Vous êtes sur la page 1sur 12

Leukimia Granulositik Kronik (LGK)

pada Laki-laki 60 Tahun

Angelina Maria Alvionita Kenireng Makin

10.2012.051 – C9

Alamat korespondensi : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6 - Jakarta Barat 11510


anjello09@yahoo.com

Pendahuluan

Leukemia Granulositik Kronis (LGK) atau Leukemia Mielositik Kronis (LML) atau Chronic
Myelogenous Leukemia (CML) merupakan suatu Myeloproliferative Disorder (MPD) yang ditandai
oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat
dengan mudah dilihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas),
meta mielosit, mielosit, sampai granulosit. LGK terutama dijumpai pada orang dewasa berusia 25
sampai 60 tahun, dengan insiden puncak pada dekade keempat dan kelima kehidupan. LGK
merupakan 15% dari semua jenis leukemia.1-3

LGK merupakan kelainan klonal dari sel punca pluripoten. Diagnosis LGK dibantu dengan
adanya kromosom Philadelphia (Ph) yang khas. Kromosom ini merupakan translokasi antara
kromosom 9 dan 22 sebagai akibat bagian dari onkogen ABL1 berpindah ke gen BCR pada kromosom
22 dan bagian kromosom 22 berpindah ke kromosom 9. Kromosom Ph menghasilkan gen chimeric
BCR-ABL1 yang mengkode suatu protein gabungan yang memiliki aktivitas tirosin kinase
berlebih.Pada sebagian besar pasien kromosom Ph terlihat dengan pemeriksaan kariotip sel tumor,
tetapi pada sebagian kecil kasus, abnormalitas Ph tidak tampak dengan mikroskop, namun dengan
pemeriksaan molecular kromosom ini dapat tampak dengan teknik yang lebih sensitive yaitu
fluorescent in situ hybridization (FISH) atau polymerase chain reaction (PCR). 1-3

1
Anamnesis

Berikut hal-hal yang harus ditanyakan kepada pasien pada skenario ini :

1. Identitas pasien, Pria usia 60 tahun.


2. Keluhan utama: lemas sejak 2 bulan, sering demam, keringat malam.
3. Riwayat penyakit sekarang
 Sifat demam
 Batuk
 Hal yang memperberat gejala
 Penyakit yang sedang diderita saat ini
 Riwayat keluhan sama berulang
 Keluhan lain (anoreksia, penurunan BB, dll)
4. Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat penyakit infeksi sebelum keluhan timbul
 Riwayat penyakit kronis
 Riwayat pengobatan
5. Riwayat keluarga dan sosial
 Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama
 Pekerjaan pasien
 Gaya hidup pasien (merokok, alcohol, pola makan, aktivitas)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan keadaan umum dan tanda-tanda vital yang
meliputi tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan, dan suhu. Pada pemeriksaan fisik secara umum,
dapat dilihat keadaan pasien yang tampak lemah dan pucat, serta ditemukan conjungtiva anemis yang
menunjukkan adanya anemia.

Pemeriksaan fisik pada abdomen, khususnya pemeriksaan pembesaran hati dan Schuffner
untuk memeriksa adanya splenomegali, sangat penting dilakukan oleh karena biasa ditemukan
hepatosplenomegali pada LGK. Hepatosplenomegali disebabkan oleh adanya hematopoiesis
ekstramedular yang sering dipersulit oleh infark local, terutama pada limpa. Splenomegali ringan
hingga berat paling sering ditemukan pada pemeriksaan fisik, sedangkan hepatomegali hanya sesekali
ditemui.2,4

2
Splenomegali yang menetap, meskipun telah diterapi, merupakan suatu tanda akselerasi
penyakit.Limfadenopati dan myeloid sarcoma tidak biasa dijumpai, kecuali pada akhir perjalanan
penyakit. Bila ditemui adanya limfadenopati dan myeloid sarcoma, maka prognosisnya adalah dubia
ad malam.4

Pemeriksaan Penunjang

Hematologi rutin. Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun, leukosit antara
20-60.000/mm3. Presentasi eosinofil dan atau basofil meningkat. Trombosit biasanya meningkat antara
500-600.000/mm3. Walaupun sangat jarang, pada beberapa kasus dapat normal atau trombositopenia. 1

