Vous êtes sur la page 1sur 44

ASKEP TRAUMA MEDULLA SPINALIS

Disusun sebagai tugas Mata Kuliah


Keperawatan Medikal Bedah II

Pembimbing : Riki Ristanto S. Kep. Ns,M. Kep

Kelompok 14 :

1. Achmad Khoiri (161137)


2. Fadilla Putri (161166)
3. Wulan Eksakta (161197)
4. Zahrocha Fathmanda R (161201)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


POLTEKKES RS. dr. SOEPRAOEN MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Makalah kami
dengan judul“Askep Trauma Medulla Spinalis” sesuai dengan waktu yang
ditentukan.
Dalam penyusunan Tugas Makalah ini, penulis mendapatkan banyak
pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini
penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Riki Ristanto S. Kep. Ns,M. Kep
Penulis berusaha untuk dapat menyelesaikan Tugas Makalah ini, dengan sebaik-
baiknya. Namun demikian penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu demi kesempurnaan, penulis mengharapkan adanya kritik dan
saran dari semua pihak, untuk menyempurnakannya.

Malang, 26 Maret 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...........................................................................


Daftar Isi ......................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang……………………………………………………………
1.2 Rumusan masalah………………………………………………………..
1.3 Tujuan……………………………………………………………………
1.4 Manfaat…………………………………………………………………..

BAB II TINJUAN TEORI


2.1 Anatomi fisiologi...............................................................................
2.2 Definisi………………………………………………………………….
2.2 Etiologi…………………………………………………………………..
2.3 Klasifikasi………………………………………………………………..
2.4 Patofisiologi………………………………………………………………..
2.5 Manifestasi Klinis………………………………………………………….
2.6 Pemeriksaan Fisik………………………………………………………….
2.7 Pemeriksaan diagnostik……………………………………………………

BAB III KONSEP ASKEP


3.1 Analisa data……………………………………………………………….
3.2 Diagnosa Keperawatan……………………………………………………….
3.3 Intervensi Keperawatan…………………………………………………………

BAB IV KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan………………………………………………………………….
4.2 Saran………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Trauma Medulla Spinalis adalah trauma pada tulang belakang yang


menyebabkan lesi medulla spinalis sehingga terjadi gangguan neurologik,
tergantung letak kerusakan saraf spinalis dan jaringan saraf yang
rusak(Brunner&Suddarth 2008).Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan
fungsi neurologis yang disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas.
Apabila cedera itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai
maka penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf fremitus itu terserang maka
dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan (Baughmen, 2009).
Cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang
menyebabkan lesi di medulla spinalis sehingga menimbulkan gangguan
neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian, selain itu untuk
trauma medulla spinalis membutuhkan penanganan yang rumit.
Tingkat insiden terjadinya trauma medulla spinalis di Indonesia pada
tahun2004 diperkirakan mencapai lebih kurang 30 hingga 32 kasus setiap satu juta
penduduk, atau 3000 hingga 9000 kasus baru setiap tahunnya. Ini tidak masuk
orang meninggal dalam 24 jam setelah cedera. Prevalensi diperkirakan mencapai
700 hingga 900 kasus tiap satu juta penduduk (200.000 hingga 250.000 orang).
Enam puluh persen yang cedera 4 berusia antara 16 sampai 30 tahun dan 80%
berusia antara 16 sampai 45 tahun. Laki- laki mengalami cedera empat kali lebih
banyak dari pada perempuan.Faktor Etiologi yang paling sering adalah
kecelakaan bermotor (45%), terjatuh (21,5%), luka tembak atau kekerasan
(15,4%), dan kecelakaan olah raga, biasanya menyelam (13,4%). Lebih kurang
53% dari cedera itu adalah kuadriplegia. Tingkat neurolohi yang paling sering
adalah C4, C5, dan C6 pada spina servikalis, dan T-12 atau L-1 pada sambungan
torakolumbalis.
Trauma medulla spinalis terbesar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
tempat yang paling terkena cedera adalah region servikalis dan persambungan
torak dan regio lumbal. Lesi trauma yang berat dari medulla spinalis dapat
menimbulkan transaksi dari medulla spinalis atau merobek medulla spinalis dari
satu tepi ke tepi yang lain pada tingkat tertentu disertai hilangnya fungsi.
Quadriplegia terjadi pada pasien yang ciidera pada salah satu segmen dari servikal
akibat medulla spinalis. Pada tingkat awal semua cidera akibat medulla spinalis
belakang terjadi periode fleksi paralise dan hilang semua reflek dibawah lagi.
Fungsi sensori dan autonomy juga hilang, medulla spinalis juga bias
menyebabkan gangguan system perkemihan, disrefleksi otonom atau hiperfleksi
juga fungsi seksual juga dapat terganggu.
Mengingat fatalnya dampak yang ditimbulkan dari trauma medulla spinalis
atau kasus trauma tulang belakang, kita sebagai perawat harus mengetahui
tatalaksana perawatan pada pasien trauma medulla spinalis dan mengetahui
bagaimana cara merawat untuk mencegah efek samping dari trauma medulla
spinalis berupa kecacatan permanen dan sampai menimbulkan kematian.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana konsep teori dan asuhan keperawatan trauma medulla spinalis?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk pemahaman asuhan keperawatan pada klien Trauma Medula
Spinalis pendekatan dengan proses keperawatan.

1.3.1 Tujuan Khusus

Laporan ini dilaksanakan untuk mengetahui pelaksanaan asuhan


keperawatan pada klien dengan Trauma Medula Spinalis yangmeliputi:

1. Dapat memahami anatomi dan fisiologi Medula Spinalis.


2. Untuk mengetahui definisi Trauma Medula Spinalis.
3. Untuk mengetahui dan memahami etiologi dari Trauma Medulla
Spinalis.
4. Dapat mengklasifikasikan Trauma Medulla Spinalis.
5. Dapat mengetahui dan memahami patofisiologi Trauma Medulla
Spinalis.
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis Trauma Medulla Spinalis.
7. Dapat memahami dan melaksanakan pemeriksaan fisik pada
Trauma Medulla Spinalis.
8. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik pada Trauma Medulla
Spinalis.
9. Dapat merumuskan diagnosa yang sesui dengan Trauma Medulla
Spinalis.
10. Dapat menyusun tindakan keperawatan (intervensi keperawatan)
pada pasien dengan Trauma Medulla Spinalis.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis


Secara teoroitis makalah dapat menjadi referensi atau masukan bagi
perkembangan ilmu KMB selanjutnya dan untuk mengetahui atau
mendalami konsep penyakit trauma medulla spinalis dan asuhan
keperawatannya.

