Vous êtes sur la page 1sur 11

A.

ANEMIA
1. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan
oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan
kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). Tetapi
yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit.
Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu di mana ketiga
parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi,
perdarahan akut, dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah berapa
kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit paling rendah yang
dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung
pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis
tertentu seperti misalnya kehamilan.
Dari sumber yang berbeda menyebutkan bahwa anemia merupakan gejala dari
kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, elemen yang tak
adekuat atau kurangnya nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah
merah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah
7
Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitungan sel darah merah
dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal.8 Anemia adalah
berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas
hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml
darah.9
2. Kriteria Anemia
Parameter anemia yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan
massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung
eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang
menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap
abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik
tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian
tempat tinggal. Oleh karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut off point) di
bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia. Di negara barat kadar
hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14 g/dl dan 12 g/dl pada
perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberikan angka
yang berbeda yaitu 12 g/dl (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11
g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13 g/dl untuk laki-laki
dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia untuk keperluan penelitian
lapangan seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Anemia menurut WHO
Kelompok Kriteria Anemia
Laki-laki dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil <12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl
Anak (0,5-5,0 tahun) < 11 g/dl
Anak (5-12 tahun) < 11,5 g/dl
Remaja (12-15 tahun) < 12 g/dl

3. Etiologi dan Klasifikasi


Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam
penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena gangguan
pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, kehilangan darah keluar dari
tubuh (perdarahan), dan proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum
waktunya (hemolisis).
Tabel 2. Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodiplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik
B. Anemia akibat hemoragi
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) : anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalassemia
- Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang
kompleks

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik


dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini
anemia dibagi menjadi tiga golongan:
1). Anemia hipokrom mikrositer, bila MCV <80 fl dan MCH < 27 pg
1.1 Anemia kurang besi
1.2 Hemoglobinopati (misalnya: sickle sel anemia)
1.3 Thalassemia
1.4 Anemia karena penyakit kronik (penyakit infeksi/kolagen)
2). Anemia normokrom normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg
2.1 Perdarahan akut
2.2 Anemia karena kanker
2.3 Anemia aplastik
2.4 Leukemia, myeloma multipel
3). Anemia makrositer, bila MCV >95 fl.
3.1 Anemia megaloblastik karena kurang vit. B12 atau asam folat
3.2 Anemia hemolitik (retikulositosis)
3.3 Anemia setelah perdarahan akut (retikulositosis)
3.4 Anemia karena penyakit hati kronik, hipotiroid, obs jaundice
Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong
dalam mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi
anemia.
Tabel 3. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi
I. Anemia hipokrom mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
II. Anemia normokrom normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal akut
f. Anemia pada sindrom mieodiplastik
g. Anemia pada keganasan hematologic
III. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non megaloblastik
- Anemia pada penyakit hati kronik
Anemia pada hipotiroidisme
Anemia pada sindrom mielodiplastik

