Vous êtes sur la page 1sur 18

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada rangsangan
yang menimbulkannya atau tidak ada objek (Dalami, dkk; 2009).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar) (Kusumawati;
2010).
Halusinasi adalah individu menginterpretasikan stresor yang tidak ada stimulus
dari lingkungan (Fitria; 2010).
Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan
yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada
orang yang berbicara (Kusumawati & Hartono, 2010).
Dari beberapa pengertian halusinasi diatas dapat disimpulkan bahwa
halusinasi adalah suatu persepsi klien terhadap stimulus dari luar tanpa adanya obyek
yang nyata. Halusinasi dapat berupa penglihatan yaitu melihat seseorang ataupun
sesuatu serta sebuah kejadian yang tidak dapat dilihat oleh orang lain, halusinasi
juga dapat berupa pendengaran berupa suara dari orang yang mungkin dikenal
atau tidak dikenal yang meminta klien melakukan sesuatu baik secara sadar ataupun
tidak.

B. Psikodinamika ( Etiologi, Fase, Komplikasi)


1. Etiologi
Gangguan sensori persepsi: halusinasi terdiri dari dua faktor penyebab yaitu
faktor predisposisi dan faktor presipitasi (Yosep; 2010). Faktor predisposisi adalah
faktor yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh
individu untuk mengatasi stres.
a. Faktor Perkembangan
Jika tugas dan perkembangan mengalami hambatan dan hubungan
interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan
kecemasan.
b. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang
mengalami stress yang berlebihan, maka didalam tubuhnya akan dihasilkan
zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan
dimethytranferase (DMP).
c. Faktor Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil
studi menunjukan bahwa faktor keluarga yang sangat berpengaruh terhadap
penyakit ini.
d. Faktor Biologis
Faktor Biologis yang menyebabkan respon neurobiologi yang maladaptif
termasuk hal-hal berikut:
1). Penelitian pencitraan otak yang menunjukan keterlibatan otak yang lebih
luas dalam perkembangan, lesi pada area frontal, temporal dan limbik.
2). Beberapa kimia otak dikaitkan dengan skizofrenia seperti dopamine
neurotransmitter yang berlebihan dan masalah pada respon dopamine.
e. Faktor Psikologis
Teori psikodinamika yang menggambarkan bahwa halusinasi terjadi
karena adanya isi alam tidak sadar yang masuk alam sadar sebagai suatu
respon terhadap konflik psikologis dan kebutuhan yang tidak terpenuhi,
sehingga halusinasi merupakan gambaran dan rangsangan dan ketakutan
yang dialami oleh klien.
f. Faktor Sosial Budaya
Stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan skizofrenia dan
gangguan psikotik lain tetapi diyakini sebagai penyebab utama gangguan.

Faktor presipitasi adalah stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai


tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk
menghadapinya. Adanya rangsang dari lingkungan, seperti partisipasi klien dalam
kelompok, terlalu lama tidak diajak objek berkomunikasi yang ada dilingkungan,
dan juga suasana sepi yang terobsesi sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi.
Hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik.
2. Fase – Fase Terjadinya Halusinasi
Terjadinya Halusinasi dimulai dari beberapa fase. Hal ini dipengaruhi
oleh intensitas keparahan dan respon individu dalam menanggapi adanya
rangsangan dari luar. Menurut (Stuart, 2007) tahapan halusinasi ada empat
tahap. Semakin berat tahap yang diderita klien, maka akan semakin berat
klien mengalami ansietas. Berikut ini merupakan tingkat intensitas halusinasi
yang dibagi dalam empat fase.
a. Fase I :
Comforting : Ansietas tingkat sedang, secara umum halusinasi bersifat
menyenangkan.
1) Karakteristik:
Orang yang berhalusinasi mengalami keadaan emosi seperti
ansietas, kesepian, merasa bersalah, dan takut serta mencoba untuk
memusatkan pada penenangan pikiran untuk mengurani ansietas,
individu mengetahui bahwa pikiran dan sensori yang dialaminya tersebut
dapat dikendalikan jika ansietasnya bisa diatasi (Nonpsikotik).
2) Perilaku klien:
 Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai.
 Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara.
 Gerakan mata yang cepat.
 Respons verbal yang lamban.
 Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.
b. Fase II :
Complementing : Ansietas tingkat berat, Secara umum halusinasi bersifat
menjijikan.
1) Karakteristik :
Pengalaman sensori yang bersifat menjijikan dan menakutkan. Orang
yang berhalusinasi mulai merasa kehilangan kendali dan mungkin
berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersepsikan,
individu mungkin merasa malu karena pengalaman sensorinya dan
menarik diri dari orang lain (Nonpsikotik).
2) Perilaku klien
 Peningkatan syaraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya,
peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah.
 Penyempitan kemampuan konsentrasi.
 Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan
kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dengan realitas.
c. Fase III :
Controling : Ansietas tingkat berat, pengalaman sensori menjadi penguasa.
1) Karakteristik :
Orang yang berhalusinasi menyerah untuk melawan pengalaman
halusinasi dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya.Isi halusinasi
dapat berupa permohonan, individu mungkin mengalami kesepian jika
pengalaman sensori tersebut berakhir (Psikotik).
2) Perilaku klien
 Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh
halusinasinya dari pada menolaknya.
 Kesulitan berhubungan dengan orang lain.
 Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik.
 Gejala fisik dari ansietas berat, seperti berkeringat, tremor,
ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk.
d. Fase IV :
Conquering panic : Ansietas tingkat panic, Secara umum halusinasi menjadi
lebih rumit dan saling terkait dengan delusi
1) Karakteristik:
Pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak
mengikuti perintah. Halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau
hari apabila tidak ada intervensi terapeutik (Psikotik).
2) Perilaku klien
 Perilaku menyerang seperti panik.
 Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.
 Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk,
agitasi, menarik diri, atau katatonik.
 Tidak mampu berespons terhadap petunjuk yang kompleks.
3. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan masalah utama gangguan
sensori persepsi: halusinasi, antara lain: resiko prilaku kekerasan, isolasi sosial,
harga diri rendah, dan defisit perawatan diri.

C. Manifestasi Klinis
Menurut (Kusumawati, 2010), tanda dan gejala halusinasi yang mungkin
muncul yaitu: menarik diri, tersenyum sendiri, duduk terpaku, bicara sendiri,
memandang satu arah, menyerang, tiba-tiba marah, gelisah. Berdasarkan jenis
dan karakteristik halusinasi tanda dan gejalanya sesuai. Berikut ini merupakan
beberapa jenis halusinasi dan karakteristiknya menurut (Stuart, 2007) meliputi :
1. Halusinasi Pendengaran
Karakteristik : Mendengar suara atau bunyi, biasanya suara orang. Suara
dapat berkisar dari suara yang sederhana sampai suara orang bicara mengenai klien.
Jenis lain termasuk pikiran yang dapat didegar yaitu pasien mendengar suara
orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkan oleh klien dan
memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang kadang-kadang berbahaya.
2. Halusinasi Penglihatan
Karakteristik : Stimulus penglihatan dalam kilatan cahaya, gambar geometris,
gambar karton atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan dapat
berupa sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang menakutkan seperti
monster.
3. Halusinasi Penciuman
Karakteristik : Membau bau-bau seperti darah, urine, feses umumnya bau-bau
yang tidak menyenangkan. Halusinasi penciuman biasanya berhubungan
dengan stroke, tumor, kejang dan demensia.
4. Halusinasi Pengecapan
Karakteristik : Merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan seperti
darah, urine, atau feses.
5. Halusinasi perabaan
Karakteristik : Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang
jelas, rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
6. Halusinasi senestetik
Karakteristik : Merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena
dan arteri, makanan dicerna, atau pembentukan urine.
7. Halusinasi kinestetik
Karakteristik : Merasa pergerakan sementara bergerak tanpa berdiri.

D. Jenis – Jenis Halusinasi


Menurut Kusumawati & Hartono(2010), jenis – jenis halusinasi adalah sebagai
berikut :
1. Halusinasi pendengaran
Yaitu mendengarkan suara atau kebisingan yang kurang jelas ataupun yang
jelas, dimana terkadang suara – suara tersebut seperti mengajak berbicara klien
dan kadang memerintahkan klien untuk melakukan sesuatu.
2. Halusinasi penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan atau cahaya, gambar atau bayangan yang
rumit dan kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan.
3. Halusinasi penghidung
Membau – bauan tertentu seperti bau darah, urine, feses, parfum, atau bau
yang lainnya. Ini sering terjadi pada seseorang pasca serangan stroke, kejang,
atau demensia.
4. Halusinasi pengecapan
Merasa mengecap seperti darah, urine, feses, atau yang lainnya.
5. Halusinasi perabaan
Merasa mengalami nyeri, rasa tersetrum atau ketidaknyamanan tanpa stimulus
yang jelas.
6. Halusinansi cenesthetic
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan
makanan atau pembentukan urine.
7. Halusinasi kinestetika
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
E. Pohon Masalah
Akibat Resiko perilaku kekerasan

