Vous êtes sur la page 1sur 31

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Anestesi Umum


4.1.1 Definisi
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum memiliki karakteristik
menyebabkan amnesia bagi pasien yang bersifat anterogard yaitu hilang ingatan
kedepan dimana pasien tidak akan bisa ingat apa yang telah terjadi saat dia
dianestesi/operasi. Karakteristik selanjutnya adalah reversible yang berarti anestesi
umum akan menyebabkan pasien bangun kembali tanpa efek samping.1

4.1.2 Komponen dalam Anestesi Umum


Dahulu dikenal istilah “Trias Anetesia” yaitu hipnosi, analgesia, dan arefleksia.
Namun, sekarang anestesi umum tidak hanya mempunyai tiga komponen itu saja.
Secara umum komponen yang ada dalam anestesi umum yaitu:1
1. Hipnosis (hilangnya kesadaran)
2. Analgesia (hilangnya nyeri)
3. Arefleksia (hilangnya refleks-refleks motorik tubuh, memungkinkan
imobilisasi pasien)
4. Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi
trakeal
5. Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur) 1

4.1.3 Keuntungan dan Kerugian Anestesia Umum


Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah anestisia
umum. Semua teknik anastesia harus dapat sewaktu-waktu dikonversikan menjadi
anestesia umum.1

12
Keuntungan anestesia umum
 Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis
berlangsung.
 Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat ansietas
dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan trauma
psikologis.
 Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
 Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien. 1
Kerugian anestesia umum
 Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi tumpul
dibawah anestesia umum.
 Memerlukan pemantauan yang lebih holostik dan rumit.
 Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.
 Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.
 Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.

4.1.4 Persiapan pra anestesi


Tujuan dari kunjungan pra anestesi ini yakni mempersiapkan baik fisik maupun
mental pasien, serta merencanakan teknik dan obat-obatan apa saja yang digunakan.1
1. Anamnesis
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya utnuk eliminasi
nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk
mengaktifkan kerja silia jalan nafas dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi
sputum. Kebiasaan minum alkohol juga patut dicurigai akan adanya penyakit hepar.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.

13
3. Pemeriksaan Laboratorium
Sebaiknya tepat indikasi, sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai.
Pada usia pasien diatas 50 tahun dianjurkan pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
4. Kebugaran untuk Anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
pasien dalam keadaaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu
harus dihindari.
5. Klasifikasi Status Fisik
Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American Society of Anesthesiologists
(ASA) yaitu:1,2
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas sedang, tanpa pembatasan
aktivitas.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
6. Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama pada pasien-
pasien yang menjalani anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak
kecil 4-6 jam dan bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi
anestesi.1
7. Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, diantaranya:1

14
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan

4.1.5 Induksi anestesi


Induksi anesthesia adalah tindakan yang bertujuan membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehinggga memungkinkan dimulainya anesthesia dan
pembedahan.1,2
Induksi Intravena
Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu
diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.1
Anestesi intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk rumatan
anestesi, tambahan pada analgesia regional atau untuk membantu prosedur diagnostik
misalnya tiopental, ketamin dan profopol. Untuk anestesia intravena total biasanya
menggunakan profopol.
Anestetik Inhalasi
Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek
klinik ialah N2O, halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran. Obat-obat lain
ditinggalkan karena efek samping yang tidak dikehendaki.
Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditetukan oleh sifat fisiknya:1
1. Ambilan oleh paru
2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya

15
A. Eliminasi
Sebagian besar gas anestesi dikeluarkan lagi oleh badan lewat paru.
Sebagianlagi dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450. Sisa
metabolismeyang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal.1
B. N2O
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi,
tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam bentuk cair
dalamsilinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi atau 50
atm.1
Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini
bersifatanestetik lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga sering digunakan untuk
menguranginyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan
sendirian, tetapidikombinasi dengan salah satu cairan anestesi lain seperti halotan dan
sebagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar
mengisi alveoli,sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindariterjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit.1
C. Halotan
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya yang
enak dan tidak merangsang jalan napas, maka sering digunakan sebagai induksi
anestesi kombinasi dengan N2O. Halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat
tua) supayatidak dirusak oleh cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%.1
Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada napas
kendalisektar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien.
Halotanmenyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang
sulitdikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk
bedah otak.1
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis,depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Kebalikan dari N2O,
halotananalgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal
sepanjangtidak ada indikasi kontra.

