Vous êtes sur la page 1sur 7

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Tarbawi


Sebelum memasuki pembahasan utama dalam makalah ini, sebaiknya
kita kembali mengenal pengertian dari hadits tarbawi. Hadits secara etimologi
berarti cara atau jalan hidup yang biasa dipraktekkan, baik ataupun buruk.1
Hadits secara terminologi, menurut ahli hadits seperti Al-Hafizh dalam
Syarah al-Bukhari sebagaimana dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy adalah
segala ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi saw. Sementara menurut ahli
ushul hadits, hadits adalah segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi yang
bersangkutan dengan hukum.2
Sementara kata tarbawi berasal dari bahasa Arab, yakni Rabba-
Yurabbi-Tarbiyyatan. Kata tersebut bermakna: pendidikan, pengasuhan dan
pemeliharaan.3 Selanjutnya, Ahmad D. Marimba memaknai istilah tarbiyah
memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna
tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga
kelestarian atau eksistensinya.4 Sementara Fahr al-Razi, istilah rabbayaani
tidak hanya mencakup ranah kognitif, tapi juga afektif5 dan Syed Quthub
menafsirkan istilah tersebut sebagai pemeliharaan jasmani anak dan
menumbuhkan kematangan mentalnya.6
Berdasarkan pengertian kedua istilah diatas dapat disimpulkan, hadits
tarbawi adalah bimbingan yang diberikan oleh pendidik kepada anak didik
untuk menumbuhkan, mengembangkan, merawat, mengatur dan menjaga
eksistensinya baik itu pada ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor
1
Manbaululuumgs.blogspot.com/2012/05/hadits-tarbawi-pengertian-hadits.html?m=1
diakses pada tanggal 19 April 2015 pukul 16.28 WIB.
2
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, (Editor) HZ. Fuad Hasbi ash-Shiddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Ed. 3, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 4-5
3
Manbaululuumgs.blogspot.com, Loc. Cit.
4
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan
Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009, hlm. 84
5
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. 2, Jakarta: Kencana,
2008, hlm. 12
6
Ibid.

5
berdasarkan tuntunan yang diberikan Nabi Muhammad saw., baik berupa
perkataan, perbuatan dan taqrir Beliau saw.

