Vous êtes sur la page 1sur 4

Mahlizar bersama Hany Sesuatu dan 4 lainnya.

41 menit ·
GURUKU ABU MUDI
---
Aku tidak sabar lagi. Berkali kali aku meminta izin guruku, Waled Mustafa untuk
mengizinkanku ke MUDI Mesra tetapi selalu ditolak. Kalimatnya selalu sama, "Tunggu
beberapa saat lagi." Padahal terakhir aku memintanya adalah beberapa bulan yang lalu. Aku
berpikir, "saat" yang beliau maksudkan itu sampai kapan.
Memang seharusnya aku tidak boleh berpikir yang macam-macam terhadap guruku. Tetapi
aku kelewat rindu untuk segera terbang ke MUDI Mesra.
Aku memang kurang bisa menerima keputusan guruku. Tetapi untuk membantahnya juga
tidak berani. Walau bagaimana pun, aku sudah 3 tahun menjadi muridnya. Jadi, ketika beliau
tidak mengizinkanku, ya terpaksa aku duduk lagi beberapa saat di dayah Darul Falah itu.
Namun dari hari ke hari aku semakin tersiksa. Betapa tidak, kawanku Ali selalu mengulang-
ulang kisah MUDI Mesra.
Hal yang paling sering diceritakannya adalah bagaimana santri-santri MUDI Mesra belajar
sampai pukul 02.00 dini hari. Saat pertama kali mendengarnya, aku benar-benar terkejut,
karena kami belajar hanya sampai jam 11.30, itupun bagi yang rajin saja.
Aku membayangkan murid MUDI mesra itu pasti hebat sekali. Dalam hayalanku, mereka itu
kurus pucat, bahkan mungkin kekuningan, karena beratnya mereka belajar dan kurang tidur.
Aku juga berpikir mereka tidak sempat tersenyum apalagi tertawa. Tidak seperti kami yang
setiap jam 11.00 malam mulai berkumpul di balai gelap mendulang cerita. Sambil mengisap
rokok sama-sama tentunya. Memang tidak ada larangan bagi kami untuk menghisapnya.
Bahkan saat belajar kami bisa melakukannya, tentu jangan sampai dilihat Waled. Beliau tidak
suka perokok.
Begitulah dalam bayanganku tentang santri mudi mesra. Namun yang paling menyedot
perhatianku bukanlah soal santrinya, tetapi maha guru mereka, Abu Mudi.
Diantara kalimat yang masih aku ingat betul yang diucapkan kawanku, Ali adalah:
"Waled Hasanoel (saat itu Abu Mudi masih dipanggil waled) itu luar biasa sekali. Beliau tak
pernah berjalan cepat. Beliau selalu melangkah santai seraya membawa tongkat. Konon
tongkat itu bukan tongkat sembarangan, melainkan warisan dari guru beliau, Abon Aziz yang
keramat. Ketika beliau berjalan, tidak ada yang berani beradu pandang dengannya. Jangan
kata lagi menyapanya. Padahal beliau jarang mengumbar pandangan. Menunduk. Tapi jangan
kira beliau tidak memperhatikan apa-apa, bahkan puntung rokok saja tak luput dari matanya.
Beliau sangat benci sampah yang berserakan."
Terkadang sambil bercerita ia menirukan cara berjalan beliau. Sehingga ceritanya semakin
hidup. Tentu saja ia tak kan bisa menirunya seratus persen.
Banyak lagi yang diceritakannya. Itulah yang setiap hari menghiasi pikiranku tentang Abu
Mudi. Aku begitu ingin menjadi muridnya. Aku ingin menjadi bagian Mudi mesra.
Beberapa bulan kembali lewat. Sedangkan aku masih di tempat itu. Aku tidak berani
meminta izin lagi sebelum waktu berselang lama. Aku takut nanti guruku marah. Tetapi saat
itu aku betul-betul sulit menahan kerinduanku kepada MUDI mesra, sehingga dengan
sendirinya aku sangat menderita. Aku seperti dipenjara.
Karena sudah tidak tahan, aku memutuskan untuk ke MUDI mesra secepatnya. Bukan untuk
belajar, hanya untuk melihat-lihat saja dulu. Melepas kerinduan.
Namun yang sangat membingungkanku adalah aku tidak pernah ke MUDI, bahkan lewat
jalannya saja tidak pernah. Maklum, perjalananku paling jauh hanya sampai Lhokseumawe.
Sialnya lagi kawanku Ali, satu-satunya yang tahu jalan sudah tak mengaji lagi. Aku betul-
betul kebingungan. Saat itu belum ada google map atau apa, android saja belum lahir.
Kata kawanku yang lain, Ali sekarang di Lhokseumawe, berdagang. Aku mencarinya dan
bertanya alamat yang jelas kepadanya. Ia mengatakan begini, "Naik saja BE (Bireuen
Express), nanti bilang saja sama kernet untuk menurunkan kamu di Simpang Matang. Setelah
itu naik RBT ke MUDI."