16
Kombinasi dengan adrenalin sering menyebabkan disritmia,
sehingga penggunaan adrenalin harus dibatasi. Adrenalin dianjurkan dengan
pengenceran1:200.000 (5 µg/kg).Pada bedah sesar, halotan dibatasi maksimal 1 vol%,
karena relaksasi uterusakan menimbulkan perdarahan. Halotan menghambat pelepasan
insulin, meninggikan kadar gula darah.
D. Isofluran
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis
anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapimeninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran darah
otak dan tekanan intrakranial ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi,sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemariuntuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan
gangguankoroner. Isofluran dengan konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil
menyebabkanrelaksasi dan kurang responsif jika diantisipasi dengan oksitosin,
sehingga dapatmenyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat
dikurangisampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.1
E. Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari
anestesilebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disampinghalotan.Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang mnyebabkan
aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik
terhadaphepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh
badan.Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime), tetapi belum ada
laporan membahayakan terhadap tubuh manusia.1

17
4.1.6 Rumatan anestesi
Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia
intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
Rumatan anestesi biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis)
sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil
10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia
cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena
dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse
propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena
menggunakan opioid, pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru
digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah
halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-
4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted), atau
dikendalikan (controlled).

Pengakhiran Anestesi Umum


Pengakhiran anestesi intravena bergantung pada farmakokinetiknya.
Pemulihan dari kebanyakan obat anestesi intravena lebih bergantung pada redistribusi
daripada waktu paruh eliminasinya. Bila total dosis yang diberikan meningkat, efek
kumulatif tampak dalam akhir anestesi yang berkepanjangan; akhir kerja menjadi lebih
bergantung pada eliminasi atau waktu paruh metabolik. Dalam kondisi seperti ini, usia
tua atau penyakit renal atau hati dapat memperpanjang pengakhiran (lihat Bab 8).
Penggunaan obat-obat anestetik kerja singkat dan sangat singkat seperti propofol dan
remifentanil secara nyata memperpendek pengakhiran, waktu untuk bangun, dan
pengeluaran pasien. Terlebih lagi, penggunaan Bispectral Index Scale (BIS) (dan
mungkin juga patient state index [PSI]) mengurangi dosis obat total dan
memperpendek pemulihan dan waktu untuk memindahkan pasien. Penggunaan LMA

18
dapat juga membolehkan level anesthesia yang lebih dangkal yang dapat mempercepat
pengakhiran. 2
Kecepatan pengakhiran juga dipengaruhi oleh obat-obat pra bedah.
Premedikasi dengan obat-obat yang waktu kerjanya lebih lama daripada prosedur
mungkin menyebabkan pengakhiran yang berkepanjangan. Durasi pendek midazolam
membuatnya cocok untuk obat premedikasi untuk prosedur yang singkat. Efek obat
tidur pra bedah atau minum obat (alkohol, sedatif) dapat menambah efek zat-zat
anestetik dan memperpanjang pengakhiran. 2

4.1.7 Oral dan Nasal Airway2


Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya kelemahan dari otot
genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh
kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust
merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan jalan nafas. Untuk
mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial airway) dapat
dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara antara
lidah dengan dinding faring bagian posterior (Gambar 5-4). Pasien yang sadar atau
dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan
nafas artifisial bila refleks laring masih intact. Pemasangan oral airway kadang-
kadang difasilitasi dengan penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan
menekan lidah dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80
mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no 5).2

19
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung
ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Disebabkan
adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi
antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal airway jangan digunakan pada
pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui hidung (nasal
airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakheal) harus dilubrikasi. Nasal airway lebih
ditoleransi daripada oral airway pada pasien dengan anestesi ringan. 2

