Vous êtes sur la page 1sur 11

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bullying adalah pola perilaku agresif yang melibatkan

ketidakseimbangan kekuasaan dengan tujuan membuat orang lain

merasa tidak nyaman, takut, dan sakit hati yang sering dilakukan

atas dasar perbedaan pada penampilan, budaya, ras, agama,

orientasi seksual dan identitas gender orang lain (Flynt dan Morton,

2012). Wahyuni dan Adiyanti (2010) mendefinisikan perilaku

bullying sebagai intimidasi yang dilakukan oleh individu atau

kelompok baik secara fisik, psikologis, social, verbal atau

emosional. Menurut Santrock (2007), “bullying diartikan sebagai

perilaku verbal dan fisik yang dimaksudkan untuk mengganggu

seseorang yang lebih lemah”.

Bullying merujuk pada tindakan kekerasan yang dilakukan

oleh pelaku (bully/bullies) yang memiliki kekuatan atau kekuasaan

kepada orang lain yang dianggap lemah. Pelaku bullying biasanya

bertujuan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan,

mendapatkan kepuasan setelah unjuk kekuatan, namun bisa juga

tadinya ia iseng, dan ‘berhasil’, sehingga ingin mengulang kembali

keberhasilannnya tersebut. Kekerasan yang dilakukan bisa

berbentuk kekerasan fisik, verbal, maupun psikologis dan dapat


2

terjadi secara langsung seperti misalnya memukul, menendang,

mencacimaki maupun secara tidak langsung seperti mengaliniasi

dan menggosip (Papler & Craig, 2002; Storey, dkk, 2008)

Bullying dapat dilakukan secara fisik ( menampar,

menimpuk, menjegal, memalak, melempar dengan barang, dan

sebagainya), verbal (memaki, menghina, menjuluki, meneriaki,

mempermalukan di depan umum, menyoraki, menebar gosip,

memfitnah, dan sebagainya), dan psikolgis (memandang sinis,

mengancam, mempermalukan, mengucilkan, mencibir,

mendiamkan dan sebaginya) ( Rigby, 2008).

Dari 40 Negara yang di survey, Latitude News 2014

menempatkan Negara diperingkat teratas sebagai Negara-negara

dengan kasus bullying tertinggi khususnya anak-anak adalah

Jepang yang menduduki peringkat pertama sebagai Negara

dengan kasus bullying tertinggi,khususnya terjadi di sekolah.

Menurut riset yang dilakukan LSM Plan International dan

International Center for Research on Women (ICRW) Maret 2015

ini menunjukkan fakta mencengangkan terkait kekerasan anak di

sekolah. Terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di

sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni

70%.Di Indonesia Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas

PA) mencatat, ada 21 kasus kekerasan anak telah terjadi

sepanjang 2014 hingga 2015. Dari jumlah tersebut, 17 anak


3

tewas akibat peristiwa yang berasal dari saling ejek dan pukul

layaknya anak usia sekolah dasar. Data naiknya jumlah anak

sebagai pelaku kekerasan di sekolah menunjukkan adanya faktor

lingkungan yang tidak kondusif bagi perlindungan anak .

Kasus bullying juga terjadi di Samarinda, menurut laporan

Badan Pemberdaya Perempuan Dan Keluarga Berencana Provinsi

Kaltim yang menyebutkan terdapat 457 kasus pelecehan seksual

dan kekerasan pada anak dan di antaranya juga terdapat kasus

bullying dan kasus intimidasi sepanjang sepanjang tahun 2015.

Para peneliti dari Kings College, London 2014, meneliti

sekitar 7.771 anak-anak, dan sekitar seperempat dari mereka (28

persen) ditindas atau di bully antara usia tujuh dan sebelas tahun,

dan hal tersebut terbawa hingga di usia 50 tahun (Renny, 2014).

Survey di berbagai belahan dunia menyatakan bahwa bullying

paling banyak terjadi pada usia 7 tahun, dan selanjutnya menurun

hingga usia 15 tahun. Studi lain menyatakan prevalensi bullying

tertinggi pada usia 7 tahun dan 10-12 tahun (KPA, 2007).

Sanders (2003; dalam Anesty, 2009) National Youth

Violence Prevention mengemukakan bahwa, para pelaku ini

memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi

pula, cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro terhadap

kekerasan, tipikal orang berwatak keras, mudah marah dan

impulsif, toleransi yang rendah terhadap frustasi.


4

Dari banyaknya kasus. Anak-anak yang mempunyai

masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan

belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Sementara,

Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-

sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia

dewasa. maka perlu diperhatikan lagi masalah bullying disekolah,

selain pemerintah, masyarakat, guru, peran orang tua juga harus

ditingkatkan Coloroso (2006).