1.4.2 Manfaat Praktis


Secara praktis, hasil dari makalah ini dapat menjadi panduan dalam
melakukan praktik proses keperawatan pada pasien dengan trauma medulla
spinalis dan asuhan keperawatanya.
BAB II

TINJUAN TEORI

2.1 Konsep Anatomi dan Fisiologi


Medulla spinalis merupakan bagian dari sistem syaraf pusat yang menjadi
jalur informasi antara otak dan bagian tubuh lainnya. Pengetahuan akan struktur
neuroanatomi medulla spinalis adalah kebutuhan dasar yang diperlukan untuk
mengerti setiap manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan oleh cedera medulla
spinalis (Freidberg, 2012)

2.1.1 Anatomi Kolumna Vetrebalis


Menurut (Freidberg, 2012) Kolumna vertebrata merupakan struktur tulang
penyokong utama tubuh. Vertebra tidak hanya menyokong tulang tengkorak,
tetapi juga toraks, ekstremitas atas, pelvis, dan menyalurkan berat tubuh ke
ekstremitas bawah. Selain itu, struktur ini memberikan perlindungan yang
bermakna bagi struktur- struktur yang ada di dalamnya, antara lain medulla
spinalis, nervus spinalis, dan meninges. Kolumna vertrebralis terdiri dari 33
vertrebrae ,antara lain 7 servikal, 12 toakal, 5 lumbal, 5 sakral (bergabung
menjadi sakrum), dan 4 koksigeal, dengan bantalan fibrokartilage diantara tiap
segmen yang disebut diskus intervertrebalis. Walaupun terdapat perbedaan
secara regional pada segmen- segmen tersebut, namun secara umum terdapat
pola anatomi yang mirip (gambar 1).
Vertebra umumnya terdiri dari korpus di bagian anterior dan arkus
vertebra di posterior, dan diantaranya terdapat lubang yang disebut sebagai
foramen vertebralis yang berisikan medulla spinalis dan lapisan meninges.
Arkus vertebra terdiri dari sepasang pedikel dan laminae. Arkus vertebralis
membentuk 7 prosesus, antara lain satu prosesus spinosus, dan 2 prosesus
tranversus, dan 4 prosesus artikularisMenurut (Freidberg, 2012).
Prosesus spinosus merupakan sambungan dari kedua laminae, sedangkan
prosesus tanversus terletak diantara laminae dan pedikel. Kedua prosesus
tersebut berfungsi sebagai tuas pengungkit dan menjadi tempat perlekatan otot
dan ligamen. Prosesus artikularis terbagi menjadi dua prosesus superior dan dua
prosesus inferior, kedua prosesus tersebut membentuk sendi sinovial. Pedikel
terdiri dari inferior notch dan superior notch yang membentuk foramen
intervertebralis ( dari dua vertebra).
Sendi dari kolumna vertebralis terbagi menjadi 2, antara lain sendi antara
dua korpus vertebra yaitu fibrokartilaginous joint dari diskus invertebralis dan
sendi antara dua arkus vertebralis yaitu sendi sinovial antara prosesus artikulais.
Terdapat 6 ligamen disekitar kolumna vertebralis (Gambar 2), antara lain
ligamen anterior longitudinal dan posterior longitudinal (ligamen di sekitar
korpus) dan ligamen supraspinatus, interspinatus, intertraversum, dan flavum
(ligamen diantara arkus vertebralis). Pada daerah servikal, ligamen supraspinatus
dan interspinatus bergabung membentuk ligamentum nuchae.

Gambar 2.1 A Gambaran kolumna vertebralis dari lateral. B. Fitur umum


dari tiap vertebra
Gambar dikutip dari : Snell Rs. Cahpter 4. The Spinal Cord and the
Ascending and Descending Tract. In :Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincontt Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. P. 133-84
Gambar 2.2 Ligamen pada kolumna vertebralis
Gambar dikutip dari : Baron BJ, McSherry KJ, Larson, Jr. JL, Scalea TM.
Chapter 255. Spine and Spinal Cord Trauma. In : Tintinalli JE, Stapczynksi JS,
Cline DM, Ma OJ, Cydulka RK, Meckler GD, eds. Tintinalli’s Emergency
Medicine : A Comprehensive Study Guide. 7th ed. New York : McGraw- Hill;
2011.

