Vous êtes sur la page 1sur 35

SUMBER Ajaran Islam itu ada tiga, yakni Al-Quran, Hadits (As-Sunnah), dan Ijtihad.

Ajaran yang tidak


bersumber dari ketiganya bukan ajaran Islam.

Sumber ajaran Islam pertama dan kedua (Al-Quran dan Hadits/As-Sunnah) langsung dari Allah SWT dan
Nabi Muhammad Saw. Sedangkan yang ketiga (ijtihad) merupakan hasil pemikiran umat Islam, yakni para
ulama mujtahid (yang berijtihad), dengan tetap mengacu kepada Al-Quran dan As-Sunnah.

1. Sumber Ajaran Islam: Al-Quran

Secara harfiyah, Al-Quran artinya “bacaan” (qoroa, yaqrou, quranan), sebagaimana firman Allah dalam
Q.S. 75:17-18:

“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengum-pulkannya dan ‘membacanya’. Jika Kami telah selesai
membacakannya, maka ikutilah ‘bacaan’ itu”.

Al-Quran adalah kumpulan wahyu atau firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw,
berisi ajaran tentang keimanan (akidah/tauhid/iman), peribadahan (syariat), dan budi pekerti (akhlak).

Al-Quran adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw, bahkan terbesar pula dibandingkan mukjizat
para nabi sebelumnya. Al-Quran membenarkan Kitab-Kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum
yang telah ditetapkan sebelumnya.

“Tidak mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah. Akan tetapi ia membenarkan kitab-kitab yang
sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang ditetapkannya. Tidak ada keraguan di dalamnya dari
Tuhan semesta alam” (Q.S. 10:37).

“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Quran itulah yang benar, membenarkan kitab-
kitab sebelumnya...” (Q.S. 35:31).

Al-Quran dalam wujud sekarang merupakan kodifikasi atau pembukuan yang dilakukan para sahabat.
Pertama kali dilakukan oleh shabat Zaid bin Tsabit pada masa Khalifah Abu Bakar, lalu pada masa Khalifah
Utsman bin Affan dibentuk panitia ad hoc penyusunan mushaf Al-Quran yang diketuai Zaid. Karenanya,
mushaf Al-Quran yang sekarang disebut pula Mushaf Utsmani .

2. Sumber Ajaran Islam: Hadits/As-Sunnah

Hadits disebut juga As-Sunnah . Sunnah secara bahasa berarti "adat-istiadat" atau "kebiasaan"
( traditions ). Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, dan penetapan/persetujuan serta kebiasaan
Nabi Muhammad Saw. Penetapan (taqrir) adalah persetujuan atau diamnya Nabi Saw terhadap
perkataan dan perilaku sahabat.

Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dijelaskan Al-Quran dan sabda Nabi Muhammad
Saw.
“Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu (Muhammad)
sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasa berat hati
terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima sepenuh hati” (Q.S. 4:65).

“Apa yang diberikan Rasul (Muhammad) kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya maka
tinggalkanlah” (Q.S. 59:7).

“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian berpegang teguh dengan keduanya)
kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah-ku.” (HR. Hakim dan Daruquthni).

“Berpegangteguhlah kalian kepada Sunnahku dan kepada Sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku” (H.R.
Abu Daud).

Sunnah merupakan “penafsir” sekaligus “juklak” (petunjuk pelaksanaan) Al-Quran. Sebagai contoh, Al-
Quran menegaskan tentang kewajiban shalat dan berbicara tentang ruku’ dan sujud. Sunnah atau Hadits
Rasulullah-lah yang memberikan contoh langsung bagaimana shalat itu dijalankan, mulai takbiratul
ihram (bacaan “Allahu Akbar” sebagai pembuka shalat), doa iftitah, bacaan Al-Fatihah, gerakan ruku,
sujud, hingga bacaan tahiyat dan salam.

Ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup, beliau melarang para sahabatnya menuliskan apa yang
dikatakannya. Kebijakan itu dilakukan agar ucapan-ucapannya tidak bercampur-baur dengan wahyu (Al-
Quran). Karenanya, seluruh Hadits waktu itu hanya berada dalam ingatan atau hapalan para sahabat.

Kodifikasi Hadits dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (100 H/718 M), lalu disempurnakan
sistematikanya pada masa Khalifah Al-Mansur (136 H/174 M). Para ulama waktu itu mulai menyusun
kitab Hadits, di antaranya Imam Malik di Madinah dengan kitabnya Al-Mutwaththa, Imam Abu Hanifah
menulis Al-Fqhi, serta Imam Syafi’i menulis Ikhtilaful Hadits, Al-Um, dan As-Sunnah.

Berikutnya muncul Imam Ahmad dengan Musnad-nya yang berisi 40.000 Hadits. Ulama Hadits terkenal
yang diakui kebenarannya hingga kini adalah Imam Bukhari (194 H/256 M) dengan kitabnya Shahih
Bukhari dan Imam Muslim (206 H/261 M) dengan kitabnya Shahih Muslim. Kedua kitab Hadits itu
menjadi rujukan utama umat Islam hingga kini. Imam Bukhari berhasil mengumpulkan sebanyak 600.000
hadits yang kemudian diseleksinya. Imam Muslim mengumpulkan 300.000 hadits yang kemudian
diseleksinya.

Ulama Hadits lainnya yang terkenal adalah Imam Nasa'i yang menuangkan koleksi haditsnya dalam Kitab
Nasa'i, Imam Tirmidzi dalam Shahih Tirmidzi, Imam Abu Daud dalam Sunan Abu Daud, Imam Ibnu Majah
dalam Kitab Ibnu Majah, Imam Baihaqi dalam Sunan Baihaqi dan Syu'bul Imam, dan Imam Daruquthni
dalam Sunan Daruquthni.

3. Sumber Ajaran Islam: Ijtihad

Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara
jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Pelakunya disebut
Mujtahid .

Kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum atau ajaran Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah,
diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab
antara Nabi Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman.

“Bagaimana memutuskan perkara yang dibawa orang kepada Anda?”

“Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Quran.”

“Dan jika di dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”

“Jika begitu, hamba akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.”

“Dan jika Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah Rasulullah?”

“Hamba akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikit
pun.”

“Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati Rasulullah!”

Hadits tersebut diperkuat sebuah fragmen peristiwa yang terjadi saat-saat Nabi Muhammad Saw
menghadapi akhir hayatnya. Ketika itu terjadi dialog antara seorang sahabat dengan Nabi Muhammad
Saw.

“Ya Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?”

“Kamu punya Al-Quran!”

“Ya Rasulallah! Tetapi walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan petunjuk tidak
menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat, petunjuk, dan ajaran, dan jika
Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah, siapakah yang akan menjadi petunjuk kami?”

“Berbuatlah seperti aku berbuat dan seperti aku katakan!”

“Tetapi Rasulullah, setelah Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul yang tidak dapat timbul
selama hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami lakukan dan apa yang harus dilakukan orang-
orang sesudah kami?”

“Allah telah memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai alat setiap orang dan akal sebagai
petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan tinjaulah sesuatu dan rahmat Allah akan selalu membimbing
kamu ke jalan yang lurus!”

Ijtihad adalah “sarana ilmiah” untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak secara tegas
ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah.

Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad, sepanjang ia menguasai Al-Quran, As-
Sunnah, sejarah Islam, juga berakhlak baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya diakui umat Islam. Hasil
Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa. Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau kolektif, maka
hasilnya disebut Ijma’ atau kesepakatan. Wallahu a'lam .

IJTIHAD SEBAGAI METODE KAJIAN ISLAM

A. PENGERTIAN IJTIHAD

ijtihad dapat dipahami menurut bahasa ( lughah,

etimologis) dan menurut istilah

(terminologis). Menurut bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada.

Kata ini beserta

seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasanya, sulit

dilaksanakan, di luar jangkauan kemampuan atau yang tidak disenangi. Kata ini pun

berarti kesanggupan (al-wus’),

kekuatan (al-thaqah), dan berat al-masyaqqah)

(Ahmad bin Ahmad bin ‘Ali al-Muqri al-Fayuin, t.th: 112, dan Elias A. Elias dan Ed. E.

Elias, 1982: 126).

Para ulama mengajukan redaksi yang bervariasi dalam mengartikan kata ijtihad

secara bahasa. Ahmad bin Ahmad bin Ali al-Muqri al-Fayumi (t.th: 112) menjelaskan

bahwa ijtihad secara bahasa adalah: pengerahan kesanggupan dan kekuatan yang

luar biasa dari seorang mujtahid dalam melakukan pencarian suatu supaya sampai

kepada ujung yang ditujunya (Atang Abdul Hakim, dkk, 2000: 96). Sedangkan menurut

al-Syaukani (t.th: 250), secara etimologis, ijtihad memiliki arti pembicaraan mengenai

pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa saja.

Jika pengertian ijtihad secara bahasa dilacak dalam Alquran, maka dapat

ditemukan bahwa kata “ jahada”

terdapat di dalam Alquran surat al-Nahl [16] ayat

38, surat al-Nur [24] ayat 53, dan surat Fathir [35] ayat 42. Semua kata itu berarti
pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wns’i wa al-thaqah), atau

juga berarti berlebihan dalam bersumpah (al-mubalaghat fi al-yamin).

Sedangkan dalam al-Sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya

“pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa

(fajtahidu fi al-du’a) ” .

Dan hadis lain yang artinya “Rasul Allah Saw bersungguh-sungguh (yajtahid) pada

sepuluh hari terakhir bulan Ramadan (Atang Abdul Hakim, 2000 : 96).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ijtihad menurut bahasa

adalah percurahan segenap kesanggupan untuk mendatangkan sesuatu dari berbagai

urusan atau perbuatan. Kata ijtihad berasal dari kata jahada

yang artinya berusaha

keras atau berusaha sekuat tenaga; kata ijtihad yang secara harfiah mengandung

arti yang sama, Secara teknis, ijtihad ditetapkan bagi seorang ahli hukum yang dengan

kemampuan akalnya berusaha keras untuk menentukan pendapat di lapangan hukum

mengenai hal yang pelik dan meragukan.