B. Ajakan Kepada Kebaikan


1. Ajakan Kepada yang Ma’ruf dan Menjauhi yang Munkar (HR.
Muslim)

َّ‫ َّح‬. َ‫س ْفيَان‬ ُ َّ ‫ع ْن‬ َ َّ ‫َّو ِكي ٌع‬ َ ‫ َّ َحدثَنَا‬.َ‫ش ْيبَة‬ َ َّ ‫ا َحدَّثَنَا َّأَبُو َّبَ ْك ِر َّب ُْن َّأَبِي‬
َّ‫ َّ َحدثَنَا‬.‫ َّ َحدثَنَا َّ ُم َحمدُ َّب ُْن َّ َج ْعفَ ٍر‬.‫َّال ُمشَنى‬ ْ ‫و َحدثَنَا َّ ُم َحمدُ َّب ُْن‬
َّ‫َّو‬,
َ ‫ب‬ ٍ ‫ق َّب ِْن َّ ِش َها‬ ِ ‫ار‬ ِ ‫ط‬َ َّ ‫ع ْن‬ َ َّ ‫ع ْن َّقَي ِْس َّب ِْن َّ ُم ْس ِل ٍم‬ َ َّ‫َّ ِكالَ َّ ُه َما‬,ُ‫ش ْعبَة‬ ُ
ْ ‫طبَ ِةَّيَ ْو َم‬
َّ‫َّال ِعيدَِّقَ ْب َل‬ ْ ‫َّأَولَُّ َم ْنَّبَدَأََّ ِب ْال ُخ‬:‫ِيثَّأَ ِبىَّبَ ْك ٍرَّقَا َل‬ ُ ‫َهذَاَّ َحد‬
َّ.‫طبَ ِة‬ ْ ‫َّال ُخ‬
ْ ‫َّالصالَة ُ َّقَ ْب َل‬:‫َّر ُج ٌل َّفَقَا َل‬ َ ‫ام َّأِلَ ْي ِه‬ َ َ‫َّفَق‬,‫ان‬ُ ‫الصالَةِ َّ َم ْر َو‬
َّ‫ضىَّ َما‬ َ َ‫َّأَماَّ َهذَاَّفَقَ ْدَّق‬:ٍ‫س ِعيد‬ َ َّ‫َّفَقَا َلَّأَبُو‬.‫َّقَ ْدت ُ ِر َكَّ َماَّ ُهنَا ِل َك‬:‫فَقَا َل‬
َّ‫ َّ َم ْن‬:ُ‫سل َم َّيَقُول‬ َ ‫َّو‬َ ‫علَ ْي ِه‬َ َّ ‫صلى ََّّللا‬ َ َّ ‫سو َل ََّّللا‬ َ ُ‫س ِم ْعت‬
ُ ‫َّر‬ َ َّ ,‫علََّْي ِه‬ َ
َّ‫َّفَأ ِْن‬,‫سانِ ِه‬ َ ‫َّفَأ ِْن َّلَ ْم َّيَ ْستَ ِط ْع َّفَ ِب ِل‬,‫ىَّم ْن ُك ْم َّ ُم ْن َك ًراَّفَ ْليُغ َِي ْرهُ َّبَيَ ِد ِه‬
ِ َ ‫َرأ‬
َََََََََََََََََََََََّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّ.‫ان‬ ِ ‫َّاأل ْي َم‬
ِ ‫ف‬ ُ ‫ض َع‬ ْ َ ‫َّوذَ ِل َك َّأ‬ َ ,‫لَ ْم َّ َي ْستَ ِط ْع َّفَبِقَ ْلبِ ِه‬
َََََََََََََََََََّّّّّّّّّّّّّّّّّّّ
Artinya: Abu Bakar bin Abu Syaibah menceritakan kepada kami,
Waki’ menceritakan kepada kami, dari Sufyan. [Rangkaian sanad jalur
lain menyebutkan] Muhammad bin Al Mutsanna menceritakan kepada
kami, Muhammad bin Ja’far menceritakan kepada kami, Syu’bah
menceritakan kepada kami, keduanya [meriwayatkan] dari Qais bin
Muslim, dari Thariq bin Syihab -namun redaksi hadits ini milik Abu
Bakar-, dia berkata, “Orang yang pertama kali berkhutbah sebelum shalat
pada waktu hari raya adalah Marwan. Lantas ada seorang laki-laki yang
berdiri [untuk menghadap] kepadanya. Lelaki itu berkata, “Shalat [hari
raya itu dilaksanakan] sebelum khutbah.” Marwan berkata, “Hal itu telah
ditinggalkan.” Maka Abu Sa’id berkata, “Adapun lelaki itu, maka dia
telah menunaikan kewajiban atas darinya. Aku telah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa di
antara kalian ada yang melihat sebuah kemungkaran, maka hendaknya
merubah kemungkaran itu dengan tangannya. Apabila tidak mampu,
maka hendaknya (merubah kemungkaran itu) dengan lisannya. Apabila
tidak mampu, maka [hendaknya mengingkari kemungkaran itu] dengan
hatinya, dan ini merupakan tingkat keimanan yang paling lemah.” (HR.
Muslim (II/128), At-Tirmidzi (IV/2172), An-Nasa’I (VIII/111), Abu
Daud (IV/4340), dan Ibnu Majah (II/4013) dari hadits Thariq bin Syihab,
dari Abu Sa’id Al Khudri).7

2. Penjelasan Hadits
Hadits diatas menerangkan bahwa orang yang pertama kali
berkhutbah sebelum shalat pada waktu hari raya adalah Marwan. Praktek
yang dilakukannya ini mendapat pengingkaran oleh seorang lelaki
diantara mereka dan perbuatan lelaki tersebut dibenarkan oleh Abu Sa’id
yang ada pada waktu itu. Imam An-Nawawi berkata, dari hadits ini dapat
dipahami bahwa praktek tersebut tidak pernah dilakukan oleh seorang
khalifah pun sebelum Marwan. Dan adapun mengenai informasi yang
menyebutkan bahwa praktek ini pernah dikerjakan oleh Umar, Utsman
dan Muawiyah atau Ibnu Az-Zubair, maka ini bukan berita yang benar.8
Perbuatan seorang lelaki dan Abu Sa’id diatas menunjukkan bahwa
umat Islam diperintahkan untuk mengajak saudara-saudaranya sesama
manusia, khususnya umat Islam, untuk berbuat kebaikan yang
diperintahkan Allah dan menjauhi kesesatan yang dilarang-Nya. Mereka
yang melakukannya akan mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan,
sebagaimana dijanjikan oleh Allah swt. dalam Al-Quran:
ْ ‫َّۚوأ ُ ۟و َٰٓلَئَِّكَ َّ ُه ُم‬
ََّ ‫َّٱل ُم ْف ِل ُح‬
َّ‫ون‬ ْ ‫َّو َي ْن َه ْونَ َّ َع ِن‬
َ َّ‫َّٱل ُمنك َِر‬ َ ‫وف‬ِ ‫َّويَأ ْ ُم ُرونَ َّبِ ْٱل َم ْع ُر‬ ْ َ‫نَّمن ُك ْمَّأُم ٌۭةٌَّيَدْعُونَ َّإِل‬
َ ‫ىَّٱل َخي ِْر‬ ِ ‫َو ْلت َ ُك‬
﴾١٠٤َّ:َّ‫﴿الَّعمران‬
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan

7
An-Nawawi, Imam, (penj.) Wawan Djunaedi Soffandi, Syarah Shahih Muslim, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2010, Jilid 2, hlm. 128.
8
Ibid, hlm. 132-133
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung. (QS. Ali-Imran: 104).

Praktek amar ma’rauf nahi munkar merupakan perintah Allah yang


hukumnya fardhu kifayah. Jika sudah ada sebagian orang yang
melakukannya, maka gugurlah dosa untuk orang lain yang tidak turut
melaksanakan kewajiban tersebut. Akan tetapi apabila keseluruhan orang
meninggalkan perintah tersebut, maka semua orang yang mampu
melaksanakan kewajiban itu akan mendapat dosa. Amar ma’ruf wajib
dilakukan oleh seseorang -menjadi fardhu ‘ain- apabila di sebuah tempat
tidak ada lagi orang yang mengetahui hakikat masalah itu, atau tidak ada
orang yang mampu melakukannya kecuali hanya dia.9
Rachmat Syafe’i menyatakan bahwa dalam melaksanakan amar
ma’ruh nahi munkar ini, kita tidak perlu memaksakan diri misalnya,
dengan cara-cara tertentu yang bersifat memaksa, sehingga
mengakibatkan kita celaka. Seorang da’i hendaklah, selalu ingat bahwa ia
hanya diperintahkan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar,
sedangkan masalah menurut atau tidaknya orang yang diajaknya
diserahkan sepenuhnya kepada Allah swt. Dia-lah yang berkuasa
menjadikan seseorang mendapat hidayah atau tidak.10 Sebagaimana
firman-Nya:
َ ‫َّوه َُوَّأ َ ْعلَ ُمَّ ِب ْٱل ُم ْهتَد‬
َّ‫ِين‬ َ َ‫ِإنكَ َََّلَّت َ ْهدِىَّ َم ْنَّأَحْ َببْت‬
َ ‫َّولَ ِكنَّٱَّللََّ َي ْهدِىَّ َمنَّ َي‬
َ َّۚ‫شا َٰٓ َُّء‬
﴾۵۶َّ:َّ‫﴿القصص‬
Artinya: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada
orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada
orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. Al-Qashash:
56).

9
Ibid, hlm. 136
10
Rachmat Syafe’I, Al Hadis: Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum, Bandung: Pustaka
Setia, Ed. Revisi, Ed. Revisi, hlm. 239
Pada ayat lain, Allah swt berfirman:
.....َّۚ‫شا َٰٓ َءَّفََّْليَ ْكفُ ْر‬ َ ‫شا َٰٓ َءَّفَ ْليُْؤْ ِم‬
َ َّ‫نَّو َمن‬ َ َّ‫َّمنَّربِ ُك ْمََّّفَ َمن‬ َّْ ‫َوقُ ِل‬
ِ ‫َّٱل َحُّق‬
﴾۲۹َّ:َّ‫َّ﴿الكهف‬
Artinya: Dan katakanlah “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu;
maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman,
dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”…. (QS.
Al-Kahfi: 29)

Selain itu, dalam melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar


harus disesuaikan dengan kemampuan orang yang hendak
melaksanakannya. Sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah sebagaimana diterjemahkan oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas
dalam Syarah Aqidah Wasithiyah, yaitu berilmu, lemah lembut, sabar,
ada kemauan dan kekuasaan, serta harus ikhlas semata-mata karena
Allah.11
Hal ini serupa pula, sebagaimana disampaikan oleh Al-Faqih Abu
Laits Samarqandhi sebagaimana dikutip oleh Rachmat Syafe’i12, yaitu:
1. Berilmu, karena masyarakat umumnya belum mengerti mana yang
ma’ruf dan mana yang munkar.
2. Ikhlas semata, mencari ridha Allah swt. dalam menegakkan agama-
Nya.
3. Menggunakan metode yang baik, penuh kasih sayang terhadap objek
(orang yang dinasehati), kata-kata lunak, sikap ramah-tamah.
Sebagaimana pesan Allah kepada Nabi Musa dan Harun as. ketika
menghadapi Fir’aun.
4. Sabar dan tenang.