4.1.7 Face Mask Design dan Teknik


Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas anestesi
dari sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat (gambar
5-5). Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Orifisium
face mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui konektor. Tersedia
berbagai disain face mask. Face mask yang transparan dapat mengobservasi uap gas
ekspirasi dan muntahan.. 2
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face mask yang
rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat menyebabkan
reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini menunjukkan adanya
kebocoran sekeliling face mask. 2

20
4.1.7.2 Teknik dan Bentuk Laryngeal Mask Airway (LMA)
Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan
TT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT pada
pasien dengan difficult airway, dan untuk membantu ventilasi selama bronchoscopy
fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki kelebihan istimewa dalam
menentukan penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe
LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat
dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa
nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang
dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit. 2

21
LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT (tabel 5-
4). Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses),
sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau
komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan
tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional, LMA
dihindari pada pasien dengan bronkhospasme aatau resistensi jalan nafas tinggi, akan
tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakhea,
penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian bronchospasme lebih kurang dari
pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk trakheal intubasi,
LMA membuktikan sangat membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang
sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk
memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar (95-99%). 2

22
INTUBASI ENDOTRACHEA
a. Definisi
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui
rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira pada pertengahan antara pita
suara dan bifurkasio trakea.4
Tujuan :
1. Pembebasan jalan napas
2. Pemberian napas buatan dengan bag and mask
3. Pemberian napas buatan secara mekanik (respirator)
4. Memungkinkan penghisapan sekret secara adekuat
5. Mencegah aspirasi asam lambung (dengan adanya balon yang dikembangkan)
6. Mencegah distensi lambung.
Pemberian oksigen dosis tinggi.
b. Alat
Sebelum melakukan tindakan intubasi trakea, ada beberapa alat yang perlu
disiapkan yang disingkat dengan STATICS.3,4
1. S= Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop
untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring
secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara
garis besar, dikenal dua macam laringoskop:5
a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

23
Gambar 3. Miller Blade3 Gambar 4. Macintosh Blade3

Pilih bilah
sesuai
dengan usia
pasien.
Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu pada laringoskop harus cukup terang
sehingga laring jelas terlihat.

2. T=Tubes
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Untuk bayi dan anak kecil di bawah
usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk
dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak
menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya
tidak bocor.5 Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat
trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.4
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui
hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila penggunaan
orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut
atau dapat menghalangi akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube
dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis kranii.

24
Gambar 5. Pipa endotrakea8
Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya
dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4
timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis
subglotis.5
3. A=Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untk menjaga terbukanya jalan napas yaitu
pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal
airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak
menyumbat jalan napas.
4. T=Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
5. I=Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus plastik
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
6. C=Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve mask
ataupun peralatan anestesia.
7. S=Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah, dan cairan lainnya.

25
C. Indikasi Intubasi Trakea4
Indikasi intubasi trakea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai
berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Misalnya akibat kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus,
pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi.
Misalnya saat resusitasi dan ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.

D. Kontraindikasi
a. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
b. Keadaan trauma / obstruksi jalan nafas atas, mencegah aspirasi, penanganan
jalan nafas jangka panjang, mempermudah proses weaning ventilator

E. penyulit IntubasiTrakea
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang
dijumpai.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan lidah
dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi empat kelas. Sedangkan
menurut Cormack dan Lehanne kesulitan intubasi juga dibagi menjadi 4 gradasi.

26
Gambar 7. Mallampati Classification and Cormack-Lehanne
Classification5

Kesulitan intubasi umumnya ditemui pada kondisi:5


1. Leher pendek dan berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak verteba servikal terbatas.

F. Teknik Intubasi Trakea4,5


1. Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri.
Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade
dimasukan pada sisi kanan dari orofaring
dengan hati-hati untuk menghindari gigi.
Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju
dasar dari faring dengan pinggir blade.

