Vous êtes sur la page 1sur 9

Bencana Algoritma

(Episode 1)

Oleh Reri Nandar M (XI IPA 5)

New York, musim gugur 2024

Pagi itu kilauan sinar matahari menabrak puncak gedung pencakar langit di Ground
Zero. Satu, dua, sepuluh, kemudian tujuh puluh lapis lantai bangunan-bangunan berangsur
diserbu oleh bunyi derap sepatu hak tinggi para sekretaris yang sibuk dengan surat-suratnya.
Enam mil jauhnya di arah barat daya, ranting pepohonan telah dihinggapi barisan burung
gereja yang saling beradu siul, memperkaya suasana syahdu di segenap penjuru alun-alun
Central Park.

Lantai 12 gedung Suribachi Center adalah wilayah yang paling sibuk saat itu. Lembar
demi lembar dokumen dicetak oleh puluhan mesin Canon abu-abu berlabel “Ishikawa Corp”.
Berpasang-pasang kaki berlalu lalang mengejar waktu. Pagi-pagi buta begini, keringat sudah
banyak bercucuran dari dagu para karyawan perusahaan bonafide itu. Setiap telinga tidak bisa
mendeteksi bahasa macam apa yang diucapkan tiap orang, karena tiap ucapan saling tumpang
tindih dengan bunyi mesin-mesin fax.

Brakk!

Suara itu muncul dari salah satu sudut ruangan. Andrea naik pitam. Sebuah gebrakan
di meja kerjanya sudah cukup membuat nyali dua orang karyawan di depannya meranggas.
Rambut pirangnya yang lurus sebahu telah kusut seperti ikatan sabut kelapa. Matanya
memerah diterjang tetes demi tetes obat mata penangkal rasa kantuknya bekas lembur tadi
malam. Nasib hidung mancungnya pun tak jauh berbeda seperti itu.

“Proposal macam apa ini?” tanya Andrea, ketus, “amatiran sekali, memangnya sudah
berapa lama kamu bekerja di perusahaan ini?”
Dengan bersungut-sungut dua karyawan yang menghadap Andrea berusaha
mengangkat suara. “Itu… i… itu….”
“Mana ada perusahaan mitra yang mau membaca proposal dengan cover wajah badut
seperti ini?” salip Andrea sambil menusuk-nusuk dokumen yang ia pegang dengan
telunjuknya.
“Tapi bukankah Ibu sendiri yang minta kalau cover-nya harus bertema anak-anak?”
“Ya memang begitu. Tapi bisakah kalian mencerna sedikit perkataanku? Keluar dan
ganti cover-nya dalam waktu dua puluh menit, cepat!” Bentak Andrea sambil menampar dada
karyawannya dengan proposal itu, “kalian harus bisa menghargai posisi saya sebagai manajer
disini.”
“Baik, Bu!” jawab kedua karyawan itu spontan. Keduanya buru-buru melangkah
keluar dari kantor Andrea.
Andrea menghela nafas, ia terduduk di kursi. Dengan telapak tangannya yang
dipenuhi coretan tinta hitam ia sibak kedua sisi rambutnya ke belakang. Untuk sesaat, ia ingin
terpejam dan memenuhi dadanya dengan udara kebebasan. “Kalo ga bisa ya jangan kerja!”
gerutunya atas peristiwa tadi. Entah kenapa hari ini ia menjadi orang yang agresif dan dingin.
Dingin sedingin secangkir kopi espresso yang ia seduh sendiri 45 menit yang lalu di meja
kerjanya.

*****

Nun jauh dari kursi duduk Andrea, seorang pria berpakaian serba hitam duduk di
kursi gerbong ketiga sonic train yang sedang melintasi pusat keramaian kota Kyoto. Matanya
yang biru dengan kelopak yang sipit tampak semakin sipit saja ketika ia memperhatikan layar
notebooknya.

