Vous êtes sur la page 1sur 11

3.

Aristoteles (384 – 322 SM)


Dalam sejarah filsafat, selain Plato, tokoh yang paling berpengaruh dan menyita
perhatian publik luas hingga saat ini adalah Aristoteles. Banyak komentator semisal
Coleridge, sampai demikian jauh membagi manusia menjadi dua kelompok: Platonian dan
Aristotelian. Kendati pembagian ini terkesan serampangan dan terlalu menyerdehanakan,
namun itu tidak seratus persen bisa disalahkan. Sebab, memang pada satu sisi karakter orang
cenderung idealis sama seperti tokoh pemikir Plato, disisi lain ada juga tipe manusia yang
pragmatis dalam melihat persoalan seperti Aristoteles.
Aristoteles adalah murid Plato. Ia lahir di Stagyra, Yunani Utara pada tahun 384 SM.
Ayahnya seorang dokter pribadi raja Macedonia Amyntas. Ia mewarisi pengetahuan empiris
dari ayahnya. Ia juga banyak mempelajari filsafat, matematika, astronomi, retorika, dan
ilmu-ilmu lainnya. Dengan kecerdasannya yang luar biasa, hamper-hampir ia menguasai
berbagai ilmu yang berkembang pada masanya.
Pada usia 17 tahun, ia dikirim ke Athena untuk belajar di Akademia Plato selama kira-
kira 20 tahun hingga Plato meninggal. Beberapa lama ia menjadi pengajar di Akademia
Plato unuk bidang logika dan retorika. Setelah Plato meninggal dunia, Aristoteles bersama
rekannya Xenokrates meninggalkan Athena, karena ia tidak setuju dengan pendapat Plato di
Akademia tentang filsafat. Tiba di Assos, Aristoteles dan rekannya mengajar di sekolah
Pythia. Pada 345 SM kota Assos diserang oleh tentara Persia , rajanya (rekan Aristoteles)
dibunuh, kemudian Aristoteles dengan kawan-kawannya melarikan diri ke Mytilene di pulau
Lesbos, tidak jauh dari Assos. Tahun 342 SM, Aristoteles diundang raja Philippos dari
Macedonia untuk mendidik anaknya Alexander Agung.
Kecenderungan berpikir saintifik tampak dari pandangan-pandangan filsafatnya yang
sistematis dan banyak menggunakan metode empiris. Maka jika dibandingkan dengan Plato
yang pandangan filsafatnya lebih ke condong aspek abstrak dan idealisme, maka orientasi
Aristoteles lebih pada hal-hal yang konkret (empiris). Ia menjadi dikenal lebih luas karena
pernah menjadi guru anaknya Alexander, seorang diplomat ulung dan jenderal terkenal.
Berkat bantuan rajanya saat itu, di Athena ia mendirikan sekolah yang bernama sekolah
Lykaion, juga disebut sekolah Peripatetik, yang sebenarnya adalah pusat penelitian ilmiah.
Dari sekolah tersebut ia banyak menghasilkan berbagai macam hasil penelitian yang
tidak hanya dapat menjelaskan prinsip-prinsip sains, tetapi juga politik, retorika, dan lain
sebagainya. Namun, lama-kelamaan posisi Aristoteles di Athena tidak aman karena ia
seorang pendatang. Pada tahun 323, sesudah kematian Iskandar Agung, ia harus melarikan
diri ke Athena karena ia seperti Socrates 80 tahun sebelumnya, dituduh sebagai penyebar
ajaran subversive dan atheism. Ia meninggalkan Athena dan pindah ke Chalcis dan
meninggal di sana pada tahun 322 SM.
