Vous êtes sur la page 1sur 8

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu…

Baik, pertama – tama, saya akan memberikan sedikit pesan, bahwa karya ini ditulis dengan
cara dan gaya bahasa santai, tidak serius dan monoton akan aturan dan kaidah kebahasaan.
Mengapa? Karena bagi saya, tiap orang punya cara masing – masing dalam menyuarakan
aspirasi dan suaranya dalam berbagai hal. Mungkin ada yang serius tanpa ada santainya,
ada juga yang santai tapi tidak serius, atau mungkin mudah- mudahan seperti saya, santai
tapi serius dan kena target yang diharapkan. Aamiiin.

Oh iya, tidak lupa pula bagi saya, bagaimana cara menyampaikan tiap individu itu tetap
punya value yang bernilai apabila dimaknai dan dimengerti dengan baik. Jadi izinkan saya
akan menulis analisis ini dengan cara yang baik, namun sedikit sarkas. Mudah – mudahan
akan tersampaikan “uneg – uneg” masyarakat akan keresahan ini.

Baik kita mulai,

27 Juni 2018 ini akan menjadi pesta besar bagi masyarakat Indonesia, khususnya di 171
wilayah tingkat I maupun II yang akan melaksanakan pilkada serentak. Coba bayangkan,
ada 171 wilayah yang akan secara bersamaan melakukan pemilihan kepala daerahnya
masing – masing. I think it’s gonna be hectic. Ya, saya rasa akan terjadi suasana panas
sekaligus menegangkan dalam pelaksanaan pilkada ini. Saya rasa seharusnya 171 wilayah
yang akan melaksanakan pilkada serentak ini, bukan menjadi sebuah masalah besar,
seharusnya. Tapi melihat dari tahun dan dekade sebelumnya, ya banyak sekali terjadi
permasalahan ketika pelaksanaan pilkada ini dimulai. Perbedaan visi para pasangan calon,
tentunya harus menjadi kompetisi yang baik dalam kontes pilkada ini. Namun
kenyataanya, perbedaan yang ada malah menjadi ajang siapa yang paling benar dan paling
baik. Nah, ini yang sebenarnya menjadi akar permasalahan dalam kontes pilkada. Padahal
saya yakin tiap visi yang berbeda pun, memiliki satu tujuan dan arti yang sama, yaitu
bagaimana mereka dapat memperbaiki dan membangun wilayah yang dipimpinnya. Tentu
saja kita tidak bisa mengkotak - kotakan pemikiran yang ada. Tidak bisa saya menyamakan
persepsi antara pasangan calon 1 dengan 3. Ibaratnya seperti ini, di dunia ini hidup banyak
hewan. Ambil contoh, bahwa tujuan hidup hewan adalah mempertahankan diri dan
keluarganya. Ada harimau, yang menjaga diri dengan cara, siap menerkam para mangsa
dan musuh yang mengganggu dengan cakaran dan taring gigi yang sangat berbahaya. Ada
pula ular, yang menjaga diri dengan cara mengeluarkan bisa dan melicinkan tubuhnya
untuk melilit mangsa ketika ada bahaya yang menerjang. Get it? Jadi analoginya seperti itu.
Para pasangan calon pun memiliki caranya masing – masing, tentunya dalam kontekstual
tujuan pembangunan dan perbaikan wilayah yang akan dipimpinnya. Jadi perbedaan yang
seharusnya menjadi “bumbu” untuk “dapur pilkada”, malah menjadi “sampah” dalam
kontes pilkada. Nyatanya memang begitu.
Setelah perbedaan yang menjadi permasalahan, muncul lagi masalah baru, yaitu
ketidakbijaksanaan masyarakat pendukung pasangan calon dalam menggunakan teknologi,
khususnya sosial media! Ya, banyak yang ingin memenangkan pasangan calon unggulan
masing – masing dengan cara yang sangat picik, apa? Dengan menyebarkan berita palsu
(hoax) yang akan menjatuhkan pasangan calon lain, dan juga fitnah yang akan menurunkan
elektabilitas lawan yang lain. Ini tentu merupakan perbuatan yang sangat tidak baik.
Mereka ingin menang, namun sayang harus dengan cara yang tidak ada baiknya sama
sekali. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hoaks’ adalah ‘berita bohong.’ Dalam
Oxford English dictionary, ‘hoax’ didefinisikan sebagai ‘malicious deception’ atau
‘kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat’. Hoax’ atau ‘fake news’ bukan sesuatu yang
baru, dan sudah banyak beredar sejak Johannes Gutenberg menciptakan mesin cetak pada
tahun 1439. Sebelum zaman internet, ‘hoax’ bahkan lebih berbahaya dari sekarang karena
sulit untuk diverifikasi. Jadi sebenarnya kebiasaan hoax sudah dimulai sejak dulu kala. Ya,
mungkin dengan hoax, pemenangan pilkada akan lebih besar dengan peningkatan
elektabilitas pasangan calon yang didukung dan menendang jauh elektabilitas lawan. Tentu
saja ini melawan dan merusak birokrasi dan trust para masyarakat dan pemilih. Lalu, tidak
puas dengan hoax, mereka para oknum pun melanjutkan dengan menyebarkan ujaran
kebencian dan fitnah pada lawan politiknya. Ini seperti kesetanan. Mereka menghalalkan
segala cara dalam memenangkan para pasangan calon pilihannya. Eh maaf, para
pendukungnya inisiatif seperti itu? Atau mungkin disuruh pasangan calonnya? Hehehe.

