Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
1) Mengetahui anatomi dari organ peritoneum.
2) Mengetahui definisi peritonitis.
3) Mengetahui etiologi peritonitis.
4) Mengetahui klasifikasi dari peritonitis.
5) Mengetahui patofisiologi dari peritonitis.
6) Mengetahui manifestasi Klinis pada peritonitis.
7) Mengetahui pemeriksaan diagnostic pada peritonitis.
8) Mengetahui penatalaksanaaan pada peritonitis.
9) Mengetahui komplikasi pada peritonitis.
10) Mendiskusikan asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan
peritonitis.
1.4 Manfaat
1) Memahami anatomi dari organ peritoneum.
2) Memahami definisi peritonitis.
3) Memahami etiologi peritonitis.
4) Memahami klasifikasi dari peritonitis.
5) Memahami patofisiologi dari peritonitis.
6) Memahami manifestasi Klinis pada peritonitis.
7) Memahami pemeriksaan diagnostic pada peritonitis.
8) Memahami penatalaksanaaan pada peritonitis.
9) Memahami komplikasi pada peritonitis.
10) Menyimpulkan asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan
peritonitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Definisi
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa rongga
abdomen dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis atau kumpulan tanda dan gejala, diantaranya
nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum
inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan
dan terbatas, atau penyakit berat dan sistemikengan syok sepsis.
Infeksi peritonitis terbagi atas penyebab perimer (peritonitis spontan), sekunder
(berkaitan dengan proses patologis pada organ visceral), atau penyebab tersier
(infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat). Infeksi pada
abdomen dikelompokkan menjadi pertitonitis infeksi (umum) dan abses abdomen
(local infeksi peritonitis relative sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari
penyakit yang mendasarinya. Penyebab peritonitis ialah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik. Penyebab lain peritonitis
sekunder ialah perforasi apendisitis, perforasi ulkus peptikum dan duodenum,
perforasi kolon akibat diverdikulitis, volvulus dan kanker, dan strangulasi kolon
asendens. Penyebab iatrogenic umumnya berasal dari trauma saluran cerna bagian
atas termasuk pancreas, saluran empedu dan kolon kadang juga dapat terjadi dari
trauma endoskopi. Jahitan oprasi yang bocor (dehisensi) merupakan penyebab
tersering terjadinya peritonitis. Sesudah operasi, abdomen efektif untuk etiologi
noninfeksi, insiden peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan operasi
seharusnya kurang dari 2%. Operasi untuk penyakit inflamasi (misalnya
apendisitis, divetikulitis, kolesistitis) tanpa perforasi berisiko kurang dari 10%
terjadinya peritonitis sekunder dan abses peritoneal. Risiko terjadinya peritonitis
sekunder dan abses makin tinggi dengan adanya kterlibatan duodenum, pancreas
perforasi kolon, kontaminasi peritoneal, syok perioperatif, dan transfuse yang
pasif.
2.3 Etiologi
1. Infeksi bakteri
1. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
2. Appendisitis yang meradang dan perforasi
3. Tukak peptik (lambung/dudenum)
4. Tukak thypoid
5. Tukan disentri amuba/colitis
6. Tukak pada tumor
7. Salpingitis
8. Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta
hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah
clostridium wechii.
1. Secara langsung dari luar.
1. Operasi yang tidak steril
2. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa
sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis
granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
3. Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
4. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis.
Terbentuk pula peritonitis granulomatosa.
2. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti
radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis,
glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.
2.4 Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Peritonitis bakterial primer
2.5 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-
organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan
lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding
abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi
sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik;
usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan
dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik
usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus
sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan
dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya
pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau
ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada
rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan
dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan
foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
1. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior.
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan
sinar dari arah horizontal proyeksi anteroposterior.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal proyeksi anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup
seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film
ukuran 35x43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan
pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan
gambaran radiologis antara lain:
1) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya
penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah
obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone
appearance).
2) Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus.
Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek
berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-panjang kemungkinan gangguan
di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan
air fluid level.
3) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air
fluid level dan step ladder appearance.
2.8 Penatalaksanaan
Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua
penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).
Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l:
1. Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri
tekan terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda
perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi,
leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat
ditangani).
2. Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi
usus, extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri
mesenterika.
3. Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan
saluran cerna yang tidak teratasi.
4. Pemeriksaan laboratorium.
1) Terapi
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus
septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan
nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian
volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen,
nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan
tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
a. Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah
jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme
mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga
merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat
pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
b. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang
menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup.
Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik
operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi
dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi
peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi,
atau mereseksi viskus yang perforasi.
c. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan
menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal
sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa
drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat
menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan
dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan
untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
2) Pengobatan
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama
bila terdapat apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau
divertikulitis. Pada peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang
panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan
antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.
Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan
pengalaman pembedahan pasien yang mencakup tiga fase yaitu :
1. Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika
keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien
digiring kemeja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu
tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien ditatanan
kliniik atau dirumah, menjalani wawancaran praoperatif dan menyiapkan
pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan. Bagaimanapun,
aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga melakukan pengkajian
pasien praoperatif ditempat ruang operasi.
2. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika pasien
masuk atau dipindah kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase ini
lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi: memasang infuse (IV),
memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis
menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan
pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan terbatas hanyapada
menggemgam tangan pasien selama induksi anastesia umum, bertindak
dalam peranannya sebagai perawat scub, atau membantu dalam mengatur
posisi pasien diatas meja operasi dengan menggunakan prinsip-prinsip
dasar kesejajaran tubuh.
3. Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan
dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan kliniik atau
dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas
selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus terhadap
mengkaji efek dari agen anastesia dan memantau fungsi vital serta
mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada
penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut
dan rujukan yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan
rehabilitasi diikuti dengan pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail
lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan memungkinkan, proses
keperawatan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan evaluasi
diuraikan.
2.9 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
1. Komplikasi dini.
1. Septikemia dan syok septic.
2. Syok hipovolemik.
3. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multisystem.
4. Abses residual intraperitoneal.
5. Portal Pyemia (misal abses hepar).
2. Komplikasi lanjut.
1. Adhesi.
2. Obstruksi intestinal rekuren.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
A. Identitas
1. Nama pasien
2. Umur
3. Jenis kelamin
4. Suku /Bangsa
5. Pendidikan
6. Pekerjaan
7. Alamat
8. Keluhan utama:
Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian perut sebelah
kanan dan menjalar ke pinggang.
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pola nafas irregular (RR> 20x/menit), dispnea, retraksi otot bantu pernafasan serta
menggunakan otot bantu pernafasan.
Klien dengan peritonitis tidak mengalami gangguan pada otak namun hanya
mengalami penurunan kesadaran.
1. Sistem Perkemihan (B4)
Klien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomit dapat muncul akibat proses
ptologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara sekunder akibat iritasi
peritoneal. Selain itu terjadi distensi abdomen, bising usus menurun, dan gerakan
peristaltic usus turun (<12x/menit).
1. Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6)
Penderita peritonitis mengalami letih, sulit berjalan, nyeri perut dengan aktivitas.
Kemampuan pergerakan sendi terbatas, kekuatan otot mengalami kelelahan, dan
turgor kulit menurun akibat kekurangan volume cairan.
G. Pengkajian Psikososial
Interaksi sosial menurun terkait dengan keikutsertaan pada aktivitas sosial yang
sering dilakukan.
H. Personal Hygiene
Kelemahan selama aktivitas perawatan diri.
1. Pengkajian Spiritual
2. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
1. Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra
abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan
adanya pergerakan ke bentuk immatur pada differential cell count. Namun
pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan beberapa
tipe infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis dapat tidak
ditemukan atau malah leucopenia
2. PT, PTT dan INR
3. Test fungsi hati jika diindikasikan
4. Amilase dan lipase jika adanya dugaan pancreatitis
5. Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti
pyelonephritis, renal stone disease)
6. Cairan peritoneal, cairan peritonitis akibat bakterial dapat ditunjukan dari
pH dan glukosa yang rendah serta peningkatan protein dan nilai LDH
2) Pemeriksaan Radiologi
1. Foto polos
2. USG
3. CT Scan (eg, gallium Ga 67 scan, indium In 111–labeled autologous
leucocyte scan, technetium Tc 99m-iminoacetic acid derivative scan).
4. Scintigraphy
5. MRI
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup
seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film
ukuran 35 x 43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya
gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi
didapatkan gambaran radiologis antara lain:
1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya
penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal
daerah obstruksi, penebalan dnding usus, gambaran seperti duri ikan
(Herring bone appearance).
2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus.
Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level
pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-panjang
kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh adalah adanya
udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya
air fluid level dan step ladder appearance. Jadi gambaran radiologis pada
ileus obstruktif yaitu adanya distensi usus partial, air fluid level, dan
herring bone appearance.
Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu:
1. Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga
kadang-kadang susah membedakan anatara intestinum tenue yang melebar
atau intestinum crassum.
2. Air fluid level.
3. Herring bone appearance.
Bedanya dengan ileus obstruktif: pelebaran usus menyeluruh sehingga air fluid
level ada yang pendek-pendek (usus halus) dan panjang-panjang (kolon) karena
diameter lumen kolon lebih lebar daripada usus halus. Ileus obstruktif bila
berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik.
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto polos
abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG (ultrasonografi).
Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan
foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus
peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi
adalah:
1. Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line
menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen.
2. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk
bulan sabit (semilunair shadow).
3. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang
paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara
pelvis dengan dinding abdomen.
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada
cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya
udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.
3) X. Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
1. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
2. Usus halus dan usus besar dilatasi.
3. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
3.2 Diagnosa
1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan
jaringan.
2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
dan muntah.
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan
aktif.
5. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder
distensi abdomen dan menghindari nyeri.
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
3.3 Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan
jaringan.
Intervensi Keperawatan
Tindakan/Intervensi Rasional
\is
Mandiri:
1. Selidiki laporan nyeri, catat 1. Perubahan pada
lokasi, lama, intensitas lokasi/intensitas tidak umum
(skala 0-10) dan tetapi dapat menunjukkan
karakteristiknya (dangkal, terjadinya komplikasi. Nyeri
tajam, konstan) cenderung menjadi konstan,
lebih hebat, dan menyebar ke
atas, nyeri dapat lokal bila
terjadi abses.
2. Memudahkan drainase
1. Pertahankan posisi semi cairan/luka karena gravutasi dan
Fowler sesuai indikasi membantu meminimalkan nyeri
karena gerakan.
3. Meningkatkan relaksasi dan
mungkin meningkatkan
1. Berikan tindakan kemampuan koping pasien
kenyamanan, contoh pijatan denagn memfokuskan kembali
punggung, napas dalam, perhatian.
latihan relaksasi atau
1.
visualisasi. 4. Menurunkan mual/muntah yang
1.
dapat meningkatkan tekanan
1.
atau nyeri intrabdomen.
1.
1. Berikan perawatan mulut
1.
dengan sering. Hilangkan
1.
rangsangan lingkunagan
1.
yang tidak menyenangkan
1.
Kolaborasi: 1.
Berikan obat sesuai indikasi: Menurunkan laju metabolik dan iritasi 1.
1. Analgesik, narkotik usus karena toksin sirkulasi/lokal, yang 1.
2. Antiemetik, contoh membantu menghilangkan nyeri dan 1.
hidroksin (Vistaril) meningkatkan penyembuhan. 1.
Catatan: Nyeri biasanya berat dan 1.
3. Antipiretik, contoh memerlukan pengontrol nyeri narkotik, 1.
asetaminofen (Tylenol) analgesik dihindari dari proses 1.
diagnosis karena dapat menutupi 1.
gejala. 1.
Menurunkan mual/munta, yang dapt 1.
meningkatkan nyeri abdomen 1.
Menurunkan ketidaknyamanan 1.
sehubungan dengan demam atau 1.
menggigil. 1.
Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
Intervensi Keperawatan:
Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:
1. Catat faktor risiko individu 1. Mempengaruhi pilihan
contoh trauma abdomen, intervensi
apendisitis akut, dialisa
peritoneal.