Menurut Mahmud Syaltout (dalam Abuy Sodikin, 2000 : 65), ijtihad artinya

sama dengan Ar-ra’yu, yang perinciannya meliputi :

a. Pemikiran arti yang dikandung oleh Alquran dan Sunnah;

b. Mendapat ketentuan hukum sesuatu yang tidak ditunjukan oleh nash dengan

sesuatu masalah . Pencerahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ amalitentang
masalah yang tidak ditunjukkan hukumnya oleh suatu nash secara

langsung.Ada sebagian ulama ada yang menyamakan ijtihad dengan qiyas; Akan tetapi,pendapat ini
ditolak oleh Imam al-Ghazali yang mengatakan bahwa ijtihad itu lebihumum daripada qiyas (Wahbah al-
Zuhaili, 1978: 481).Para ulama bersepakat tentang pengertian ijthad secara bahasa, tetapiberbeda
pandangan mengenai pengertiannya secara istilah (terminologi). Pengertianijtihad secara istilah muncul
belakangan, yaitu pada masa

tasyri’ dan masa sahabat.


Perbedaan ini meliputi hubungan ijtihad dengan fikih, ijtihad dengan Alquran, ijtihad

dengan al-Sunnah, dan ijtihad dengan dalalah nash (Jalaluddin Rakhmat, 1989: 33).

Menurut Abu Zahrah (t.th: 379), secara istilah, arti ijtihad dipahami sebagai

upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum

‘amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.

Sedangkan menurut al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili (1978: 480),

ijtihad ialah pengerahan segala kemampuan untuk menentukan hukum-hukum syara

secara dzanny .

dianalisa, definisi ijtihad sebagaimana dijelaskan di atas, secara tersirat

menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada bidang fikih, bidang hukum yang

berkenaan dengan amal; bukan bidang pemikiran. Oleh karena itu, menurut ulama

fikih, ijtihad tidak terdapat pada ilmu kalam dan tasawuf. Di samping itu, ijtihad

berkenaan dengan dalil zhanni,

sedangkan ilmu kalam menggunakan dalil qaath’i.

Hal ini senada dengan pendapat Ibrahim Hosen, yang selanjutnya dikutip oleh

Jalaluddin Rakhmat (1989: 33), yang mengatakan bahwa cakupan ijtihad hanyalah

bidang fikih. Selanjutnya, Hosen mengatakan, pendapat yang menyatakan bahwa

ijtihad secara istilah juga berlaku di bidang akidah atau akhlak, jelas tidak bisa

dibenarkan.

Berbeda dengan Hosen, Harun Nasution menjelaskan bahwa pengertian ijtihad

hanya dalam lapangan fikih, adalah ijtihad dalam pengertian sempit. Dalam arti luas,

menurutnya, ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah, tasawuf, dan filsafat.

Senada dengan Harun Nasution, Ibrahim Abbas al-Dzarwi (1983: 9) mendefinisikan

ijtihad sebagai pengerahan dan upaya untuk suatu maksud tertentu.

Sebenarnya, tidak hanya Harun Nasution dan al-Dzarwi, Fakhruddin al-Razy,


Ibnu Taimiyah dan Muhammad al-Ruwaih pun tidak membatasi ijtihad pada bidang

fikih saja. Menurut menurt Fakhruddin, ijtihad ialah pengerahan kemampuan untuk

memikirkan apa saja yang tidak mendatangkan celaan (Jalaluddin Rakhmat; 1989:

33).

Dari definisi ijtihad seperti digambarkan di atas terlihat beberapa persamaan

dan perbedaan. Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut :

Pertama, terletak pada penggunaan bahasa; sebagian menggunakan kata

istifrag dan sebagian lagi menggunakan kata badzl.

Kedua, terletak pada subjek ijtihad; sebagian ada yang dinisbatkan kepada

mujtahid yang berkonotasi bahwa lapangan ijtihad itu tidak hanya bidang fikih,

tetapi juga menyangkut berbagai persoalan.

Ketiga, terletak pada metode ijtihad. Ada yang menggunakan

metode manquli

(dari Alquran dan al-Sunnah), yaitu metode yang mengikuti

(ittiba’) metode Rasul

Allah Saw, yang selalu menunggu wahyu dalam menyelesaikan setiap persoalan (Q.S.

al-Najm [53]: 3-4). Sebagian lagi menggunakan metode ma’quli

(berdasarkan ra’y

dan akal), yaitu metode ini berdasarkan asumsi bahwa Rasulullah Saw diperbolehkan

melakukan ijtihad (Q.S. al-Hasyr [59]: 2).

Adapun persamaan-persamaannya adalah sebagai berikut :

Pertama, hukum yang dihasilkan bersifat zhanni; dan

Kedua, objek ijtihad berkisar seputar hukum taklifi, yaitu hukum yang

berkenaan dengan amaliah ibadah (Muhaimin, dkk: 1994; 188-189).

Dalam lapangan hukum Islam terdapat dua jenis hukum: Hukum yang qath’i
dan hukum yang zhanni. Para ulama sepakat bahwa ijtihad hanya boleh dilakukan

pada jenis hukum yang kedua, pada hukumhukum yang bersifat zhanni. Di sinilah

terdapat ruang gerak ijtihad. Mengingat pentingnya penjelasan tentang kedua jenis

hukum berikut uraian pendapat Muhammad al-Madani yang dikuip Jalaluddin Rahmat

(1992:197-198) :

Pertama, adalah hukum-hukum qath’i yang ditetapkan oleh dalil dalil

kekukuhannya. Tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat, tidak ada ikhtilaf

padanya, jenis ini meliputi:

1. Akidah yang qath’i, yang wajib diimani karena tegaknya dalil yang meyakinkan,

baik dari segi tsubutnya maupun dilalahnya. Inilah garis pemisah antara muslim

dan non muslim. Siapa yang menolak satupun darinya, ia menjadi keluar dari

ikatan Islam. Misalnya tauhid, diutusnya para rasul, diturunkan kitab-kitab,

ditutupnya kenabian dengan Muhammad Saw, kebangkitan sesudah mati, balasan

amal dari hari akhirat, bahwa Allah bersifat Maha Sempurna, terpelihara dari

segala kekurangan, dan bahwa Rasul tidak mungkin berdusta, menyembunyikan

atau hianat dan lain-lainnya. Di sini orang tidak diperkenankan ijtihad, untuk

memberikan penafsiran yang lain, yang mengubah atau membatalkannya.

2. Hukum-hukum amaliah yang didatangkan syariat secara jelas dan gamblang,

berupa tuntutan, larangan atau pilihan. Misalnya, wajibnya shalat, zakat, shaum

ramadhan, haji bagi yang mampu, shalat lima waktu sehari semalam, bilangan

rakaat tertentu, haramnya membunuh tanpa hak, memakan harta yang bathil,

menuduh yang tidak bersalah, zina, menimbulkan kerusakan di bumi dan

sebagainya.

3. Kaidah-kaidah umum, yang diambil dari syariat dengan nash yang jelas, atau

ditarik (di- istinbath ) sesudah penelitian yang seksama, dan diketahui bahwa
syariat menjadikannya sebagai dasar-dasr hukumnya. Misalnya tidak

memudaratkan dan tidak dimudaratkan, Allah tidak menjadikan kesulitan bagimu

dalam agama, Allah tidak disembah kecuali dengan apa yang disyariatkan, semua

muamalah bebas kecuali yang dilarang dan sebagainya.

Kedua , adalah jenis hukum-hukum atau penalaran yang tidak ditetapkan secara

jelas dan qath’i, baik periwayatannya maupun artinya. Hukum-hukum ini dipahami

karena adanya isyarat yang menunjuk ke arah situ, sehingga timbul perbedaan paham,

perbedaan perspektif, baik karena hal yang berkaitan dengan periwayatan ataupun

penunjukan. Inilah yang dijadikan syariat tempat ijtihad para mujtahidin. Inilah

tempat penalaran, pemikiran, pertimbangan, pertarjihan, penelaahan, perkiraan

kemaslahatan, kebaikan serta perubahan keadaan. Sebagai contoh :

1. Di bidang ilmu kalam. Perbedaan pandangan mengenai qadha dan qadhar, ta’wil

tentang wajah, tangan dan mata tuhan, kemungkinan kaum mukminin melihat

Allah dan sebagainya.

2. Di bidang hukum fikih. Perbedaan pendapat fuqaha tentang ukuran susuan yang

diharamkan untuk melakukan ikatan pernikahan, hukum qishash bagi yang

membunuh terpaksa, pernikahan tanpa izin wali, dan sebagainya.

3. Di bidang kaidah ushul dan fikih yang mengklasifikasikan hukum: Ikhtilaf tentang

nasikh mansukh dalam Alquran, menggunakan qiyas, beramal berdasarkan akal,

mendahulukan hadits ahad dari pada qiyas dan sebagainya.

Pendapat al-Madani di atas cukup jelas membedakan antara hukum-hukum

yang qath’i (yang bukan menjadi lapangan ijtihad) dan yang zhanni (yang menjadi

ruang gerak ijtihad). Namun kelihatannya pendapat tesebut baru pada tataran

permukaan. Pada hukum-hukum yang menurut al-Madani qath’i ternyata baru

gerbangnya saja, belum masuk ke wilayah yang lebih luas. Misalnya, tentang
“Pengakuan/keyakinan adanya kebangkitan sesudah mati” dan “balasan amal di

akhirat” disebut sebagai qath’i. Pada tataran bahwa dua hal itu akan terjadi, betul

qath’i. Tapi jika masuk lebih dalam dari dua masalah itu akan terdapat hal yang

zhanni. Misalnya, tentang kebangkitan sesudah mati, apakah yang bangkit itu

jasmaninya, rohaninya atau jasmani dan rohaninya. Dalam hal balasan di akhirat,

apakah berupa pisik atau non pisik?. Dalam sejarah kalam, falsafat dan tasawuf

ternyata terjadi ikhtilaf setelah para ahli melakukan ijtihad masing-masing.

Begitu pula dalam masalah hukum-hukum amaliah atau fikih, betul tidak ada

bahasan dan pertentangan tentang zakat, puasa, shaum, haji hukumnya wajib.