Hoax dan Fitnah dalam sudut pandang masa kejayaan islam

Rasulullah saw. dahulu menerima kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan Islam dari
para pemimpin suku Aus dan Khazraj yang berkuasa atas kota Madinah (Yatsrib). Setelah
beliau saw. wafat, para tokoh kaum Anshar dan Muhajirin berdebat di pendopo Bani Saidah
untuk mengangkat Abu Bakar r.a. sebagai kepala negara menggantikan beliau saw.
Sebelum wafat khalifah Abu Bakar r.a. berpesan agar umat Islam mengangkat Umar bin Al
Khaththab sebagai kepala negara. Khalifah Umar bin al Khaththab r.a. menjelang wafat
menunjuk sejumlah sahabat senior seperti Abdurrahman bin Auf r.a., Usman bin Affan r.a.,
Ali bin Abi Thalib r.a., Thalhah bin Ubaidilah r.a., dan Sa’ad bin Abi Waqash untuk memilih
di antara mereka siapa yang akan menggantikan beliau r.a. sebagai kepala negara.

Abdurrahman bin Auf r.a. mengundurkan diri dari pencalonan dan bertindak sebagai
panitia pemilihan. Lalu disepakati oleh ketujuh orang tokoh hadir dalam majelis tersebut
pencalonan Ali bin Abi Thalib r.a. dan Usman bin Affan r.a. sebagai calon khalifah.
Abdurrahman mengambil suara seluruh penduduk Madinah yang sudah akil baligh hingga
akhirnya Usman bin Affan dibaiat sebagai khalifah.

Dari kisah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pemilu untuk mengangkat khalifah
baru pengganti khalifah lama yang wafat atau dipecat adalah persoalan teknis untuk
melaksanakan kewajiban mengangkat khalifah sebagai ulil amri atau kepala
negara. Sehingga dalam hal ini, boleh saja calon khalifah dipilih oleh wakil umat yang ada di
ibu kota atau pemilu yang melibatkan seluruh kaum muslimin di seluruh wilayah
negara. Hanya saja, calon khalifah diajukan dan ditentukan oleh sidang Majelis Umat yang
merupakan perwakilan seluruh umat dari seluruh negeri. Perlu ditegaskan di sini bahwa
meskipun anggota Majelis Umat yang dipilih dari seluruh negeri itu bisa seorang non
muslim yang menjadi warga negara Islam (ahlu dzimmah), namun yang berhak untuk
mengajukan dan menetapkan calon khalifah hanyalah anggota Majelis Umat yang muslim
sesuai seruan ayat di atas.

Kepala negara dalam system pemerintahan Islam (khalifah) tidak dibatasi masa jabatannya
lima tahun lalu dipilih kembali seperti dalam system demokrasi. Tapi dia bisa menjabat
sampai akhir hayat selama menjalankan pemerintahan sesuai syariah. Dan bisa pula
dicopot sekalipun baru dua bulan bila mana tidak memenuhi syarat lagi atau tidak bisa
diluruskan lagi penyimpangannya atau ditangkap oleh musuh saat berjihad. Oleh karena
itu, tidak ada pemilu lima tahunan untuk memilih kepala negara.

Khalifah dalam system pemerintahan Islam berhak mengangkat wali atau kepala daerah
(gubernur) atau wali kota dengan masa jabatan tertentu. Khalifah bisa memberhentikan
seorang wali (gubernur) atau wali kota di tengah masa jabatannya manakala mendapat
aduan dari Majelis Umat tentang penyimpangan serius dari pejabat daerah tersebut.