Penerobosan keamanan sistem data komputer


Nama IP: Suribachi inc. Cyberbase
Alamat IP: 562.280.002.56

Topinya yang lebar menghalangi sinar matahari sore yang mencoba menerobos
menyilaukan matanya. Bayangan layar notebook itu tampak juga di lensa kacamatanya.
Sambil menggeser-geserkan jari di atas papan sentuh, ia tersenyum puas. Terpampang di
dalam benaknya empat buah koper hijau yang penuh dengan lembaran dollar Amerika.
“Mungkin aku tak perlu lagi memikirkan tunjangan masa tuaku.” pikirnya.

Sementara potongan terakhir roti lapis keju ia sarangkan di mulutnya, senyumnya pun
semakin membuncah. Garis hijau yang sejak tadi ia perhatikan pergerakannya di layar
notebook akan segera sampai di garis finish-nya.

97% selesai
Perkiraan sisa waktu: 2 menit 30 detik

*****

Andrea masih terduduk di kursi kerja. Kepalanya sejajar dengan kedua tangannya,
tertunduk lemas bersama bau keringat yang hilir mudik di hidung. Beruntung sampai saat ini
tidak ada orang yang berani menyentuh pintu ruang kerjanya, bahkan mendekat pun tidak
sama sekali. Suara yang menemaninya saat ini hanyalah detak jam dinding, meskipun ia
acuhkan juga kawannya itu.
“Kriiiiiing….!”
Andrea tersentak. Ia terjaga oleh dering telepon kantor di pojok kanan meja kerjanya.
“Huft…, untung saja,” katanya sambil mengucek-ngucek mata. Ia singsingkan lengan jas
yang ia pakai untuk mengintip degup waktu di pergelangan tangannya. “Sekarang udah jam
delapan. Satu jam aku ketiduran,” simpulnya. Menyadari itu, Andrea segera merapikan diri.
Menengok kiri-kanan, padahal ia tahu tidak akan ada siapa-siapa di sana. Ia hanya tahu kalau
penampilannya saat ini tidak sedap dipandang. Setelah ngulet sejenak, ia berdiri kemudian
berjalan mendekati pintu kantornya. Ia intip situasi kantor di balik pintu itu.
Andrea melihat situasi di kantor Suribachi Inc. mulai membaik. Kertas-kertas yang
berceceran di lantai sedang dipunguti oleh para petugas kebersihan. Sebagian karyawan pun
sudah bisa memesan segelas kopi atau teh dengan bebas. Di meja kerja hanya tersisa remah-
remah kayu bekas serutan pensil dari kerusuhan kantor dua jam yang lalu.
“Kriiiiiing…!”
Dering telepon yang ketujuh belas – yang memang disetel agar terdengar lebih keras –
mengencerkan pikiran Andrea yang membeku bekas tidur tadi. “Ya ampun, kenapa nggak
kamu angkat sih, Dre!” makinya pada dirinya sendiri. Ia berdehem-dehem dulu untuk
mereparasi pita suaranya yang mungkin baru saja kendor terseok-seok oleh luapan
amarahnya kepada para karyawan pagi ini. “Ini pasti laporan persiapan acara,” tebaknya.
Segera ia sambar gagang telepon itu.
“Halo, selamat pagi, disini Andrea Martha Saraswati.”
“Oh, tepat. Berarti aku tidak salah meretas info,” sebuah suara laki-laki misterius
menjawab sapaan Andrea. Suaranya begitu berat seperti menggunakan filter suara.
“Dengan siapa saya berbicara?”
“Entah, aku pun tidak menyukai orang yang sedang berbicara denganmu ini.”
“Maaf?”
“Ah lupakan. Pokoknya mulai dari sini aku ingin mengajakmu bermain selama empat
hari ke depan.”
“Saya tidak mengerti maksud Anda. Cobalah bertelepon dengan etika perusahaan,
Pak.”
“Buang jauh etika yang kamu elu-elukan itu. Kalau kamu kalah dalam permainanku,
kamu akan…”