Tapi jika masuk lebih dalam akan nampak terdapat hal-hal yang bersifat zhanni dalam

bidang yang oleh al-Madani dianggap qath’i. Misalnya, zakat yang wajib itu di

dalamnya masih memerlukan ijtihad, mustahik zakat yang sembilan itu masih bisa

dipahami berbeda, begitu juga haji wajib bagi yang mampu, tapi bagaimana

pelaksanaannya di tanah suci, banyak terjadi perbedaan. Tidak syak lagi bahwa

lapangan ijtihad masih terus terbuka sekalipun dalam bidang akidah.

Sesungguhnya al-Madani pun dalam bidang-bidang tertentu mewaspadainya,

sebagaimana pernyataannya, bahwa ia sering menemukan orang-orang yang meng qath’i -kan yang
zhanni atau men-zhani-kan yang qath’i. Perbedaan pengambiln

sahabat yang meriwayatkan hadits serta penafsiran konsep imamah atau wilayah

telah dianggap sebagai perbedaan pada qath’iyat antara Ahlussunah dan Syiah.

Khawarij yang mengafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, atau

sebagian kaum Wahabi yang memusyrikan tabarruk dan tawassul, telah menganggap

qath’i pada yang zhanni. Sementara itu, orang-orang yang menganggap boleh menolak

ahlussunah sama sekali, menghalalkan minuman keras, berijtihad yang melawan nash

adalah orang-orang yang men-zhanni-kan yang qath’i. Pada pemahaman tentang

perbedaan yang zhanni dan qath’i inilah terletak kendala ijtihad, Sehingga diperlukan
kriteria bagi mujtahid.

Metodologi Studi Islam

B. LANDASAN BERIJTIHAD

Dalam Alquran, banyak ditemukan dalil yang menjadi dasar hukum ijtihad Di

antara ayat Alquran yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa

kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah

Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang

yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (Q.S. al-

Nisa [4]: 105)

... sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda

bagi kaum yang berpikir. (Q.S. al-Rum [30]: 21)

Selanjurnya, lihat pula surat al-Zumar [39] ayat 42 dan surat al-Jatsiyah [45]

ayat 13.

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang)

yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang

telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai

waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tandatanda

kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (Al-Zumar:42).

“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di

bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang

demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum

yang berfikir.” (Al-Jatsiyah:13).

Adapun Sunnah yang menjadi dasar ijtihad di antaranya adalah hadis ‘Amr bin

al-’Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad bersabda:

“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian

dia benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan

hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala”. (Muslim,

II, t.th: 62)

Metodologi Studi Islam

Hadis lain yang dijadikan dasar ijtihad ialah hadis Mu’adz bin Jabal ketika ia

diutus oleh Nabi ke Yaman sebagai hakim :

“Dengan apa kamu memutuskan perkara Mu’adz?” Mu’adz menjawab:

“Dengan sesuatu yang terdapat di dalam kitab Allah.” Nabi bersabda: “Kalau

kamu tidak mendapatkannya dari kitab Allah?” Mu’adz menjawab: “Saya akan

memutuskannya dengan sesuatu yang telah diputuskan oleh Rasul Allah.”

Nabi berkata: “Kalau kamu tidak mendapatkan sesuatu yang telah diputuskan

oleh Rasul Allah?” Mu’adz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pikiran

saya.” Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq

kepada utusan dari rasul-Nya.” (‘Ali Hasab Allah, 1971: 82).

Berijtihad berarti menggunakan segenap potensi nalar (akal) dalam menentukan

suatu hukum. Islam merupakan agama yang sangat menghargai akal. Banyak ayatayat

Alquran yang menyatakan suruhan untuk mempergunakan akal, sebagaimana

dapat dilihat dari arti ayat-ayat di bawah ini, yaitu:

“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi: dan silih bergantinya malam

dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (Q.S. 3 :190).

“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisl Allah ialah

orang yang pekak dan tuli yang mengerti apapun” (Q.S. 8:22).

Dalam beberapa keterangan dijelaskan, bahwa ijtihad juga dilakukan para


sahabat ketika Abu Bakar menjadi khalifah. Pada waktu itu terdapat sekelompok

umat Islam yang tidak membayar zakat fitrah, Abu Bakar melakukan tindakan dengan

memerangi mereka, tindakan Abu Bakar tersebut pada mulanya tidak disetujui oleh

Umar bin Khattab. Umar bin Khattab beralasan dengan menggunakan sabda Nabi,

yang artinya :

“Saya diperintahkan untuk memerangi orang banyak (yang mengganggu Islam)

sehingga mereka mau mengucapkan kalimah syahadat. Kalau mereka telah

mengucapkannya, terjagalah darah dan harta mereka, kecuali dengan cara

yang benar”.

Syariat Islam (Arab: ‫ ﺷﺮﻳﻌﺔ ﺇﺳﻼﻣﻴﺔ‬Kata syara' secara etimologi berarti "jalan-jalan yang bisa di tempuh air",
maksudnya adalah jalan yang di lalui manusia untuk menuju allah. Syariat Islamiyyah adalah hukum atau
peraturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Islam. Selain berisi hukum, aturan dan
panduan peri kehidupan, syariat Islam juga berisi kunci penyelesaian seluruh masalah kehidupan
manusia baik di dunia maupun di akhirat.

Sumber Hukum Islam

Al-Qur'an

Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman. [1] Selain sebagai sumber
ajaran Islam, Al Qur'an disebut juga sebagai sumber pertama atau asas pertama syara'.

Al Qur'an merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah
diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al Qur'an dari waktu ke waktu telah berkembang
tafsiran tentang isi-isi Al Qur'an namun tidak ada yang saling bertentangan.

Al-Hadist

Hadits terbagi dalam beberapa derajat keasliannya, diantaranya adalah:

Shaheh

Hasan

Dhaif (lemah)

Maudu' (palsu)
Hadits yang dijadikan acuan hukum hanya hadits dengan derajat shaheh dan hasan , kemudian hadits
dhaif menurut kesepakatan ulama salaf (generasi terdahulu) selama digunakan untuk memacu gairah
beramal (fadhilah amal) masih diperbolehkan untuk digunakan oleh ummat Islam. Adapun hadist dengan
derajat maudu dan derajat hadist yang di bawahnya wajib ditinggalkan, namun tetap perlu dipelajari
dalam ranah ilmu pengetahuan.

Perbedaan al-qur'an dan al-Hadist adalah al-qur'an, merupakan kitab suci yang berisikan kebenaran,
hukum hukum dan firman Allah, yang kemudian dibukukan menjadi satu bundel, untuk seluruh umat
manusia. Sedangkan al-hadist, merupakan kumpulan yang khusus memuat sumber hukum Islam setelah
al Qur'an berisikan aturan pelaksanaan, tata cara ibadah, akhlak, ucapan yang dinisbatkan kepada Nabi
Muhammadf saw. Walaupun ada beberapa perbedaan ulama ahli fiqih dan ahli hadist dalam memahami
makna di dalam kedua sumber hukum tersebut tapi semua merupakan upaya dalam mencari kebenaran
demi kemaslahatan ummat , namun hanya para ulama mazhab (ahli fiqih) dengan derajat keilmuan tinggi
dan dipercaya ummat yang bisa memahaminya dan semua ini atas kehendak Allah.

Ijtihad

Ijtihad adalah sebuah usaha para

ulama, untuk menetapkan sesuatu putusan hukum Islam, berdasarkan al Qur'an dan al Hadist. Ijtihad
dilakukan setelah Nabi Muhammad wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada dia tentang
sesuatu hukum maupun perihal peribadatan. Namun, ada pula hal-hal ibadah tidak bisa di ijtihadkan.
Beberapa macam ijtihad, antara lain :

Ijma' , kesepakatan para ulama

Qiyas , diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya

Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat

'Urf , kebiasaan

Terkait dengan susunan tertib syariat, al Qur'an dalam surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa
sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan
mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu, secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu
perkara yang Allah dan rasul-Nya belum menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan
sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat al Qur'an dalam Surat Al Maidah [2]
yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.

Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah
itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk
dalam kategori Asas Syara' (ibadah

Mahdhoh) dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara' (Ghoir Mahdhoh).

Asas Syara' (Mahdhoh)


Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam al Qur'an atau al Hadits. Kedudukannya
sebagai Pokok Syari'at Islam di mana al Qur'an itu asas pertama Syara` dan al Hadits itu asas kedua
syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia di manapun berada, sejak kerasulan
Nabi Muhammad hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.

Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat
Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang
membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak
diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika
keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang berlaku.

Furu' Syara' (Ghoir Mahdhoh)

Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam al Quran dan al Hadist. Kedudukannya
sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali
diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah
kekuasaannya. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara

ijtihadiyah .

Referensi

1. ^ "...dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa
berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui." (Saba'
34:28)

2. ^ "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu
diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (Al-Maidah 5:101)

SYARIAT ISLAM

“Adalah melalui Syariah, yang umumnya diterjemahkan sebagai “Hukum Islam”, (agama) Islam
diekspresikan dalam masyarakat Muslim…Syariah telah menerjemahkan Islam dengan tepat. Jika Islam
berarti tunduk kepada Kehendak Allah, maka Syariah adalah jalan yang menunjukkan bagaimana sikap
tunduk itu diwujudkan, peta rute yang sesungguhnya mengenai agama sebagai sebuah cara hidup. Oleh
karena itu bagi banyak orang Muslim, Islam adalah Syariah dan Syariah adalah Islam”. (Ziauddin Sardar,
Desperately Seeking Paradise , London, Granta Books, 2004, h. 216-217)

Introduksi

Pada abad 21 ada himbauan yang semakin besar untuk menerapkan Syariah di Barat, terutama di Inggris
Raya, dan agar Syariah diterapkan dengan seutuhnya di banyak negara dengan mayoritas penduduk yang
adalah orang Muslim. Syariah adalah sebuah kata Arab yang berarti “jalan”. Pada masa kini kata itu
digunakan dalam pengertian “Hukum Islam”, yaitu sebuah sistem yang terperinci dari hukum religius
yang dikembangkan oleh para sarjana Muslim dalam tiga abad permulaan Islam. Hukum ini
mengekspresikan cara hidup Islam – lebih banyak daripada Qur’an – dan merupakan kunci untuk
memahami Islam.