2. Kaji tanda vital dengan
sering, catat tidak
membaiknya atau 1. Tanda adanya syok septik,
berlanjutnya hipotensi, endotoksin sirkulasi
penurunan tekanan nadi, menyebabkan vasodilatasi,
takikardia, demam, takipnea. kehilangan cairan dari sirkulasi,
3. Catat perubahan status dan rendahnya status curah
mental (contoh bingung, jantung.
pingsan). 2. Hipoksemia, hipotensi, dan
asidosis dapat menyebabkan
penyimpangan status mental.
1. Catat warna kulit, suhu, 3. Hangat, kemerahan, kulit kering
kelembaban. adalah tanda dini septikemia.
Selanjutnya manifestasi
termasuk dingin, kulit pucat
lembab dan sianosis sebagai
tanda syok.
4. Oliguria terjadi sebagai akibat
1. Awasi haluaran urine. penurunan perfusi ginjal, toksin
dalam sirkulasi mempengaruhi
antibiotik.
5. Mencegah meluas dan
membatasi penyebaran
1. Pertahankan teknik aseptik organisme infektif/kontaminasi
ketat pada perawatan drein silang.
abdomen, luka
insisi/terbuka, dan sisi
invasif. Bersihkan dengan
Betadine atau larutan lain
yang tepat kemudia bilas
dengan PZ. 1. Memberikan informasi tentang
2. Observasi drainase pada status infeksi.
luka. 2. Mencegah penyebaran,
membatasi pertumbuhan bakteri
pada traktus urinarius.
1. Pertahankan teknik steril
bila pasien dipasang kateter,
dan berikan perawatan 1. Menurunkan resiko terpajan
kateter/ atau kebersihan pada/menambah infeksi
perineal rutin. sekunder pada pasien yang
mengalami tekanan imun.
2. Awasi/batasi pengunjung
dan staf sesuai kebutuhan.
Berikan perlindungan isolasi
bila diindikasikan.
Kolaborasi:
1. Ambil contoh/awasi hasil 1. Mengidentifikasikan
pemeriksaan seri darah, mikroorganisme dan membantu
urine, kultur luka. dalam mengkaji keefektifan
prigram antimikrobial.
2. Dilakukan untuk membuang
1. Bantu dalam aspirasi cairan dan untuk
peritoneal, bila mengidentifikasi organisme
diindikasikan. infeksi sehingga tetapi antibiotik
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
dan muntah.
Intervensi Keperawatan :
Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:
1. Awasi haluan selang NG, dan 1. Jumlah besar dari aspirasi
catat adanya muntah atau gaster dan muntah atau diare
diare. diduga terjadi obstruksi usus,
memerlukan evaluasi lanjut.
2. Kehilangan atau peningkatan
dini menunjukkan perubahan
1. Timbang berat badan tiap hari. hidrasi tetapi kehilangan lanjut
diduga ada defisit nutrisi.
3. Meskipun bising usus sering
tak ada, inflamasi atau iritasi
usus dapat
1. Auskultasi bising usus, catat menyertai hiperaktivitas usus,
bunyi tak ada atau hiperaktif. penurunan absorpsi air dan
diare.
4. Adanya kalori (sumber energi)
akan mempercepat proses
penyembuhan.
1. Catat kebutuhan kalori yang 5. Indikasi adekuatnya protein
dibutuhkan. untuk sistem imun.
2. Monitor Hb dan albumin 6. Menunjukan kembalinya
fungsi usus ke normal
Intervensi keperawatan:
Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:
1. Pantau tanda vital, catat 1. Membantu dalam evaluasi
adanya hipotensi (termasuk derajat defisit
perubahan postural), cairan/keefektifan penggantian
takikardia, takipnea, demam. terapi cairan dan respons
Ukur CVP bila ada. terhadap pengobatan.
2. Pertahankan intake dan output 2. Menunjukkan status hidrasi
yang adekuat lalu hubungkan keseluruhan.
dengan berat badan harian.
3. Rehidrasi/ resusitasi cairan
1. Untuk mencukupi kebutuhan
cairan dalam tubuh
1. Ukur berat jenis urine (homeostatis).
2. Menunjukkan status hidrasi
dan perubahan pada fungsi
1. Observasi kulit/membran ginjal.
mukosa untuk kekeringan, 3. Hipovolemia, perpindahan
turgor, catat edema cairan, dan kekurangan nutrisi
perifer/sacral. mempeburuk turgor kulit,
2. Hilangkan tanda bahaya/bau menambah edema jarinagan.
dari lingkungan. Batasi 4. Menurunkan rangsangan pada
pemasukan es batu. gaster dan respons muntah.
2. Menurunkan hiperaktivitas
usus dan kehilangan dari diare.
Tujuan: Pola nafas efektif, ditandai bunyi nafas normal, tekanan O2 dan saturasi
O2normal.
Kriteria Hasil:
1. Pernapasan tetap dalam batas normal
2. Pernapasan tidak sulit
3. Istirahat dan tidur dengan tenang
4. Tidak menggunakan otot bantu napas
Intervensi Keperawatan:
Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:
1. Pantau hasil analisa gas darah 1. Indikator hipoksemia;
dan indikator hipoksemia: hipotensi, takikardi,
hipotensi, takikardi, hiperventilasi, gelisah, depresi
hiperventilasi, gelisah, depresi SSP, dan sianosis penting
SSP, dan sianosis. untuk mengetahui adanya syok
akibat inflamasi (peradangan).
2. Gangguan pada paru (suara
1.
1. Auskultasi paru untuk nafas tambahan) lebih mudah
1.
mengkaji ventilasi dan dideteksi dengan auskultasi.
1.
mendeteksi komplikasi 3. Posisi membantu
1.
pulmoner. memaksimalkan ekspansi paru
1.
2. Pertahankan pasien pada dan menurunkan upaya
1.
posisi semifowler. pernafasan, ventilasi maksimal
1.
membuka area atelektasis dan
1.
meningkatkan gerakan sekret
1.
kedalam jalan nafas besar
1.
untuk dikeluarkan.
1.
1.
4. Oksigen membantu untuk
1.
bernafas secara optimal.
1.
1. Berikan O2 sesuai program
1.
Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
Intervensi:
Tindakan/Intervensi Rasional
1. Evaluasi tingkat pemahaman
klien/orang terdekat tentang 1. Bila penyangkalan ekstem
diagnosa. atau ansietas mempengaruhi
kemajuan penyembuhan,
menghadapi itu klien perlu
dijelaskan dan membuka cara
1. Akui rasa takut/masalah klien penyelesaiannya.
dan dorong mengekspresikan 2. Takut/ansietas menurun klien
perasaan. mulai menerima secara positif
kenyataan dan memiliki
kemauan untuk ‘hidup lagi’.
1. Berikan kesempatan untuk
bertanya dan jawab dengan
jujur. Yakinkan bahwa klien
dan perawat mempunyai
pemahaman yang sama.
2. Terima penyangkalan klien
tetapi jangan dikuatkan.
Vinsensius Bate
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. KONSEP DASAR MEDIS
1. Definisi
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum suatu membrane yang melapisi
rongga abdomen. Peritonitis biasanya terjadi akibat masunya bakteri dari saluran
cerna atau organ-organ abdomen ke dalam ruang perotonium melalui perforasi
usus atau rupturnya suatu organ. (Corwin, 2000).
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum yang biasanya di akibatkan oleh
infeksi bakteri, organisme yang berasal dari penyakit saluran pencernaan atau
pada organ-organ reproduktif internal wanita (Baugman dan Hackley, 2000).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa peritonitis adalah radang
selaput perut atau inflamasi peritoneum baik bersifat primer atau sekunder, akut
atau kronis yang disebabkan oleh kontaminasi isi usus, bakteri atau kimia.
2. Anatomi Fisiologi
Saluran pencernaan di tubuh manusia dimulai dari rongga mulut, esofagus,
lambung, usus halus hingga anus. Sistem pencernaan meliputi :
1. Rongga mulut
Rongga mulut merupakan awal saluran pencernaan, proses pencernaan dimulai
dengan aktivitas mengunyah dimana makanan dipecah ke dalam partikel kecil dan
dicampur dengan enzim-enzim pencernaan. Di dalam mulut terdapat saliva yang
mengandung mukus yang fungsinya membantu melumasi makanan saat dikunyah.
Kemudian saat makanan ditelan epiglotis bergerak menutup lubang trakea untuk
mencegah terjadinya aspirasi makanan ke paru-paru sehingga mengakibatkan
bolus makanan berjalan ke dalam esofagus.
2. Esofagus
Esofagus memiliki panjang + 25 cm dan terletak di mediastinum rongga thorakal,
anterior terhadap tulang punggung dan posterior terhadap trakea dan jantung. Otot
halus di dinding esofagus berkontraksi dalam urutan irama dari esofagus ke arah
lambung untuk mendorong bolus makanan sepanjang saluran. Selama proses
peristaltik esofagus, sfingter esofagus bawah rileks dan memungkinkan bolus
makanan masuk ke lambung kemudian sfingter esofagus menutup dengan rapat
untuk mencegah refluks isi lambung ke dalam esofagus.
3. Lambung
Lambung terletak di bagian atas abdomen sebelah kiri dari garis tengah tubuh,
tepat di bawah diafragma kiri. Lambung adalah suatu kantong yang dapat
berdistensi dengan kapasitas + 1.500 ml. Lambung terdiri dari 4 bagian yaitu
kardia (jalan masuk), fundus, korpus, dan pilorus. Lambung mensekresi cairan
yang sangat asam, cairan ini mempunyai pH serendah 1 dan memperoleh
keasamannya dari asam hidrochlorida yang disekresikan oleh kelenjar lambung.
Fungsi sekresi asam untuk memecah makanan menjadi komponen yang lebih
dapat diabsorbsi dan untuk membantu destruksi bakteri pencernaan. Lambung
dapat menghasilkan sekresi kira-kira 2,4 liter/hari.
4. Usus halus
Usus halus adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada
pilorus dan berakhir pada sekum, memiliki panjang 2/3 dari panjang total saluran
pencernaan. Bagian permukaan usus halus untuk sekresi dan absorbsi. Usus halus
dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
a. Duodenum
Duodenum adalah bagian pertama usus halus yang panjangnya 25 cm berbentuk
sepatu kuda dan kepalanya mengelilingi kepala pankreas. Saluran empedu dan
saluran pankreas masuk ke dalam duodenum pada suatu lubang yang disebut
ampula hepatopankreatika 10 cm dari pilorus.
b. Yeyunum
Yeyunum menempati 2/5 sebelah atas dari usus halus.
c. Ileum
Ileum menempati 3/5 akhir dari usus halus.
Dinding usus halus terdiri atas 4 lapisan yang sama dengan lambung yaitu
a. Dinding lapisan luar adalah membran serosa, yaitu peritoneum yang membalut
usus dengan erat.
b. Dinding lapisan berotot terdiri atas 2 lapisan serabut yaitu lapisan luar terdiri
atas serabut longitudinal, dan di bawahnya yaitu lapisan tebal terdiri dari atas
serabut sirkuler. Diantara kedua lapisan serabut berotot terdapat pembuluh darah,
pembuluh limfe dan plexus saraf.
c. Dinding sub mukosa, terdapat antara otot sirkuler dan lapisan yang terdalam
yang merupakan perbatasannya. Dinding sub mukosa ini terdiri dari jaringan
areolar dan berisi banyak pembuluh darah, saluran limfe, kelenjar dan plexus saraf
yang disebut plexus meissner. Di dalam duodenum terdapat kelenjar bruner yang
mengeluarkan sekret cairan kental alkali yang bekerja untuk melindungi lapisan
duodenum dari pengaruh isi lambung yang asam.
3. Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), penyebab dari peritonitis antara lain :
a. Infeksi bakteri :
Organisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita dari
organ reproduktif internal. Bakteri paling umum yang terkait adalah E. coli,
klebsiella, proteus, dan pseudomonas.
b. Sumber eksternal seperti cedera atau trauma (misal luka tembak atau luka tusuk)
atauinflamasi yang luas yang berasal dari organ diluar peritoneum seperti ginjal.
c. Penyakit gastrointestinal : appendicitis, ulkus perforasi, divertikulitis dan
perforasi usus, trauma abdomen (luka tusuk atau tembak) trauma tumpul
(kecelakaan ) atau pembedahan gastrointestinal..
d. Proses bedah abdominal dan dialisis peritoneal.
4. Patofisiologi
Disebabkan oleh kebocoren dari organ abdomen kedalam rongga abdomen
bisanya sebagai akibat dari inflamasi,infeksi,iskemia, trauma atau perforasi tumor.
Terjadi proliferasi bacterial, yang menimbulkan edema jaringan, dan dalam waktu
yang singkat terjadi eksudasi cairan. cairan dalam peritoneal menjadi keruh
dengan peningkatan protein, sel darah putih, debris seluler dan darah. Respon
segera dari saluran usus adalah hipermotilitas, diikut oleh oleh ileus pralitik,
disertai akumudasi udara dan cairan dalam usus.
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra abdomen
(meningkatkan aktivitas inhibitor activator plasminogen) dan sekuestrasi fibrin
dengan adanya pembentukan jajaring pengikat. Produksi eksudat fibrin
merupakan mekanisme terpenting dari system pertahanan tubuh, sengan cara ini
akan terikat bakteri dalam jumlah yang sangat banyak diantara matrika fibrin.
Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan mekanisme tubuh
yang melibatkan substansi pembentuk abses dan kuman-kuman itu sendiri untuk
menciptakan kondisi abdomen yang steril. Pada keadaan jumlah kuman yang
sangat banyak, tubuh sudah tidak mampu mengeliminasi kuman dan berusaha
mengendalikan penyebaran kuman dengan membentuk kompartemen yang
dikenal sebagai abses.
Masuknya bakteri dalam jumlah besar ini bisa berasal dari berbagai sumber.
Yang paling sering ialah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit visceral atau
intervensi bedah yang merusak keadaan abdomen. Selain jumlah bakteri transien
yang terlalu banyak di dalam rongga abdomen, peritonitis juga terjadi karena
virulensi kuman yang tinggi hingga mengganggu proses fagositosis dan
pembunuhan bakteri dengan neutrofil. Keadaan makin buruk jika infeksinya
disertai dengan pertumbuhan bakteri lain atau jamur.
Bagan Patofisiologi
Bakteri
Streptokokus dan stapilokok eksternal
Masuk saluran cerna
Peradangan sluran cerna
Keluarnya enzim pancreas, asam lambung, empedu
Benda asing, dialysis, tumor
Cedera perforasi saluran cerna
Masuk ke ginjal
Peradangan ginjal
Port de entre benda asing, bakteri
Adanya inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau perforasi tumor
Kebocoran isis dari organ abdomen kedalam rongga abdomen tumor
Terjadi poliferasi bakteri, edema jaringan dan eksudasi cairan tumor
Cairan dalam rongga abdomen menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein,
sel darah putih, debris seluler dan darah
Hipermotilitas, ileus paralitik, akumulasi cairan dan udara dalam usus
Absorpsi menurun
PERITONITIS
Fase penyembuhan
Perlekatan fibrosa
Refluks makan keatas
Mual, muntah, anoreksia
Obstruksi usus
Merangsang aktivitas parasimpatik
Diare
Kekurangan volume cairan
Merangsang pusat nyeri
Nyeri
Perangsang pirogen di hipotalamus
Hipertermi
PERITONITIS
Intake inadekuat
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
5. Klasifikasi
Berdasarkan pathogenesis peritonitis dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
a. Peritonitis bacterial primer
Akibat kontaminasi bacterial secara hematogen pada cavum peritoneum
dan tidak ditemukan focus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat
monomikrobial, biasanya E.coli, Streotokokus atau Pneumococus, peritonitis ini
dibagi menjadi dua yaitu:
· Spesifik : Seperti Tuberculosa.
· Non-spesifik : Pneumonia non tuberculosis dan tonsillitis.
Factor yang beresiko pada peritonitis ini adalah malnutrisi, keganasan intra
abdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah dengan
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis
hepatis dengan asites.
b. Peritonitis bacterial akut sekunder(supurative)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akaut atau perforasi traktus
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umunya organism tunggal tidak akan
menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multiple organism dapat
memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies
bacteroides dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi. Luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat
peritonitis. Kuman dapat berasal:
· Luka trauma atau penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
· Perforasi organ-organ dalam perut. Seperti di akibatkan oleh bahan kimia.
Perforasi usus sehingga feces keluar dari usus. Komplikasi dari proses inflamasi
organ-organ intra abdominal, misalnya appendicitis.
c. Peritonitis Tersier
Peritonitis ini terjadi akibat timbulnya abses atau flagmon dengan atau
tanpa fistula. Yang disebabkan oleh jamur, peritonitis yang sumber kumannya
tidak dapat ditemukan. Seperti disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya
empedu, getah lambung, getah pancreas, dan urine.
d. Peritonitis bentuk lain
6. Manifestasi Klinis
Menurut Corwin (2000), gambaran klinis pada penderita peritonitis adalah
sebagai berikut :
a. Nyeri terutama diatas daerah yang meradang.
b. Peningkatan kecepatan denyut jantung akibat hipovolemia karena perpindahan
cairan kedalam peritoneum.
c. Mual dan muntah.
d. Abdomen yang kaku.
e. Ileus paralitik (paralisis saluran cerna akibat respon neurogenik atau otot
terhadap trauma atau peradangan) muncul pada awal peritonitis.
f. Tanda-tanda umum peradangan misalnya demam, peningkatan sel darah putih
dan takikardia.
g. Rasa sakit pada daerah abdomen
h. Dehidrasi
i. Lemas
j. Nyeri tekan pada daerah abdomen
k. Bising usus berkurang atau menghilang
l. Nafas dangkal
m. Tekanan darah menurun
n. Nadi kecil dan cepat
o. Berkeringat dingin
p. Pekak hati menghilang
7. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (1999), pemeriksaan diagnostic
pada peritonitis adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan darah lengkap : sel darah putih meningkat kadang-kadang lebih
dari 20.000 /mm3. Sel darah merah mungkin meningkat menunjukan
hemokonsentrasi.
b. Albumin serum, mungkin menurun karena perpindaahan cairan.
c. Amylase serum biasanya meningkat.
d. Elektrolit serum, hipokalemia mungkin ada.
e. Kultur, organisme penyebab mungkin teridentifikasi dari darah, eksudat/sekret
atau cairan asites.
f. Pemeriksaan foto abdominal, dapat menyatakan distensi usus ileum. Bila
perforasi visera sebagai etiologi, udara bebas akan ditemukan pada abdomen.
g. Foto dada, dapat menyatakan peninggian diafragma.
h. Parasentesis, contoh cairan peritoneal dapat mengandung darah, pus/eksudat,
amilase, empedu, dan kreatinin.
8. Komplikasi
a. Septikemia dan syok septic.
b. Syok hipovelmia.
c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multi system.
d. Abses residual intraperitoneal
e. Eviserasi luka.
f. Obstruksi usus
g. Oliguri
9. Penatalaksanaan
Menurut Netina (2001), penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai berikut :
a. Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama dari
penatalaksanaan medik.
b. Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah.
c. Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen.
d. Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki fungsi
ventilasi.
e. Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga diperlukan.
f. Therapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian utama).
g. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi ( appendks ), reseksi ,
memperbaiki (perforasi ), dan drainase ( abses ).
h. Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal
10. Pencegahan
Pencegahan peritonitis adalah dengan menjaga kebersihan diri yang baik
11. Prognosis
Menurut Sylvia Price dan Lorraine (2005) penyakit ini baik pada peritonitis
loal dan ringan sedangkan prognosisinya buruk (mematikan) pada peritonitis
generalisata yang disebabkan oleh organisme virulens.
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Pola persepsi dan pemiliharaan kesehatan
a. Riwayat operasi.
b. Riwayat sakit berat.
c. Perilaku mencari bantuan
2. Pola nutrisi metabolik
a. Kebiasaan makan rendah serat
b. Makanan pedas
c. Pola makan tidak teratur
d. Mual
e. Muntah
f. ;’’Anoreksia
g. Distensi
3. Pola eliminasi
a. Konstipasi
b. Diare
4. Pola aktivitas dan latihan
a. Kurang aktivitas
b. Kebiasaan dalam melakukan kegiatan sehari-hari
5. Pola tidur istirahat
a. Kebiasan tidur (berapa lama)
b. Kebiasaan sebelum tidur
c. Gangguan tidur
6. Pola persepsi kognitif
a. Cara pasien mengatasi nyeri.
b. Kurang pengetahuan tentang penyakitnya
7. Pola persepsi diri dan konsep diri
a. Gangguan harga diri
8. Pola peran hubungan sesama
b. Interaksi dengan lingkungan sekitar.
c. Gangguan penampilan peran
9. Pola reproduksi seksual
a. Perubahan pola seksual.
b. Jumlah anak.
c. Libido meningkat atau menurun.
10. Pola koping-toleransi terhadap stres
a. Perepsi penerimaan kesehatan.
b. Gangguan penyesuian diri
11. Pola nilai kepercayaan
a. Berdoa.
b. Sarana ibadah (Kitab Suci)
Menurut Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (1999), pengkajian pada
penderita dengan peritonitis adalah sebagai berikut :
· Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan.
Tanda : Kesulitan ambulasi.
· Sirkulasi
Gejala : Takikardia, berkeringat, pucat, hipotensi (tanda syok).
Edema jaringan.
· Eliminasi
Gejala : Ketidakmampuan defekasi dan flatus, diare (kadang-kadang).
Tanda : Cegukan ; distensi abdomen, abdomen diam.
Penurunan haluaran urin, warna gelap.
Penurunan/tak ada bising usus (ileus), bunyi keras hilang timbul, bising usus kasar
(obstruksi), kekakuan abdomen, nyeri tekan. Hiperesonan/timpani (ileus), hilang
suara pekak diatas hati (udara bebas dalam abdomen).
· Makanan/Cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah, haus.
Tanda : Muntah proyektil.
Membran mukosa kering, lidah bengkak, turgor kulit buruk.
· Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen tiba-tiba berat, umum atau lokal, menyebar ke bahu, terus
menerus oleh gerakan.
Tanda : Distensi, kaku, nyeri tekan.
Otot tegang (abdomen), lutut fleksi, perilaku distraksi, gelisah, fokus pada diri
sendiri.
· Pernapasan
Gejala : Pernapasan dangkal, takipnea.
· Keamanan
Gejala : Riwayat inflamasi organ pelvik (salpingitis), infeksi pasca melahirkan, abses
peritoneal.
B. Diagnosa Keperawatan
Pre- Operasi
1. Nyeri yang berhubungan dengan penumpukan cairan di dalam cavum
peritoneal / abdomen.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan
ekstraseluler, intravaskuler dan area interstisial kedalam usus dan/atau area
peritoneal
3. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan mualk, muntah, gangguan fungsi usus, puasa.
4. Ansietas berhubungan dengan kritis situasi, ancaman kematian, status
hipermetabolik.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber
informasi.
Post-Operasi
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek luka pembedahan.
C. Perencaan Keperawatan
1. Nyeri yang berhubungan dengan penumpukan cairan di dalam
cavum peritoneal / abdomen.
Tujuan : nyeri pasien terkontrol setelah diberi tindakan keperawatan.
Hasil yang diharapkan :
a. Pasien mengatakan nyeri berkurang / terkontrol.
b. Ekspresi wajah pasien tempak rileks.
Rencana Keperawatan :
1) Kaji ulang keluhan nyeri pasien meliputi intensitas, karakteristik, lokasi.
R/ Perubahan lokasi, intensitas nyeri menggambarkan ke arah komplikasi. Nyeri
cenderung menjadi menetap, lebih hebat dan menyebar ke seluruh abdomen
sehingga mempercepat proses peradangan. Nyeri dapat terlokalisasi bila terjadi
abses.