Pemeriksaan sediaan apus darah tepi. Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering
ditemukan adanya polikromasu eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan
diferensiasi dan maturasi seri granulosit, presentasi sel mielosit dan metamielosit, meningkat, demikian
juga presentasi eosinofil dan atau basofil. 1

Pemeriksaan apus sumsum tulang. Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel
leukima, sehingga rasio mieloid:eritroid meningkat. Megakariosit juga tampak lebih banyak. Dengan
pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis. 1

Karyotipik. Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini teknik ini
sudah mulai ditinggalkan dan peranannya digantikan oleh FISH (Fluorescen Insitu Hybridization)
yang lebih akurat. Beberapa aberasi kromosom yang sering ditemukan pada LGK, antara lain : +8, +9,
+19, +21, i(17). 1

Laboratorium lain. Kadar asam urat dalam serum dan urin umumnya meningkat oleh karena
pemecahan purin berlebih. Selain itu, mungkin dijumpai batu urat di dalam ginjal atau gout. LDH
(Laktat Dehidrogenase) meningkat, menunjukkan adanya peningkatan kerusakan protein. Kadar
vitamin B12 dalam serum dan protein pengikat vitamin B12 biasanya meningkat. Granulositosis
berlebih menyebabkan peningkatan transkobalamin dalam darah, yaitu suatu protein pengikat vitamin
B12. Peningkatan transkobalamin ini bertujuan untuk dapat mengikat vitamin B12 lebih banyak untuk
meningkatkan eritropoesis. Namun, oleh karena granulopoesis lebih besar daripada eritropoesis, maka
eritropoesis terhambat, sehingga terjadi anemia. 1

3
Leukimia Granulositik Kronik (LGK)

Leukimia granulositik kronik (LGK) adalah suatu penyakit mieloproliferati yang ditandai dengan
produksi berlebihan seri granulosit yang relatif matang. 1

Etiologi

Tidak ada korelasi yang jelas antara pajanan obat sitotoksik dengan LGK dan tidak ditemukan
bukti yang cukup kuat yang menjelaskan infeksi virus sebagai etiologi LGK. Pada era pra-imatinib,
rokok mempercepat progresi krisis blas. Korban bom atom Hiroshima dan Nagasaki yang selamat
mengalami peningkatan insiden LGK dengan massa sel LGK 10.000/µL dalam 6,3 tahun.
Diperkirakan hanya radiasi dosis besar yang bisa menginduksi LGK.4

Epidemiologi

Penyakit ini terjadi pada kedua jenis kelamin (rasio pria:wanita adalah 1,4:1), sebagian besar
terjadi antara usia 40 dan 60 tahun. Namun, dapat juga terjadi pada anak-anak dan neonatus, dan pada
orang sangat tua. 3

Kejaidian leukimia mielositik kronis mecapai 20% dari semua leukemia dewasa, kedua
terbanyak setelah leukima limfositik kronik. Di Jepang kejadiannya meningkat stelah peristiwa bom
atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor atom Chernobil meledak. 1,3

Patofisiologi

Leukimia mieloid kronik BCR-ABL1+ (LMK) merupakan kelainan klonal dari sel punca
pluropoten. Diagnosis LMK tidak sulit dan dibantu dengan ada kromosom Philadelphia yang khas.
Kromosom ini merupakan translokasi t(9;22) (q34;q11) antara kromosom 9 dan 22 sebagai kaibat dari
onkogen ABL1 berpindah ke gen BCR pada kromosom 22 dan bagian kromosom 22 berpindah ke
kromosom 9. Kromosom 22 abnormal merupakan kromosom Philadephia (Ph). Pada Ph translokasi
ekson 5’ dari BCR bergabung dengan ekson 3’ dari ABL1. Translokasi Ph juga tampak pada sedikit
kasus leukimia limfoblastik akut (LLA) dan beberapa di antaranya kesalahan pada BCR terjadi pada
region yang sama seperti pada LMK. Karena kelainan kromosom Ph merupakan kelainan yang
didapatkan pada sel punca hematopoetik, kelainan dapat terlihat pada kedua galur baik mieloid
(granulositik, eritroid dan megakariosit0 dan limfosit (sel B dan T). Leukimia mieloid kronik-BCR-
ABL1, Ph diklasifikasikan sebagai sindrom mielodisplastik/mieloproliferative. 3,4

Gen BCL-ABL pada kromosom ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel induk
pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasinya berlebihan juga dapat
bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis.
4
Dampak kedua mekanisme diatas adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak
sistem hematopoiesis lainnya. 3