27
Puncak dari lengkung blade biasanya di masukan ke dalam vallecula, dan ujung blade
lurus menutupi epiglotis. Handle diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari
mandibula pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan
blade dan pengungkitan dari gigi harus dihindari. Orotracheal tube (OTT) diambil
dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka
(abduksi). Balon OTT harus berada dalam trachea bagian atas tapi diluar
laring. Langingoskop ditarik dengan hati- hati untuk menghindari kerusakan
gigi. Balon dikembungkan dengan minimal udara yang dibutuhkan untuk
meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trachea. Setelah intubasi,
dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan capnogragraf dimonitor untuk
memastikan ETT ada di intratracheal.

2. Intubasi Nasotrakeal
NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan ke
dasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari turbin.
Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari NTT harus
ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya
terlihat di orofaring. Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan pada trachea
tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat diguankan forcep Magil.
Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan balon.
Memasukkan NTT melalaui hidung berbahaya pada pasien dengan trauma wajah yang
berat disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial.5

G. Komplikasi
Komplikasi :
1. selama intubasi
- Trauma gigi geligi - Laserasi bibir, gusi , laring
- Merangsang saraf simpatis - Intubasi bronkus
- Intubasi esophagus - Aspirasi
- Spasme bronkus

28
2. Selama Ekstubasi
- Spasme laring - Aspirasi
- Gangguan fonasi - Edema glotis-subglotis
- Infeksi laring, faring, dan trakea

Monitoring perianestesi
Pasca bedah
Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah
operasi dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien
gelisah, harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah
menurun, nadi cepat) misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau
kekurangan cairan).4,5

B. Carpal Tunnel Syndrome

2.1 Definisi

Carpal Tunnel Syndrome merupakan neuropati tekanan atau cerutan terhadap


nervus medianus di dalam terowongan karpal pada pergelangan tangan, tepatnya di
1
bawah tleksor retinakulum (cit.Samuel 1979, Dejong 1979, Mumenthaler 1984)
Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di mana
tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh
beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia membentuk dasar
dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh
fleksor retinakulum (transverse carpal ligament dan palmar carpal ligament) yang
3
kuat dan melengkung di atas tulang-tulang karpalia tersebut . Setiap perubahan
yang mempersempit terowongan ini akan menyebabkan tekanan pada struktur yang
4
paling rentan di dalamnya yaitu nervus medianus .

29
2.2 Anatomi

Nervus Medianus melewati suatu terowongan pada pergelangan tangan untuk


mempersarafi kulit telapak tangan dan punggung tangan di daerah ibu jari,
telunjuk,jari tengah dan setengah sisi radial jari manis.

Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di mana tulang
dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh beberapa
tendon dan nervus medianus.

Tulang-tulang karpalia membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan
kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum (transverse carpal
ligament dan palmar carpal ligament) yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang
karpalia tersebut

30
Gambar 1. Anatomi terowongan karpal dan penyusun-penyusunnya

2.3 Patogenesis

Ada beberapa hipotesa mengenai patogenesis dari Carpal Tunnel Syndrome.


Sebagian besar penulis berpendapat bahwa faktor mekanik dan vaskular memegang
peranan penting dalam terjadinya Carpal Tunnel Syndrome. Umumnya Carpal
Tunnel Syndrome terjadi secara kronis di mana terjadi penebalan fleksor

31
retinakulum yang menyebabkan tekanan terhadap nervus medianus. Tekanan yang
berulang-ulang dan lama akan mengakibatkan peninggian tekanan intrafasikuler.
Akibatnya aliran darah vena intrafasikuler melambat. Kongesti yang terjadi ini
akan mengganggu nutrisi intrafasikuler lalu diikuti oleh anoksia yang akan merusak
endotel. Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan kebocoran protein sehingga
terjadi edema epineural.
Hipotesa ini menerangkan bagaimana keluhan nyeri dan sembab yang timbul
terutama pada malam hari dan/pagi hari akan berkurang setelah tangan yang terlibat
digerak-gerakkan atau diurut (mungkin akibat terjadinya perbaikan sementara pada
aliran darah). Apabila kondisi ini terus berlanjut akan terjadi fibrosis epineural yang
merusak serabut saraf. Lama-kelamaan safar menjadi atrofi dan digantikan oleh
jaringan ikat yang mengakibatkan fungsi nervus medianus terganggu secara
menyeluruh.