2) Observasi tanda-tanda vital
R/ Nyeri hebat ditandai dengan peningkatan TD dan nadi.
3) Ajarkan tehnik relaksasi yang sesuai dan anjurkan pasien untuk melakukannya
bila nyeri timbul.
R/ Relaksasi mempermudah istrahat dan memperbaiki respon terhadap nyeri.
4) Pertahanka posisi semi fowler sesuai kebutuhan.
R/ Memudahkan cairan dalam kavum abdomen ke bawah mengikuti gaya
gravitasi, mengurangi gannguan dafragma / ketegangan abdomen dan mengurangi
nyeri.
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapy analgetika.
R / Therapi analgetik menurunkan ambang rasa nyeri, sehingga menutupi rasa
sakit selama poses penegakan diagnosa.
3. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan mualk, muntah, gangguan fungsi usus, puasa.
Tujuan : Pemenuhan nutrisi pasien adekuat setelah diberi tindakan keperawatan
Hasil yang diharapkan :
a. Keseimbangan nutrisi terpenuhi.
b. Tidak mengalami penurunan berat badan.
c. Pasien dapat menghabiskan porsi makan yang disediakan.
Rencana tindakan :
1) Kaji bising usus dan adanya flatus.
R/ Menilai fungsi usus normal / tidak.
2) monitor muntah, pengeluaran cairan melalui NGT (bila digunakan).
R/ Muntah atau pengeluaran cairan NGT yang banyak menandakan obstruksi usus
yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
3) Jelaskan pada pasien pentingnya nutrisi bagi tubuh.
R/ Nutrisi penting bagi metabolisme tubuh dan membantu dalam proses
penyembuhan.
4) Berikan nutrisi per parenteral sesuai instruksi.
R/ Membantu pemberian nutrisi sehungga kebutuhan nutrisi pasien tetap terpenuhi.
5) Timbang BB tiap hari.
R/ Mengetahui perubahan status nutrisi pasien.
6) Kolaborasi dengan dokter dan ahli gizi dalam pemberian diet pasien.
R/ Diet yang tepat dan bertahap mengurangi resiko gangguan lambung dan
mencegah komplikasi.
BAB I
PENDAHULUAN
I.3 Tujuan
1) Tujuan Umum
a) Mengetahui anatomi dari organ peritoneum.
b) Mengetahui definisi peritonitis.
c) Mengetahui etiologi peritonitis.
d) Mengetahui klasifikasi dari peritonitis.
e) Mengetahui patofisiologi dari peritonitis.
f) Mengetahui manifestasi Klinis pada peritonitis.
g) Mengetahui pemeriksaan diagnostic pada peritonitis.
h) Mengetahui penatalaksanaaan pada peritonitis.
i) Mengetahui komplikasi pada peritonitis.
j) Mengetahui asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan peritonitis.
I.4 Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.2 Etiologi
1. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi, mengalami perforasi, atau
benda tajam. Preforasi lambung, usus, kandung empedu atau appendix akan
menyebabkan bakteri dan zat kimia yang terdapat pada organ tersebut akan
terkontaminasi dan merusak peritoneum. Bakteri penyebab peritoneum antara lain
:
o Bakteroides
o Escherichia Coli
o Streptococcus
o Pnemokkokus
o Proteus
o Kelompok enterobacter-klebsiella dan mycobacterium tuberkulosa
Zat kimiawi yang dapat merusak peritoneum adalah getah lambung (HCl) dan
pancreas, empedu, darah, urin dan benda asing (bedak yang bersal dari
handscoon)
2. Penyakit radang panggul pada wanita, infeksi pada rahim dan saluran tuba
falopi seperti salpingtis, perforasi tuba falopii atau rupture kista ovarium yang
mungkin disebabkan oleh beberapa jenis kuman (termasuk kuman penyebab
gonore dan infeksi chlamidia).
3. Kelainan hati atau gagal jantung dengan asites.
4. Post operasi. Prosedur pembedahan yang disebabkan cidera pada kandung
empedu, ureter, kandung kemih atau usus (lepasnya anastomosis usus) dapat
menyebabkan perpindahan bakteri ke rongga peritoneum.
5. Dialisis peritoneal. Penyebab tersering adalah infeksi pada pipa saluran
hemodialisa yang menjadi port de entry mikroorganisme.
6. Iritasi tanpa infeksi. Minsalya peradangan pada pancreas (pancreatitis akut) atau
bubuk bedak pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan
peritonitis.
II.3 Klasifikasi
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Complete Blood Count (CBC). Daoat terjadi leukositosis karena adanya infeksi
intra abdomen (leokosit > 20.000 sel/µL) terjadi leucopenia pada pasien yang
mengalami penurunan daya tahan tubuh dan menderita infeksi jamur , serta
cytomegalovirus ; seldarah merah meningkat (Hemokosentrasi)
b. Tes fungsi hati jika ada gangguan liver
c. Serum amylase dan lipase meningkat jika adanya dugaan pancreatitis
d. Serum protein/albumin
e. Slektrolit serum
f. Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih minsalnya
batu ginjal
g. Analisa gas darah (AGD)
2. Raditerapi abdomen
3. USG pelvis
4. Parasintesis abdomen dan CT-Scan dan MRI
II.8 Komplikasi
1. Komplikasi dini
Septicemia, syok septic, syok hipovolemik, sepsis intra abdomen rekuren, abses
residual intraperitoneal dan abses hepar.
2. Kamplikasi lanjut
Adhesi, obsintetinal intestinal rekuren.
Komplikasi pasca operatif yang paling sering terjadi adalah eviserasi luka dan
pembentukan abses.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Tanggal masuk :
………………………………………………………………………......
Ruang/ kelas :
…………………………………………………………………………..
No. Kamar :
…………………………………………………………………………..
Diagnose masuk :
………………………………………………………………………….
III.1.a IDENTITAS
1. Nama :
…………………………………………………………
2. Umur :
…………………………………………………………
3. Jenis kelamin :
…………………………………………………………
4. Agama :
…………………………………………………………
5. Suku/bangsa :
…………………………………………………………
6. Pendidikan :
…………………………………………………………
7. Pekerjaan :
…………………………………………………………
8. Alamat :
…………………………………………………………
9. Penanggung jawab :
…………………………………………………………
1. Keluhan utama :
nyeri kesakitan di bagian perut sebelah kanan dan menjalar ke pinggang.
2. Riwayat penyakit Sekarang :
Peritinotis dapat terjadi pada seseorang dengan peradangan iskemia, peritoneal
diawali terkontaminasi material, sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus
eritematosus, dan sirosis hepatis dengan asites.
3. Riwayat penyakit terdahulu :
Seseorang dengan peritonotis pernah ruptur saluran cerna, komplikasi post
operasi, operasi yang tidak steril dan akibat pembedahan, trauma pada kecelakaan
seperti ruptur limpa dan ruptur hati.
4. Riwayat Alergi :
……………………………………………………………………………………....
..
5. Riwayat kesehatan keluarga :
Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun jika peritonitis ini disebabkan
oleh bakterial primer, seperti: Tubercolosis. Maka kemungkinan diturunkan ada.
6. Susunan Keluarga (genogram)
…………………………………………………………………………….......
2. Pola Eliminasi
a. BAB
· Frekuensi :………………………………………………...
· Konsisten :………………………………………………...
· Warna :………………………………………………...
· Masalah yang dirasakan :
Ketidak mampuan untuk defekasi atau flatus, diare
· Keterangan lainnya :
Distensi abdomen, bising usus menurun, kadang-kadang bising usus meningkat
dan keras, kekakuan abdomen, distensi, peningkatan peristaltic usus.
b. BAK
· Frekuensi :………………………………………………...
· Masalah yang dirasakan :
Cegukan, menurunnya output urine, urine bewarna gelap, dan urun berwarna
pekat.
III.1.d PEMERIKSAAN FISIK
Pernafasan (Respiratory)
Batas normal Hasil pemeriksaan
Bentuk dada simetris, sputum sedikit dan jernih,
ola napas regular, vikal fremitus lapangan paru
tidak meningkat dan tidak menurun, suara Pernapasan dangkal dan takipnea
perkunsi sonor, auskultasi suara nafas vesikuler,
suara tambahan tidak ada.
III.1.f TERAPI
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus
septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan
nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian
volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen,
nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan
tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi :
♫ Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah
jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme
mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga
merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat
pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
♫ Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang
menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup.
Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik
operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi
dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi
peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi,
atau mereseksi viskus yang perforasi.
♫ Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan
menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika (misal
sefalosporin) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
♫ Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa
drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat
menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan
dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan
untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Alessiani, M., Gianola, M., Rossi, S., Perfetti, V., Serra, P., Zelaschi, D., … Cobianchi,
L. (2015). Peritonitis secondary to spontaneous perforation of a primary
gastrointestinal stromal tumour of the small intestine: A case report and a
literature review. International Journal of Surgery Case Reports, 6, 58–62.
http://doi.org/10.1016/j.ijscr.2014.12.012
kesehatan kita_ peritonitis. (n.d.). Retrieved from http://askep-
askepjessy.blogspot.com/2011/02/peritonitis.html
https://donnyprastyo.wordpress.com/2014/03/13/askep-peritonitis/
1 Vote
BAB 1
PENDAHULUAN
Mediator inflamatori
↓
Nekrosis
Nyeri
↓
Gangguan passage usus
Respons mual/muntah
Tujuan:
Pola nafas efektif atau adekuat dalam 1×24 jam
Kriteria hasil:
– Dispneu (-), irama reguler
– RR:12-20x/menit
– SaO2 :>95%.
– BGA dalam batas normal
– TTV dalam batas normal.
– Cianosis (-).
Tujuan:
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan dapat dicegah atau diatasi dalam 2×24
jam
Kriteria hasil:
– BBR:90-100%
– Alb:3,5-5,5 g/dl
– Hb :11-17 g/dl
– Peristatik usus (+)
– Bising usus (+).
– Vomitting (-)
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.M
DENGAN PERITONITIS GENERALISATA e.c. ILEUS OBSTRUKSI e.c
HERNIA UMBILIKALIS INKARSERATA + SHOCK SEPSIS dengan
PEMASANGAN VENTILATOR
DI RUANG OBSERVASI INTENSIF (ROI) IRD
RSUD. Dr. SOETOMO SURABAYA
Kimia klinik/RFL/LFT:
– Creat :4,1mg/dl (0,6-1,1)
– BUN :74 (5-23)
– AST :45 IU/L (5-34)
– ALT :15 IU/L (11-60)
– Tprot :6,0g/dl (3,6-8,3)
– Alb :2,5 g/dl (3,8-5,4)
– T.Bil :0,7 mg/dl
– Dbil :0,2
– In Bil :0,5
– Cl :83,4mmol/L
– Na :130,8
– K :3,03
– Ca :7,8 mg/dl
– Ureum :158,4
– Glob :3,5
c. Radiologi:
USG:(pra operatif)
Tedapat:
– Sludge Gall Bladder
– Myoma Uteri Sub serosa (uk.8,7×6,4cm)+intramural (uk.2,6×2,3cm)+adnesa
kanan nampak kista (uk.4,19×2,64cm)
– Distensi sedang usus dengan penebalan dinding
mukosanya, susp.causainflamation process serta minimal ascites.
– Hernia umbilikalis
Foto Thorak: Kardio megali dan oedem paru, CTR 63%
3.1.5 Analisis Data
TGL
DATA
ETIOLOGI
MASALAH
11-03-2010
S:-
O:
– Dispneu
– Ronci basah +/+
– RR:22x/menit
– Sekret +, encer, warna pink proty
– Terpasang ETT no.7
– Refleks batuk menurun.
– GCS:2X3
S:-
O:
– Dispneu
– RR:22x/menit
– Terpasang ventilator:Mode PCV, PC:14, PEEP:8,FiO2 :100%
– SpO2 :95%.
– BGA :PH :7,44, pCO2 :34, pO2 :190, HCO3 :23,BEecf :-1,1
Oedem paru
¯
Akumulasi cairan interstisiil alveoli
¯
Gangguan difusi O2 dan CO2
¯
Gangguan pertukaran Gas
11-03-2010
S:-
O:
– Dispneu
– RR:22x/menit, irreguler,dangkal.