Syariah meliputi semua aspek kehidupan dan tidak memisahkan antara wilayah sekuler dari wilayah
religius. Sayriah memberikan kerangka kerja yang mencakup hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal
yang dilarang, ritual-ritual dan perintah-perintah yang menjadi panduan bagi seorang Muslim untuk
menjalani kehidupannya. Banyak orang Muslim yang percaya bahwa Syariah menjaga mereka dari
(berbuat) dosa seperti pagar atau sebuah penghalang di jalan. Syariah juga merupakan sebuah penanda
identitas yang memisahkan orang Muslim dari orang non-Muslim. Syariah sangat mempengaruhi
tingkah-laku dan cara pandang banyak orang Muslim, bahkan di negara-negara sekuler dimana Syariah
tidak mempunyai peranan dalam pembentukan hukum disana.

Norma Ilahi yang sempurna

Banyak orang Muslim percaya bahwa Syariah adalah hukum yang diwahyukan Tuhan, sempurna dan
kekal, mengikat individu-individu, kekompok masyarakat dan negara dalam semua detilnya. Oleh karena
itu mereka percaya bahwa kritik apapun terhadap Syariah adalah sesat/bidat. Banyak orang Muslim
Sunni yang percaya bahwa Syariah sangat tidak bisa diubah, walaupun kelompok Syiah mengijinkan
adanya kemungkinan untuk menginterpretasi dan mengadaptasikannya ke dalam keadaan-keadaan yang
baru.

Orang Muslim yang menyangkali validitas Syariah atau mengkritiknya dalam cara apapun dipandang
sebagai non-Muslim (kafir atau murtad) oleh kaum tradisionalis dan Islamis. Oleh karena itu mereka
menghadapi ancaman penganiayaan sebagai orang yang murtad, dan kejahatan seperti ini, berdasarkan
syariah harus dihukum mati.

Perkembangan dan karakteristik Syariah

Syariah mensistematisir semua tindakan manusia

Syariah adalah sebuah sistem legal yang kompleks yang bersumber dari teks-teks Qur’an dan hadith
(catatan tradisi perkataan dan perbuatan Muhammad) melalui interpretasi, komentari dan kasus hukum.
Syariah diciptakan dalam sebuah konteks dalam mana orang-orang Muslim memegang kekuasaan politik,
dan dengan demikian kurang memberikan petunjuk bagi orang-orang Muslim yang hidup sebagai kaum
minoritas di bawah (pemerintahan) orang non-Muslim.

Syariah berusaha menggambarkan secara terperinci semua kemungkinan perbuatan manusia,


membaginya menjadi halal dan haram. Kemudian membaginya lagi ke dalam berbagai tingkatan yang
baik atau jahat, seperti apa yang diwajibkan, dianjurkan, netral, merupakan pilihan atau dilarang. Syariah
merupakan kumpulan peraturan, yang mengatur secara terperinci segala sesuatu yang berkenaan
dengan hidup rohani, ibadah, ritual penyucian, pernikahan dan warisan, pelanggaran kriminal,
perdagangan dan tingkah-laku pribadi hingga ke detil yang sekecil-kecilnya. Syariah juga mengatur
pemerintahan dalam negara Islam dan hubungannya dengan non-Muslim dalam negara tersebut
sebagaimana juga dengan musuh-musuh di luar negeri.

Ketika mendengar kata syariat Islam, apa yang terlintas di dalam benak anda? Potong tangan dan rajam?
Ataukah kasih sayang dan keadilan Allah terhadap makhluk ciptaan-Nya? Jawaban itu kembali kepada
tingkat keimanan kita. Seberapa tinggi tingkat keimanan kita tentunya sejalan juga dengan tingkat
pemahaman kita terhadap hukum Allah tersebut.

Pengertian Syariat Islam

Syari’at, bisa disebut syir’ah, artinya secara bahasa adalah sumber air mengalir yang didatangi manusia
atau binatang untuk minum. Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya datang ke sumber air mengalir atau
datang pada syari’ah. Kemudian kata tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang
diturunkan untuk manusia.

Kata “syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau “istara’a” berarti membentuk syari’at
atau hukum. Dalam hal ini Allah berfirman, “Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad
dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.”

[QS. Al-Maidah (5): 48]

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) tentang urusan itu (agama),
maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang yang tidak mengetahui.” [QS. Al-
Maidah (5): 18].

“Allah telah mensyari’atkan (mengatur) bagi kamu tentang agama sebagaimana apa yang telah
diwariskan kepada Nuh.” [QS. Asy-Syuuraa (42): 13].

Sedangkan arti syari’at menurut istilah adalah hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt.
melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang,
dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.

Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at Islam (asy-syari’atul
islaamiyatu), istilah bentukan ini berarti syari’at Islam adalah hukum-hukum peraturan-peraturan) yang
diturunkan Allah swt. untuk umat manusia melalui Nabi Muhammad saw. baik berupa Al-Qur’an maupun
Sunnah Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.

Terkadang syari’ah Islam juga dimaksudkan untuk pengertian Fiqh Islam. Jadi, maknanya umum, tetapi
maksudnya untuk suatu pengertian khusus. Ithlaaqul ‘aammi wa yuraadubihil khaashsh (disebut umum
padahal dimaksudkan khusus).

Pembagian Syari’at Islam

Hukum yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. untuk segenap manusia dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
1. Ilmu Tauhid , yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan dasar-dasar keyakinan
agama Islam, yang tidak boleh diragukan dan harus benar-benar menjadi keimanan kita. Misalnya,
peraturan yang berhubungan dengan Dzat dan Sifat Allah swt. yang harus iman kepada-Nya, iman
kepada rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan iman kepada hari akhir termasuk di
dalamnya kenikmatan dan siksa, serta iman kepada qadar baik dan buruk. Ilmu tauhid ini dinamakan juga
Ilmi Aqidah atau Ilmu Kalam.

2. Ilmu Akhlak , yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendidikan dan penyempurnaan
jiwa. Misalnya, segala peraturan yang mengarah pada perlindungan keutamaan dan mencegah
kejelekan-kejelekan, seperti kita harus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang
berdusta dan berkhianat.

3. Ilmu Fiqh, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan
hubungan manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh mengandung dua bagian: pertama, ibadah, yaitu yang
menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak sah (tidak
diterima) kecuali disertai dengan niat. Contoh ibadah misalnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua,
muamalat, yaitu bagian yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan antara manusia dengan
sesamanya. Ilmu Fiqh dapat juga disebut Qanun (undang-undang).

Tujuan Syariat Islam

Menurut buku “Syariah dan Ibadah” (Pamator 1999) yang disusun oleh Tim Dirasah Islamiyah dari
Universitas Islam Jakarta, ada 5 (lima) hal pokok yang merupakan tujuan utama dari Syariat Islam, yaitu:

1. Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din)

Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab yang hendak
merusak aqidah, ibadah dan akhlak umat. Ajaran Islam memberikan kebebasan untuk memilih agama,
seperti ayat Al-Quran:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al-Baqarah [2]: 256).

Akan tetapi, untuk terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya rahmatan lil’alamin, maka Allah SWT telah
membuat peraturan-peraturan, termasuk larangan berbuat musyrik dan murtad:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain
dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempesekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An-Nisaa [4]: 48).

Dengan adanya Syariat Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas.

2. Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)

Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah hukum qishash yang
merupakan suatu bentuk hukum pembalasan. Seseorang yang telah membunuh orang lain akan
dibunuh, seseorang yang telah mencederai orang lain, akan dicederai, seseorang yang yang telah
menyakiti orang lain, akan disakiti secara setimpal. Dengan demikian seseorang akan takut melakukan
kejahatan. Ayat Al-Quran menegaskan:

“Hai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu qishash (pembalasan) pada orang-orang
yang dibunuh…” (QS Al-Baqarah [2]: 178).

Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan oleh yang bersangkutan, atau daiat (ganti
rugi) telah dibayarkan secara wajar. Ayat Al-Quran menerangkan hal ini:

“Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik dan hendaklah
(orang yang diberi maaf) membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)” (QS
Al-Baqarah [2]: 178).

Dengan adanya Syariat Islam, maka pembunuhan akan tertanggulani karena para calon pembunuh akan
berpikir ulang untuk membunuh karena nyawanya sebagai taruhannya. Dengan begitu, jiwa orang
beriman akan terpelihara.

3. Memelihara akal (Hifzh al-‘aqli)

Kedudukan akal manusia dalam pandangan Islam amatlah penting. Akal manusia dibutuhkan untuk
memikirkan ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah (sunnatullah) menuju manusia kamil. Salah satu
cara yang paling utama dalam memelihara akan adalah dengan menghindari khamar (minuman keras)
dan judi. Ayat-ayat Al-Quran menjelaskan sebagai berikut:

“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai khamar (minuman keras) dan judi.
Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
kedua-duanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 219).

Syariat Islam akan memelihara umat manusia dari dosa bermabuk-mabukan dan dosa perjudian.

4. Memelihara keturunan dan kehormatan

(Hifzh al-nashli)

Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Didalam Syariat Islam telah jelas
ditentukan siapa saja yang boleh dinikahi, dan siapa saja yang tidak boleh dinikahi. Al-Quran telah
mengatur hal-hal ini:

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah [2]:
221).

“Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,
dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman
kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur [24]: 2).

Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik (dengan cambuk) dan emosional (dengan
disaksikan banyak orang) agar para pezina bertaubat.

5. Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)

Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih aman, karena Islam
mengenal hukuman Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki. Seperti yang tertulis di dalam Al-Quran:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagaimana)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi
Maha Bijaksana”

(QS Al-Maidah [5]: 38).

Hukuman ini bukan diberlakukan dengan semena-mena. Ada batasan tertentu dan alasan yang sangat
kuat sebelum diputuskan. Jadi bukan berarti orang mencuri dengan serta merta dihukum potong tangan.
Dilihat dulu akar masalahnya dan apa yang dicurinya serta kadarnya. Jika ia mencuri karena lapar dan
hanya mengambil beberapa butir buah untuk mengganjal laparnya, tentunya tidak akan dipotong
tangan. Berbeda dengan para koruptor yang sengaja memperkaya diri dengan menyalahgunakan
jabatannya, tentunya hukuman berat sudah pasti buatnya. Dengan demikian Syariat Islam akan menjadi
andalan dalam menjaga suasana tertib masyarakat terhadap berbagai tindak pencurian.