Sebenarnya ia banyak menghasilkan karya-karya hasil penelitian dan pemikiran-
pemikiran filsafat. Tapi sayang, banyak karyanya yang hilang. Diantara karya-karya yang
dikenal adalah Anganan (Logika), Priar Analystics (Silogisme), Pasteriar Analytics (Sains)
dan lain sebagainya. Dari karya-karyanya dapat diketahui pandangan-pandangan dia tentang
beberapa persoalan filsafat, misanya etika, negara, logika, metafisika, dsb. Didalam dunia
filsafat, Aristoteles dikenal sebagai Bapak Logika. Logikanya disebut logika tradisional
karena nantinya berkembang apa yang disebut logika modern. Logika Aristoteles itu sering
disebut “logika formal”. Bila oang-orang Sophis banyak yang menganggap manusia tidak
akan mampu memperoleh kebenaran, Aristoteles dalam Metaphysics menyatakan bahwa
manusia dapat mencapai kebenaran.
a. Karya-karya Aristoteles
Secara umum, karya-karya Aristoteles berjumlah delapan pokok bahasan, yaitu:
1. Logika, terdiri dari;
 Categoric (kategori-kategori)
 De interpretatione (perihal penafsiran)
 Analytics Priora (analitika logika yang lebih dahulu)
 Analytics Posteiora (analitika logika yang kemudian)
 Topica
 De Sophistics Elenchis (tentang cara beragumen kaum Sophis)
2. Filsafat Alam, terdiri dari:
 Phisica
 De caelo (perihal langit)
 De generatione et corruption (timbul hilangnya makhluk-makhluk jasmani)
 Meteorologica (ajaran tentang badan-badan jagad raya)
3. Psikologi, terdiri dari:
 De anima (perihal jiwa)
 Parva naturalia (karangan-karangan kecil tentang pokok-pokok alamiah)
4. Biologi, terdiri dari:
 De partibus animalium (perihal bagian-bagian binatang)
 De mutu animalium (perihal gerak binatang)
 De incessu animalium (tentang binatang yang berjalan)
 De generatione animalium (perihal kejadian binatang-binatang)
5. Metafisika, oleh Aristoteles dinamakan sebagai filsafat pertama atau theologia
6. Etika, terdiri dari:
 Ethica Nicomachea
 Magna moralia (karangan besar tentang moral)
 Ethica Eudemia
7. Politik dan ekonomi, terdiri dari:
 Politics
 Economics
8. Retorika dan Poetika, terdiri dari:
 Rhetorica
 Poetica
Sebagai catatan, ajaran tentang etika, metafisika dan filsafat Aristoteles perlu
dijelaskan di buku ini. Menurut Aristoteles, pandangan filsafat tentang etika adalah
sarana untuk mencapai kebahagiaan. Sebagai barang yang tertinggi dalam kehidupan,
etika apat mendidik manusia supaya memiliki sikap yang pantas dalam segala
perbuatan. Sedangkan, ilmu metafisika diharapkan lebih melakukan pengkajian pada
persoalan tentang hakikat segala sesuatu. Menurut Aristoteles, ilmu metafisika ilmiah
yang paling utama dari filsafat atau intinya filsafat.
Berkaitan dengan filsafat praktis, cabang ini mencakup dua macam ilmu.
Pertama, ilmu etika yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup
perseorangan. Kedua, ilmu ekonomi yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran dalam
keluarga dan masyarakat.
b. Realisme Aristoteles
Berbeda dengan Plato tentang persoalan kontradiktif antara tetap dan menjadi,
Aristoteles menerima yang berubah dan menjadi, yang bermacam-macam bentuknya,
yang semuanya itu berada di dunia pengalaman sebagai realitas yang sesungguhnya.
Itulah sebabnya filsafat Aristoteles disebut sebagai realisme.
Meskipun selama 20 tahun menjadi murid Plato, Aristoteles menolak ajaran Plato
tentang Idea. Menurutnya, tidak ada idea-idea abadi. Apa yang oleh Plato dipahami
sebagai idea sebenarnya tidak lain adalah bentuk abstrak yang tertanam dalam realitas
indriawi sendiri. Dari realitas indriawi konkret akal budi manusia mengabstraksikan
paham-paham abstrak yang bersifat umum. Begitu misalnya akal budi
mengabstraksikan paham “orang” atau “manusia” dari orang-orang konkret nyata yang
kita lihat, yang masing-masing berbeda satu sama lain. Akal budi mampu melihat
bahwa si Ahmad, si Fatima, Profesor Sholeh, atau Ibu Zuleha sama-sama manusia,
manusia dalam arti yang sepenuhnya. Menurut Aristoteles, ajaran Plato tentang idea-
idea merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk
konsep-konsep universal tentang hal-hal yang empiris. Untuk menjelaskan kemampuan
itu tidak perlu meneima alam idea-idea abadi. Aristoteles menjelaskannya dengan
kemampua akal budi manusia untuk membuat abstraksi, untuk mengangkat bentuk-
bentuk universal dari realitas empiris individual. Pendekatan Aristoteles adalah empiris.