Pada Carpal Tunnel Syndrome akut biasanya terjadi penekanan yang melebihi
tekanan perfusi kapiler sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi dan timbul
iskemik saraf. Keadaan iskemik ini diperberat lagi oleh peninggian tekanan
intrafasikuler yang menyebabkan berlanjutnya gangguan aliran darah. Selanjutnya
terjadi vasodilatasi yang menyebabkan edema sehingga sawar darah-saraf
terganggu. Akibatnya terjadi kerusakan pada saraf tersebut.
Tekanan langsung pada saraf perifer dapat pula menimbulkan invaginasi
Nodus Ranvier dan demielinisasi lokal sehingga konduksi saraf terganggu.

2.4 Etiologi

Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus medianus juga
dilalui oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang mengakibatkan semakin
padatnya terowongan ini dapat menyebabkan terjadinya penekanan pada nervus
medianus sehingga timbullah Carpal Tunnel Syndrome
Pada sebagian kasus etiologinya tidak diketahui, terutama pada penderita
lanjut usia. Beberapa penulis menghubungkan gerakan yang berulang-ulang pada

32
pergelangan tangan dengan bertambahnya resiko menderita gangguan pada
.
pergelangan tangan termasuk Carpal Tunnel Syndrome
Pada kasus yang lain etiologinya adalah :
1. Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure palsy,
misalnya HMSN ( hereditary motor and sensory neuropathies) tipe III.
2. Trauma: dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah, pergelangan
tangan dan tangan .Sprain pergelangan tangan. Trauma langsung terhadap
pergelangan tangan.
3. Pekerjaan : gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi pergelangan tangan
yang berulang-ulang. Seorang sekretaris yang sering mengetik, pekerja
kasar yang sering mengangkat beban berat dan pemain musik terutama
pemain piano dan pemain gitar yang banyak menggunakan tangannya juga
merupakan etiologi dari carpal turner syndrome.
4.. Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.
5. Metabolik: amiloidosis, gout.
6. Endokrin : akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes mellitus,
hipotiroidi, kehamilan.
7. Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma.
8. Penyakit kolagen vaskular : artritis reumatoid, polimialgia reumatika,
skleroderma, lupus eritematosus sistemik.
9. Degeneratif: osteoartritis.
10. Iatrogenik : punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk
dialisis, hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan.
11. Faktor stress
12. Inflamasi
Inflamasi dari membrane mukosa yang mengelilingi tendon menyebabkan
nervus medianus tertekan dan menyebabkan carpal tunnel syndrome

33
2.5 Gejala Klinis

Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja .Gangguan
motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal biasanya berupa
parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa seperti terkena aliran listrik
(tingling) pada jari dan setengah sisi radial jari walaupun kadang-kadang dirasakan
mengenai seluruh jari-jari. Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam
hari.
Gejala lainnya adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada
malam hari sehingga sering membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini
umumnya agak berkurang bila penderita memijat atau menggerak-gerakkan
tangannya atau dengan meletakkan tangannya pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri
juga akan berkurang bila penderita lebih banyak mengistirahatkan tangannya. Bila
penyakit berlanjut, rasa nyeri dapat bertambah berat dengan frekuensi serangan
yang semakin sering bahkan dapat menetap. Kadang-kadang rasa nyeri dapat terasa
sampai ke lengan atas dan leher, sedangkan parestesia umumnya terbatas di daerah
distal pergelangan tangan .

