Vous êtes sur la page 1sur 43

ASKEP EPILEPSI

1. Pengertian

Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang dikarakteristikkan
oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol
dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan
kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori.
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karakteristik kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam
serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf
otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi.
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya
serangan paroksimal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak secara berlebihan
dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.

1. Epidemiologi

Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37
juta orang diantaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan
WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif
diantara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka
prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Hasil penelitian
Shackleton dkk (1999) menunjukkan bahwa angka insidensi kematian di kalangan penyandang
epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang. Sementara hasil penelitian Silanpaa dkk (1998) adalah
sebesar 6,23 per 1000 penyandang.

1. Etiologi

Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :


o Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu


menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi,
minum alcohol, atau mengalami cidera.
o Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir
ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
o Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
o Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-
anak.
o Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
o Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak
o Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
o Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena
ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak

1. Epilepsi Primer (Idiopatik)


Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada
jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-
sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar
belum diketahui (Idiopatik). Sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah
(Tarwoto, 2007)
2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan
ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat
kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk
cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya
hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol,
uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
Penyebab step / childhood epilepsi / epilepsi anak-anak:

 fever / panas (these are called febrile seizures)


 genetic causes
 head injury / luka di kepala.
 infections of the brain and its coverings
 lack of oxygen to the brain/ kekurangan oksigen, terutama saat proses kelahiran.
 hydrocephalus/pembesaran ukuran kepala (excess water in the brain cavities)
 disorders of brain development / gangguan perkembangan otak.

1. Patofisiologi

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau
dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian
bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan
korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi,
termasuk yang berikut :

 Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
 Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
 Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-
aminobutirat (GABA).
 Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter
aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik
dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi
dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah
kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang
hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik
yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan
asetilkolin.

1. Klasifikasi
1. Sawan Parsial

1. i. Sawan parsial sederhana


2. ii. Sawan parsial kompleks

1.
1. Sawan Umum

- Sawan lena
- Sawan mioklonik
- Sawan klonik
- Sawan Tonik
- Sawan tonik-klonik
- Sawan atonik

1.
1. Sawan tak tergolongkan

1. Manifestasi Klinis

1. Sawan Parsial (lokal, fokal)

- Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal


1. Dengan gejala motorik

 Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
 Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke
daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
 Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
 Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
 Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu

1. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana
yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo.

 Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.


 Visual : terlihat cahaya
 Auditoris : terdengar sesuatu
 Olfaktoris : terhidu sesuatu
 Gustatoris : terkecap sesuatu
 Disertai vertigo

1. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
2. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)

- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian
kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa
lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu
fenomena tertentu, dll.
- Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)

1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik


kemudian baru menurun.

 Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4
diikuti dengan menurunnya kesadaran.
 Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya,
misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan,
menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
 Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan
kesadaran.
 Hanya dengan penurunan kesadaran
 Dengan automatisme

1. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)
2. Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
3. Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
4. Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang
menjadi bangkitan umum.

1. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)

1. Sawan lena (absence)

Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata
dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama
¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.

1. i. Hanya penurunan kesadaran


2. ii. Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada
kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
3. iii. Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan,
tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
4. iv. Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher
atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang,
lengan dapat mengetul atau mengedang.
5. v. Dengan automatisme
6. vi. Dengan komponen autonom.
7. vii. Lena tak khas (atipical absence)

Dapat disertai:

1. Gangguan tonus yang lebih jelas.


2. Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

1. Sawan Mioklonik

Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot
atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.

1. Sawan Klonik

Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di
lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.

1. Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian
tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.

1. Sawan Tonik-Klonik

Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal.
Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien
mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½
menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri.
Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang
meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika
mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-
pegal, lelah, nyeri kepala.

1. Sawan atonik

Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh.
Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada
anak.

1. Sawan Tak Tergolongkan

Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik,
mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti
sederhana.

1. Pemeriksaan Diagnostik

1. Pungsi Lumbar

Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang
belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang
demam pertama pada bayi.
- Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
- Mengalami complex partial seizure
- Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya)
- Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
- Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam
setelah kejang demam adalah normal.
- Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan
selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada
anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis
dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk
dilakukan.
1. EEG (electroencephalogram)

EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang.


Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali
tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG
yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat
memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat
diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak
bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.

1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnesium, atau
gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus
ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.

1. Neuroimaging

Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala.
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.

1. CT Scan

Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral

1. Magnetik resonance imaging (MRI)

1. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

1. Pemeriksaan fisik

Inspeksi : membran mukosa, konjungtiva, ekimosis, epitaksis, perdarahan pada gusi, purpura,
memar, pembengkakan.
Palpasi : pembesaran hepar dan limpha, nyeri tekan pada abdomen.
Perkusi : perkusi pada bagian thorak dan abdomen.
Auskultasi : bunyi jantung, suara napas, bising usus.

1. Pencegahan

Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan
epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang
digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang
dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan
yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan
epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita
dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus
di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya
menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program
pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan
memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
Hal yang tak boleh dilakukan selama anak mendapat serangan :
¨ Meletakkan benda di mulutnya. Jika anak mungkin menggigit lidahnya selama
serangan mendadak, menyisipkan benda di mulutnya kemungkinan tak banyak membantu. Anda
malah mungkin tergigit, atau parahnya, tangan Anda malah mematahkan gigi si anak.
¨ Mencoba membaringkan anak. Orang, bahkan anak-anak, secara ajaib memiliki
kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat serangan mendadak. Mencoba membaringkan si
anak ke lantai bukan hal mudah dan tidak baik juga.
¨ Berupaya menyadarkan si anak dengan bantuan pernapasan mulut ke mulut selama
dia mendapat serangan mendadak, kecuali serangan itu berakhir. Jika serangan berakhir, segera
berikan alat bantu pernapasan dari mulut ke mulut jika si anak tak bernapas.

1. Pengobatan

Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat
antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam
waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat
(compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi,
mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung
jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang
berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara
bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek
sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat
mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan
mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa
berlangsung seumur hidupnya.
Penatalaksanaan

 Farmakoterapi

- Anti konvulsion untuk mengontrol kejang

 Pembedahan

Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler
Jenis obat yang sering digunakan :

 Phenobarbital (luminal).
Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.

 Primidone (mysolin)

Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.

 Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).

Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat terhadap
epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.
Tak berhasiat terhadap petit mal.
Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah.

 Carbamazine (tegretol).

Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan pengontrolan bangkitan epilepsi


itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik.
Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan
tingkahlaku.
Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum
tulang dan gangguan fungsi hati.

 Diazepam.

Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.).


Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan
i.v. atau intra rektal.

 Nitrazepam (Inogadon).

Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.

 Ethosuximide (zarontine).

Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal

 Na-valproat (dopakene)

Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.


Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.
Efek samping mual, muntah, anorexia

 Acetazolamide (diamox).

Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi.


Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang
akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.

 ACTH

Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.