Keistimewaan Syariat Islam

“ Maka Kami jadikan yang demikian itu hukuman yang berat bagi orang-orang pada masa itu, dan bagi
mereka yang datang kemudian, serta menjadi peringatan bagi orang-orang yang bertakwa .” (QS Al-
Baqarah [2]: 66).

Dalam Islam berlaku kaidah, “Tidak ada hukuman kecuali oleh sebab adanya pelanggaran, dan tidak ada
pelanggaran kecuali adanya nash.” Jadi, harus ada nash terlebih dahulu baru sebuah perbuatan itu dapat
dikatagorikan sebagai pelanggaran, kemudian diberlakukan hukuman bagi mereka yang melanggar.

Dari sini kita akan dapat memahami betul Ke-Mahaadilan. Allah SWT yang menyatakan: “ Dan Kami tidak
akan mengazab hingga Kami utus rasul terlebih dahulu.” (QS. Al Israa’, 17 : 15). Allah SWT tidak akan
pernah memberikan siksa atau azab kepada orang-orang kafir dan ahli maksiat di neraka nanti kecuali
setelah Allah mengutus rasul kepada mereka untuk menjelaskan tentang syariat-Nya.

Orang-orang yang Islamfobia mencoba memanfaatkan kata, “Nakaala” dalam ayat tersebut di atas yang
bermakna “Hukuman yang berat” dengan menyebarkan fitnah terhadap Syariat Islam dengan
menyatakan, bahwa Syariat Islam itu terkesan kejam, keras, bertentangan dengan HAM, tidak
manusiawi, tidak adil, zalim dan bermacam-macam tuduhan lainnya. Dan, ironisnya tidak jarang
pernyataan semacam ini muncul dari orang-orang yang mengaku muslim, bahkan kadung dijuluki
Cendekiawan Muslim.

Benarkah hukum Allah itu keras sebagaimana yang mereka tuduhkan? Untuk menjawab tuduhan mereka
yang tidak beralasan tersebut, maka perlu dipaparkan beberapa “keistimewaan Syariat Islam” sebagai
pedoman hidup. Paling tidak, ada “empat” keistimewaannya.

Pertama, bahwa dalam Islam kekuasaan “mutlak” itu hanya di tangan Allah. Kekuasaan menetapkan
hukum itu hanya pada Allah, tidak pada perorangan, golongan, partai maupun pada kesepakatan seperti
yang terjadi pada sistim demokrasi. Dalam Syariat Islam yang berhak menetapkan aturan dan hukum
hanya Allah,“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah” (QS. Al A’raaf, 7:54). Juga
firman Allah SWT pada QS. Al An’aam ayat 57; Asy Syuraa ayat 10 dan An Nisaa’ ayat 105. Maka salah
satu bentuk kesesatan oorang-orang Yahudi dan Nasrani di antaranya adalah ketika, “Mereka menjadikan
orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (QS. At Taubah, 9:31).

Kalau kita berbicara tentang hukum, maka hanya hukum Allah-lah yang pasti adil, sedangkan hukum yang
dibuat manusia sudah pasti zalim. Kenapa hukum yang dibuat manusia itu zalim? Karena tatkala manusia
membuat aturan dan hukum, maka faktor subjektifitas manusianya (hawa nafsunya) ikut mempengaruhi
aturan dan hukum yang dibuatnya. Inilah salah satu perbedaan yang paling mendasar antara syariat
Allah dan hukum buatan manusia.

Mengapa hukum Allah itu pasti adil? Karena Allah pada saat membuat aturan tidak punya kepentingan
apa pun dengan aturan yang dibuatnya (QS Al Kahfi, 18:29). Manusia mau mu’min atau kafir, mau taat
atau maksiat sama sekali tidak membuat Allah beruntung atau rugi. Aturan yang dibuat oleh yang tidak
punya kepentingan inilah yang dijamin adil bagi semua pihak.

Manusia dituntut untuk bisa mengendalikan kecenderungan hawa nafsunya demi kepentingan hukum
Allah yang adil dan dituntut pula untuk bisa berbuat adil dalam melaksanakan hukum (QS. Al Maa-idah, 5
: 49; An Nisaa’, 4:58).

Dalam hadits Nabi Saw yang diriwayatkan Imam Bukhari dikisahkan, ada seorang wanita pada zaman
Rasululllah Saw sesudah fathu Mekah telah mencuri. Lalu Rasulullah memerintahkan agar tangan wanita
itu dipotong. Usamah bin Zaid menemui Rasulullah untuk meminta keringanan hukuman bagi wanita
tersebut. Mendengar penuturan Usamah, wajah Rasulullah langsung berubah. Beliau lalu bersabda:
“Apakah kamu akan minta pertolongan untuk melanggar hukum-hukum Allah Azza Wajalla?” Usamah
lalu menjawab, “Mohonkan ampunan Allah untukku, ya Rasulullah”.

Pada sore harinya Nabi Saw berkhotbah setelah terlebih dulu memuji dan bersyukur kepada Allah. Inilah
sabdanya: “Amma ba’du. Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan bila seorang bangsawan
mencuri dibiarkan (tanpa hukuman), tetapi jika yang mencuri seorang awam (lemah) maka dia ditindak
dengan hukuman. Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya, “Apabila Fatimah binti Muhammad mencuri
maka akulah yang akan memotong tangannya”. Setelah bersabda begitu beliau pun kembali menyuruh
memotong tangan wanita yang mencuri itu.
Yang kedua, syariat Islam bersifat komperhensif, yakni mengatur semua aspek kehidupan. Allah SWT
berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An
Nahl, 16:89).

Ketiga, sempurna dan sesuai dengan fitrah manusia . “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu” (QS. Al Maa-idah, 5:3). Kesesuaian dengan fitrah manusia, maksudnya memandang manusia
tidak sebagai hewan sehingga hanya memenuhi kebutuhan biologisnya, tidak juga sebagai malaikat yang
tidak memiliki hawa nafsu. Tetapi seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani (QS. Al
Qashash,28:77). Bahkan dua-duanya dalam Islam tidak bisa dipisah-pisahkan antara urusan dunia dan
akhirat. bila seorang muslim mencari harta itu pun harus dalam rangka dunia dan akhirat, sehingga
dalam mencarinya harus sesuai dengan aturan-Nya.

Keempat, fleksibel (luwes) . Ada beberapa bentuk fleksibelitas Syariat Islam, di antaranya,

Pertama , dari sisi hawa nafsu, Islam tidak menghendaki manusia itu mematikan hawa nafsu dan juga
tidak menyukai manusia yang memenuhi nafsunya tanpa aturan, yang dituntut adalah upaya
pengendalian (QS. Al Maa-idah, 5:87; Ali Imran, 3:134) serta tidak boleh berlebih-lebihan (QS. Al A’raaf,
7:31-32).

Rasulullah Saw bersabda: “Tiap-tiap ucapan baik tasbih, takbir. tahmid maupun tahlil adalah sedekah,
amar ma’ruf nahi munkar sedekah, bersenggama dengan isteri pun sedekah”. Para sahabat lalu bertanya,
“Apakah melampiaskan syahwat mendapat pahala?” Nabi menjawab, “Tidakkah kamu mengerti bahwa
kalau dilampiaskannya di tempat yang haram bukankah itu berdosa? Begitu pula kalau syahwat
diletakkan di tempat halal, maka dia memperoleh pahala”(HR. Muslim).

Kedua , mudah dalam mengerjakan shalat, karena semua bumi ini masjid kecuali kuburan dan tempat
pemandian (HR. Ahmad).

Ketiga , sangat sedikit yang dibebankan dan yang diharamkan.

Keempat , gugurnya kewajiban yang bisa diganti dengan yang lebih ringan. Gugurnya haji karena tidak
mampu. Bila tidak mampu shaum boleh diganti fidiyah dan bila tidak dijumpai air untuk berwudhu boleh
bertayamum (QS. Ali Imran, 3:97, Al Baqarah, 2:184; An Nisaa’, 4:43).

Kelima , dalam kondisi yang betul-betul “darurat” seorang muslim diperbolehkan melakukan yang
dilarang (QS. Al Baqarah, 2:173; Al An’aam, 6:145, An Nahl, 16:115).

Keenam , pelaksanaan kewajiban ada yang mutlak harus sempurna tapi ada juga “ruksyah” (keringanan).

Ketujuh , gugurnya kewajiban berperang bagi yang tidak mampu, di antaranya orang-orang buta dan
pincang (QS. Al Fat-h, 48:17).

Kedelapan , dihalalkan beberapa jenis binatang ternak yang dulu diharamkan.


Kesembilan , larangan shaum/puasa sepanjang tahun penuh.

Kesepuluh, bertahap dalam pelaksanakan kewajiban, sebagaimana pelarangan khamar (QS. Al Baqarah,
2:219; An Nisaa’, 4:43; Al Maa-idah, 5:90).

Kesebelas, tidak ada perantara antara hamba dengan Allah, baik dalam akidah maupun dalam ibadah,
tidak seperti kesalahan yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani (QS. At Taubah, 9:31).

Keduabelas, ada hubungan interaksi sosial dengan non-muslim khususnya ahli kitab (QS. Al Maa-idah,
5:5)

Metode Dalam Mempelajari Islam dan Kesalahpahaman dalam Memandang Islam

Ada beberapa metode dalam mempelajari islam. Semua metode tersebut diperlukan agar kita dapat
memahami agama islam secara menyeluruh atau secara integral. Berikut adalah beberapa metode dalam
mempelajari islam :

1. Islam harus dipelajari dari sumber yang asli, maksudnya, dalam mempelajari agama islam kita harus
mempelajarinya dari sumber yang terpercaya yaitu Al-Qur'an dan Hadis Rasul. Karena, semua tentang
islam terdapat pada kitab Al-Qur'an dan Hadis Rasul sebagai penjelasnya.

2. Hendaknya dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh ulama-ulama besar (Paham islam), maksudnya
adalah kita setelah mempelajarinya dari sumber asli harus juga mempelajari dari buku-buku yang ditulis
oleh ulama-ulama besar. Karena para ulama tersebut sudah mendalami islam, sehingga buku-buku hasil
karya mereka dapat dijadikan bahan untuk mempelajari islam.