Andrea menutup gagang telepon. Ia memutus pembicaraan itu. “Karyawan stress.
Nelepon kok ngaler ngidul. Siapa sih?” tanyanya sambil meminum sisa kopi espressonya. Ia
tahu persis kalau orang yang meneleponnya tadi pastilah orang yang ada di dalam gedung
karena teleponnya memang hanya bisa menerima panggilan dari dalam gedung saja.
Saat asyik dengan espresso dinginnya, sebuah ketukan muncul di pintu kerja Andrea.
“Andrea, ini Edward.” kata suara di balik pintu itu. Dengan sumringah Andrea menjemput
suara manajer bagian keuangan itu. Andrea membuka pintu, dan seketika itu juga Edward
langsung menghujani Andrea dengan kata-kata.
“Ini dokumen yang kamu minta dan ini kunci brankas nomor 23,” ucap Edward
sambil menumpukkan benda-benda yang ia sebutkan di tangan Andrea, “hubungi aku lagi
kalau kamu butuh apa-apa.” ucap Edward sambil menutup pintu.
Andrea terheran-heran. Ia tahan pintu itu untuk kembali beradu muka dengan Edward.
“Eh, tunggu dulu, Ed. Rasanya aku ngga mesen barang-barang ini buat dibawa ke sini. Kamu
salah ‘delivery order’ kali?”
“Ah kamu ini ada-ada aja. Kan kamu sendiri yang marah-marah sama aku di telepon
buat bawain barang-barang ini ke sini.”
“A… apa?”
“Sudah-sudah,” kata Edward sambil mengibas-ngibaskan tangannya, “ini bukan
waktunya buat main-main.”
“Iya justru itu. Emangnya tadi aku nelepon kamu? Aku belum pake telepon buat
manggil siapapun hari ini.”
“Loh gimana sih?” Edward menggaruk-garuk kepalanya.
Hening sesaat.
“Oh iya, ini aku punya voucher belanja di mall depan sana buat empat hari. Kita pake
ya.” sambung Edward sambil menyodorkan empat lembar kertas kecil..
Andrea mengambil voucher itu. Ia amati empat tiket menuju potongan harga itu
dengan seksama. Namun sejurus kemudian, ia kembali menyadari sesuatu.
“Oh jadi kamu yang tadi nelepon aku? Pake filter suara segala. Sok misterius deh.”
“Nelepon?”
“Iya, Kalau mau ngajak main ya ngobrol langsung aja kali.”
Untuk sesaat Edward mengamati kondisi Andrea. Wajah yang kumal, rambut yang
kusut, lengan baju yang terangkat sebelah, plus bau bulir-bulir keringat yang perlahan mulai
mendobrok hidung Edward. Dengan pengamatannya, ia akhirnya menyimpulkannya lewat
sebuah kalimat.
“Aku pikir kamu harus mandi.” semprot Edward sambil berlalu.
*****
Pria berkacamata baru saja menutup laptopnya setelah sonic train yang ia tumpangi
baru meninggalkan rel di bibir pantai minamata. Bergelas-gelas teh tanpa gula telah ia teguk
sambil menyaksikan matahari yang mulai ditelan cakrawala dari balik jendela kereta. Derit
ponsel di saku celananya saja yang menyadarkannya kembali dari pemandangan itu.
Ia rogoh saku celananya. Ia pasangkan ponsel itu di pipinya.
“Halo?”
“Kau harus berhenti di terminal selanjutnya. Lalu berjalanlah ke arah gedung tua di
balik gedung Bank Yamato, kita bertemu disana.” kata sebuah suara lelaki yang berat dari
dalam ponsel.
“Oh, rupanya kau. OK. Apa imbalannya sudah kau siapkan?”
“Memangnya buat apa aku memerintahkanmu seperti barusan?”
“Oke oke, hehe.”
Tiba-tiba panggilan diputus oleh si penelepon. Pria berkacamata melepas ponselnya
dari singgasananya dan memperhatikan ponsel itu dengan dahi berkerut. “Mudah sekali
orang-orang bercengkrama tanpa tatakrama.” gumamnya.
