Dalam sejarah filsafat, selain Plato, tokoh yang paling berpengaruh dan menyita perhatian publik luas hingga saat ini adalah Aristoteles. Banyak komentator semisal Coleridge, sampai demikian jauh membagi manusia menjadi dua kelompok: Platonian dan Aristotelian. Kendati pembagian ini terkesan serampangan dan terlalu menyerdehanakan, namun itu tidak seratus persen bisa disalahkan. Sebab, memang pada satu sisi karakter orang cenderung idealis sama seperti tokoh pemikir Plato, disisi lain ada juga tipe manusia yang pragmatis dalam melihat persoalan seperti Aristoteles. Aristoteles adalah murid Plato. Ia lahir di Stagyra, Yunani Utara pada tahun 384 SM. Ayahnya seorang dokter pribadi raja Macedonia Amyntas. Ia mewarisi pengetahuan empiris dari ayahnya. Ia juga banyak mempelajari filsafat, matematika, astronomi, retorika, dan ilmu-ilmu lainnya. Dengan kecerdasannya yang luar biasa, hamper-hampir ia menguasai berbagai ilmu yang berkembang pada masanya. Pada usia 17 tahun, ia dikirim ke Athena untuk belajar di Akademia Plato selama kira- kira 20 tahun hingga Plato meninggal. Beberapa lama ia menjadi pengajar di Akademia Plato unuk bidang logika dan retorika. Setelah Plato meninggal dunia, Aristoteles bersama rekannya Xenokrates meninggalkan Athena, karena ia tidak setuju dengan pendapat Plato di Akademia tentang filsafat. Tiba di Assos, Aristoteles dan rekannya mengajar di sekolah Pythia. Pada 345 SM kota Assos diserang oleh tentara Persia , rajanya (rekan Aristoteles) dibunuh, kemudian Aristoteles dengan kawan-kawannya melarikan diri ke Mytilene di pulau Lesbos, tidak jauh dari Assos. Tahun 342 SM, Aristoteles diundang raja Philippos dari Macedonia untuk mendidik anaknya Alexander Agung. Kecenderungan berpikir saintifik tampak dari pandangan-pandangan filsafatnya yang sistematis dan banyak menggunakan metode empiris. Maka jika dibandingkan dengan Plato yang pandangan filsafatnya lebih ke condong aspek abstrak dan idealisme, maka orientasi Aristoteles lebih pada hal-hal yang konkret (empiris). Ia menjadi dikenal lebih luas karena pernah menjadi guru anaknya Alexander, seorang diplomat ulung dan jenderal terkenal. Berkat bantuan rajanya saat itu, di Athena ia mendirikan sekolah yang bernama sekolah Lykaion, juga disebut sekolah Peripatetik, yang sebenarnya adalah pusat penelitian ilmiah. Dari sekolah tersebut ia banyak menghasilkan berbagai macam hasil penelitian yang tidak hanya dapat menjelaskan prinsip-prinsip sains, tetapi juga politik, retorika, dan lain sebagainya. Namun, lama-kelamaan posisi Aristoteles di Athena tidak aman karena ia seorang pendatang. Pada tahun 323, sesudah kematian Iskandar Agung, ia harus melarikan diri ke Athena karena ia seperti Socrates 80 tahun sebelumnya, dituduh sebagai penyebar ajaran subversive dan atheism. Ia meninggalkan Athena dan pindah ke Chalcis dan meninggal di sana pada tahun 322 SM. Sebenarnya ia banyak menghasilkan karya-karya hasil penelitian dan pemikiran- pemikiran filsafat. Tapi sayang, banyak karyanya yang hilang. Diantara karya-karya yang dikenal adalah Anganan (Logika), Priar Analystics (Silogisme), Pasteriar Analytics (Sains) dan lain sebagainya. Dari karya-karyanya dapat diketahui pandangan-pandangan dia tentang beberapa persoalan filsafat, misanya etika, negara, logika, metafisika, dsb. Didalam dunia filsafat, Aristoteles dikenal sebagai Bapak Logika. Logikanya disebut logika tradisional karena