Status epileptikus
Adalah serangan kejang kontinu dan berlangsung lebih dari 30 menit atau serangkaian serangan
epilepsi yang menyebabkan anak yang tidak sadar kembali. Terapi awal diarahkan untuk
menunjang dan mempertahankan fungsi-fungsi vital, meliputi mempertahankan fungsi-fungsi
vital, meliputi mempertahankan jalan napas yang adekuat, pemberian oksigen, dan terapi hidrasi,
serta dilanjutkan dengan pemberian diazepam (Valium) atau fenobarbitol per IV. Diazepam per
rektum merupakan preparat yang sederhana, efektif, dan aman, untuk penatalaksanaan epilepsi
sebelum masuk rumah sakit. Lorazepam (Ativan) dapat menggantikan diazepam IV sebagai obat
pilihan. Preparat ini memiliki masa kerja yang lebih panjang dan lebih sedikit menyebabkan
gawat napas pada anak-anak di atas usia 2 tahun. Merupakan keadaan kedaruratan medis yang
memerlukan intervensi segera untuk mencegah cedera permanen pada otak, gagal napas, dan
kematian.
Penatalaksanaan gawat darurat
Kejang tonik-klonik
Selama kejang :
Waktu episode kejang
- lakukan pendekatan dengan tenang
- jika anak berada dalam posisi berdiri atau duduk, baringkan anak
- letakkan bantal atau lipatan selimut di bawah kepala anak. Jika tidak tersedia kepala anak
bisa disangga oleh kedua tangannya sendiri.
- Jangan :

1. i. Menahan gerakan anak atau menggunakan paksaan


2. ii. Memasukkan apapun ke dalam mulut anak
3. iii. Memberikan makanan atau minuman

- Longgarkan pakaian yang ketat


- Lepaskan kacamata
- Singkirkan benda-benda keras atau berbahaya
- Biarkan serangan kejang berakhir tanpa gangguan
- Jika anak muntah miringkan tubuh anak sebagai satu kesatuan ke salah satu sisi
Setelah kejang :
- Hitung lamanya periode postiktal (pasca kejang)
- Periksa pernapasan anak. Periksa posisi kepala dan lidah.
- Reposisikan jika kepala anak hiperekstensi. Jika anak tidak bernapas, lakukan pernapasan
buatan dan hubungi pelayanan medis darurat.
- Periksa sekitar mulut anak untuk menemukan gejala luka bakar/kimia atau kecurigaan zat
yang mengindikasikan keracunan
- Pertahankan posisi tubuh anak berbaring miring
- Tetap dampingi anak sampai pulih sepenuhnya
- Jangan memberi makanan atau minuman sampai anak benar-benar sadar dan refleks
menelan pulih
- Hubungi pelayanan kedaruratan medis jika diperlukan
- Kaji faktor-faktor pemicu awitan kejang (kolaborasi)

1. Prognosis

Perjalanan dan prognosis penyakit untuk anak-anak yang mengalami kejang bergantung pada
etiologi, tipe kejang, usia pada awitan, dan riwayat keluarga serta riwayat penyakit. Pasien
epilepsi yang berobat teratur, sepertiga akan bebas serangan 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun
sesudah serangan terakhir, obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatakan telah
mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak akan mengalami remisi. Meskipun minum
obat dengan teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering
didapat pada sawan tonik klonik dan sawan parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih
mudah relaps sesudah remisi.
Faktor resiko yang berhubungan dengan kekambuhan epilepsi antara lain usia 16 tahun atau
lebih, minum lebih dari satu macam obat antiepilepsi, mengalami kejang setelah pengobatan
dimulai, memiliki riwayat kejang tonik-klonik generalisata primer atau sekunder atau hasil EEG
menunjukkan kejang mioklonik dan memiliki EEG yang abnormal. Resiko kekambuhan kejang
menurun bila terjadi pemanjangan periode tanpa kejang.
Prognosis setelah dilakukan terapi status epileptikus lebih baik daripada dilaporkan sebelumnya.
Mayoritas anak kemungkinan tidak mengalami gangguan intelektual. Kemungkinan besar anak
yang menderita gangguan kognitif atau meninggal dunia sudah memiliki riwayat keterlambatan
pertumbuhan dan perkembangan, abnormalitas neurologik, atau menderita penyakit serius yang
berulang.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan tentang
faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada
gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah
pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme
koping apa yang digunakan?

1. 1. Identitas

Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal masuk
rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.

1. 2. Keluhan utama

Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita leukimia untuk masuk RS. keluhan utama
pada penderita leukemia yaitu perasaan lemah, nafsu makan turun, demam, perasaan tidak enak
badan, nyeri pada ektremitas.

1. 3. Riwayat penyakit sekarang


Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan, mulai timbul.
Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat, demam, anemia, terjadi pendarahan
( ptekia, ekimosis, pitaksis, pendarah gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan tedapat
pembesaran hati, limpa, dan kelenjar limpe, kelemahan. nyeri tulang atau sendi dengan atau
tanpa pembengkakan.

1. 4. Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit sekaran
g perlu ditanyakan.

1. 5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.

Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam riwayat prenatal
perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui
apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan
terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit
contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan
anak setelah

1. 6. Riwayat penyakit keluarga

Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan penyakit yang
dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada yang
menderita gangguan hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot.
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi
tipe kejang dan penatalaksanaannya.
1. Selama serangan :
- Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
- Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
- Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
- Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonik-
klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
- Apakah pasien menggigit lidah.
- Apakah mulut berbuih.
- Apakah ada inkontinen urin.
- Apakah bibir atau muka berubah warna.
- Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
- Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau
keduanya.
2. Sesudah serangan
- Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara
- Apakah ada perubahan dalam gerakan.
- Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan
sesudah serangan.
- Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut jantung.
- Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
3. Riwayat sebelum serangan
- Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.
- Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
- Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik maupun
visual.
4. Riwayat Penyakit
- Sejak kapan serangan terjadi.
- Pada usia berapa serangan pertama.
- Frekuensi serangan.
- Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan
emosional.
- Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan
kesadaran, kejang-kejang.
- Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
- Apakah makan obat-obat tertentu
- Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas
Gejala : kelelahan, malaise, kelemahan.
Tanda : kelemahan otot, somnolen.
b. Sirkulasi
Gejala : palpitasi.
Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.
c. Eliminasi
Gejala : diare, nyeri, feses hitam, darah pada urin, penurunan haluaran urine.
d. Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, hipertropi gusi (infiltrasi gusi mengindikasikan
leukemia monositik akut).
e. Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.
f. Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi, pusing, kesemutan.
Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
g. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
Tanda : gelisah, distraksi.
h. Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal.
Tanda : dispnea, takipnea, batuk.
i. Keamanan
Gejala : riwayat infeksi saat ini / dahulu, jatuh, gangguan penglihatan, perdarahan spontan, tak
terkontrol dengan trauma minimal.
Tanda : demam, infeksi, purpura, pembesaran nodus limfe, limpa atau hati.
B. Diagnosa Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan


2. Perfusi jaringan serebral tidak efektif
3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan
kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.