*****
Andrea membuka pintu kantornya. Kali ini ia nampak lebih segar setelah sedikit
siraman air di sekujur tubuhnya. Ia kembali menjadi Andrea yang utuh seperti hari-hari
kemarin. Pun ia sambut semilir angin dari pendingin ruangan dengan perasaan yang terbuka,
tidak seperti malam tadi di mana ia mengira dinginnya angin itu malah mengejek kondisi
kulitnya.
Baru lima belas langkah ia meninggalkan pintu ruangannya, seorang pria tua berparas
tambun menghampiri dirinya. Dialah Yoshiko, Direktur Utama Suribachi Inc.
“Pastikan pihak investor benar-benar paham dengan tujuan kita, Andrea. Saya sangat
percaya pada Anda.” kata pria berwajah Jepang murni itu. Andrea mengangguk saja.
Baginya, itu adalah frasa yang tidak buruk untuk sebuah salam pembuka dari seorang atasan.
Walaupun sesungguhnya ia sangat jengkel. “Baik, Pak.” Jawabnya singkat sebelum Yoshiko
berlalu menuju pintu lift.
Setelah kericuhan di kantor itu, Andrea dan jajaran manajer perusahaan harus bersiap
untuk menyambut dewan direksi Toyota Amerika inc.. Suribachi ingin menginvestasikan
modal di perusahaan pemegang saham terbesar di Amerika itu. Atas kemampuannya dalam
berdiplomasi, dewan direksi menunjuk Andrea sebagai presentator dalam pertemuan itu.
Bukan main kagetnya Andrea ketika ia mendapat tugas itu.
Andrea segera berlari ke ruang ballroom untuk bergabung bersama para asistennya
dalam misi ini. Setelah persiapan singkat, Andrea berdiri dengan manis dan tampak kasual di
ballroom lantai dasar Suribachi Center. Ia menerawang jauh ke arah pintu masuk, harap-
harap cemas akan kedatangan para penggajinya yang siapa tahu akan datang lebih cepat.
“Memangnya nggak aneh, Dre, kok pihak yang ingin ditanami justru malah datang ke
pihak investor yang lebih dulu nawarin modal? Bukannya harusnya sebaliknya?” tanya
Millena, sahabat Andrea, memecah ketegangan di alam pikiran Andrea. “Ah aku nggak tau,
Mil, aku cuma ikut perintah bos saja.” jawab Andrea dengan gemetar. Millena hanya
manggut-manggut saja melihat Andrea berulang kali menaik-turunkan lengan untuk melihat
jam tangannya yang baru ia beli di Swiss minggu lalu.
“Tenang, dong, Dre. Kalau kamu nggak tenang kamu gak bakal fokus. Ingat, lho,
kalau kamu berhasil di sini kamu bisa jadi bagian dari dewan direksi Suribachi.” kata
Millena.
“Ya terimakasih atas saranmu. Sayangnya saranmu nggak bisa bantu nenangin aku,
Mil.”
“’Kan sebagai manajer pembantu aku wajib ngasih saran sama kamu, Dre. Kamu lupa
pelajaran itu waktu kita kuliah di UI dulu?”
“Udahlah, ini bukan waktunya ngungkit masa lalu.”
“Kamu ini betul-betul keras kepala, Dre.”
“Biarin.”
Memang dua tahun setelah Andrea dan Millena dikirim ke Amerika untuk kerja
magang di Suribachi Inc, pihak perusahaan kembali memberikan mereka undangan kerja.
Pihak perusahaan sangat tertarik atas kinerja keduanya. Mereka sungguh beruntung, karena
mereka adalah dua dari sepuluh orang yang menerima undangan kerja dari perusahaan yang
sama di seluruh Indonesia. Tak heran jika orang tua mereka langsung memberi izin bagi
keduanya untuk terbang dan bekerja di Amerika. Namun Andrea harus kehilangan ayahnya,
karena tak lama setelah ia mengudara kembali ke Amerika ayahnya diculik sekelompok
orang ke luar negeri. Sampai saat ini, ayahnya tak diketahui di mana keberadaannya. Dan kini