2.1.2 Anatomi Medulla Spinalis

Menurut (Mc Graw-Hill, 2011) spinalis merupakan organ berbentuk


silindris yang dimulai dari foramen magnum di tulang tengkorak sampai dengan
2/3 seluruh panjang kanal vertebralis (dibentuk dari seluruh foramen
vertebralis), berkesinambungan dengan medulla oblongata di otak, dan bagian
terujung dari medulla spinalis terletak di batas bawah vertebra lumbar pertama
pada orang dewasa dan batas bawah vertebra lumbar ketiga pada anak- anak.
Medulla spinalis dikelilingi oleh 3 lapisan meninges, antara lain dura mater,
araknoid mater, dan pia mater. Selain itu, likuor cerebrospinalis (LCS) yang
berada dalam rongga subaraknoid juga memberikan perlindungan tambahan bagi
medulla spinalis.
Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara lain 8 segmen servikal, 12
segmen torakal, 5 segmen lumbar, 5 segmen sakral, dan 1 segmen koksigeal.
Nervus spinalis keluar dari setiap segmen medulla spinalis tersebut (berjumlah
31 pasang nervus spinalis) dan terdiri dari motor atau anterior roots (radiks) dan
sensory atau posterior root. Penamaan nervus spinalis dilakukan berdasarkan
daerah munculnya nervus tersebut melalui kanal vertebralis. Nervus spinalis C1
sampai C7 muncul dari atas kolumna vertebralis C1-C7, sedangkan C8 diantara
kolumna vertebralis C7-T1. Nervus spinalis lainnya muncul dari bawah kolumna
vertebralis yang bersangkutan (Mc Graw-Hill, 2011).
Fungsi motor dari nervus- nervus spinalis antara lain, C1-C2 menginervasi
otot- otot leher, C3-C5 membentuk nervus phrenikus yang mempersarafi
diafragma, C5-T1 mempersarafi otot- otot ekstremitas atas, segmen torakal
mempersarafi otot- otot torakoabdominal, dan L2-S2 mempersarafi otot- otot
ekstremitas bawah. Beberapa dermatom penting bawah. Beberapa dermatom
penting yang memberikan gambaran untuk fungsi sensorik dari nervus spinalis,
antara C2-C3 untuk bagian posterio kepala- leher, T4-5 untuk daerah areola
mamae, T10 untuk umbilikus, bagian ekstremitas atas: C5 (bahu anterior), C6
(ibu jai), C7 (jari telunjuk dan tengah), C8 (jari kelingking), T1 (bagian medikal
antebrakili), T2 ( bagian medial dari brakialis), T2/T3 (aksila), bagian
ekstremitas bawah : L1 (bagian anterio dan medial dari femoralis), L2 (bagian
anterior dari femoralis), L3 (lutut), L4 (medial melleolus), L5 (dorsum pedis dan
jai 1-3), S1 (jari 4-5 dan lateral malleolus), S3/Co1 ( anus) (Lippincontt
Williams & Wilkins, 2010).
Medulla spinalis terdiri dari dua substansia, antara lain substansia kelabu
(gray matter) yang terletak internal dan substansia alba (white matter) yang
terletak secara eksternal. Secara umum, substansia alba terdiri dari traktus
ascending (sensorik) dan descending (motorik), sedangkan substansia kelabu
dapat dibagi menjadi 10 laminaatau 3 bagian (kornu anterior, posterior, dan
lateral) yang tersusun dari nukleus- nukleus yang berperan dalam potensi aksi
neuron- neuron (Gambar 3 dan 4).
Gambar 2.3 Anatomi Medulla Spinalis
Gambar dikutip dari : Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending anda Descending Tracts. In :Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincontt Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. P. 133-84

Gambar 2.4 Gambar penampang melintang dari medulla spinalis setinggi


midservikal
Gambar dikutip dari : Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending anda Descending Tracts. In :Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincontt Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. P. 133-84

Gambaran perjalanan sensorik dari nevus sensorik perifer sampai menuju


ke pusat sensorik di korteks serebral (Gambar 5). Traktus sensorik (ascending
tracts) dari medulla spinalis mencakup, antaa lain traktus spinotalamik lateral
yang membawa sensorik untuk nyeri dan membawa sensoik untuk nyeri dan
temperatur (Gambar 6), anterior spinotalamik untuk perabaan (kasar/ crude
tauch) dan tekanan (Gambar 7), traktus kolumna dorsalis (posterior white
column) untuk raba halus (two point discrimination), fungsi proprioseptif dan
getaran (Gambar 8), dan traktus- traktus lainnya seperti, spinocerebellar
(posterior dan anterior), cuneocerebellar, spinotectal, spinoreticullar, spinotectal,
dan spino olivary

Gambar 2.5 Gambaran umum perjalanan sensorik dari sistem saraf perifer sampai
pusat sensorik di korteks serebal (First- order neuron sampai Third- order neuron).
Gambar dikutip dari : Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending anda Descending Tracts. In :Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincontt Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. P. 133-84
Gambar 2.6 Traktus spinotalamik lateral
Gambar dikutip dari : Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending anda Descending Tracts. In :Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincontt Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. P. 133-84

Gambar 2.7 Traktus spinotalamik anterior


Gambar dikutip dari : Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending anda Descending Tracts. In :Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincontt Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. P. 133-84
Gambar 2.8 Traktus kolumna dorsalis (posterior white column)
Gambar dikutip dari : Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending anda Descending Tracts. In :Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincontt Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. P. 133-84
Gambaran perjalanan rangsang motorik melalui traktus motorik
(descending tract) dari pusat motor di girus presentral ke efektor (otot) dapat
dilihat pada (Gambar 9). Traktus motorik dari medulla spinalis mencakup,
antara lain traktus kortikospinal (anterior dan lateral) untuk gerakan otot
volunter dan yang membutuhkan ketepatan (Gambar 10), rubrospinal untuk
fasilitasi aktivitas otot- otot fleksor dan menghambat otot ekstensor (atau otot
antigravitasi), vestibulospinal untuk fasilitasi otot- otot ekstensor dan
menghambat otot feksor terutama untuk tujuan menjaga postur dan
keseimbangan dan olivospinal (fungsi yang belum diketahui).

gambar 2.9
Gambar dikutip dari : Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending anda Descending Tracts. In :Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincontt Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. P. 133-84
Gambar 2.10 Traktus kortikospinal anterior dan lateral
Gambar dikutip dari : Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending anda Descending Tracts. In :Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincontt Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. P. 133-84