Gangguan sensori persepsi : Halusinasi core problem

Penyebab Isolasi social


Sumber : (Keliat, 2006)

F. Masalah keperawatan
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan gangguan
persepsi sensori menurut Keliat(2006) adalah sebagai berikut :
a. Gangguan sensori persepsi : halusinasi.
b. Resiko perilaku kekerasan.
c. Isolasi sosial
d. Harga diri rendah

G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Menurut Keliat, (2006) tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan
data dan perumusan kebutuhan, atau masalah klien. Data yang dikumpulkan
meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Cara pengkajian lain
berfokus pada 5 (lima) aspek, yaitu fisik, emosional, intelektual, sosial dan
spiritual. Untuk dapat menjaring data yang diperlukan, umumnya dikembangkan
formulir pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian agar memudahkan dalam
pengkajian. isi pengkajian meliputi:
a. Identitas klien.
b. Keluhan utama/ alasan masuk.
c. Faktor predisposisi.
d. Faktor presipitasi.
e. Aspek fisik/ biologis.
f. Aspek psikososial.
g. Status mental.
h. Kebutuhan persiapan pulang.
i. Mekanisme koping.
j. Masalah psikososial dan lingkungan.
k. Pengetahuan.
l. Aspek medik.
Menurut Stuart, (2007) data pengkajian keperawatan jiwa dapat
dikelompokkan menjadi pengkajian perilaku, faktor predisposisi, faktor
presipitasi , penilaian terhadap stressor, sumber koping, dan kemampuan koping
yang dimiliki klien. Pengkajian tersebut dapat diuraikan menjadi :
1. Pengkajian perilaku
Perilaku yang berhubungan dengan persepsi mengacu pada identifikasi dan
interpretasi awal dari suatu stimulus berdasarkan informasi yang diterima
melalui panca indra perilaku tersebut digambarkan dalam rentang respon
neurobiologis dari respon adaptif, respon transisi dan respon maladaptif.
2. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi yang berpengaruh pada pasien halusinasi dapat mencakup:
a. Dimensi biologis
Meliputi abnormalitas perkembangan sistem syaraf yang berhubungan
dengan respon neurobiologis maladaptif yang ditunjukkan melalui hasil
penelitian pencitraan otak, zat kimia otak dan penelitian pada keluarga yang
melibatkan anak kembar dan anak yang diadopsi yang menunjukkan
peran genetik pada skizofrenia.
b. Psikologis
Teori psikodinamika untuk terjadinya respons neurobiologis yang
maladaptif belum didukung oleh penelitian.
c. Sosial budaya
Stres yang menumpuk dapat menunjang awitan skizofrenia dan
gangguan psikotik lain, tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama
gangguan.
3. Faktor presipitasi
Stressor pencetus terjadinya gangguan persepsi sensori : halusinasi diantaranya:
a. Stressor biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan respon neurobiologis
maladaptif meliputi gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak
yang mengatur proses informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu
masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara
selektif menanggapi stimulus.
b. Stressor lingkungan
Ambang toleransi terhadap stres yang ditentukan secara biologis
berinteraksi dengan stresor lingkungan untuk menentukan terjadinya
gangguan perilaku.
c. Pemicu gejala
Pemicu merupakan perkusor dan stimuli yang menimbulkan episode
baru suatu penyakit. Pemicu biasanya terdapat pada respons
neurobiologis maladaptif yang berhubungan dengan kesehatan, lingkungan,
sikap, dan perilaku individu.
4. Penilaian stressor
Tidak terdapat riset ilmiah yang menunjukkan bahwa stres
menyebabkan skizofrenia. Namun, studi mengenai relaps dan eksaserbasi
gejala membuktikan bahwa stres, penilaian individu terhadap stressor, dan
masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan gejala.
5. Sumber koping
Sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman tentang
pengaruh gangguan otak pada perilaku. Kekuatan dapat meliputi modal, seperti
intelegensi atau kreativitas yang tinggi.
6. Mekanisme koping
Merilaku yang mewakili upaya untuk melindungi pasien dari
pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis
maladaptif meliputi:
a. Regresi, berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengatasi ansietas, yang menyisakan sedikit energi untuk aktivitas hidup
sehari-hari.
b. Proyeksi, sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.
c. Menarik diri