Amanda (2014) menjelaskan bahwa jenis kelamin berperan

dalam kejadian bullying dan hubungan antara pelecehan antar

teman sebaya karena anak laki-laki lebih berpeluang untuk

melakukan bullying fisik. Sebaliknya anak perempuan cenderung

untuk terlibat dalam bullying sosial, atau inklusi dan eksklusi pada

teman-temannya. Sementara itu Judarwanto (2011) menambahkan

bahwa, anak laki-laki umumnya lebih sering terlibat bullying

dibandingkan anak perempuan; 14% dari anak laki-laki dan 9%

anak perempuan di Amerika Serikat terlibat baik sebagai

pengganggu atau korban.

Siswa-siswa yang menjadi pelaku bullying memiliki

superioritas untuk melukai orang lain yang dianggap rendah, hina

sehingga pelaku bullying merasa lebih unggul. Slee & Rigby (Rigby,

2003), menemukan bahwa anak-anak yang melakukan bullying


5

secara berulang di sekolah, cenderung memiliki rasa empati yang

rendah terhadap orang lain dan cenderung psikotism.

Para pelaku bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk

mendominasi orang lain dan kurang berempati terhadap targetnya.

sesuai dengan yang dikemukakan oleh Coloroso (2006:72) bahwa

siswa akan terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat

mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap untuk

memandang dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta

menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat

mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan

datang.

Dengan melakukan bullying, pelaku akan beranggapan

bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika

dibiarkan terus-menerus tanpa intervensi, perilaku bullying ini dapat

menyebabkan terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan

terhadap anak dan perilaku kriminal lainnya.

Qurroz dkk (2006; dalam Anesty, 2009) mengemukakan

sedikitnya terdapat lima faktor yang dapat menyebabkan perilaku

bullying yaitu Hubungan keluarga. Anak akan meniru berbagai nilai

dan perilaku anggota keluarga yang ia lihat sehari-hari sehingga

menjadi nilai dan perilaku yang ia anut (hasil dari imitasi). Menurut

Dien Haryana (Sejiwa or.id) karena faktor orang tua dirumah yang
6

tipe suka memaki, membandingkan atau melakukan kekerasan

fisik. Anak menganggap benar bahasa kekerasaan.

Salah satu faktor lain dari perilaku bullying adalah teman

sebaya yang disebabkan oleh adanya teman sebaya yang

memberikan pengaruh negative dengan cara menyebarkan ide

(baik secara aktif maupun pasif) bahwa bullying bukanlah suatu

masalah besar dan merupakan suatu hal yang wajar untuk

dilakukan.

Pengaruh media. Survey yang dilakukan Kompas (Saripah,

2006) memperlihatkan bahwa, 56,9% anak meniru adegan-adegan

film yang ditontonnya umumnya mereka meniru gerakannya (64%)

dari kata-katanya (45%).

Faktor lingkungan social. Salah satu factor lingkungan social

yang menyebabkan tindakan bullying adalah kemiskinan. Mereka

yang hidupnya dalam kemiskinan akan berbuat apa saja demi

memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga tidak heran jika di

lingkungan social sering terjadi pemalakan. (Ariesto, 2009).

Menurut Mudjijanti 2011 Adanya budaya kekerasan, seseorang

melakukan bullying karena dirinya berada dalam suatu kelompok

yang sangat toleran terhadap tindakan bullying. Anak yang tumbuh

dalam lingkungan tersebut memandang bullying hal yang

biasa/wajar.
7

Faktor pendidikan. Bullying berkembang pesat dalam

lingkungan sekolah sering memberikan masukan negative pada

siswanya, misalnya berupa hukuman yang tidak membangun

sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghirmati

antar sesama anggota sekolah. (Ariesto, 2009) Seperti penelitian

yang dilakukan oleh Pearce (2002) menjelaskan indikasi bullying di

sekolah yaitu moral yang rendah pada staf-stafnya, tingkat

pergantian guru cukup tinggi, standar tingkah lakunya tidak jelas,

metode disiplin tidak konsisten, organisasinya buruk, pengawasan

tidak ketat, dan kurang mengawasi anak sebagai individu.

Hasil studi pendahuluan melalui wawancara yang dilakukan

oleh peneliti pada 26 orang siswa kelas V di MI Ar-Raudhah

Samarinda dengan mengajukan pertanyaan terkait pengertian

bullying dan didapatkan hasil 20 siswa mengetahui pengertian dari

bullying dan 4 siswa lainnya hanya diam saja.

Berdasarkan berbagai penjelasan yang diatas, maka peneliti

tertarik untuk melakukan analisis faktor-faktor yang berhubungan

dengan penyebab meningkatnya kejadian pelaku bullying yang

terjadi pada anak usia sekolah dasar.


8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah Analisis faktor-faktor yang berhubungan

dengan meningkatnya kejadian pelaku bullying pada anak usia

sekolah dasar.