Gambar 1. Translokasi Kromosom 9 Gen ABL dengan Kromosom 22 Gen BCR1

Pemahaman mekanisme kerja gen BCL-Abl mutlak diketahui, mengingat besarnya peranan gen
ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, prognostik, serta implikasi terapeutiknya. Oleh karena itu
perlu diketahui sitogentik dan kejadian di tingkat molekular. 1

Manifestasi Klinis

Gambaran klinis yang terjadi adalah gejala yang berkaitan dengan hipermetabolisme (mis.
Kehilangan berat badan, lesu, anoreksia, atau keringat malam), splenomegali hampir selalu terjadi dan
seing kali masif. Pada beberapa pasien pembesaran limpa berkaitan dengan rasa tidak nyaman, nyeri
atau gangguan pencernaan, gambaran anemia dapat meliputi pucat, sesak dan takikardia. Memar,
epistaksis, menorhagia atau perdarahan dari berbagai tempat karena fungsi trombosit abnormal. Gout
atau gangguan ginjal karena hiperurikemia dari kelebihan pemecahan purin dapat menjadi masalah.
Gejala yang jarang adalah gangguan penglihatan dan priapismus. Pada lebih dari 50% kasus diagnosis
ditegakkan kebetulan saat melakukan pemeriksaan darah rutin. 3,4

Pada pemeriksaan laboratorium biasanya ditemukan leukositosis >50 x 109/L dan terkadang
>500 x 109/L. Suatu gambaran lengkap dari sel mieloid terlihat pada darah tepi. Jumlah neutrofil dan
mielosit melebihi sel blast dan promielosit. Peningkatan basofil yang bersirkulasi, anemia normositik
normokrom sering ditemui. Jumlah trombosit dapat meningkat (paling sering), normal, atau menurun.
Sumsum tulang hiperseluler dengan dominasi granulopoietik. Terdapat gen BCR-ABL1 pada
pemeriksaan PCR dan pada 98% kasus pada pemeriksaan sitogenik ditenukan kromosom Philadelphia.
Asam urat serum biasanya meningkat. 3

5
Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase, yakni fase kronik, fase akselerasi
dan fase krisis blas. Pada umumnya saat pertama diagnosis ditegakkan, pasien masih dalam fase
kronis, bahkan sering kali diagnosis LGK ditemukan secara kebetulan, misalnya saat persiapan para
operasi, dimana ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala-gejala infeksi. 1

Pada fase kronis, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa cepat kenyang akibat
desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti diremas di perut kanan. Keluhan lain
sering tidak spesifik, misalnya rasa cepat lelah, lelah badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat
malam. Peurunan berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan tersebut
merupakan gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukimia. 1

Tabel 1. Morfologi Sel pada Tiap Fase LGK dari Spesimen Darah Tepi

Fase LGK Morfologi Sel


Fase awal Leukosit <50.000/µL, terdapat bentuk yang belum matang tersendiri
Basofil mungkin +
Fase kronik Leukosit 50.000-500.000
Granulopoiesis +, blas - , bagiannya tergantung dari jumlah sel keseluruhan. Sebagian besar <5%
Basofil +, bentuk kerdil
Trombosit sering >400.000
Fase akselerasi Leukosit hingga 250.000
Bentuk yang belum matang ++ (promielosit 20-30%), blas hingga 10%
Basofil ++
Trombosit normal
Fase akhir (krisis blas) Sebagian besar >50%, prefinal hampir 100%
Blas 25% TdT atau PAS positif
Merupakan elemen sisa dari fase kronik dengan atipik yang beranekaragam
Trombositopeni +

Tabel 2. Morfologi Sel pada Tiap Fase LGK dari Spesimen Sumsum Tulang

Fase LGK Morfologi Sel


Fase awal Sangat kaya sel
Granulopoesis bergeser ke kiri secukupnya
Indeks GE (perbandingan kuantitatif antara granulopoesis dan eritopoesis) 5-6
Basofil dan eosinofil meningkat
Megakariosit dan mikrokariosit +
Fase kronik Sangat kaya sel, tidak ada sel lemak
Granulopoesis jelas bergeser ke kiri
Indeks GE >10
Basofil dan eosinofil ++
Blas –
Mikrokariosit +

