Vous êtes sur la page 1sur 4

AL-AHKAM AS-SULTHANIYAH

dan Pemikiran Kenegaraan dalam Islam

Oleh: Dr. Adian Husaini

(Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam

Universitas Ibn Khaldun Bogor)

Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah ditulis Imam Mawardi (w. 450 H/sekitar 1072 M), yang nama
lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi Asy-Syafii. Kitab ini
menunjukkan ketinggian peradaban Islam yang dibangun diatas dasar ilmu-ilmu Islam (ulumuddin).
Di zaman ketika Eropa masih dalam zaman kegelapan (sekitar 500-1500 M), kaum Muslim telah
menghasilkan karya-karya yang gemilang dalam berbagai bidang keilmuan, termasuk dalam ilmu
politik, dengan terbitnya buku karya Imam al-Mawardi ini.

Dan ini tidaklah mengherankan, sebab, Islam bukan hanya wujud dalam bentuk ajaran-ajaran
spiritual keagamaan, tetapi Islam juga wujud dalam bentuk peradaban yang mencakup berbagai
sistem kehidupan, baik sistem politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Islam juga satu-
satunya agama yang memberikan keteladanan yang tinggi dalam bidang politik dan pemerintahan.
Islam bukan hanya membangun aspek duniawi dalam bentuk peradaban materi, tetapi tujuan Islam
yang juga diamanahkan kepada para penguasanya adalah membangun manusia-manusia Muslim
yang unggul. Prestasi Islam dalam mencetak pemimpin yang unggul ini belum terlampaui oleh
peradaban lain di muka bumi. Islam pernah melahirkan penguasa-penguasa yang luar biasa yang
bergelimang dengan kekuasaan dan harta benda, tetapi hatinya sama sekali tidak tertakluk pada
dunia. Adakah pemimpin dunia dari peradaban lain yang pernah mencapai prestasi Abu Bakar ash-
Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Umar bin Abdul Aziz, dalam
bidang pemerintahan?

Sebagai contoh, mantan biarawati Katolik, Karen Armstrong memuji Umar Ibn Khattab saat
menaklukkan Jerusalem (636 M). Secara tegas Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan
ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa
sebelumnya. Ia mencatat: Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut
(agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan
kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan
tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang
panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak
ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran simbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran
atyau pengambilalihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam.
Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai
tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di
Jerusalem, dengan sangat baik tentunya. (Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three
Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228).
Pelopor Ilmu Kenegaraan

Umat Islam adalah umat pertama yang menata pemerintahan dengan cara-cara administrasi tertulis
yang sangat jelas. Bahkan, Piagam Madinah adalah merupakan Konstitusi tertulis pertama di dunia.
Dr. Muhammad Hamidullah, dalam bukunya The Prophets Establishing a State and His Succession
(Islamabad: Pakistan Hijra Council, 1988), menempatkan satu bab berjudul The First Written-
Constitution in the World untuk menyebut Piagam Madinah. Jadi, sebelum Rasulullah saw, meskipun
banyak pemikir yang membicarakan tentang masalah politik dan kenegaraan, tetapi belum ada satu
pun negara yang memiliki Konstitusi tertulis seperti negara Madinah.

Jauh sebelum ilmu politik internasional berkembang di Barat, ulama-ulama Islam juga telah
melahirkan karya-karya besar dalam bidang ini. Salah satu yang terkenal, misalnya, ialah Kitab al-
Siyar al-Kabir karya Imam Syaibani (w. 804). Kitab ini, pada tahun 1965, diterjemahkan oleh Prof.
Majid Khadduri, ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Islamic Law of Nations (Baltimore: The
John Hopkins Press, 1966). Kepeloporan Syaibani dalam bidang ilmu hubungan internasional jauh
melampaui ilmuwan Hugo Grotius (m. 1645) yang dianggap sebagai peletak dasar hukum
internasional saat ini. Tetapi, meskipun demikian, bisa ditanyakan kepada para mahasiswa kajian
hubungan internasional di banyak universitas Islam, apakah mereka mengenal nama Imam Syaibani
atau tidak.

