibernasi atau
iskemia . Hipotensi yang berhubungan dengan penggunaan vasodilator mungkin
juga mengakibatkan hipoperfusi miokardium dan ginjal dan kemungkinan dapat
mengakibatkan cedera5.

9
Berbeda dengan gagal jantung kronik, pasien dengan gagal jantung akut
menunjukkan tanda dan gejala yang seringkali lebih mengancam jiwa. Gagal
jantung akut bisa ditemukan pada pasien yang sebelumnya tidak diketahui
mengalami gagal jantung, misalnya pada pasien dengan sindroma koroner akut,
hipertensi berat, atau regurgitasi katup akut, atau bisa juga merupakan komplikasi
dari gagal jantung kronik terkompensasi yang dipicu oleh adanya faktor
presipitasi. Penatalaksanaan dari gagal jantung akut biasanya membutuhkan
hospitalisasi dan intervensi segera.

Klasifikasi pasien dengan gagal jantung akut serta pendekatan terapi, dapat dibagi
berdasarkan ada atau tidaknya 2 temuan penting pada pasien:

10
1. Volume overload (dibagi atas "wet" dan "dry") sebagai tanda dari peningkatan
tekanan pengisian ventrikel kiri
2. Low cardiac output dengan penurunan perfusi jaringan (dibagi atas "cold" dan
"warm"). Pada pasien dengan gambaran klinis "wet", hal ini menandakan adanya
volume overload, dan klinis yang dapat ditemukan pada pasien berupa ronkhi
paru, pelebaran vena ugularis, dan edema pada ekstremitas bawah. Pasien dengan
gagal jantung akut dapat dibagi menjadi 4 profil berdasarkan dari parameter
parameter diatas.

Profil A menunjukkan pasien dengan hemodinamik normal. Gejala


11
kardiopulmonal pada pasien terjadi karena faktor-faktor selain gagal jantung,
misalnya penyakit parenkim paru atau iskemik miokard transien. Profil B dan C
merupakan tipikal pasien dengan edema paru akut. Pasien dengan profil B
memiliki tanda "wet lungs" namun perfusi jaringan baik atau "warm".

Profil C menunjukkan keadaan yang lebih serius, dimana selain adanya gejala
kongestif paru, juga terdapat adanya penurunan cardiac output yang tampak dari
adanya vasokonstriksi sistemik, sebagai akibat dari aktivasi sistem saraf simpatis,
sehingga menunjukkan "cold extremities". Pasien dengan profil C memiliki
prognosis yang lebih buruk dibandingkan pasien dengan profil B, dan pasien
dengan profil B lebih buruk dari profilA.

Pasien dengan profil L tidak menunjukkan adanya gejala kongestif, namun pasien
ini memiliki gambaran "cold extremities" karena rendahnya cardiac output. Profil
ini banyak ditemukan pada pasien dengan penurunan volume darah sistemik atau
pada pasien dengan penurunan fungsi jantung yang signifikan, meskipun tidak
ada volume overload (misalnya pada pasien dengan dilatasi ventrikel kiri dan
regurgitasi mitral) yang menjadi sesak dengan aktivitas karena ketidakmampuan
untuk menghasilkan cardiac output yang adekuat.

2.3 Diagnosis Gagal Jantung Akut

2.3.1. Tanda dan gejala

Banyak tanda-tanda gagal jantung yang terjadi akibat retensi air dan
natrium yang biasanya akan membaik dengan cepat dengan pemberisan terapi
diuretik. Riwayat medis pasien juga pentning bagi penegakan diagnosis, dan
gagal jantung tidak lazim terjadi pada pasien tanpa adanya riwayat medis yang
relevan, misalkan riwayat infark miokard yang akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya gagal jantung pada pasien dengan tanda dan gejala yang khas 4.

12
Kriteria Framingham dapat menegakkan diagnosis gagal jantung, jika
ditemukan minimal 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria
minor.

Kriteria mayor :

1. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea

2. Distensi vena leher

3. Orthopnea

4. Rales (Ronkhi basah)

5. Acute Pulmonary Edema

6. Hepatojugular reflux

7. S3 Gallop

8. Radiographic Cardiomegaly

9. Penurunan BB 4,5kg dalam 5 hari (sesudah diberi terapi gagal jantung)

10. Peninggian tekanan vena jugularis >16cmH2O

11. Edema pulmonal, kongesti visceral, atau kardiomegali saat autopsy

Kriteria minor:

1. Batuk malam hari

2. Efusi pleura

3. Takikardi (>120x/menit)

4. Edema pada tungkai

5. Dispnea on Effort

6. Hepatomegali

13
7. Penurunan kapasitas vital paru 1/3 dari nilai maksimum (menggunakan

spirometri)