1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien secara non
verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami,menangis wajah
meringis

1. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan


keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau kesalahan interpretasi informasi.
2. Termoregulasi tidak efektif
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas
4. Defisit perawatan diri
5. Gangguan persepsi sensori auditori

C. Intervensi

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan

Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama … pasien tidak mengalami gangguan pola
napas dengan kriteria hasil :
- RR dalam batas normal sesuai umur
- Nadi dalam batas normal sesuai umur
Intervensi Rasional
1. Tanggalkan pakaian pada daerah 1. Memfasilitasi usaha
leher/dada, abdomen bernapas/ekspansi dada
2. Masukkan spatel lidah/jalan napas 2. Dapat mencegah tergigitnya
buatan lidah, dan memfasilitasi saat
3. Lakukan penghisapan sesuai sesuai melakukan penghisapan
indikasi lendir, atau memberi
sokongan pernapasan jika
Kolaborasi diperlukan
3. Menurunkan risiko aspirasi
1. Berikan tambahan O2 atau asfiksia

Kolaborasi
1. Dapat menurunkan hipoksia
serebral

1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien secara non
verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami,menangis wajah
meringis
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawtan selama … nyeri klien berkurang dengan kriteria
hasil:

1. Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan rasa nyeri yang
dialami
2. Klien tidak menangis lagi
3. Wajah klien tampak ceria

Intervensi Rasional
1. Kaji PQRST dengan menggunakan
media gambar
2. Berikan posisi yang nyaman sesuai
kebutuhan
3. Berikan lingkungan yang nyaman
bagi klien
4. Libatkan keluarga untuk
mendampingi klien
5. Kolaborasi untuk pemberian obat
analgesic
6. Pengkajian yang benar akan
membantu dalam menentukan
tindakan keperawtan selanjutnya
7. Posisi yang nyaman dapat
memberikan efek malsimal untuk
relaksasi otot
8. Kehadiran keluarga memberikan
efek psikologis pada anak untuk
mengurangi nyeri
9. Rangsang yang berlebihan dari
lingkungan dapat memperberat rasa
nyeri
10. Obat analgesic dapat meminimalkan
rasa nyeri

1. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan


kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.

Kriteria hasil :

 Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien

Kriteria pengkajian fokus makna klinis

 Riwayat kejang
 Tingkatan kejangnya

Intervensi Rasional

1. Kaji karakteristik kejang Untuk mngetahui seberapa besar


tingkatan kejang yang dialami
pasien sehingga pemberian
intervensi berjalan lebih baik
1. Jauhkan pasien dari benda benda Benda tajam dapat melukai dan
tajam / membahayakan bagi pasien mencederai fisik pasien

1. Segera letakkan sendok di mulut Dengan meletakkan sendok


pasien yaitu diantara rahang pasien diantara rahang atas dan rahang
bawah, maka resiko pasien
menggigit lidahnya tidak terjadi
dan jalan nafas pasien menjadi
lebih lancer
1. Kolaborasi dalam pemberian obat Obat anti kejang dapat mengurangi
anti kejang derajat kejang yang dialami pasien,
sehingga resiko untuk cidera pun
berkurang

1. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi

Tujuan :

1. pengetahuan keluarga meningkat


2. keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi
3. keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.

Intervensi
Kriteria pengkajian focus Makna klinis
1. Kaji tingkat pendidikan 1 . pendidikan merupakan salah
keluarga klien. satu faktor penentu tingkat
2. Kaji tingkat pengetahuan pengetahuan seseorang
keluarga klien.
3. Jelaskan pada keluarga klien 1. untuk mengetahui seberapa
tentang penyakit kejang jauh informasi yang telah
demam melalui penkes. mereka ketahui,sehingga
4. Beri kesempatan pada pengetahuan yang nantinya
keluarga untuk menanyakan akan diberikan dapat sesuai
hal yang belum dimengerti. dengan kebutuhan keluarga
5. Libatkan keluarga dalam 2. untuk meningkatkan
setiap tindakan pada klien. pengetahuan
3. untuk mengetahui seberapa
jauh informasi yang sudah
dipahami
4. agar keluarga dapat
memberikan penanngan
yang tepat jika suatu-waktu
klien mengalami kejang
berikutnnya.

D. Evaluasi

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan

RR dalam batas normal sesuai umur


Nadi dalam batas normal sesuai umur

1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien secara non
verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami,menangis wajah
meringis

Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan rasa nyeri yang dialami
Klien tidak menangis lagi
Wajah klien tampak ceria

1. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan


kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.

Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien


Kriteria pengkajian fokus makna klinis

1. i. Riwayat kejang
2. ii. Tingkatan kejangnya

4. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi


Pengetahuan keluarga meningkat
Keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi
Keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.
DAFTAR PUSTAKA

 Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah


Monica Ester, EGC, Jakarta
 Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made,
EGC, Jakarta
 NANDA, 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005 – 2006 Alih
bahasa Budi Santosa. Prima Medika.
 Wong, Donna L., et al. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. Volume 2. Alih
bahasa Agus Sunarta, dkk. EGC : Jakarta.
 Sylvia, A. pierce.1999. Patofisologi Konsep Klinis. Proses penyakit. Jakarta : EGC
 www.pediatric.com

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila
seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak
yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan,
berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan
berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan
paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai
manifestasi klinik dan laboratorik.
2.2. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada:

1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum


2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).

Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah epilepsi idopatik, remote
simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak
pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan
RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis
yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi neurologik dalam kaitannya dengan
umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan
mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan
ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang
terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan
pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak
konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan pertama dan kedua
kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi
(malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit,
persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat
asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya
gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/trauma serta adanya
tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.

Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi


Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesmia,
defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme

2.3.Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls
motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah
aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni
GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas
listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga
seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan
terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada
satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik
dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke
belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan
kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar
membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah
keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal
yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik,
sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus
kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan
melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang
disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu
homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh
meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak
meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama
dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam
tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama
aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi
lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan
fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka
terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan
asetilkolin.

2.4. Klasifikasi Kejang


2.4.1. Berdasarkan penyebabnya

1. epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya


2. epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya

2.4.2. Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan

1. Epilepsi partial (lokal, fokal)

1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik
- Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
- Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga
epilepsi Jackson.
- Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
- Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
- Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi
tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima
panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
- Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
- Visual : terlihat cahaya
- Auditoris : terdengar sesuatu
- Olfaktoris : terhidu sesuatu
- Gustatoris : terkecap sesuatu
- Disertai vertigo

Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi,
dilatasi pupil).

Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)


- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau
sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
- Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan
menurunnya kesadaran.
- Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan
mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju,
berjalan, mengembara tak menentu, dll.

Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran.
- Hanya dengan penurunan kesadaran
- Dengan automatisme

3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik).
Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.

1. Epilepsi umum

1) Petit mal/ Lena (absence)


Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar
ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya
dijumpai pada anak.
- Hanya penurunan kesadaran
- Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut,
atau otot-otot lainnya bilateral.
- Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas
sehingga tampak mengulai.
- Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak
mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
- Dengan automatisme
- Dengan komponen autonom.

Lena tak khas (atipical absence)


Dapat disertai:
- Gangguan tonus yang lebih jelas.
- Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

2) Grand Mal
Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot,
seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.

Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai
atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.

Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian
atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.

Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali
dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh
badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan
ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika
kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat
serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih
rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik
atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada anak.

1. Epilepsi tak tergolongkan

Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan
seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.