11
Ibnu Taimiyah, Syaikhul Islam, (penj.) Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah Aqidah
Wasithiyah, Bogor: Media Tarbiyah, Cet., 2, 2011, hlm. 264-265
12
Rachmat Syafe’I, Op. Cit., hlm. 242
5. Melakukan hal-hal yang diperintahkan (menyesuaikan ucapan dan
perbuatan), agar terhindar dari ejekan masyarakat dan ancaman Allah
swt.

Namun demikian, keinginan dan usaha sangat penting -


sebagaimana disebutkan diatas- untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi
munkar. Jika tidak ada usaha dari umat Islam untuk melakukan amar
ma’ruf dan nahi munkar, yakni membiarkan orang-orang yang
melakukan kemunkaran bebas berkeliaran tanpa adanya usaha untuk
mencegahnya atau mengajak mereka agar tidak melakukan kemaksiatan
dan kemunkaran tersebut, Allah swt. akan menurunkan azab-Nya dan Dia
tidak akan menerima doa kaum muslimin yang ada di tempat itu.13

C. Hubungan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Pendidikan


Perlu diketahui bahwa definisi ma’ruf menurut penjelasan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidhaa’ Siraathal Mustaqiim, ialah satu
nama yang mencakup segala apa yang dicintai Allah berupa iman dan amal
shalih. Sementara munkar ialah satu nama yang mencakup segala apa yang
tidak disukai Allah dan yang dilarang-Nya.14
Berangkat dari definisi diatas, Al-Faqih Abu Laits Samarqandhi
sebagaimana dikutip oleh Rachmat Syafe’i15 menyatakan untuk merubah
kemunkaran, dengan cara:
1. Kekuasaan bagi para penguasa
2. Nasihat atau ceramah bagi para ulama, kaum cerdik pandai, juru
penerang, bagian penyuluhan, para wakil rakyat, dan lain-lain.
3. Membencinya di dalam hati bagi masyarakat umum.
Dengan kata lain, hadits tersebut menunjukkan bahwa umat Islam
harus berusaha melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar menurut
kemampuannya, sekalipun hanya melalui hati.16

13
Ibid, hlm. 243
14
Ibnu Taimiyah, Syaikhul Islam, Op. Cit., hlm. 263
15
Rachmat Syafe’i, Op. Cit., hlm. 241
Menurut Al-Ghazali -jika kita melihat cara yang kedua- menyatakan
bahwa tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan
menyucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Hal tersebut karena tujuan pendidikan Islam yang utama adalah upaya
untuk mendekatkan diri kepada-Nya.17 Hal ini menunjukkan bahwa tugas
pendidik dan tujuan pendidikan Islam selaras dengan konsep amar ma’ruf
dan nahi munkar pada hadits diatas. Sebagaiman disampaikan oleh Imam An-
Nawawi bahwa tugas amar ma’ruf nahi munkar bukan hanya pada para
pemimpin saja. Akan tetapi perintah tersebut juga berlaku untuk setiap
individu.18
Selain itu, tak dipungkiri bahwa hadits merupakan sumber pendidikan
Islam. Sebagaimana disebutkan oleh Sa’id Ismail Ali dalam Hasan
Langgulung dan dikutip kembali oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir
bahwa sumber pendidikan Islam adalah Al-Quran, As-Sunnah (hadits), kata-
kata shahabat (madzhab shahabi), kemaslahatab umat/sosial (mashalil al-
mursalah), tradisi atau adat kebiasaan masyarakat (‘urf), dan hasil pemikiran
para ahli dalm Islam (ijtihad).19
Berdasarkan hal diatas, bahwa terdapat kaitan erat antara pendidikan
dengan hadits amar ma’ruf nahi munkar diatas. Amar ma’ruf menghendaki
mengajak kepada kebaikan agar mendapat ridha Allah dan nahi munkar untuk
mencegah seseorang agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak disukai-
Nya sehingga menjerumuskan pelakunya ke neraka. Sementara pendidik
sendiri adalah salah satu pelaku yang merealisasikan hadits tersebut secara
insentif dan berkelanjutan. Wallahu’alam hanya Allah yang memberi taufik.

16
Ibid.
17
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit., hlm. 90
18
An-Nawawi, Imam, Op. Cit., hlm. 137
19
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit., hlm. 30

Vous aimerez peut-être aussi