2.3.2. Uji Diagnostik


Ekhokardiogram dan elektrokardiogram (EKG) merupakan pemeriksaan
penting untuk menegakkan diagnosis gagal jantung. Ekhokardiogram menyajikan
informasi yang segera mengenai volume ruang jantung, fungsi sistoli dan
12
diastolik ventrikel, ketebalan otot, dan fungsi katup . Informasi ini penting
dalam menentukan terapi yang pantas untuk pasien (misal penyekat angiotensin
converting enzyme (ACE) dan penyekat beta untuk disfungsi sistolik atau operasi
untuk stenosis aorta). EKG membantu untuk melihat irama jantung dan konduksi
elektrik, misal adanya penyakit sinoatrial, blok atrioventrikuler, atau konduksi
interventrikuler yang abnormal. Temuan ini juga penting untuk menentukan
penatalaksanaan (seperti kontrol irama untuk pasien dengan fibrilasi atrium,
pemacuan untuk bradikardia, dan terapi resinkronisasi jantung untuk pasien
dengan left bundle branch block (LBBB)). EKG juga menunjukkan bukti adanya
hipertrofi ventrikel kiri atau gelombang Q yang mengindikasikan adanya
kehilangan miokardium yang viabel, yang membantu memberikan bukti tentang
kemungkinan etiologi dari gagal jantung4.

Informasi yang disajikan oleh 2 pemeriksaan ini sudah mampu untuk


menegakkan diagnosis kerja dan perencanaan manajemen bagi mayoritas pasien.
Pemeriksaan biokimiawi dan hematologi rutin juga penting, sebagai bagian
apakah penyekat sistim renin angiotensin aldosterone (SRAA) dapat dimulai
secara aman (dengan pemeriksaan fungsi ginjal dan kalium) dan untuk
mengekslusi adanya anemia (yang mirip atau dapat memperburuk gagal jantung).
Pemeriksaan penunjang lain secara umum hanya diperlukan bila diagnosis belum
bias ditegakkan (misal bila gambaran ekhokardiografi suboptimal, atau jika
terdapat kausa gagal jantung yang tidak umum) atau jika ada indikasi untuk
mengevaluasi lebih jauh penyebab yang mendasari masalah jantung pasien (misal

14
pencitraan perfusi atau angiografi pada pasien dengan kecurigaan PJK atau
endomiokardial biopsi pada beberapa penyakit miokard) 4.

Tabel EKG Abnormal pada Gagal Jantung

2.3.3. Peptida natriuretic

Karena tanda dan gejala gagal jantung kadang tidak spesifik, banyak
pasien yang dicurigai mengalami gagal jantung yang dikirim menjalani
pemeriksaan ekhokardiografi, namun ternyata tidak memiliki abnormalitas dalam
struktur jantung. Ketka kemampuan ekhokardiografi menjadi terbatas, pendekatan
lain untuk mendiagnosis adalah dengan memeriksa konsentrasi peptida natriuretik
darah, keluarga hormon yang disekresikan berlebih bila terjadi jejas pada jantung
atau beban pada salah satu ruang jantung mengalami

peningkatan (misal pada fibrilasi atrium, emboli paru dan beberapa kondisi non-
kardiak termasuk gagal ginjal). Kadar peptida natriuretik juga akan meningkat
seiring dengan usia, namun dapat menurun pada pasien dengan obesitas. Kadar
peptida natriuretik yang normal pada pasien yang belum tertangani secara nyata
mengeksklusi adanya penyakit jantung, yang akan menyebabkan pemeriksaan

15
ekhokardiografi tidak diperlukan lagi (investigasi penyebab non-kardiak mungkin
lebih produktif pada pasien ini) 13.

Banyak penelitian telah meneliti batas konsentrasi dua untuk


mengeksklusi gagal jantung untuk dua macam peptida natriuretik yang biasa
digunakan, B-type natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal pro B-type
natriuretic peptide (NT-proBNP). Batasan eksklusi berbeda pada pasien yang
dating dengan awitan akut atau perburukan gejala dan pada psein dengan awitan
yang lebih gradual. Untuk pasien dengan awitan akut atau perburukan gejala, nilai
optimal untuk mengeksklusi adalah 300 pg/mL untuk NT-pro BNP dan100 pg/mL
untuk BNP. Untuk pasien non akut, nilai optimal untuk mengeksklusi adalah 125
pg/mL untuk NT-proBNP dan 35 pg/mL untuk BNP. Sensitifitas dan spesifisitas
dari BNP dan NT-proBNP untuk diagnosis gagal jantung juga lebih rendah pada
pasien-pasien non akut4

2.3.4. Foto Toraks

Foto toraks memiliki keterbatasan dalam penegakan diagnosis dari pasien


dengan kecurigaan gagal jantung. Hal ini mungkin sangat berguna dalam
mengidentifikasi alternatif keterlibatan paru untuk tanda dan gejala pasien.
Pemeriksaan ini akan menunjukkan kongesti vena pulmonalis atau edema pada
pasien dengan gagal jantung. Penting untuk dicatat bahwa disfungsi sistolik
ventrikel kiri yang signifikan akan memberikan gambaran kardiomegali pada foto
thoraks 4.