2.5. Manifestasi Klinis dan Perilaku


a) Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan
b) Kelainan gambaran EEG
c) Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
d) Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak
enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala
dan sebagainya)
e) Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
f) Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
g) Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik
seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normal
h) Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu tidak ingat kejadian
tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
i) Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba- tiba
j) Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang- menendang
k) Gigi geliginya terkancing
l) Hitam bola matanya berputar- putar
m) Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil

Di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak mampu
bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran, penglihatan,
maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang, sementara
tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar
busa. Napasnya sesak dan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang
diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat sekelompok sel-sel otak yang
secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan listrik. Zainal Muttaqien (2001) mengatakan keadaan
tersebut bisa dikarenakan oleh adanya perubahan, baik perubahan anatomis maupun perubahan biokimiawi pada
sel-sel di otak sendiri atau pada lingkungan sekitar otak. Terjadinya perubahan ini dapat diakibatkan antara lain oleh
trauma fisik, benturan, memar pada otak, berkurangnya aliran darah atau zat asam akibat penyempitan pembuluh
darah atau adanya pendesakan/rangsangan oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh sekelompok sel-sel otak yang
nantinya menjadi biang keladi terjadinya epilepsi diakibatkan oleh berbagai faktor.

2.6. Pemeriksaan Diagnostik


a) CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,
serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan
otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas
tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas
b) Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c) Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
- mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
- menilai fungsi hati dan ginjal
- menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya infeksi).
- Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
2.7. Penatalaksanaan
Manajemen Epilepsi :
a) Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi
b) Melakukan terapi simtomatik
c) Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan yang dicapai, yakni:
- Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
- Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang normal.
- Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.

Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika penyebabnya adalah akibat gangguan
metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan ikut menghilangkan
serangan itu.
Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah serangan. Ada empat obat yang ternyata
bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan pasien
dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas.
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1. Selama Kejang
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari
tempat / benda berbahaya.
d) Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan
pernapasan.
e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya, karena dapat mengakibatkan
gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan
sampai menutupi jalan pernapasannya.
f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa
ditandai dengan sensasi aneh seperti perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan
mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti
melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat, bawa ia ke dokter atau
rumah sakit terdekat.

2. Setelah Kejang
a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa jalan napas paten.
c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang
e) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan biarkan penderita
beristirahat.
g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani situasi dengan
pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut
h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian pengobatan oleh dokter.

Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan perawatan belaka,
namun yang lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi
penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.

2.8. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi
muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot
yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan
pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama
yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman,
yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu
yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan,
diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera
akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang
dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan
bagian dari rencana pencegahan ini.

2.9. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk
mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan
menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin
timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan
etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th.
Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila
pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang
pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di
kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.
Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi lini pertama pengobatan adalah karbamazepin dan fenitoin.
Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone, tiagabine, topiramate, dan asam valproat digunakan sebagai
pengobatan lini kedua. Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis pertama. Bila plasma konsentrasi obat di
ambang atas tingkat terapeutis namun penderita masih kejang dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus
ditingkatkan. Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat kedua
sebagai add on.11
Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang terangsang dan mengurangi amplitudo dan kenaikan
maksimal dari aksi potensial saluran Na peka voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca ke dalam neuron pada
pelepasan neurotransmitter.11
Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga
menghambat masuknya Ca ke dalam membran sinaptik.11
Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik, sedatif dan anastetik. Fenobarbital bekerja
memperkuat hambatan GABAergik dengan cara mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor Cl- pada GABAA. Pada
tingkat selular, fenobarbital memperpanjang potensial penghambat postsinaptik, bukan penambahan amplitudonya.
Fenobarbital menambah waktu buka jalur Cl- dan menambah lamanya letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA.
Seperti fenitoin dan karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur oleh Na . Fenobarbital
mengurangi pelepasan transmitter dari terminal saraf dengan cara memblokade saluran Ca peka voltase. 11
Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat GABA-transaminase dan suksinik semialdehide
dehidrogenase, enzim pertama dan kedua pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase.
VPA bekerja pada saluran Na peka voltase, dan menghambat letupan frekuensi tinggi dari neuron.
VPA memblokade rangsangan frekuensi rendah 3Hz dari neuron thalamus.11
Gabapentin (GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat saluran Na peka voltase, dapat menambah
pelepasan GABA.11
Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.11
Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari GABA.11
Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-nya.
Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat akan efek jangka panjang dari terapi farmakologik.
Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan osteopenia, osteomalasia,
dan fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat menyebabkan gangguan jaringan ikat, mis frozen shoulder da
kontraktur Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan neuropati perifer. Asam valproat dapat menyebabkan polikistik
ovari dan hiperandrogenisme.

2.10. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi faktor penyebab, saat pengobatan
dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70%
penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat
berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau
melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada
usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian
a) Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
b) Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan kesehatan karena
klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga
mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau
anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
c) Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
d) Riwayat penyakit dahulu:
- Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
- Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
- Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
- Tumor Otak
- Kelainan pembuluh darah
- demam,
- stroke
- gangguan tidur
- penggunaan obat
- hiperventilasi
- stress emosional
e) Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan penyakit keturunan
memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor
keturunan.
f) Riwayat psikososial
- Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
- Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang berhubungan dengan penyakit
epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di masyarakat).
g) Pemeriksaan fisik (ROS)
1) B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea, aspirasi
2) B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3) B3 (brain): penurunan kesadaran
4) B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
5) B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
6) B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan anggota tubuh, mengeluh meriang
h) Analisis Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS: perubahan aktivitas listrik di otak Resiko cedera
DO: pasien kejang (kaki menendang- Keseimbangan terganggu
nendang, ekstrimitas atas fleksi), gigi gerakan tidak terkontrol
geligi terkunci, lidah menjulur
DS: sesak, gangguan nervus V, IX, X Bersihan jalan napas tidak efektif
DO:apnea, cianosis lidah melemah
menutup saluran trakea
Adanya obstruksi
DS: terjadi aura (mendengar bunyi Terjadi depolarisasi berlebih Gangguan persepsi sensori
yang melengking di telinga, bau- Bangkitan listrik di bagian otak
bauan, melihat sesuatu), halusinasi, serebrum
perasaan bingung, melayang2. Menyebar ke nervus- nervus
DO: penurunan respon terhadap Mempengaruhi aktivitas organ sensori
stimulus, terjadi salah persepsi persepsi
DS: klien terlihat rendah diri saat Stigma masyarakat yang buruk Isolasi sosial
berinteraksi dengan orang lain tentang penyakit epilepsi atau ”ayan”
DO:menarik diri Klien merasa rendah diri
Menarik diri
DS: klien terlihat cemas, gelisah. Terjadi kejang epilepsi Ansietas
DO: takikardi, frekuensi napas cepat Kurang pengetahuan tentang kondisi
atau tidak teratur penyakit
Bingung
DS: pasien mengeluh sesak Terjadi bangkitan listrik di otak Ketidakefektifan pola napas
DO: RR meningkat dan tidak teratur, Menyebar ke daerah medula
oblongata
Mengganggu pusat respiratori
Mempengaruhi pola napas
DS: klien merasa lemas, klien terjadi bangkitan listrik di otak Intoleransi aktivitas
mengeluh cepat lelah saat melakukan menyebar ke MO
aktivitas mengganggu pusat kardiovaskular
DO:takikardi, takipnea, takikardia
CO menurun
Suplai darah (O2) ke jaringan
menurun
metabolisme aerob menjadi anaerob
ATP dari 38 menjadi 2
kelelahan
intoleransi aktifitas
DS: pasien menunjukkan kelelahan, CO menurun Resiko penurunan perfusi serebral
diam, tidak banyak bergerak Suplai darah ke otak berkurang
DO: penurunan kesadaran, penurunan Iskemia jaringan serebral (O2 tidak
kemampuan persepsi sensori, tidak adekuat)
ada reflek