3. Harus dipahami secara integral, menyeluruh, dan kaffah. Maksudnya adalah dalam mempelajari islam
kita tidak boleh setengah-setengah dalam mempelajari. Karena Islam adalah satu kesatuan yang
mengatur hidup manusia. Selain itu, apabila dipelajari secara setengah-setengah, maka setan dapat
dengan mudah mempengaruhi kita. Semua itu diterangkan di Al-Qur'an surah Al-Baqoroh ayat ke 268 :

‫ﻀﺓﻼ ۗ ﻄﻭ ﺸ‬
‫ﺍﻥ ﻄﻭﺍﻌﺳﻊِﻊ ﻄﻋﻌﻠﻴﻊِﻢ‬ ‫ﻄﺎَﻥﻥ ﻳﻄﻌﻌﻥﺪﻥﻛﻥﻢ ﺍﻴﻟﻔﻄﻴﻘﻄﺮ ﻄﻭﻳﻄﺄﻴﻥﻣﻥﺮﻥﻛﻴﻢ ﻌﺑﺎَﻴﻟﻔﻄﻴﺤﻄﺸﺎَﻌﺀ ۖ ﻄﻭ ﺸ‬
‫ﺍﻥ ﻳﻄﻌﻌﻥﺪﻥﻛﻴﻢ ﻄﻣﻴﻐﻔﻌﻄﺮﺓﺓ ﻌﻣﻴﻨﻪﻥ ﻄﻭﻓﻄ ﻴ‬ ‫ﺍﻟﺸﺸﻴﻴ ﻄ‬

Artinya : Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat
kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui. (Al Baqoroh : 268)

4. Mempelajari Islam bukan kenyataan umat Islam. Maksudnya adalah kita itu harus mempelajari
islamnya, buka kenyataan-kenyataan tentang umat islam. Misalnya, ada kenyataan bahwa bom bunuh
diri dilakukan dalam rangka syahid oleh umat islam. Itu adalah kenyataan umat islam, bukan islamnya.
Islam tidak memperbolehkan umatnya membunuh dirinya sendiri, bahkan bunuh diri mendapat ganjaran
api neraka. Surah Al An'am ayat 153 menerangkan tentang mempelajari islam bukan mempelajari
keadaan umat islam.

‫ﻕ ﺑﻌﻥﻜﻴﻢ ﻄﻋﻴﻦ ﻄﺳﻌﺒﻴﻠﻌﻌﻪ ۚ ﻫﻄﺫﻟﻌﻥﻜﻴﻢ ﻄﻭ ﺸ‬


‫ﺻﺎَﻥﻛﻴﻢ ﺑﻌﻌﻪ ﻟﻄﻄﻌﻠﺸﻥﻜﻴﻢ ﺗﻄﺘﺸﻥﻘﻮُﻄﻥ‬ ‫ﻄﻭﺃﻄﺸﻥ ﻫﻫﻄﻄﺬﺍ ﻌ‬
‫ﺻﻄﺮﺍﻌﻃﻲِ ﻥﻣﻴﺴﺘﻄﻌﻘﻴﺓﻤﺎَ ﻄﻓﺎَﺗﺸﺒﻌﻥﻌﻮُﻩﻥ ۖ ﻄﻭﻄﻟ ﺗﻄﺘﺸﺒﻌﻥﻌﻮُﺍ ﺍﻟﺴﺴﺒﻥﻄﻞ ﻓﻄﺘﻄﻔﻄﺸﺮ ﻄ‬
Artinya : dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Al - An'am : 153)

Selain itu, masyarakat sekarang seringkali salah paham dalam memandang islam. Padahal hal tersebut
tidaklah baik. Berikut adalah kesalahpahaman dalam memangdang islam :

1. Setiap yang berasal dari Arab adalah Islam (Padahal tidak semuanya demikian).

2. Keterjebakan dalam ritualistik dalam berislam (Masih menganut budaya-budaya sendiri, misal
mencampur adukkan antara budaya jawa dan islam).

3. Kepuasaan dengan simbol dalam Islam (Sudah puas hanya dengan memiliki simbol islam saja).

4. Mementingkan tradisi daripada syari' (mendahulukan budaya asal daripada islam, hampir sama
dengan mencampur adukkan).

5. Seringkali memberi pemahaman literal (paham diri sendiri), dan melupakan Al-Qur'an dan Sunnah.

Metode Mempelajari Islam

Memahami Islam secara menyeluruh adalah penting walaupun tidak secara detail. Begitulah cara paling
minimal untuk memahami agama paling besar sekarang ini agar menjadi pemeluk agama yang mantap,
dan untuk menumbuhkan sikap hormat bagi pemeluk agama lainnya. Di samping itu untuk menghindari
kesalahpahaman yang mana memungkinkan timbulnya pandangan dan sikap negatif terhadap Islam,
maka untuk memahami Islam secara benar ialah dengan cara-cara sebagai berikut :

Pertama , Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Kekeliruan memahami Islam karena orang hanya mengenalnya dari sebagian ulama-ulama dan pemeluk-
pemeluknya yang telah jauh dari pimpinan Qur’an dan Sunnah. Atau pengenalan dari sumber kitab-kitab
fiqih dan tasawuf yang telah tua ketinggalan zaman yang kebanyakan bercampur dengan bid’ah dan
khufarat.

Kedua , Islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan cara parsial, artinya ia pelajari secara
menyeluruh sebagai suatu kesatuan yang bulat tidak secara sebagian saja. Apabila Islam dipelajari secara
sebagian saja dari ajarannya, apalagi yang bukan pokok ajaran dan dalam bidang-bidang masalah
khilafiyah, maka tentulah pengetahuannya tentang Islam seperti yang dipelajarinya, yaitu bagian kecil
dari masalah dalam Islam dan bukan yang pokok. Walaupun demikian barangkali seseorang tidak mampu
atau tidak ada kesempatan untuk mempelajarinya secara detail, maka cukup dengan prinsip-prinsip
Islam saja. Dengan mempelajari prinsip-prinsip ajaran Islam, mudah ditemukan pola ajaran Islam dengan
sebaik-baiknya sebagai suatu agama yang mengajarkan tentang kehidupan yang harmonis duniawi dan
akhirat.

Ketiga , Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’ama dan
sarjana-sarjana Islam. Pada umumnya mereka memahami Islam secara baik, pemahaman yang lahir dari
perpaduan ilmu yang dalam terhadap Qur’an dan Sunnah Rasulullah dengan pengalaman yang indah
dari praktek ibadah yang dilakukan tiap hari.

Keempat , kesalahan sementara orang mempelajari Islam ialah dengan jalan mempelajari kenyataan
umat Islam an sich, bukan agama Islam yang dipelajarinya. Sifat konservatif sebagian golongan Islam,
keterbelakangan di bidang pendidikan, keawaman, kebodohan, disintegrasi dan kemiskinan masyarakat
Islam itulah yang dinilai sebagai Islamnya sendiri. Tak ada suatu kesalahan besar melainkan dengan cara
semacam ini. Maka untuk mempelajari Islam jangan ia pelajari dari segi kenyataan-kenyataan luar
sebagian pemeluknya, tapi pelajarilah Islam itu sendiri !

akanan (pangan) dan tempat tinggal (papan). Selain berfungsi menutup tubuh, pakaian juga dapat
merupakan pernyataan lambang status seseorang dalam masyarakat. Sebab berpakaian ternyata
merupakan perwujudan dari sifat dasar manusia yang mempunyai rasa malu sehingga berusaha selalu
menutupi tubuhnya.

Busana menurut bahasa adalah segala sesuatu yang menempel pada tubuh dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Menurut istilah, busana adalah pakaian yang kita kenakan setiap hari dari ujung rambut
sampai ujung kaki berserta segala pelengkapannya, seperti tas, sepatu, dan segala macam
perhiasan/aksesoris yang melekat padanya.

Dalam ajaran Islam, pakaian bukan semata-mata masalah budaya dan mode. Islam menetapkan batasan-
batasan tertentu untuk laki-laki maupun perempuan. Khusus untuk muslimah, memiliki pakaian khusus
yang menunjukkan jatidirinya sebagai seorang muslimah. Bila pakaian adat umumnya bersifat lokal,
maka pakaian muslimah bersifat universal. Dalam arti dapat dipakai oleh muslimah di manapun ia
berada.

‫ﺍﻌ ﻟﻄﻄﻌﻠﺸﻬﻥﻴﻢ ﻳﻄﺸﺬﺸﻛﻥﺮﻭﻄﻥ‬


‫ﺕ ﺍ‬ ‫ﻚ ﻄﺧﻴﻴﻊِﺮ ﻄﺫﻟﻌ ﻄ‬
‫ﻚ ﻌﻣﻴﻦ ﺁﻄﻳﺎَ ﻌ‬ ‫ﻄﻳﺎَ ﺑﻄﻌﻨﻲِ ﺁﻄﺩﻄﻡ ﻗﻄﻴﺪ ﻄﺃﻧَﻄﺰﻴﻟﻄﻨﺎَ ﻄﻋﻠﻄﻴﻴﻥﻜﻴﻢ ﻟﻌﻄﺒﺎَﺳﺎَ ﺓ ﻳﻥﻄﻮُﺍﻌﺭﻱِ ﻄﺳﻴﻮُﻄﺀﺍﺗﻌﻥﻜﻴﻢ ﻄﻭﻌﺭﻳﺸﺎَ ﺓ ﻄﻭﻟﻌﻄﺒﺎَ ﻥ‬
‫ﺱ ﺍﻟﺘﺸﻴﻘﻄﻮُ ﻄ‬
‫ﻯ ﻄﺫﻟﻌ ﻄ‬

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan
pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah
sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Al-A’RAF 26)

Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa pakaian bani Adam ada itu ada tiga macam, yaitu:

Pertama , pakaian yuwaari sau-atikum, artinya pakaian sekedar penutup bagian-bagian yang malu dilihat
atau terlihat orang.

Kedua, pakaian riisyan, artinya pakaian yang merupakan hiasan yang layak bagi manusia , jadi lebih
daripada hanya menyembunyikan aurat saja.

