Vous êtes sur la page 1sur 3

AIDS pada Anak-anak dan Balita di NTT

Menggambarkan Perilaku (Seksual) Ayah


Mereka
REP | 02 February 2012 | 07:14 92 7 Nihil

44 balita NTT positif HIV/AIDS (ANTARA News, 30/1-2012), Duh, 44 Balita di NTT Positif
HIV/AIDS (metrotvnews.com, 30/1-2012), dan Mengenaskan, Puluhan Balita NTT Positif
HIV/AIDS (republika.co.id, 30/1-2012).

Itulah judul berita di tiga media yaitu Antara, Metrotvnews, dan Republika. Tiga judul itu tidak
menggambarkan penyebaran HIV. Fakta di balik kasus HIV/AIDS yang tedeteksi pada 44 balita
itu adalah ibu mereka tertular HIV dari ayah mereka. Ayah mereka tertular HIV dari perempuan,
waria atau laki-laki lain yang menjadi pasangan seks suami-suami itu.

Ternyata tidak hanya 44 balita, tapi juga ada 25 anak-anak berumur 6-10 tahun yang terdeteksi
mengidap HIV/AIDS. Anak-anak ini pun tertular HIV dari ibu mereka. Ibu mereka pun tertular
HIV dari suami.

Dalam berita disebutkan: “ …. dinyatakan positif terserang penyakit yang mematikan ….”
(antaranews). Pernyataan ini menunjukkan pemahaman wartawan yang tidak akurat terhadap
HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi karena penyakit-penyakit yang muncul
pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti ruam, jamur, diare, TBC, dll. Penyakit-
penyakit ini mudah diidap Odha karena sistem kekebalan mereka sudah rendah yaitu jumlah sel-
sel darah putih yang kian sedikit. Ini terjadi karena HIV terus menggandakan diri di sel-sel darah
putih. Sel-sel darah putih yang menjadi ’pabrik’ penggandaan HIV rusak. Sedangkan HIV yang
baru diproduksi kembali mencari sel darah putih untuk menggandakan diri. Begitu seterusnya
sampai masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun).

Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), dr.
Husein Pancratius, data anak dan balita dengan HIV/AIDS itu diketahui setelah ayah mereka
meninggal karena penyakit yang terkait dengan HIV/AIDS. Tes terhadap ibu mereka juga
menunjukkan HIV-positif.

Dari data balita dan anak yang mengidap HIV/AIDS itu saja sudah ada 207 penduduk NTT yang
mengidap HIV [132 = (44 balita + 44 ibu balita + 44 ayah balita) + 75 = (25 anak-anak + 25 ibu
anak-anak + 25 ayah anak-anak)].

Menurut Husein: “Balita dan anak-anak bukan bagian dari kelompok beresiko tetapi mereka
adalah korban dari tindakan orang tua yang tidak melakukan pencegahan.”
Husein benar karena perilaku suami-suami itulah yang menyebabkan penularan HIV secara
horizontal kepada istri dan penularan HIV vertikal dari istri ke anak.

Sayang, karena moral selalu dijadikan sebagai pijakan dalam penanggulangan HIV/AIDS, maka
dalam berita tidak muncul cara yang konkret untuk mencegah penularan HIV dari suami kepada
istri dan dari ibu-ke-anak yang mereka kandung. Upaya untuk memutus mata rantai penularan
HIV dari-ibu-ke-bayi pun tidak ada dalam perda (Lihat:
http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/28/menyikapi-kasus-hivaids-pada-balita-di-prov-ntt/).

Bahkan, dalam peraturan daerah (Perda) No 3/2007 tentang penanggulangan HIV/AIDS juga
tidak ada mekanisme yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS dengan faktor risiko (mode
of transmission) hubungan seksual dan perinatal (Lihat:
http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/22/mengukur-peran-perda-penanggulangan-aids-ntt/).

Disebutkan: ” …. para orang tua baik ayah maupun ibu untuk sama-sama melakukan
pemeriksaan dini untuk mengetahui apakah ada gejala yang mengarah pada HIV/AIDS atau tidak
untuk dilakukan pencegahan.”

Persoalannya adalah: Siapa, sih, yang harus menjalani tes HIV? Sayang, dalam berita sama
sekali tidak disebutkan siapa-(siapa) saja yang harus tes HIV. Begitulah yang terjadi. Perda
AIDS NTT itu tidak menyentuh akar persoalan (Lihat:
http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/29/perda-aids-kab-tts-ntt-tidak-ada-cara-pencegahan-
yang-konkret/).

Kalau saja Perda AIDS itu dirancang dengan pijakan fakta medis tentulah perda itu akan berguna
dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di NTT.

Salah satu hal yang perlu ditanggulangi adalah risiko penularan HIV kepada laki-laki dewasa
melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, di NTT atau di luar NTT.

Biar pun di NTT tidak ada lokalisasi pelacuran, tapi itu tidak jaminan kalau di NTT tidak ada
praktek pelacuran yang bisa saja terjadi di rumah, kos-kosan, kontrakan, penginapan, losmen,
hotel melati, hotel berbintang, taman, dan di sembarang tempat.

Agaknya, penguasa, pemuka agama dan tokoh masyarakat di daerah-daerah yang tidak ada
lokalisasi atau lokasi pelacuran menganggap daerahnya bebas dari (praktek) pelacuran.
Anggapan ini salah besar karena (praktek) pelacuran terjadi di mana-mana.

Kasus HIV/AIDS pada anak-anak dan balita menunjukkan (praktek) pelacuran terjadi di NTT.
Bisa juga laki-laki ’hidung belang’ penduduk NTT tertular HIV di luar NTT, tapi itu semua
terjadi karena perilaku seksual laki-laki ’hidung belang’ penduduk NTT.

Untuk itulah perlu program ‘wajib kondom’ bagi laki-laki ‘hidung belang’ jika melakukan
hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung atau PSK tidak langsung di
NTT atau di luar NTT.
Tanpa program ‘wajib kondom’, maka penyebaran HIV secara horizontal dari suami (laki-laki)
ke istri (perempuan) akan terus terjadi. Pemprov NTT tinggal menunggu waktu untuk ‘panen
AIDS’ karena kasus-kasus yang tidak terdeteksi kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS.
***[Syaiful W. Harahap]***

Vous aimerez peut-être aussi