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan

meningkatnya kejadian pelaku bullying pada anak usia sekolah

dasar.

2. Tujuan khusus

Tujuan khusus penilitian ini adalah untuk mengidentifikasi :

a. Untuk mengidentifikasi karakteristik responden, seperti umur,

jenis kelamin, kelas

b. Untuk menganalisa faktor umur terhadap meningkatnya prilaku

bullying pada anak usia sekolah dasar

c. Untuk menganalisa faktor teman sebaya terhadap

meningkatnya prilaku bullying pada anak usia sekolah dasar

d. Untuk menganalisa faktor lingkungan sosial anak terhadap

meningkatnya prilaku bullying pada anak usia sekolah dasar

e. Untuk menganalisa faktor suasan sekolah atau iklim sekolah

terhadap meningkatnya prilaku bullying pada anak usia sekolah

dasar
9

D. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

1. Untuk pengembangan keilmuan dibidang keperawatan

2. Untuk menambah khasanah kajian ilmiah dalam

pengembangan ilmu keperawatan

b. Manfaat Praktis

1. Bagi Sekolah

Memberikan pengetahuan kepada menejemen sekolah

khususnya dalam bidang kesiswaan untuk bisa lebih

memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan

meningkatnya kejadian pelaku bullying pada anak usia sekolah

dasar.

2. Bagi Guru / Pendidik

Sebagai bahan kajian dalam melakukan evaluasi secara

berkala mengenai faktor – faktor meningkatnya kejadian pelaku

bullying dan dapat mengurangi tingkat kejadian bullying yang

mungkin dilakukan oleh para pelaku bullying.

3. Bagi Peneliti

Menambah wawasan peneliti untuk menganalisa faktor-faktor

yang berhubungan dengan meningkatnya kejadian pelaku

bullying pada usia sekolah dasar.


10

4. Bagi Instansi Pendidikan

Sebagai bahan referensi kepustakaan dan sumbangan ilmiah

dalam memperbanyak ilmu pengetahuan serta menjadi acuan

untuk peneliti selanjutnya

E. Keaslian Penelitian

1. Peneliti yang memiliki kesamaan dengan penelitian ini adalah

penelitian yang dilakukan oleh :Hertinjung,W.S (2013) dengan

judul “ BENTUK BENTUK PERILAKU BULLYING DISEKOLAH

DASAR Data penelitian menggunakan Skala Bentuk Bullying yang

dimodifikasi dari School Life Survey. Data penelitian

dianalisissecara kuantitatif deskriptif dengan menggunakan

penghitungan tendency central. Hasil penelitian diketahui bahwa

terdapat perbedaan frekuensi bentuk-bentuk bullying antara versi

pelaku dan korban, terutama pada bentuk bullying fisik dan

relasional. Berdasarkan skala yang diisi pelaku, bentuk bullying

yang paling sering dilakukan adalah bentuk bullying verbal, dan

selanjutnya relasional, dan fisik. Sementara menurut skala yang

diisi oleh korban, bentuk bullying yang paling sering dialami adalah

bullying verbal, fisik, dan relasional.Bentuk bullying verbal berupa

memanggil dengan panggilan yang buruk, membentak,

mengancam. Bentuk bullying Fisik berupa mendorong, memukul,

berkelahi, mengambil barang, mengunci di kamar mandi.


11

Sementara bentuk bullying relasional adalah mengucilkan dan

memfitnah.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Asep Ediana Latif (2013) dengan

judul “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PRILAKU BULLYING” Pengolahan data penelitian dilakukan

dengan proses tabulating, pengelompokkan data berdasarkan

subjek penelitian dan penyajian data dengan proses analisis

korelasi-regresi dengan bantuan SPSS 15.00. Hasil penelitian

menjelaskan bahwa terdapat pengaruh factor bullying di

Madarasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar dengan signifikansi

pengaruh yang ditimbulkannya adalah temperamen 0.000, pola

asuh orang tua 0.461, konformitas 0.926, media 0.006 dan iklim

sekolah 0.787. Hasil tersebut apabila dibandingkan dengan

standar batas pengaruh signifikansinya dari factor-faktor tersebut

maka lebih kecil dari 0.050. Namun factor-faktor yang paling besar

pengaruh signifikansinya terhadap terjadinya bullying di MI/SD

adalah factor temperamen dan factor media. Dilihat dari jenis

kelamin yang terkena pengaruh factor-faktor tersebut, terbukti

prilaku bullying banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan.

Adapun apabila dilihat dari sisi kelembagaan, madrasah ibtidaiyah

memiliki rata-rata pengaruh yang lebih rendah daripada sekolah

dasar terhadap terjadinya bullying pada anak usia kelas VI.

Vous aimerez peut-être aussi