Ia bertolak dari realitas nyata indriawi. Itulah sebabnya ia begitu mementingkan
penelitian di alam dan medukung ilmu-ilmu khusus.
Tak hanya itu, Aristoteles juga menolak paham Plato tentang idea yang baik dan
bahwa hidup yang baik tercapai dengan kontemplasi atau penyatuan dengan idea yang
baik tersebut. Menurut Aristoteles, paham yang baik itu sedikitpun tidak membantu
seorang tukanguntuk mengetahui bagaimana ia harus bekerja dengan baik, atau seorang
negarawan untuk mengetahui bagaimana ia harus memimpin negaranya. Itu tidak ada
gunanya. Apa yang membuat kehidupan manusia bermutu harus dicari dengan bertolak
dari realitas manusia sendiri.
Dalam bahasanya, ia mengatakan bahwa setiap benda tersusun dari hule dan
morfe, yang kemudian terkenal dengan teori hulemorfistik. Hule adalah dasar
permacam-macaman. Karena Hule-nya maka suatu benda adalah benda itu sendiri,
benda tertentu. Misalnya, Si Amin bukan si Thoha karena hule nya. Sedangkan morfe
adalah dasar kesatuan yang menjadi inti dari sesuatu. Karena morfe nya maka sesuatu
itu sama dengan yang lain (satu inti), yakni termasuk ke dalam jenis yang sama. Morfe
ini berbeda dengan hule, karena hanya dikenal dengan akal budi saja. Misalnya, si Ali,
si Ahmad, si Fatima yang berbeda-beda itu berada dalam morfe yang sama, yaitu
sebegai manusia. Namun demikian, baik hule maupun morfe merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan. Dengan hule-nya maka suatu itu mewujud didalam realitas, dan
karena morfe-nya sesuatu itu mengandung arti haiki sebagai sesuatu.
Pandangan hulemorfis nya itu sejalan dengan teorinya tentang aktus dan potensia-
nya. Aktus adalah dasar kesungguhan, sedangkan potensia adalah dasar kemungkinan.
Sesuatu itu sungguh-sungguh ada karena aktus-nya dan sesuatu itu mungkin karena
potensia-nya. Jadi jika dipakai untuk memahami sesuatu yang konkret, maka hule
merupakan potensia-nya dan morfe adalah aktus-nya. Segala macam perubahan dan
perkembangan (permacam-macaman) ini terjadi karena hule, yang mengandung potensi
dinamis, bergerak menuju ke bentuk-bentuk aktus murni. Sedangkan aktus murni itu
tidak mengandung potensi apa-apa, jadi bersifat tetap, tidak berubah dan abadi.
Untuk mengetahui makna hakiki setiap sesuatu, Aristoteles mengembangkan
suatu teori pengetahuan dengan menempuh jalan atau metode “abstraksi”. Menurutnya,
pengetahuan itu ada dua, yaitu: a. Pengetahuan indra dan b. Pengetahuan budi.
Pengetahuan indra bertujuan mencapai pengenalan pada hal-hal yang konkret, yang
bermacam-macam dan serba berubah. Sedangkan pengetahuan budi bertujuan mencapai
pengetahuan abstrak, umum, dan tetap. Pengetahuan budi inilah yang disebut sengan
ilmu pengetahuan.
Antara kedua jenis pengetahuan ini adalah satu kesatuan structural. Objek
pengetahuan itu bermacam-macam dan sifatnya konkret. Karena itu, ia selau berada
dalam perubahan-perubahan dan perbedaan-perbeaan. Objek seperti ini dikenal oleh
indra dan kemudian dikenal oleh budi. Budi bertugas mencari idea yang sama yang
terkandung di dalam percam-macaman itu, sebagai pengetahuan yang macamnya hanya
satu sehingga bersifat umum dan bersama-sama dengan macam-macam hal yang konret.