Tabel 2.5 X-ray Abnormal pada Gagal Jantung

16
2.3.5. Pemeriksaan Rutin Laboratorium

Sebagai tambahan untuk pemeriksaan biokimiawi (natrium, kalium,


kreatinin, laju filtrasi gromerolus/ estimated glomerular filtration rate (eGFR))
dan hematologis standar (hemoglobin, hematocrit, ferritin, leukosit dan platelet),
sangatlah berguna untuk memeriksa kadar hormon penstimulasi tiroid,
dikarenakan penyakit tiroid dapat menyerupai atau memperburuk gagal jantung.
Kadar gula darah juga penting untuk diperiksa dalam penegakkan ddiagnosis
diabetes pada pasien gagl jantung. Enzim hati juga biasa ditemukan tidak normal
pada pasien dengan gagal jantung, juga pentung untuk pengambilan keputusan
yang menyangkut terapi amiodaron dan warfarin 4.

2.4 Tatalaksana

Terapi awal gagal jantung akut bertujuan untuk memperbaiki gejala dan

menstabilkan kondisi hemodinamik, yang meliputi :

 Oksigenasi dengan sungkup masker atau CPAP (continuous positive airway pressure),

target SaO2 94-96%.


17
 Pemberian vasodilator berupa nitrat atau nitroprusid.

 Terapi diuretik dengan furosemid atau diuretik dengan bolus IV dan bila perlu diteruskan

dengan infus berkelanjutan.

 Pemberian morfin untuk memperbaiki status fisik, psikologis, dan hemodinamik.

 Berikan infus IV bila dicurigai ada tekanan pengisian yang rendah (low filling pressure).

 Antiaritmia atau elektroversi jika terjadi kelainan denyut dan irama jantung.15

Terapi spesifik lebih lanjut harus diberikan berdasarkan karakteristik klinis dan
hemodinamik pasien yang tidak respon terhadap terapi awal.

18
Gambar Penilaian dini pasien dengan kecurigaan Gagal Jantung Akut14

Gambar Algoritma Manajemen Edema/Kongesti Paru Akut

19
Gambar Algoritma tatalaksana gja berdasarkan perfusi dan tekanan pengisian15

Gambar 2.6 Algoritma tatalaksana GJA berdasarkan TD sistolik14

20
Gambar Algoritma Tatalaksana Gagal jantung
Beberapa ketentuan penggunaan farmakoterapi pada guideline ESC, antara lain:

 Diuretik

Loop diuretic IV atau diuretik kuat secara intravena direkomendasikan untuk seluruh pasien
dengan AHF dengan gejala-tanda kelebihan cairan.

Pasien dengan AHF onset baru atau dengan HF kronis atau decompensated HF yang belum
pernah menerima diuretika oral maka dosis inisial yang direkomendasikan adalah 20-40 mg IV
furosemide; bagi yang sudah dalam terapi oral diuretik sebelumnya maka dosis minimal harus
ekuivalen dengan dosis sebelumnya (Beberapa penelitian merekomendasikan penggunaan high
dose yaitu dosis 2,5 kali lipat dari dosis oral sebelumnya).

21
Pemberian diuretik intravena dapat dilakukan secara continuous infusion atau bolus infusion
dan dilakukan titrasi sesuai gejala dan tanda klinis

Kombinasi loop diuretic atau thiazide atau spironolakton dapat dipertimbangkan pada
edema yang resisten.

 Vasodilator

Vasodilator intravena adalah agen farmakoterapi kedua yang umumnya digunakan pada
AHF untuk menurunkan gejala simtomatik.

Cara kerjanya adalah mengurangi tonus vena (optimisasi preload) dan tonus arteri
(menurunkan afterload).

Vasodilator umumnya sangat berguna pada kondisi hypertensive AHF, dan harus dihindari
penggunaannya pada tekanan darah sistolik < 90 mmHg (atau symptomatic hypotension).14

Tabel 2.8 Jenis dan Dosis Vasodilator IV14

 Agen Inotropik

Penggunaan agen inotropik hanya diberikan pada kondisi cardiac output yang sangat rendah
dan menyebabkan gejala hipoperfusi organ vital, yang terutama terjadi pada hypotensive AHF.

Agen inotropik tidak direkomendasikan pada kasus hypotensive AHF dengan penyebab
hipotensi-nya adalah hypovolemia atau kondisi lainnya yang dapat dikoreksi sebelumnya. Agen
ini dapat diberikan setelah semua penyebab tersebut dikoreksi dan masih terjadi hypotensive
AHF.