3.2. Diagnosa Keperawatan


1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi
saliva
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
4) Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea dan apnea
5) Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia
6) Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
7) Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
8) Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak

3.3. Intervensi dan rasional


1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat meminimalkan/menghindarinya,
menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh

Intervensi Rasional
Observasi:

Identivikasi factor lingkungan yang Barang- barang di sekitar pasien dapat


memungkinkan resiko terjadinya cedera membahayakan saat terjadi kejang
Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau
penyimpangan hasil yang diharapkan
Mandiri
Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat
terjadinya cedera pada pasien saat terjadi kejang aktivitas kejang yang tidak terkontrol
Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah
cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar Area yang rendah dan datar dapat mencegah
terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa Memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk
lama setelah kejang kemungkinan terjadi kejang kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena
terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang menjulur keluar
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum
biasa yang dialami beberapa saat sebelum kejang terjadinya kejang pada pasien
Kolaborasi:

Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter Mengurangi aktivitas kejang yang berkepanjangan,
yang dapat mengurangi suplai oksigen ke otak
Edukasi:

Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa Sebagai informasi pada perawat untuk segera
ada sesuatu yang tidak nyaman, atau mengalami melakukan tindakan sebelum terjadinya kejang
sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan berkelanjutan
terjadinya kejang.
Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko
yang harus dilakukan selama pasien kejang cedera

2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi
saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea
Intervensi Rasional
Mandiri
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda
zat tertentu / gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura asing ke faring.
terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika
kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.

Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar


meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah
Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan jatuh dan menyumbat jalan nafas
abdomen untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada

Melakukan suction sesuai indikasi Mengeluarkan mukus yang berlebih, menurunkan resiko
aspirasi atau asfiksia.

Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap


Kolaborasi adekuat, dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai
Berikan oksigen sesuai program terapi akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder
terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang.

3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
- adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:

Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang Memberi informasi pada perawat tentang factor yang
berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien menyebabkan isolasi sosial pasien
Mandiri

Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien
pasien lebih percaya diri
Kolaborasi:

Kolaborasi dengan tim psikiater Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap
kesadaran diri sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi,
seperti yayasan epilepsi dan sebagainya. dukungan ide-ide untuk mengatasi masalah dari orang
lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
Edukasi:

Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat
mempunyai pengaruh besar dalam keadaan psikologis
pasien

Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi
bahwa penyakit epilepsi tidak menular (bahwa penyakit epilepsi dapat menular).

3.4. Evaluasi
1) Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2) Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3) Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri (minder)
4) Pola napas normal, TTV dalam batas normal
5) Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari- hari secara normal
6) Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan normal
7) Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
8) Status kesadaran pasien membaik

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak
yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007). Epilepsi juga merupakan gangguan kronik otak dengan ciri
timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik
abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian
epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur
hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta
di antaranya telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization (WHO) sekira
50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi.
Pengklasifikasian epilepsi atau kejang ada dua macam, yaitu epilepsi parsial dan epilepsi grandmal. Epilepsi parsial
dibedakan menjadi dua, yaitu epilepsi parsial sederhana dan epilepsi parsial kompleks. Epilepsi grandmal meliputi
epilepsi tonik, klonik, atonik, dan myoklonik. Epilepsi tonik adalah epilepsi dimana keadaannya berlangsung secara
terus-menerus atau kontinyu. Epilepsi klonik adalah epilepsi dimana terjadi kontraksi otot yang mengejang. Epilepsi
atonik merupakan epilepsi yang tidak terjadi tegangan otot. Sedangkan epilepsi myoklonik adalah kejang otot yang
klonik dan bisa terjadi spasme kelumpuhan.

4.2. Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa keperawatan pada
khususnya mengetahui pengertian, tindakan penanganan awal, serta mengetahui asuhan keperawatan pada klien
dengan epilepsi. Oleh karena penyandang epilepsi sering dihadapkan pada berbagai masalah psikososial yang
menghambat kehidupan normal, maka seyogyanya kita memaklumi pasien dengan gangguan epilepsi dengan cara
menghargai dan menjaga privasi klien tersebut. Hal itu dilaksanakan agar pasien tetap dapat bersosialisasi dengan
masyarakat dan tidak akan menimbulkan masalah pasien yang menarik diri.

EPILEPSI

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan oleh lepasan muatan listrik abnormal
sel-sel saraf otak yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi, dengan ciri khas serangan
yang timbul secara tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba pula.
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007)
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel
saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000)
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri
timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak secara
berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (anonim, 2008)
B. ETIOLOGI
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (Idiopatik) Sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah
7. Riwayat keturunan epilepsy
8. Riwayat gangguan metabolism dan nutrisi/gizi
9. Riwayat gangguan sirkulasi serebral
secara umum epilepsi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
1. Epilepsi Primer atau epilepsi idiopatik yang sampai pada saat ini belum ditemukan penyebabnya
dan sebagian besar terjadi pada anak-anak. Pada kasus ini tidak ditemukan kelainan pada
jaringan otak.
2. Epilepsi Sekunder, penyebabnya diketahui, antara lain:
- Faktor herediter, yang mengalami kelainan, seperti neurofibromatosis, hipoparatiroidisme,
hipoglikemia.
- Faktor genetik, pada kejang demam.
- Kelainan kongenital otak, atropi, agenesis korpus kolosum.
- Gangguan metabolik, seperti hipoglikemi, hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia.
- Infeksi, radang yang disebabkan virus atau bakteri pada otak dan selaputnya, seperti
toxoplasmosis, meningitis.
- Trauma, contusio cerebri, hematoma subarachnoid, hematoma subdural.
- Neoplasma otak dan selaputnya.
- Kelainan pembuluh darah, malformasi dan penyakit kolagen.
- Keracunan (timbal, kamper/kapur arus, fenotiazine).
- Lain-lain, seperti: penyakit darah, gangguan keseimbangan hormon, degenerasi serebral.
C. PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat
pengirim pesan (impuls motorik).Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya
tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik sarafyang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan nerotransmiter.
Acetylcholine dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA
(gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam
sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saran di otak yang
dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan
dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer
otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat
kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang
lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang
selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian
akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Factor predisposisi :
Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
 Keracunan CO, intoksikasi obat/alcohol
 Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
 Tumor Otak
 kelainan pembuluh darah
 riwayat keturunan epilepsy
 rwayat gangguan metabolism dan nutrisi/gizi
 riwayat gangguan sirkulasi serebral