Jadi, idea itu ada didalam realitas konkret.
Aristoteles memberi contoh, didalam realitas konkret ada bermacam-macam
manusia. D daam permacam-macaman itu terkandung kesamaan sebagai manusia. Oleh
sebab itulah, Aristoteles berbeda dengan Plato. Aristoteles menerima baik permacam-
macamam maupun idea-idea itu dengan keduanya bersifat realistis. Sedangkan Plato
menolak permacam-macaman itu sebagai kebenaran (yang menurutnya permacam-
macaman itu semu dan hanya bayangan) dan menerima dunia idea sebagai kebenaan
satu-satunya.
Pemikiran Aristoteles tersebut sejalan dengan salah satu teori metafisikanya yang
penting, yang mengatakan bahwa matter dan form itu bersatu. Matter memberikan
substansi sesuatu, sedangkan form menjadi pembungkusnya. Setiap objek terdiri dari
matter dan form. Jadi, ia telah mengatasi dualism Plato yang memisahkan matte dan
form, sedangkan menurut Plato masalah itu berdiri sendiri-sendiri. Ia juga berpendapat
bahwa mater itu potensial dan form itu aktualitas. Namun, ada substansi yang murni
form, tanpa potentiality. Jadi, tanpa matter, yaitu Tuhan. Aristoteles percaya kepada
adanya Tuhan. Bukti adanya Tuhan menurutnya ialah Tuhan sebagai penyebab gerak (a
first cause of motion: prima causa).
Tuhan itu menurut Aristoteles berhubungan dengan dirinya sendiri. Ia tidak
berhubungan dengan alam ini. Ia bukan pesona, ia tidak memerhatikan doa dan
keinginan manusia. Dalam mencintai Tuhan, kita tidak usah mengharap ia mencintai
kita. Ia adalah kesempurnaan tertinggi, dan kita mencontoh kesana untuk perbuatan dan
pikiran-pikiran kita. Pandangan filsafatnya tentang etika adalah bahwa etika adalah
sarana untuk mencapai kebahagiaan dan merupakan sebagai barang yang tertinggi
dalam kehidupan. Etika dapat mendidik manusia supaya memiliki sikap yang pantas
dalam segala perbuatan.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kebaikan terletak di tengah-tengah antara dua
ujung yang paling jauh. Contohnya, pemberani adalah sifat baik yang terletak diantara
pengecut dan nekat. Sedangkan dermawan terletak antara kikir dan pemboros, rendah
hati antara berjiwa budi dan sombong dsb. Karenanya orang harus pandai menguasai
diri supaya tidak terombang ambing oleh hawa nafsu. Nafas pengetahuan yang
ditunjukkan, popularitas pemikirannya, keleluasaan orestasi intelektualya dan pengaruh
pemikiran sejarah filsafat barat.
c. Filsafat Politik Aristoteles
Dalam bukunya politics, Aristoteles menerangkan bahwa “kita harus memikirkan
bukan saja bentuk pemerintahan apa yang terbaik, namun juga apa yang mungkin dan
paling mudah dicapai oleh semua”.
Berbeda dengan Plato yang dikenal sebagai pemikir Idealisme, Aristoteles lebih
dianggap sebagai Bapak Empirisme. Dalam bidang politik, klasifikasi Negara harus di
lakukan atas dasar pengumpulan fakta yang ada tentang Negara itu. Untuk menyiapkan
bukunya politika, ia mengadakan penyelidikan terlebuh dahulu terhadap 158 konstitusi-
konstitusi yang berlaku dalam polis-polis (Negara kota) di Yunani.