nantinya berkembang apa yang disebut logika modern. Logika Aristoteles itu sering disebut “logika formal”. Bila oang-orang Sophis banyak yang menganggap manusia tidak akan mampu memperoleh kebenaran, Aristoteles dalam Metaphysics menyatakan bahwa manusia dapat mencapai kebenaran. a. Karya-karya Aristoteles Secara umum, karya-karya Aristoteles berjumlah delapan pokok bahasan, yaitu: 1. Logika, terdiri dari; Categoric (kategori-kategori) De interpretatione (perihal penafsiran) Analytics Priora (analitika logika yang lebih dahulu) Analytics Posteiora (analitika logika yang kemudian) Topica De Sophistics Elenchis (tentang cara beragumen kaum Sophis) 2. Filsafat Alam, terdiri dari: Phisica De caelo (perihal langit) De generatione et corruption (timbul hilangnya makhluk-makhluk jasmani) Meteorologica (ajaran tentang badan-badan jagad raya) 3. Psikologi, terdiri dari: De anima (perihal jiwa) Parva naturalia (karangan-karangan kecil tentang pokok-pokok alamiah) 4. Biologi, terdiri dari: De partibus animalium (perihal bagian-bagian binatang) De mutu animalium (perihal gerak binatang) De incessu animalium (tentang binatang yang berjalan) De generatione animalium (perihal kejadian binatang-binatang) 5. Metafisika, oleh Aristoteles dinamakan sebagai filsafat pertama atau theologia 6. Etika, terdiri dari: Ethica Nicomachea Magna moralia (karangan besar tentang moral) Ethica Eudemia 7. Politik dan ekonomi, terdiri dari: Politics Economics 8. Retorika dan Poetika, terdiri dari: Rhetorica Poetica Sebagai catatan, ajaran tentang etika, metafisika dan filsafat Aristoteles perlu dijelaskan di buku ini. Menurut Aristoteles, pandangan filsafat tentang etika adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan. Sebagai barang yang tertinggi dalam kehidupan, etika apat mendidik manusia supaya memiliki sikap yang pantas dalam segala perbuatan. Sedangkan, ilmu metafisika diharapkan lebih melakukan pengkajian pada persoalan tentang hakikat segala sesuatu. Menurut Aristoteles, ilmu metafisika ilmiah yang paling utama dari filsafat atau intinya filsafat. Berkaitan dengan filsafat praktis, cabang ini mencakup dua macam ilmu. Pertama, ilmu etika yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup perseorangan. Kedua, ilmu ekonomi yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran dalam keluarga dan masyarakat. b. Realisme Aristoteles Berbeda dengan Plato tentang persoalan kontradiktif antara tetap dan menjadi, Aristoteles menerima yang berubah dan menjadi, yang bermacam-macam bentuknya, yang semuanya itu berada di dunia pengalaman sebagai realitas yang sesungguhnya. Itulah sebabnya filsafat Aristoteles disebut sebagai realisme. Meskipun selama 20 tahun menjadi murid Plato, Aristoteles menolak ajaran Plato tentang Idea. Menurutnya, tidak ada idea-idea abadi. Apa yang oleh Plato dipahami sebagai idea sebenarnya tidak lain adalah bentuk abstrak yang tertanam dalam realitas indriawi sendiri. Dari realitas indriawi konkret akal budi manusia mengabstraksikan paham-paham abstrak yang bersifat umum. Begitu misalnya akal budi mengabstraksikan paham “orang” atau “manusia” dari orang-orang konkret nyata yang kita lihat, yang masing-masing berbeda satu sama lain. Akal budi mampu melihat bahwa si Ahmad, si Fatima, Profesor Sholeh, atau Ibu Zuleha sama-sama manusia, manusia dalam arti yang sepenuhnya. Menurut Aristoteles, ajaran Plato tentang idea- idea merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal yang empiris. Untuk menjelaskan kemampuan itu tidak perlu meneima alam idea-idea abadi. Aristoteles menjelaskannya dengan kemampua akal budi manusia untuk membuat abstraksi, untuk mengangkat bentuk- bentuk universal dari realitas empiris individual. Pendekatan Aristoteles adalah empiris. Ia bertolak dari realitas nyata indriawi. Itulah sebabnya ia begitu mementingkan penelitian di alam dan medukung ilmu-ilmu khusus. Tak hanya itu, Aristoteles juga menolak paham Plato tentang idea yang baik dan bahwa hidup yang baik tercapai dengan kontemplasi atau penyatuan dengan idea yang baik tersebut. Menurut Aristoteles, paham yang baik itu sedikitpun tidak membantu seorang tukanguntuk mengetahui bagaimana ia harus bekerja dengan baik, atau seorang negarawan untuk mengetahui bagaimana ia harus memimpin negaranya. Itu tidak ada gunanya. Apa yang membuat kehidupan manusia bermutu harus dicari dengan bertolak dari realitas manusia sendiri. Dalam bahasanya, ia mengatakan bahwa setiap benda tersusun dari hule dan morfe, yang kemudian terkenal dengan teori hulemorfistik. Hule adalah dasar permacam-macaman. Karena Hule-nya maka suatu benda adalah benda itu sendiri, benda tertentu. Misalnya, Si Amin bukan si Thoha karena hule nya. Sedangkan morfe adalah dasar kesatuan yang menjadi inti dari sesuatu. Karena morfe nya maka sesuatu itu sama dengan yang lain (satu inti), yakni termasuk ke dalam jenis yang sama. Morfe ini berbeda dengan hule, karena hanya dikenal dengan akal budi saja. Misalnya, si Ali, si Ahmad, si Fatima yang berbeda-beda itu berada dalam morfe yang sama, yaitu sebegai manusia. Namun demikian, baik hule maupun morfe merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan hule-nya maka suatu itu mewujud didalam realitas, dan karena morfe-nya sesuatu itu mengandung arti haiki sebagai sesuatu. Pandangan hulemorfis nya itu sejalan dengan teorinya tentang aktus dan potensia- nya. Aktus adalah dasar kesungguhan, sedangkan potensia adalah dasar kemungkinan. Sesuatu itu sungguh-sungguh ada karena aktus-nya dan sesuatu itu mungkin karena potensia-nya. Jadi jika dipakai untuk memahami sesuatu yang konkret, maka hule merupakan potensia-nya dan morfe adalah aktus-nya. Segala macam perubahan dan perkembangan (permacam-macaman) ini terjadi karena hule, yang mengandung potensi dinamis, bergerak menuju ke bentuk-bentuk aktus murni. Sedangkan aktus murni itu tidak mengandung potensi apa-apa, jadi bersifat tetap, tidak berubah dan abadi. Untuk mengetahui makna hakiki setiap sesuatu, Aristoteles mengembangkan suatu teori pengetahuan dengan menempuh jalan atau metode “abstraksi”. Menurutnya, pengetahuan itu ada dua, yaitu: a. Pengetahuan indra dan b. Pengetahuan budi. Pengetahuan indra bertujuan mencapai pengenalan pada hal-hal yang konkret, yang bermacam-macam dan serba berubah. Sedangkan pengetahuan budi bertujuan mencapai pengetahuan abstrak, umum, dan tetap. Pengetahuan budi inilah yang disebut sengan ilmu pengetahuan. Antara kedua jenis pengetahuan ini adalah satu kesatuan structural. Objek pengetahuan itu bermacam-macam dan sifatnya konkret. Karena itu, ia selau berada dalam perubahan-perubahan dan perbedaan-perbeaan. Objek seperti ini dikenal oleh indra dan kemudian dikenal oleh budi. Budi bertugas mencari idea yang sama yang terkandung di dalam percam-macaman itu, sebagai pengetahuan yang macamnya hanya satu sehingga