Pengetahuan akan perjalanan traktus- traktus (terutama mengenai pada


level mana terjadi decusatio) yang ada dalam substansia alba medulla spinalis
akan memberikan pengertian pengertian yang komprehensif mengenai
manifestasi klinis pasien- pasien dengan trauma medulla spinalis. Presepsi raba
halus, proprioseptif, dan getaran (dari traktus kolumna dorsalis) tidak mengalami
penyilangan (decusatio) sebelum rangsang tersebut mencapai medulla oblongata,
sedangkan traktus spinotalamik lateral dan anterior menyilang dalam 3 level
segmen tempat rangsang tersebut masuk. Di sisi lain, traktus motorik utama
(kortikospinal) mengalami decusatio pada level medulla oblongata. Hal ini
menyebabkan adanya lesi pada traktus kotikospinal atau kolumna dorsalis
menyebabkan paralisis motor ipsilateral (untuk kortikospinal) dan hilangnya
persepsi raba halus, proprioseptif, dan getaran pada ipsilateral dari lesi tersebut.
Sebaliknya, lesi pada traktus yang membawa presepsi nyeri, suhu, tekanan, dan
raba kasar menyebabkan hilangnya persepsi tersebut pada daerah kontralateral
dari lesi (Lippincontt Williams & Wilkins, 2010).
Selain traktus untuk fungsi sensorik dan motorik, medulla spinalis juga
berperan dalam fungsi otonom. Fungsi saraf simpatis dipengaruhi oleh saraf
kranialis T1-L3 (torakolumbal), sedangkan fungsi saraf parasimpatis pada S2-
S4. Lesi medulla spinalis pada daerah yang bersangkutan dapat menyebabkan
gangguan saraf otonom sesui dengan tingkat lesinya. Salah satu korelasi klinis
dai fungsi saraf simpatis yang terganggu akibat dari lesi lebih tinggi dari T6
adalah neurogenic shock akibat hilangnya tonus simpatis pada pembuluh daah
arteri, sedangkan gangguan miksi dan disfungsi ereksi akibat gangguan tonus
parasimpatis (Lippincontt Williams & Wilkins, 2010).
Perfusi dari medulla spinalis terdiri dari 1 arteri spinalis arterior dan 2
arteri spinalis posterior. Arteri spinalis anterior memberikan suplai darah 2/3
bagian anterior dari medulla spinalis. Adanya lesi pada pembuluh darah tersebut
menyebabkan disfungsi dari traktus kortikospinal, spinotalamik lateral, dan jalur
otonom (paraplegia, hilangnya presepsi nyeri dan temperatur, dan disfungsi
otonom). Arteri spinalis posterior secara utama memberikan suplai darah untuk

koluma dorsalis dan substansia kelabu bagian posterior. Kedua arteri tersebut
muncul dari arteri vertebralis. Beberapa cabang radikuler dari aorta torakalis dan
abdominalis memberikan perdarahan kolateral bagi medulla spinalis.
Gambar 2.11 dan 2.12 gambar penampang melintang medulla spinalis dengan
arteri spinalis anterior dan gambar perfusi medulla spinalis
Gambar dikutip dari: Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization, and
Overview of Spinal Cord Syndromes. Continum: Lifelong Learning Neurol 2008;
14 (3):11

2.2 Definisi Trauma Medula Spinalis

Medulla spinalis (spinal cord) merupakanbagiansusunansarafpusat yang


terletak di dalamkanalisvertebralisdanmenjulurdari foramen magnum
kebagianatas region lumbalis.Trauma pada medulla spinalisdapatbervariasidari
trauma ekstensifiksasiringan yang terjadiakibatbenturansecaramendadaksampai
yang menyebabkantranseksilengkapdari medulla spinalisdengan quadriplegia
(Batticaca, 2008).
Cederatorako-lumbal bias disebabkanoleh trauma
langsungpadatorakalataubersifatpatologissepertipadakondisi osteoporosis yang
akanmengalamifrakturkompresiakibatkeruntuhantulangbelakang (Muttaqin,
2008).
Cidera medulla spinalisadalahsuatukerusakanfungsineurologis yang
disebabkanolehbenturanpadadaerah medulla spinalis (Brunner &Suddarth 2008).
Cidera medullaspinalisadalahsuatukerusakanfungsineurologis yang
disebabkansering kali
olehkecelakaanlalulintas.Apabila cederaitumengenaidaerahservikalpadalengan,
badandantungkaimakapenderitaitutidaktertolong.Dan apabilasaraf fremitus
ituterserangmakadibutuhkanpernafasan buatan, sebelum alatpernafasan.
(Baughmen, 2009).

2.3 Etiologi
Penyebab trauma medulla spinalis (Mutaqin, 2008) :
1. Kecelakaan

Gambar 2.13 kecelakaan yang menyebabkan trauma medulla spinalis


Sumber: Medicastor. com
2. Luka tusuk atau luka tembak

2.14 Gambar luka tusuk


Sumber: suarapedia. com

2.15 Gambar luka tusuk


Sumber: Suarapedia. com
3. Kegiatan olahraga

2.16 Gambar kegiatan olahraga mengakibatkan trauma medulla spinalis


Sumber: Indowarta.com

4. Terjatuh

2.17 Gambar terjatuh


Sumber: Adam. Com

5. Dan penyabab lain non traumatik antara lain spondilitis servikal, ruang
miolopati, myelitis, osteoporosis, tumor.
2.18 Gambar myelitis
Sumber: Adam. com

2.19 Gambar Spondilitis servikal


Sumber: Adam.com
2.4 Klasifikasi
Trauma medulla spinalis dapat diklasifikan menurut (Brunner&Suddarth
2008):
1. Komosio medulla spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medulla
spinalis hilang sementara tanpa disertai gejala sisa atau sembuh secara
sempurna. Kerusakan pada komosio medula spinalis dapat berupa
edema, perdaran vesikuler kecil-kecil dan infark pada sekitar pembuluh
darah.
2. Komprensi medulla spinalis berhubungan dengan cedera vertebrata,
ligament dengan terjadinya perdarahan, edema perubahan neuron dan
reaksi peradangan.
3. Kontusipo adalah dimana kondisi terjadi kerusakan pada vertebrata,
ligament dengan tejadinya perdarahan, edema perubahan neuron dan
reaksi peradangan.
4. Laserasio medulla spinalis merupakan kondisi yang berat karena terjadi
kerusakan medulla spinalis. Biasanya disebabkan karena dislokasi, luka
tembak. Hilangnya fungsi medulla spinalis umumnya bersifat permanen.