Dalam buku tersebut ia mebedakan tiga bentuk Negara yang sempurna, yakni
Negara yang dipimpin oleh seorang, sejumlah kecil orang dan banyak orang. Ketiga
bentuk Negara ini didebutkan juga dengan monarki, aristikrasi, dan politeia. Ketiga
bentuk ini dianggap sebagai bentuk yang paling sempurna. Sedangkan bentuk yang
tidak sempurna terdiri dari deposite, tirani, poligarki/oligarki, plutokrasi, serta
demokrasi. Demokrasi dalam kacamata Aristoteles masih menyisakan masalah.
Utamanya kekhawatiran terjadinya politisasi pilitikus. Tidak hanya itu, ia juga
mengkritisi tirani-raja dan oligarki-aristokrasi.
Tugas utama negara menurut Aristoteles adalah menyelenggarakan kepentingan
umum (Public Interest). Aristoteles menulis : “Setelah menentukan masalah-masalah
ini, selanjutnya kita harus mempertimbangkan berapakah jumlah bentuk pemerintahan
itu dan bagaimana hakikatnya”. Lalu, pertama-tama bagaimana bentuk-bentuknya yang
benar, karena apabila bentuk-bentuk yang benar itu telah ditentukan maka bentuk-
bantuk yang menyeleweng darinya dengan segera akan menjadi jelas. Kata konstitusi
dan pemerintahan mempunyai arti yang sama. Tetapi, pemerintahan disini merupakan
kekuasaan tertinggi dalam negara, dan harus berada di tangan satu orang, atau sejumlah
kecil orang atau banyak orang.
Karena itu, bentuk-bentuk pemerintahan yang benar adalah bantuk-bentuk ketika
penguasa yang satu, yang sedikit dan yang banyak itu, memerintah dengan
memperhatikan kepentingan umum. Sementara pemerintahan yang memerintah dengan
memperhatikan kepentingan pribadi, apakah itu pemerintahan satu orang, sedikit orang
atau banyak orang, adalah bentuk-bentuk pemerintahan yang menyeleweng dan perlu
dilawan. Penting untuk diketahui bahwa Aristoteles merupakan pelopor berdirinya suatu
cabang ilmu politik, yaitu perbandingan pemerintahan dan politik. Dari 158 buah studi
yang dilakukannya, hanya satu yang ada tetap sampai sekarang ini, yaitu konstitusi
Athena yang ditemukan pada tahun 1890 dan juga dalam buku Filsafat Politik.
Pendekatan Aristoteles terhadap teori politik yang terdapat dalam bukunya
politics, kemudian dilembangkan lagi. Inti pemikiran politiknya setidaknya ada empat
premis etis dan filosofis yang sangat terkenal, yaitu:
1. Manusia adalah makhluk rasional yang memiliki kehendak bebas.
2. Politik adalah ilmu praktis
3. Ada hukum moral universal yang harus dipatuhi semua manusia
4. Negara adalah institusi alamiah
Dua prinsip pertama sudah diuaraikan. Sedangkan yang ketiga hanyalah
memerlukan oembahasan singkat. Dalam kenyataanyya, ia bertanggungjawab untuk
pembentukan konsep ini, Plato mengajarkan bahwamanusia mengikuti secara utuh pola
universal tindakan manusia jika ingin memperoleh martabatnya. Idealismenya,
bagaimanapun mencegahnya dari mendasarkan hukum tersebut pada struktur ontologis
objek-objek yang bijak. Realismenya Aristoteles disisi lain memungkinkan untuk
membawanya turun dari langit dan memberinya makanan dan penerapan yang objektif.
Premis Aristotelian yang keempat berhubungan dengan yang ketiga. Aristoteles
memandang watak suatu objek sebagai sesuatu yang bias menjadi watak sesuatu yang
berada pada tujuannya. Tujuan manusia sebagaimana manusia lainnya adalah
pemenuhan watak dan kebutuhannya. Jika sendirian manusia tidak akan mampu
mencapai tijuan tersebut. Dia memerlukan agen-agen atau institusi-institusi yang lain
untuk memenuhi baik kebutuhan material maupunintelektualnya. Keluarga dan negara
merupakan intitusi yang ilmiah bagi manusia, dan merupakan bagian dari pola
kehidupan manusia yang universal.