Ketika mempelajari ilmu pengetahuan di jurusannya, mahasiswa diperkenalkan dengan asal-asul


keilmuan dalam perspektif Barat, yang biasanya dimulai dengan pemikiran para Filosof Yunani dan
langsung meloncat ke pemikiran para ilmuwan Barat abad modern. Didang bidang ilmu politik,
misalnya, mahasiswa diperkenalkan dengan sejarah pemikiran politik, mulai pemikiran politik
Aristoteles, Plato, dan langsung meloncat ke pemikir-pemikir politik Eropa abad modern. Sebagai
misal, dalam buku World Masterpieces (New York: WW Norton&Company Inc, 1956), yang
menghimpun karya-karya besar ilmuwan dunia sepanjang sejarah, sama sekali tidak dijumpai karya-
karya para ilmuwan Muslim. Dalam bidang politik, yang dianggap pemikir besar adalah Niccolo
Machiavelli. Hal serupa bisa dijumpai juga pada buku berjudul Powerful Ideas: Perspectives on the
Good Society (Victoria, The Cranlana Program, 2002).

Tahun 1911, orientalis Belanda Snouck Hurgronje menerbitkan bukunya Nederland en de Islam,
yang berisi pemikiran dan strategi westernisasi umat Islam: (1) Dalam bidang yang murni agama,
pemerintah dan pejabat-pejabatnya harus menjamin dan memelihara kebebasan mutlak, (2) Dalam
bidang politik, kebebasan itu harus dibatasi untuk kepentingan bersama, (3) Dalam bidang hukum
Islam, pemerintah harus menjauhi intervensi yang dipaksakan, sekalipun harus mendorong ke arah
proses evolusi hukum sebanyak mungkin, (4) Garis-garis kebijaksanaan yang kurang lebih negatif ini
harus menuju ke arah tujuan yang positif, yaitu kemajuan orang-orang Islam yang harus dibebaskan
dari beberapa peninggalnan ajaran abad pertengahan yang tidak berguna yang menyeret mereka
hingga demikian lamanya agar supaya dengan jalan ini dengan perantaraan pendidikan dan
pengajaran dapat memperoleh kesempatan asosiasi kultural dengan kebudayaan Barat. (Dikutip
dari: Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 32.
Al-Ahkam al-Sulthaniyah

Dalam situasi seperti ini, maka penelaahan buku-buku karya ulama Islam, seperti buku al-Ahkam al-
Sulthaniyah karya al-Mawardi, sangatlah penting dan berharga. Buku ini mengandung untaian
pemikiran politik Islam yang sangat kaya; mengatur berbagai aspek tata cara pengelolaan
pemerintahan. Khazanah Islam seperti ini sebagaimana dengan khazanah keilmuan Islam lainnya
kini dianggap tidak penting, bahkan dianggap tidak bernilai ilmiah, sehingga sama sekali tidak
diperkenalkan kepada para siswa dan mahasiswa jurusan ilmu politik. Maka, jangan heran, jika
banyak sekali sarjana ilmu politik yang sama buta sama sekali dengan khazanah politik Islam.
Bahkan, mereka tidak merasa perlu tahu, dan menganggap konsep-konsep politik Islam sudah
ketinggalan zaman dan tidak perlu dikaji atau ditengok lagi.