bersifat umum dan bersama-sama dengan macam-macam hal yang konret. Jadi, idea itu ada didalam realitas konkret. Aristoteles memberi contoh, didalam realitas konkret ada bermacam-macam manusia. D daam permacam-macaman itu terkandung kesamaan sebagai manusia. Oleh sebab itulah, Aristoteles berbeda dengan Plato. Aristoteles menerima baik permacam- macamam maupun idea-idea itu dengan keduanya bersifat realistis. Sedangkan Plato menolak permacam-macaman itu sebagai kebenaran (yang menurutnya permacam- macaman itu semu dan hanya bayangan) dan menerima dunia idea sebagai kebenaan satu-satunya. Pemikiran Aristoteles tersebut sejalan dengan salah satu teori metafisikanya yang penting, yang mengatakan bahwa matter dan form itu bersatu. Matter memberikan substansi sesuatu, sedangkan form menjadi pembungkusnya. Setiap objek terdiri dari matter dan form. Jadi, ia telah mengatasi dualism Plato yang memisahkan matte dan form, sedangkan menurut Plato masalah itu berdiri sendiri-sendiri. Ia juga berpendapat bahwa mater itu potensial dan form itu aktualitas. Namun, ada substansi yang murni form, tanpa potentiality. Jadi, tanpa matter, yaitu Tuhan. Aristoteles percaya kepada adanya Tuhan. Bukti adanya Tuhan menurutnya ialah Tuhan sebagai penyebab gerak (a first cause of motion: prima causa). Tuhan itu menurut Aristoteles berhubungan dengan dirinya sendiri. Ia tidak berhubungan dengan alam ini. Ia bukan pesona, ia tidak memerhatikan doa dan keinginan manusia. Dalam mencintai Tuhan, kita tidak usah mengharap ia mencintai kita. Ia adalah kesempurnaan tertinggi, dan kita mencontoh kesana untuk perbuatan dan pikiran-pikiran kita. Pandangan filsafatnya tentang etika adalah bahwa etika adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan dan merupakan sebagai barang yang tertinggi dalam kehidupan. Etika dapat mendidik manusia supaya memiliki sikap yang pantas dalam segala perbuatan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kebaikan terletak di tengah-tengah antara dua ujung yang paling jauh. Contohnya, pemberani adalah sifat baik yang terletak diantara pengecut dan nekat. Sedangkan dermawan terletak antara kikir dan pemboros, rendah hati antara berjiwa budi dan sombong dsb. Karenanya orang harus pandai menguasai diri supaya tidak terombang ambing oleh hawa nafsu. Nafas pengetahuan yang ditunjukkan, popularitas pemikirannya, keleluasaan orestasi intelektualya dan pengaruh pemikiran sejarah filsafat barat. c. Filsafat Politik Aristoteles Dalam bukunya politics, Aristoteles menerangkan bahwa “kita harus memikirkan bukan saja bentuk pemerintahan apa yang terbaik, namun juga apa yang mungkin dan paling mudah dicapai oleh semua”. Berbeda dengan Plato yang dikenal sebagai pemikir Idealisme, Aristoteles lebih dianggap sebagai Bapak Empirisme. Dalam bidang politik, klasifikasi Negara harus di lakukan atas dasar pengumpulan fakta yang ada tentang Negara itu. Untuk menyiapkan bukunya politika, ia mengadakan penyelidikan terlebuh dahulu terhadap 158 konstitusi- konstitusi yang berlaku dalam polis-polis (Negara kota) di Yunani. Dalam buku tersebut ia mebedakan tiga bentuk Negara yang sempurna, yakni Negara yang dipimpin oleh seorang, sejumlah kecil orang dan banyak orang. Ketiga bentuk Negara ini didebutkan juga dengan monarki, aristikrasi, dan politeia. Ketiga bentuk ini dianggap sebagai bentuk yang paling sempurna. Sedangkan bentuk yang tidak sempurna terdiri dari