– Terpasang ventilator:Mode PCV, PC:14, PEEP:8,FiO2 :100%, I :E=1 :2
Oedem paru
¯
Akumulasi cairan interstisiil alveoli
¯
Gangguan difusi O2 dan CO2
¯
Gangguan pertukaran Gas
¯
Demand and supply O2 Inbalance
¯
Ketidakefektifan pola nafas
Ketidakefektifan pola nafas
11-03-2010
S:-
O:
– BB:45 Kg
– Alb:2,5 g/dl
– Hb :7,5g/dl
– Pasien puasa.
– NGT(dekompresi):200cc.
– Bising usus (-)
– Peristaltik usus (-)
Ekspl.Laparotomy
¯
Perubahan fungsi pencernaan(digestif, absorbsi)
¯
Pemenuhan metabolisme sel/jaringan¯
¯
Pembongkaran depo lemak dan atau protein
¯
Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
No
Diagnosa Keperawatan
Intervensi
Tujuan/Kriteria hasil
Rencana Tindakan
Rasional
1
Ketidak efektifan bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret sekunder terhadap
penurunan reflek batuk dan pemasangan ETT.
Tujuan:
Bersihan jalan nafas efektif dalam 15 menit
Kriteria hasil:
– Sekret berkurang
– Ronchi -/-
– Refleks batuk adekuat
– RR dalam batas 12-20x/menit.
– TTV dalam batas normal.
2
Gangguan pertukaran Gas b.d akumulasi cairan interstisiil di alveoli.
Tujuan:
Pertukaran gas efektif atau adekuat dalam 30 menit
Kriteria hasil:
– Dispneu (-), irama reguler
– RR:12-20x/menit
– SpO2 :>95%.
– BGA dalam batas normal
– TTV dalam batas normal.
– Cianosis (-).
Tujuan:
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan dapat dicegah atau diatasi dalam 2×24
jam
Kriteria hasil:
– BBR:90-100%
– Alb:3,5-5,5 g/dl
– Hb :11-17 g/dl
– Peristatik usus (+)
– Bising usus (+).
– Klien dapat BAB.
– Retensi NGT (-)
– Vomitting (-)
11-03-2010/
Pkl :01.00-01.30
1. Melakukan observasi suara nafas, irama, kedalaman, produksi sputum dan
saturasi oksigen.
2. Memberi posisi slight head up/semifowler.
3. Melakukan fisioterapi nafas dan suctioning
4. Kolaborasi mempertahankan setting ventilator (PCV, PC:14, PEEP:8,
F:18X/menit, Trigger:2, I:E=1:2, FiO2:100%)
11-03-2010/
Pkl :02.00-02.15
S:-
O:
– Dispneu
– Ronci basah +/+
– RR:18x/menit
– Sekret +, encer, warna pink proty
– SpO2 :95%.
– Refleks batuk menurun.
– GCS:2×3
A:Masalah belum teratasi
P:Intervensi no:1,2,3,5 dipertahankan.
2
Gangguan pertukaran Gas b.d akumulasi cairan interstisiil di alveoli.
11-03-2010/
Pkl :02.15 – 02.40
1. Mempertahankan patensi jalan nafas.
2. Mempertahankan posisi semifowler.
3. Kolaborasi mempertahankan ventilasi mekanik (PCV, PC:14, PEEP:8,
F:18X/menit, Trigger:2, I:E=1:2, FiO2:100%).
4. Monitoring tanda-tanda vital dan saturasi perifer.
5. Mengambil darah untuk pemeriksaan BGA dan elektrolit.
11-03-2010/
Pkl :02.40-02.50
S:-
O:
– Dispneu
– RR:19x/menit
– N:100X/menit
– TD:113/77mmHg
– Terpasang ventilator:Mode PCV, PC:14, PEEP:8,FiO2 :100%
– SpO2 :95%.
– BGA :PH :7,41,pCO2 :58, pO2 :77, ,BEecf:12,2
A:Masalah belum teratasi
P:Intervensi No:1,2,3,4 dilanjutkan.
3
Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Perubahan
fungsi pencernaan sekunder terhadap pembedahan
11-03-2010/
Pkl :03.00-03.20
1. Identifikasi tingkat perubahan nutrisi.
2. Kolaborasi pemberian nutrisi panenteral D5%.
3. Kolaborasi memberikan injeksi Ranitidin 50 mg (bolus) dan Alinamin F 1 amp
(bolus).
4. Mempertahankan NGT (dekompresi).
Observasi fungsi pencernaan.
6. Monitor tanda-tanda vital.
11-03-2010/
Pkl :03.30-03.20
S:-
O:
– Klien puasa
– Bising usus (-)
– Peristaltik usus (-)
– BB:45 Kg
– Alb:2,5 g/dl
– Hb :7,5g/dl
– NGT(dekompresi):200cc.
A:Masalah belum teratasi
P:Intervensi No.2,3,4,5,6& dilanjutkan.
3
Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Perubahan
fungsi pencernaan sekunder terhadap pembedahan
12-03-2010/
Pkl :08.00-14.00
2. Kolaborasi pemberian nutrisi panenteral D5%.
3. Kolaborasi memberikan injeksi Ranitidin 50 mg (bolus) dan Alinamin F 1 amp
(bolus).
4. Mempertahankan NGT (dekompresi).
5. Observasi fungsi pencernaan.
6. Monitor tanda-tanda vital.
7. Kolaborasi dalam pemberian Albumin 20% 100 cc.
8. Kolaborasi dalam pemberian transfusi PRC 2 kalf (per kalf 350 cc).
12-03-2010/
Pkl :11.00
S:-
O:
– Klien puasa
– Bising usus (-)
– Peristaltik usus (-)
– BB:45 Kg
– Alb:3,0 g/dl
– Hb :10,0 g/dl
– NGT(dekompresi):200cc.
A:Masalah teratasi
P:Intervensi dipertahankan
BAB 4
PEMBAHASAN
BAB 5
PENUTUP
5.1 |Kesimpulan
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Masalah ketidak efektifan bersihan jalan nafas sudah teratasi sebagian dan
rencana tindakan dilanjutkan.
2. Gangguan pertukaran gas sudah membaik setelah oedem parunya menunjukkan
perbaikan.
3. Ketidakefektifan pola nafas sudah menunjukkan perbaikan.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan dapat dicegah, dan intervensi
dipertahankan.
5.2 Saran
1. Laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan acuan dalam
melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan peritonitis generalisata post op
eksplorasi laparotomy.
2. Instansi rumah sakit mampu menggunakan laporan asuhan keperawatan
perawat pelatihan ICU sebagaimana mestinya, dan guna menunjang pelayanan
keperawatan yang optimal.
3. Perawat pelatihan ICU selanjutnya diharapkan dapat memberikan asuhan
keperawatan pada klien peritonitis generalisata post op eksplorasi laparotomy
dengan pertimbagan ALOS (Average Lenght Of Stay) yang lebih pendek dan
meminimalkan INOS (Infeksi Nosokomial).
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Peritonitis adalah suatu peradangan dan peritoneum, pada membrane serosa, pada
bagian rongga perut.
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum – lapisan membrane serosa rongga
abdomen dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronik / kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri
tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular dan tanda – tanda umum
inflamasi.
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput
rongga perut (peritoneum) lapisan membrane serosa rongga abdomen dan dinding
perut bagian dalam.
B. Etiologi
Bila di tinjau dari penyebabnya, infeksi peritonitis terbagi atas penyebab primer
(peritonitis spontan), sekunder (berkaitan dengan proses patologis pada organ
viseral) atau penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal
yang adekuat). Secara umum, infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi
peritonitis infektif (umum) dan abses abdomen.
Infeksi peritonitis relative sulit ditegakkan dan tergantung dari penyakit yang
mendasarinya. Penyebab utama peritonitis adalah spontaneous bacterial peritonitis
(SBP) akibat penyakit hati yang kronik. SBP terjadi bukan karena infeksi
intrabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit
hati kronik. Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal
sehingga terjadi translokasi bakter menuju dinding perut atau pembuluh limfe
mensenterium, kadang – kadang terjadi juga penyebaran hematogen bila telah
terjadi bakterimia. Pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi ialah bakteri
gram negative (40%), escheria choli (7%), klebsiella pnemunae, sepsis
psedomonas, proteus dan gram negatif lainnya (20%). Sementara gram positif,
yakni streptococcus (3%), mikroorganisme anaerob (kurang dari 5%) dan infeksi
campuran beberapa mikroorganisme (10%).
Penyebab lain yang menyebabkan peritonitis sekunder ialah perforasi
appendiksitis, perforasi ulkus peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat
devertikulisis, volvusus atau kanker dan strangulasi colon asenden. Peritonitis
sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis
(infeksi transmural) organ – organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga
peritoneal.
C. Patofisiologi
Reaksi awal peritonium terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Bila bahan – bahan infeksi tersebar luas pada permukaan
peritonium atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonium umum, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul illeus paralitik, kemudian usus menjadi atoni
dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguri.
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra abdomen
(meningkatkan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan sekuestrasi fibrin
dengan adanya pembentukan jaring pengikat. Produksi eksudat fibrin merupakan
mekanisme terpenting dari sistem pertahanan tubuh, dengan cara ini terikat bakteri
dalam jumlah yang sangat banyak diantara matriks fibrin.
Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan mekanisme tubuh
yang melibatkan substansi pembentuk abses dan kuman – kuman itu sendiri untuk
menciptakan keadaan kondisi abdomen yang steril. Pada keadaan jumlah bakteri
yang banyak tubuh tidak mampu mengeliminasi kuman dan berusaha
menghentikan penyebaran kuman dengan membentuk kompartemen –
kompartemen yang dikenal sebagai abses. Masuknya bakteri dalam jumlah besar
itu bisa berasal dari berbagai sumber, yang paling sering ialah kontaminasi bakteri
transien akibat penyakit viseral atau intervensi bedah yang merusak keadaan
abdomen.
Selain jumlah bakteri transien yang terlalu banyak di rongga abdomen, peritonitis
juga terjadi karena virulensi kuman yang tinggi sehingga mengganggu proses
fagositosis dan pembunuhan bakteri dengan neutrofil. Keadaan makin buruk jika
infeksinya dibarengi dengan pertumbuhan bakteri lain atau jamur, misalnya pada
peritonitis akibat koinfeksi bacteriodes fragilis dan bakteri gram negatif (E. Coli).
Isolasi peritonium pada pasien dengan peritonitis menunjukkan jumlah candida
albican yang relatif tinggi, sehingga dengan menggunakan skor apache ii
diperoleh mortalitas tinggi akibat kandidosis tersebut.
D. Manifestasi klinis
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen
dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritonium viseral)
yang makin lama makin jelas lokasinya (peritonitis parietal). Tanda – tanda
peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang
sepsis dapat terjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi.
Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maksimum di tempat
tertentu sebagai sumber infeksi.
Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara
tak sadar untuk menghindari palpitasi karena iritasi peritoneum antisipasi
penderita secara tak sadar untuk menghindari palpitasi karena iritasi peritoneum.
Infeksi dapat meninggalkan jaringan parut dalam bentuk pita jaringan
(perlengketan, adhesi) yang akhirnya bisa menyumbat usus.
E. Komplikasi
1. Penumpukan cairan mengakibatkan penurunan tekanan vena sentral yang
menyebabkan gangguan elektrolit bahkan hipovolemik, syok dan gagal ginjal.
2. Abses peritoneal
3. Cairan dapat mendorong diafragma sehingga menyebabkan kesulitan bernafas.
4. Sepsis
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes laboratorium
- GDA : alkaliosis respiratori dan asidosis mungkin ada.
- SDP meningkat kadang – kadang lebih besar dari 20.000 SDM mungkin
meningkat, menunjukkan hemokonsentrasi.
- Hemoglobin dan hematokrit mungkin rendah bila terjadi kehilangan darah.
G. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan secara umum adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan
memuaskan pasien, pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran cerna
dengan penghisapan nasogratrik atau intestinal, penggantian cairan dan elektrolit
yang hilang yang dilakukan secara intravena, pembungaan focus septic (appendik)
atau penyebab radang lainnya, bila mungkin dengan mengalirkan nanah keluar
dan tindakan – tindakan menghilangkan nyeri.
b. Sirkulasi
Gejala : takikardi, berkeringat, pucat, hipotensi (tanda syok)
Tanda : edema jaringan
c. Eliminasi
Gejala : ketidakmampuan defekasi dan flaktus, diare (kadang – kadang).
Tanda : cegukan, distensi, abdomen diam.
Penurunan haluaran urine, warna gelap
Penurunan atau tidak ada bising usus (ileus), bunyi keras hilang timbul, bising
usus kasar (obstruksi), kekakuan abdomen, nyeri tekan.
Hiperresonan / timpani (ileus) hilang suara pekak di atas hati.
d. Makanan
Gejala ; anoreksia, mual / muntah, haus
Tanda : muntah proyektil
Membran mukosa kering, lidah bengkak, turgor kulit buruk.
e. Nyeri / keamanan
Gejala : nyeri abdomen tiba – tiba berat, umum, lokal, menyebar ke bahu, terus –
menerus oleh gerakan.
f. Pernapasan
Tanda : pernapasan dangkal , takipnea
g. Keamanan
Gejala : riwayat inflamasi organ pelvic (salpingitis), infeksi pasca melahirkan.
B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan akumulasi cairan dalam rongga abdomen
2. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan
3. Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan dari
ekstraseluler, intraseluler ke area peritonium.
5. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan peristaltik
6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan peradangan
C. Rencana Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan akumulasi cairan dalam rongga abdomen
Tujuan : setelah dilakukan perawatan selama 3 x 24 jam nyeri hilang / terkontrol
Kriteria hasil : pasien menyatakan nyeri terkontrol / hilang
Intervensi :
a. Kaji derajat nyeri
Rasional : untuk membandingkan derajat nyeri pada kondisi sebelumnya.
b. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
Rasional : untuk mengontrol keluhan nyeri
c. Berikan tindakan kenyamanan
Rasional : untuk memberikan keuntungan emosional, mengurangi nyeri
d. Kolaborasi pemberian analgetik
Rasional : untuk menghilangkan nyeri
Sumber : http://fatmazdnrs.blogspot.com
Amparita, 14 Dese
MAKALAH PERITONITIS
PERITONITIS
Makalah
Diajukan untuk memenuhi
tugas mata kuliah “KMB I”
Disusun Oleh
Nizal Fajri Juhari
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
karunia-Nya kami telah dapat menyelesaikan makalah ini dalam rangka
melengkapi tugas mata kuliah KMB I.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu baik berupa ide-ide maupun yang terlibat langsung dalam pembuatan
makalah ini. Kami juga berharap agar makalah ini bisa bermanfaat bagi semua
untuk dijadikan penunjang dalam mata kuliah KMB I.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, apabila ada kesalahan atau
kekurangan kami mohon maaf. Kritik dan saran masih sangat terbuka supaya
makalah ini dapat diperbaiki dan menjadi lebih baik lagi untuk berikutnya.
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR …………………………………………………….... i
i
DAFTAR
ISI ……………………………………………………………… iii
BAB I :
PENDAHULUAN …………………………………………………….... 1
A. Latar
Belakang ……………………………………………………………… 1
B. Rumusan
Masalah ……………………………………………………… 1
C. Tujuan ………………………………………………………………………
1
BAB II :
PEMBAHASAN ……………………………………………………… 2
A. Definisi
Peritonitis ……………………………………………………… 2
B. Etiologi ………………………………………………………………………
3
C. Patofisiologi ………………………………………………………………
4
D. Manisfestasi
klinis …………………………………………………….... 6
E. Evaluasi
Diagnostik ……………………………………………………… 6
F. Penatalaksanaan ………………………………………………………………
6
G. Komplikasi ………………………………………………………………
7
H. Tanda dan
gejala ……………………………………………………………… 8
I. Obstruksi
usus ……………………………………………………………… 8
J. Asuhan
Keperawatan ……………………………………………………… 9
BAB III :
PENUTUP ……………………………………………………………… 17
A. Kesimpulan ………………………………………………………………
17
DAFTAR
PUSTAKA ………………………………………………………
18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga
abdomen dan meliputi visera. Biasanya, akibat dari infeksi bakteri : organisme
dari penyakit saluran gastrointestinal atau ,pda wanita , dari organ reproduktif
internal. Peronitis dapat juga akibat dari sumber eksternal seperti cedera atau
trauma (mis. Luka tembak atau luka tusuk) atau oleh inflamasi yang luas yang
bersal dari ogan di luar area pritonium, seperti ginjal. Bakteri paling umum yang
terlibat adalah E. coli, klebsiella, proteus, dan pseudomonas. Inflamasi dan ileus
paralitik adalah efek langsung dan infeksi. Penyebab umum lain dari peritonitis
apendiksitis, ulkus perforasi usus.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Peritonitis?
2. Apa Etiologi Peritonitis?
3. Bagaimana Patofisiologi Peritonitis?
4. Apa Manisfestasi Klinis Peritonitis?
5. Apa Saja Evaluasi Diagnostik Peritonitis?
6. Seperti Apa Penatalaksanaan Peritonitis?
7. Apa Saja Komplikasi Peritonitis?
8. Apa Tanda Dan Gejala Peritonitis?
9. Seperti Apa Obstruksi Usus Peritonitis?
10. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pasa Klien Peritonitis?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi Peritonitis
2. Untuk Mengetahui Etiologi Peritonitis
3. Untuk Mengetahui Patofisiologi Peritonitis
4. Untuk Mengetahui Manisfestasi Klinis Peritonitis
5. Untuk Mengetahui Evaluasi Diagnostik Peritonitis
6. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan Peritonitis
7. Untuk Mengetahui Komplikasi Peritonitis
8. Untuk Mengetahui Tanda Dan Gejala Peritonitis
9. Untuk Mengetahui Obstruksi Usus Peritonitis
10. Untuk Mengetahui Asuhan Keperawatan Pasa Klien Peritonitis
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Peritonitis
Peradangan peritoneum (membran serosa yang melapsi rongga abdomen dan
menutupi visera abdomen) merupakan penyulit berbahaya yang dapat teradi
didalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ abdomen (mis. Apendiksitis, salpingitis), perforasi
saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering
menginfeksi adalah organisme yang hidup didalam kolon (pada kasus rupture
apendiks) yang mencangkup eschericia coli atau bacteroides, sedangkan
stafilokokus dan streptokokus sering kali masuk dari luar.
Reaksi awal dari peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Terbentuk kantong kantong nanah (abses) di antara perlekatan
fibrinosa,yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasnya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi
dapat menetap sebagai fita-fita fibrosa, yang kelak dapat menyebabkan terjadinya
obstruksi usus.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata.
Dengan timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltic berkurang sampai
timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang kedalam lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi,
gangguan sirkulasi, oliguna, dan mungkin syok.
Gejala dan tanda yang terjadi bervariasi bergantung pada luas peritonitis ,
beratnya peritonitis, dan jenis organisme penyebab. Gejala yang terjadi biasanya
adalah :
1. Demam
2. Leukositosis
3. nyeri abdomen (biasanya terus-menerus)
4. muntah dan abdomen yang tegang
5. kaku
6. nyeri tekan lepas
7. dan tanpa bunyi
B. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan etiologi/penyebab timbulnya peritonitis,
yaitu sebagai berikut :
1. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP), akibat penyakit hati kronik. Penyebab
lainnya yakni : peritonitis sekunder, seperti: perforasi apendisitis, perforasi ulkus
peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat diverdikulitis, volvulus dan
kanker, dan strangulasi kolon ascendens.
2. Penyebab iatrogenic, umumnya berasal dari trauma saluran cerna bagian atas
termasuk pancreas, saluran empedu dan kolon kadang juga dapat terjadi dari
trauma endoskopi.
Selain hal tersebut, penyebab peritonitis antara lain yaitu :
a. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi.
Yang sering menyebabkan peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung
empedu, atau usus buntu. Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi.
Jika pemaparan tidak berlangsung terus menuerus, tidak akan terjadi peritonitis,
dan peritoneum cenderung mengalami penyembuhan bila diobati.
b. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan
seksual.
c. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa
jenis kuman atau ruptur (pecahnya) kista ovarium.
d. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bias berkumpul di perut (asites)
dan mengalami infeksi.
e. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan.
f. Cedera pada kandung empedu, ureter, kandung kemih atau usus selama
pembedahan dapat memindahkan bakteri ke dalam perut. Kebocoran juga dapat
terjadi selama pembedahan untuk menyambungkan bagian usus.
g. Dialisa peritoneal ( pengobatan gagal ginjal ) sering mengakibatkan peritonitis.
Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di
dalam perut.
h. Iritasi tanpa infeksi. Misalnya peradangan pancreas (pankreatitis akut) ayau
bubuk bedak pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis
tanpa infeksi.
i. Adanya iritasi bahan kimia, misalnya asam lambung dan perforasi ulkus
gastrikum atau kandung empedu dari kantong yang pecah atau hepar yang
mengalami laserasi.
C. Patofisiologi
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen kedalam
rongga abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi , infeksi, iskemia, trauma,
atau perforasi tumor. Terjadi proliferasi bacterial. Terjadi edema jaringan, dan
dalam waktu singkat terjadi aksudasi cairan. Cairan dalam
rongga peritoneal menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah
putih, debris seluler, dan darah. Respos segera dari saluran usus adalah
hipermotilitas, diikuti oleh ileus paralitik, disertai akumulasi udara dan cairan
dalam usus.
Terdapat kemikiran proses patofisiologi yang terjadi setelah obstruksi usus,
tanpa memandangpenyebab obtruksi yang disebabkan oleh mekanisme atau
fungsional. Perbedaan utamanya adalah pada obtruksi paralitik, peristaltic di
hambat sejak awal, sedangkan pada obstruksi mekanis, awalnya peristaltic
diperkuat, kemudian timbul intermiten, dan akhirnya menghilang.
Dinding usus yang terletak disebelah proksimal dari segmen yang tersembut
secara progresif akan teregang oleh penimbunan cairan dan gas (70% dari udara
yang tertelan) dalam lumen. Distensi berat pada dinding usus akan akan
mengurangi pengaliran air dan natrium dari lumen usus ke darah.
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra abdomen
(meningkatkan aktivitas inhibitor activator plasminogen) dan sekuestrasi fibrin
dengan adanya pembentukan jajaring pengikat. Produksi eksudat fibrin
merupakan mekanisme terpenting dari system pertahanan tubuh, sengan cara ini
akan terikat bakteri dalam jumlah yang sangat banyak diantara matrika fibrin.
Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan mekanisme tubuh
yang melibatkan substansi pembentuk abses dan kuman-kuman itu sendiri untuk
menciptakan kondisi abdomen yang steril. Pada keadaan jumlah kuman yang
sangat banyak, tubuh sudah tidak mampu mengeliminasi kuman dan berusaha
mengendalikan penyebaran kuman dengan membentuk kompartemen yang
dikenal sebagai abses.
Masuknya bakteri dalam jumlah besar ini bisa berasal dari berbagai sumber.
Yang paling sering ialah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit visceral atau
intervensi bedah yang merusak keadaan abdomen. Selain jumlah bakteri transien
yang terlalu banyak di dalam rongga abdomen, peritonitis juga terjadi karena
virulensi kuman yang tinggi hingga mengganggu proses fagositosis dan
pembunuhan bakteri dengan neutrofil. Keadaan makin buruk jika infeksinya
disertai dengan pertumbuhan bakteri lain atau jamur.