2.5 Patofisiologi

Patofisiologi trauma medulla spinalis menurut (Brunner&Suddarth,2008)


yaitu Kerusakan medulla spinalis berkisar dari komosio sementara (di mana
pasien sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi, dan kompresi substansi
medula (baik salah satu atau dalam kombinasi), sampai transeksi lengkap medula
( yang membuat pasien paralisis dibawah tingkat cedera).
Bila hemoragi terjadi pada daerah medula spinalis, darah dapat merembes
ke ekstradural, subdural atau daerah subarakhnoid pada kanal spinal. Segera
setelah terjadi kontusion atau robekan akibat cedera, serabut – serabut saraf mulai
membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansia grisea medulla spinalis
menjadi terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi pada cedera pembuluh
darah medula spinalis, tertapi proses patogenik dianggap menyebabkan kerusakan
yang terjadi pada cedera medula spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-
kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, dan lesi- lesi hemoragi,
yang pada gilirannya mengakibatkan kerusakan mielin dan akson
(Brunner&Suddarth, 2008).
Reaksi sekunder ini, diyakini menjadi penyabab prinsip degenerasi medula
spinalis pada tingkat cedera,, sekarang dianggap reversible 4 sampai 6 jam setelah
cedera. Untuk itu jika kerusakan medula tidak dapat diperbaiki, maka beberapa
metode mengawali pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat-
obat anti infalamsi lainnya yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian
dari perkembangannya, masuk ke dalam kerusakan total dan
menetap(Brunner&Suddarth, 2008).

2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis trauma medulla spinalis menurut


(Brunner&Suddarth2008) . Jika dalam keadaan sadar, pasien biasanya mengeluh
nyeri akut pada leher belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang
terkena. Pasien sering mengatakan kalau leher atau punggungnya patah. Cedera
saraf spinal dapat menyebabkan paraplegia atau quadriplegia. Paraplegia
diakibatkan oleh lesi yang mengenai lumbal torakal, atau bagian sakral medulla
spinalis dengan disfungsi ekstremitas bawah, defekasi, dan berkemih. Sedangkan
quadriplegia ( tetraplegia) diakibatkan oleh lesi yang melibatkan salah satu
segmen servikal medula spinalis dengan disfungsi kedua lengan, kedua kaki,
defekasi, dan bekemih. Akibat dari cedera kepala tegantung pada tingkat cedera
pada medulla dan tipe cedera:
1. Sindrom medula pusat
Dengan karakteristik : defisit motorik (pada ekstremitas atas bila
dibandingkan dengan ekstremitas bawah; kehilangan sensori yang
bervariasi, tetapi lebih berat pada ekstremitas atas) ; adanya disfungsi
defekasi dan berkemih yang bervariasi, atau fungsi benar- benar
dipertahankan.Penyebab sindrom medulla pusat yaitu cedera atau edema
medula pusat, biasanya area servikal
2. Sindrom medula anterior
Dengan karakteristik : kehilangan sensasi nyeri, dan fungsi motorik
terlihat dibawah tingkat lesi; sentuhan ringan, posisi, dan sensasi vibrasi
tetap utuh.Penyebab sindrom medulla anterior disebabkan oleh herniasi
diskus akut atau cedera hiperefleksi dikaitkan dengan dislokasi fraktur
vertebra. Kondisi ini dapat terjadi sebagai akibat cedera pada arteri spinalis
anterior, yang menyuplai 2/3 anterior medula spinalis.
3. Sindrom brown- sequard (sindrom medula lateral)
Dengan karakterikstik : paralisis ipsilateral atau paresis, bersamaan
dengan kehilangan sensasi sentuhan, tekanan dan getaran ipsilateral dan
kehilangan sensasi nyeri dan suhu kontralateral. Penyebab sindrom medula
lateral yaitu lesi yang disebabkan oleh hemiseksi tranvesal medulla
(setengah medulla dipotong dari arah utara ke selatan), biasanya sebagai
akibat cedera pisau atau tembakan, fraktur dislokasi prosesus artikular
unilateral, atau kemungkinan ruptur diskus akut.
Tingkat neuologik yang berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan
motorik bagian bawah yang nomal. Tingkat neurologik bagian bawah mengalami
paralisis sensori dan motorik total, kehilangan kontrol kandung kemih dan usus
besar (biasanya terjadi retensi urine dan distensi kandung kemih, penurunan
keringat dan tonus vasomotor, dan penurunan tekanan darah diawali dengan
resistensi vaskular perifer(Brunner&Suddarth, 2008).
Tipe cedera mengacu pada luasnya cedera medula spialis itu sendiri.
Masalah pernafasan dikaitkan dengan penurunan fungsi pernafasan, beratnya
bergantung pada tingkat cedera. Otot –otot yang berperan dalam pernfasan adalah
abdominal, interkostal (T1-T11) dan diafragma. Pada cedera medula servikal
tinggi, kegagalan pernafasan akut adalah penyabab utama
kematian(Brunner&Suddarth, 2008).

2.7 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum menurut (Mutaqin,2008):
Pada keadaan cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami penurunan
kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi,
dan hipotensi.
1. B 1(Breathing)
Pada beberapa keadaan trauma sum-sum tulang belakang pada daerah
servikal dan torakal hasil dari pemeriksaan fisik dari system ini akan di
dapatkan hal-hal berikut:
a. Inspeksi umum: didapatkan klien batuk peningkatan produksi sputum,
sesak napas, pengguanaan otot bantu napas , dan peningkatan
frekuensi pernapasan. Terdapat retraksi interkostalis, pengembangan
paru tidak simetris.
b. Palpasi: fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan di
dapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thorak.
c. Perkusi: adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
trauma pada thorak.
d. Auskultasi: bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor,
ronkhi, pada klien dengan peningkatan produksi secret dan
kemampuan batuk yang menurun yang sering di dapat kan pada klien
cedera tulang belakang dengan penurunan tingkat kesadaran atau
koma.

2. B2(Blood)
Pada system kardiovaskuler di dapatkan ranjatan (syok hipovolemik). Pada
beberapa keadaan dapat di temukan TD menurun, brdikardi, berdebar-debar,
pusing saat melakukan perubahan posisi, bradikardi ekstremitas dingin atau
pucat.