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Keliat, (2006) diagnosa keperawatan Halusinasi adalah sebagai berikut :
a. Gangguan persepsi sensori : Halusinasi
b. Isolasi sosial : menarik diri.
c. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1 : Gangguan persepsi sensori : halusinasi
TUM : Klien dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya
TUK 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya
Intervensi :
1. Beri salam dan panggil nama klien
2. Sebutkan nama perawat, sambil berjabat tangan
3. Jelaskan maksud hubungan interaksi
4. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat.
5. Beri rasa aman dan sikap empati.
6. Lakukan kontak singkat tapi sering.

TUK 2 : Membantu klien mengenal halusinasi ( jenis, isi, waktu, frekuensi,


situasi, respon ).
Intervensi : Bantu klien mengenal halusinasinya yang meliputi isi, waktu terjadi
halusinasi, frekuensi, situasi pencetus, dan perasaan saat terjadi halusinasi.

TUK 3 : Menjelaskan cara-cara mengontrol halusinasi.


Intevensi : Menjelaskan cara-cara mengontrol halusinasi saat klien mengalami
halusinasi.

TUK 4 : Mengajarkan klien mengontrol halusinasi dengan cara yaitu :


1. Menghardik.
2. Becakap-cakap dengan orang lain
3. Melakukan kegiatan yang biasa dilakukan
Intervensi : Mendemonstrasikan atau mengajarkan cara mengontrol halusinasi yaitu
dengan :
1. Cara menghardik
2. Bercakap-cakap dengan orang lain dan
3. Melakukan kegiatan yang biasa dilakukan.
Intervensi: Bina hubungan saling percaya dengan cara menggunakan prinsip
komunikasi terapeutik.
1. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal.
2. Perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berkenalan.
3. Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang disukai klien.
4. Buat kontrak yang jelas.
5. Tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap kali interaksi.
6. Tunjukan sikap empati dan menerima apa adanya.
7. Berikan perhatian pada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.
8. Tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien.
9. Dengarkan dengan penuh perhatian ekpresi perasaan klien.

TUK 5 : Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai dengan program
pengobatan)
Intervensi:
1. Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien pada klien dan keluarga.
2. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa
11eizing dokter.
3. Jelaskan prinsip 5 benar minum obat (nama klien, obat, dosis, cara dan
waktu).
4. Anjurkan klien minta obat dan minum obat tepat waktu.
5. Anjurkan klien melaporkan pada perawat atau dokter jika merasakan efek yang
tidak menyenangkan.
6. Beri pujian jika klien minum obat dengan benar.

Diagnosa 2 : Isolasi sosial : menarik diri


TUM : Klien dapat berhungan dengan orang lain.
TUK 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya
Intevensi :
1. Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik, memperkenalkan diri,
jelaskantujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kesepakatan
dengan jelas tentang topik, tempat dan waktu.
2. Beri perhatian dan penghargaan : temani klien walau tidak menjawab.
3. Dengarkan dengan empati : beri kesempatan bicara, jangan terburu-buru,
tunjukkan bahwa perawat mengikuti pembicaraan klien.

TUK 2 : Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri


Intervensi :
1. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya.
2. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab
menarik diri atau mau bergaul.
3. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta
penyebab yang muncul.
4. Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya.

TUK 3 : Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Intervensi :
1. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan
orang lain.
2. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan orang lain.
3. Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain.
4. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan
tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain.
5. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang
lain.
6. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan orang
lain.
7. Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang
lain.
8. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan
tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
TUK 4 : Mengajarkan klien cara berkenalan dengan satu orang, dengan perawatan
klien lain.
Intervensi :
1. Mengajarkan cara berkenalan dengan orang dengan cara mempraktekan dan
melakukan.
2. Berikan reinforcement positif terhadap kemampuan klien.

TUK 5 : Mengajarkan klien cara berkenalan dengan dua orang.


Intervensi :
1. Mengajarkan cara berkenalan dengan dua orang dengan cara mempraktekan
dan melakukan.
2. Berikan reinforcement positif terhadap kemampuan klien.