Aku bertanya, "Bagaimana cara mengetahui sudah sampai Simpang Matang?"
"Semua kernet BE tahu," katanya.
"Baiklah," jawabku.
Dalam menempuh pendidikan, aku memang terbiasa sendiri. Kecuali MIN, aku tidak pernah
diantar atau didaftar oleh ayah atau ibuku. Bukan mereka tak mau, aku yang bilang tak perlu.
Sehingga pernah suatu kali, setelah aku tamat MIN, aku memutuskan untuk belajar di
sekolah SMP favorit kotaku. Aku mengayuh sepeda 5 kilometer untuk mendaftar namaku di
sana. Menjadi siswa di SMP itu membuat anak manapun terhormat. Terutama anak kampung
sepertiku.
Setelah mengisi semua formulir, aku menyerahkan semua berkasku kepada panitia
penerimaan siswa baru. Betapa sakit dan malunya aku ketika mereka berkata, "Kamu tidak
bisa masuk sekolah ini. Kamu tinggal di kampung, mesti sekolah di SMP2."
Aku begitu kecewa. Mengutuk siapa yang membuat peraturan menyakitkan itu. Padahal anak
kampungku ada yang sekolah di situ. Kenapa ia bisa aku tidak bisa. Beberapa hari kemudian
baru aku paham, ternyata pamannya mengajar di situ. Aku pulang dengan berurai air mata.
Hal menyedihkan juga pernah kualami saat aku masuk Dayah terpadu. Saat itu juga sama, tak
ada wali yang menemaniku. Hari pertama aku sampai, semua anak-anak lain ditemani
walinya. Kalau tidak ayah, ya ibunya. Aku tidak ada. Ketika malam hampir tiba, mulailah
anak-anak lain diberikan petunjuk oleh ayah ibunya apa yang harus mereka lakukan mulai
malam.
Aku menguping apa yang mereka katakan. Diantaranya mereka bilang, "Nanti kalau waktu
makan sudah tiba, jangan lupa ambil makanan dan kasih bon yang telah diberikan ya." Dalam
karantina selama dua hari, kami memang harus dapat bon itu baru bisa mengambil jatah
makanan.
"Ya," mereka menjawab serentak. Kecuali aku tentunya. Aku bingung dan gelagapan. Aku
tidak punya bon yang mereka maksudkan. Aku kebingungan, bagaimana nanti dapat jatah
makanan.
Seorang wali santri yang melihat aku kebingungan menanyakan, "Kamu tidak punya bon
ya?"
Aku mengangguk pelan. Walau bagaimanapun aku pantang menampakkan kelemahan.
Baiknya ia langsung menerangkan apa yang harus aku lakukan.
Masalah yang lebih besar kualami ketika aku keluar dari terpadu dan melamar masuk sekolah
MAN di Lhokseumawe. Ini aku betul-betul hampir frustasi. Hampir-hampir aku menganggap
karir sekolahku sudah tamat. Betapa tidak, katanya aku tidak bisa diterima di sekolah
manapun di Aceh Utara. Namaku masuk dalam catatan hitam. Kenapa demikian aku paham
betul. Aku pantas menerimanya. Cuma tak pantas kusebutkan.
Akan tetapi berkat Ibu kawanku yang menjamin aku takkan kembali membuat ulah, aku
diterima. Sampai saat ini, jasanya itu takkan bisa kulupakan. Walau sekolah tak begitu
penting dalam perjalananku kini, namun sebuah jasa tulus sulit dilupakan siapapun.
Setelah segalanya siap, aku mengikuti segala petunjuk kawanku untuk ke MUDI mesra. Kali
ini aku juga sendirian. Di dalam BE aku tak pernah tenang. Padahal aku membawa majalah
kesayanganku. Aku tidak bisa membacanya selembar pun. Kenapa aku segugup itu, aku juga
heran.
Ketika melewati Bireuen, kegundahanku semakin menjadi. Aku takut nanti lewat dan aku
tersesat entah kemana.
Setiap ada persimpangan dan ada pamflet Dayah, aku selalu memperingatkan kernet bus
untuk menurunkan aku di simpang matang. Kernet tertawa melihat tingkahku itu. "Masih
jauh," katanya. Kenapa ia selalu mengatakan masih jauh padahal menurutku sudah sangat
jauh. Aku hanya berharap semuanya berjalan lancar. Tentu saja aku tak berani tidur sekejap
mata pun.
Betapa senangnya hatiku ketika tiba-tiba kernet itu berteriak, "Simpang matang, Simpang
Matang." Secepat kilat aku meloncat, dan turun ke luar. Tak lupa sebelumnya aku
menyembunyikan peciku. Aku malu menampakkan peciku di kota santri itu. Aku merasa
bahwa aku masih jauh untuk disebut santri. Apalagi di Samalanga.
Namun anehnya, ketika RBT menyapaku mereka dengan sopan mengatakan, "Mau kemana
teungku?"