22
Beberapa agen inotropik yang dapat digunakan:

Dobutamine: 2-20 mcg/kg/min (beta+)

Dopamine: 3-5 mcg/kg/min; inotropic (beta+), >5 mcg/kg/min: (beta+), vasopressor


(alpha+)

Norepinephrine: 0.2-1.0 mcg/kg/min

Epinephrine: 0.05-0.5 mcg/kg/min

 Vasopresor

Obat vasopressor diberikan pada keadaan hipotensi yang prominen untuk meningkatkan
tekanan darah dan menunjang perfusi ke organ-organ vital.

Beberapa obat seperti norepinephrine dan dopamine dosis lebih tinggi memiliki efek
vasokonstriksi arteri yang kuat.

 Obat lainnya

Digoksin diberikan pada pasien atrial fibrilasi (AF) dengan rapid ventricular response
(HR >110 kali/menit). Dosis bolus IV 0.25-0.5 mg, apabila tidak diberikan sebelumnya.
Diberikan dosis lebih rendah apabila ada gangguan ginjal sedang-berat.14

2.5 Komplikasi

1. Edema paru akut terjadi akibat gagal jantung kiri


2. Syok kardiogenik : stadium dari gagal jantung kiri, kongestif akibat penurunan
curah jantung dan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke organ vital (jantung dan
otak)
3. Episode trombolitik

Trombus terbentuk karena imobilitas pasien dan gangguan sirkulasi dengan


aktivitas trombus dapat menyumbat pembuluh darah.

4. Efusi perikardial dan tamponade jantung

23
Masuknya cairan kekantung perikardium, cairan dapat meregangkan perikardium
sampai ukuran maksimal. CPO menurun dan aliran balik vena kejantung menuju
tomponade jantung.15

2.6 Prognosis

Pasien dengan gagal jantung akut memiliki prognosis yang sangat buruk, angka kematian
tinggi pada infark miokard yang disertai gagal jantung berat. Sekitar 45% pasien GJA akan
dirawat ulang tidak satu kali, palimg tidak 2 kali dalam 12 bulan pertama setelah serangan.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Mosterd A, Hoes AW. Clinical epidemiology of Heart Failure. Heart 2007:93 :1137-

1146.

2. Ni H, Xu J. Recent trend in heart failure-related mortality: United States, 2000-2014.

NCHS Data Brief:231 :1-6.

3. Leonard, S. Lilly (editor) Patophysiologyof the heart: a collaborative project of medical

students and faculty 5th Ed. : Lippicont Williams &Wikkins, a WolterKhower Business,

2011

4. McMurray JJV, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Bohm M, Dickstein K, et al, .

ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure: The

task force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012 of the

European Society of Cardiology. European Heart Journal. 2012

5. Gheorghiade M and Pang PS . Acute heart failure syndromes. Journal of the American

College of Cardiology. 2009. 53(7)

6. Flippatos G et al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic

heart failure. European Society of Cardiology. 2008

7. Cotter et al. he pathophysiology of acute heart failure--is it all about fluid accumulation

m Heart J. 2008 Jan;155(1):9-18

8. Mullens et al. Sodium nitroprusside for advanced low-output heart failure. J Am Coll

Cardiol. 2008 Jul 15;52(3):200-7.

9. Peacock et al. Cardiac troponin and outcome in acute heart failure

J Am Coll Cardiol. 2008 Jul 15;52(3):200-7.

25
10. Collins S, Storrow AB, Albert N, et al. Early Management of Patients with Acute Heart

Failure: State of the Art and Future Directions: A Consensus Document from the SAEM /

HFSA Acute Heart Failure Working Group. Journal of cardiac failure. 2015;21(1):27-43.

11. Matthews JC and McLaughlin V. Acute right ventricular failure in the setting of acute

pulmonary embolism or chronic pulmonary hypertension: A detailed review of the

pathophysiology, diagnosis, and management. Current Cardiology Reviews. 2008. 4: 49-

59..

12. Lily, S. Leonard. 2011.Pathophysiology of The Heart. Fifith Edition. Lippincot William

& Wilkins. Philadelphia. 241-242

13. Kalim H, Irmalita, Idham I, Purnomo H, Harsunarti N, Siswanto BB, et al. Pedoman

praktis tatalaksana gagal jantung kronis dan akut. Jakarta: Divisi ‘critical care’ dan

kardiologi klinik departemen kardiologi dan kedokteran vascular FKUI; 2008.p: 35-48.

14. European Society of Cardiology. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute

and chronic heart failure. European Heart Journal. 2016

15. Pedoman Tatalaksana Gagal jantung. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular

Indonesia. Edisi pertama. 2015

26

Vous aimerez peut-être aussi