3. Pemeriksaan Untuk Diagnosis Anemia


a. Anamnesis
Menganamnesis secara teliti pada setiap pasien dengan anemia biasanya
memberikan petunjuk penting terhadap penyakit yang mendasari anemia.
Riwayat pemeriksaan darah sebelumnya, riwayat ditolak sebagai donor,
atau penggunaan obat-obat yang berfungsi meningkatkan hemoglobin
darah merupakan petunjuk penting bahwa anemia terdeteksi sebelumnya.
Riwayat keluarga yang menderita tidak hanya anemia, tetapi juga
jaundice, cholelithiasis, splenectomy, gangguan perdarahan, dan jumlah
hemoglobin yang abnormal. Mencari riwayat kehilangan darah
(perdarahan) sebelumnya perlu ditambahkan tentang kehamilan, aborsi,
dan menstruasi. Selain itu perubahan kebiasaan dalam buang air besar
dengan warna fekal yang lebih gelap atau merah segar perlu didata
adanya hemorrhoid atau keganasan pada colon dan munculnya komplain
saluran pencernaan dapat mengarah pada gastritis, peptic ulcer, hiatal
hernia, dan diverticula. Perubahan warna urin dapat terjadi pada penyakit
ginjal dan liver serta anemia hemolitik.
Riwayat asupan makanan terkait dengan rendahnya asupan makanan atau
riwayat mengkonsumsi minuman yang berasal dari beras atau air cucian
beras yang dapat menghambat penyerapan besi. Perubahan berat badan
terkait asupan makanan dapat diperkirakan adanya malabsorbsi atau
penyakit yang mendasari seperti infeksi, kelainan metabolik, atau
keganasan.
Defisiensi B12 awal ditandai dengan pucatnya warna rambut, sensasi
terbakar pada lidah, dan hilangnya propriosepsi. Parastesi dan sensai yang
tidak biasa yang dirasakan sebagai nyeri juga terjadi pada anemia
pernisiosa.
Defisiensi asam folat kemungkinan memiliki nyeri pada lidah, cheilosis,
dan gejala berkaitan dengan steatorrhea.
Adanya demam atau riwayat demam karena infeksi, keganasan, atau
gangguan vaskular kolagen dapat menyebabkan anemia. Riwayat petekie,
ekimosis, dan purpura menandakan adanya trombositopeni atau gangguan
perdarahan.
b. Pemeriksaan Fisik
Penemuan pada pemeriksaan fisik kulit dan mukosa didapatkan
kepucatan, pigmentasi abnormal, ikterik, spider nevi, purpura, angioma,
eritema palmar, bengkak pada wajah, perubahan bentuk kuku, kepucatan
warna rambut, dan pola vena di abdomen. Pada konjungtiva dan sklera
bisa didapatkan kepucatan, ikterik, atau petekie.
Adanya pembesaran kelenjar getah bening menandakan adanya infeksi
atau keganasan. Edema bilateral menandakan penyakit jantung, liver, atau
ginjal yang mendasari. Sedangkan edema unilateral menandakan adanya
obstruksi limfatik karena keganasan yang belum bisa diobservasi maupun
palpasi. Hepatomegali dan splenomegali yang khas pada anemia
hemolitik.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam
diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan penyaring
(screening test), pemeriksaan darah seri anemia, pemeriksaan sumsum
tulang, dan pemeriksaan khusus.
1) Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran
kadar hemoglobin, indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini
dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia
tersebut yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.
2) Pemeriksaan Darah Seri Anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit,
hitung retikulosit, dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak
dipakai automatic hematology analyzer yang dapat memberikan
presisi hasil yang lebih baik.
3) Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat
berharga mengenai keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini
dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia.
Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis
anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan
hematologik yang dapat mensupresi sistem eritoid.
4) Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misal pada :
a) Anemia defisiensi besi : serum iron. TIBC (total iron binding
capacity), saturasi transferin, protoporifin eritrosit, feritin serum,
reseptor transferin, dan pengecatan besi pada sumsum tulang
Perl’s stain).
b) Anemia megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes
supresi deoksiuridin, dan tes Schiling.
c) Anemia hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, dan
elektroforesis hemoglobin.
d) Anemia aplastik : biopsi sumsum tulang.
Juga diperlukan pemeriksaan non hematologik tertentu seperti
misalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal, atau tiroid.
Gambar 1. Algoritme pendekatan diagnosis anemia

Anemi
a

Hapusan darah tepi


dan indeks eritrosit
(MCV,MCH,MCHC)

Anemia hipokrom Anemia normokrom Anemia makrositer


mikrositer normositer

Gambar 2. Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokrom


mikrositer
Anemia hipokrom
mikrositer

Besi serum

Menurun Normal

TIBC TIBC Ferritin N


Ferritin Ferritin N/

Besi sumsum Besi sumsum Elektroforesis Ring sideroblas


tulang (-) tulang (+) Hb dalam sumsum
tulang

Anemia defisiensi Anemia akibat HbA2


besi berat penyakit kronik HbF Anemia
sideroblastik

Thalassemia
beta
Gambar 3. Algoritme pendekatan diagnosis anemia normokrom normositer

Anemia normokrom
normositer

Retikulosit

Meningkat Normal/Menurun

Riwayat Tanda Sumsum tulang


perdarahan hemolisis
akut positif Hipoplastik Displastik

Anemia pasca Anemia Anemia pada


perdarahan Test Coomb aplastik sindrom
akut mielodiplastik

Positif Negatif Infiltrasi Normal

AIHA
Tumor ganas
hematologi
Riwayat keluarga (leukemia,
positif mieloma)

Enzimopati Anemia pada


Membranopati leukemia
Hemoglobinopati akut/mieloma

Anemia mikroangiopati
Obat/Parasit Limfoma Faal hati
kanker Faal ginjal
Faal tiroid
Anemia Penyakit kronik
mielopsitik

Anemia pada
gagal ginjal
kronik, penyakit
hati kronik,
hipotiroid,
penyakit kronik
Gambar 4. Algoritme pendekatan diagnostik anemia makrositer

Anemia makrositer

Retikulosit

Meningkat Normal/Menurun

Sumsum tulang

Anemia defisiensi
Megaloblastik Non megaloblastik
besi, asam folat

B12 serum rendah

Asam folat serum


Anemia defisiensi besi
rendah

Anemia defisiensi
asam folat

Faal tiroid

Faal hati

Anemia pada Displastik


hipotiroidisme

Anemia pada
penyakit hati kronik

Sindrom
mielodisplastik
DAFTAR PUSTAKA

7. Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk


perencanaan dan pendokumentasian pasien. ed.3. EGC : Jakarta
8. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. 2006. Anemia Defisiensi Besi Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
9. Marks PW, Glader B. Approach to anemia in the adult and child. In: Hoffman
R, Benz EJ, Shattil SS, et al, eds. Hematology: Basic Principles and Practice
. 5th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Churchill Livingstone; 2008:chap 34

Vous aimerez peut-être aussi