setelah tiga setengah tahun bekerja, karir mereka meroket dengan tajam. Millena hanya
terpaut satu jabatan lebih rendah dari Andrea sebagai manajer pembantu.
“Dre, kamu udah tau kabar pembobolan sistem data perusahaan belum?” tanya lagi
Millena.
“Maksudnya?”
“Itu loh, katanya ada orang yang nge-hack jaringan data perusahaan kita, termasuk
gedung ini.”
Pikiran Andrea menerawang. Ia teringat pada penelepon misterius tadi pagi.
“Ah, mungkin Edward yang melakukannya.”
“Ah masak iya! Edward ‘kan bukan orang komputer!” sampai saat ini kantor teknisi
kesusahan ngakses data. Ada terror, katanya bakal ada yang ngebakar gedung ini.”
Andrea semakin serius saja mendengar celotehan Millena. Tapi ia mencoba untuk
menghiraukannya. “Sudahlah pasti orang-orang keamanan bisa mengatasinya. Berdoa saja
agar pertemuan hari ini lancar.” Millena hanya mengangguk takzim.
Pukul 08.43 waktu New York. Tujuh belas menit lagi, lima orang pria – sesuai
dengan yang dijanjikan – akan melangkah masuk ke dalam ruangan yang ditempati Andrea
dan manajer lainnya. Tujuh belas menit menuju tiga jam selanjutnya yang akan menentukan
perjalanan karir Andrea untuk empat tahun ke depan.
*****
Bagi Andrea, karpet merah yang terhampar di lantai ballroom seolah menyatu dengan
dirinya. Andrea lebur dalam keringat dingin yang melumuri sekujur tubuhnya. Semilir angin
dari pendingin ruangan justru malah membuatnya dibungkus oleh kristal keringat. Bagaimana
tidak, akhirnya direksi Toyota Amerika telah tiba di ambang pintu ballroom.
Andrea menghampiri lima orang dengan bermacam-macam postur itu. Ada yang
berwajah Jepang, Amerika Latin, bahkan Perancis. “Selamat siang, selamat datang di
Suribachi Center. Semoga hari ini Anda dalam keadaan yang luar biasa.” sapa Andrea, “mari
ikut saya.” Para pria itu tersenyum menangkap keramahan Andrea. Sebagai seorang
Indonesia, ia tidak bisa meninggalkan kebiasaan Melayu yang ramah dalam menjamu tamu.
Andrea bersama rekan-rekannya pun menuntun utusan Toyota Amerika itu ke ruang
rapat yang telah dipersiapkan. Ruangan itu cukup luas untuk fungsinya sebagai sebuah ruang
rapat. Di tembok bagian depan, sebuah proyektor telah menyala sambil menampilkan tulisan
“NEC”, pertanda belum ada perangkat yang tersambung dengan proyektor itu. Para utusan
segera duduk melingkar di kursi yang telah dipersiapkan.
Namun keanehan terjadi. Lampu dan seluruh perangkat listrik tiba-tiba mati. Ruang
ballroom yang terisolasi dari cahaya matahari pun menjadi gelap gulita.
“Loh, Mil, ini kenapa?” tanya Andrea panik. Andrea melihat ekspresi orang-orang di
ruangan itu pun berubah menjadi gelisah. “Tenang, Dre, mungkin cuma ngejepret.” jawab
Millena dengan berbisik.
Sayangnya usaha Millena menenangkan Adrea tidak cukup untuk menandingi
kegaduhan bunyi alarm yang menyusul menyala. Bunyi derap kaki orang-orang yang
berlarian pun mulai terdengar, disusul oleh pelarian para utusan yang buru-buru keluar dari
ruang rapat. Di antara aliran suara itu Andrea mendengar sayup-sayup suara yang saling
bersahutan. Kabar buruk.
“Kebakaran! Kebakaran!”
*****
Semilir angin gunung menyapu dedaunan kering di kaki gunung Yokohama. Terlihat