Mejelis Umat (semacam DPR/MPR) dan Majelis Wilayah (semacam DPRD) dipilih untuk
mewakili umat dalam rangka menjadi tempat bermusyawarah dari kepala negara dan
kepala daerah serta memiliki kewajiban untuk menyampaikan control dan koreksi
(muhasabah) terhadap kebijakan kepala negara dan kepala daerah tersebut. Ada juga
digunakan istilah ahlul halli wal aqdi untuk mereka yang terdiri dari orang-orang pilihan
yang punya kecakapan untuk menganalisis masalah dan memberikan kesimpulan untuk
memecahkan berbagai masalah yang diajukan kepala negara.
Pemilihan para wakil umat ini merujuk kepada hadits Rasulullah saw. pasca pembaiatan
kaum Anshar kepada beliau saw. di bukit Aqabah untuk menyerahkan kekuasaan atas kota
Madinah kepada beliau saw. Rasulullah saw. diriwayatkan bersabda:
“Pilihlah untukku 12 orang wakil yang mengurus urusan kaumnya”.

Berdasarkan fakta-fakta wakil rakyat yang menjadi tempat bermusyawarah Rasulullah


saw. dan para khalifah sesudahnya, maka dapat disimpulkan bahwa para wakil rakyat
dalam Majelis Umat maupun Majelis Wilayah tersebut dipilih secara periodic misalnya lima
tahun sekali.

Perlu ditegaskan di sini bahwa berdasarkan fungsi perwakilan umat dan prinsip
kesederahanaan dalam administrasi negara, maka pemilu untuk memilih wakil rakyat oleh
seluruh rakyat dilakukan dengan system distrik dimana rakyat untuk kota atau daerah
tertentu cukup memilih wakil mereka sekali saja untuk menjadi anggota Majelis Wilayah.

Para anggota Majelis Wilayah di suatu kota atau propinsi terpilih tersebut bersidang untuk
memilih siapa di antara mereka sejumlah orang yang akan mewakili mereka dan rakyat
dari wilayah tersebut untuk duduk sebagai anggota Majelis Umat yang berkedudukan di
ibukota negara.

Adapun kursi yang ditinggalkan oleh para anggota Majelis Wilayah karena terpilih sebagai
Anggota Majelis Umat digantikan oleh orang yang memiliki perolehan suara terbanyak
berikutnya.

Dengan demikian masa jabatan dari Anggota Majelis Umat dan Anggota Majelis Wilayah
sama dan mereka benar-benar mewakili rakyat baik di wilayah maupun di pusat. Anggota
Majelis Wilayah maupun Anggota Majelis Umat, baik laki-laki maupun perempuan, muslim
maupun non muslim, adalah mewakili rakyat untuk memberikan pendapat dan control
terhadap penguasa atas kebijakan mereka menjalankan pemerintahan sesuai syariat, juga
menyampaikan pengaduan atau buruknya pelaksanaan pemerintahan kepada rakyat,
muslim mupun non muslim. Hanya saja anggota Majelis Umat yang non muslim tidak
diberi wewenang dalam membuat penilaian terhadap hukum syariah dan tidak punya hak
dalam mengajukan dan memilih calon kepala negara (khalifah).

See, sangat jelas sekali bagaimana rotasi kepemimpinan dan legislasi ataupun yudikasi
dilaksanakan dengan cara damai, tentram, dan adil. Jauh sekali dari menjatuhkan sesama
lawan politik. Bagaimana Rasulullah memerintahkan untuk mendapatkan sebuah rasa
keadilan dalam rotasi kepemimpinan, bagaimana mendapatkan pimpinan tanpa harus
melibatkan emosi didalamnya. Fitnah maupun hoax tidak diterapkan, mereka yakin malah
dengan adanya / penyebaran hoax dan fitnah, yang dirugikan bukan orang lain, tetapi
dirinya sendiri. Dan satu hal, mereka merasa takut akan Allah SWT, yang akan terus
melihat dan menyaksikan apa yang telah dilakukan, mereka lebih mengharapkan
keberkahan yang abadi daripada kemenangan yang sesaat.
Hoax dan Fitnah dalam sudut pandang Iman kepada Rasul

Konsep islam tentang kepemimpinan sebenarnya sudah ideal. Contoh paling ideal
pemimpin islam tentu saja Nabi Muhamad Saw. Ia merupakan seorang yang memimpin
dengan hati. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21).

Konsep wakil rakyat yang kita kenal di Indonesia tentu saja merupakan bagian dari
kepemimpinan yang islam. Namun, belakangan, akibat perilaku dari sebagian wakil rakyat,
kata ini berubah menjadi kebodohan belaka. Apakah hal itu merupakan bagian dari islam?
Lalu, bagaimana sifat seorang wakil rakyat yang ideal menurut islam?

Islam mengenal empat sifat yang mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin (wakil rakyat).
Sifat ini menjadi sebuah keharusan untuk membentuk tatanan masyarakat. Jika salah satu
dari keempatnya hilang, maka bisa dipastikan akan terjadi kekacauan. Korbannya, lagi-lagi,
adalah masyarakat.