Ketiga, (dan yang terpenting) pakaian yang disebut libasut taqwa yang berarti pakaian yang merupakan
ketakwaan, yang menyelamatkan diri, menyegarkan jiwa, membangkitkan budi pekerti dan akhlak yang
mulia. Pakaian inilah yang menjamin keselamatan diri, dunia dan akhirat, menjamin kebahagiaan rumah
tangga dan menjamin keamanan serta ketentraman dalam masyarakat dan negara.
Begitu hebatnya pengaruh budaya dan mode dalam berpakaian, membuat manusia lupa memahami
hakekat dari fungsi adanya pakaian. Dalam hal ini Islam sebagai agama yang salih li kulli zaman wa makan
memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi berpakaian. Menurut ajaran Islam, - sebagaimana
dijelaskan oleh Allah di dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl : 81 dan Surat Al-A’raaf : 26-, pakaian itu
mempunyai tiga fungsi utama yaitu :

1. Sebagai penutup aurat.

2. Sebagai perhiasan. Maksudnya adalah sebagai perhiasan untuk memperindah penampilan dihadapan
Allah dan sesama manusia. Sebagai perhiasan, seseorang bebas merancang dan membuat bentuk atau
mode serta warna pakaian yang dianggap indah, menarik, serta menyenangkan, selama tidak melanggar
batas-batas yang telah ditentukan.

3. Sebagai pelindung tubuh dari hal-hal yang merusak, seperti panas, dingin, angin kencang, sengatan
matahari dan sebagainya.

Demikianlah tiga fungsi utama pakaian dalam pandangan Islam, mudah-mudahan dalam berpakaian kita
bisa menyadari apa sebenarnya fungsi yang kita inginkan dari pakaian kita, sehingga kita termasuk
hamba-hamba Allah yang mensyukuri nikmat-Nya dan terhindar dari sifat kufur terhadap karunia-Nya.

A. Makanan dan Minuman

Makanan yang Halal

Halal artinya boleh, jadi makan yang halal ialah makan yang di bolehkan untuk dimakan menurut
ketentuan syariat Islam. Segala sesuatu baik berupa tumbuhan, buahan-buahan ataupun binatang pada
dasarnya adalah halal dimakan, kecuali apabila ada nash Al-Qur'an atau Al-Hadits yang
menghatamkanya. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah : 17

Yang artinya:

“ Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu
dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada kamu menyembah.

Berdasarkan firman Allah dan Hadits Nabi saw. Dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis makan yang halal
adalah:

a. Semua makanan yang baik, tidak kotor dan tidak menjijikkan.

b. Semua makan yang tidak diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya

c. Semua makanan yang tidak memberi mudharat, tidak membahayakan kesehatan jasmani dan tidak
merusak akal, moral, dan aqidah.

d. Bidang yang hidup di dalam air, baik air laut maupun air tawar.

Makanan Haram
Haram artinya dilarang, jadi makanan yang haram adalah makanan yang dilarang oleh syarat untuk di
makanan. Yang termasuk makanan yang diharamkan adalah

a. Semua makanan yang disebutkan dalam firman Allah swt. S.Q.

Al-Maidah ayat 3

ôMtBÌhãm ãNä3ø‹n=tæ

èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur

ãNøtm:ur ͍ƒÌ“Yσø:$# !$tBur

¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/

èps)ÏZy‚÷ZßJø9$#ur äosŒqè

%öqyJø9$#ur

èptƒÏjŠuŽtIßJø9$#ur

èpys‹ÏܨZ9$#ur !$tBur

Ÿ@x.r& ßìç7¡¡9$# žwÎ) $tB

÷LäêøŠ©.sŒ $tBur yxÎ/èŒ

’n?tã É=ÝÁ‘Z9$# br&ur

(#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9ø—F

{$$Î/ 4 öNä3Ï9ºsŒ î,ó¡Ïù 3

tPöqu‹ø9$# }§Í³tƒ tûïÏ%©!$#

(#rãxÿx. `ÏB öNä3ÏZƒÏŠ Ÿxsù

öNèdöqt±øƒrB Èböqt±÷z$#ur

4 tPöqu‹ø9$# àMù=yJø.r&

öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ

àMôJoÿøCr&ur öNä3ø‹n=tæ

ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊu‘ur

ãNä3s9 zN»n=ó™M}$#

$YYƒÏŠ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$#


’Îû >p|ÁuKøƒxC uŽöxî 7#ÏR

$yftGãB 5OøO\b} ¨bÎ*sù ©!

$# Ö‘qàÿxî ÒO‹Ïm§‘ ÇÌÈ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas
nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk
berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak
panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini[397] orang-orang kafir Telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari Ini Telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-
ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] Karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Firman Allah dalam Q.S. Al-An’am ayat 145

@è% Hw ߉É`r& ’Îû !$tB

zÓÇrré& ¥’n<Î) $·B§ptèC

4’n?tã 5OÏã$sÛ

ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br&

šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr&

$YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr&

zNóss9 9ƒÍ”\Åz ¼çm¯RÎ*sù

ê[ô_Í‘ ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé&

ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4

Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø

$t/ Ÿwur 7Š$tã ¨bÎ*sù š/u‘

Ö‘qàÿxî ÒO‹Ïm§‘ ÇÊÍÎÈ

“ Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan
bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi - Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah. barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang".
b. Semua makanan yang keji, yaitu kotor, dan menjijikkan

c. Semua jenis makanan yang dapat mendatangkan mudharat terhadap jiwa, raga, akal, moral dan
aqidah.

d. Bagian yang dipotong dari binatang yang masih hidup

e. Makanan yang didapat dengan cara yang tidak halal seperti makanan hasil curian, rampasan, dan
korupsi riba dan cara-cara lain yang dilarang agama.

1) Bangkai

Yaitu hewan yang mati bukan karena di sembeli atau di buruh. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang
ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang
mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan.

2) Darah

Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lain:

Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian, demikian pula sisa-sisa darah yang menempel
pada daging atau leher setelah di sembeli. Semua hukumnya halal.

3) Daging Babi

Babi baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina dan mencakup seluruh anggota tubuh babi
sekalipun minyaknya. Tentang keharamnnya, telah dilandaskan dalam Al-Qur'an

4) Sembelihan Untuk Selain Allah

Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, oleh karenanya.
Apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah, maka hukum,
sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama.

5) Hewan yang Diterkam Binatang Buas

Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu di makan sebagainya kemudian mati
karenaya, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang
terkena.

6) Binatang Buas Bertaring

Hal ini berdasarkan hadits: “ dari Abu Hurairah dari Nabi swa. Bersabda : “ setiap binatang buas yang
bertaring bukan hanya makru saja, pendapat yang mengatakan makru saja adalah pendapat yang salah

7) Burung yang Berkuku Tajam


Imam Nawawi berkata dalam syarah Shahih muslim 13/72-73: “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi
Madzah Syafii, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan Mayoritas Ulama tentang haramnya memakan binatang
buas yang terbaring dan burung yang berkuku tajam.

Minuman yang Halal

Minuman yang halal pada dasarnya dapat dibagi 4 bagian:

a. Semua jenis air atau racun yang tidak membahayakan

b. Ari atau cairan yang tidak memabukkan walaupun sebelumnya pernah memabukkan seperti arak yang
berubah menjadi cuka.

c. Air atau cairan itu bukan berupa benda najis atau benda suci yang terkena najis

d. Air atau cairan yang suci itu didapatkan dengan cara-cara yang halal yang tidak bertentangan dengan
ajaran agama Islam.

Minuman yang Haram

a. Semua minuman yang memabukkan atau apabila minuman menimbulkan mudharat dan merusak
badan, akal, jiwa, moral dan aqidah seperti arak, khamar, dan sejenisnya.

b. Minuman dari benda najis atau benda yang terkena najis.

c. Minuman yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak halal atau yang bertentangan dengan ajaran
Islam.

Kesalahan dalam Makanan dan Minuman

1. Kelebihan dalam makanan dan minuman, boros dan membuang makan ditempat kotor.

Berlebihan-lebihan yaitu mencurahkan sesuatu melebihi batas yang dalam memuliakan tamu. Jika akan
dimakan atau disederhanakan, maka hal itu bagus, sedangkan jika hal itu akhirnya dibuang ke tempat
sampah dan tempat yang kotor, maka hal itu termasuk penghinaan terhadap nikmat Allah.

Hadits yang diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aih Rasulullah saw. Bersabda yang artinya:

“Makanlah, minumlah bersedakahlah dan berilah pakaian selama tidak disertai dengan pemborosan dan
kesombongan”.

2. Makan dan minum dengan tangan kiri

Hal ini dilarang, karena menyerupai cara makan Syaitan

3. Menganggap ringan masalah membuang sisa makan dengan membuangnya di toilet


Membaca bismillah dianjurkan ketika mulai makan, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin
Abi salamah, Nabi Bersabda kepadanya yang artinya: “hai anak kecil, sebutkan nama Allah (baca
bismillah) makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa yang ada dihadapanmu”

B. Pakaian

Syarat-syarat busana yang dijadikan wanita sebagai jiblat dan penutup tubuhnya adalah sebagai berikut:

Bukan pakaian milik orang lain yang digunakan tanpa seizin pemiliknya

Bukan pakaian mewah

Pria tidak mengenakan pakaian khusus wanita dan wanita tidak mengenakan busana khusus pria.

Wanita harus menghindari dari busana yang menarik perhatian orang

Pakaian tidak boleh ketat dan tipis sehingga menempatkan lekuk-lekuk tubuh wanita

Pakaian Laki-laki

1) Isbah (menjulurkan kainnya ke bawah mata kaki) biak itu baju, mantel atau celananya. Artinya:
memanjangkan sampai kebawah kedua mata kaki

Jika isbah dan menjulurkan kainnya karena kesombonga, maka hal itu lebih besar dosenya dan
balasannya ialah Allah tidak akan melihatnya.

2) Memakai pakaian yang sempit dan sempit dan tipis (transparan)

Jika pakaian tersebut tipis menampakkan aurat atau menggambarkan bentuk aurat dan sebagainya,
maka wajib ditinggalkan.

3) Memakai pakaian yang menyerupai pakaian wanita

Hal itu diharamkan, sebagai ulama mengatakan yang dimaksud ialah tasyabbuh (menyerupai) dalam
beberapa dan sebagian sifat, tingkah laku dan sebagainya bukan tasyabbuh dalam urusan kebaikan”

4) Memakai pakaian kebanggaan

Yaitu pakaian yang mencolok (diluar) kebiasaan kaum muslim, atau pakaian yang seseorang sangat
berbangga sekali dan merasa terkenal dengan pakaiaannya dan lain sebagainya begitu juga pakaian yang
lusuh yang membuatnya terkenal padahal ia mampu memakai yang lain.