Dapat pula dijumpai pembengkakan dan kekakuan pada jari-jari, tangan dan
pergelangan tangan terutama di pagi hari. Gejala ini akan berkurang setelah
penderita mulai mempergunakan tangannya. Hipesetesia dapat dijumpai pada
daerah yang impuls sensoriknya diinervasi oleh nervus medianus.
Pada tahap yang lebih lanjut penderita mengeluh jari-jarinya menjadi kurang
trampil misalnya saat menyulam atau memungut benda-benda kecil. Kelemahan
pada tangan juga dapat dijumpai, sering dinyatakan dengan keluhan adanya
kesulitan yang dialami penderita sewaktu mencoba memutar tutup botol atau
menggenggam. Pada penderita Carpal Tunnel Syndrome pada tahap lanjut dapat
dijumpai atrofi otot-otot thenar dan otot-otot lainnya yang diinnervasi oleh nervus
melanus .

34
2.6 Diagnosa
Diagnosa Carpal Tunnel Syndrome ditegakkan selain berdasarkan gejala-gejala di
atas juga didukung oleh beberapa pemeriksaan yaitu :
1. Pemeriksaan fisik
Harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita dengan perhatian khusus
pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes
provokasi yang dapat membantu menegakkan diagnosa Carpal Tunnel Syndrome
adalah:
a. Flick's sign.
Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-gerakkan jari-
jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong diagnosa.
Carpal Tunnel Syndrome Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat dijumpai
pada penyakit Raynaud.
b. Thenar wasting.
Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot thenar.
c. Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual
maupun dengan alat dinamometer.
Penderita diminta untuk melakukan abduksi maksimal palmar lalu ujung jari
dipertemukan dengan ujung jari lainnya. Di nilai juga kekuatan jepitan pada
ujung jari-jari tersebut. Ketrampilan/ketepatan dinilai dengan meminta
penderita melakukan gerakan yang rumit seperti menulis atau menyulam.
d. Wrist extension test.
Penderita melakukan ekstensi tangan secara maksimal, sebaiknya dilakukan
serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam 60
detik timbul gejala-gejala seperti, Carpal Tunnel Syndrome maka tes ini
menyokong diagnosa. Carpal Tunnel Syndrome
e. Phalen's test.
Penderita melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila dalam waktu 60
detik timbul gejala seperti Carpal Tunnel Syndrome, tes ini menyokong

35
diagnosa. Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk
menegakkan diagnosa Carpal Tunnel Syndrome.
f. Torniquet test.
Dilakukan pemasangan tomiquet dengan menggunakan tensimeter di atas
siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit
timbul gejala seperti Carpal Tunnel Syndrome, tes ini menyokong diagnosa.
g. Tinel's sign.
Tes ini mendukung diagnosa hila timbul parestesia atau nyeri pada daerah
distribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada terowongan karpal
dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi
h. Pressure test.
Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan menggunakan ibu
jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala seperti Carpal
Tunnel Syndrome, tes ini menyokong diagnosa.
i. Luthy's sign (bottle's sign).
Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada botol atau
gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan
rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung diagnosa.
j. Pemeriksaan sensibilitas.
Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point discrimination)
pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes dianggap positif
dan menyokong diagnosa.
k. Pemeriksaan fungsi otonom.
Diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit yang kering atau licin
yang terbatas pada daerah innervasi nervus medianus. Bila ada akan
mendukung diagnosa Carpal Tunnel Syndrome

.
2. Pemeriksaan neurofisiologi (elektrodiagnostik)
a. Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik, gelombang
positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar. Pada

36
beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot lumbrikal. EMG bisa
normal pada 31 % kasus Carpal Tunnel Syndrome.
b. Kecepatan Hantar Saraf(KHS). Pada 15-25% kasus, KHS bisa normal. Pada
yang lainnya KHS akan menurun dan masa laten distal (distal latency)
memanjang, menunjukkan adanya gangguan pada konduksi safar di
pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten
motorik.

3. Pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan sinar X terhadap pergelangan tangan dapat membantu melihat
apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto palos leher berguna
untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT scan dan
MRI dilakukan pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi.