Diagnosa 3 : Resiko mencederai diri sendiri,lingkungan dan orang lain.


TUM : Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
TUK 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Intervensi :
1. Beri salam dan panggil nama klien.
2. Sebutkan nama perawat, sambil berjabat tangan.
3. Jelaskan maksud hubungan interaksi.
4. Jelaskantentangkontrak yang akandibuat.
5. Beri rasa aman dan sikap empati.
6. Lakukan kontak singkat tapi sering.

TUK 2 : Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan


Intervensi :
1. Berikesempatanuntuk mengungkapkan perasaan.
2. Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel atau kesal.

TUK 3 : Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan


Intervensi:
1. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat jengkel atau
kesal.
2. Observasi tanda perilaku kekerasan.
3. Simpulkan bersama klien tanda tanda jengkel atau kesal yang dialami klien.

TUK 4 : Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan


Intervensi:
1. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
2. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
3. Bicarakan dengan klien "apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya
bisa selesai ?"

TUK 5 : Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.


Intervensi:
1. Bicarakan akibat atau kerugian dari cara yang dilakukan.
2. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
3. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.

TUK 6 : Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap


kemarahan.
Intervensi:
1. Tanyakan kepada klien apakah dia ingin mempelajari cara baru yang sehat
2. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
3. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat.
a. Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolah raga, memukul
bantal / kasur atau pekerjaan yang memerlukan tenaga.
b. Secara verbal : katakana bahwa anda sedang marah atau kesal atau
tersinggung.
c. Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat
d. Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk
diberi kesabaran.

TUK 7 : Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan


Intervensi:
1. Bantu memilih cara yang paling tepat.
2. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
3. Bantu menstimulasikancara yang telahdipilih.
4. Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara tersebut
5. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel atau marah.

TUK 8 : Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai dengan program
pengobatan)
Intervensi:
1. Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien pada klien dan keluarga.
2. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa
seizing dokter.
3. Jelaskan prinsip 5 benar minum obat (nama klien, obat, dosis, cara dan waktu).
4. Anjurkan klien minta obat dan minum obat tepat waktu.
5. Anjurkan klien melaporkan pada perawatatau dokter jika merasakan efek yang
tidak menyenangkan.
6. Beri pujian jika klien minum obat dengan benar.