PATHWAY

Gangguan pada system listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak
Sel-sel memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang, dan tidak terkontrol
((disritmia )
Respon pasca kejang ( postikal )
Periode pelepasan impuls yang tidak diinginkan
Kejang umum
Kejang parsial
Aktivitas kejang umum lama akut, tanpa perbakan kesadaran penuh diantara serangan
Penurunan kesadaran
5.Resiko tinggi injuri
Kejang berulang
Peka rangsang
Status epileptikus
Gangguan prilaku, alam perasaan, sensasi, dan persepsi
1.Ketakutan
2.Koping individu tidak efektif
Respon psikologis :
Ketakutan
Respon penolakan
Anoreksia
Depresi
Menarik diri
3.Nyeri akut
4.Deficit perawatan diri
Respon fisik :
Konfusi dan sulit bangun
Keluhan sakit kepala dan sakit otot
D. MANIFESTASI KLINIK
1. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan
penginderaan
2. Kelainan gambaran EEG
3. Tergantung lokasi dan sifat Fokus Epileptogen
4. Dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (Aura dapat berupa
perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men cium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh,
mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya).
Menurut Commission of Classification and Terminology of the International League Against
Epilepsy (ILAE) tahun 1981, epilepsi diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Epilepsi parsial (fokal, lokal)
a. Sawan parsial sederhana, kesadaran tetap normal:
Dengan gejala motorik
- Fokal motorik tidak menjalar.
- Fokal motorik menjalar (epilepsi Jackson)
- Versif, disertai geakan memutar tubuh, mata, kepala.
- Postural, disertai lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu.
- Fonasi, disertai dengan arus bicara terhenti atau menimbulkan bunyi-bunyian tertentu.
Dengan gejala soatosensoris atau sensoris spesial (melibatkan pancaindera)
- Somatosensoris, timbul rasa kesemutan atau ditusuk jarum.
- Visual, terlihat kilatan cahaya
- Auditorius, terdengar sesuatu
- Olfaktorius, tercium sesuatu
- Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otoonom, sensasi epigastrium, pucat, berkeringat,
dilatasi pupil.
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur), antara lain
- Disfasia, mengulang suku kata, kata atau bagian kalimat.
- Dimensia, gangguan fungsi ingatan seperti pernah mengalami, merasakan, melihat atau
sebaliknya tidak pernah.
- Kognitif, gangguan orientasi waktu.
- Afektif, merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi, perubahan persepsi benda yang dilihat,
- Halusinasi kompleks (berstruktur), seperti mendengar ada yang berbicara, musik, melihat suatu
fenomena tertentu.

b. Epilepsi parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran)


- Serangan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
Dengan gejala parsial sederhana disertai dengan menurunnya kesadaran
Dengan automatisme, gerakan-gerakan tak terkendali dan tidak disadari
- Dengan penurunan kesadaran sejak permulaan serangan, hanya dengan penurunan kesadaran,
automatisme.
c. Epilepsi parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)
- Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum
- Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum
- Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks, lalu berkembang menjadi
bangkitan umum.
2. Epilepsi umum (konvulsif dan non konvulsif)
a. Epilepsi lena (absence), kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong,
bola mata dapat memutar ke atas, tidak ada reaksi saat diajak bicara, biasanya berlangsung
setengah menit, dan sering dijumpai pada anak. Ciri khasnya: hanya penurunan kesadaran,
dengan komponen kronik ringan, dengan komponen atonik, dengan komponen tonik, dengan
automatisme, dengan komponen autonom (kombinasi).
b. Epilepsi lena tak khas, dapat disertai dengan gangguan tonus yang lebih jelas; permulaan dan
berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
c. Epilepsi mioklonik, terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot
atau semua otot, sekali atau berulang.
d. Epilepsi klonik, tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelonjot.
e. Epilepsi tonik, tidak ada komponen klonik, otot hanya menjadi kaku.
f. Epilepsi tonik-klonik, serangan dapat diawali dengan aura, klien mendadak jatuh pingsan, otot
seluruh badan kaku, kejang kaku berlangsung selama kira-kira setengah menit diikuti kejang
kelonjot diseluruh badan. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam
beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah meningkat saat kejang, muut menjadi berbusa
karena hembusan napas kuat. Mungkin pula klien miksi. Setelah kejang selesai, klien dapat
bangun dengan kesadaran yang masih rendah atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan
menjadi pegal, lelah dan nyeri kepala.
g. Epilepsi atonik, otot seluruh badan mendadak lemas, sehingga klien terjatuh. Kesadaran tetap
baik dan dapat juga menurun sebentar.
h. Status epileptikum, aktifitas kejang yang erlangsung terus menerus lebih dari 30 menit tanpa
pulihnya kesadaran.
3. Epilepsi tak tergolongkan
Ialah bangkitan pada bayi yang berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah,
gerakan seperti berwenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sejenak.

E. KLASIFIKASI KEJANG
Kejang Parsial
 Parsial Sederhana
Gejala dasar, umumnya tanpa gangguan kesadaran Misal: hanya satu jari atau tangan yang
bergetar, mulut tersentak Dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami
sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak umum/tdk nyaman
 Parsial Kompleks
Dengan gejala kompleks, umumnya dengan ganguan kesadaran.Dengan gejala kognitif,
afektif, psiko sensori, psikomotor. Misalnya: individu terdiam tidak bergerak atau bergerak
secara automatik, tetapi individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut
lewat.
Kejang Umum (grandmal)
Melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi Terjadi
kekauan intens pada seluruh tubuh (tonik) yang diikuti dengan kejang yang bergantian dengan
relaksasi dan kontraksi otot (Klonik) Disertai dengan penurunan kesadaran, kejang umum terdiri
dari:
 Kejang Tonik-Klonik
 Kejang Tonik
 Kejang Klonik
 Kejang Atonik
 Kejang Myoklonik
 Spasme kelumpuhan
 Tidak ada kejang
 Kejang Tidak Diklasifikasikan/ digolongkan karena datanya tidak lengkap.
F. KOMPLIKASI
 Kerusakan otak akibat hypoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang berulang.
 Dapat timbul depresi dan keadaan cemas.
G. PENATALAKSANAAN
 Dilakukan secara manual, juga diarahkan untuk mencegah terjadinya kejang, penatalaksanaan
berbeda dari satu klen dengan klien lainnya.
 Farmakoterapi
 Anti kovulsion untuk mengontrol kejang
 Pembedahan
 Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler
 Jenis obat yang sering digunakan
 Phenobarbital (luminal) : Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.
 Primidone (mysolin) : Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan
phenyletylmalonamid.
 Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin) : Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling
banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.
 Carbamazine (tegretol).
 Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan pengontrolan bangkitan epilepsi
itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik.
 Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan
tingkahlaku.
 Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum
tulang dan gangguanfungsi hati.
 Diazepam.
 Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.).
 Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan
i.v. atau intra rektal.
 Nitrazepam (Inogadon).
 Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.
 Ethosuximide (zarontine).
 Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal
 Na-valproat (dopakene)
 Obat pilihan kedua pada petit mal
 Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.
 Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.
 Efek samping mual, muntah, anorexia
 Acetazolamide (diamox).
 Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi.
 Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang
akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.