deposite, tirani, poligarki/oligarki, plutokrasi, serta demokrasi. Demokrasi dalam kacamata Aristoteles masih menyisakan masalah. Utamanya kekhawatiran terjadinya politisasi pilitikus. Tidak hanya itu, ia juga mengkritisi tirani-raja dan oligarki-aristokrasi. Tugas utama negara menurut Aristoteles adalah menyelenggarakan kepentingan umum (Public Interest). Aristoteles menulis : “Setelah menentukan masalah-masalah ini, selanjutnya kita harus mempertimbangkan berapakah jumlah bentuk pemerintahan itu dan bagaimana hakikatnya”. Lalu, pertama-tama bagaimana bentuk-bentuknya yang benar, karena apabila bentuk-bentuk yang benar itu telah ditentukan maka bentuk- bantuk yang menyeleweng darinya dengan segera akan menjadi jelas. Kata konstitusi dan pemerintahan mempunyai arti yang sama. Tetapi, pemerintahan disini merupakan kekuasaan tertinggi dalam negara, dan harus berada di tangan satu orang, atau sejumlah kecil orang atau banyak orang. Karena itu, bentuk-bentuk pemerintahan yang benar adalah bantuk-bentuk ketika penguasa yang satu, yang sedikit dan yang banyak itu, memerintah dengan memperhatikan kepentingan umum. Sementara pemerintahan yang memerintah dengan memperhatikan kepentingan pribadi, apakah itu pemerintahan satu orang, sedikit orang atau banyak orang, adalah bentuk-bentuk pemerintahan yang menyeleweng dan perlu dilawan. Penting untuk diketahui bahwa Aristoteles merupakan pelopor berdirinya suatu cabang ilmu politik, yaitu perbandingan pemerintahan dan politik. Dari 158 buah studi yang dilakukannya, hanya satu yang ada tetap sampai sekarang ini, yaitu konstitusi Athena yang ditemukan pada tahun 1890 dan juga dalam buku Filsafat Politik. Pendekatan Aristoteles terhadap teori politik yang terdapat dalam bukunya politics, kemudian dilembangkan lagi. Inti pemikiran politiknya setidaknya ada empat premis etis dan filosofis yang sangat terkenal, yaitu: 1. Manusia adalah makhluk rasional yang memiliki kehendak bebas. 2. Politik adalah ilmu praktis 3. Ada hukum moral universal yang harus dipatuhi semua manusia 4. Negara adalah institusi alamiah Dua prinsip pertama sudah diuaraikan. Sedangkan yang ketiga hanyalah memerlukan oembahasan singkat. Dalam kenyataanyya, ia bertanggungjawab untuk pembentukan konsep ini, Plato mengajarkan bahwamanusia mengikuti secara utuh pola universal tindakan manusia jika ingin memperoleh martabatnya. Idealismenya, bagaimanapun mencegahnya dari mendasarkan hukum tersebut pada struktur ontologis objek-objek yang bijak. Realismenya Aristoteles disisi lain memungkinkan untuk membawanya turun dari langit dan memberinya makanan dan penerapan yang objektif. Premis Aristotelian yang keempat berhubungan dengan yang ketiga. Aristoteles memandang watak suatu objek sebagai sesuatu yang bias menjadi watak sesuatu yang berada pada tujuannya. Tujuan manusia sebagaimana manusia lainnya adalah pemenuhan watak dan kebutuhannya. Jika sendirian manusia tidak akan mampu mencapai tijuan tersebut. Dia memerlukan agen-agen atau institusi-institusi yang lain untuk memenuhi baik kebutuhan material maupunintelektualnya. Keluarga dan negara merupakan intitusi yang ilmiah bagi manusia, dan merupakan bagian dari pola kehidupan manusia yang universal. Dalam bukunya Ethics, Aristoteles menekankan bahwa tujuan alamiah manusia adalah kebahagiaan. Dia menyimpulkan bahwa kebagahiaan adalah aktivitas jiwa agar sesuai dengan kebijakan yang sempurna. Kebahagiaan