4. Pemeriksaan laboratorium
Bila etiologi Carpal Tunnel Syndrome belum jelas, misalnya pada penderita
usia muda tanpa adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa
pemeriksaan seperti kadar gula darah , kadar hormon tiroid ataupun darah
lengkap.

2.7 Diagnosa banding


1. Cervical radiculopathy.
Biasanya keluhannya berkurang hila leher diistirahatkan dan bertambah hila
leher bergerak. Oistribusi gangguan sensorik sesuai dermatomnya.
2. Thoracic outlet syndrome.
Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya selain otot-otot thenar. Gangguan
sensorik dijumpai pada sisi ulnaris dari tangan dan lengan bawah.

37
3. Pronator teres syndrome.
Keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeri di telapak tangan daripada Carpal
Tunnel Syndrome karena cabang nervus medianus ke kulit telapak tangan tidak
melalui terowongan karpal.
4. de Quervain's syndrome.
Tenosinovitis dari tendon muskulus abduktor pollicis longus dan ekstensor
pollicis brevis, biasanya akibat gerakan tangan yang repetitif. Gejalanya adalah
rasa nyeri dan nyeri tekan pada pergelangan tangan di dekat ibu jari. KHS
normal. Finkelstein's test : palpasi otot abduktor ibu jari pada saat abduksi pasif
ibu jari, positif bila nyeri bertambah.

2.8 Terapi
Selain ditujukan langsung terhadap Carpal Tunnel Syndrome terapi juga harus
diberikan terhadap keadaan atau penyakit lain yang mendasari terjadinya Carpal
Tunnel Syndrome. Oleh karena itu sebaiknya terapi Carpal Tunnel Syndrome
dibagi atas 2 kelompok, yaitu :
.
1. Terapi langsung terhadap Carpal Tunnel Syndrome
a. Terapi konservatif.
1. Istirahatkan pergelangan tangan.
2. Obat anti inflamasi non steroid.
3. Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai dapat
dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3 minggu.

38
4. lnjeksi steroid. Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison 10-25 mg atau
metilprednisolon 20 mg atau 40 mg diinjeksikan ke dalam terowongan
karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25 pada lokasi 1 cm ke arah
proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah medial tendon musculus
palmaris longus. Bila belum berhasil, suntikan dapat diulangi setelah 2
minggu atau lebih. Tindakan operasi dapat dipertimbangkan bila hasil
terapi belum memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan.
5. Kontrol cairan, misalnya dengan pemberian diuretika.
6. Vitamin B6 (piridoksin). Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu
penyebab Carpal Tunnel Syndrome adalah defisiensi piridoksin sehingga
mereka menganjurkan pemberian piridoksin 100-300 mg/hari selama 3
bulan. Tetapi beberapa penulis lainnya berpendapat bahwa pemberian
piridoksin tidak bermanfaat bahkan dapat menimbulkan neuropati bila
diberikan dalam dosis besar
7. Fisioterapi. Ditujukan pada perbaikan vaskularisasi pergelangan tangan.

b. Terapi operatif.
Tindakan operasi pada Carpal Tunnel Syndrome disebut neurolisis
nervus medianus pada pergelangan tangan. Operasi hanya dilakukan pacta
kasus yang tidak mengalami perbaikan dengan terapi konservatif atau hila
terjadi gangguan sensorik yang berat atau adanya atrofi otot-otot thenar.

39
Pada Carpal Tunnel Syndrome bilateral biasanya operasi pertama dilakukan
pada tangan yang paling nyeri walaupun dapat sekaligus dilakukan operasi
bilateral. Penulis lain menyatakan bahwa tindakan operasi mutlak dilakukan
hila terapi konservatif gagal atau bila ada atrofi otot-otot thenar, sedangkan
indikasi relatif tindakan operasi adalah hilangnya sensibilitas yang persisten.
Biasanya tindakan operasi Carpal Tunnel Syndrome dilakukan secara
terbuka dengan anestesi lokal, tetapi sekarang telah dikembangkan teknik
operasi secara endoskopik. Operasi endoskopik memungkinkan mobilisasi
penderita secara dini dengan jaringan parut yang minimal, tetapi karena
terbatasnya lapangan operasi tindakan ini lebih sering menimbulkan
.
komplikasi operasi seperti cedera pada saraf. Beberapa penyebab Carpal
Tunnel Syndrome seperti adanya massa atau anomali maupun tenosinovitis
pacta terowongan karpal lebih baik dioperasi secara terbuka

2. Terapi terhadap keadaan atau penyakit yang mendasari Carpal Tunnel


Syndrome.

Keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya Carpal Tunnel Syndrome


harus ditanggulangi, sebab bila tidak dapat menimbulkan kekambuhan Carpal
Tunnel Syndrome kembali. Pada keadaan di mana Carpal Tunnel Syndrome
terjadi akibat gerakan tangan yang repetitif harus dilakukan penyesuaian
ataupun pencegahan.

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya Carpal


Tunnel Syndrome atau mencegah kekambuhannya antara lain :
􀂃 Usahakan agar pergelangan tangan selalu dalam posisi netral
􀂃 Perbaiki cara memegang atau menggenggam alat benda. Gunakanlah
seluruh tangan dan jari-jari untuk menggenggam sebuah benda, jangan
hanya menggunakan ibu jari dan telunjuk.
􀂃 Batasi gerakan tangan yang repetitif.
􀂃 Istirahatkan tangan secara periodik.

40
􀂃 Kurangi kecepatan dan kekuatan tangan agar pergelangan tangan memiliki
waktu untuk beristirahat.
􀂃 Latih otot-otot tangan dan lengan bawah dengan melakukan peregangan
secara teratur
Di samping itu perlu pula diperhatikan beberapa penyakit yang sering
mendasari terjadinya Carpal Tunnel Syndrome seperti: trauma akut maupun
kronik pada pergelangan tangan dan daerah sekitarnya, gagal ginjal, penderita
yang sering dihemodialisa,myxedema akibat hipotiroidi, akromegali akibat
tumor hipofise, kehamilan atau penggunaan pil kontrasepsi, penyakit kolagen
vaskular, artritis, tenosinovitis, infeksi pergelangan tangan, obesitas dan
penyakit lain yang dapat menyebabkan retensi cairan atau menyebabkan
bertambahnya isi terowongan karpal.

2.10 Prognosa
Pada kasus Carpal Tunnel Syndrome ringan, dengan terapi konservatif pacta
umumnya prognosa baik. Secara umum prognosa operasi juga baik, tetapi karena
operasi hanya melakukan pada penderita yang sudah lama menderita Carpal Tunnel
Syndrome penyembuhan post operatifnya bertahap. Perbaikan yang paling cepat
dirasakan adalah hilangnya rasa nyeri yang kemudian diikuti perbaikan sensorik.
Biasanya perbaikan motorik dan otot- otot yang mengalami atrofi baru diperoleh
kemudian. Keseluruhan proses perbaikan Carpal Tunnel Syndrome setelah operasi
ada yang sampai memakan waktu 18 bulan.
Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh perbaikan maka
dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini :
1. Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan/tekanan terhadap
nervus medianus terletak di tempat yang lebih proksimal.
2. Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.
3. Terjadi Carpal Tunnel Syndrome yang baru sebagai akibat komplikasi
operasi seperti akibat edema, perlengketan, infeksi, hematoma atau
jaringan parut hipertrofik.

41
2.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat dijumpai adalah kelemahan dan hilangnya sensibilitas
yang persisten di daerah distribusi nervus medianus. Komplikasi yang paling berat
adalah reflek sympathetic dystrophy yang ditandai dengan nyeri hebat, hiperalgesia,
disestesia dan ganggaun trofik.
Sekalipun prognosa Carpal Tunnel Syndrome dengan terapi konservatif
maupun operatif cukup baik ,tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada.
Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat
diulangi kembali.

42

Vous aimerez peut-être aussi