5) Memakai Pakaian Yang Tidak Menutup Aurat

Pakaian olahraga yang menampakkan kedua paha dan lainnya, serta keluar dengan memakai pakaian
tersebut di hadapan orang banyak.

Aurat laki-laki ialah dari pusat perut sampai kedua lutut, jadi kedua paha adalah termasuk aurat.
6) Meremehkan Masalah Memakai Pakaian Yang Indah Ketika Di Mesjid

Mengerjakan sholat berarti menghadap Allah maka sudah semestinya untuk memakai pakaian yang
indah dan memakai wangi-wangian sebisa mungkin, untuk menghilangkan bau yang tidak sedap

7) Memakai pakaian yang ada gambar makhluk bernyawa, khususnya gambar orang-orang kafir seperti:
para artis, pemain atau para pemimpin yang terkenal memakai pakaian yang ada gambar manusia,
hewan atau burung adalah haram.

8) Memakai cincin dari emas bagi kaum laki-laki sebagai perhiasan, pernikahan atau yang lain.

Larangan memakai cincin yang terbuat dari emas ini, meliputi semua tujuan memakainya, jadi tidak
dibolehkan memakainya untuk perhiasan, lamaran, pernikahan dan tunangan.

Pakaian Wanita

1) Memakai pakaian yang sempit, transparan dan menarik perhatian laki-laki asing.

Hal ini termasuk perkara yang diharamkan, wanita ketika berada dikalangan laki-laki tidak dibolehkan
memakai pakaian sempit yang menampakkan lekuk badan dan bentuk anggota tubuhnya dan tidak pula
memakai pakaian transparan yang menggambarkan warna kulitnya.

2) Memakai kain yang terbuka bagian bawahnya, yang tidak menutup betis dan kedua kaki, serta
pakaian-pakaian yang menampakkan berbagai kecantikan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnnya.

3) Memakai pakaian yang berlengan pendek, memperlihatkan kedua tangan, dan menampakkannya di
hadapan kaum laki-laki, baik di pasar maupun di mobil

4) Memakai pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki baik terpisah atau dalam suatu bentuk (yang
sama)

Hal ini dilarang, seorang wanita tidak boleh menyerupai laki-laki dalam berpakaian bertingkah laku dan
berjalan, Nabi saw. melaknat wanita-wanita yang menyerupai laki-laki

5) Memakai rambut palsu (wig, karena hal itu termasuk penyambung rambut)

6) Menggunakan cat kuku (pacar) yang menghalangi sampainya air ke kulit ketika wudhu

7) Memakai kuku buatan atau memanjangkan kuku kedua tangan dan kaki.

Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah. Hasrat dari KH. Akhmad Dahlan untuk membangun
organisasi yang bisa jadikan untuk alat perjuangnan serta da’wah untuk nenegakan amar ma’ruf nahyi
munkar yang bersumber pada Al-Qur’an, surat Al-Imron : 104 serta surat Al-ma’un untuk sumber dari
gerakan sosial praktis untuk wujudkan gerakan tauhid.

Ketidak murnian ajaran islam yang dimengerti oleh beberapa umat islam Indonesia, untuk wujud
penyesuaian tak tuntas pada kebiasaan islam serta kebiasaan lokal nusantara dalam awal bermuatan
faham animisme serta dinamisme. Hingga dalam prakteknya umat islam di indonesia menunjukkan
beberapa hal yang bertentangan dengan prinsif-prinsif ajaran islam, terlebih yang berhubuaan dengan
prinsif akidah islam yag menampik semua wujud kemusyrikan, taqlid, bid’ah, serta khurafat. Hingga
pemurnian ajaran jadi piliha mutlak untuk umat islamm Indonesia.

Keterbelakangan umat islam indonesia dalam sisi kehidupan jadi sumber keprihatinan untuk mencarikan
jalan keluar supaya bisa keluar jadi keterbelakangan. Keterbelakangan umat islam dalam dunia
pendidikan jadi sumber utama keterbelakangan dalam peradaban. Pesantren tak dapat selama-lamanya
dikira jadi sumber lahirnya generasi baru muda islam yang memikirkan modern. Kesejarteraan umat
islam bakal terus ada di bawah garis kemiskinan bila kebodohan tetap melengkupi umat islam indonesia.

Maraknya kristenisasi di indonesia sebegai dampak domino dari imperalisme Eropa ke dunia timur yang
sebagian besar beragama islam. Proyek kristenisasi satu paket dengan proyek imperialalisme serta
modernisasi bangsa Eropa, tak hanya hasrat untuk memperluas daerah koloni untuk pasarkan beberapa
produk hasil refolusi industeri yang melada erofa.

Imperialisme Eropa bukan sekedar membonceng gerilya gerejawan serta beberapa penginjil untuk
mengemukakan ’ajaran jesus’ untuk menegur umat manusia di semua dunia untuk ’mengikuti’ ajaran
jesus. Namun juga membawa angin modernisasi yang tengah menempa eropa. Modernisasi yang
terhembus melewati jenis pendidikan barat (belanda) di indonesia mengusung paham-paham yang
melahirkan moernisasi erofa, seperti sekularisme, individualisme, liberalisme serta rasionalisme. Bila
penetrasi itu tak dihentikan maka bakal terlahir generasi baru islam yang rasionaltetapi liberal serta
sekuler.

Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia . Nama organisasi ini diambil
dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang
yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Latar belakang KH Ahmad Dahlan memilih nama
Muhammadiyah yang pada masa itu sangat asing bagi telinga masyarakat umum adalah untuk
memancing rasa ingin tahu dari masyarakat, sehingga ada celah untuk memberikan penjelasan dan
keterangan seluas-luasnya tentang agama Islam sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW.

Muhammadiyah secara etimologis berarti pengikut nabi Muhammad, karena berasal dari kata
Muhammad, kemudian mendapatkan ya nisbiyah, sedangkan secara terminologi berarti gerakan Islam,
dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Berkaitan
dengan latar belakang berdirinya Muhammadiyah secara garis besar faktor penyebabnya adalah
pertama, faktor subyektif adalah hasil pendalaman KH. Ahmad Dahlan terhadap al-Qur’an dalam
menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isinya. Kedua, faktor obyektif di mana dapat dilihat
secara internal dan eksternal. Secara internal ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya al-
Qur’an dan as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagiab besar umat Islam Indonesia.

Muhammadiyah adalah Gerakan Islam yang melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar dengan
maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh
aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang merupakan satu
kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan
mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan Agama
Islam menjadi rahmatan lil-’alamin dalam kehidupan di muka bumi ini

1. Faktor Internal

Faktir internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri umat islam sendiri yang tercermin dalam dua
hal, yaitu sikap beragama dan sistem pendidikan islam.

Sikap beragama umat islam saat itu pada umumnya belum dapat dikatakan sebagai sikap beragama yang
rasional. Sirik, taklid, dan bid’ah masih menyelubungai kehidupan umat islam, terutama dalam
lingkungan kraton, dimana kebudayaan hindu telah jauh tertanam. Sikap beragama yang demikian
bukanlah terbentuk secara tiba-tiba pada awal abad ke 20 itu, tetapi merupakan warisan yang berakar
jauh pada masa terjadinya proses islamisasi beberapa abad sebelumnya. Seperti diketahui proses
islamisasi di indonesia sangat di pengaruhi oleh dua hal, yaitu Tasawuf/Tarekat dan mazhab fikih, dan
dalam proses tersebut para pedagang dan kaum sifi memegang peranan yag sangat penting. Melalui
merekalah islam dapat menjangkau daerah-daerah hampir diseluruh nusantara ini.

2. Faktor eksernal

Faktor lain yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran Muhammadiah adalah faktor yang bersifat
eksternal yang disebabkan oleh politik penjajahan kolonial belanda. Faktor tersebut antara lain tanpak
dalam system pendidikan kolonial serta usaha kearah westrnisasi dan kristenisasi.

Pendidikan kolonial dikelola oleh pemerintah kolonial untuk anak-anak bumi putra, ataupun yang
diserahkan kepada misi and zending Kristen dengan bantuan financial dari pemerintah belanda.
Pendidikan demikian pada awal abad ke 20 telah meyebar dibeberapa kota, sejak dari pendidikan dasar
sampai atas, yang terdiri dari lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Adanya lembaga
pendidikan colonial terdapatlah dua macam pendidikan diawal abad 20, yaitu pendidikan islam
tradisional dan pendideikan colonial. Kedua jenis pendidikan ini dibedakan, bukan hanya dari segi tujuan
yang ingin dicapai, tetapi juga dari kurikulumnya.

Pendidikan kolonial melarang masuknya pelajaran agama dalam sekolah-sekolah colonial, dan dalan
artian ini orang menilai pendidikan colonial sebagai pendidikan yang bersifat sekuler, disamping sebagai
peyebar kebudayaan barat. Dengan corak pendidikan yang demikian pemerintah colonial tidak hanya
menginginkan lahirnya golongan pribumi yang terdidik, tetapi juga berkebudayaan barat. Hal ini
merupakan salah satu sisi politik etis yang disebut politik asisiasi yang pada hakekatnya tidak lain dari
usaha westernisasi yang bertujuan menarik penduduk asli Indonesia kedalam orbit kebudayaan barat.
Dari lembaga pendidikan ini lahirlah golongan intlektual yang biasanya memuja barat dan menyudutkan
tradisi nenekmoyang serta kurang menghargai islam, agama yang dianutnya. Hal ini agaknya wajar,
karena mereka lebih dikenalkan dengan ilmu-ilmu dan kebudayaan barat yang sekuler anpa
mengimbanginya dengan pendidiakan agama konsumsi moral dan jiwanya. Sikap umat yang demikianlah
tankanya yang dimaksud sebagai ancaman dan tantangan bagi islam diawal abad ke 20.
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum
penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia,
yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri
berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas,
dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman
Yogyakarta.

Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata
”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak
perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma
mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa
pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu
Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran
yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia
sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi
nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”

Vous aimerez peut-être aussi