Pathway
D. Manisfestasi klinis
Gejala tergantung pada lokasi danluas inflamasi. Manisfestasi klinis awal dari
peritonitis adalah gejala dari gangguan yang menyebabkan kondisi ini. Pada
awalnya nyeri menyebar dan sangat terasa. Nyeri cenderung menjadi konstan,
terlokalisasi, lebih lebih terasa di dekat sisi inflamasi dan biasanya diperberat oleh
gerakan. Area yang sakit dari abdomen menjadi sangat nyerii apabila di tekan, dan
otot menjadi kaku. Nyeri tekan lepas dan ileus paralitik dapat terjadi. Biasanya
terjadi mual dan muntah secara penurunan peristaltic. Suhu dan frekuensi nadi
meningkat, dan hamper selalu terdapat peningkatan jumlah leukosit.
E. Evaluasi Diagnostik
Leukosit akan meningkat . hemoglobin dan hematocrit mungkin rendah bila
terjadi kehilangan darah. Elektrolit serum dapat menunjukan perubahan kadar
kalium, natrium, dan klorida.
Sinar-x dapat menunjukkan udara dan kadar cairan serta lengkung usus yang
terdistensi. Pemindaian CT abdomen dapat menunjukkan pembentukan abses.
Aspirasi peritoneal dan pemeriksaan kultur serta sensitivitas cairan teraspirasi
dapat menunjukkan infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab.
F. Penatalaksanaan
a. Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit adalah focus utama dari penatalaksaan
medis. Beberapa liter larutan isotonic diberikan. Hipovolemia terjdi karena
sejumlah cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus kedalam rongga
peritoneal dan menurunkan cairan dalam ruang vascular.
Terapi yang diberikan untuk mengatasi nyeri :
1. Antiemetic dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah.
2. Intubasi usus dan penghisapan membantu dalam menghilangkan distensi
abdomen dan dalam meningkatkan fungsi usus.
3. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi
secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jaln nafas dan bantuan ventilasi di
perlukan.
4. Terapi antibiotic masif biasanya dimulai diawal pengobatan peritonitis.
b. Pencatatan yang akurat tentang semua asupan dan haluaran serta tekanan vena
sentral membantu dalam menghitung penggantian cairan, cairan intravena harus di
berikan dan dipantau dengan ketat.
c. Tanda-tanda dimana peritonitis mulai pulih mencakup penurunan dalam suhu
dan frekuensi nadi, pelunakan abdomen, kembalinya bising usus, keluarnya
flatus, dan defekasi. Asupan cairan dan makanan akan secara bertahap
ditingkatkan dan cairan parenteral dikurangi.
d. Drain sering dipasang selama prosedur pembedahan, dan pada pascaoperatif ini
penting dimana perawat mengobservasi dan mencatat karakter drainase.
e. Pada pascaoperatif, penting bagi perawat untuk menyiapkan pasien dan
keluarga untuk pulang, mereka harus diajarkan cara merawat insisi dan drain bila
pasien akan dipulangkan dengan drain masih ditempatnya.
f. Pembedahan pada Peritonitis bisa dilakukan dengan laparatomi. Laparatomi
adalah salah satu jenis operasi yang di lakukan pada daerah abdomen. Operasi
laparatomy di lakukan apabila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area
abdomen, misalnya trauma abdomen. Perawatan post laparatomi adalah bentuk
pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani
operasi pembedahan perut.
Tujuan perawatan post laparatomi;
1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.
2. Mempercepat penyembuhan.
3. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.
4. Mempertahankan konsep diri pasien.
5. Mempersiapkan pasien pulang.
Ada 4 cara pembedahan laparatomy yaitu;
a) Midline incision (2,5 cm), panjang (12,5 cm).±
b) Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah (
c) Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy. 4 cm di atas anterior spinal iliaka,
misalnya; pada operasi appendictomy.±
d) Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah
Latihan-latihan fisik seperti latihan napas dalam, latihan batuk, menggerakan otot-
otot kaki, menggerakkan otot-otot bokong, Latihan alih baring dan turun dari
tempat tidur. Semuanya dilakukan hari ke 2 post operasi.
G. Komplikasi
Komplikasi yang timbul dari peritonitis adalah sebagai berikut :
1. Eviserasi Luka.
2. Pembentukan abses.
3. Ketidakseimbangan elektrolit
4. Dehidrasi
5. Asidosis metabolic
6. Alkalosis respiratorik
7. Syok
I. Obstruksi usus
Obstruksi usus dapat didefinisiskan sebagai gangguan (apapun penyebabnya)
aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat bersifat akut
maupun kronis, pasial maupun total.
1. Obstruksi usus kronis biasanya mengenai olon akibat adanya karsinoma atau
pertumbuhan yumor, dan perkembangannya lambat, sebagian besar mengenai
usus halus
2. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan
diagnosis dini dan tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup
Terdapat 2 jenis obstruksi usus yaitu :
1. Non-mekanis (mis. Ileus paralitik atau ileus adinamik), peristaltic usus dihambat
akibat pengaruh toksin atau trauma yang mempengaruhi pengendalian otonom
motilitas usus
2. Mekanis, terjadi obstruksi didalam lumen usus atau obstruksi mural yang
disebabkan oleh tekanan ekstrinsik.
Obstruksi mekanis selanjutnya digolongkan sebagai :
1. Obstruksi mekanis simpleks (hanya terdapat satu tempat obstruksi)
2. Obstruksi lengkung-tertutup (sedikitnya terdapat 2 tempat obstruksi)
J. Asuhan Keperawatan
Pengkajian
a. Pola persepsi dan pemiliharaan kesehatan
1). Riwayat operasi.
2). Riwayat sakit berat.
3). Perilaku mencari bantuan
b. Pola nutrisi metabolic
1). Kebiasaan makan rendah serat
2). Makanan pedas
3). Pola makan tidak teratur
4). Mual
5). Muntah
6). Anoreksia
7). Distensi
c. Pola eliminasi
1). Konstipasi
2). Diare
d. Pola aktivitas dan latihan
1). Kurang aktivitas
2). Kebiasaan dalam melakukan kegiatan sehari-hari
e. Pola tidur istirahat
1). Kebiasaan tidur (berapa lama)
2). Kebiasaan sebelum tidur
3). Gangguan tidur
f. Pola persepsi kognitif
1). Cara pasien mengatasi nyeri.
2). Kurang pengetahuan tentang penyakitnya
g. Pola persepsi diri dan konsep diri
1). Gangguan harga diri
h. Pola peran hubungan sesame
1). Interaksi dengan lingkungan sekitar.
2). Gangguan penampilan peran
i. Pola reproduksi seksual
1). Perubahan pola seksual.
2). Jumlah anak.
3). Libido meningkat atau menurun.
j. Pola koping-toleransi terhadap stress
1). Perepsi penerimaan kesehatan.
2). Gangguan penyesuian diri
k. Pola nilai kepercayaan
1). Berdoa.
2). Sarana ibadah (Kitab Suci)
Menurut Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (1999), pengkajian pada
penderita dengan peritonitis adalah sebagai berikut :
l. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan.
Tanda : Kesulitan ambulasi.
1. Sirkulasi
Gejala : Takikardia, berkeringat, pucat, hipotensi (tanda syok).
Tanda : Edema jaringan.
2. Eliminasi
Gejala : Ketidakmampuan defekasi dan flatus, diare (kadang-kadang).
Tanda : Cegukan ; distensi abdomen, abdomen diam.
Penurunan haluaran urin, warna gelap.
Penurunan/tak ada bising usus (ileus), bunyi keras hilang timbul, bising usus kasar
(obstruksi), kekakuan abdomen, nyeri tekan. Hiperesonan/timpani (ileus), hilang
suara pekak diatas hati (udara bebas dalam abdomen).
3. Makanan/Cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah, haus.
Tanda : Muntah proyektil.
Membran mukosa kering, lidah bengkak, turgor kulit buruk.
4. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen tiba-tiba berat, umum atau lokal, menyebar ke bahu, terus
menerus oleh gerakan.
Tanda : Distensi, kaku, nyeri tekan.
Otot tegang (abdomen), lutut fleksi, perilaku distraksi, gelisah, fokus pada diri
sendiri.
5. Pernapasan
Gejala : Pernapasan dangkal, takipnea.
6. Keamanan
Gejala : Riwayat inflamasi organ pelvik (salpingitis), infeksi pasca melahirkan,
abses peritoneal.
Diagnosa Keperawatan
Pre-Operasi
1. Nyeri yang berhubungan dengan penumpukan cairan di dalam cavum
peritoneal / abdomen.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan
ekstraseluler, intravaskuler dan area interstisial kedalam usus dan/atau area
peritoneal
3. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan mual, muntah, gangguan fungsi usus, puasa.
4. Ansietas berhubungan dengan kritis situasi, ancaman kematian, status
hipermetabolik.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber
informasi.
Post-Operasi
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek luka pembedahan.
Perencaan Keperawatan
Pre-Operasi
1. Nyeri yang berhubungan dengan penumpukan cairan di dalam cavum
peritoneal/abdomen.
Tujuan : nyeri pasien terkontrol setelah diberi tindakan keperawatan.
Hasil yang diharapkan :
a. Pasien mengatakan nyeri berkurang / terkontrol.
b. Ekspresi wajah pasien tempak rileks.
Rencana Keperawatan :
1). Kaji ulang keluhan nyeri pasien meliputi intensitas, karakteristik, lokasi.
R/ Perubahan lokasi, intensitas nyeri menggambarkan ke arah komplikasi. Nyeri
cenderung menjadi menetap, lebih hebat dan menyebar ke seluruh abdomen
sehingga mempercepat proses peradangan. Nyeri dapat terlokalisasi bila terjadi
abses.
2). Observasi tanda-tanda vital
R/ Nyeri hebat ditandai dengan peningkatan TD dan nadi.
3). Ajarkan tehnik relaksasi yang sesuai dan anjurkan pasien untuk melakukannya
bila nyeri timbul.
R/ Relaksasi mempermudah istrahat dan memperbaiki respon terhadap nyeri.
4). Pertahankan posisi semi fowler sesuai kebutuhan.
R/ Memudahkan cairan dalam kavum abdomen ke bawah mengikuti gaya
gravitasi, mengurangi gannguan dafragma / ketegangan abdomen dan mengurangi
nyeri.
5). Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapy analgetika.
R/ Therapi analgetik menurunkan ambang rasa nyeri, sehingga menutupi rasa
sakit selama poses penegakan diagnosa.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan
ekstraseluler, intravaskuler dan area interstisial kedalam usus dan/atau area
peritoneal.
Tujuan : Terjadinya keseimbangan cairan.
Hasil yang diharapkan :
a. Haluaran urin adekuat dengan berat jenis urin stabil.
b. Tanda vital stabil.
c. Membran mukosa lembab, turgor kulit baik, dan pengisian kapiler meningkat,
dan berat badan dalam rentang normal.
Rencana Keperawatan :
1). Pantau tanda vital, catat adanya hipotensi, takikardia, takipnea, demam.
R/ Membantu dalam evaluasi derajat deficit cairan/keefektifan penggantian terapi
cairan dan respon terhadap pengobatan.
2). Pertahankan masukan dan haluaran yang akurat dan hubungkan dengan berat
badan harian.
R/ Menunjukan status hidrasi keseluruhan.
3). Observasi kulit/membran mukosa untuk kekeringan, turgor. Catat edema
perifer/sakral.
R/ Hipovolemia, perpindahan cairan, dan kekurangan nutrisi memperburuk turgor
kulit, menambah edema jaringan.
4). Ubah posisi dengan sering, berikan perawatan kulit dengan sering dan
pertahankan tempat tidur kering dan bebas lipatan.
R/ Jaringan edema dan adanya gangguan sirkulasi cenderung merusak kulit.
5). Kolaborasi : Awasi pemerikasaan laboratorium, contoh Hb/Ht, elektrolit,
protein, albumin, BUN, kreatinin.
R/ Memberikan informasi tentang hidrasi, fungsi organ.
6). Berikan plasma/darah, cairan, elektrolit, diuretik sesuai indikasi.
R/ Mengisi/mempertahankan volume sirkulasi dan keseimbangan elektrolit.
7). Pertahankan puasa dengan aspirasi nasogastrik/intestinal.
R/ Menurunkan hiperaktivitas usus dan kehilangan dari usus.
3. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan mualk, muntah, gangguan fungsi usus, puasa.