6
Fase akselerasi Seperti fase kronik, namun terdapat pergeseran ke kiri yang meningkat
Peningkatan promielosit berlebihan
Blas ± 10%
Fase akhir (krisis blas) Blas sumsum sangat banyak, 25% dari fase akselerasi bereaksi positif dengan PAS
Basofil muda +
Eritrosit –
Trombopoesis direduksi

Setelah 2-3 tahun, beberapa tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau
mengalami akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakkan, pasien berada pada fase kronis, maka
kelangsungan hidup berkisar antara 1-1,5 tahun. Ciri khas fase akselerasi adalah leukositosis yang sulit
dikontrol oleh obat-obatan mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15-30%, promielosit .30%,
dan trombosit <100.000/mm3. Secara klinis, fase ini dapat diduga bila limpa yang tadinya sudah
mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah berat, timbul petekie, ekimosis.
Bila disertai demam, biasanya ada infeksi. 2

Penatalaksanaan

Secara umum tujuan terapi penderita LGK pada fase kronik adalah menghilangkan gejala
klinik dengan cara menurunkan leukositosis dan organomegali. Remisi komplit yaitu hilangnya Ph’+
klon dan pergantian sel oleh sel normal jarang terjadi dengan pengobatan konvensional. Walaupun
demikian, dengan teknik transplantasi sumsum tulang, kesembuhan tersebut memungkinkan, tujuan
terapi LGK pada fase akselerasi dan blas adalah mengembalikan ke fase kronik. 1

Pengobatan standar LMK fase kronik adalah dengan obat tunggal, walaupun kebanyakan kasus
jarang terjadi kesembuhan secara sempurna. Dengan pemberian obat tunggal tersebut akan terjadi
pengurangan organomegali dan leukosit dalam darah tepi menjadi normal tetapi hiperplasia granulosit
dan metaplasia Ph’+ di sumsum tulang tetap terjadi. Untuk menurunkan kadar asam urat serum,
allopurinol dapat diberikan. Transfusi trombosit dan eritrosit perlu dilakukan bila terdapat anemia dan
trombositopenia yang berat. 1

Penghambat tirosin kinase. Imatinib (Glivec) dibuat sebagai inhibitor spesifik dari protein
gabungan BCR-ABL1 dan menghambat kerja tirosin kinase dengan cara bersaing pada ikatan
adenosine triphosphat (ATP). Imatinib merupakan obat lini pertama dalam penatalaksanaan penyakit
fase kronis. Dosis 400mg/hari dapat memberiksan respons sempurna pada seluruh pasien. Efek
samping meliputi kemerahan kulit, retensi cairan, kram otot dan mual. Neutropenia dan
trombositopenia dapat terjadi pada beberapa kasus, mungkin diperlukan penurunan atau penghentian
dosis. Imatinib harus dipantau dengan pemeriksaan kariotip sumsum tulang bersama dengan

7
pemeriksaan PCR terhadap adanya transkripsi BCR-ABL1 di sumsum tulang atau darah tepi.
Pemeriksaan dilakukan dengan penilaian sumsum tulang secara teratur (3-6 bulanan) untuk menilai
sitogenik metafase. 3

Generasi kedua penghambat tirosin kinase. Disatinib merupakan penghambat multikinase yang
luas yang efektif pada banyak kasus yang BCR-ABL1 telah mengalami mutasi yang menyebabkan
resisten terhadap imatinib. Obat ini secara luas digunakan pada kasus tersebut meskipun retensi cairan
dapat menjadi efek samping yang bermasalah. 3

Nilotiib memiliki mekanisme kerja yang mirip dengan imatinib namun memiliki afinitas tinggi
terhadap BCR-ABL1 kinase dan dapat efektif untuk kasus dengan mutasi resisten imatinib. Baik
nilotinib maupun imatinib sekarang telah diuji banding dengan imatinib sebagai lini pertama
pengobatan LMK dan hasilnya ternyata obat ini lebih unggul. 3

Kemoterapi. Pengobatan hidroksiurea dapat mengontrol dan memantau jumlah leukosit pada
fase kronik namun tidak mengurangi presentase sel BCR-ABL1 positif. Regimen bisa dimulai dengan
1,0-2,0 g/hari kemudian berkurang bertahap setiap minggu sampai dosis pemeliharaan pada 0,5-1,5
g/hari. Obat zat alkil seperti busulfan juga efektif untuk mengatur penyakit namun harus dipikirkan
efek samping jangka panjang dan kini jarang dipakai. Imatinib saat ini secara luas telah dipakai untuk
mengganti kedua obat ini. 3