Sebagai contoh dalam pemikiran tentang proses pemilihan kepala negara, para elite politik Muslim
Indonesia, sepertinya enggan menggali khazanah klasik pemikiran al-Mawardi. Hampir semua
terlena dalam euforia demokrasi dan pemilihan langsung kepala daerah. Bahwa pemilihan langsung
kepala daerah (pilkada) adalah jalan terbaik untuk memilih kepala daerah. Padahal, proses pemilihan
bukanlah substansi penting. Yang terpenting adalah syarat-syarat kepala negara atau kepala daerah
yang terpenuhi, sesuai dengan ajaran Islam. Misal, tentang pengangkatan Imam (Khalifah), Al-
Mawardi menyebutkan bahwa jabatan imamah dianggap sah dengan dua cara: (1) dengan pemilihan
oleh ahlul halli wal aqdi (2) penunjukan oleh khalifah sebelumnya. Al-Mawardi menjelaskan dengan
sangat detail bagaimana prosedur pemilihan khalifah oleh ahlul halli wal aqdi. Berbagai pendapat
ulama ditampilkan dalam bukunya. Cara kedua, dengan cara penunjukan oleh khalifah sebelumnya,
menurut al-Mawardi, juga dibenarkan oleh syariat Islam.

Bagi pemuja paham demokrasi, pemikiran al-Mawardi mungkin akan dicemooh. Padahal, sejak
zaman Yunani Kuno, demokrasi adalah sistem yang dibenci. Demokrasi menyimpan kelemahan-
kelemahan internal yang fundamental. Dalam sistem inilah, ilmu pengetahuan tidak dihargai. Orang
pintar disamakan haknya dengan orang bodoh. Seorang profesor ilmu politik memiliki hak suara
yang sama dengan orang pedalaman yang tidak mengerti baca-tulis dan informasi politik. Seorang
yang taat beragama disamakan hak suaranya dengan seorang perampok, koruptor, pembunuh, atau
pemerkosa.

Kelemahan dan bahaya internal demokrasi itu pernah diingatkan Plato, filosof Yunani Kuno. Plato
(429-347 BC) menyebut empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih dan
diikuti karena faktor-faktor non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latar belakang
keluarga. Plato memimpikan munculnya the wisest people sebagai pemimpin ideal di suatu negara,
The wisest people is the best people in the state, who would approach human problems with reason
and wisdom derived from knowledge of the world of unchanging and perfect ideas.

Penyair terkenal Muhammad Iqbal juga banyak memberikan kritik terhadap konsep pemerintahan
yang menyerahkan keputusannya kepada massa yang berpikiran rendah. Kata Iqbal, bagaimana pun,
para semut tidak akan mampu melampui kepintaran seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan
metode demokrasi, sebab pemikiran manusia tidak akan keluar dari 200 keledai. Ini ditulisnya dalam
syairnya, Payam-e-Masyriq.

Aristoteles (384-322 BC), murid Plato, juga menyebut demokrasi sebagai bentuk pemerintahan
buruk, seperti tirani dan oligarkhi. Tiga bentuk pemerintahan yang baik, menurutnya, adalah
monarkhi, aristokrasi, dan polity. Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat
manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi and hampir semua filosof politik menolaknya.
Sejak abad ke-18, beberapa aspek dari demokrasi politik mulai diterapkan di Barat. Beberapa ide ini
datang dari John Locke, yang banyak memberi sumbangan pemikiran politik terhadap Inggris dan AS.
(Lihat, Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, (Karachi: Royal Book Company, 1983), vol I, hal.
98-106; James A. Gould and Willis H. Truit (ed.), Political Ideologies, (New York:Macmillan Publishing,
1973), hal. 29; Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964), hal.
37.

Dalam buku al-Ahkam as-Sulthaniyah, sistem pemerintahan Islam dikaji dengan cukup terperinci.
Pemikiran-pemikiran politik yang ada di sini bisa ditelaah dan diambil sebagai bahan pemikiran para
politisi Muslim maupun para akademisi Muslim dan para ulama untuk diaplikasikan dalam situasi
zaman sekarang ini. Tetapi, yang terpenting. kajian-kajian terhadap karya para ulama kita
seyogyanya mampu menyadarkan betapa karya-karya klasik Islam kaya dengan khazanah pemikiran
yang sangat relevan jika dikaji dan diterapkan di zaman sekarang. Tentu saja, tidak semuanya dapat
diterapkan di dalam satu sistem yang tidak mengambil Islam sebagai satu totalitas sistem kehidupan.
Wallahu alam bish-shawab. (***)

Vous aimerez peut-être aussi