Aku heran, kok mereka tahu aku santri. Kenapa mereka memanggilku teungku. Apa aura
kesatrianku sudah terpancar kuat sampai tanpa peci pun mereka mengenaliku. Aku takjub.
Setelah aku benar-benar menjadi santri MUDI, baru aku tahu mereka memanggil semua laki-
laki yang turun dari mobil sewa dengan "teungku." Karena biasanya memang santri. Aku
yang kelewat kegeeran.
Sesampainya di MUDI, aku melihat gedung asrama empat tingkat. Ah betapa megahnya
pikirku. Dayahku bahkan tidak ada dua tingkat. Aku kagum. Aku langsung ke piket yang
bertugas di posko. Aku kembali terpesona, mereka dengan seragam yang rapi menyambutku
dengan ramah. Kami bahkan tidak ada posko di sana. Apalagi piket segala. Memangnya buat
apa kami punya piket, bahkan untuk pergi kenduri saja terkadang tidak cukup orang. Lagian
tamu kami juga tidak banyak. Termasuk semua guru dan murid, kami hanya 50 orang.
Sedangkan MUDI 5000 orang lebih, ya wajar mereka punya piket dan posko pikir ku.
Aku langsung ke posko karena aku tidak mengenal seorangpun di MUDI saat itu. Tidak ada
yang bisa aku hubungi.
Mereka mengarahkanku kepada guru yang menerima murid baru. Ketika sampai, lagi-lagi
aku takjub. Di kamarnya penuh kitab berderet-deret dan buku tersusun rapi. Banyak sekali.
Lebih hebat lagi karena ia juga sedang fokus membaca kitabnya. Mutala'ah. Aku
membayangkan, "Seperti itulah seharusnya seorang teungku. Hidup dalam gelimang kitab
dan buku."
Aku teringat kisah Imam Nawawi yang pernah kubaca. Disebutkan bahwa tempat beliau
tinggal penuh dengan kitab. Sehingga kemanapun kita melangkah, ada kitab di situ.
Ia menyambutku dengan ramah. Menanyakan aku dari mana dan ada keperluan apa. Aku
menyebutkan nama guruku. "Beliau alim," katanya. Aku senang guruku dipuji olehnya. Aku
mengutarakan segala uneg-unegku, dan ia sangat mendukung. Namun beliau menganjurkan
untuk mengikuti kehendak guruku. Jangan pergi kalau tidak diizinkan.
Ketika keluar dari kamarnya, kebetulan saat itu jam menunjukkan pukul 12.30 wib, yaitu
waktu dibangunkan santri dari tidur siang. Begitu aku keluar, aku terkejut setengah mati
ketika mendengar bunyi rotan dipukul di dinding bilik-bilik santri. "Bangun bangun,"
katanya.
Ngeri geng. Pikirku. Jujur, hal menyeramkan itu baru pertama kulihat. Di dayah terpadu, aku
sering dipukul. Bahkan pernah memukul ketika aku jadi mudabbir. Tapi ini terasa lain. Lebih
seram. Aku dapat menangkap nada pukulan itu bukan hanya untuk menakut-nakuti, kalau
mereka tidak mau bangun aku yakin seratus persen mereka akan seperti dinding itu.
Saat itu, pendidikan dimanapun memang keras. Kini semuanya berbeda. Anak-anak sekarang
tak bisa lagi disentuh. Dicubit sedikit saja tidak boleh. Kalau tidak orangtuanya akan datang
menjemput. Syukur tidak dilaporkan polisi. Melanggar HAM katanya.
Aku semenjak SD tidak pernah melapor orangtua jika dipukul guru. Bahkan dipukul
kawanku saja tidak bernah kuberitahukan. Kalau guru memukulku, aku diam saja. Kalau
kawanku memukuliku, aku pukul balik. Siapa menang dan apa akibatnya itu urusan
belakangan. Lelaki sejati pantang mengadu kepada orangtua. Begitulah Motto setiap anak
saat itu.
Kalau ada yang mengadu pun bukan guru yang dimarahi, pukulan bakal mereka terima lagi.
"Kamu yang salah. Apa yang kamu buat sehingga membuat gurumu marah?" Begitu rata-rata
ungkapan orang tua. Jadi buat apa mereka memberitahu orang tua mereka? Bukanlah orang
tua saat itu tidak peduli anaknya dipukuli orang. Namun mereka percaya penuh kepada guru.
Kalau mereka memukul, itu demi pendidikan anaknya.
Akhirnya aku pulang. Gembira. Namun sungguh sayang aku tidak bisa melihat abu mudi.
Aku memang tidak berharap bertemu langsung, aku akan merasa cukup bahagia bisa
melihatnya dari jauh. Namun hari itu beliau tidak keluar dari biliknya. Aku pun tidak bisa
tinggal lama.
Bersambung...
Selanjutnya: melihat Abu mudi dan bertemu langsung untuk pertama kalinya.

Vous aimerez peut-être aussi