Interferon α. Interferon sering digunakan setelah jumlah leukosit dapat diatur oleh hidroksiurea
namun sekarang sudah digantikan oleh imatinib. Regimen yang biasa diberikan adalah 3-9 megaunit
antara tiga hingga tujuh kali setiap minggu diberikan secara injeksi subkutan. Interferon menyebabkan
pemanjangan fase kronik dengan peningkatan harapan angka hidup. 3

Transplantasi sel punca. Transplantasi sel punca alogenik merupakan terapi kuratif yang
terbukti untuk LMK, tetapi karena risikonya, biasanya ditujukan untuk pasien dengan kegagalan
imatinib. Hasil akan lebih baik pada pasien pada fase kronik daripada fase akut atau akselerasi.
Kekambuhan LMK setelah transplantasi merupakan masalah serius namun infus leukosit memiliki
efektivitas tinggi pada LMK, khususnya bila kekambuhan didiagnosis dini dengan pemeriksaan
transkripsi BCR-ABL1. 3

Prognosis

Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setelah diagnosis
ditegakkan. Saat ini dengan ditemukannya beberapa obat baru, maka median kelangsungan hidup
pasien dapat diperpanjang secara signifikan. Sebagai contoh, pada beberapa uji klinis kombinasi hidrea
dan interferon median kelangsungan hidup mencapai 6-9 tahun. Imatinib mesilat memberi hasil yang
8
lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan hidup belum dapat ditentukan karena masih menunggu
beberapa hasil uji klinik yang saat ini masih berlangsung. 1

Faktor-faktor dibawah ini memperburuk prognosis pasien LGK, antara lain pasien usia lanjut,
keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti penurunan berat badan, demam, keringat malam.
Bila laboratorium ditemukan anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eosinofilia,
kromosom Ph negatif, BCR-ABL negatif. Terapi memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai
remisi, memerlukan terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat. 1

Diagnosis Banding Leukima Granulositik Kronik

Reaksi Leukemoid

Reaksi leukemoid merupakan sindrom klinis yang menyerupai leukemia di mana jumlah sel
darah putih meningkat lebih dari 25.000/mcL dalam menanggapi alergen, penyakit inflamasi, infeksi,
racun/toxin, perdarahan, luka bakar, atau stres fisik yang berat. Reaksi leukemoid biasanya melibatkan
granulosit dan dibedakan dari leukemia myelogenous kronis dengan penggunaan leukosit alkali
fosfatase dan pewarnaan pada neutrofil. 5
Reaksi leukemoid merujuk pada jumlah leukosit di atas 50 x 109/L dengan neutrofilia dan
ditandai dengan pergeseran kiri. Reaksi leukemoid dapat sulit dibedakan dengan leukemia
myelogenous kronis. Ini beberapa keadaan yang membedakan keduanya; dalam LMK ada peningkatan
dalam semua seri granulosit termasuk eosinofil dan basofil dan bentuknya yang belum matang.
Morfologi dispoietic seperti granulasi campuran atau pseudo Pelger - Huet. Keterlibatan trombosit
termasuk bentuk raksasa, bentuk hipogranular. Nilai leukosit alkali fosfatase menurun tajam. 5
Pada reaksi leukemoid ada peningkatan neutrofil dan bentuk yang belum matang; monosit
mungkin meningkat tetapi eosinofil dan basofil yang sering tidak ditemukan. Tidak ada morfologi
dispoietik; namun morfologi reaktif biasanya ada. Tidak ada morfologi trombosit normal, nilai leukosit
alkali fosfatase meningkat tajam. 5

Tabel 3. Perbedaan Antara Reaksi Leukemoid dan Leukemia Granulositik Kronik6,7

Reaksi Leukemoid Leukemia Granulositik Kronik


Leukosit biasanya <50.000/µL Leukosit biasanya >50.000/µL
Granulasi toksik dan badan Dohle ++ Granulasi toksik ± / = 0
Basofilia dan eosinofilia tidak ada Terdapat basofilia dan eosinofilia, bisa juga tidak ada
Sel batang menonjol Semua stadium ada, terutama mielosit