Dalam bukunya Ethics, Aristoteles menekankan bahwa tujuan alamiah manusia
adalah kebahagiaan. Dia menyimpulkan bahwa kebagahiaan adalah aktivitas jiwa agar
sesuai dengan kebijakan yang sempurna. Kebahagiaan yang sejati hanya bias dicapai
dengan mengupayakan kehidupan moral dan kebaikan intelektual. Aristoteles
menekankan bahwa pelacakan yang sungguh-sungguh pada watak manusia merupakan
hal pokok bagi teori politik. Sebab, jika fungsi utama negara adalah untuk membantu
individu dalam mencapai tujuannya, maka penting bagi negarawan untuk menyadari
tujuan ini. Dan untuk memiliki pengetahuan ini, dia pertama-tama harus mengetahui
watak manusia. Dalam konteks semacam ini, pengkaji politik harus mengetahui fakta-
fakta mengenai jiwa. Ibarat orang ingin mengobati mata atau tubuh maka harus
mengetahui persoalan mata dan tubuh, bahkan dia harus mengetahui jiwa.
Sekali lagi kita diingatkn bahwa pemikiran politik tergantung pada pemikiran-
pemikiran filosofis umum dan kepercayaan religious yang harus dipegang berkenaan
dengan watak dan nasib manusia. Aristoteles juga memberikan kejelasan bahwa
ilmuwan politik harus menguasai bidang yang lain, seperti psikologi dan ekonomi, jika
dia ingin memperoleh pemahaman tentang negara.
Aristoteles mendefinisikan negara sebagai “ komunitas keluarga dan kumpulan
keluarga yang sejahtera demi kehidupan yang sempurna dan berkecukupan”. Istilah
“berkecukupan” mengimplikasikan bahwa dalam objek ini tercakup sarana-sarana untuk
mencapai tujuannya dan tidak memerlukan bantuan pihak lain dalam merealisasikan
potensialitas wataknya.
Bermula dari premis autarki atau “kecukupan diri”, Aristoteles mencatat bahwa
manusia secara individual tidak bisa menghadapi ujian ini. Pertama sekali dia
memerlukan keluarga untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhannya yang elementer dan
menjaga pertumbuhan kemanusiannya. Keluarga merupakan “asosiasi yang ada secara
alamiah untuk memenuhi kebutuhan sehari hari manusia”. Namun, keluarga semata
bukan “kecukupan diri” dan tidak bias menyediakan semua yang dicari manusia untuk
pemenuhannya sebagai individu. Karena memiliki indra pengecapan atau komunikasi
rasional, manusia pada dasarnya merupakan makhluk social. “insting manusia menjadi
bagian manusia secara ilmiah”.
Sebagai makhluk hidup, manusia bias menyemournakan aktivitasnya hanya dalam
kehidupan komunal. Dia memerlukan kebersamaan social dan politik dengan semua
implikasinya untuk memperoleh keuntungan, kesempatan pendidikan, penumbuhan
asketik, keilmuan, moral dan pengetahuan yang luas. Aristoteles bahkan menekankan
hal ini secara lebih kuat, dengan menyatakan bahwa “orang yang secara alamiah dan
bukan hanya sebagai kebutuhan semata tidak mempunyai negara adalah orang yang
jahat atau tidak manusiawi.
Dalam mengikuti perkembangan masyarakat, Aristoteles menyatakan bahwa
banyak bentuk organisasi social yang belum sempurna telah ada di tempat yang di situ
manusia bisa ditemukan. Mula-mula manusia hidup secara terpisah-pisah, kemudian
kelompok-kelompok keluarga bersama-sama dalam komunitas desa untuk saling
membantu dan melindungi bentuk asosiasi ini, bagaimanapun sangat terbatas secara
memadai, mencukupi kebutuhan watak manusia yang paling tepat. Berkecukupan diri
menjadi mungkin hanya ketika sejumlah desa menyatukan sumber-sumber daya mereka
dan membentuk suatu negara kota. Kebutuhan seruoa yang memaksa keluarga-keluarga
untuk bersatu menjadi desa dan desa-desa menjadi suatu komunitas yang lebih besar
mendekati pencukupan diri merupakan proses alamiah yang didirikan atas struktur
factual watak manusia.