 ACTH
 Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, darah tepi dan lainnya sesuai indikasi misalnya kadar gula darah,
elektrolit. Pemeriksaan cairan serebrospinalis (bila perlu) untuk mengetahui tekanan, warna,
kejernihan, perdarahan, jumlah sel, hitung jenis sel, kadar protein, gula NaCl dan pemeriksaan
lain atas indikasi.
b. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG sangat berguna untuk diagnosis epilepsi. Ada kelainan berupa epilepsiform
discharge atau epileptiform activity), misalnya spike sharp wave, spike and wave dan
sebagainya. Rekaman EEG dapat menentukan fokus serta jenis epilepsi apakah fokal, multifokal,
kortikal atau subkortikal dan sebagainya. Harus dilakukan secara berkala (kira-kira 8-12 %
pasien epilepsi mempunyai rekaman EEG yang normal).
Pemeriksaan radiologis
c. Foto tengkorak
untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi tulang, kalsifikasi intrakranium yang
abnormal, tanda peninggian TIK seperti pelebaran sutura, erosi sela tursika dan sebagainya.
d. Pneumoensefalografi dan ventrikulografi untuk melihat gambaran ventrikel, sisterna, rongga sub
arachnoid serta gambaran otak.
Arteriografi untuk mengetahui pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak,
penyumbatan, neoplasma / hematome/ abses.

I. STATUS EPILEPTIKUS
 Definisi
status epileptikus adalah sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih
dari 30 menit.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau
seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai
status epileptikus.
 Etiologi
Alkohol, Anoksia, Antikonvulsan-withdrawal, Penyakit cerebrovaskular, Epilepsi kronik, Infeksi
SSP, Toksisitas obat-obatan, Metabolik, Trauma, tumor
 Klasifikasi
1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial
dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang
parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum,
serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara
serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot
aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini,
diikuti olehhyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan
darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi
yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.
2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase
tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa
diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-
Gestaut Syndrome.
4. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari
status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,
tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
5. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau
dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan
mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai“slow motion movie” dan
mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer
atau kejang absens pada masa anak-anak.
 Komplikasi status epileptikus
a. Otak
 Peningkatan Tekanan Intra Kranial
 Oedema serebri
 Trombosis arteri dan vena otak
 Disfungsi kognitif
b. Gagal Ginjal
 Myoglobinuria, rhabdomiolisis
c. Gagal Nafas
 Apnoe
 Pneumonia
 Hipoksia, hiperkapni
d. Pelepasan Katekolamin
 Hipertensi
 Oedema paru
 Aritmia
 Glikosuria, dilatasi pupil
 Hipersekresi, hiperpireksia
e. Jantung
 Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme
f. Metabolik dan Sistemik
 Dehidrasi
 Asidosis
 Hiper/hipoglikemia
 Hiperkalemia, hiponatremia
 Kegagalan multiorgan
g. Idiopatik
 Fraktur, tromboplebitis, DIC
 PENATALAKSANAAN
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang
mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah),
dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang
sebanyak 65 persen.
Nama obat Dosis (mg/kg) Persentase
1. Lorazepam 0,1 65 %
2. Phenobarbitone 15 59 %
3. Diazepam + Fenitoin 0.15 + 18 56 %
4. Fenitoin 18 -
a. Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan
karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan
terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam
plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi
pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.
b. Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan Benzodiazepin.
Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan
infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk
hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol
dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti
dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan“purple glove syndrome”.
Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi
yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.
 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, darah tepi dan lainnya sesuai indikasi misalnya kadar gula darah,
elektrolit. Pemeriksaan cairan serebrospinalis (bila perlu) untuk mengetahui tekanan, warna,
kejernihan, perdarahan, jumlah sel, hitung jenis sel, kadar protein, gula NaCl dan pemeriksaan
lain atas indikasi.
b. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG sangat berguna untuk diagnosis epilepsi. Ada kelainan berupa epilepsiform
discharge atau epileptiform activity), misalnya spike sharp wave, spike and wave dan
sebagainya. Rekaman EEG dapat menentukan fokus serta jenis epilepsi apakah fokal, multifokal,
kortikal atau subkortikal dan sebagainya. Harus dilakukan secara berkala (kira-kira 8-12 %
pasien epilepsi mempunyai rekaman EEG yang normal).
c. Foto tengkorak
untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi tulang, kalsifikasi intrakranium yang
abnormal, tanda peninggian TIK seperti pelebaran sutura, erosi sela tursika dan sebagainya.
d. Pneumoensefalografi dan ventrikulografi untuk melihat gambaran ventrikel, sisterna, rongga sub
arachnoid serta gambaran otak.
Arteriografi untuk mengetahui pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak,
penyumbatan, neoplasma / hematome/ abses.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN EPILEPSI


DAN STATUS EPILEPTIKUS
A. PENGKAJIAN
Anamnese
 Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada bayi dan neonatus), jenios
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk RS, nomor
register, asuransi kesehatan, dan diagnosis medis.
 Keluhan Utama: kejang, demam.
 Riwayat kesehatan
Riwayat keluarga dengan kejang
Riwayat kejang demam
Tumor intracranial
Trauma kepal terbuka, stroke
 Riwayat kejang
Berapa sering terjadi kejang
Gambaran kejang seperti apa
Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal
Apa yang dilakuakn pasien setelah kejang
 Riwayat penggunaan obat
Nama obat yang dipakai
Dosis obat
Berapa kali penggunaan obat
Kapan putus obat
Pemeriksaan fisik
B1 (BREATHING)
Inspeksi apakah klien batuk,produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
penngkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien epilepsy disertai dengan
gangguan system pernapasan.
B2 (BLOOD)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien epilepsy tahap lanjut
apabila klien sudah mengalami syok
B3 (BRAIN)
Tingkat kesadaran
Tingkat kesedaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk
menilai disfungsi system persarafan. Beberapa system dogunakan untuk membuat peringkat
perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran.
Pemeriksaan fungsi serebral
Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku klien, nloai gaya bicara dan observasi
ekspresi wajah, aktivitas motorik pada klien eplepsi tahap lanjut biasanya mengalami perubahan
status mental seperti adanya gangguan prilaku, alam perasaan dan persepsi
Pemeriksaan saraf cranial
Saraf I. Biasanya pada klien eplepsi tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan dalam kondisi normal
Saraf III, IV, dan VI. Dengan alas an yang tidak diketahui, klien epilepsy mengeluh mengalam
fotofobia,( sensitive yang berlebihan terhadap cahaya )
Saraf V. Biasanya tidak didapatkan paralysis otot wajah dan reflex kornea biasanya tidak ada
kelainan
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra
pengecapan normal.
System motorik
Kekutan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada eplepsi tahap lanjut
mengalami perubahan
Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, dan periosteum, derajat reflex
pada respons normal
System sensorik
Basanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal
dipermukaan tubuh, perasaan propriosetif normal, dan perasaan diskriminatif normal. Pada
rangsang cahaya merupakan tanda khas dari epilepsy. Pascakejang sering dkeluhkan adanya
nyeri kepala yang bersifat akut.
B4 (BLADDER)
Pemeriksaan pada system kemih didapatkan berkurangnya volume output urin, hal ini
berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal
B5 (BOWEL)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrisi pada klien pada epilepsy menurun karena anoreksia dan adanya kejang
B6 (BONE)
Pada fase akut setelah kejang biasanya ddapatkan adanya penurunan kekuatan otot dan
kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu aktivitas perawatan diri
Pemeriksaan Diagnostik
 CT Scan
Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral
 Elektroensefalogram(EEG)
Untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
 Magnetik resonance imaging (MRI)
 Kimia darah:
hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
 Resiko injury b/d aktivitas kejang berulang
 Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri kepala skunder respons pasca kejang
 Deficit perawatan diri yang berhubungan dengan konfusi, malas bangun sekunder respon
pasca kejang
 ketakutan b/d terjadinya kejang berulang
 Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan depresi akibat epilepsy
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Resiko tinggi injuri yang berhubungan dengan kejang berulang