yang sejati hanya bias dicapai dengan mengupayakan kehidupan moral dan kebaikan intelektual. Aristoteles menekankan bahwa pelacakan yang sungguh-sungguh pada watak manusia merupakan hal pokok bagi teori politik. Sebab, jika fungsi utama negara adalah untuk membantu individu dalam mencapai tujuannya, maka penting bagi negarawan untuk menyadari tujuan ini. Dan untuk memiliki pengetahuan ini, dia pertama-tama harus mengetahui watak manusia. Dalam konteks semacam ini, pengkaji politik harus mengetahui fakta- fakta mengenai jiwa. Ibarat orang ingin mengobati mata atau tubuh maka harus mengetahui persoalan mata dan tubuh, bahkan dia harus mengetahui jiwa. Sekali lagi kita diingatkn bahwa pemikiran politik tergantung pada pemikiran- pemikiran filosofis umum dan kepercayaan religious yang harus dipegang berkenaan dengan watak dan nasib manusia. Aristoteles juga memberikan kejelasan bahwa ilmuwan politik harus menguasai bidang yang lain, seperti psikologi dan ekonomi, jika dia ingin memperoleh pemahaman tentang negara. Aristoteles mendefinisikan negara sebagai “ komunitas keluarga dan kumpulan keluarga yang sejahtera demi kehidupan yang sempurna dan berkecukupan”. Istilah “berkecukupan” mengimplikasikan bahwa dalam objek ini tercakup sarana-sarana untuk mencapai tujuannya dan tidak memerlukan bantuan pihak lain dalam merealisasikan potensialitas wataknya. Bermula dari premis autarki atau “kecukupan diri”, Aristoteles mencatat bahwa manusia secara individual tidak bisa menghadapi ujian ini. Pertama sekali dia memerlukan keluarga untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhannya yang elementer dan menjaga pertumbuhan kemanusiannya. Keluarga merupakan “asosiasi yang ada secara alamiah untuk memenuhi kebutuhan sehari hari manusia”. Namun, keluarga semata bukan “kecukupan diri” dan tidak bias menyediakan semua yang dicari manusia untuk pemenuhannya sebagai individu. Karena memiliki indra pengecapan atau komunikasi rasional, manusia pada dasarnya merupakan makhluk social. “insting manusia menjadi bagian manusia secara ilmiah”. Sebagai makhluk hidup, manusia bias menyemournakan aktivitasnya hanya dalam kehidupan komunal. Dia memerlukan kebersamaan social dan politik dengan semua implikasinya untuk memperoleh keuntungan, kesempatan pendidikan, penumbuhan asketik, keilmuan, moral dan pengetahuan yang luas. Aristoteles bahkan menekankan hal ini secara lebih kuat, dengan menyatakan bahwa “orang yang secara alamiah dan bukan hanya sebagai kebutuhan semata tidak mempunyai negara adalah orang yang jahat atau tidak manusiawi. Dalam mengikuti perkembangan masyarakat, Aristoteles menyatakan bahwa banyak bentuk organisasi social yang belum sempurna telah ada di tempat yang di situ manusia bisa ditemukan. Mula-mula manusia hidup secara terpisah-pisah, kemudian kelompok-kelompok keluarga bersama-sama dalam komunitas desa untuk saling membantu dan melindungi bentuk asosiasi ini, bagaimanapun sangat terbatas secara memadai, mencukupi kebutuhan watak manusia yang paling tepat. Berkecukupan diri menjadi mungkin hanya ketika sejumlah desa menyatukan sumber-sumber daya mereka dan membentuk suatu negara kota. Kebutuhan seruoa yang memaksa keluarga-keluarga untuk bersatu menjadi desa dan desa-desa menjadi suatu komunitas yang lebih besar mendekati pencukupan diri merupakan proses alamiah yang didirikan atas struktur factual watak manusia. Bagi Aristoteles, fungsi