di puncaknya lapisan salju yang mulai menyepuh hijaunya pepohonan. Orang-orang berlalu
lalang dengan jaket kulit berbulu tebal untuk menyambut serbuan hujan salju yang akan
menyerang pedesaan mulai seminggu yang akan datang. Layar-layar videotron yang
menyelingi celah-celah kosong di dinding gedung pun mulai diselimuti oleh terpal silikon
anti beku.
Pria itu berjalan menjauhi stasiun, menuju ke sebuah gedung dua lantai yang
nampaknya tersingkirkan dari peradaban dan modernisasi Jepang. Tidak bisa dipungkiri,
bangunan tua ini adalah bekas gedung operasional sebuah perusahaan. Hari ini gedung itu
menjadi using, lebih using dari bunker-bunker yang dibuat prajurit Jepang di masa Perang
Dunia II.
Pria itu memasuki gedung. Pintu kaca yang tinggal sebelah ia lewati begitu saja.
Hanya itu ucapan selamat datang yang disisakan baginya.
“Hei, sebelah sini.” Sebuah suara laki-laki tua mencuat dari balik lemari besi di pojok
kanan ruangan. “Baiklah,” kata pria berkacamata menuju sumber suara.
“Sudah kau bereskan?”
“Saat ini listrik di sana sudah mati total.”
“Oh benarkah? Tunjukkan padaku.”
Pria berkacamata menunjukkan layar notebooknya.
Selesai 100%
Sistem data berhasil diterobos
“Ini perimeter listriknya. Baru saja kuturunkan.” Lanjut pria berkacamata. Kemudian
ia tunjukkan juga berbagai sistem yang memungkinkan untuk diotak-atik kepada pria tua.
Pria tua hanya menyambut berita itu dengan senyuman tipis. “Beritahu aku cara
menggunakannya.” kata pria tua.
Pria berkacamata kemudian menunjukkan apa yang diminta oleh pria tua.
Menyalakan alarm, memutus sambungan listrik, memanipulasi data, bahkan memonitor
sebuah gedung dari kamera CCTV. Semuanya hanya tinggal menekan tombol-tombol yang
berbeda. “Kalau mau dihentikan, tinggal tekan saja tombol merah ini,” pungkas pria
berkacamata. Lagi-lagi hanya respon yang dingin yang diberikan oleh pria tua: mengusap
dagu.
“Bagaimana, tugasku sudah selesai, ‘kan?” tanya pria berkacamata, “mana uangku?”
“Ya. Mulai dari sini biar aku yang mengambil alih.” jawab pria tua sambil merogoh
saku dadanya dengan agak lama, “jangan khawatir, ini jatahmu.” lanjutnya. Pria berkacamata
melirik gestur tubuh si pria tua dengan sedikit girang. Tapi ada satu hal yang janggal buatnya.
“Bukankah kau menjanjikan uang tunai sebesar 13 juta dollar? Harusnya uang sebesar
itu kau simpan di koper-ko….”
Pria berkacamata itu mengakhiri gerak lidahnya ketika pria tua mengibas-ngibaskan
tangan kirinya. “Banyak bicara. Kau cuma belum tahu kalau uang sebanyak itu bisa
dipangkas jadi satu lembar kertas.” Kata pria tua menggerutu. Pria berkacamata manggut-
manggut mendengar ceramah pria tua.
Namun alih-alih mendengar suara gesekan kertas, pria berkacamata lebih mendengar
bunyi tuas besi yang bergerak terguncang-guncang tangan pria tua itu. “Kau sedang
mengambil apa?”
Tak lama kemudian, sebuah pistol keluar bersama genggaman tangan pria tua.
Pelatuknya ia tarik, dan moncongnya ia arahkan kepada pria berkacamata. “Maaf, aku lupa
kalau rekeningku sudah kosong. Mudah-mudahan kamu puas dengan bayaran yang ini.”
Pria berkacamata kaget. Nalurinya mengisyaratkan untuk lari, tapi ia terpaku di
tempatnya berdiri. Saat ini ia tahu, di dalam pistol itu terdapat sebuah martil bagi dewa