3. B3(Brain)
Pengkajian otak meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral, dan
pengkajian syaraf cranial.
a. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan klien dan respon
terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk disfungsi
system persarafan, pada keadan lanjut tingkat kesadaran klien
biasanya berkisar pada tingkat letargi,stupor, semikomatosa sampai
koma.
b. Pengkajian fungsi serebral: status mental: observasi penampilan,
tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
klien. Pada cedera tulang belakang biasanya status mental mengalami
perubahan.

c. Pemeriksaan syaraf cranial:


1. Saraf I: biasanya tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
tidak ada kelainan.
2. Saraf II: tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
3. Saraf III, IV, dan VI: biasanya tidak mengalami gangguan
mengankat kelopak mata pupil isokor.
4. Saraf V: umumnya tidak terdapat paralisis pada otot wajahdan
reflek kornea biasanya tidak ada kelainan.
5. Saraf VII: ppresepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris.
6. Saraf VIII: tidak di temukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
7. Saraf IX dan X: kemampuan menelan baik,
8. Saraf XI: tidak ada atropi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
9. Saraf XII: lidah simetris indra pengecapan normal.

d. Pengkajian system motorik: inspeksi umum di dapatkan kelumpuhan


pada ekstremitas bawah.baik bersifat paralisis , paraplegi, maupun
quadriplegia.
e. Tonus otot: di dapatkan menurun sampai hilang.
f. Kekuatan otot: pada penilaian dengan mengguanakan tingkat kekuatan
otot di dapatkan tingkat 0 pada ekstremitas bawah.
g. Keseimbangan dan koordinasi: di dapatkan mengalami gangguan
karena kelumpuhan pada ekstremitas bawah.
h. Pengkajian reflek: reflek Achilles menghilang, dan reflek patella
biasanya melemah.
i. Pengkajian system sensorik: gangguan sensabilitas pada klien cedera
medulla spinalis sesuai dengan segmen yang mengalami gangguan.

4. B4 (Bladder)
Trauma pada kauda ekuina klien mengalami hilangnya reflek kandung
kemih yang bersifat sementara dan kien kemungkinan inkontinensia urine,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, ketidakmampuan untuk
mengguanakan urinal karena control motorik dam postural.selama periode
ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.

5. B5 (Bowel)
Pada pemeriksaan refleks bulbokavernosa di dapatkan positif, menandakan
adanya syok sinal.
6. B6(Bone)
Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Adanya kesulitan
untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori, dan mudah lelah
menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

2.8 Pemeriksaan diagnostik


1. Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien fraktur
lumbal menurut (Mahadewa & Maliawan, 2009) adalah :
a. Foto polos
Pemeriksaan foto yang terpenting adalah AP lateral dan Oblique
view. Posisi lateral dalam keadaan fleksi dan ekstensi mungkin
berguna untuk melihat instabilitas ligamen. Penilaian foto polos,
dimulai dengan melihat kesegarisan pada AP dan lateral, dengan
identifikasi tepi korpus vertebrae, garis spinolamina, artikulasi sendi
facet, jarak interspinosus. Posisi oblique berguna untuk menilai
fraktur interartikularsis, dan subkulasi facet.
b. CT Scan
CT scan baik untuk melihat fraktur yang kompleks, dan terutama
yang mengenai elemen posterior dari medula spinalis. Fraktur
dengan garis fraktur sesuai bidang horizontal, seperti Chane Fraktur,
dan fraktur kompresif kurang baik dilihat dengan CT scan aksial.
Rekrontuksi tridimensi dapat digunakan untuk melihat pendesakan
kanal oleh fragmen tulang, dan melihat fraktur elemen posterior.

Sumber:

c. MRI
MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap kelainan
medulla spinalis dan struktur ligamen. Identifikasi ligamen yang
robek seringkali lebih mudah dibandingkan yang utuh. Kelemahan
MRI adalah terhadap penderita yang menggunakan fiksasi metal,
maka akan memberikan artefact yang mengganggu penilaian fisik.
Kombinasi antara foto polos, CT scan dan MRI, memungkinkan kita
bisa melihat kelainan pada tulang dan struktur jaringan lunak (
ligamen, diskus dan medula spinalis).
Sumber:

d. Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf


Kedua prosedur ini biasanya dikerjakan bersama- sama 1-2 minggu
setelah terjadinya trauma. Elektromiografi dapat menunjukkan
adanya denerfasi pada ektremitas bawah. Pemeriksaan pada otot
paraspinal dapat membedakan lesi pada medulla spinalis atau cauda
equine, dengan lesi kpada pleksus lumbal atau sacral.

2. Sedangkan menurut (Mutaqim, 2008) pemeriksaan radiologi yang dapat


dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan Rontgen
Pada pemeriksaan rontgen manipulasi penderita harus dilakukan
secara hati- hati. Pada fraktur C-2, pemeriksaan posisi AP dilakukan
secara khusus dengan membuka mulut. Pemeriksaan posisi AP
secara lateral dan kadang- kadang oblik dilakukan untuk menilai hal-
hal sebagai berikut.
1) Diameter anteroposterior kanal spinal.
2) Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra.
3) Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal.
4) Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus ketinggian ruangan
diskus intervertebralis pembengkakan jaringan lunak.
b. Pemeriksaan CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan terutama untuk melihat fragmentasi dan
pergeseran fraktur dalam kanal spinal.
c. Pemeriksaan CT- Scan dengan mielografi
d. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI untuk melihat jaringan lunak, yaitu diskus
intervertebralis serta lesi dalam sumsum medulla spinalis.
BAB III
KONSEP ASKEP

3.1 Konsep Asuhan Keperawatan

ANALISA DATA
NO DATA PENUNJANG DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Data subyektif: Pola napas tidak efektif b.d


Klien/ keluarga mengatakan adanya kesulitan imaturitas neurologis
bernapas, sesak napas.

Data obyektif:
a. Penurunan tekanan alat inspirasi dan respirasi
b. Penurunan menit ventilasi
c. Pemakaian otot bantu pernapasan
d. Pernapasan cuping hidung
e. Dispnea/ napas pendek dan cepat
f. Prthopnea
g. Pernapasan lewat mulut
h. Frekuensi dan kedalaman pernapasan abnormal
i. Penurunan kapasitas vital paru

2. Data subyektif: Gangguan mobilitas fisik b.d


Klien/ keluarga mengatakan adanya kesulitan gangguan neuromuskular
bergerak, tangan dan tungkai tidak bisa digerakkan.

Data obyektif:
a. Kekuatan otot menurun
b. Rentang gerak (ROM) menurun
c. Gerakan tidak terkoordinasi
d. Gerakan terbatas
e. Fisik lemah
f. Sendi kaku

3. Data subyektif: Nyeri akut b.d agen pencedera fisik


Pasien mengatakan nyeri pada bagian belakang (tauma)
leher.