negara harus peduli dengan karakter warganya, bukan memihak pada elite politiknya. Ia harus mendidik dan membiasaan mereka dalam kebajikan dan ia harus memberikan kesempatan kepada rakyatnya untuk menggapai cita-citanya termasuk kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi. Namun begitu, Aristoteles juga menganjurkan partisipasi warna negara dengan baik. Pendek kata, meski Aristoteles tidak menggambarkan suatu pola pemerintahan yang universal namun ia tetap merasa yakin bahwa ilmu politik mampu menemukan tipe negara yang paling ideal dan bias dipraktikkan.
d. Kilas Balik Filsafat Plato dan Aristoteles: Sebuah Catatan Kritis
Pemikiran Plato dan Aristoteles tidak saja memesonakan para pemikir dunia Barat pada zamannya, tapi juga di era modern seperti sekarang ini. Alfred North Whitehead memberi catatan khusus terhadap dua sosok guru murid kritis tersebut. Bagi Whitehead, seluruh tradisi barat tak lain banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato. Malahan, kata Whitehead, tradisi pemikiran barat tersebut tak lebih dari catatan kaki untuk Plato. Sementara Aristoteles adalah salah satu orang yang member catatan kaki tersebut karena dia hanyalah satu diantara murid Plato yang brilian, kritis dan produktif. Plato dan Aristoteles bukan saja dua sosok guru-murid tetapi juga lawan diskusi yang konstruktif. Perdebatan dua pemikir besar itu hingga kini mengilhami berkembang biaknya tradisi pemikiran filsafat yang dialogis-kritis. Meski berbeda, kedua sosok tersebut tetap saling melengkapi. Pemikiran Plato bersifat idealis, spekulatif, sugestif, dan puitis. Karya-karyanya tersebar dan dikenal, sebagian besar terdapat dalam dialog dengan Socrates sebagai pertunjukan drama sekaligus filsafat. Sedangkan Aristoteles adalah pribadi yang memiliki karakter ilmuwan yang serius. Karya-karyanya dikenal kritis, analitis, empiris dan tidak spekulatif. Meski keduanya agak berbeda, namun pandangan, gaya dan substansi pemikiran keduanya mampu mewakili semua tradisi pemikiran barat. Dalam filsafat Kristen, misalnya Agustinus lebih Platonian sedangkan Aquinas lebih Aristotelian. Di era modern kaum rasionalis lebih condong ke pemikir Platonian ketimbang Aristotelian. Sementara mereka yang bukan kelompok idealis tetapi empiris lebih berkiblat pada pemikiran Aristoteles. Di Jerman, kebanyakan para pemikirnya mengikuti mazhab Platonian karena menggandrungi tradisi filsafat Plato yang cenderung idealis, reflektif dan spekulatif. Hegel, Karl Marx, dan pemikir mazhab Frankfurt hanyalah beberapa kelompok yang terkena virus pemikiran Plato tersebut. Belakangan, kedua pemikir hebat yang memengaruhi dunia ini juga menginspirasi Raphael, seniman era pencerahan, untik melukis keduanya. Plato ia lukiskan sebagai manusia yang menunjukan ke atas penanda pikirannya ke arah langit tinggi. Sementara Aristoteles dilukiskan sebagai orang yang mendorong tangannya kea rah bumi adak menunduk. Itu menunjukan bahwa Aristoteles lebih membumi, duniawi dan tidak ingi melakukan pelarian dengan spekulasi. Kendati Plato dan Aristoteles disimbolkan sebagai sosok yang saling berseberangan bagai bumi dan langit, kedua pemikir besar tersebut tidak pernah saling bermusuhan dan dikenal tetap sebagai filsuf besar yang saling melengkapi satu sama lain. Perbedaan pendapat hanya terjadi pada level pemikiran, sementara sebagi murid Aristoteles tetap memegang hormat kepada sang guru, Plato.