Bagi Aristoteles, fungsi negara harus peduli dengan karakter warganya, bukan
memihak pada elite politiknya. Ia harus mendidik dan membiasaan mereka dalam
kebajikan dan ia harus memberikan kesempatan kepada rakyatnya untuk menggapai
cita-citanya termasuk kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi. Namun begitu,
Aristoteles juga menganjurkan partisipasi warna negara dengan baik. Pendek kata,
meski Aristoteles tidak menggambarkan suatu pola pemerintahan yang universal namun
ia tetap merasa yakin bahwa ilmu politik mampu menemukan tipe negara yang paling
ideal dan bias dipraktikkan.

d. Kilas Balik Filsafat Plato dan Aristoteles: Sebuah Catatan Kritis


Pemikiran Plato dan Aristoteles tidak saja memesonakan para pemikir dunia Barat
pada zamannya, tapi juga di era modern seperti sekarang ini. Alfred North Whitehead
memberi catatan khusus terhadap dua sosok guru murid kritis tersebut. Bagi Whitehead,
seluruh tradisi barat tak lain banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato. Malahan, kata
Whitehead, tradisi pemikiran barat tersebut tak lebih dari catatan kaki untuk Plato.
Sementara Aristoteles adalah salah satu orang yang member catatan kaki tersebut
karena dia hanyalah satu diantara murid Plato yang brilian, kritis dan produktif.
Plato dan Aristoteles bukan saja dua sosok guru-murid tetapi juga lawan diskusi
yang konstruktif. Perdebatan dua pemikir besar itu hingga kini mengilhami berkembang
biaknya tradisi pemikiran filsafat yang dialogis-kritis. Meski berbeda, kedua sosok
tersebut tetap saling melengkapi. Pemikiran Plato bersifat idealis, spekulatif, sugestif,
dan puitis. Karya-karyanya tersebar dan dikenal, sebagian besar terdapat dalam dialog
dengan Socrates sebagai pertunjukan drama sekaligus filsafat. Sedangkan Aristoteles
adalah pribadi yang memiliki karakter ilmuwan yang serius. Karya-karyanya dikenal
kritis, analitis, empiris dan tidak spekulatif. Meski keduanya agak berbeda, namun
pandangan, gaya dan substansi pemikiran keduanya mampu mewakili semua tradisi
pemikiran barat.
Dalam filsafat Kristen, misalnya Agustinus lebih Platonian sedangkan Aquinas
lebih Aristotelian. Di era modern kaum rasionalis lebih condong ke pemikir Platonian
ketimbang Aristotelian. Sementara mereka yang bukan kelompok idealis tetapi empiris
lebih berkiblat pada pemikiran Aristoteles. Di Jerman, kebanyakan para pemikirnya
mengikuti mazhab Platonian karena menggandrungi tradisi filsafat Plato yang
cenderung idealis, reflektif dan spekulatif. Hegel, Karl Marx, dan pemikir mazhab
Frankfurt hanyalah beberapa kelompok yang terkena virus pemikiran Plato tersebut.
Belakangan, kedua pemikir hebat yang memengaruhi dunia ini juga menginspirasi
Raphael, seniman era pencerahan, untik melukis keduanya. Plato ia lukiskan sebagai
manusia yang menunjukan ke atas penanda pikirannya ke arah langit tinggi. Sementara
Aristoteles dilukiskan sebagai orang yang mendorong tangannya kea rah bumi adak
menunduk. Itu menunjukan bahwa Aristoteles lebih membumi, duniawi dan tidak ingi
melakukan pelarian dengan spekulasi.
Kendati Plato dan Aristoteles disimbolkan sebagai sosok yang saling
berseberangan bagai bumi dan langit, kedua pemikir besar tersebut tidak pernah saling
bermusuhan dan dikenal tetap sebagai filsuf besar yang saling melengkapi satu sama
lain. Perbedaan pendapat hanya terjadi pada level pemikiran, sementara sebagi murid
Aristoteles tetap memegang hormat kepada sang guru, Plato.

Vous aimerez peut-être aussi