Data obyektif:
a. Posisi menghindari nyeri
b. Pasien tampak gelisah
c. Perubahan selera makan
d. Diaforesis
e. Berfokus pada diri sendiri
f. Bukti nyeri yang adapat diamati

4. Data subyektif: Gangguan eliminasi urine b.d


Pasien mengatakan urine keluar menetes. penurunan kapasitas kandung kemih

Data obyektif:
a. Berkemih tidak tuntas (hesitancy)
b. Mengalami kesulitan di awal berkemih.

5. Data subyektif Gangguanintegritaskulitataujaringan


Pasienmengatakanada rasa
ketidaknyamananpadasystemgerakbagianekstremitas

Data obyektif
a. Kerusakanjaringandan / ataulapisankulit
b. Terdapatnyeri
c. Terdapatpendarahan
d. Terdapatkemerahan

Tabel 3.1 tabel analisa data


Sumber: (Nanda NIC NOC)
3.2 Rencana Asuhan Keperawatan

RENCANA KEPERAWATAN
No DIAGNOSA RENCANA INTERVENSI
KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif Tindakan Mandiri:
b.d imaturitas neurologis 1. Manajemenjalannapas: memfasilitasikepatenanjalannapas.
2. Pengisapanjalannapas: mengeluarkan secret
jalannapasdengancaramemasukkankateterpengisapkedalam jalannapas oral
atautrakeapasien.
3. Manajemenalergi:mengidentifikasi,menangani,danmencegahresponsalergiterhadapmakan
an,medikasi,gigitanserangga,mediakontras,darahdanzat lain.
4. Manajemenjalananafilaksis: meningkatkanventilasidanperfusijaringan yang
adekuatuntukindividu yang mengalamireaksialergiberat.
5. Manajemenjalannapasbantuan: memeliharaselangtrakeostomisertamencegahkomplikasi
yang berhubungandenganpenggunaannya.
6. Manajemenasma: mengidentifikasi,mengobati,
danmencegahreaksiterhadapinflamasi/konstriksi di jalannapas.
7. Manajemenventilasimekanis; invansif:
membantupasienmenerimabantuannapasbuatanmelaluialat yang
dimasukkankedalamtrakea.
8. Penyapihan ventilator mekanis: membantupasienuntukbernapastanpabantuan ventilator
mekanis
9. Pemantauanpernapasan: mengumpulkandanmenganalisis data pasien
untukmemastikankepatenanjalannapasdanpertukaran gas yang adekuat
10. Bantuanventilasi: meningkatkanpolapernapasanspontan yang optimal
sehinggamemaksimalkanpertukaranoksigendankarbondioksida di dalamparu
11. Pemantauantanda-tanda vital: mengumpulkandanmenganalisis data
kardiovaskuler,pernapasan,dansuhutubuhpasienuntukmenentukandanmencegahkomplikas
i.

Tindakan Kolaboratif:
1. Konsultasi dengan ahli terapi pernapasan untuk memastikan keadakuatan fungsi
ventilator mekanis.
2. Laporkan perubahan sensori, bunyi napas, pola pernapasan, nilai GDA, sputum, dan
sebagainnya, jika perlu atau sesuai protokol.
3. Berikan obat (misalnya, bronkodilator) sesuai dengan program atau protokol.
4. Berikan terapi nebulezer ultrasonik dan udara atau oksigen yang dilembabkan sesuai
program atau protokol institusi.
5. Berikan obat nyeri untuk mengoptimalkan pola pernapasan. Uraikan jadwal
2. Gangguan mobilitas fisik Tindakan Mandiri:
b.d gangguan 1. Promosimekanikatubuh:
neuromuskular memfasilitasipenggunaanposturdanpergerakandalamaktivitassehari-hari untuk
mencegahkeletihandanketeganganataucidera musculoskeletal
2. Promosilatihanfisik:
memfasilitasiaktivitasfisikteraturuntukmempertahankanataumeningkatkanketingkatkema
mpuandankesehatan yang lebihtinggi
3. Promosilatihanfisik: latihankekuatan:
memfasilitasipelatihanototresistifsecararutinuntukmempertahankanataumeningkatkankek
uatanotot
4. Terapilatihanfisik: ambulasi:
meningkatkandanmembantudalamberjalanuntukmempertahankanataumengembalikanfun
gsitubuhautonomydanvolunterselamapengobatandanpemulihandarikondisisakitataucidera
5. Terapilatihanfisik: keseimbangan:
mengunakanaktivitas,postur,dangerakantertentuuntukmempertahankan,meningkatkan,
ataumemulihkankeseimbangan.
6. Terapilatihanfisik: mobilitasi sendi:
menggunakangeraktubuhaktifdanpasifuntukmempertahankanataumengembalikanfleksibil
itassendi
7. Terapilatihanfisik: pengendalianotot: mengunakanaktivitastertentuatauprotocollatihan
yang sesuaiuntukmeningkatkanataumengembalikangerakantubuh yang terkendali.
8. Pengaturanposisi: mengaturposisiataubagiantubuhpasiensecarahati-
hatiuntukmeningkatkankesejahteraanfisiologiataupsikologi
9. Pengaturanposisi: kursiroda: mengaturposisipasiendenganbenar di
kursirodapilihanuntukmencapai rasa nyaman, meningkatkanintregitaskulit,
danmenumbuhkankemandirianpasien
10. Bantuanperawatandiri: berpindah: membantuindividuuntukmengubahposisitubuhnya.

Tindakan Kolaboratif:
1. Rujuk ke ahli terapi fisik untuk program latihan.
2. Berikan analgesik sebelum memulai latihan.