Tujuan : dalam waktu 1x24 jam perawatan klien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang
dan penurunan kesadaran
Criteria hasil : klien dan keluarga mengetahui pelaksanaan kejang, menghindari stimulus
kejang, melakukan pengobatan teratur untuk menurunkan intensitas kejang

Intervensi Rasional

Kaji tngkat pengetahuan klien dan keluarga Data dasar untuk intervensi selanjutnya
cara penanganan saat kejang

Ajarkan klien dan keluarga metode Orang tua dengan anak yang pernah
mengontrol demam mengalami kejang demam harus
diintstrusikan tentang metode untuk
mengontrol demam ( kompres dingin, obat
antipiretik )

Anjurkan kontroling pasca cedera kepala Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab utama yang dapat dicegah. Malalui
program yang memberikan keamanan yang
tinggi dan tindakan pencegahan yang aman,
tetapi juga mengembangkan pencegahan
epilepsy akibat cedera kepala

Anjurkan keluarga agar mempersiapkan Melindungi klien bla terjadi kejang


lingkungan yang aman sepert batasan ranjang,
papan pengaman, dan alat suction selalu
berada dekat klien

Anjurkan untuk menghndari rangsang cahaya Klien mengalami peka terhadap rangsang
yang berlebihan cahaya yang silau. Dengan menggunakan
kaca mata hitam atau menutup salah satu mata
dapat membantu mengontrol masalah ini

Anjurkan mempertahankan bedrest total Mengurang resiko jatuh, jika vertigo, sncope,
selama fase akut dan ataksia terjadi

Kolaborasi pemberian terapi fenitoin Untuk mengontrol menurunkan respons


(dilantin) kejangb berulang

Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri kepala skunder respons pascakejang

Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan keluhan nyeri
berkurang/rasa sakit terkontrol
Kriteri hasil : klien dapat tidur dengan tenang, wajah rileks dank lien memverbalisasikan
penurunan rasa sakit

Intervensi Rasional

Usahakan membuat lingkungan yang aman Menurunkan reaksi terhadap rangsangan


dan tenang eksternal atau sensitivitas terhadap cahaya
dan menganjurkan klien untuk beristirahat

Lakukan manajemen nyeri, dengan metode Membantu menurunkan stimulasi sensasi


distraksi dan relaksasi napas dalam nyeri

Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai Dapat membantu relaksasi otot-otot yang
kondisi dengan lembut dan hati-hati tegang dan dapat menurunkan rasa sakit/tidak
nyaman

Kolaborasi pemberan analgetik Untuk menurunkan rasa sakit.


Catatan : narkotika merupakan kontraindikasi
karena berdampak tehadap status neurologis
sehingga sukar untuk dikaji

Koping individu tidak efektf yang berhubungan dengan depresi akibat epilepsy

Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah intervensi harga diri klien meningkat
Criteria hasil : mampu mengkomunikasikan dengan orang-orang terdekat tentang situasi dan
perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi,
mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri dengan cara akurat tanpa
harga diri yang negative

Intervensi Rasional

Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan Menentukan bantuan individual dalam
hubungan dengan derajat ketidakmampuan menyusun rencana perawatan atau pemilihan
intervensi

Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi Beberapa klien dapat menerima dan mengatur
pada klien perubahan fungsi secara efektif dengan sedikt
penyesuaian diri, sedangkan yangn lain
mempunya kesulitan membandingkan,
mengenal, dan mengatur kekurangan

Anjurkan klien untuk Menunjukkan penerimaan, membantu klien


mengekspresikanperasaan termasuk hostlty untuk mengenal dan mula menyesuaikan
dan kemarahan dengan perasaan tersebut

Catat ketika klien menyatakan terpengaruh Mendukung penolakan terhadap bagian tubuh
seperti sekarat atau mengingkari dan atau perasaan negative terhadap gambaran
menyatakan inilah kematian tubuh dan kemampuan yang menunjukan
kebutuhan dan intervensi serta dukungan
emosional

Pernyataan pengakuan terhadap penolakan Membantu klien untuk melihat bahwa


tubuh, mengingatka kembali fakta kejadian perawat menerima kedua bagian sebagai
tentang realitas bahwa masih dapat bagian dari seluruh tubuh. Mengizinkan klien
menggunakan sisi yang sakit dan belajar untuk merasakan adanya harapan dan mulai
mengontrol sisi yang sehat. menerima situasi yang baru

Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan Membantu meningkatkan perasaan harga diri
memperbaiki kebiasaan dan mengontrol lebih dari satu area kehdupan

Anjurkan orang yang terdekat untuk Menghidupkan kembali perasaan kemandirian


mengizinkan klien melakukan hal untuk dan membantu perkembangan harga diri serta
dirinya sebanyak-banyaknya mempengaruhi proses rehablitasi

Dukung perilaku atau usaha seperti Klien dapat beradaptasi tehadap perubahan
peningkatan minat atau partisipasi dalam dan pengertian tentang peran individu masa
aktivitas rehabilitasi mendatang

Monitor gangguan tidur peningkatan kesulitan Dapat mengindikasikan terjadinya depresi


konsentrasi, letargi, dan withdrawal umumnya terjadi sebagai pengaruh dari stroke
dimana memerlukan intervensi dan evaluasi
lebih lanjut

Kolaborasi : rujuk pada ahli neuropsikologi Dapat memfasilitasi perubahan peran yang
dan konseling bila ada indikasi penting untuk perkembangan perasaan
BAB III
PENUTUP
D. Kesimpulan
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007)
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel
saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000)
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri
timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak secara
berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (anonim, 2008)
Epilepsy dan status epileptikus merupakan bagian dari gejala konvulsif. Epilepsy adalah
gejala kompleks dari banyak gangguan berat dari fungsi otak dengan karakteristik kejang
berulang. Serangan kejang yang merupakan gejala atau manifestasi utama epilepsy dapat
diakibatkan kelainan fungsional ( motorik, sensorik, atau psikis ). Status epileptikus ( aktivitas
kejang lama yang akut ) merupakan suatu rentetan kejang umum yang terjaditanpa
perbaikankesadaran penuh diantara serangan. Istilah ini telah diperluas untuk mencakup kejang
klinis atau listrk continue yang berakhir sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa kerusakan
kesadaran
E. Saran
Dengan adanya pembahasan mengenai Asuhan Keperawatan Epilepsi dan Status
Epileptkus diharapkan pada semua calon perawat maupun perawat dapat memahami tentang
Asuhan Keperawatan Epilepsi dan Status Epileptikus . Dimana nantinya perawat akan
mengaplikasikan apa yang dipelajari ini dalam praktek keperawatannya. Oleh karena itu sangat
perlu untuk kita semua calon-calon perawat masa depan memahami hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Ns. Hasrat Jaya Ziliwu, S.Kep/ www.scribd.com/epilepsi/gangguan-konduksi-system-saraf/ diakses tanggal 16/11/2009

Vous aimerez peut-être aussi