Tujuan : Pemenuhan nutrisi pasien adekuat setelah diberi tindakan keperawatan
Hasil yang diharapkan :
a. Keseimbangan nutrisi terpenuhi.
b. Tidak mengalami penurunan berat badan.
c. Pasien dapat menghabiskan porsi makan yang disediakan.
Rencana tindakan :
1). Kaji bising usus dan adanya flatus.
R/ Menilai fungsi usus normal / tidak.
2). Monitor muntah, pengeluaran cairan melalui NGT (bila digunakan).
R/ Muntah atau pengeluaran cairan NGT yang banyak menandakan obstruksi usus
yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
3). Jelaskan pada pasien pentingnya nutrisi bagi tubuh.
R/ Nutrisi penting bagi metabolisme tubuh dan membantu dalam proses
penyembuhan.
4). Berikan nutrisi per parenteral sesuai instruksi.
R/ Membantu pemberian nutrisi sehungga kebutuhan nutrisi pasien tetap
terpenuhi.
5). Timbang BB tiap hari.
R/ Mengetahui perubahan status nutrisi pasien.
6). Kolaborasi dengan dokter dan ahli gizi dalam pemberian diet pasien.
R/ Diet yang tepat dan bertahap mengurangi resiko gangguan lambung dan
mencegah komplikasi.
Post-Operasi
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek luka
pembedahan
Tujuan : integritas kulit pasien kembali adekuat setelah diberi tindakan
keperawatan.
Hasil Yang Di harapkan :
a. Luka tampak mongering dan menunjukan tanda – tanda kesembuhan.
b. Tidak ada tanda –tanda infeksi.
Rencana tidakan :
1). Kaji keadaan luka dan tanda – tanda peradangan.
R/ Adanya tnda peradangan menunjukan keadaan luka belum sembuh.
2) . Anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan daerah sekitar luka.
R/ Kebersihan membantu mencegah terjadinya infeksi.
3). Rawat luka secara aspetik dan antiseptik.
R/ Perawatan luka dengan tepat mencegah penyebaran infeksi dan mempercepat
proses penyembuhan luka .
4). Beri makanan berkualitas secara bertahap.
R/ Makanan yang berkualitas mempercepat penyembuhan
5). Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian anti biotik.
R/ Therapi antibiotik membantu pemnyembuhan dan mencgah infeksi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum suatu membrane yang melapisi
rongga abdomen. Peritonitis biasanya terjadi akibat masunya bakteri dari saluran
cerna atau organ-organ abdomen ke dalam ruang perotonium melalui perforasi
usus atau rupturnya suatu organ. (Corwin, 2000).
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen kedalam rongga
abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi , infeksi, iskemia, trauma, atau
perforasi tumor. Terjadi proliferasi bacterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam
waktu singkat terjadi aksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritoneal menjadi
keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler, dan
darah. Respos segera dari saluran usus adalah hipermotilitas, diikuti oleh ileus
paralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus.
DAFTAR PUSTAKA
ASKEP PERITONITIS
ASKEP PERITONITIS
________________________________________
PENGKAJIAN
1. Nyeri abdomen dan kekakuan di atas area inflamasi
• Nyeri lepas
• Dapat menyebar ke bahu
2. Distensi abdomen
3. Anoreksia
4. Mual, muntah
5. Bising usus menurun sampai hilang
6. Tidak dapat mengeluarkan feses atau flatus
7. Menggigil, demam
8. Takikardia
9. Hipotensi
10. Lekositosis
11. Ansitas
12. Pernapasan torakal, cepat dan dangkal
13. Emesis fekal.
Pemeriksaan Diagnostik ...
Pemeriksaan Diagnostik :
1. Jumlah darah lengkap :
• Lekosit meningkat sampai 20.000/mm3
2. Pemeriksaan radiologis abdomen.
3. Aspirasi peritoneal.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx. 1 :
“Perubahan volume cairan yang berhubungan dengan peningkatan aliran darah ke
peritonium, muntah dan atau perforasi gastrointestinal”
Intervensi :
1. Pertahankan puasa, kaji status hidrasi
2. Pantau tanda vital dan CVP setiap jam, observasi tanda syok.
3. Pertahankan cairan parenteral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin.
4. Timbang berat badan setiap hari dengan waktu, pakaian dan timbangan yang
sama.
5. Ukur masukan dan haluaran setiap 8 jam, ukur haluaran urine setiap jam, bila
kurang dari 30 sampai 50 ml/jam beritahu dokter.
6. Bantu dalam aspirasi/lavase peritoneal.
7. Pantau elektrolit, gas darah, Hb dan Ht.
8. Lakukan latihan rentang gerak pasif atau bantu dan ajarkan.
Kriteria evaluasi :
Pasien akan menunjukkan :
1. Hidrasi yang adekuat dengan turgor kulit normal dan membran mukosa
lembab.
2. Tanda vital stabil.
3. Masukan dan haluaran seimbang.
Dx. 2 :
“Ketidakefektifan pola napas sekunder terhadap nyeri abdomen dan distensi”.
Intervensi :
1. Kaji status pernapasan, pantau terhadap adanya pernapasan dangkal dan
cepat.
2. Pertahankan tirah baring dalam lingkungan yang tenang dengan kepala
ditinggikan 350 – 450 .
3. Pantau terapi oksigen
4. Bantu dan ajarkan pasien untuk membalik dan batuk setiap 4 jam dan napas
dalam setiap 1 sampai 2 jam.
5. Auskultasi bunyi napas setiap 4 jam.
Kriteria Evaluasi :
Pasien akan :
1. Menunjukkan pernapasan dan bunyi napas normal.
2. Mendemonstrasikan kemampuan untuk melakukan latihan pernapasan.
Dx. 3 :
“Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
muntah dan kurang masukan”.
Intervensi :
1. Pantau selang nasogastrik atau selang usus naso-oral; sambungkan ke alat
penghisap rendah intermitten.
2. Pantau karakter, jumlah, warna dan bau drainase.
3. Pantau terhadap keluarnya flatus
4. Auskultasi abdomen terhadap bising usus setiap 8 jam.
5. Pantau NPT sesuai indikasi.
6. Bila bising usus kembali dan selang nasogastrik-usus diangkat, berikan diet
cairan jernih sesuai toleransi.
Kriteria Evaluasi :
Pasien akan :
1. Mengungkapkan tidak ada mual/muntah.
2. Mentoleransi diet dengan adekuat.
Dx. 4 :
Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi dan distensi.
Intervensi :
1. Kaji tipe, lokasi dan beratnya nyeri.
2. Berikan analgesik setelah diagnosis dibuat
3. Kaji keefektifan tindakan penghilang nyeri.
4. Pertahankan posisi nyaman untuk meminimalkan stres pada abdomen dan
ubah posisi dengan sering.
5. Berikan periode istirahat yang terencana
6. Diskusikan dan ajarkan pilihan teknik penatalaksanaan nyeri.
Kriteria Evaluasi :
Pasien akan :
1. Mengungkapkan tidak ada nyeri atau nyeri berkurang.
2. Menunjukkan kemampuan melaksanakan teknik penatalaksanaan nyeri.
Dx. 5 :
“Ansitas yang berhubungan dengan krisis situasi”.
Intervensi :
1. Kaji tingkat ansitas.
2. Kaji keterampilan koping saat ini
3. Jelaskan semua tindakan dan prosedur
4. Beri penguatan atas penjelasan dokter tentang penyakit dan tindakan.
5. Bantu dan ajarkan teknik relaksasi
6. Diskusikan dan ajarkan pilihan teknik penatalaksanaan nyeri.
Kriteria Evaluasi :
Pasien akan :
1. Mengekspresikan perasaan dan pemahaman cara koping positif.
2. Menunjukkan lebih relaks dan nyaman.
PENGERTIAN
Peritonitis Sekunder
Gambaran :
1. Kuman yang masuk banyak biasa dari GIT dan imun klien
2. Kuman campuran, aerob dan anaerob
3. Adanya sumber infeksi intraperitoneal; apendisitis, difertikulitis,
salpingitis kolesistisis, pankreastitis.
4. Dapat dari trauma yang menyebabkan rupture pada GIT atau perforasi
setelah endoskopi, biopsy
5. Dapat terjadi keganasan GIT
6. Tertelannya benda asing dan tajam
7. Sangat nyeri
8. Tidak berani bergerak saat tidur
9. Napas pendek
10. Awalnya tensi turun sedikit dan nadi lebih cepat, kemudian masuk dalam
renjatan dengan nadi kecil dan cepat
11. Hipovolemia
12. Abdomen tegang
ANATOMI PATOLOGI
Peritoneum adalah lapisan mesotel yang meliputi rongga perut (peritoneum
iritabel) dan alat tubuh dalam rongga perut (peritoneum viserale) berasal dari
lapisan mesoderm embrional. Fungsi peritoneum ialah sebagi suatu membrane
permeable untuk dialysis yang terus menerus mebuat dan megabsorsi cairan jernih
serta memisahkan zat-zat satu dengan lainnya. Dengan masuknya bakteri ke
peritoneum akan menyebakan peradangan, peritoneum dapat terjadi perlengketan
dan penumpukan caiaran (ascites).
Pada peritonitis baik akut / kronik merata atau setempat,basah atau kering oleh
kuman atau cara infeksinya dibedakan atas :
1. melalui perforasi tukak / alat tubuh yang meradang hal ini disebabkan
kuman peritonitis. Pada peritonitis oleh radang kandung empedu sangat
keras mula-mula local pada kuadran atas, kemudian merata, eksudat
coklat, abses meluas ke bawah diafragma menjadi abses subfrenik,
peritonitis local oleh parasit. Pankreasitis akut hemoragika menyebabkan
enzim pancreas merembes keluar masuk peritoneum. Enzim proteolitik
dan lipolitik menimbulkan radang dan penghancuran jaringan, sehingga
akibat daya enzim lipase terjadi pembebasan asam lemak terikat di
kalsium dan tampat sebagai bercak putih dan lemak dan terapung diatas
cairan semu yang terapung di peritoneum. Setelah itu terjadi permeasi
kuman dari dinding usus dan terjadi radang.
2. secara langsung (melalui tuba falopi, operasi steril, kemasukan talcum
fenetum, kecelakaan).
3. secara hematogen (merupakan komplikasi area sekitar), (Himawan,
Sutisna, 1996).
PATOFISIOLOGI
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen (missal, appendicitis, salpingitis )
rupture saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering
menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon pada kasus rupture
apendik, sedangkan stapilokok dan streptokok sering masuk dari luar.
Reaksi awal peritoneum terhadap infasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrosa. Abses terbentuk antara perlekatan fibrosa yang menempel menjadi satu
dengan permukaan sekitarnya membatasi infeksi . bila infeksi menghilang maka
perlekatan juga ikut menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita fibrosa yang
kelak dapat mengakibatkan obstruksi usus.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permuaan peritoneum dapat
mengakibatkan peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,
aktifitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus menjadi atoni
dan meregang. Caiaran dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatakan
dehidrasi, shock, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlengketan dapat terbentuk
antara lengkung-lengkung usus yang merengang dan terjadi obstruksi usus,
( Price,S.A,1995).
PATHWAY
Download Pathway Peritonitis Click here
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dari pasien peritonitis adalah :
Nyeri terlalu lama diatas daerah yang meradang
Peningkatan kecepatan denyut jantung akibat hipovolemia karena
perpindahan cairan kedalam peritoneum.
Mual muntah.
Abdomen yang kaku.
Uleus paralitikus.
Demam, takikardia, peningkatan sel darah putih.
Suhu tubuh dan nadi meningkat, (Corwin, 2001).
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan adanya peradangan peritoneum
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
dengan gangguan absorpsi nutrient
3. Kekurangan volume cairan berhubungandengan kehilangan banyak
melalui rute normal (diare dan muntah).
INTERVENSI
1. Nyeri berhubungan dengan adanya peradangan peritoneum
Kriteria Hasil :
Keluhan nyeri berkurang
Pasien dapat beristirahat tidur.
Pasien dapat melakukan aktivitas sesuai kemampuan
Posting Komentar