3. Nyeri akut b.d agen Tindakan Mandiri:


pencedera fisik (tauma) 1. Pemberian analgesic:
menggunakanagensfarmakologiuntukmengurangiataumenghilanginyeri.
2. Pemberianmedikasi: mempersiapkan, memberikan,
danmengevaluasikeefektifanobatresepdanobatbebas.
3. Manajemenmedikasi: memfasilitasipenggunaan
obatresepdanobatbebassecaraamandanefektif.
4. Manajemennyeri: meringankanataumenguranginyerisampaipadatingkatkenyamanan yang
dapatditerimaolehpasien.
5. Bantuan analgesia yang dikendalikanolehpasien (Patient- Controlled Analgesia (PCA)):
memudahkanpengendalianpemberiandanpengaturan analgesic olehpasien.
6. Manajamensedasi :memberikan sedative, memantauresponspasien,
danmemberikandukunganfisiologis yang dibutuhkanselamaprosedur diagnostic
atauterapeutik.
7. Surveilans :mengumpulkan, menginterpretasi, danmenyintesis data
pasiensecaraterararahdankontinuuntukmembuatkeputusanklinis.

Tindakan Kolaboratif:
1. Kelola nyeri pascabedah awal dengan pemberian opiat yang terjadwal misalnya, setiap 4
jam selama 36 jam atau PCA
2. Manajemen nyeri (NIC): gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih
berat. Laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil atau jika keluhan saat ini
merupakan perubahan yang bermakna dari pengalaman nyeri pasien di masa lalu.
4. Gangguan eliminasi urine Tindakan Mandiri:
b.d penurunan kapasitas 1. Latihanototpanggul: menguatkandanmelatihototlevatordanorogenitalmelaluikontraksi
kandung kemih volunter danberulanguntukmenurunkaninkontinensia urine jenis stress, urgensi,
ataucampuran.
2. Berkemihtepatwaktu: meningkatkankontinensiaurine dengandiingatkansecara
verbalpadawaktutertentuuntukberkemihdanumpanbalik social yang positif semi
keberhasilaneliminasi.
3. Kateterisasi urine: memasangkateterkedalamkandungkemihuntukdrainase urine
sementaraataupermanen.
4. Pelatihankandungkemih: meningkatkanfungsikandungkemihuntukseseorang yang
mengalamiinkontinensiaurgensidenganmeningkatkankemampuankandungkemihuntukme
nahan urine dankemampuanpasienuntukmenekanurinasi.
5. Manajemeneliminasiurin: mempertahankanpolaeliminasi urine yang optimum.
6. Aktivitaskolaboratif.
5. Gangguanintegritaskulitata Tindakan Mandiri:
ujaringan 1. Perawatan area insisi: membersihkan, memantau, danmeningkatkanpenyembuhanluka yang
tertutupdenganjahitan, klip, atau staples.
2. Perlindunganinfeksi: mencegahdanmendeteksiinfeksipadapasienberisiko.
3. Pemeliharaankesehatanmulut: memeliharadanmeningkatkan hygiene oral
dankesehatangigipadapasien yang berisikomengalamilesimulutataugigi.
4. Perawatanostomi: memeliharaeliminasimelalui stoma danmerawatjaringansekitar stoma.
5. Manajementekanan: meminimalkantekanankebagiantubuh.
6. Perawatanulkus decubitus: memfasilitasipenyembuhanpadaulkusdekubitus.
7. Perawatankulit: terapi topical: mengoleskanzat topical
ataumemanipulasialatuntukmeningkatkanintegritaskulitdanmeminimalkankerusakankulit.
8. Surveilanskulit: mengumpulkandanmenganalisis data
pasienuntukmempertahankanintegritaskulitdanmembran mukosa.
9. Perawataluka: mencegahkomplikasilukadanmeningkatkanpenyembuhanluka.

Tindakan Kolaboratif:
1. Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein, mineral, kalori, dan
vitamin.
2. Konsultasikan pada dokter tentang implementasi pemberian makanan dan nutrusi enteral
atau parenteral untuk meningkatkan potensi penyembuhan luka.
3. Rujuk ke perawat enterostema untuk mendapatkan bantuan dalam pengkajian, penentuan
derajat luka, dan dokumentasi perawatan luka atau kerusakan kulit.
4. Perawatan luka (NIC): gunakan unit TENS (trancutaneous electrical nerve stimulation)
untuk peningkatan proses penymbuhan luka, jika perlu.

Tabel 3.2 Rencana Asuhan Keperawatan


Sumber: (Nanda NIC NOC)
3.1.3 Evaluasi
Berdasarkan diagnosis keperawatan yang telah diidentifikasi, perawat
mengevaluasi respon pasien dengan Trauma medulla spinalis. Kriteria yang
diharapkan meliputi:
1. Polanapasefektif, yang dapatdibuktikanoleh status pernapasan yang
tidakterganggu: ventilasidan status pernapasan: kepatenanjalannapas,
dantidakadapenyimpangantanda- tanda vital darirentang normal.
2. Memperlihatkanmobilitas, yang dibuktikanoleh indicator (1-5:
gangguaneksterm, berat, sedang, ringan, atautidakmengalamigangguan).
3. Menunjukkantingkatnyeri yang berkurangdarisebelumnya.
4. Dapatmenunjukkanpolaeliminasi urine secara normal.
5. Menunjukkanintegritasjaringankulitdan membrane mukosabaik.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai
daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai maka penderita itu tidak tertolong.
Dan apabila saraf fremitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan,
sebelum alat pernafasan.
Cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang
menyebabkan lesi di medulla spinalis sehingga menimbulkan gangguan
neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian, selain itu untuk
trauma medulla spinalis membutuhkan penanganan yang rumit.

4.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan detail dalammenjelaskan tentang makalah diatas
dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung
jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saranterhadap penulisan juga bisa untuk
menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah dijelaskan.
Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain
kami akan berusaha lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth, 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8
vol.3. Jakarta: EGC

North American Nursing Diagnosis Association (NANDA). 2010. Diagnosis


Keperawatan 2009-2011. Jakarta : EGC.

Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (terjemahan). Jakarta:EGC

Moorhead S, Johnson M, Maas M, Swanson, E. 2009. Nursing Outcomes


Classification. United States of America : Mosby

Freidberg SR, Manffe SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord.
In:Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter’s Neurology. 2nd
edition. Elsevier, Saunders. 2012. P562-71

Gambar dikutip dari : Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascendinganda Descending Tracts. In :Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition.Lippincontt Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. P. 133-84

Vous aimerez peut-être aussi