Empat sifat itu adalah, pertama, Shidiq. Makna sederhananya adalah kejujuran. Hal ini
merupakan sikap utama yang harus dimiliki seorang wakil rakyat. Tapi, bukan sekadar
jujur. Shidiq ini memiliki arti yang lebih luas lagi, yakni sebuah sikap dalam menjalankan
segala tugas dengan asas keterbukaan informasi (akuntabilitas) dan tanpa kecurangan.

Lawan dari sikap ini adalah kebohongan. Bayangkan saja, bagaimana jika seorang wakil
rakyat terbiasa berbohong? Bagaimana sebuah negara ingin sejahtera dan maju jika
pemimpinnya suka berbohong dan kerapkali menutupi fakta yang harus diketahui
masyarakat, serta memutarbalikannya seenak sendiri?

Untuk itulah, islam sudah selayaknya menempatkan sifat ini posisi pertama yang harus
dimiliki seorang wakil rakyat.

Kedua adalah Amanah. Artinya, adalah kemampuan untuk menjaga segala sesuatu yang
dipercayakan. Tentu kita sering mendengar, bahwa kepemimpinan merupakan sebuah
amanah. Hal ini memiliki makna yang besar, bahwa menjadi wakil rakyat ia harus dituntut
untuk selalu bertanggung jawab. Tanggung jawab ini bukan hanya kepada rakyat yang
mengutusnya, tapi juga tanggung jawab kepada Allah Swt.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)

Ketiga adalah Fathonah. Makna sederhananya adalah cerdas. Dalam islam, seorang
pemimpin haruslah seorang yang cerdas. Cerdas ini bukan sekadar urusan intelektual
belaka, lebih itu, seorang wakil rakyat dituntut untuk handal dan taktis dalam menghadapi
segala persoalan yang terjadi di masyarakat. Bukan malah menjadi corong segala
kerusakan atau malah jadi penghasut di tengah masyarakat.

Keempat, Tabligh. Sederhananya, sifat ini adalah penyampai yang baik. Banyak juga yang
memaknainya sebagai komunikasi. Tapi, kita dapat mengartikan sifat ini sebagai bentuk
penyampaian secara jujur, sekaligus bertanggung jawab atas segala tindakan yang
diambilnya (transparansi). Kata ini sering diperlawankan dengan menutupi atau
melindungi kesalahan.

Seorang wakil rakyat tentu tidak boleh menutupi kesalahan yang ia perbuat, apalagi
menutupinya. Inilah yang disebut pemimpin dzolim dalam islam. “Sesungguhnya dosa itu
atas orang-orang yang berbuat dhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi
tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab yang pedih” [QS. Asy-Syuuraa : 42].

Itulah beberapa kriteria yang diterapkan saat memilih pemimpin pada zaman Rasulullah
Saw. Pada zaman itu, tidak sulit untuk menentukan pimpinan, karena akhlak yang tumbuh
pada saat itu, sebagian besar adalah akhlak yang baik dan dapat dipercaya oleh semuanya.
Dari akhlak itu pula, tidak ada berita bohong atau hoax yang disebarkan pada saat itu,
karena semua berdasar kepada kepercayaan dan keyakinan akan calon pimpinan.

Hoax dan Fitnah dalam sudut pandang toleransi antar umat

Yang terjadi saat ini, pilkada selalu dikaitkan dengan agama. Kadang saya juga bingung,
mengapa agama selalu dikaitkan dan menjadi senjata utama dalam menjatuhkan para
pimpinan. Hoax yang disebarkan, dan ujaran kebencian yang ditularkan banyak sekali
mengatasnamakan agama. Padahal kita tau bahwa agama merupakan 1 hal yang paling
sensitif untuk diperbincangkan dalam konteks perbedaan. Di Indonesia ada 5 agama yang
terdata resmi di pemerintah, mulai dari islam sampai pada konghucu. Seharusnya
perbedaan ini dapat kita jaga dengan baik, namun kenyataannya sangat sulit sekali. Banyak
sekali para oknum yang mengatakan bahwa si A adalah pengikut tidak baik agama ini, si B
adalah pengikut setia agama itu. Jadi banyak sekali berita palsu tanpa kejelasan yang
mengatasnamakan agama dalam setiap tulisannya. Tentu saja ini sangat berbahaya.
Bayangkan ada 171 wilayah yang akan melaksanakan pilkada, dan bayangkan pula apabila
di 171 wilayah tersebut terjadi fitnah dan hoax mengatasnamakan agama. Tentu saja hal ini
akan mengakibatkan perpecahan yang luar biasa.
ANALISIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
“HOAX DAN FITNAH DALAM PILKADA”

Disusun oleh

R. FARHAN SYAHIR (29)

XI MIPA 3

SMA NEGERI 8 BANDUNG

Vous aimerez peut-être aussi