pencabut nyawa untuk memisahkan jiwa dan raganya.
Hening. Matahari mulai tergelincir dari titik kulminasinya di langit Kekaisaran
Bushido. Tergelincir pula sebuah peluru di hadapan pria berkacamata yang malang. Tak ada
lagi penghalang antara dirinya dengan Sang Dewa Matahari. Di balik jubah hitamnya ia
berlindung, mencoba manghimpun kembali nyawa yang ia regang. Namun gagal.
Ia ambruk dengan lubang di belakang kepala.
*****
Andrea dan Millena berlari, melindungi diri satu sama lain dari tebalnya kabut asap
yang turun dari lantai atas. Mereka menyusuri lorong kecil di mana orang-orang lainnya pun
berlarian. Millena merasa sesak, asmanya mungkin segera kambuh lagi. Dari sebuah
persimpangan mereka berbelok ke kanan, mematuhi sebuah label yang tertulis di dinding:
Jalur evakuasi
Andrea yang membaca tulisan itu pun tidak pernah tahu bagaimana rute penyelamatan
gedung Suribachi Center yang sebenarnya. Selama ini ia hanya diajari untuk mengikuti arah
jalur yang ditunjukkan oleh tulisan-tulisan itu.
“Mau kemana kita? Aku ngga bisa liat apa-apa.” tanya Millena.
“Ngga tau, yang penting kita selamat dulu!” seru Andrea.
“Tapi kemana orang-orang? Kok kayanya cuma kita berdua disini.”
Pertanyaan Millena terakhir membuat Andrea tersentak. “Apa kita tersesat?” tanya
Millena lagi setelah sempat terbatuk. Andrea celingukan, mencoba menerobos cahaya di
balik kabut asap agar bisa dia lihat. Tapi itu sangat sulit. Entah kenapa air tidak segera
tersemprot dari sensor-sensor di atap lantai yang ia tempati.
Semakin jauh, semakin sesak. Andrea dan Millena semakin terseok-seok. Sejurus
kemudian, Andrea menemui sebuah ruangan yang nampaknya sangat istimewa untuk kondisi
seperti saat ini. “Ah, ini hari keberuntungan kita, Mil.”
Ya, ruang kesehatan. Ruangan itu memang dirancang agar lebih tahan dari bentuk
bencana apapun. Termasuk asap kebakaran, meskipun arsitek pembuatnya tidak menjamin
kalau ruangan ini tahan api, tapi setidaknya Andrea dan Millena bisa mengamankan diri
untuk sementara waktu.
“Sesak, Dre… tolong…”
“Oh iya, sebentar ya, Mil, tahan dulu. Kita segera masuk.”
Segera setelah Andrea dan Millena memasuki ruangan tertutup itu, Andrea buru-buru
menutup pintu itu agar asap tidak masuk. Millena langsung membaringkan diri di atas kasur.
Nafasnya tersengal-sengal. Andrea mengambilkan tabung oksigen dari dalam kotak obat lalu
memangku Millena dan segera memakaikannya.
“Hirup. Atur nafasmu. Tenang, Mil…”
Perlahan kondisi Millena mulai membaik. Kembang kempis dadanya mulai melambat
dan teratur kembali. “Syukurlah…” ucap Andrea.
Millena mendapatkan kembali penglihatannya. Di pangkuan Andrea, ia menyeka
matanya yang terus menerus dicekoki asap tadi. Masih dengan tabung oksigen di mulutnya,
Millena menyadari sesuatu. Ia menyenggol-nyenggol perut Andrea dengan sikunya.
“Apa?” respon Andrea. Kemudian Millena menunjuk ke sebuah layar laptop yang
menyala di depannya. Andrea tertuntun telunjuk Millena, membaca kata-kata yang tampil di
hadapannya. Andrea ternganga, dan untuk yang kedua kalinya kata yang sama meloncat
keluar dari mulutnya.
“APA…!”
Dear Mrs. Andrea
Selamat bergabung dalam permainan ini
Permulaan yang bagus, bukan?
Jangan sedih, ini belum berakhir.
-Ayah
*****

Vous aimerez peut-être aussi