9
Tidak ada trombositopenia Terdapat trombositopenia
Anemia ringan atau tidak ada sama sekali Ada anemia, biasanya berat
Ada hiperseluler sumsum tulang Ada hiperseluler sumsum tulang (lebih berat)
Eritopoesis dan trombopoesis normal Eritropoesis dan trombopoesis terhambat oleh leukopoesis
Leukocyte Alkali Phosphatase (LAP) meningkat (>100) LAP bisa meningkat atau tidak meningkat
Limpa biasanya tidak teraba Limpa biasanya membesar
Tidak terdapat kromosom Philadelphia Kromosom Philadelphia terdapat pada 90% kasus

Myelofibrosis

Gambaran utama dari mielofibrosis primer adalah fibrosis reaktif yang berkembang progresif
dan merata di sumsum tulang sejalan dengan terjadinya hematopoesis di limpa dan hati (dikenal
dengan metaplasia mieloid). Secara klinis, keadaan ini menyebabkan anemia dan splenomegali masif.
Pada beberapa pasien terjadi osteosklerosis. Mielofibrosis merupakan suatu penyakit sel punca klonal.
Fibrosis yang terjadi di sumsum tulang merupakan efek sekunder terhadap hiperplasia pada
megakariosit abnormal. Suatu pemikiran bahwa fibroblast dirangsang oleh faktor pertumbuhan
trombosit dan sitokin lain yang dikeluarkan oleh megakariosit dan trombosit.3

Mutasi JAK2 terjadi pada sekitar 50% pasien, yang sekitar 15%-nya mengalami mutasi TET-2
dan beberapa pasien membawa mutasi gen MPL (reseptor untuk trombopoietin). Kelainan sitogenik
yang tidak khas dapat ditemukan pada sekitar separuh pasien. Sepertiga pasien dengan gambaran klinis
yang sama pernah memiliki PV atau ET sebelumnya, dan beberapa pasien memperlihatkan gambaran
klinis dan laboratorium dari kedua kelainan. 3

Gambaran klinis penyakit ini adalah awal penyakit yang tidak diketahui pada orang lanjut usia
biasanya dikenali dengan gejala anemia. Gejala diakibatkan splenomegali masif sering terjadi (mis.
Ketidaknyamanan abdomen, nyeri atau gangguan pencernaan); splenomegali merupakan temuan klinis
utama. Gejala hipermetabolik seperti penurunan berat badan, anoreksia, demam dan keringat malam
sering terjadi. Masalah perdarahan, nyeri tulang atau gout terjadi pada sebagian kecil pasien. 3

Myelofibrosis dan LMK bertanggungjawab pada hampir semua kasus dengan pembesaran limpa
masif (>20 cm) dai UK dan Amerika Utara. 3

Temuan laboratorium biasanya terjadi anemia tetapi kadar hemoglobin normal atau meningkat
bila ditemukan pada beberapa pasien. Jumlah leukosit dan trombosit sering meningkat pada saat
diperiksa. Pada perkembangan penyakit selanjutnya, terjadi leukopenia dan trombositopenia. Terdapat
gambaran leukoeritroblastik pada sediaan apus darah tepi. Gambaran khas eritrosit adalah
poikilositosis “tear drop”. Sumsum tulang biasanya sulit diambil dengan aspirasi. Biopsi trefin
memperlihatkan sumsum fibrotik hiperseluler. Peningkatan megakariosit sering terjadi. Pada 10%
10
kasus terdapat peningkatan pembentukan tulang dengan peningkatan densitas tulang pada sinar-X.
JAK2 kinase mengalami mutasi pada sekitar 50% kasus. Kadar serum urat dan LDH yang tinggi
menggambarkan perputaran sel hematopoietik yang meningkat tapi tidak efektif secara luas.
Perubahan menjadi leukimia mieloid akut dapat terjadi pada 10-20% pasien. 1,3

Pengobatan biasanya adalah pengobatan paliatif dan bertujuan mengurangi efek anemia dan
splenomegali. Transfusi darah dan terapi asam folat teratur diberikan bagi pasien dengan anemia berat.
Hidroksiurea dapat membatu mengurangi splenomegali dan gejala hipermetabolik. Danazol, suatu
turunan androgen, dapat memperbaiki anemia pada sekitar 30% pasien. Eritropoietin dapat juga
dicoba, namun dapat menyebabkan pembesaran limpa. 3