TUK 9 : Klien mendapat dukungan keluarga dalm mengontrol perilaku kekerasan


Intervensi:
1. Identifikasi kemampuan keluarga merawat klien dari sikap apa yang telah
dilakukan keluarga selama ini.
2. Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
3. Jelaskan cara-cara merawat klien :
a. Cara mengontrol perilaku marah secara konstruktif.
b. Sikap tenang, bicara tenang dan jelas.
c. Membantu klien mengenal penyebab marah.
4. Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien.
5. Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi.
4. Penatalaksanaan Medis
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi pada
gangguan Skizofrenia. Dimana Skizofrenia merupakan jenis psikosis, adapun
tindakan penatalaksanaan dilakukan dengan berbagai terapi yaitu dengan:
a. Psikofarmakologis
Dengan pemberian obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala
halusinasi pendengaran yang merupakan gejala pada klien Skizofrenia adalah
obat-obatan anti Psikosis, karena Skizofrenia merupakan salah satu jenis
gangguan Psikosis. Chlorpromazine (CPZ), untuk mengatasi psikosa, dan
mengurangi gejala emesis. Untuk gangguan jiwa, dosis awal: 3×25 mg,
kemudian dapat ditingkatkan supaya optimal, dengan dosis tertinggi : 1000
mg/hari secara oral. Trihexyphenidil (THP), diberikan 1 mg pada hari pertama
dan hari kedua diberikan 2 mg /hari hingga mencapai 6-10 mg/ hari untuk
pengobatan berbagai bentuk Parkinson, efek samping mulut kering,
penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, takikardi dan konstipasi.
b. Psikosomatik
Terapi kejang listrik (Electro Compulsive Therapy), yaitu suatu terapi fisik
atau suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal secara artifisial
dengan melewatkan aliran listrik melalui elektroda yang dipasang pada satu
atau dua temples pada pelipis. Jumlah tindakan yang dilakukan merupakan
rangkaian yang bervariasi pada setiap pasien tergantung pada masalah pasien
dan respon terapeutik sesuai hasil pengkajian selama tindakan. Pada pasien
Skizofrenia biasanya diberikan 30 kali. ECT biasanya diberikan 3 kali
seminggu walaupun biasanya diberikan jarang atau lebih sering. Indikasi
penggunaan obat: penyakit depresi berat yang tidak berespon terhadap obat,
gangguan bipolar di mana pasien sudah tidak berespon lagi terhadap obat dan
pasien dengan bunuh diri akut yang sudah lama tidak mendapatkan
pertolongan.
c. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang relatif lama, juga merupakan bagian penting
dalam proses terapeutik. Upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan
rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan terapeutik, memotivasi klien
untuk dapat mengungkapkan perasaan secara verbal, bersikap ramah, sopan,
dan jujur terhadap klien.
d. Prinsip Keperawatan
Menetapkan hubungan terapeutik, kontak sering dan singkat secara
bertahap, peduli, empati, jujur, menepati janji dan memenuhi kebutuhan dasar
klien. Pada umumnya melindungi dari perilaku yang membahayakan, tidak
membenarkan ataupun menyalahkan halusinasi klien, melibatkan pasien dan
keluarga dalam perencanaan asuhan keperawatan dan mempertahankan
perilaku keselarasan verbal dan nonverbal.
5. Pelaksanaan Keperawatan
Implementasi disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Pada situasi
nyata sering pelaksanaan jauh berbeda dengan rencana, hal ini terjadi karena
perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan
tindakan keperawatan (Dalami, dkk; 2009). Sebelum melaksanakan tindakan
keperawatan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat
apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan klien sesuai dengan
kondisinya (here and now). Perawat juga menilai diri sendiri, apakah kemampuan
interpersonal, intelektual, tekhnikal sesuai dengan tindakan yang akan
dilaksanakan, dinilai kembali apakah aman bagi klien. Setelah semuanya tidak ada
hambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan.
Adapun pelaksanaan tindakan keperawatan jiwa dilakukan berdasarkan
Strategi Pelaksanaan (SP) yang sesuai dengan masing-masing masalah utama. Pada
masalah gangguan sensori persepsi: halusinasi pendengaran, terdapat 2 jenis SP,
yaitu SP Klien dan SP Keluarga.
SP klien terbagi menjadi SP 1 (membina hubungan saling percaya,
mengidentifikasi halusinasi (jenis, isi, waktu, frekuensi, situasi, respon),
mengajarkan cara menghardik, memasukan cara menghardik ke dalam jadwal; SP 2
(mengevaluasi SP 1, mengajarkan cara bercakap-cakap ketika halusinasi muncul,
memasukan ke dalam jadwal); SP 3 (mengevaluasi SP 1 dan 2, menganjurkan
untuk melakukan kegiatan untuk menghindari halusinasi muncul, memasukan ke
dalam jadwal); SP 4 (mengevaluasi SP 1, 2, dan 3, mengajarkan tentang minum
obat, memasukan ke dalam jadwal).
SP keluarga terbagi menjadi SP 1 (membina hubungan saling percaya,
mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien,
menjelaskan pengertian, tanda dan gejala helusinasi, jenis halusinasi yang dialami
klien beserta proses terjadinya, menjelaskan cara merawat pasien halusinasi); SP 2
(melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien dengan halusinasi, melatih
keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien halusinasi); SP 3
(membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planing), menjelaskan follow up pasien setelah pulang). Pada saat akan
dilaksanakan tindakan keperawatan maka kontrak dengan klien dilaksanakan
dengan menjelaskan apa yang akan dikerjakan dan peran serta klien yang
diharapkan, dokumentasikan semua tindakan yang telah dilaksanakan serta respon
klien.
6. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien (Dalami; 2009). Evaluasi dilakukan terus menerus pada
respon klien terhadap tindakan yang telah dilaksanakan, evaluasi dapat dibagi dua
jenis yaitu: evaluasi proses atau formatif dilakukan selesai melaksanakan tindakan.
Evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien pada
tujuan umum dan tujuan khusus yang telah ditentukan.
Evaluasi keperawatan yang diharapkan pada pasien dengan gangguan sensori
persepsi: halusinasi pendengaran adalah: tidak terjadi perilaku kekerasan, klien
dapat membina hubungan saling percaya, klien dapat mengenal halusinasinya,
klien dapat mengontrol halusinasinya, klien mendapatkan dukungan dari keluarga
dalam mengontrol halusinasinya, klien dapat menggunakan obat dengan baik dan
benar.

Vous aimerez peut-être aussi