Splenoktomi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan gejala splenomegali berat-


ketidaknyamanan saat bergerak, trombositopenia, hipertensi portal, ketergantungan transfusi yang
berlebih atau gejala hipermetabolisme. Penyinaran radiasi terhadap limpa merupakan suatu alternatif
namun biasanya membaik hanya selama 3-6 bulan. Allopurinol diberikan pada semua pasien untuk
mencegah gout dan nefropati urat pada hiperurikemia. Transplantasi sel punca alogenik dapat
mengobati pasien muda. 3

Leukimia Mielomonositik Kronik (CMML)

CMML ditandai dengan monositosis persisten lebih dari 1,0 monosit 109/L, tidak adanya fusi
gen BCR/ABL1, kurang dari 20% sel blast dan promonosit dalam darah perifer dan sumsum tulang,
dan displasia dalam satu atau lebih sel mieloid. Penderita biasanya memiliki jumlah leukosit yang
meningkat dengan monositosis absolut. Disgranulopoiesis jelas, namun prekursor neutrofil kurang dari
10% dari total leukosit. Splenomegali mungkin ada karena infiltrasi sel-sel leukemia. Meskipun
kelainan sitogenetik ditemukan di hingga pada 40% pasien, tidak ada satu pun yang spesifik untuk
CMML. Prognosis bervariasi tergantung pada jumlah sel blast dan promonocit. Jika terdapat kurang
dari 5% sel blast dan promonosit dalam darah perifer dan kurang dari 10% di sumsum tulang, penyakit
ini diklasifikasikan sebagai CMML-1 dan prognosis lebih baik daripada dalam kasus-kasus di mana
ada 5% sampai 19% sel blast dan promonosit dalam darah perifer atau 10% sampai 19% di sumsum
tulang (diklasifikasikan sebagai CMML-2). 5
Leukemia myelomonocytic juvenile dan leukemia kronis myelomonocytic pada dewasa
diklasifikasikan oleh WHO sebagai penyakit myelodysplastic / myeloproliferative karena gejala klinis
yang tumpang tindih, laboratorium, atau temuan morfologinysa. Leukemia myelomonocytic pada
remaja ditemukan pada anak-anak kurang dari 4 tahun dan disertai dengan ekspansi dalam jumlah
monosit dan granulosit, termasuk granulosit matang, dan manifestasi dari diseritropoiesis. 5
11
Darah perifer orang dewasa dengan leukemia myelomonositik kronis mungkin memiliki
karakteristik yang mirip dengan yang terlihat dalam anemia refrakter, seperti makrosit oval dan
reticulositopenia. Konsentrasi WBC perifer dapat mencapai 100 x 109/L. Menurut kriteria WHO,
monositosis absolut (lebih dari 1 x 109 monosit/L) harus ada untuk membuat diagnosis. Gambaran
klinis termasuk splenomegali, gejala anemia, demam, perdarahan, dan infeksi. 5

Kesimpulan

Leukemia granulositik kronik adalah suatu penyakit mieloproliferatif yang bersifat kronik
dengan peningkatan sebagian besar myeloid sel di sumsum tulang oleh karena terjadinya resiprokal
translokasi pada kromosom 22 dan kromosom 9 dengan cirri khas adanya kromosom Philadelphia.
Perjalanan penyakit LGK dibagi dalam 3 fase yang digunakan dalam penentuan terapi, yaitu fase
kronik, fase akselerasi, dan fase krisis blas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya
kromosom Ph pada pemeriksaan kromosom. Pada fase akselerasi, bisa ditemukan adanya abnormalitas
kromosom lain selain Ph.

Daftar pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing. 2009. Hal. 1209-44.
2. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. ed 7. Jakarta: EGC; 2007.
3. Hoffbrand AV. Kapita Selekta Hematologi Edisi 6. Jakarta: EGC; 2013. Hal. 178-97.
4. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s principles of
internal medicine volume 1. 18th ed. USA: McGraw-Hill; 2012.
5. Rodak BF, Fritsma GA, Keohane EM. Hematology Clinical Principles and Applications 4 th
Edition. Jakarta: Elsevier Saunders. 2012. P. 508-40.
6. Sacher RA, McPherson RA. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. ed 11. Jakarta:
EGC; 2004.
7. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik hematologi.
Jakarta: FK Ukrida; 2009.

12

Vous aimerez peut-être aussi